Makalah Studi Hukum Islam Syariat Fiqh d

Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam
MAKALAH
“Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam”
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:
Ushul Fiqh

Disusun Oleh:
Zaini Tafrikhan al- Kalimantany
NIM: 1112033100001

PROGRAM STUDI AKIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYAFRI HIDAYATULLAH
JAKARTA
TAHUN 1434 H/2013 M

BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan Hadis yang sampai kepada kita masih otentik dan orisinal.
Orisinalitas dan otentisitasnya didukung dengan penggunaan bahasa asli (arab)
dalam Al-Qur’an dan Hadis. Kedua hal tersebut telah menjadi dasar atau sumber

hukum bagi umat islam dalam mengambil dan menentukan hukum. Untuk
mengetahui bagaimana cara penetapan dan pengambilan hukum, maka ada cara
khusus yang disebut dengan metode. Metologi inilah yang akan berperan dalam
memahami hukum islam dari petunjuk-petunjuknya itu yakni ushul fiqh.
Dalam pembahasan ini akan menyajikan beberapa kajian seperti pengertan
ushul fiqh, fiqh, syari’at dan sumber hukum islam serta ruang lingkup dari ushul
fiqh. Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang
menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh
adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan
seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk
yaitu ilmu fiqh.
Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu
dikenal dan dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu peroduk
telah ada maka tidak mungkin tidak ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak mungkin ada
jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini

mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh. Sehingga kita
bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada.


BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam
Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu
pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah.[1] Karenanya, sebelum
membahasa tentang arti fiqh, terlebih dahulu perlu dibahas arti dan hakikat
syariah.

1.

Pengertian Syariah
Secara etimologis syariah berarti “jalan yang harus diikuti.” Kata syariah
muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti dalm surah Al-Maidah:48, asySyura: 13, yang mengandung arti “ jalan yang jelas yang membawa kepada
kemenangan.”(Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih. Hal. 1). Dalam hal ini
agama yang ditetapkan oleh Allah disebut syariah, dalam artian lughawi karena
umart isla selalu melaluinya dalam kehidupannya.
Menurut para ahli, syariah secara terminologi adalah “segala titah Allah yang
berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai akhlak”.

Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat
amaliah. Karena memang syariah itu adalah hukum amaliah yang berbeda
menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang dating kemudian
mengoreksi yang dating lebih dahulu. Sedangkan dasar agama yaitu tauhid/aqidah
tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan yang lain. Sebagian ulama ada yang

mengartikan syariah itu dengan: “ Apa-apa yang bersangkutan dengan peradilan
serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada hal yang
halal dan haram.” Lebih dalam lagi Syaltut mengartikan syariah dengan “hukumhukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-hambaNya untuk
diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan manusia.
Dr.Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syariah itu adalah apa-apa yang
ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya. Allah adalah pembuat huku yang
menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia.
2.

Pengertian Fiqh
(‫[ )فالصل لغة‬2].‫هو ما بني عليه غيره – كاصل الجدار‬
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan
pengerahan potensi akal.[3] Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan bagian
dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah

yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat
(mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan menurut Prof. Dr. H.
Amir Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I
yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.[4]
Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu
menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu yang berasal dari
kehendak Allah. Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan
bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah.
Dengan demikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan
atau “aqidah” tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam uraian ini. penggunaan
kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil
penggalian, penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum.
Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh
nash.
Dari penjelasan diata dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh dan syariah
memiliki hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai
kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah.

Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya
yang disebut syari’ah. Untuk mengetahui semua kehendak-Nya tentang amaliah

manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’ah, sehingga
amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun dan
bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci. Ketentuan
yang

terinci

tentang

amaliah

manusia

mukalaf[5]

yang

diramu

dan


diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fiqh.[6]
3.

Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian kata “hukum” dan “islam”. Secara
terpisah hukum dapat diartikan sebagai seperangkat perturan tentang tingkah
laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang
diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat seluruh anggotanya.
Bila kata “hukum” di gabungkan dengan kata “islam”, maka hukum islam adalah
seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul tentang tingkah
laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang
beragama islam.[7]
Bila artian sederhana tentang hukum islam itu dihubungkan dengan pengertian
fiqh, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud hukum islam itu adalah yang
bernama fiqh dalam literatur islam yang berbahasa arab.

B.
1.


Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Pengertian Ushul fiqh
(‫[ )اصول الفقه‬8]‫دليل الفقه علي سبيل الجمال‬.
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti
“sesuatu yang dasar bagi yang lainnya”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa
ushul fiqh itu adalah ilmu yang membawa kepada usaha merumuskan hukum
syara’ dari dlilnya yang terinci. Atau dalam artian sederhana : kaidah-kaidah

yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.[9]
Sebagai contoh didalam kitab-kitab fiqh terdapat ungkapan bahwa “mengerjakan
salat itu hukumnya wajib”. Wajibnya mengerjakan salat itulah yang disebut
“hukum syara’.” Tidak pernah tersebut dalam Al-Qur;an maupun hadis bahwa
salat itu hukumnya wajib. Yang ada hanyalah redaksi perintah mengerjakan salat.
Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah salat itulah yang dinamakan “Dalil
syara’”. Dalam merumuskan kewajiban salat yang terdapat dalam dalil syara’ ada
aturan yang harus menjadi pegangan. Kaidah dalam menentukannya, umpamanya
“setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah
merumuskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang
disebut dengan ‘Ilmu Ushul Fiqh”. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa
perbedaan ushul fiqh dan fiqh adalah, jika ushul fiqh itu pedoman yang

membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam
usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya. Sedangkan fiqh
itu hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil menurut
aturan yang sudah ditentukanitu.[10]
2.

Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh diatas, maka bahasan pokok dari ushul fiqh

itu adalah :
a.
Dalil-dalil atau sumber hukum syara’
b.
Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu; dan
c.
Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum sayra’ dan dalil
atau sumber yang mengandungnya.[11]
3.

Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam
penyusunannya ilmu fiqh lebih dahulu dilakukan ketimbang ilmu ushul fiqh.
Seharusnya fiqh itu harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah
dasarnya dan fiqh itu adalah hasilnya. Namun dalam penyusunannya ushul fiqh
datang belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah ada pada masa sahabat. Para sahabat
diantaranya Umar Ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, ‘Ali ibn Abi Thalib umpamanya,
dalam

mengemukakan

pendapatnya

tentang

hukum

sebenarnya

sudah


menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun tidak
secara jelas mereka mengemukakan demikian.
Pada saat Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali
terhadap peminum khamar, beliau berkata, “ Bila ia minum ia akan mabuk dan
bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka
kepadanya diberikan sanksi tuduhan berzina.” Dari pernyataan Ali tersebut
ternyata menggunakan metode menutup pintu kejahatan atau yang dikenal dengan
“sad al-dzar’ah”.
‘Abdullah ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita
hamil yang ditinggal mati suaminya idahnya adalah sampai melahirkan anak.
Mengemukakan argumennya dengan firman Allah , surah at-Thalaq: 4, meskipun
dalam surah Al-Baqarah: 234 menjelaskan bahwa istri yang ditinggal mati
suaminya idahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan hukum ini
beliau menggunakan metode nasakh-mansukh. Dari kedua contoh tersebut para
sahabat telah menggunakan metode ijtihad sesuai dengan pedoman walaupun pada
waktu itu belum dirumuskan secara jelas.
Pada masa tabi’in lapangan istinbath semakin meluas dan perkembangannya
cukup cepat. Meskipun dalam perjalanannya terdapat perbedaan metode sehingga
menimbulkan beberapa aliran dalam ushul fiqh.

Abu Hanifah dalam usaha menetapkan hukum menggunakan metodenya
tersendiri. Ia menerapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dibarengi dengan
hadis Nabi, dan fatwa sahabat. Abu Hanifah tidak mengambil fatma ulama tabi’in
karena ia berpendapat bahwa dirinya satu ranking dengan mereka. Metodenya
adalah menggunakan qiyas dan istihsan yang terlihat nyata.
Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis ketimbang Abu Hanifah;
mungkin karena begitu banyaknya hadis yang dia temukan. Metode yang
digunakan Imam Malik dalam merumuskan hukum syara’ merupakan pantulan
dari aliran Hijaz, sebagaimana metode yang digunakan Abu Hanifah merupakan
pantulan dari aliran Irak.
Setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi’i yang
menemukan dalam masany perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang
semenjak periode sahabat, tabi’in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Imam
Syafi’i menelaah setiap perdebatan antara berbagai kubu sehingga dapat menggali

pengalamannya di tengah pendapat yang berbeda itu. Ia juga menimba ilmu dari
Imam Malik dan Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah). Hasil
akhir dari pengetahuannya itu memberikan petunjuk kepada Imam Syafi’i untuk
meletakan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan langkah-langkah yang
harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dalilnya. Metode berpikir
yang dirumuskan Imam Syafi’i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.
Sepeninggal Imam Syaf’i’i ushul fiqh menjadi pokok pembicaraan yang
menarik pada waktu itu. Dan kemudian disempurnakan sebagian ulama yang
kebanyakan pengikut Imam Syafi’i mengembangkannya dengan cara, antara lain:
mensyarahkan, memerinci yang bersifat garis besar, mempercabangkannya pokok
pikiran Imam Syafi’i, sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan bentuk
sempurnanya.[12]
Kemudian kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasardasarnya diletakan Imam Syafi’i, mereka menambahkan pemikiran tentang
istihsan dan ‘urf yang diambl dari imam mereka. Kelompok ulama Malikiyyah, di
samping mengikuti beberapa dasar yang diletakan Imam Syafi’i dengan tidak
mengikuti pendapat Syafi’i yang menolak ijma’ I ahli Madinah dan memasukan
tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan
sad al-dzara’i.
Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar yang
ditetapkan Imam Syafi’i tentang penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Quran,
Hadis, Ijma’, dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat
perbedaan. Sepeninggalnya imam-imam mujtahid yang empat dinyatakan bahwa
kegiatan ijtihad terhenti, namun sebenarnya yang terhenti adalah kegiatan ijtihad
mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu masih tetap
berlangsung yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang
dirintis para imam terdahulu.
Sesudah melembaganya mazhab-mahab fiqh, maka arah pengembangan ushul
fiqh terlihat dalam dua bentuk yang berbeda.
Pertama, arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah ushul yang tidak
terpengaruh kepada furu’ mazhab mana pun menurut arahnya sendiri disebut
ushul fiqh Syafi’iyyah atau fiqh aliran Mutakallimin. Kedua, mengarah pada
penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi

kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung
sebelumnya. Ulama fuqaha yang lebih banyak mengguankan metode ini adalah
kelompok Hanafiyah.
Setelah dua metode ini berjalan dan berkembang dengan baik menurut aliran
masing-masing, banyak bermunculan dari alirannya sendiri maupun gabungan
kedua aliran seperti kitab Jam’ul Jawami’ dan al-Tahrir. [13]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan, bahwa ilmu ushul fiqh sangatlah penting
dalam perumusan, penggalian dan penetapan hukum. Para mujtahid yang
berkecipung dalam hal ini sudah mempelajari metode yang telah ditentukan,
sehingga dalam mengistinbathkan hukum mereka tidak main-main. Meskipun
dalam perjalanan terdapat perbedaan pendapat baik mengenai status hukum atau
perbedaan dalam metode menentukan hukum yang mengakibatkan terjadinya
beberapa aliran dalam ilmu ushul fiqh, namun itu semua merupakan suatu hal
yang biasa dan perlu untk dicermati sehingga akan membuat umat semakin bijak
dalam mengambil hukum.

Daftar Pustaka
Syarifuddin Amir, ushul fiqh, Jakarta; Kencana Perdana Media Group. 2011
Syafe’I Rachmat, ilmu ushul fiqih. Bandung; Pustaka Setia, 2010
www.Wikipedia.com , mukallaf, mujtahid,; ciputat, akses pada 10 maret 2013
hakim, abdul hamid, al-bayan.

