Mengolah Keheningan Batin dalam Keluarga

Mengolah Keheningan Batin dalam Keluarga
bersumber pada Kerahiman Ilahi1
I. Keheningan sejak dari kandungan
Ketika saya mulai merenungkan apa yang akan saya tulis tentang “Mengolah Keheningan
Batin dalam Keluarga bersumber pada Kerahiman Ilahi”, ingatan saya tertuju pada tema Hari
Komunikasi Sedunia 2015, dimana Paus Fransiskus memberi tema “Komunikasi dalam keluarga:
tempat istimewa menemukan keindahan cinta”2. Dalam tulisannya, Paus Fransiskus mengatakan
bahwa keluarga adalah tempat pertama dimana setiap individu berkomunikasi dengan orang lain
dan belajar berkomunikasi dengan orang lain. Bahkan sebelum seseorang lahir, dia telah
mengalami komunikasi di dalam rahim dengan sang ibu yang mengandungnya. Sang ibu yang
mengandung berbicara dengan dengan sang bayi dalam Rahim melalui sapaan dan belaian
seolah-olah sang anak sudah lahir. Sapaan dan belaian sang ibu memberi pesan sang anak yang
dalam kandungan. Pesan kasih disampaikan. Perasaan gembira diekspresikan. Perlindungan
ditunjukkan.
Semua yang dirasakan dan diharapkan oleh keluarga, khususnya sang ibu, sudah
dikomunikasikan sejak seseorang dalam kandungan sekalipun tidak mendapatkan respon secara
verbal dari sang janin. Ada kalanya ketika sang ibu atau anggota keluarga menyapa sang janin,
sang janin menunjukkan respon lewat gerakan tertentu dalam kandungan. Komunikasi dengan
sang janin diharapkan membuat sang janin merasa nyaman, tumbuh sehat, tidak merasa sendiri,
kehadirannya adalah rahmat, komunitas yang hangat telah tersedia untuknya, dll. Seluruh proses
belajar berkomunikasi dengan sang janin yang membuat ikatan batin yang erat ini bertumbuh

dalam suasana keheningan. Keheningan yang dimaksud bukan semata-mata diam tanpa kata
tetapi lebih berarti memuat iman yang hidup, harapan yang teguh kepada Allah dan cinta yang
ikhlas.
Ikatan batin akan bertumbuh semakin kuat ketika sang janin mulai mendiami rahim
sampai ia dilahirkan. Kata rahim memang merujuk pada kaum perempuan lebih khusus lagi
rahim ibu. Dari rahim ini sebenarnya mencul hubungan cinta yang searah. Sifat rahim seorang
ibu, yang “melindungi, menghidupi, menghangatkan, memberi pertumbuhan, menjaga,
menerima tanpa syarat, membawa kemana-mana”. Ibu mencintai anaknya yang lahir dari
rahimnya bukan karena anaknya berbuat baik tetapi karena itu merupakan suatu dorongan hati
yang tak terelakkan. Bahkan setelah datang ke dunia, bisa juga berarti kita masih di dalam
“rahim”, yakni keluarga. Rahim terdiri dari beberapa orang yang saling terkait: keluarga adalah
“tempat kita belajar untuk hidup dengan orang lain meskipun berbeda” (Evangelii Gaudium, 66).
Tanpa melihat perbedaan jenis kelamin dan usia di antara mereka, anggota-anggota keluarga
saling menerima karena ada ikatan di antara mereka.
Dalam kehadirannya di tengah keluarga, sang anak akan mengalami komunikasi yang
lebih langsung, tanpa batas. Ia tidak lagi pasif, tapi ikut berpartisipasi langsung. Melalui
1

Oleh B. Cahyo Christanto, SJ disampaikan pada acara Temu Kebatinan Katolik XXX, Kerep, Ambarawa, 15-16
Oktober 2016.

2
Disarikan dari http://www.mirifica.net/2014/10/21/hari-komunikasi-sedunia-2015.

1

kehadiran dan keterlibatan langsung dalam keluarga, setiap orang mengkomunikasikan
keberadaannya dalam keluarga. Dalam situasi demikian, maka setiap orang dalam keluarga
belajar dan mengalami supaya bisa saling memahami, saling berbagi, saling memperhatikan.
Tentu hal-hal tersebut tidak didapatkan begitu saja. Ada proses belajar yang harus diikuti. Orang
belajar memaknai ekspressi wajah orang lain, belajar membaca kata hati orang lain, sekalipun
tak terungkap lewat kata. Belajar merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Situasi konkrit ini kita hidupi dan kita hadapi dalam keluarga. Menurut Paus Fransiskus,
realitas ini tentu saja sangat membantu kita untuk memahami makna komunikasi sebagai
kedekatan pertalian batin yang saling meneguhkan dan mempertautkan. Sebagai keluarga hal
utama yang mengikat kita adalah pertautan batin, bukan materi. Batiniah, bukan badaniah.Yang
batiniah terwujud dalam badaniah. Keheningan batin yang kuat menjadi dasar komunikasi yang
melahirkan kasih satu sama lain, rasa hormat satu sama lain, kesediaan berkorban satu sama lain.
Maka hidup setiap pribadi terarah kepada yang lain.
Ketika masih dalam kandungan, ibu menyapa kita lewat kata dan tindakan. Namun ada
tindakan rohani juga dilakukan, yaitu mendoakan sang janin. Paus Fransiskus menyebut tindakan

