Makna Jahl Dalam Al Quran Perspektif Taf

JAHL DALAM AL-QUR´AN
DALAM PESRPEKTIF KITAB AL-QUR´AN DAN TAFSIRNYA (EDISI YANG
DISEMPURNAKAN)
MAKALAH
DIPRESENTASIKAN DALAM DISKUSI MATA KULIAH
“ TAFSIR KEINDONESIAAN “

DOSEN:
PROF. DR. H. ASWADI, M.AG

DISUSUN OLEH:
DELTA YAUMIN NAHRI
NIM: FO 3314011

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
PROGRAM PASCASARJANA (S3)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2014

1


BAB I
PENDAHULUAN
Makalah ini berusaha untuk mengekplorasi makna jahl yang dideskripsikan
oleh al-Qur´an dengan berbagai bentuk kata dan konteksnya melalui pendekatan
tematik (al-afsi>r al-mawd}u>’iy). Kemudian dikonfrontasikan dengan menggunakan
kitab tafsir yang dimiliki Kementrian Agama “Al-Qur´an dan Tafsirnya (Edisi yang
Disempurnakan).”

Dengan

harapan

bahwa

pengungkapan

makna

tersebut


menghasilkan kesimpulan yang dapat dijadikan sumbangsih pemikiran sekaligus
petunjuk operasional dalam kehidupan. Karena pada dasarnya sejarah manusia
dengan segala problematika serta sebab akibatnya berulang1 dari satu waktu ke
waktu, dan pengetahuan menjadi pintu awal menuju perubahan. Dengan
diungkapkan berbagai kisah yang dilalui oleh umat-umat terdahulu serta akibat yang
timbul dari perbuatan dan keingkaran mereka, maka kita yang hidup kemudian dapat
mengambil

pelajaran

dari

peristiwa-peristiwa

tersebut.

Sehingga

dapat


menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela dan melaksanakan hal-hal yang
terpuji agar apa yang dialami oleh umat yang lalu itu tidak terulang lagi di masa
kini.2 Umumnya pola kesalahan yang berulang dari satu umat ke umat lainnya
bermuara pada satu sebab yaitu jahl / kebodohan. Baik bodoh karena tidak adanya
ilmu terhadap Allah dan ajarannya ataupun bodoh karena meyakini sesuatu yang
tidak pantas diyakini, musyrik misalnya. Lebih-lebih bodoh karena meyakini bahwa
yang dilakukannya adalah kebenaran meskipun hakikatnya dia mengetahui bahwa
itu salah, sebagaimana kaum Lut. Hal ini jika dikaitkan dengan pemikiran alAs}faha>niy ketika beliau mengartikan lafal jahl dalam al-Qur´an.3

1

Quraish Shihab menukil pemikiran Syeikh Muhammad Mutawalli> al-Sha’ra>wiy yang menyimpulkan
bahwa : “Bila al-Qur´an menyebut nama tokoh dalam konteks kisahnya, maka itu menunjukan
bahwa peristiwa serupa tidak akan terulang, tetapi bila tidak menyebut nama tokohnya maka
peristiwa serupa atau semakna berpotensi terulang.” M Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat,
Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahu dalam Memahami al-Qur´an (Jakarta: Lentera Hati,
2013) 14.
2
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakart: Pustaka Pelajar, 2011), 239.
3

Al-Ra>ghib al-As}faha>niy, Mufrada>t al-Alfa>z} al-Qur’a>n (Damaskus: Da>r al-Qalam, 2011), 209.

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. AL QURAN DAN TAFSIRNYA (EDISI YANG DISEMPURNAKAN)
1. Latar Belakang Penulisan
Al-Qur´an adalah kitab suci bukan untuk satu generasi tertentu tapi untuk
beberapa generasi, dan bukan untuk bangsa Arab saja melainkan untuk segenap umat
manusia,

termasuk

didalamnya

adalah

bangsa


Indonesia

terutama

kaum

Musliminnya, sebagaimana firman Allah:

‫ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥﭦ‬
Artinya: “Al Qur´an ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu memberi peringatan
kepadamu dan kepada orang yang (al-Qur´an ini) sampai kepadanya.”4
Dalam hal ini, para ulama di satu daerah mempunyai tanggung jawab yang
besar dalam memasyarakatkan al-Qur´an. Berkaitan dengan ini, Departemen Agama
Republik Indonesia mempunyai tugas sosialisasi Kitab Suci Al Qur´an kepada
seluruh umat Islam di Indonesia. Salah satu cara sosialisasi tersebut adalah dengan
menerjemahkannya kedalam bahasa Indonesia.5 Namun demikian, bagi mereka yang
hendak mempelajari al-Qur´an secara lebih mendalam tidak cukup dengan sekedar
terjemah, melainkan juga diperlukan adanya tafsir al-Qur´an, dalam hal ini tafsir alQur´an dalam bahasa Indonesia. Untuk menghadirkan tafsir al-Qur´an, Menteri
Agama membentuk tim penyusun Al-Qur´an dan Tafsirnya yang disebut Dewan
Penyelenggara Pentafsir al-Qur´an yan diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H.

dengan KMA No. 90 Tahun 1972, kemudian disempurnakan dengan KMA No. 8
tahun 1973 dengan ketua tim Prof. H. Bustami A. Gani dan selanjutnya

4
5

Al-Qur’an, 6: 19.
Kementerian Agama RI, Al Qur´an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan): Mukadimah
(Jakarta: Widya Cahaya, 2011), xxxiii.

3

disempurnakan dengan KMA No. 30 Tahun 1980 dengan ketua tim Prof. K.H.
Ibrahim Hosen, LML.6
Percetakan pertama kali dilakukan pada tahun 1975 secara bertahap berupa
jilid I yang memuat juz 1 sampai dengan juz 3, kemudian menyusul jilid-jilid
selanjutnya pada tahun berikutnya. Untuk pencetakan secara lengkap 30 juz baru
dilakukan pada tahun 1980 dengan format dan kualitas yang sederhana. Kemudian
pada


penerbitan

berikutnya

secara

bertahap

dilakukan

perbaikan

atau

penyempurnaan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al
Qur´an – Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan. Perbaikan agak
luas pernah dilakukan pada tahun 1990, tetapi juga tidak mencakup perbaikan yang
sifatnya substansial, melainkan lebih banyak pada aspek kebahasaan. Selanjutnya,
dalam rangka upaya penyempurnaan tafsir al-Qur´an secara menyeluruh, Menteri
Agama RI dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 280 Tahun 2003

membentuk tim penyempurna yang diketuai oleh Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad,
MA dengan anggota terdiri dari para cendikiawan dan ulama ahli al-Qur´an yang
menjadi guru besar di berbagai perguruan tinggi agama Islam di Indonesia, dengan
terget setiap tahun dapat menyelesaikan 6 juz sehingga diharapkan akan selesai
seluruhnya pada tahun 2007. 7
Penyempurnaan tafsir al-Qur´an secara menyeluruh dirasakan perlu sesuai
perkembangan bahasa, dinamika masyarakat sertai ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) yang mengalami kemajuan pesat bila dibanding saat pertama kali tafsir
tersebut diterbikan sekitar 30 tahun yang lalu. Namun demikian, Ketua Tim
Penyempurnaan, Ahsin Sakho Muhammad menegaskan bahwa, “yang demikian itu
bukan berarti tafsir yang sudah ada sudah tidak relevan lagi untuk kondisi saat ini,
tapi ada beberapa hal yang perlu diperbaiki agar pembaca mendapatkan hal-hal yang
baru dengan gaya bahasa yang cocok untuk kondisi masa kini.”8

6

Ibid., xxi.
Ibid., xxii.
8
Ibid., xxxiii.