[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 1
[2] Abdul hamid hakim, al-bayan. Hal 3-4
[3] Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu ushul fiqh. Hal. 18
[4] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 3

[5] Mukallaf adalah muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama
(pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum). Seseorang berstatus mukallaf bila ia telah
dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal. Sedangkan mujtahid adalah ialah orangorang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun
mereka tidak mengikuti satu madzhab. Misalnya, Hazairin berijtihad tentang hukum kewarisan
Islam, Mahmus Junus berijtihad tentang hukum perkawinan, A. Hasan Bangil berijtihad tentang
hukum kewarisan dan hukum lainnya, Prof. Dr. H. M. Rasyidi berijtihad tentang filsafat Islam.
Wikipedia, mukallaf. Mujtahid.
[6] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 5
[7] Ibid.Hal. 6-7
[8] Abdul hamid hakim, al-bayan. Hal 3-4
[9] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 41
[10]Ibid.. Hal. 42
[11] Ibid. Hal. 49
[12] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 46
[13] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 47-48

http://zaini-tafrikhan.blogspot.com/2013/06/fiqh-syariah-dan-hukum-islam.html
Materi 3 : Kerangka Dasar Hukum Islam, Perbedaan Syari'ah, Fiqh, dan
Hukum
Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam
Istilah addin al-Islam, tercantum dlm al-Qur’an S.al-Maaidah (5) ayat 3, mengatur
hubungan manusia dengan Allah (Tuhan),

yg. bersifat vertikal, hubungan

manusia dengan manusia lain dalam masyarakat dan alam lingkungan hidupnya
(bersifat horizontal). Ajaran Islam atau addin al-Islam bersumber dari wahyu (alQur’an) dan sunnah Rasul (al-Hadits), serta ar-ra’yu (akal pikiran) manusia
melalui ijtihad. Dengan mengikuti sistematika Iman, Islam dan Ikhsan, kerangka
dasar agama Islam (ajaran Islam) terdiri dari (1) akidah, (2) syari’ah dan (3)
akhlak.
Makna atau pengertian Akidah adalah Iman, keyakinan yang menjadi pegangan
hidup setiap pemeluk ajaran (agama) Islam, rukun iman, adalah asas seluruh

ajaran Islam. Ilmu yang membahas mengenai akidah, yaitu: ilmu kalam, atau ilmu
tauhid (membahas keesaan Allah), atau usuluddin, membahas dan memperjelas
asas agama Islam.

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu kalam adalah ilmu yang

membahas akidah untuk mempertahankan iman dengan mempergunakan akal
pikiran. Aliran ilmu kalam yang terpenting adalah Ahlus-sunnah wal jama’ah atau
Sunni, dan Syi’ah (dianut di Iran).
Syari’ah adalah norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan
manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Yang berupa (a) kaidah
ibadah, mengatur cara dan upacara hubungan langsung manusia dengan Allah,
(b) kaidah muammalah, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain
dan benda dalam masyarakat.
Kaidah ibadah sifatnya tertutup, berlaku asas bahwa, semua perbuatan ibadah
dilarang dilakuka, kecuali kalau perbuatan itu telah ditetapkan oleh Allah,
dicontohkan oleh Rasul-Nya. Dilapangan ibadah tidak ada pembaharuan (bid’ah).
Kaidah muamalah (t) pokok-pokoknya saja yang ditentukan dlm al-Qur’an dan
Sunnah Rasul (Nabi Muhammad). Perinciannya terbuka bagi akal manusia untk
berijtihad.
Contoh, kaidah yang membolehkan seorang laki-laki beristri lebih dr. seorang,
dlm. Q.S. an-Nisa (4) ayat 3 dihubungkan dgn. Ayat 129. Di Indon terlihat dlm
Psl. 3 dan 4 UU no. 1 Thn. 1974 ttg. Perkawinan, menentukan syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh seorang laki-laki kalau ia hendak beristri lebih dr. seorang.
Kaidah asal bidang muamalah adalah kebolehan (ja’iz atau ibahah). Dibidang
muamalah dapat (boleh) dilakukan pembaharuan atau modernisasi, asal tidak
bertentangan dgn. Ajaran Islam.
Akhlak berasal dari kata khuluk berarti perangai, sikap, watak, budi pekerti.

Akhlak dpt dibagi, akhlak terhadap Khalik (pencipta alam semesta), akhlak
terhadap manusia, makhluk. Sumber akhlak Islam adalah al-Qur’an dan alHadits.
Akhlak dapat dibagi dalam:
1.

akhlak terhadap Allah, pencipta, pemelihara dan penguasa alam semesta.

Ilmu yang mempelajari, mendalami akhlak disebut ilmu tasawuf (sufisme, dlm
bhsa Inggris mystic),
2.
akhlak terhadap sesama manusia misal menegakkan keadilan dan
kebenaran bagi diri sendiri, bagi kepentingan masyrkat,
3.
akhlak terhadap selain manusia, yaitu lingkungan hidup.
Dari ketiga komponen agama Islam yang menjadi kerangka dasar ajaran (agama)
Islam dikembangkan sistem filsafat Islam, sistem hukum Islam, sistem pendidikan
Islam, sistem ekonomi Islam dst.
HUKUM ISLAM
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama
Islam (ad Din al Islam). Dlm konsep hkm Barat, hukum adalah peraturan yang
sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan

manusia dlm

masyarkt.tertentu.
Beberapa istilah yg.perlu dijelaskan (1) hukum, (2) hukm dan ahkam, (3) syari’ah
atau syari’at, dan (4) fikih atau fiqh.
Hukm dan Ahkam
Menurut konsepsi hukum Islam, yang dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan
oleh Allah, hukum (bahasa Arab: hukm, jamak: ahkam) itu tidak hanya mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga
hubungan hubungan manusia dengan Tuhan (Allah), hubungan manusia dengan
diri sendiri, hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam
sekitar.

Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan diatur oleh seperangkat ukuran
tingkah laku yang disebut hukm, jamak: ahkam.
Hukm adalah patokan, tolok ukur, ukuran atau kaidah mengenai perbuatan atau
benda.
Dalam sistem hukum Islam ada lima (5) hukum atau kaidah yang digunakan sbg.
Patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun muamalah
Lima jenis kaidah tsb. Disebut al-ahkam al-khamsah atau penggolongan yang
lima, yaitu: (1) ja’iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh, (4) wajib,
dan (5) haram Penggolongan hukum ini disebut juga hukum taklifi, yi : norma
atau kaidah hukum Islam yang mungkin mengandung kewenangan terbuka yaitu
kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan,
disebut ja’iz atau mubah. Hukum taklifi mengandung anjuran untuk dilakukan
karena jelas manfaatnya (sunnat); mengandung kaidah yang seyogyanya tidak
dilakukan karena jelas tidak berguna (makruh); mengandung perintah yang wajib
dilakukan (fardhu atau wajib) ; mengandung larangan untuk dilakukan (haram)
Ilmu usul fikih yaitu pengetahuan yang membahas dasar-dasar pembentukan
hukum fikih Islam.
Hukum wadhi yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat dan halangan
terjadinya hukum. Halangan atau mani’
Syari’at
Dilihat dari segi ilmu hukum, syari’at merupakan norma hukum dasar yang
ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang
berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan
sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan
lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya.

Fikih
Ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas (berusaha) memahami/ menentukan dan
menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat didalam Al-Qur’an dan
ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi Muhammad yang direkam
dalam kitab-kitab hadist, untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah
dewasa yang sehat akalnya (mukallaf), yang berkewajiban melaksanakan hukum
Islam.
Hasil pemahaman tentang hukum Islam disusun secara sistematis dalam kitabkitab fikih.
Contoh :
Hukum fikih Islam karya H. Sulaiman Rasyid, Al Um artinya kitab induk karya
Mohammad Idris as-Syafi’i, dialihbahasakan oleh Tengku Ismail Yakub.
Dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris syariat Islam disebut Islamic
Law, sedang fikih Islam disebut Islamic Jurisprudence.
Didalam bahasa Indonesia untuk syariat Islam sering digunakan kata-kata hukum
syariat atau hukum syara, untuk fikih Islam digunakan istilah hukum fikih.
Syariat adalah landasan fikih, fikih adalah pemahaman tentang syariat.
Didalam Al-Qur’an Surah al-Jatsiah (45) ayat 18, surat at-Taubah (9) ayat 122
terdapat perkataan syariah dan fikih
Pada pokoknya perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :
1.

Syariat terdapat dalam al-Qur’an dan Kitab-kitab Hadis. Sedangkan

Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih.
2.
Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih
luas. Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas.
3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan rasul-Nya, karena itu berlaku
abadi; fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah
dari masa ke masa.
4. Syariat hanya satu, sedang fikih mungkin lebih dari satu.

5. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan
keragamannya.
Hukum fikih, sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan
konkrit, mungkin berubah dari masa ke masa dan mungkin pula berbeda dari satu
tempat ke tempat lain. ini sesuai dengan ketentuan yang disebut juga dengan
kaidah hukum fikih yang menyatakan bahwa perubahan tempat dan waktu
menyebabkan perubahan hukum. Perubahan tempat dan waktu yang menyebabkan
perubahan hukum itu, dalam sistem hukum Islam disebut illat (latar belakang
yang menyebabkan ada atau tidak adanya hukum atas sesuatu hal). Kesimpulan
bahwa hukum fikih itu cenderung relatif, tidak absolut seperti hukum syariat yang
menjadi sumber hukum fikih itu sendiri. Sifatnya zanni yakni sementara belum
dapat dibuktikan sebaliknya, ia cenderung dianggap benar. Sifat ini terdapat pada
hasil karya manusia dalam bidang apapun juga.
Berlawanan dengan hukum fikih yang semuanya bersifat zanni (dugaan), hukum
syariat ada yang bersifat pasti. Yang pasti, karena itu berlaku absolut, disebut
qath’i, seperti misalnya ayat-ayat al-Qur’an yang menentukan kewajiban shalat,
zakat, puasa, haji dan ayat-ayat kewarisan. Juga sunnah Nabi yang mewajibkan
manusia menuntut ilmu pengetahuan.
Contoh :
Hukum syariat membolehkan perceraian, para ahli hukum (fikih) Islam tidak
boleh menggariskan ketentuan hukum fikih yang melarang perceraian. Hukum
syariat menentukan bahwa wanita dan pria sama-sama menjadi ahli waris dari
almarhum orangtua dan keluarganya. Hukum fikih tidak boleh merumuskan
ketentuan yang menyatakan bahwa wanita tidak berhak menjadi ahli waris.
Hukum Islam, baik dalam pengertian syariat maupun dalam pengertian fikih,
dapat dibagi dua :
(1) bidang ibadah dan
(2) bidang muamalah.

Tata cara berhubungan dengan Tuhan melaksanakan kewajiban sebagai seorang
muslim dalam mendirikan (melakukan) salat, mengeluarkan zakat, berpuasa
selama bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji, termasuk dalam kategori
ibadah. Mengenai (1) ibadah yakni cara dan tata cara manusia berhubungan
langsung dengan Tuhan, tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi. Sifatnya
tertutup, yakni semua perbuatan ibadah dilarang kecuali perbuatan yang dengan
tegas di suruh.
Mengenai (2) muamalah dalam pengertian yang luas, terbuka sifatnya untuk
dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan
usaha itu. Dalam soal muamalah berlaku asas umum, semua perbuatan boleh
dilakukan, kecuali ada larangan didalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad.
Contoh, misalnya larangan membunuh, mencuri, merampok, berzina, menuduh
orang lain melakukan perzinaan, meminum minuman yang memabukkan
(mabuk), memakan riba.
http://hidayaheducation.blogspot.com/2012/04/materi-3-kerangka-dasar-hukum-islam.html

