implementasi manajemen berbasis sekolah

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh perkembangan dunia
pendidikan, di mana dunia pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam
menentukan arah maju mundurnya kualitas pendidikan. Hal ini bisa dirasakan ketika
sebuah lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar
bagus, maka dapat dilihat kualitasnya, berbeda dengan lembaga pendidikan yang
melaksanakan pendidikan hanya dengan sekedarnya maka hasilnya pun biasa-biasa saja.
Selanjutnya adanya Perubahan sistem pendidikan nasional, dari undang-undang No.2
Tahun 1989 menjadi undang-undang No. 20 Tahun 2003, merupakan upaya
pembaharuan pendidikan kearah peningkatan mutu. Upaya peningkatan mutu beralih
menjadi tangggung jawab sekolah dengan diberlakukannya Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS), sejalan dengan eraotonomi daerah. Banyak konsep pendidikan dalam
UU Sisdiknas 2003 yang bernilai filosofis, yang dapat membangun ”Paradigma Baru”
pendidikan Indonesia.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan
tuntunan kebutuhan sosial masyarakat. Pada akhirnya tuntunan tersebut bermuara
kepada pendidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab
dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya

yang dapat. dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang
kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan perlu perubahan yang

1

2
dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen
pendidikan di sekolah.
Chapman (1990) dalam Fattah (2003 : 28) menjelaskan bahwa :
“Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai terjemahan dari School Base
Management adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk
meningkatkan, me-redisain pengelolaan sekolah, bertujuan untuk memberikan
kekuasaan dan meningkatkan partisipasi sekolah dalam upaya perbaikan
kinerjanya yang mencakup guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat.
Manajemen Berbasis Sekolah memodifikasi struktur pemerintahan dengan
memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan pemerintahan dan
manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholders)”.
Dengan mengalihkan wewenang dalam keputusan dari pemerintah tingkat
Pusat/Kanwil/Kadis ke tingkat sekolah, diharapkan sekolah akan lebih mandiri dan
mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntunan

lingkungan masyarakatnya. Pada pelaksanaannya disadari bahwa mengimplementasikan
pemberian kewenangan kepada sekolah melalui pendekatan Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) memerlukan proses dan waktu.
Organisasi berwajah lokal dalam kegiatannya cenderung berdasarkan pada
konsensus lewat dialog dan diskusi yang terbuka dan seimbang. Dalam kaitan ini,
jabatan Kepala Sekolah yang selama ini ditunjuk oleh pemerintah perlu diganti dengan
Kepala Sekolah yang dipilih oleh guru dan kelak apabila masa jabatan sudah habis
Kepala Sekolah akan dievaluasi oleh guru pula. Sekolah dengan bentuk organisasi
semacam itu akan memungkinkan sekolah sebagai suatu lembaga yang relatif otonom
dari kekuatan politik. Kerja Kepala Sekolah beserta staf administrasi tim yang
demokratis orang tua murid dilibatkan dalam pelaksanaan pendidikan sebagai
anggota bukan sebagai klien.

3
Dari berbagai problem dan tantangan yang menyertainya, baik secara konseptual
maupun secara operasional pelaksanaan model manajemen berbasis sekolah, maka
urgensi penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji lebih mendalam pada tingkat
aktualisasi realitanya yang lebih riil. Untuk itu, maka muncullah sistem baru
yaitu sistem Manajemen Berbasis Sekolah. Konsep Manajemen Berbasis sekolah (MBS)
ini pertama kali muncul di Amerika Serikat. Latar belakangnya ketika itu masyarakat

mempertanyakan tentang relevansi dan korelasi pendidikan yang diselenggarakan
di sekolah dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Bertitik tolak dari kondisi
tersebut, dipandang perlu membangun suatu sistem persekolahan yang mampu
memberikan kemampuan dasar bagi peserta didik. Muncullah penataan sekolah
melalui konsep MBS yang diartikan sebagai wujud dari reformasi pendidikan
yang meredesain dan memodifikasi struktur pemerintah ke sekolah dengan
pemberdayaan

sekolah

dalam

meningkatkan

kualitas

pendidikan

nasional.