7

4

2. Eksekusi Kepenulisan dan Tim Penulis
Dalam upaya menyediakan kebutuhan masyarakat di bidang pemahaman alQur´an, yakni melakukan upaya penyempurnaan tafsir al-Qur´an yang bersifat
menyeluruh, Departemen Agama mengawali kegiatan tersebut dengan Musyawarah
Kerja Ulama Al-Qur´an pada tanggal 28 s.d. 30 April 2003. Muker tersebut
merekomendasikan oerlunya dilakukan penyempurnaan Al-Qur´an dan Tafsirnya

Departemen Agama serta merumuskan pedoman penyempurnaan tafsir yang
kemudian menjadi acuan kerja tim tafsir dalam melakukan tugas-tugasnya, termasuk
jadwal penyelesaian.9 Rumusan pedoman itu meliputi:
1.

Aspek Bahasa, yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
bahasa Indonesia pada zaman sekarang

2.


Aspek substansi, yang berkenaan dengan makna dan kandungan ayat

3.

Aspek muna>sabah dan asba>b al-nuzu>l

4.

Aspek penyempurnaan hadis, melengkapi hadis dengan sanad dan ra>wiy

5.

Aspek transliterasi yang mengacu kepada Pedoman Transliterasi Arab-Latin
berdasarkan SKB dua Menteri tahun 1987

6.

Dilengkapi dengan kajian ayat-ayat kauniyah yang dilakukan oleh tim pakar
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


7.

Teks ayat al-Qur´an menggunakan rasm ‘ Uthma>niy, diambil dari Mushaf alQur´an Standar yang ditulis ulang

8.

Terjemah al- Qur´an menggunakan Al-Qur´an dan Terjemahnya Departemen
Agama yang Disempurnakan (Edisi 2002)

9.

Dilengkapi dengan kosakata yang fungsinya menjelaskan makna lafal tertentu
yang terdapat dalam kelompok ayat yang ditafsirkan

10. Pada bagian akhir setiap jilid diberi indeks
11. Diupayakan membedakan karakteristik penulisan teks Arab, antara kelompok
ayat yang ditafsirkan, ayat-ayat pendukun dan penulisan teks hadist.10

9

Ibid., xxvi.
Ibid.

10

5

Adapun Sebagai tindak lanjut dari Muker Ulama al-Qur´an dan juga
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 280 Tahun 2003menetapkan Tim
Penyempurnaan dengan susunan sebagai berikut:
1.

Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar

Pengarah

2.

Prof. Dr. H. Fadhal AE. Bafadhal, M.Sc.

Pengarah

3.

Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, M.A.

Ketua /anggota

4.

Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.

Wakil Ketua /anggota

5.

Drs. H. Muhammad Shohib, M.A.

Sekretaris / anggota

6.

Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, M.A

Anggota

7.

Prof. Dr. H. Salman Harun

Anggota

8.

Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi

Anggota

9.

Dr. H. Muslih Abdul Karim

Anggota

10. Dr. H. Ali Audah

Anggota

11. Dr. Muhammad Hisyam

Anggota

12. Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA.

Anggota

13. Prof. Dr. H.M. Salim Umar, M.A.

Anggota

14. Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA

Anggota

15. Drs. H. Sibli Sardjaja, LML

Anggota

16. Drs. H. Mazmur Sya’roni

Anggota

17. Drs. H.M. Syatibi AH>.

Anggota

Staf Sekretariat:
1. Drs. H. Rosehan Anwar, APU
2. Abdul Azz Sidqi, M.Ag
3. Jonni Syatri, S.Ag
4. Muhammad Musaddad, S.TH.I
Tim tersebut didukung oleh Menteri Agama selaku Pembina, K.H. Sahal
Mahfudz, Prof. K.H. Ali Yafie, Prof. Drs. H. Asmuni Abd. Rahman, Prof. Drs. H.
Kamal Muchtar, dan K>.H. Syafi’I Hadzami (Alm) selaku Penasehat, serta Prof . Dr.

6

H.M. Quraish Shihab dan Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, MA selaku
Konsultan Ahli/Narasumber.11
Sebagai respon atas saran dan masukan dari para pakar, penyempurnaan
Tafsir Al Qur´an Departemen Agama telah memasukan kajian ayat-ayat kawniyah
atau kajian ayat dari perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini
dilakukan oleh tim pakar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu:12
1.

Prof. Dr. H. Umar Anggara Jenie, Apt, M.Sc.

Pengarah

2.

Dr. H. Hery Harjono

Ketua/Anggota

3.

Dr. H. Muhammad Hisyam

Sekretaris/Anggota

4.

Dr. H. Hoemam Rozie Sahil

Anggota

5.

Dr. H. A. Rahman Djuwansah

Anggota

6.

Prof. Dr. Arie Budiman

Anggota

7.

Ir. H. Dudi Hidayat, M.Sc.

Anggota

8.

Prof. Dr. H. Syamsul Farid Ruskanda

Anggota

3.

Metode Penafsiran
Kitab Al-Qur´an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) berisi 30 juz

ayat-ayat al-Qura>n yang terbagi menjadi 10 jilid berukuran besar plus satu jilid
Mukadimah Al-Qur´an dan Tafsirnya. Pada setiap jilidnya berisi tiga juz. Pada tahun
2007 tim tafsir telah menyelesaikan serluruh kajian dan pembahasan juz 1 s.d. 20,
yang hasilnya diterbitkan secara bertahap. Pada tahun 2004 diterbitkan juz 1 s.d. 6,
pada tahun 2005 telah diterbitkan juz 7 s.d. 12 dan pada tahun 2006 diterbitkan juz
13 s.d. 18, pada tahun 2007 juz 19 s.d. 24, dan pada tahun 2008 diterbitkan juz 25
s.d. 30 beserta Mukaddimahnya.
a. Sumber Penafsiran

11
12

Ibid.
Ibid.

7

Sumber penafsiran yang digunakan dalam Kitab Al-Qur´an dan Tafsirnya
(Edisi yang Disempurnakan) adalah: bi al-ma’thu>r,13 baik menafsirkan al-Qur’a>n
dengan al-Qur’a>n maupun dengan hadis/riwayat. Karena hampir disetiap ayat
ditafsirkan dengan ayat al-Qur´an lainnya. Sebagai contoh saat menafsirkan lafal

‘Shayt}a>n’ didalam al-Quran, 2:36 menafsirkan dengan al-Qur´an, 6:112.14 Dan
saat menafsirkan ayat riba di dalam al-Quran, 2:275 mencantumkan hadits-hadits
terkait riba.15 Lebih jauh, sumber bi al-ma’thu>r pada kitab ini dilengkapi dengan
pandangan ulama-ulama tafsir sebelumnya-meskipun terhitung sedikit- dan
diperkuat dengan kajian ayat-ayat kawniyah, yakni perspektif dan penemuan
ilmiah (IPTEK) secara sederhana sebagai refleksi kemajuan teknologi yang
sedang berlangsung saat ini dan juga untuk mengemukakan kepada beberapa
kalangan saintis bahwa al-Qur´an berjalan beriringan bahkan memacu kemajuan
teknologi. Misalnya saat menafsirkan al-Qur´an 2:172 dipaparkan tentang
bahaya babi secara fakta ilmiah.16 Metode penafsiran yang bersumber dari
penggabungan tersebut lazim dinamakan bi al-iqtira>n (memadukan antara bi al-

ma’thu>r dan bi al-ra’y). 17 Dengan corak penafsiran ‘Ilmiy.
b. Sasaran dan Tertib Ayat yang Ditafsirkan
Dari objek yang ditafsirkan, karya ini mengikuti alur tertib urutan
ayat/surat yang menjadikannya tergolong kepada tafsir tah}li>li> (analitik), yaitu