HUKUM ISLAM, SYARI’AT DAN FIQIH
In Uncategorized on 1 Februari 2011 at 2:39 am

A. Latar Belakang Masalah
Di dalam

kepustakaan hukum Islam berbahasa

inggris, Syari’at Islam

diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang Fikih Islam diterjemahkan dengan
Islamic Jurispudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam, sering,
dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’ untuk fikih Islam
dipergunakan istilsh hukum fikih atau kadang-kadang Hukum Islam.[1]
Dalam praktek seringkali, kedua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam,
tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Ini dapat dipahami karena hubungan ke
duanya memang sangat erat, dapat dibedakan, tetapi tidak mungkin dicerai

pisahkan. Syari’at adalah landasan fikih adalah pemahaman tentang syari’at.
Perkataan syari’at dan fikih (kedua-duanya) terdapat di dalam al-Qur’an, syari’at
dalam surat al-jatsiyah (45):18
Artinya :. Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui. [2]
Sedangkan perkataan fikih tersebut surat at-Taubah (9): 122.
Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya. Akan tetapi, perangkuman kedua istilah itu ke
dalam satu perkataan, sering menimbulkan salah pengertian terutama kalau
dihubungkan dengan perubahan dan pengembangan hukum Islam.[3]
Oleh karena itu seorang ahli hukum di Indonesia harus dapat membedakan mana
hukum islam yang di sebut (hukum syari’at) dan mana pula hukum Islam yang
disebut dengan (hukum fikih). Ungkapan bahwa hukum Islam adalah hukum suci,
hukum Tuhan, syariah Allah, dan semacamnya, sering dijumpai. Juga demikian
yang beranggapan bahwa hukum Islam itu pasti benar dan diatas segala-galanya,
juga tidak jarang kita dengar. Disini tampak tdak adana kejelasan possi dan
wilayah antara istilah hukum Islam dan syariah Allah dalam arti konkritnya
adalah wahyu yang murni yang posisinya diluar jangkaan manusia.[4]
Pengkaburan istilah antara hukum islam, hukum syar’i / syari’ah, atau bahkan
syari’ah Islam, pada hakikatnya tidak ada masalah. Namun pengkaburan esensi
dan posisi antara hukum Islam yang identik dengan fiqh, karena merupakan hasil
ijtihad tadi, dengan syari’ah yang identik dengan wahyu, yang berarti diluar
jangkauan manusia, adalah masalah besar yang harus diluruskan dan diletakkan
pada posisi yang seharusnya.
Sumber utama hukum islam adalah al-qur’an, maka hukum islam berfungsi
sebagai pemberi petunjuk, pemberi pedoman dan batasan terhadap manusia. Jika
sesuatu itu haram, maka hukum islam berfungsi sebagai pemberi petunjuk bahwa

hal tersebut tidak boleh dikerjakan, sebaliknya jika sesuatu itu wajib maka
haruslah dikerjakan.. dengan istilah lain ketentuan hukum islam itu berarti hasil
ijtihad fuqaha dalam menjabarkan petunjuk dari wahyu itu. Namun yang terjadi
selama ini seolah-olah hukum islam itu merupakan seperangkat aturan dan
batasan yang sudah mati, sehingga selalu terkesan pasif. Akhirnya hukum islam
menimbulkan kesan menakutkan bagi masyarakat sekitarnya, padahal hukum
islam itu harus bersifat aktif sesuai dengan pendapat Abu Hanifah adanya istilah
ma’rifat (mengetahui) dimana kalimah tersebut memberi inspirasi untuk aktif
tidak terlambat memberi ketentuan hukum islam, jika muncul kasus baru.
Batasan-batasan tersebut dalam ilmu hukum disebut sebagai fungsi sosial control.
[5]
Berangkat dari masalah tersebut penuls akan mengkaji dan membahas Hukum
Islam , Syariat dan Fiqh karakter dan tantangannya.
B. Pertanyaan Masalah
Sebagai arah dari penulisan ini akan dibatasi bahasan ini dengan pertanyaan
masalah yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Islam , Syariat dan Fiqh?
2. Bagaimana karakter dan tantangannya ?.
BAB. II
( KARAKTER DAN TANTANGANNYA)
A Hukum Islam
1. Pengertian Hukum Islam :

Menurut Hasby Ash Shiddieqie menyatakan bahwa hukum islam yang
sebenarnya tidak lain dari pada fiqh islam atau syariat Islam, yaitu koleksi daya
upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. [6]
‫مجموع محاولتا الفقهاء لتطبيق الشريعة علي حاجاتا المجتمع‬

Kumpulan daya upaya para ahli hukum untuk menetapkan syari’at atas kebutuhan
masyarakat.
Istilah hukum islam walaupun berlafad Arab, namun telah dijadikan bahasa
Indoneisa, sebagai terjemahan dari Fiqh Islam atau syari’at Islam yang bersumber
kepada al-Qur’an As-Sunnah dan Ijmak para sahabat dan tabi’in.lebih jauh Hasby
menjelaskan bahwa Hukum Islam itu adalah hukum yang terus hidup, sesuai
dengan undang-undang gerak dan subur. Dia mempunyai gerak yang tetap dan
perkembangan yang terus menerus.[7]
Hukum islam menekankan pada final goal, yaitu untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia.. fungsi ini bisa meliputi beberapa hal yaitu : a. fungsi
social engineering. Hukum islam dihasilkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan
kemajuan umuat. Untuk merealisasi ini dan dalam kapasitasnya yang lebih besar,
bisa melalui proses siyasah syariyyah, dengan produk qanun atau perundangundangan ; b. perubahan untuk tujuan lebih baik. Disini berarti sangat besar
kemungkinannya untuk berubah, jika pertimbangan kemanfaatan untuk
masyarakat itu muncul.
2. Ruang Lingkup Hukum Islam
Dalan hukum islam tidak dibedakan antara hukum perdata dengan hukum publik.
Hal ini disebabkan menurut sistem hukum islam pada hukum perdata terdapat
segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya. Oleh karena itu
dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan
hanya bagian-bagiannya saja, seperti (1). Munakahat., (2.).wirasah (3). Muamalat
dalam arti khusus (4). Jinayat atau ukubat (5). Al-ahkam as-sultoniyyah (khalifa)
(6). Siyar.; (7). Mukhasshamat[8]
Kalau bagian bagian-bagian tersebut disusun menurut sistimatika hukum barat
yang membedakan antara hukum perdata dengan hukum publik Maka susunan
hukum muamalah dalam arti luas itu adalah sebagai berikut : Hukum Privat : 1.
Munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian serta akibat-akibatnya ; 2. wirasah (faraidl) mengaur segala masalah
yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian
warisan ;