mendoakan ini sebagai “relasi yang mendahului”. Tindakan mendoakan ini terus berlanjut dalam
perjalanan kita sebagai keluarga kandung dan dalam keluarga besar. Pada permulaan kita
didoakan. Pada waktu berikutnya kita mendoakan. Doa bukan sekedar permohonan, tetapi juga
berisi ucapan syukur. Syukur atas kehidupan, syukur atas kehadiran, dan pengorbanan banyak
orang dalam hidup kita.
Lebih lanjut Paus Fransiskus menuliskan:”Pengalaman tentang relasi yang ‘mendahului’
kita memungkinkan keluarga untuk menjadi latar di mana bentuk komunikasi yang paling dasar,
yaitu doa, diwariskan. Ketika para orangtua menidurkan anak-anak mereka yang baru lahir,
mereka sering kali mempercayakan anak-anak itu kepada Tuhan, seraya memohon agar Ia
menjaga mereka. Ketika anak-anak itu bertambah usia, para orangtua membantu mereka untuk
mendaraskan beberapa doa sederhana, seraya mengenang kasih sayang orang-orang lain, seperti
kakek-nenek, para kerabat, orang-orang sakit dan menderita, dan semua orang yang
membutuhkan pertolongan Tuhan”.
Di dalam keluarga itulah sebagian besar kita mempelajari dimensi “kerahiman Allah”,
yang di dalam Kekristenan diresapi dengan kasih, yaitu kasih yang Allah anugerahkan kepada
kita dan yang kemudian kita bagikan kepada orang-orang lain.”
II. Doa dan keheningan dalam Keluarga
Bercermin kepada keluarga kudus Nazareth, Bunda Maria dan Bapa Yusuf adalah teladan
pertama yang berdoa secara sempurna tetapi sederhana. Sempurna karena tumbuh dari iman dan
harapan yang dalam dan kasih yang besar. Mereka siap sedia berkorban untuk melindungi,

merawat dan membesarkan Kanak-kanak Yesus. Benar juga. Mereka lari ke Mesir tanpa
persiapan apa pun untuk menyelamatkan Kanak-kanak Yesus dari usaha Raja Herodes untuk
membunuh-Nya (Bdk. Mt 2;13-15).
Doanya selalu sangat sederhana, karena merupakan ungkapan hati apa adanya, yang
keluar dari iman, harapan dan kasih. Terkadang tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan mata,
2

dengan hati yang mencinta; dan kalau dengan kata-kata sangat sederhana, menyapa dengan
kasih. Ketika makin dewasa tentu dengan banyak kata, tetapi tetap sederhana, apa adanya dan
tidak ada kata-kata klise, karena begi mereka wawan hati dan wawan sabda dengan Tuhan Yesus
itulah doa mereka. Mereka sungguh contoh keluarga yang berdoa kepada Tuhan Yesus dan
menjadikan Tuhan Yesus pusat dari keluarga mereka. Pasti mereka juga sering berdoa kepada
Yahwe, Allah yang disembah umat Yahudi. Kelak Tuhan Yesus sendiri ketika memberitahu
bagaimana berdoa yang baik, kata-kata yang muncul adalah “jangan bertele-tele”, jangan
mencari pujian, bahkan sebaiknya menutup diri dalam kamar.
Yesus menegaskan bahwa Allah Bapa kita telah mengetahui apa yang kita perlukan
sebelum kita berdoa. (Bdk. Mt 6:5-9). Selanjutnya Keluarga Kudus memberi contoh suatu doa
keluarga, ketika bersama-sama pergi ke Kenisah Yerusalem untuk merayakan Paskah, ketika
Tuhan Yesus telah berumur 12 tahun (Bdk Lk 2:41 dst.)
Amat menarik bagi kita untuk menyelami lebih dalam, untuk menemukan mutiara indah