13

Yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’thu>r adalah tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an atau asSunnah atau pendapat para sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah Swt
tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan as-Sunnah an-Nabawiyah, dengan demikian tafsir ini
adakalanya menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah

atau menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat yang yang dikutip dari para sahabat. Lihat
Muhammad ‘Abd al-‘Az}im
> al-Zarqani>, Mana>hil al-‘Irfa>n, Vol. I. (al-Nashr wa al-Tauzi’: Da>r alFikr, tt), 12. Lihat juga, Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> ‘Ulu>m al-Qur’an (Surabaya: al-Hida>yah,
1973), 347.
14
Kementerian Agama RI, Al Qur´an…, vol. 1, 85.
15
Ibid., 420.
16
Ibid., 253.
17
Tafsir bi al-ra’yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran
mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang
ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asba>b al-nuzu>l, al-na>sikh wa al-mansu>kh, dan
sebagainya. Lihat, Muhammad Husayn al-Dhahabi>, al-Tafsi>r al-Mufassiru>n (Kairo: Dar al-H}adith,
2005), Vol. 1. 221. Lihat juga, Ridwan Nasir, Memahami Al-Qura>n, Perspektif Baru Metodologi
Tafsir Muqa>rin, (Surabaya, CV. Indra Media, 2003), 15

8

salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat alQura>n dari seluruh aspeknya,18 dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat alQur’a>n sebagaimana tercantum dalam mus}h}af.19 Tim Penulis berusaha
menjelaskan kandungan al-Qura>n dengan menyajikan bahasan sesuai dengan
tema pokok surah. Hal ini mirip dengan metode yang digunakan Quraish Shihab
dalam Tafsir al-Misbah. Wajar saja mengingat beliau diposisikan sebagai
Konsultan Ahli/ Narasumber bersama Said Agil Al Munawar. Menurutnya,
dalam setiap surat al-Qura>n pasti terdapat tema pokok yang dibahas. Dengan
memperkenalkan 114 surah beserta intinya, al-Qura>n akan mudah dikenal dan
dipahami oleh masyarakat.20
c. Keluasan Penjelasan dan Sistematika Penafsiran
Penjelasan yang dihidangkan Tim Penulis tergantung konteks ayat yang
disajikan. Penyajian penafsiran ayat yang berbicara sejarah berbeda dengan ayat
yang bernuansa kawniyah. Namun demikian, cakupan penjelasan yang terdapat
pada kitab tafsir ini tidak lebih luas jika dibandingkan dengan kitab tafsir

tahli>liy lainnya semisal Al Misbah Karya M. Quraish Shihab lebih-lebih yang
berbahasa

Arab.

Hal

ini

menjadi

sandaran

bagi

penulis

untuk

menggolongkannya –dari sisi keluasan penjelasan- sebagai al-tafsi>r al-ijma>liy.
Demikian ini karena ketika menafsirkan suatu ayat atau surat al-Qur’a>n, Tim
Penulis menjelaskannya dengan porsi yang terkesan biasa. Bisa jadi, yang
demikian ini, dimaksudkan agar karya ini bisa diterima secara luas bukan hanya
mereka yang memang kecenderungannya pada kajian tafsir. Sebagai contoh
misalnya, penjelasan kosa kata sangat minim, rata-rata hanya satu kosakata
yang dijelaskan dari setiap ayatnya. Nampaknya mereka tidak ingin terjebak
dalam penjelasan bahasa. Selain tujuan diatas juga dikarenakan tidak
dirumuskan dalam pedoman penyempurnaan tafsir oleh Musyawarah Kerja
Ulama Al Qur´an yang menjadi acuan kerja tim tafsir.
18

Abd. Al-H{ayy Al-Farmawi, Al-Bida>yah Fi> Tafsi>r al-Maud}u’i>, (Kairo: Al-H{ad}a>rah Al-‘Arabiah,
1977), 23
19
Mohammad Bukhori, “Jahiliyah dalam al-Qur’a>n; Studi Komparatif Interpretasi Sayyid Qut}ub”, 52.
20
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol I. (Jakarta: Lentera Hati, 2007), xii.

9

Sistematika penulisan penafsiran dimulai dengan pemberian judul yang
disesuaikan dengan kandungan kelompok ayat yang akan ditafsirkan, kemudian
menuliskan kelompok ayat terlebih dahulu dengan rasm standar dari Mushaf
Standar Indonesia yang sudah banyak beredar. Langkah berikutnya adalah
menerjemahkan

kelompok

ayat

dengan

menggunakan

Al-Qur´an

dan

Terjemahnya edisi 2002 yang telah diterbitkan oleh Kementerian Agama tahun
2004. Kosakata dan Muna>sabah (korelasi antar ayat) juga tidak dilupakan oleh
Tim sebelum ia menafsirkan ayat demi ayat dengan berpijak pada nas}-nas} yang

s}ah{i>h}. Muna>sabah yang digunakan dalam tafsir ini terbatas pada dua macam
saja, yaitu muna>sabah antar satu surat sebelumnya dan muna>sabah antar
kelompok ayat sebelumnya. Jika ayat tersebut terdapat sabab al-nuzul juga
dicantumkan setelah pembahasan muna>sabah. Baru kemudian menafsirkan ayat
dan ditutup dengan kesimpulan dengan menggunakan bahasa yang lugas dan
ringkas. Di samping itu, terkadang mengaitkan isi kandungan al-Qur’a>n dengan
problematika kehidupan masa kini, sebagai contoh saat menjelaskan ayat riba>.
Hanya saja penjelasan ayat riba> terlalu tekstual, mendeskripsikan hadits-hadist
terkait kemudian mengambil kesimpulan singkat bahwa bunga bank adalah
bagian dari riba>. Seharusnya lebih kontekstual dengan menjelaskan berbagai
bentuk bunga / riba> yang berkembang saat ini, yang hampir sulit dibedakan
mana yang haram dan mana yang dibolehkan.
B. AYAT-AYAT JAHL DALAM AL-QURAN
1.