Muamalah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak
atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam, perserikatan dan sebagainya.
Hukum Publik adalah : Jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatanperbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun
dalam jarimah takzir. Al-ahkam assultoniyyah membicarakan soal-soal yang
berpusat kepada negara, ke pemerintah 3. Siyar mengatur urusan perang dan
damai, tata hubungannya dengan pemeluk agama dan negara lain ; 4.
Mukshshonat mengatur soal; peradilan, kehakiman dan hukum acara. [9]
3. Prinsip-prinsip Hukum Islam
Maksud prinsip dalam bahasan ini adalah titik tolak pembinaan hukum Islam dan
pengembangannya. Prinsip ini berlaku dimanapun dan kapanpun di wilayah
hukum Islam. Prinsip-prinsp itu adalah :
Pertama : Tauhid Allah, prinsip ini menyatakan bahwa segala hukum dan tindakan
seorang muslim mesti menuj kepada satu tujuan, yaitu Tauhid Allah, Tauhid Allah
disini berarti kesatuan substansi hukum dan tujuan setiap tindakan manusia dalam
rangka menyatu dengan kehendak Tuhan. Jalan untuk meraihnya tidak bisa lain
kecuali deng ‫ش‬n pernyataan : ‫لاله الالله محمد رسول الله‬
Kedua : ‫الموافقت الصحيح المنقول للصحيح المأقول‬
prinsip ini menyatakan bahwa wahyu yang shah bersesuaian dengan penalaran
yang sarih. Dengan kata lain wahyu tidak akan pernah bertentangan dengan akal.
Ini berarti bahwa kebanaran wahyu adalah kebenaan yang mutlak dengan
sendirinya. Wahyu tidak memerlukan pembuktian kebenarannya, baik secara
rasional maupun empirik. Ia telah benar dengan sendirinya.
Ketiga : ‫الرجع الى القران وا لسنة‬
Kembali kepada al-qur’an dan assunnah yang tidak pernah berlawanan dengan
penalaran akal yang sarih. Namun demikian karena wahyu telah terhenti seiring
dengan wafatnya Rasululah SAW. Maka pokok-pokok ajaran agama dianggap
telah sempurna. Sementara response masyarakat muslim terhadap perubahan
sosial budaya dapat berkembang melalui proses ijtihadi.
Ke empat ‫ان اصول الدين وفروعها قد يينها الرسول‬

hal-hal yang berkenaan dengan pokok-pokok agama an sich telah dijelaskan oleh
Rasul. Ini berarti bahwa dalam hal-hal kehidupan dunia yang terus berubah
menganut prinsip-prinsip keadlan dan kebenaran.
Kelima al-adalah, ‫ العذالة‬yang berarti keadilan. Yaitu keseimbangan dan
moderasi yang menghendaki adanya keseimbangan dan kelayakan antara apa yang
seharusnya dilakukan dengan kenyataan, keseimbangan antara kehendak manusia
dan kemampuan merealisasikannya.
Keenam, ‫الن لفى الضاحا الحقيقة في‬
Bahwa kebenaran itu bukan pada alam idea, bukan pada alam cita-cita dan apa
seharusnya, melainkan apa yang menjadi kenyataan. Prinsip ini menghendaki
pelaksanaan. Hukum Islam itu dilakukan sesuai dengan apa yang paling mungkin
dan tidak selalu mengharuskan dilaksanakan sesuai dengan apa yang diyakini
paling tepat dan benar.
Ketujuh Al-Huriyyah. ‫الحرية‬
Ini berarti kemerdekaan atas kebebasan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap
orang mempunyai kebebasan baik untuk beragama ataupun tidak. Tidak ada
paksaan dalam beragama. Namun demikian sesuai dengan prinsif tauhid Allah,
manusia telah diberi dua pilihan bersyukur atau berkufur.
Kedelapan al-musawah ‫المساوة‬prinip ini secara etimologis berarti persamaan,
prinsip menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai derajat yang sama.
Pembentukan qonun hanya mungkin jika setiap individu masyarakat muslim
terlindungi hak-hak asasinya yang sesuai prinsip hukum islam, adalah alhurriyyah, dan al-musawwah ‫ المساوة الحرية‬. Hak-hak asasi setiap individu
muslim yang merupakan prinsip hukum islam dalam bermasyarakat itulah yang
memungkinkan terjadinya keseimbangan masyarakat,
Prinsip kesembilan al-musyawarah ‫ المشوارة‬. Musyawarah dapat berarti
meminta pendapat dari pihak pimpinan kepada yang dipimpin atau berupa usul
dari arus bawah, yakni dari lapisan masyarakat yang dipimpin kepada yang
memimpinnya. Prinsip ini merupakan landasan hukum islam melalui proses
taqnin dan menjadikannya sebagai hukum positif.[10]
4. Tujuan Hukum Islam

Agama Islam diturunkan Alloh mempunyai tujuan yaitu untuk mewujudkan
kemaslahatan hidup manusia secara individual dan masyarakat. Begitu pula
dengan hukum-hukumnya. Menurut Abu Zahroh ada tiga tujuan hukum Islam.
[11]
1. Mendidik individu agar mampu menjadi sumber kebajikan bagi
masyarakatnya dan tidak menjadi sumber malapetakata bagi orang lain;
2. Menegakkan keadilan di dalam masyarakat secara internal di antara sesama
ummat Islam maupun eksternal antara ummat Islam dengan masyarakat luar.
Agama Islam tidak membedakan manusia dari segi keturunan, suku bangsa,
agama. Warna kulit dan sebagainya. Kecuali ketaqwaan kepada-Nya.
3. Mewujudkan kemaslahatan hakiki bagi manusia dan masyarakat. Bukan
kemaslahatan semu untuk sebagian orang atas dasar hawa nafsu yang berakibat
penderitaan bagi orang ain, tapi kemaslahatan bagi semua orang, kemaslahatan
yang betul-betul bisa dirasakan oleh semua pihak.
Yang dimaksud dengan kemaslahatan hakiki itu meliputi lima hal yaitu Agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Yang lima ini merupakan pokok kehidupan
manusia di dunia dan manusia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan hidupnya
di dunia ini kecuali dengan kelima hal itu. Menurutnya yang dimaksud dengan
lima ini adalah:[12]
1. Memelihara Agama Memelihara agama adalah memelihara kemerdekaan
manusia di dalam menjalankan agamanya. Agamalah yang meninggikan
martabat manusia dari hewan. Tidak ada paksaan di dalam menjalankan
agama. Sudah jelas mana yang benar dan mana yang salah.
2. Memelihara jiwa adalah memelihara hak hidup secara terhormat
memelihara jiwa dari segala macam ancaman, pembunuhan, penganiayaan
dan sebagainya. Islam menjaga kemerdekaan berbuat, berpikir dan
bertempat tinggal, Islam melindungi kebebasan berkreasi di lingkungan
sosial yang terhormat dengan tidak melanggar hak orang lain.
3. Memelihara akal adalah memelihara manusia agar tidak menjadi beban
sosial, tidak menjadi sumber kejahatan dan penyakit di dalam masyarakat.
Islam berkewajiban memelihara akal sehat manusia karena dengan akal