dari Keluarga Kudus Nasaret, ketika sekitar tiga puluh tahun hidup dalam kesederhanaan dan
tersembunyi. Sederhana dan tersembunyi, bukan berarti tidak bergaul dengan orang lain,
menyembunyikan diri dan menarik diri dari kehidupan bersama dalam masyarakat. Sederhana
dan tersembunyi dalam arti hening. Hening di hadapan Allah. Dari rumah Nasaret yang
tersembunyi, memancar sinar kasih keutamaan ilahi yang mengalir tiada henti karena ketaatan
pada kehendak Ilahi.
Patut kita ingat juga bahwa sejak masa muda Yesus membiasakan diri dengan renungan
dan doa. Dalam diriNya telah tertanam dan berkembang kebiasaan dan pendalaman doa pribadi
selama puluhan tahun di Nasaret. Dan doa Yesus mengungkapkan hubungan mesra dengan Allah
Bapa-Nya. Bagaimana kita memahami hal ini lebih dalam, yang mana peran Maria dan Yusuf
yang dalam kesederhanaan dan nampak tersembunyi mendidik dan mendampingi Yesus dalam
berdoa dan bersama Yesus Putera Ilahi, mereka berdoa dalam keheningan di tengah kesibukan
kerja.
Kita dapat membayangkan, betapa indahnya hidup dalam ketenangan dan kedamaian
dalam keluarga. Yosep bersama Yesus muda melakukan pekerjaan sehari-hari yang sederhana
sebagai tukang kayu. Maria sebagai ibu rumah tangga, hadir sebagai sosok yang dengan cinta
keibuannya merawat dan mengasuh keluarga dalam ketenangan. Ketenangan, keheningan yang
mengiringi kehidupan Keluarga Kudus Nasaret ini, memuat cinta yang besar dalam relasi yang
mesra kepada Allah dan kasih yang tulus dan penuh kepada sesama, kepada keluarga-keluarga
sekitar dan kepada seluruh bangsa manusia termasuk kita.

Ketenangan dan keheningan ini bukan hanya berlangsung satu dua hari atau satu dua
bulan, namun puluhan tahun. Maka bisa dikatakan bahwa keheningan merupakan pola hidup
keluarga Kudus Nasaret. Dari ketenangan dan keheningan itu, terlahir segala keutamaan hidup
mereka antara lain: kesabaran, ketekunan, kebaikan dan cinta, kemurahan hati dan semangat
mengampuni, kepekaan, ketabahan dalam menderita, kesetiaan, harapan dan masih banyak yang
lainnya.
Saya membayangkan, kalau Bunda Maria dan Yosep bisa sabar terhadap Yesus kecil
ketika tertinggal di bait Allah waktu berumur dua belas tahun, dan akhirnya menemukanNya
3

dan Maria hanya mengatakan, “ Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami.
BapaMu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” ( Lukas 2 : 48). Ini merupakan ungkapan
seorang ibu yang sangat sabar, tanpa kemarahan seperti umumnya terjadi pada kita bila
berhadapan dengan situasi demikian, akan sangat emosional. Ketenangan dan kesabaran Maria,
nampaknya terlahir dari keheningan batinnya.
Demikian juga, bagaimana Maria begitu peka dan prihatin dengan tuan pesta dalam pesta
perkawinan di Kana, ketika mereka kehabisan anggur. ( Yohanes 2 :1 – 11). Maria
menyampaikan kepada Yesus,“Mereka kehabisan anggur”. Tidak cuma itu, dengan penuh
keyakinan pada Puteranya, Maria memberitahukan kepada pelayan-pelayan,”Apa yang
dikatakan kepadamu, buatlah itu”. Nampak jelas, bahwa hanya dalam ketenangan dan

keheningan batin, Maria melakukan semua itu, sekaligus Maria mengenal dengan baik,
Puteranya yang pasti tidak akan menolak permintaannya. Tentu saja, ketabahan dan kesetiaan
Maria, sampai di kaki Salib terwujud sampai tuntas, juga berawal dari keheningan yang dalam.
Keheningan selama puluhan tahun di Nasaret, sebagai tukang kayu, juga telah
membentuk dan memperkembangkan hidup Yesus sebagai seorang manusia yang siap
menjalankan tugas perutusan. “ Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan
besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Lukas 2 : 52). Bagaimana bisa
bertambah besar dan bertambah hikmat? Semuanya tidak terjadi tiba-tiba tetapi melalui proses
yakni kebiasaan mendalami keheningan dan doa, dalam hubungan mesra dengan Allah.
Keheningan batin Yesus yang terpupuk dengan subur selama masa tersembunyi di Nasaret,
menumbuhkan kemampuan berdiskresi dalam diri Yesus. Maka ketika dicobai iblis di padang
gurun, Yesus tidak tergoda oleh tawaran iblis. Tentu saja, seluruh masa kehadiranNya di hadapan
umum, pewartaan-Nya sampai sengsara dan wafat-Nya, mengalir kuat dari kenyataan
keheningan yang telah terbina selama puluhan tahun hidup di Nasaret.
Keheningan memuat kegembiraan besar dan sukacita yang tak terkatakan. Keheningan
memungkinkan adanya inspirasi baru. Keheningan juga membuat budi jadi bening, raga jadi
tenang dan sehat. Keheningan melahirkan semua yang baik, yang indah, yang luhur, yang adil,
yang mulia, yang suci. Karena selain keheningan adalah bahasa Allah, keheningan adalah tanda
kehadiran Allah sendiri. Keheningan adalah Allah sendiri. Dan Allah hanya dapat ditemui,
dijumpai, disembah dalam keheningan.