Struktur Ayat-ayat Jahl Dalam al-Qur´an
Pengungkapan kata jaha>lah dengan berbagai bentuknya (ishtiqa>q) tersebar

dalam 17 surat dengan total penyebutan mencapai 24 ayat. Pertama, dalam bentuk

mas}dar (invinitif, kata benda yang tidak terkait dengan waktu) sebanyak sembilan
kali. Kedua, dalam bentuk fi’il mud}a>ri’ (kata kerja yang menunjukkan waktu
sekarang, sedang berlangsung, atau akan berlangsung) sebanyak lima kali. Ketiga,
dalam bentuk ism fa>’il (pelaku/subyek) sebanyak sepuluh kali. Dari 24 ayat tersebut,

10

15 diantaranya makkiyah, dan sisanya madaniyah. Berikut tabel lengkap sesuai
dengan urutan kronologi turunnya wahyu.21
No

21

Nama

No

No

Makkiah /

Urutan

Surat

Surat

Ayat

Madaniah

Wahyu

Istihqa>q

1

Al A’ra>f

7

138

Makkiah

39

mud}a>ri’

‫جتهلون‬

2

Al A’ra>f

7

199

Makkiah

39

ism fa>’il

‫اجلاهلني‬

3

Al Furqa>n

25

63

Makkiah

42

ism fa>’il

‫اجلاهلون‬

4

Al Naml

27

55

Makkiah

48

mud}a>ri’

‫جتهلون‬

5

Al Qas}as

28

55

Makkiah

49

ism fa>’il

‫اجلاهلون‬

6

Hu>d

11

29

Makkiah

52

mud}a>ri’

‫جتهلون‬

7

Hu>d

11

46

Makkiah

52

ism fa>’il

‫اجلاهلني‬

8

Yu>suf

12

33

Makkiah

53

ism fa>’il

‫اجلاهلني‬

9

Yu>suf

12

89

Makkiah

53

ism fa>’il

‫جاهلون‬

10

Al An’a>m

6

35

Makkiah

55

ism fa>’il

‫اجلاهلني‬

11

Al An’a>m

6

54

Makkiah

55

Mas}dar

‫جهالة‬

12

Al An’a>m

6

111

Makkiah

55

mud}a>ri’

‫جيهلون‬

13

Al Zumar

39

64

Makkiah

59

ism fa>’il

‫اجلاهلون‬

14

Al Ah}qa>f

46

23

Makkiah

66

mud}a>ri’

‫جتهلون‬

15

Al Nah}l

16

119

Makkiah

70

Mas}dar

‫جهالة‬

16

Al Baqarah

2

67

Madaniah

87

ism fa>’il

‫اجلاهلني‬

Disusun berdasarkan software ‘Zekr’ version 1.1.0. http://zekr.org

11

17

Al Baqarah

2

273

Madaniah

87

ism fa>’il

‫اجلاهل‬

18

Ali ‘Imran

3

154

Madaniah

89

Mas}dar

‫اجلاهلية‬

19

Al Ah}za>b

33

33

Madaniah

90

Mas}dar

‫اجلاهلية‬

20

Al Ah}za>b

33

72

Madaniah

90

Mas}dar

‫جهوال‬

21

Al Nisa>

4

17

Madaniah

92

Mas}dar

‫جهالة‬

22

Al H{ujura>t

49

6

Madaniah

106

Mas}dar

‫جهالة‬

23

Al-Fath}

48

26

Madaniah

111

Mas}dar

‫اجلاهلية‬

24

Al Ma>idah

5

50

Madaniah

112

Mas}dar

‫اجلاهلية‬

Diantara kata yang yang merupakan sinonim jahl adalah safaha. Kata
(‫ )سفه‬safaha berasal dari kata (‫ )س – ف – ه‬sa-fa-ha yang berarti
bodoh/merendahkan/tolol.22 Di dalam al-Qur’an kata safaha disebutkan
sebanyak 10 kali. Pada ayat-ayat tersebut kata safaha (‫ )سفه‬menurut versi
DEPAG diartikan dengan bodoh atau kurang akal atau lemah akalnya atau
belum sempurna akalnya. Menurut Quraish Shihab kata safaha digunakan untuk
orang yang lemah akalnya atau tolol, karena pelakunya melakukan aktfitas
tanpa sadar, baik karena tidak tahu, atau enggan tahu, atau tahu tapi melakukan
yang sebaliknya akibat keangkuhannya.23 Sebagaimana dalam al-Qur’an surat
al-An’a>m ayat 140, sebagai berikut:
.‫قد خسر الذين ق ت لوا أوالدهم سفها بغْي علم وحرموا ما رزق هم الله افِتاء على الله قد ضلوا وما كانوا مهتدين‬
“Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, karena
kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang
Allah telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan
22
23

Louis Ma’luf, al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A’la>m (Beiru>t: Da>r al-Masriq, 1988), 338.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h}, Vol. IV, 302.

12

terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka
mendapat petunjuk.”24
Selain itu kata safaha digunakan untuk orang yang lemah akalnya
dikarenakan sakit, sangat tua, atau karena ia belum baligh. Sebagaiman dalam
surat al-Nisa’ ayat 5, sebagai berikut:
.‫وال ت ؤتوا السفهاء أموالكم الِت جعل الله لكم قياما وارزقوهم فيها واكسوهم وقولوا َلم ق وال معروفا‬
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik.”25
Bisa dikatakan, jahl bersifat internal karena ketiadaan ilmu didalam jiwa,
sementara safah bersifat eksternal karena pengarai yang buruk akibat dari
lingkungan. Dan lemah akal yang disebabkan usia baik terlalu tua ataupun
masih terlalu anak-anak, namun tidak selamanya berkonotasi negatif. Antara

jahl dan safah terdapat keumuman dan kekhususan, jika berupa tingkatan, jahl
dengan arti ketiadaannya ilmu didalam jiwa adalah level yang rendah, biasanya
tingkatan anak-anak masih minim ilmu, dan pada kondisi tua banyak ilmu
yang hilang karena pikun. Tingkatan yang paling tinggi adalah ketika
kebodohan tersebut dikarenakan meyakini sesuatu yang bertentangan dengan
fakta yang seharusnya.
2.

Makna Asal
Makna dasar merupakan sebuah kata yang selalu terbawa bersamanya

dimanapun kata itu berada dan selalu merupakan inti konseptual kata tersebut,
sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri dimanapun kata itu diletakkan dan
bagaimanapun ia digunakan. Cara kerja pencarian makna dasar diperoleh melalui

24

25

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 147.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 78.

13

perhatian makna leksikal maupun gramatikal. Semua makna baik bentuk dasar
maupun turunan yang ada dalam kamus itu disebut dengan leksikal. Jadi, kata-kata
tersebut memiliki makna dan dapat dibaca melalui kamus. Sedangkan makna
gramatikal yaitu makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna yang
muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata di dalam kalimat.26
Makna lafal ja-ha-la )‫ (جهل‬merupakan lawan kata ilm (‫)العلم‬, kasar tabiatnya
/bersikap tidak ramah/berpaling dari/menjauh (‫)جفا‬, dungu/tolol/bodoh/naik darah
(‫)حمق‬.27 Sinonim dari kata (‫ )جهل‬jahala adalah (‫ )الخفّة‬al-khiffatu (kekurangan berfikir)
atau (‫ )استخفّه‬istakhaffahu (meremehakan/menganggap ringan), (‫ )فسخ‬fasakha
(bodoh/lemah

akalnya),

(‫)ضفط‬

d}afut}a

(bodoh/dungu),

(‫)سفه‬

safaha

(merendahkan/bodoh/tolol/jelek akhlaknya), (‫ )غلظ‬ghalaz}a (kasar dalam perangai).28
Sedangkan

antonimnya

adalah

(‫)العلم‬

al-ilm (pengetahuan)29, (‫‘ )علم‬alima

(mengetahui)30, (‫ )جامله‬ja>malahu31 (bersikap baik dan ramah), (‫ )الطمأنينة‬al-t}uma’ni>nah
(ketenangan), (‫ ّ)المعرفة‬al-ma’rifah (pengetahuan), (‫ )الجسم‬al-jusum32 (perkara-perkara
besar).
Dalam Mu’jam Mufrada>t al-Alfaz} al-Qur’an makna kata al-jahl dibedakan
menjadi tiga tingkatan, yaitu kosongnya jiwa dari ilmu, dan ini merupakan makna
asal. Kedua meyakini sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan (tidak layak
dipercayai). Ketiga, melakukan sesuatu yang salah (tidak sesuai dengan kebenaran),
baik mengerjakannya itu dengan keyakinan bahwa pekerjaan itu benar atau meyakini
bahwa perbuatannya itu memang salah.33
Pada masa-masa pra Islam, kata jahl sama sekali tidak mempunyai konotasi
relegius, jahl semata-mata hanyalah sifat pribadi manusia, hanya saja sifat tersebut
26