sehat itu manusia mampu melakukan kebajikan dan sesuatu yang
bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat laksana batu merah di dalam
bangunan sosial.
4. Memelihara keturunan, adalah memelihara jenis anak keturunan manusia
melalui ikatan perkwainan yang sah yang diikat dengan suatu aturan
hukum agama.
5. Memelihara harta benda adalah mengatur tatacara mendapatkan dan
mengembang biakkan harta benda secara benar dan halal, Islam mengatur
tatacara bermuamalah secara benar, halal, adil dan saling ridla merdlai.
Islam melarang cara mendapatkan harta secara paksa, melalui tipuan dan
sebagainya seperti mencuri, merampok, menipu, memeras dan sebagainya.
Muhammad Abu Zahro telah membagi kemaslahatan kepada 3 tingkatan : (1).
Bersifat dlaruri (2). Haaji; (3). Tahsini.[13]
1. Yang bersifat daruri adalah sesuatu yang tidak boleh tidak harus ada untuk
terwujudnya suatu maslahat seperti kewajiban melaksanakan hukuman
qisas bagi yang melakukan pembunuhan sengaja, diyat bagi pembunuhan
yang tidak sengaja.
2. Masalahat yang bersifat haaji adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk
menolak timbulnya kemadlaratan dan kesusahan di dalam hidup manusia.
Seperti diharamkan bermusuhan, iri dengki terhadap orang lain, tidak
boleh egois.
3. Maslahat yang bersifat tahsini adalah sesuatu yang diperlukan untuk
mewujudkan kesempurnaan hidup manusia.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa tujuan hukum Islam itu ada dua tujuan
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Dimaksud dengan tujuan umum
ditetapkannya aturan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia didalam hidupnya, yang prinsifnya adalah menarik manfaat dan menolak
kemadlaratan. Kemaslahatan manusia itu ada yang bersifat daruri, haaji dan
tahsini.[14] Tujuan hukum Islam yang bersifat khusus adalah yang berkaitan
dengan satu persatu aturan hukum Islam. Hal ini dapat diketahui dengan
memahami asbabun nuzul dan hadits-hadits yang shahih.

B. SYARI’AT
Pengertian syariat islam menurut Mahmud Syaltut adalah ;
‫الشريعة لغة المورد تؤمه الناس اوالدواب للشرب والصطلحاا الحاكام‬
‫والنظم التي شرعها‬
‫الله لعباده لتباعها وعلي قطهم بالناس بعضهم ببعض واننانعني هنا‬
‫بمعنى الصاطلحاى والتعبير بالشريعة ينصرف الي الحاكام التي جاء بها‬
‫القران الكريم والسنة المحمد ية ثم ما اجمع عليه الصحا بة مما اجتهدوا‬
‫فيه ويدخل فى الجتهاد الحكم بالقياس والقرائن والمارات والدلئل‬
Syariat menurut bahasa ialah : tempat yang didatangi atau dituju oleh manusia dan
hewan guna meminum air. Menurut istilah ialah : hukum-hukum dan aturan yang
Allah syariatkan buat hambanya untuk diikuti dan hubungan mereka sesama
manusia. Disini kami maksudkan makna secara yang istilah yaitu syari’at tertuju
kepada hukum yang didatangkan al-qur’an dan rasulnya, kemudian yang
disepakati para sahabat dari hukum hukum yang tidak datang mengenai urusannya
sesuatu nash dari al-qur’an atau as-sunnah. Kemudian hukum yang diistimbatkan
dengan jalan ijtihad, dan masuk ke ruang ijtihad menetapkan hukum dengan
perantaraan qiyas, karinah, tanda-tanda dan dalil-dalil.[15]
Sedangkan Syariat menurut Salam Madkur adalah
‫التشريع لفظ ماخذ من الشريعة التئ من معا نيها عند العرب الطريقة‬
‫المستقيمة والتي اطلقهاالفقهاء المسلمون علي الحاكام التي سنها‬
‫الله لعباده وعلي لسان رسوله ليعملوا بها عنىايمان سواء كانت متعلقة‬
‫بافعال ام با لعقائد ام بالخلقا وهو من الشريعة بهذ المعني اشتق‬
‫التشريع بمعني انشاء الشريعة وسن قواعد ها فالتشريع بناء علي هذا‬
‫ويسمئ تشريعا‬

‫هو سن القوانين سواء كا نت اتية عن طريق الديان‬

‫سماويا ام كا نت من وضع البشر وتفكيرهم وسمي تشريعا وضعيا‬
Tasyri ialah lafadl yang diambil dari kata syari’at yang diantara maknanya dalam
pandangan orang Arab ialah ; jalan yang lurus dan yang dipergunakan oleh ahli
fikih islam untuk nama bagi hukum-hukum yang Allah tetapkan bagi hambanya
dan dituangkan dengan perantaraan rasul-Nya agar mereka mengerjakan dengan
penuh keimanan baik hukum-hukum itu berkaitan dengan perbuatan ataupun
dengan aqidah maupun dengan akhlak budi pekerti. dan dinamakan dengan makna