Maria dan Yosep juga tentu sangat nyaman dan tentram, setiap kali dengan hening
mereka memandang Yesus. Memperhatikan dan mengikuti perkembangan hidup Yesus, sejak
bayi sampai dewasa dalam keheningan tanpa kata. Memandang saja, menampakkan kebahagiaan
dan sukacita besar bagi Maria dan Yosep. Karena Yesus adalah fokus hidup Keluarga Kudus,
maka seluruh gerak laku dan pola hidup mereka, terarah kepada Yesus. Mereka mencintaiNya
secara nyata, total, utuh, penuh dalam keheningan dengan hati yang bersahaja. Pola hidup yang
terfokus pada Yesus, pada Allah yang hadir, pada kasih Ilahi Tritunggal Kudus, menjadi jalan
keheningan Keluarga Kudus Nasaret.

III. Tantangan Keluarga Katolik dewasa ini
4

Menurut Mgr. Ign. Suharyo yang mengikuti Sinode Luar Biasa tentang Keluarga dengan
Tema: “Tantangan-tantangan Keluarga Dalam Konteks Evangelisasi”, di Roma, tanggal 5 – 20
Oktober 20143, disampaikan beberapa hal yang menjadi gambaran umun yang dihadapi oleh
keluarga-keluarga di seluruh dunia, seperti: kemiskinan, migrasi, kekerasan dalam rumah tangga,
perpisahan yang berlanjut kepada “perceraian” sipil yang pada akhirnya membuat pasutri hidup
dalam situasi yang tidak biasa, kekerasan terhadap perempuan beserta perlakuan tidak adil yang
mendahuluinya, perkawinan homoseksual, single parent dengan hak untuk mengadopsi anak dan
perkawinan beda agama.

Selain itu juga dijelaskan mengenai situasi budaya kontemporer yang semakin
menegaskan dirinya sebagai budaya individualisme yang membawa dampak dan pengaruh yang
kuat bagi “pembangunan” keutuhan keluarga. Manakala budaya ini sudah menguasi keluarga dan
hati setiap orang, maka akan sulit untuk menemukan titik temu dan kompromi dalam hidup
bersama. Hidup dalam keluarga adalah hidup yang ditandai oleh kesediaan untuk menemukan
titik temu atau berkurban bagi kepentingan keluarga dan siap melakukan kompromi bagi
kebaikan bersama.
Budaya individualisme, pada gilirannya mendorong kepada sikap dimana orang pada
akhirnya hanya mau mencari dan memenuhi apa yang menjadi keinginan pribadinya. Dengan
pola pikir semacam ini, maka sangat sulit untuk membangun dan mempertahankan suatu
komitmen dalam hidup bersama. Kehidupan keluarga adalah salah satu bentuk dimana komitemn
dari kedua belah pihak diperlukan. Komitmen, hanya mungkin bisa dilakukan jika orang rela dan
bersedia untuk “berbagi” dan mengedepankan kepentingan bersama sebagai tujuan yang hendak
dicapai secara bersama. Sayang sekali sikap individualisme telah mengikis nilai-nilai yang
diperlukan untuk “pembangunan” sebuah komitmen dalam hidup perkawinan dan keluarga.
Beberapa tantangan keluarga Katolik yang menonjol dibicarakan selama sinode luar biasa
ini antara lain4:
1. Kesetiaan Suami-Istri.
Tantangan besar yang dihadapi oleh keluarga dewasa ini adalah menyangkut soal
kesetiaan dalam kasih antara suami-istri. Sudah bukan rahasia lagi bahwa cukup banyak

pasangan Katolik pisah dan memilih hidup dengan pasangan baru. Janji kesetiaan yang
diucapkan pada waktu melangsungkan perkawinan ternyata tidak mampu dipelihara dan dihayati
dengan baik dalam keseharian hidup. Dan yang mengherankan bahwa kebersamaan hidup
dengan pasangan baru justru memberikan kebahagiaan yang lebih dibandingkan dengan
pasangan sebelumnya.
2. Iman yang semakin Lemah
Iman yang semakin lemah, sikap acuh tak acuh terhadap nilai-nilai sejati, sikap
individualisme yang semakin menguat dimana segala sesuatu diukur dari sudut pandang
individu, pada akhirnya mengarahkan orang kepada sikap relativisme. Pola pandang semacam
ini, yang merelatifkan semua hal, termasuk kebenaran iman dan moral, pada kahirnya akan
3