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husein, dkk, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003), 11.
27
Louis Ma’luf, al-Munjid..., 108.
28
Ibid,.
29
Al-Qur’an, (46): 23, al-Qur’an, (11):46.
30
Al-Qur’an, (12): 89.
31
Louis Ma’luf, al-Munjid..., 108.
32
Ahmad bin Fa>ris bin Zakariya>’ al-Qazwaini al-Ra>zi>, Majmal al-lughah li ibn Fa>ris, Vol. I (Beiru>t:
Muassasah al-Risa>lah, 1986), 201.
33
Al-Ra>ghib al-As}faha>niy, Mufrada>t al-Alfa>z} al-Qur’a>n (Damaskus: Da>r al-Qalam, 2011), 209.

14

sangat khas. Sifat tersebut sesungguhnya merupakan ciri khas Arab pra Islam.
Konsep jahl begitu lekat dengan psikologi orang-orang Arab pra Islam, sehingga
wajar saja kata tersebut seringkali dijumpai dalam puisi jahiliyah.34
Sebagai contoh sya’ir bangsa Arab pra Islam yang menggunakan kata jahl
degan arti tidak mengetahui, (kebodohan) lawan kata ilm, kasar perangainya,
mendidih, dan semacamnya, seperti dalam sya’ir oleh al-Dhubya>ni>:
35

‫ وكيف تصاِب المرء والشيب شامل‬# ‫دعاك اَلوى واستجهلتك المنازل‬

Nafsu-nafsu itu mengajak kepada kamu dan kedudukan itu membutakan kamu
(sesuatu yang membawa kamu keapada tidak mengetahui). Bagaimana
sesorang bertingkah seperti bayi, sedangkan masa tua sudah habis.
3.

Penafsiran Jahl di Dalam Kitab Al-Qur´an dan Tafsirnya

Jahl yang terdapat pada surat al-A’raf ayat 138 ditafsirkan dengan: “Orangorang yang tidak mengetahui sifat-sifat Tuhan, tidak mengetahui keharusan
menyembah hanya kepada Allah semata dengan menyekutukan-Nya dengan sesuatu
pun, tidak mengetahui akan keharusan beribadah langsung ditujukan kepada Allah
tanpa mengambil perantara dengan sesuatupun.”36 Menurut kitab tafsir ini,
keimanan yang dimiliki bani Israil seperti digambarkan diatas, disebabkan
kebodohan dan pengaruh kepercayaan nenek moyang. Keadaan seperti ini terdapat
juga pada manusia pada umumnya dan kaum Muslimin khususnya, serta dijumpai
pula pada tiap-tiap periode dalam sejarah sejak masa Nabi Muhammad sampai
kepada akhir zaman kelak.37
Ayat ini merupakan ayat pertama yang terdapat didalamnya lafal jahl

(tajhalu>n). Berkedudukan sebagai fi’l mud{a>ri’ Konotasi makna yang terkandung
pada ayat ini sesuai dengan konteks yang berlaku saat itu, yaitu masa awal Islam.
34

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 227.
Muh}ammad bin Mukrim Ibn Manz}u>r > al-Ifri>qi>, Lisa>n al-‘Arab, Vol. II 130. Lihat juga Ahmad bin
Fa>ris bin Zakariya>’ al-Qazwaini al-Ra>zi>, Majmal al-lughah li ibn Fa>ris, Vol. I (Beiru>t: Muassasah alRisa>lah, 1986), 201.
36
Kementerian Agama RI, Al Qur´an dan Tafsirnya…, vol. 3, 467.
37
Ibid.
35

15

Yang dihadapi adalaah kaum musyrik Makkah yang masih kental dengan budaya
nenek moyangnya, penyembahan berhala. Begitu juga dari sisi perilaku memiliki
kemiripan dengan kaum bani Israil. Yang membedakan adalah strata social antara
kaum musyrik Makkah yang merupakan pembesar kaum, sementara bani Israil
merupakan kaum marginal, bermata pencaharian sebagai budak Fir’aun, bukan hanya
golongan yang rendah tetapi juga pengetahuannya, hampir tidak ditemukan cerdik
cendikiawan yang berasal dari mereka, semua cendikiawan berasal dari bangsa
pribumi Mesir. Strata ini menghasilkan pola pikir yang berbeda, pola pikir para
pembesar adalah kebebasan mutlak, tidak suka diatur apalagi disalahkan. Sedangkan
bani Israil bersifat apatis, tidak ada cita-cita untuk membebaskan diri dari
perbudakan Fir’aun, tidak ada keinginan kuat untuk merdeka. Hal ini tercermin pada
reaksi dan sikap mereka dalam menerima ajakan Musa, sedikit saja halangan dan
kesulitan yang mereka hadapi, dengan spontan mereka menyatakan rasa putus asa
kepada Musa. Perbedaan strata ini tidak lantas menghilangkan jurang intelektual.
Musyrik Makkah maupun Bani Israil tetap saja dalam kebodohannya. Yang satu
menolak kebenaran karena mereka sudah merasa besar dan benar, apalagi yang
menyeru bukan dari sesasam pembesar. Sementara yang satu menerima ajakan Musa
tetapi memilih untuk menyembah dengan cara yang mereka kehendaki, adanya
bentuk fisik sesembahan, sesuatu yang mudah dijangkau oleh akal mereka yang
terbatas.
Ayat berikutnya al-A’raf: 199, al-Furqa>n: 63 dan al-Qas{as{: 55 lafal

ja>hil/ja>hilu>n berposisi sebagai subjek (fa>’il) ditafsirkan sebagai orang yang bersikap
kasar dan menimbulkan gangguan gangguan terhadap para Nabi dan tidak dapat
disadarkan. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menghindarkan diri dari
orang-orang jahil, tidak melayani mereka dan tidak membalas kekerasan mereka
dengan kekerasan pula.38 Akan tetapi hendaklah menjawab dengan ucapan yang baik
dan mengandung nasihat dan harapan semoga mereka diberi petunjuk oleh Allah.
Konteks ayat ini masih tetap berlaku, karena dimanapun dakwah ditegakan selalu
38

Ibid., 556.

16

saja ada gangguan, apalagi pada surat al-Furqa>n objek pembicaraannya berkaitan
dengan sifat-sifat hamba-hamba Allah yang Maha Maha Pengasih (‘Iba>d al-

Rah}ma>n).39
Pada surat al-Naml: 55 membicarakan perbuatan cabul kaum Lut, lafal jahl
dengan bentuk fi’il muda} >ri’ (tajhalu>n) dimaknai sebagai “Orang-orang yang tidak
mau mengetahui tujuan Tuhan menciptakan manusia yang terdiri atas laki-laki dan
perempuan. Tidak mengetahui kedudukan dalam masyarakat, dan tidak mengetahui
pula rencana yang besar yang akan menimpa manusia dan kemanusiaan seandainya
teta mengerjakan perbuatan yang demikian itu (homoseksual)”40
Pada surat Hu>d: 29 lafal tajhalu>n dimaknai: “tidak mengetahui” tentang
hakikat nilai iman meskipun yang memiliki iman itu orang yang rendah dalam kasta
sosial

masyarakat.