ini dipetik kalimat tasyri yang berarti menciptakan undang-undang dan membuat
qaidah-qaidah Nya, maka tasyri menurut pengertian ini ialah membuat undangundang baik undang-undang itu datang dari agama dan dinamakan tasyri samawi
atau pun dari perbuatan manusia dan pikiran mereka dinamakan tasyri wadl’i. [16]
Syari’at seperti telah disinggung dalam uraian terdahulu terdapat di dalam alQur’an Dan kitab kitab Hadits. Kalau kita berbicara tentang syari’at, yang
dimaksud adalah wahyu Allah dan sabda Rasulullah
Apabila diihat dari segi ilmu hukum, maka syari’at merupakan dasar-dasar
hukumyang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya, yang wajib diikuti oleh orang
islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubunganya
dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat.
Dasar-dasar hukum ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi
Muhammad sebagai Rosul-Nya. Karena itu, syariat terdapat didalam al qur an dan
di dalam kitab kitab Hadits.
Menurut Sunnah Nabi Muhammad, ummat islam tiak akan pernah sesat dalam
perjalanan hidupnya di dunia ini selama mereka berpegang teguh atau
berpedoman kepada Qur’an dan Sunnah Rasulullah.[17]
Dengan perkataan lain, ummat islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan
hidupnya di dunia ini selama ia mempergunakan pola hidup, pedoman lhidup,
tolok ukur hidup dan kehidupan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang
sahih.
Karena norma-norma dasar yang terdapat di dalam AL Quran itu masih bersifat
umum, demikian juga halnya dengan aturan yang ditentukan oleh nabi
Muhammad terutama mengenai muamalah, maka setelah Nabi Muhammad wafat,
norma-norma dasar yang masih bersifat umum itu perlu dirinci lebih lanjut.
Perumusan dan penggolongan norma-norma dasar yang bersifat umum itu ke
dalam kaidah-kaidah lebih konkrit agar dapat dilaksanakan dalam praktek,
memerlukan disiplin dan cara – cara tertentu.
Muncullah ilmu pengetahuan baru yang khusus menguraikan syariat dimaksud.
Dalam kepustakaan, ilmu tersebut dinamakan ilmu fiqih yang ke dalam bahasa
indonesia diterjemahkan dengan ilmu hukum islam. Ilmu fiqih adalah ilmu yang

mempelajari atau memahami syari’at dengan memusatkan perhatiannya pada
perbuatan (hukum) manusia mukallaf yaitu manusia yang berkewajiban
melaksanakan hukum islam karena telah dewasa dan berakal sehat. Orang yang
faham tentang ilmu fikih disebut fakih atau fukaha (jamaknya). Artinya ahli atau
para ahli hukum islam.[18]
Kata yang sangat dekat hubungannya dengan perkataan syari’at seperti telah
disebut di atas adalah syara’ dan syar’i yang diterjemahkan dengan agama. Oleh
karena itu, jika orang berbicara tentang hukum syara’ yang dimaksudnya adalah
hukum agama yaitu hukum yang ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh RosulNya, yakni hukum syari’at. Dari perkataan syari’at ini lahir kemudian perkataan
tasyri’, artinya pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari
wahyu dan sunnah yang disebut tasyri’ samawi dalam kepustakaan (samawi =
langit), dan peraturan perundang–undangan yang bersumber dari pemikiran
manusia, yang disebut tasyri’ wadh’i (wadha’a = membuat sesuatu menjadi lebih
jelas dengan karya manusia). Membicarakan soal pemikiran atau penalaran
manusia dalam bidang hukum, kita telah membicarakan soal fiqih.
C. Fiqh
1. Pengertian Fiqh
‫الفقه العلم بالشيء والفهم له والفطنة و غللب على علم الدين لشرقه‬
Fiqh ialah mengetahui sesuatu memahaminya dan menanggapnya dengan
sempurna. [19]
Di dalam bahasa Arab, perkataan fiqih yang di dalam bahasa Indonesia ditulis
fikih atau fiqih atau kadang–kadang feqih, artinya faham atau pengertian. Kalau
dihubungkan perkataan ilmu tersebut di atas, dalam hubungan ini dapat juga
dirumuskan, ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan
norma-norma dasar dan ketentuan- ketentuan umum yang terdapat di dalam alQur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang direkam dalam kitab-kitab Hadits.
Dengan kata lain, ilmu fikih, selain rumusan di atas, adalah ilmu yang berusaha
memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah nabi
Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang
sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum islam. [20]

Pengertian fiqh menurut sebagian para ulama adalah :
‫الحكام الشرعية التى يحتاج ي استنبتهاالي تامل وفهم وجتهاد‬
“Hukum-hukum syara-syara yang diperlukan kedalam renungan yang mendalam,
pemahaman dari ijtihad.[21]
Menurut pendapat sayid Ridla :
‫ويكثر فى القران ذكرالفقه وهو الفهم الدقيق للحقائق الذى يكون به العالم حكيما‬
‫عامل متتقنا‬
Dan banyak dalam al-qur’an sebutan kalimat fiqh yaitu faham yang mendalam
yang amat halus bagi segenap haqiqat yang dengan mengetahui fiqh. Itulah para
alim menjadi hakim yang sempurna lagi amat teguh.[22]
Hasil pemahaman tentang hukum islam itu disusun secara sistematis dalam kitab
fiqih dan disebut hukum fiqih. Contoh hukum fiqih islam yang ditulis dalam
bahasa Indonesia oleh orang Indonesia adalah, misalnya, Fiqih islam karya H.
Sulaiman Rasjid yang sejak di terbitkan pertama kali tahun 1954 sampai kini
(1990) telah puluhan kali dicetak ulang. Beberapa kitab hukum fikih yang ditulis
dalam bahasa Indonesia. Diantaranya adalah karya Mohammad Idris as-Syafi’i,
salah seorang pendiri mazhab hukum fikih islam, yang bernama : al-Um, artinya
(kitab) Induk.[23]
Fiqh arti asal katanya Paham. Disini fiqh merupakan pemahaman terhadap ilmu
yang berupa wahyu (yaitu al-qur’an dan al-hadits sahih). Jadi fiqh sebagai
suplemen dan sekaligus perbedaan prinsip dengan ilmu. Kelanjutan pengertian
seperti ini adalah bahwa fiqih identik dengan al-ra’yi yang menjadi kebalikan
ilmu tadi. Pengertian fiqh yang demikian kemudian berkembang menjadi berarti
ilmu agama. Atau ilmu yang berdasar agama yakni fase kedua. Dalam fase ini
fiqh mencakup kepada semua jenis, termasuk akidah tasawuf, dan lain-lain. Kitab
al-fiqh akbar karya Abu Hanifah sama sekali tidak menyinggung hukum, namun
isinya adalah hal-hal yang berk