Disarikan dari http://www.kairos.or.id/2015/07/tantangan-keluarga-dalam-konteks

4

Dalam tulisan hanya beberapa poin saja yang dikutip

5


mengarahkan orang untuk membangun tatanan moral berdasarkan pandangan pribadi semata,
dengan demikian menolak semua hal atau pandangan lain yang tidak sesuai dengan pandangan
pribadinya. Sikap semacam ini, tentu saja membahayakan tatanan nilai dan moralitas yang sudah
diakui dan dihidupi secara bersama dalam suatu masyarakat.
Iman sebagai salah satu tatanan nilai yang ditawarkan dari luar termasuk hal yang sulit
untuk diterima dan dihayati dalam hidup pribadi. Kalaupun diterima, lebih sebatas ritualitas
belaka yang baik untuk dilakukan sebagai penegasan atas identitas personal dan komunal, tetapi
miskin pemaknaan dan penghayatan pribadi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila iman
tidak membawa dampak atau pengaruh dalam kehidupan pribadi maupun komunal.
3. Kemiskinan Relasi
Relasi yang semakin miskin dan tekanan hidup yang tidak menyisakan waktu untuk
masuk keheningan dan merenung, mempengaruhi juga hidup keluarga. Tidak jarang terjadi krisis
perkawinan yang seringkali dihadapi dengan tergesa-gesa, tidak sabar memberi waktu untuk
merenung, berkurban dan saling memaafkan. Kegagalan ini membuka pintu untuk terjadinya
relasi-relasi baru, hidup dengan pasangan baru yang didasarkan pada ikatan sipil semata dan
kemungkinan terjadinya perkawinan baru dengan pasangan baru. Dengan semua situasi tersebut,
keluarga-keluarga dimasukkan kedalam keadaan yang semakin kompleks dan penuh masalah
untuk dapat mengambil keputusan secara Kristiani dan bertanggungjawab.
4. Beban Keluarga
Diantara tantangan-tantangan tersebut diatas, juga terpikirkan mengenai beban yang
ditimpakan kepada keluarga-keluarga oleh penderitaan hidup itu sendiri. Penderitaan yang dapat
muncul karena adanya anak yang berkebutuhan khusus, sakit berat, melemahnya kesadaran
karena usia lanjut serta kematian orang yang dikasihi. Meski demikian, patut digarisbawahi
kesetiaan sekian banyak keluarga yang menghadapi cobaan-cobaan ini dengan keberanian,
pengurbanan, iman dan kasih. Mereka tidak memandangnya sebagai beban yang ditimpakan ke
atas mereka, tetapi sebagai sesuatu yang diberikan kepada mereka, sambil memandang Kristus
yang menderita dalam kelemahan jasmani. Dalam arti ini, keluarga yang demikian telah berhasil
mengatasi beban hidup itu dan bahkan telah mampu mengubahnya menjadi berkat dalam
kehidupan mereka. Beban dan penderitaan yang dialami tidak membuat keluarga semakin lemah,
justru sebaliknya, menguatkan dan memampukan mereka untuk mengubah penderitaan itu
menjadi berkat bagi hidup mereka.
5. Pemujaan Uang
Para Bapa Sinode juga berpikir mengenai kesulitan-kesulitan yang diakibatkan oleh
sistem ekonomi, yang tidak mendatangkan kesejahteraan bagi keluarhga-keluarga, tetapi
sebaliknya, justru kemiskinan. Sistim ekonomi yang bersifat impersonal, yang tidak memiliki
tujuan manusiawi sejati” seperti ditegaskan oleh Paus Fransiscus dalam Evangelii Gaudium, no.
55 telah merendahkan martabat pribadi manusia dan pada gilirannya keluarga-keluarga.
Pemujaan uang dan kediktatoran ekonomi yang sedang berkembang pesat dewasa ini telah
6