Penentang nabi Nuh adalah mereka

yang terhormat

dimasyarakatnya. Menurut mereka, ukuran berharga tidaknya dinilai dari pangkat
dan kepemilikan harta. Saat mereka mengajukan syarat agar mereka beriman yaitu
dengan mengusir orang-orang yang dianggapnya hina karena kemiskinan, nabi Nuh
menjawabnya dengan kalimat, “Sungguh mereka akan bertemu dengan Tuhannya,
dan sebaliknya aku memandangmu sebagai kaum yang bodoh”41 Sementara pada
surat Hu>d: 46 lafal jahl dalam bentuk fa>’il (al-Ja>hili>n) ditafsirkan: “Allah melarang
Nuh memohon kepadaNya tentang sesuatu yang belum diketahuinya dengan yakin
bahwa permohonan itu sudah wajar di kemukakan atau tidak. Sesungguhnya Allah
memperingatkan Nuh as supaya ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang
jahil yang memohon sesuatu kepadaNya menurut keinginan nafsunya atau untuk
keuntungan keluarga dan kekasihnya tanpa mengetahui apa yang boleh dan patut
diminta.”42
Pada surat Yu>suf: 33 lafal jahl sebagai fa>’il (al-Ja>hili>n) dalam konteks
keteguhan hati dan iman nabi Yusuf dalam menghadapai rayuan dan bujukan

39

Ibid., vol. 7, 46.
Ibid., vol. 7, 221.
41
Ibid., vol. 4, 408.
42
Ibid., 423.
40

17

perempuan dimaknai dengan “Orang bodoh yang sesat jalan dan mudah terperdaya
hingga terjerumus kedalam lembah kehinaan dan maksiat.”43
Pada surat Al An’a>m (6) : 35 al-Ja>hili>n dimaknai dengan: ”Orang yang tidak
tahu tentang sunah-Nya, sehingga mencita-citakan sesuatu yang tidak sesuai dengan

sunatullah.”44 Pembicaraan ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw agar tidak
merasa keberatan, marah dan sedih atas keingkaran orang-orang musyrik yang
berpaling dari agama Allah dan mengajukan permintaan yang beraneka ragam agar
mereka beriman. Allah bahkan menegaskan, jika nabi keberatan maka dipersilahkan
untuk membuat lorong di bumi atau tangga menuju ke langit untuk mendapatkan
bukti lain untuk memuaskan mereka. Kalau Allah menghendaki, tentu saja Allah
menjadikan mereka semua dalam petunjuk, hanya saja sunatullah berkata lain, maka
dari itu janganlah termasuk orang yang bodoh terhadap sunatullah.
Sementara pada ayat 54, jahl sebagai mas}dar (bijaha>lah) dimaknai dengan
“kebodohan atau ketidaktahuan mereka atas kejahatan yang diperbuat.”45 Ditujukan
kepada mereka yang melakukan kejahatan karena kebodohan dan kemudian mereka
bertobat melakukan kebaikan. Yang tergolong dalam kebodohan dalam maksiat
menurut tafsir ini adalah ketidaktahuan bahwa yang diperbuat adalah dosa dan
mengerjakan larangan karena tidak sadar lantaran sangat marah atau karena
dorongan hawa nafsu, dan kesalahan yang diperbuat dilakukan tanpa kemauan dan
ikhtiarnya.46 Kebodohan dalam konteks ini bukan kebodohan yang merupakan
antonim dari pengetahuan, karena jika ini yang dimaksud tentu saja pelakunya tidak
berdosa. Yang dimaksud jaha>lah disini adalah kecerobohan, dalam arti yang
bersangkutan mestinya mengetahui bahwa hal tersebut terlarang, atau memiliki
kemampuan

untuk

tahu,

atau

memiliki

sedikit

informasi

menyangkut

keharamannya, namun demikian ia melangkah melakukannya, didorong oleh nafsu.
Ada juga para ulama berpendapat bahwa penyebutan kata jaha>lah disini untuk
mengisyaratkan bahwa kebanyakan dosa lahir akibat dorongan nafsu dan kelalaian
43

Ibid., 524.
Ibid., vol. 3, 106.
45
Ibid., 130.
46
Ibid.
44

18

memikirkan akibat-akibat buruknya. Hal ini diungkapkan dalam surat al-Nisa’ ayat
17, surat al-Nahl ayat 119, al-H}ujura>t ayat 6.
Pada ayat berikutnya, 111, yajhalu>n ditujukan kepada orang-orang kafir
yang miminta kepada Nabi Muhammad untuk memperlihatkan kepada mereka
malaikat dan bukti-bukti lainnya yang bisa dilihat oleh mata kepala mereka, hanya
saja permintaan ini bukan untuk mendapatkan petunjuk melainkan hanya
menunjukan permusuhan dan keingkaran mereka. Sehingga ditegaskan kepada
mereka bahwa, “Mereka tidak mengetahui bahwa iman tidak perlu disangkutpautkan
dengan melihat tanda-tanda kebenaran, sebab telah menjadi kebenaran bahwa
keimanan adalah semata-mata anugerah dari Allah Ta’ala.”47
Pada surat al-Zumar: 64 al-Ja>hilu>n dimaknai dengan: ”Orang yang tidak
tahu tentang bukti-bukti keesaan Allah.”48 Hal ini ditujukan kepada orang kafir
Qurays yang memberi tawaran kepada Nabi Muhammad harta yang tak terbatas
sehingga ia menjadi yang terkaya dengan syarat Nabi berhenti mencela tuhan
mereka. Sedangkan al-ja>hili>n pada surat al-Baqarah: 67 dimaknai dengan: “orang
yang suka mengolok-olok.”49 Berbeda dengan lafal al-Ja>hil pada ayat sebelumnya,
pada ayat 273 tidak dimaknai secara gamblang, namun secara tersirat berarti orang
yang tidak tahu antonim dari ‘ilm (mengetahui).50
Ayat-ayat terakhir sesuai urutan turnunnya wahyu yang menyebutkan lafal

jahl tersisa tujuh ayat, kesemuanya dalam bentuk mas}dar. Empat ayat menggunakan
lafal ja>hiliyyah, dua ayat menggunakan lafal jaha>lah, dan satu ayat menggunakan
lafal jahu>la(n). Ketiga bentuk lafal jahl tersebut mempunyai makna yang berbeda.
Lafal ja>hiliyyah pada surat Ali ‘Imran: 154, al-Fath: 26 dan Al-Ahza>b: 33 dimaknai
dengan: “Orang-orang jahiliah yang hidup pada masa dahulu sebelum zaman Nabi
Muhammad.”51 Dan al-Fath: 26 berbunyi h}amiyyat al-Ja>hiliyyah. H{amiyyah
dimaknai sebagai keangkuhan, keras kepala dan kedengkian. Dan al-ja>hiliyyah
47

Ibid. 212.
Ibid., vol. 8, 474.
49
Ibid., vol. 1, 128.
50
Ibid., 416.
51
Ibid., vol. 8, 5.
48

19

dimaknai sebagai zaman jahiliyah.52 Tidak ada penjelasan lebih detail terkait definisi
jahiliyah yang di paparkan tim penulis. Hanya menunjukan sebuah zaman sebelum
kedatangan Islam.53
Sedangkan makna

jahl dengan bentuk jaha>lah dimaknai dengan

kecerobohan, sebagaimana dipaparkan diatas. Sementara pasa surat al-Ahza>b: 72

jahu>la(n) di dalam ayat ini dimaknai dengan: “bodoh karena tidak memikirkan
akibat-akibat dari penerimaan wahyu.”54 Sifat ini diberikan Allah kepada manusia
karena manusia yang dianggap lebih berpotensi berani menerima amanat berupa
tugas-tugas keagamaan dari Allah disaat langit, bumi dan gunung enggan menerima
amanat ini dikarenakan konsekwensinya yang berat, yaitu siksa di neraka jika
menghianati amanat tersebut. Tetapi, karena pada diri manusia terdapat ambisi dan
syahwat yang sering mengelabui mata dan menutup pandangan hatiunya, Allah
menyifatinya dengan amat zalim dan bodoh karena kurang memikirkan akibat-akibat
dari penerimaan amanat ini.55
4.

Karakteristik Kebodohan
Kesimpulan yang didapat dari penelusuran makna jahl menurut kitab tafsir

Al-Qur´an dan Tafsirnya yang ditulis oleh Tim Penulis Kementerian Agama adalah
bahwa makna jahl tidak melenceng dari makna jahl yang didapat dari penelusuran
bahasa. Hanya saja makna tersebut berkembang menyesuaikan konteks ayat itu
ditujukan. Dari keduapuluh empat ayat yang menyertakan lafal jahl didalam alQur´an, maknanya berorientasi kepada hal-hal berikut:

52

Ibid., vol. 9, 379.
Penulis lebih setuju dengan pendapat Sayyid Qut}b berkaitan term Ja>hiliyyah. Menurtunya, ja>hiliyah
tidak hanya pada saat tertentu akan tetapi suatu tatanan, aturan, sistem yang dapat dijumpai kemarin,
hari ini, dan esok. Yang menjadi tolak ukur adalah ke-ja>hiliyah-an sebagai kebalikan dari Islam dan
bertentangan dengan Islam. Dan manusia yang berada dalam syari’at hukum buatan manusia, apapun
bentuknya, dan dia menerimanya, maka dia berada dalam ke-ja>hiliyah-an. Sayyid Qut}b, fi> Z}ila>l alQur’an (Beiru>t: Da>r al-Shuru>q, 1412 H), Vol. II, 904.
53

54
55

Ibid., 50.
Ibid.

20

a. Tidak mengetahui tentang Allah meliputi: hakikat iman terhadap Allah,
sifat-sifat-Nya, keharusan menyembah-Nya, hukum-hukum Allah yang
berlaku di dunia dan di Akhirat, serta tidak mengetahui akibat dari
menyekutukan Allah. Makna ini umumnya menggunakan bentuk kata
kerja (fi’il mud}a>ri’). Baik bercerita tentang umat terdahulu, maupun
berkaitan dengan umat Nabi Muhammad. Penggunaan fi’il mud{a>ri’
untuk

menggambarkan

masa

lampau

mengindikasikan

bahwa

kebodohan tentang Allah bukan hanya saat firman Allah diturunkan,
melainkan berlanjut hingga al-Qur´an tidak berlaku lagi (hari kiamat).
b. Ayat ayat yang mencantumkan lafal jahl dalam bentuk fa>’il mempunyai
makna dasarnya tetap sama yaitu ketiadaan ilmu didalam jiwa. Namun
demikian terkadang dimaknai sebagai orang yang berperangai kasar,
suka mengolok-olok. Terkadang juga dimaknai tidak mengetahui
tentang Allah, sesuai makna dasarnya.
c. Lafal jahl dalam bentuk mas}dar mempunyai makna yang lebih beragam.
Jika masd}ar tersebut dalam bentuk jaha>lah, maka yang dimaksud jaha>lah
disini adalah kecerobohan, kebodohan dalam konteks ini bukan
kebodohan yang merupakan antonim dari pengetahuan, karena jika ini
yang dimaksud tentu saja pelakunya tidak berdosa. Jika mas}dar tersebut
dalam bentuk ja>hiliyyah maka menunjuk kepada suatu masa sebelum
kedatangan Islam. Selain itu juga menunjuk pada suatu tatanan, aturan,
sistem yang dapat dijumpai kemarin, hari ini, dan esok. Dan jika mas}dar
berbentuk jahu>l maka maknanya kembali kepada makna asal, tidak
mengetahui.
5.

Solusi Kebodohan
a. Iman
Orang yang beriman dikatakan mukmi>n. Kata tersebut kalau merujuk
pada makna dasarnya bermakna: (a) Orang yang mempercayai. Maksudnya,
orang mukmin adalah orang yang mempercayai (membenarkan) seluruh yang

21

disampaikan oleh Nabi Muh}ammad. Orang mukmin juga adalah orang yang
mempercayakan (tawakkal, memasrahkan) dirinya sendiri dan semua
urusannya kepada Allah. (b) Orang yang menjaga amanah (dapat dipercaya).
Atau orang mukmin dikatakan orang yang menjaga amanat karena mereka
konsisten dan berkomitmen dengan perjanjian dan pengakuan mereka akan ketuhan-an Allah pada zaman primordial dulu. (c) Orang yang mengamankan.
Maksudnya, karena ke-iman-an mereka, mereka telah mengamankan diri
mereka dari siksa Allah.56
Jadi seseorang yang telah memiliki keimanan dalam dirinya maka ia
pasti bertaqwa dan selalu berserah diri kepada Allah. Berhubungan dengan
kasus jahl, masyarakat Arab pra Islam melakukan ke-jahil-an atau melakuakan
tingkah laku ja>hiliyah dikarenakan mereka tidak memiliki iman. Mereka
menyatakan dalam sumpah untuk beriman yaitu mereka ingin melihat dengan
mata kepala mereka sendiri tentang kesaksian para malaikat bahwa Nabi
Muh{ammad adalah utusan Allah dan orang yang telah mati dihidupkan
kembali dan segala sesuatu baik berupa al-Qur’an dan kebenaran nabi dan
mukjizatnya ditampakkan kepada mereka, namun setelah menampakkannya
mereka masih tidak beriman dan menganggap itu adalah sihir. Mereka tidak
mengetahui bahwa iman tidak perlu diungkapkan dengan melihat tanda, sebab
telah menjadi kebenaran umum bahwa keimanan semata-mata anugerah dari
Allah. Bahwa iman dan jahl berkaitan yaitu dengan keimanan yang kuat maka
seseorang tidak akan terjerumus kepada ke-jahil-an.
b. ‘Amalu al-S}a>lih}
Kalimat ‘amal al-s}a>lih} terdiri dari dua kata, yaitu ‘amal dan al-s}a>lih}
Kata ‘amal biasa digunakan untuk menggambarkan suatu aktivitas yang
dilakukan dengan sengaja dan maksud tertentu. Dapat dikatakan bahwa kata
amalّ mencakup segala macam perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan
mempunyai tujuan tertentu, walau hanya dalam bentuk niat atau tekad. Atau
56

Ibid., (33): 73.