menisbikan nilai-nilai luhur manusia sebagai citra Allah dan mendegradasikannya sebatas
komoditi yang laku dijual.
Dalam kaitan dengan ini, perlu digarisbawahi meluasnya praktik prostitusi yang
dijalankan dalam bentuk profesional dan teroganisir oleh-oleh oknum tertentu, khususnya di
kalangan negara-negara berkembang dan telah mendatangkan penderitaan dan korban untuk
begitu banyak anak-anak. Senada dengan itu, human trafficking-perdagangan manusia juga
marak terjadi dan melibatkan aparat pemerintahan. Perempuan-perempuan mengalami kekerasan
serta eksploitasi.
Demikian halnya dengan anak-anak yang dilecehkan oleh orang-orang yang seharusnya
melindungi dan menjamin perkembangan mereka. Fenomen tersebut mau menegaskan dalil yang
telah disampaikan oleh Bapa Suci Fransiscus bahwa pemujaan terhadap uang yang sedemikian
kuat telah menisbikan dan merelativirkan nilai-nilai dasariah manusia: hormat terhadap martabat
manusia dan kesucian perkawinan serta keluhuran seksualitas manusia.
6. Kesulitan Pekerjaan
Para Bapa Sinode juga memberikan perhatian khusus kepada keluarga-keluarga yang
tidak mempunyai pekerjaan tetap. Konsekuensi yang muncul dari situasi itu, bahwa keluargakeluarga semacam itu, bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk anggota keluarga
mereka. Lebih lanjut, situasi yang demikian itu tentu membawa konsekuensi yang lebih jauh.
Konsekuensi logis yang muncul dari situasi itu, tidak hanya membawa dampak jangka pendek
berupa tidak terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar bagi suatu keluarga: pangan, sandang
dan papan; tetapi juga membawa pengaruh yang serius untuk masa depan anak-anak.
Karena ketiadaan biaya, pendidikan anak-anak akan terbengkalai. Pada gilirannya hal ini
akan menciptakan suatu “lingkaran setan” bagi kesejahteraan segenap anggota keluarga. Kita
selalu meyakni bahwa pendidikan adalah pintu masuk (entry point) menuju kepada suatu
perubahan, termasuk didalamnya kesempatan untuk mengubah masa sekarang yang dinilai
kurang baik ke arah yang lebih baik. Tidak mengherankan dalam situasi semacam itu, orangorang muda memandang ke masa depan dengan harapan kosong dan rentan menjadi korban obat
bius dan kejahatan.
7. Keluarga dan Budaya Kemakmuran
Budaya kemakmuran yang menguasai dunia dewasa ini, di satu sisi menawarkan begitu
banyak bentuk kenyamanan dan kemakmuran kepada keluarga-keluarga; namun dari sisi lain,
budaya yang sama telah mematikan perasaan kita. Kita bergairah ketika pasar menawarkan
sesuatu yang baru untuk dibeli; namun pada saat yang sama, mereka yang hidupnya terhambat
karena kurangnya kemampuan dan kesempatan untuk dapat membeli dan memilikinya, tawarantawaran itu tampak hanya sekedar sebuah tontonan belaka yang baik untuk dipandang tetapi
terlalu “jauh” untuk dapat diraih. Oleh karena itu, budaya semacam itu ternyata tidak mampu
menggerakkan hati keluarga-keluarga yang secara ekonomi tidak tergolong kedalam keluarga
yang berada (bdk.Evangelii Gaudium 54).
7