22

menggunakan daya-daya manusia, baik daya fisik, daya pikir, daya kalbu, dan
daya hidup.57
Menurut Quraish Shihab yang dikutip oleh Mohammad Yardho, kata

s}a>lih} diartikan sebagai “tiadanya (terhentinya) kerusakan”. Kata ini diartikan
juga “bermanfaat dan sesuai”. Bahwa ‘amalu al-s}a>lih} bisa mengantarkan jahl
kepada kebaikan asalkan ia benar-benar memperbaiki ke-jahil-an tersebut dan
tidak mengulangi kembali. Sebagaimana Allah mengampuni orang-orang yang
mengerjakan kesalahan karena ke-jahil-an yang telah diperbuat kemudian
mereka bertaubat dan memperbaiki dirinya, sebagaimana firman Allah dalam
surat al-Nah}l ayat 119.
c. Menghindari Perbuatan Dzalim
Kata z}ulm menurut ahli bahasa diartikan dengan meletakkan di tempat
yang salah. Dalam lingkup etika, z}ulm diartikan dengan bertindak sedemikian
rupa yang melampui batas yang benar serta melanggar hak orang lain. Secara
singkat dan umum, z}ulm berhubungan dengan ketidak adilan dalam pengertian
melewati batas yang dimiliki seseorang dan melakukan yang bukan menjadi
haknya.58

Dalam

al-Qur’an,
59

menyekutukan Allah,

karakter

z}ulm

meliputi
60

mendustkan ayat-ayat Allah,

mereka

yang

hatinya mengeras,61

menghalangi jalan Allah,62 mengadakan kedustaan terhadap Allah.63
Berkaitan dengan jahl, bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah
disebut dengan kezaliman yang besar.64 Selain itu, orang yang tidak taat
kepada Allah dan Rasulnya, setelah menerima amanat namun mereka khawatir
akan menghianatinya, maka dia termasuk manusia yang z}alim dan bodoh.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ah}za>b ayat 72. Ke-z}alim-an dan

57

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h}, Vol. XV, 443.
Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Relegius Dalam al-Qur’an, 197.
59
Al-Qur’an,(31): 13.
60
Ibid., (62): 5.
61
Ibid., (22): 53.
62
Ibid., (2): 108, dan 114.
63
Ibid., (39): 32, (6): 93.
64
Ibid., (31): 13.

58

23

kebodohan walaupun keduanya merupakan sesuatu yang buruk dan
mengandung kecaman terhadap pelakunya, tetapi keduanya merupakan sebab
yang menjadikan seseorang dapat memikul amanat (beban ilahi), karena sifat

z}alim dan jahl hanya dapat disandang oleh siapa yang dapat menyandang sifat
adil dan ilmu. Dan manusialah yang berpotensi menyandang keduanya,
berpotensi pula menyandang lawan keduanya yakni z{alim dan jahl. Ini berarti
manusia menurut tabiatnya adalah z}ulu>man jahu>lan.65

d. Konfirmasi Ulang Informasi
Hal ini tergambar jelas pada pristiwa yang dikisahkan pada surat alH}ujura>t ayat 6, yaitu berkaitan dengan penyampaian informasi. Orang-orang
fasik mengetahui bahwa kaum yang beriman tidak mudah dibohongi dan
bahwa mereka akan meneliti kebenaran setiap informasi, sehingga orang fa>siq
dapat dipermalukan dengan kebohongannya. Sebagaiamana dalam al-Qur’an
surat al-H}ujura>t ayat 6. Ayat tersebut menuntut agar menjadikan langkah kita
berdasarkan pengetahuan (lawan dari jahl) supaya tidak mudah tertipu.
e. Bersegera Taubat
Dapat dipahami bahwa relasional taubat memberikan dampak positif
kepada orang yang jahl. Jika seseorang mengerjakan kejahatatan lantaran jahl
atau karena kebodohannya maka Allah menerima taubat orang tersebut dengan
syarat ia menyadari dan menyesali perbuatan tersebut dan berjanji sepenuh
hati tidak akan memulainya kembali. Sebagaimana dijelaskan dalam surat alNisa’ ayat 17. Taubat yang diterima oleh Allah yaitu: (a) menyesali dengan
sungguh-sungguh perbuatan yang telah dilakukan. (b) meninggalkan perbuatan
tersebut dan melaksanakan ketaatan-ketaatn. Dan (3) bertekad dengan kuat
bahwa ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut.66

65
66

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h}, Vol. XI, 335.
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya..., Vol. 4, 131.

24

BAB III
PENUTUP
Pemaparan diatas mengantarkan penulis kepada kesimpulan sebagai
berikut:
1. Kitab Tafsir ‘Al-Qur´an dan Tafsirnya (Edisi yang Di Sempurnakan)’
adalah karya dari kumpulan ulama-ulama al-Qur´an Indonesia. Karya ini
adalah penyempurnaan dari karya yang sama yang sudah disusun sejak
tahun 1972. Kitab ini bercorak ‘ilmiy, dengan penjelasan yang global /

ijma>li, dengan metode tah}liliy dimulai dari al-Fatihah sampai al-Na>s.
2. Makna asal Jahl adalah ketiadaan ilmu dalam jiwa. Penggunaan lafal
tersebut didalam al-Qur´an mengalami perkembangan sedemikan rupa
sesuai dengan konteks ayat tersebut. Diantaranya: ceroboh, tidak
mengetahui hakikat iman kepada Allah, masa sebelum kedatangan
Islam, tidak mengetahui sunatullah dan lain sebagainya.
3. Makna Jahl di dalam al-Qur´an bisa diklasifikasikan kepada tiga
kelompok besar sesuai dengan perubahan kata-katanya (istih{qa>q). Jahl
sebagai kata kerja/fi’il, kata benda/mas{dar dan subyek/fa>’il.
4. Pemakalah belum menemukan perbedaan makna yang signifikan terkait
ayat-ayat jahl Makkiyah dan Madaniyah. Perbedaan lebih terasa jika
diklasifikasikan sesuai perubahan bentuk kata –nya.
5. Beriman, Bertaubat, beramal soleh, konfirmasi ulanf informasi dan
menhindari dari perbuatan dzolim adalah beberapa solusi dari mengatasi
kebodohan.

25

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an, 6: 19.
Shihab, M Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami al-Qur´an. Jakarta: Lentera Hati, 2013.
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
RI, Kementerian Agama. Al Qur´an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan):
Mukadimah. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.
Zarqani >(al), Muhammad ‘Abd al-‘Az}i>m. Mana>hil al-‘Irfa>n, Vol. I. Al-Nashr wa alTauzi’: Da>r al-Fikr, tt.
Qat}t}a>n (al), Manna>’. Maba>hi>th fi> ‘Ulu>m al-Qur’an. Surabaya: al-Hida>yah, 1973.
Dhahabiy, Muhammad Husayn. Al-Tafsi>r al-Mufassiru>n. Kairo: Dar al-H}adith, 2005.
Nasir, Ridwan. Memahami Al-Qura>n, Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqa>rin.
Surabaya, CV. Indra Media.
Farmawi (al), Abd. Al-H{ayy. Al-Bida>yah Fi> Tafsi>r al-Maud}u’i>. Kairo: Al-H{ad}a>rah
Al-‘Arabiah, 1977.
Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia, terj. Agus Fahri Husein, dkk.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
As}faha>niy (al), Al-Ra>ghib. Mufrada>t al-Alfa>z} al-Qur’a>n (Damaskus: Da>r al-Qalam,
2011), 209.
Manz}u>r , Muh}ammad bin Mukrim Ibn. Lisa>n al-‘Arab, Vol. II. Beiru>t: Da>r al-Masriq,
1988.
Ra>zi> (al), Ahmad bin Fa>ris bin Zakariya>’ al-Qazwaini. Majmal al-lughah li ibn Fa>ris,
Vol. I. Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah, 1986.
Qut}b, Sayyid. Fi> Z}ila>l al-Qur’an. Beiru>t: Da>r al-Shuru>q, Vol. II. 1412 H.

26