Berhadapan dengan situasi yang demikian itu, para Bapa Sinode menghimbau
pemerintah-pemerintah dan organisasi-organisasi internasional untuk mempromosikan hak-hak
keluarga, memberikan perlindungan dan bantuan finansial agar keluarga dapat memenuhi
kebutuhan dan kewajiban dasarnya sebagaimana yang diamanatkan oleh St. Joh Paul II, yakni
menjadi “komunitas cinta” (bdk. Familiaris Consortio, no. 18).
8. Keluarga mengalami Krisis Budaya
Krisis budaya terkait dengan semakin menguatnya budaya individualisme yang dihayati
oleh masyarakat luas dan umat Katolik. Dalam budaya individualisme, yang mewujud dalam
penguatan otonomi manusia, dimana nilai-nilai dan kebenaran individual dimutlakkan membuat
orang sulit untuk menerima sistim nilai yang datang atau ditawarkan dari luar, termasuk nilainilai yang diajarkan oleh Gereja. Demikian juga, upaya untuk meyakinkan orang lain akan
kebenaran yang diyakini oleh Gereja mengalami benturan dan halangan yang kuat manakala
kebenaran yang disampaikan itu berbeda dengan kebenaran yang diyakini secara individual.
Dalam perspektif ini, dengan mudah dapat dimengerti mengapa orang pada zaman ini
semakin sulit untuk menerima nilai-nilai tradisional perkawinan, seperti kesetiaan dalam
perkawinan, monogami dan tidak terputusnya ikatan perkawinan. Manakala otonomi manusia
dimutlakkan, maka satu-satunya kebenaran yang ada adalah kebenaran yang bersifat individual,
dan dalam pemahaman semacam itu, tidak dimungkinkan adanya keterbukaan sikap terhadap
penerimaan nilai yang datang dari luar. Inilah krisis budaya yang dialami oleh keluarga zaman
sekarang ini. Di satu sisi ada tuntutan untuk menghayati nilai-nilai dan kebenaran ajaran Gereja
tentang perkawinan dan hidup keluarga, namun dari sisi lain, berkembang sikap dan pola pikir
yang ingin menegasikan semua tatanan nilai yang berasal dari luar, termasuk yang disampaikan
oleh Gereja.
IV. Keheningan adalah memaknai peristiwa sehari-hari dengan kehadiran Allah.
Allah itu sangat dekat dengan kita, menjadi dasar ada dan hidup kita, tetapi Allah tampak
jauh karena ulah kita dan cara hidup kita. Dengan memberi gelar maharahim pada Allah, berarti
kita mengakui ada kasih yang lebih dari kasih sayang ibu yang ada pada Allah. Nabi Yesaya
dengan bagus memberikan sebuah perbandingan hubungan ibu-anak dengan Allah-manusia yang
menggambarkan Allah yang maharahim itu (Yes.49:15): “Mungkinkah seorang ibu melupakan
bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun ia melupakannya,
Aku (Allah) tidak akan melupakan engkau”.
Maka kalau kita sungguh ingin mengenali Allah dalam hidup kita sehari-hari, kita sendiri
yang harus mengubah sikap dan cara hidup kita. Sikap dan cara hidup mana yang perlu berubah?
Mari kita amati diri kita sejenak. Bahwa kita sulit mengalami Tuhan dalam hidup sehari-hari,
antara lain sebab utamanya ada 2, yaitu pertama karena kita tak dapat hening dan kedua karena
penghayatan hidup kita dangkal. Dua hal tersebut sangat erat berhubungan. Karena hanya dalam
keheningan diri, iman dapat tumbuh dan makin kokoh. Maka kalau mau berubah, kita perlu
mulai dengan menata diri supaya ada waktu hening dalam hidup kita sehari-hari, sehingga diri
kita dapat menjadi hening menghadapi situasi dan Allah sendiri.
8

Kita sulit untuk hening, karena telah membiasakan diri untuk “tidak hening”. Dalam
keluarga, misalnya, kalau sampai di rumah dan tak ada suara, kita merasa gelisah, lalu
menghidupkan radio, TV, browsing internet, atau membaca koran dan majalah yang menarik
indera kita. Waktu yang sebenarnya dapat dipakai untuk hening, malah diisi dengan suara atau
kesibukan macam-macam.
Sebenarnya hening yang dimaksud, adalah heningnya diri kita sebagai pribadi. Dengan
tiadanya suara yang menggangu, keheningan pribadi lebih mudah dicapai, lebih-lebih bagi kita
yang sedang melatih diri untuk hening. Diri kita hening kalau budi kita tidak dikacaukan oleh
segala macam pikiran dan hati kita tidak diombang-ambingkan oleh segala macam kecemasan
dan perasaan. Keheningan budi dan hati mempermudah kita untuk memusatkan perhatian kita
kepada Allah dalam doa, mendengarkan SabdaNya dalam hati-nurani, dan melihat peristiwa
yang sedang terjadi dengan mata iman.
Suatu peristiwa kecelakaan lalu-lintas, umpamanya dapat membuat mereka yang ada
dalam peristiwa itu menjadi hening. Meski yang dialami sama, dalam satu kendaraan yang sama,
luka yang diderita dapat berbeda, demikian pula pengalamannya dengan Tuhan dapat berbeda.
Ada yang biasa-biasa saja; ada yang bersyukur kepada Tuhan yang masih melindungi dia
sehingga masih hidup, sehingga menumbuhkan niat ingin berbakti kepada Tuhan lebih banyak
lewat perbuatan kasih kepada orang miskin; ada yang sibuk dengan kesadarannya bahwa ia
dalam keadaan berdosa, dan Allah masih memberi waktu untuk bertobat. Peristiwa kecelakaan
membuat orang tidak memikirkan apa-apa (hening budi dan hatinya) kecuali berpikir tentang
TuhanNya lalu bersyukur atau bertobat. Orang yang menderita sakit, apalagi kalau harus
menjalani operasi, situasi demikian menimbulkan situasi hening dalam budi dan hati, karena
perhatian hanya tertuju kepada Tuhan yang dimohon untuk menyembuhkan atau mendampingi
saat operasi, supaya berhasil baik.
Tetapi kita tidak perlu menunggu kecelakaan atau sakit. Kita dapat membuat situasi
hening bagi diri kita, agar dapat berdoa dengan baik, dan dengan demikian pasti makin peka
terhadap kehadiran Allah yang sangat dekat bagi kita. Setelah rekoleksi atau retret, semangat kita
untuk mau berdoa dengan baik bisa berkobar. Kita dapat melihat banyak hal bahwa yang kita
hidupi sehari-hari perlu diperbaiki. Tetapi setelah sampai di rumah, dan melaksanakan hidup
sehari-hari seperti biasanya, kurang waktu untuk berdoa karena sangat sibuk, lama-lama
keadaannya kembali sama seperti sebelum rekoleksi. Hidup asal hidup. Penghayatan iman
kembali dangkal, karena tak ada keheningan budi dan hati yang menjadi dasar untuk
memnghayati hidup secara lebih mendalam.
Yang kedua, kita sulit mengalami Tuhan dalam hidup sehari-hari, kalau kita menghayati
hidup hanya sejauh dapat dirasa, diraba, serta dilihat. Tak pernah melatih diri untuk melihat lebih
dalam, dan menemukan Allah Pencipta yang sudah banyak berkarya bagi hidup kita selama ini.
Dapat hidup dan bernafas diandaikan begitu saja, sehingga tidak bersyukur kepada yang
berkuasa terhadap kehidupan. Dapat makan enak dengan aneka macam rasa yang dapat
dinikmati, juga tidak pernah dikagumi. Ia hidup begitu-begitu saja, bahkan berdoa pun menjadi
rutin tanpa makna.
9

Kalau ini masalahnya, maka kita perlu melatih diri untuk hening, dengan menyediakan
waktu hening barang empat atau lima menit setiap mau tidur dalam doa malam. Waktu hening
dapat dipakai untuk mengingat-ingat apa yang telah kita kerjakan, bagaimana kita kerjakan,
dipersembahkan juga kepada Allah atau tidak. Memberi waktu sejenak untuk mengagumi
indahnya bunga anggrek, mawar dan bunga lainnya, memberi perhatian sejenak pada
pemandangan indah, apalagi waktu matahari terbit atau terbenam, itu semua memudahkan kita
membawa lebih lanjut sampai pada Allah yang mengadakan, menciptakan, menopang dan
menumbuhkannya. Kebiasaan seperti ini perlu dibangun dan akan berguna banyak, untuk
mengembangkan hubungan pribadi kita dengan Allah yang semakin personal.
Salah satu musuh besar kita ialah rutinitas. Hal yang berkali-kali dibuat menjadi makin
kurang bermakna menuju tak bermakna sama sekali. Kebiasaan memang mempermudah
pelaksanaan tugas, tetapi juga dapat membuat kurang bermakna. Maka kita perlu menentukan
waktu untuk sesekali tidak rutin. Umpama hari Minggu atau hari libur selalu kita jadikan hari
istimewa, dimana sebagai keluarga kita akan berdoa secara istimewa (bukan panjangnya,
melainkan intensitas hati dengan penuh perhatian); kita akan menikmati makanan dan minuman
secara istimewa, lebih-lebih karena sambil mengingat Allah yang telah menciptakan kita dan
makanan serta minuman yang ada. Allah yang membimbing bangsa Israel telah menetapkan hari
Sabat menjadi hari Tuhan, dimana orang tidak bekerja seperti hati-hari biasa. Sehingga menjadi
hari istimewa dan dapat menyegarkan iman.
Ada doa sederhana tetapi bagus dan memberi inspirasi bagaimana kita dapat dekat
dengan Allah Pencipta kita:
“Tuhan, perlambatlah langkah hidup kami, yang selalu tergesa-gesa. Kami memandang,
mendengarkan, merasakan, menangkap segalanya serba cepat, sepintas saja di permukaan.
Tumbuhkan dalam lubuk hati kami, keinginan untuk berhenti sejenak. Agar kami mampu
melihat, mendengar, merasa dan menangkap dengan cara yang lebih mendalam, menerobos
permukaan, menukik sampai ke jati diri, mampu menemukan keindahan dan kebenaran di
dalamnya, yang ditopang oleh daya cipta dan kebijaksanaanMu sendiri. Ajarilah kami,
menikmati hidup ini dengan segala kemampuannya. Buatlah kami mampu hadir dan
menyaksikan dengan penuh syukur karunia-karunia yang telah menjadi milik kami sebagai
keluarga, sehingga kami mampu menemukan Dikau, Allah Tuhan kami dalam segala yang ada,
pada peristiwa yang kami jumpai. Sehingga kami dapat menikmati, berbahagia, menghayati dan
merayakan hidup ini dalam kedalaman misterinya, yaitu dalam kuasa, dan kesatuan hidup
dengan Dirimu, ya Tuhan. Kini dan Sepanjang masa. Amin.”
V. Latihan-latihan praktis untuk memasuki keheningan5
1. Latihan “titik nol”.
2. Latihan “kotak/laci penyimpanan”.
3. Latihan “tarian keheningan”.

5

Diajarkan pada saat materi ini dibahas.

10

11