(Sagala, 2004: 17).
Sistem Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu sistem yang menunutut
agar sekolah dapat secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas,
mengendalikan dan mempertanggung jawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik
kepada masyarakat maupun pemerintah (Mulyasa, 2006: 24). Pembelajaran berbasis
kompetensi menekankan pembelajaran ke arah penciptaan dan peningkatan serangkaian
kemampuan dan potensi siswa agar bisa mengantisipasi tantangan aneka kehidupannya.
Sehingga orientasi pembelajaran yang selama ini lebih ditekankan pada aspek
”pengetahuan” dan target ”materi” yang cenderung verbalistis berubah menjadi lebih
ditekankan pada aspek ”kompetensi” dan target ”keterampilan”. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan mutu pembelajaran. Peningkatan mutu pembelajaran merupakan suatu

4
proses sistematis yang dilakukan secara terus menerus dalam meningkatkan kualitas
proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan pembelajaran, dengan
tujuan agar menjadi target sekolah dapat tercapai.
Keberhasilan pendidikan dengan sistem MBS ini dapat diukur dari indikatorindikator yang meliputi: input, proses, output dan outcome. (Engkoswara, 1988: 54).
Pertama, input yaitu diantaranya adalah kualitas guru haruslah profesional dalam
pengembangan ide kreativitasnya sehingga dapat menunjang mutu pembelajaran. Kedua,
proses pembelajaran, pada umumnya pembelajaran ditekankan pada proses pengajaran

oleh guru (teacher teaching) dibandingkan dengan proses pembelajaran oleh murid
(student learning). Hal ini menyebabkan proses belajar menjadi statis dan beku. Oleh
karena itu untuk memperbaiki mutu pendidikan, upaya pemberdayaan pembelajaran
yang difokuskan siswa belajar menjadi sangat penting. Pemberdayaan yang dimaksud
tidak akan meninggalkan fungsi dan peran guru, sehingga keterampilan guru dalam
mengelola pembelajaran sangat dibutuhkan. (Rahardja, 2002: 5). Ketiga, output,
diantaranya adalah masyarakat dan dunia usaha.
Hal ini pula yang menjadi tolok ukur peningkatan mutu pembelajaran di sekolah,
karena sekolah yang baik merupakan suatu kebanggaan baik bagi pengelola (yayasan)
ataupun bagi masyarakat sekitar (Fattah, 1999: 3). Adapun untuk dunia usaha itu juga
merupakan suatu bukti ada tidaknya peningkatan mutu pembelajaran di sekolah tersebut,
semakin baik dunia usaha yang dimiliki lulusan sekolah tersebut maka semakin baik
juga pula mutu sekolah tersebut. Keempat, outcome meliputi jumlah lulusan ketingkat
pendidikan berikutnya. Engkoswara, 1988: 54). Selain itu, sistem pembelajaran MBS ini
memiliki ciri-ciri lain diantaranya:

5
1. Tidak bersifat sentralistik, maksudnya semua kegiatan pendidikan tidak tergantung
pada pusat (pemerintah).
2. Memiliki hak otonomi yang luas dalam mengembangkan kreativitas dalam

memberdayakan dan mengoptimalisasi sumber-sumber daya yang ada.
3. Memiliki sifat kewiraswastaan sehingga manajemen sekolah akan lebih luwes dan
inovatif.
4. Non birokrasi yaitu sedikit mengesampingkan syarat-syarat hukum dan teknis dalam
pendirian sekolah. (Bambang Rahardja, 2002: 5).
Selain empat ciri diatas, ada empat alasan perlunya sekolah menerapkan program
sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yaitu:
1. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kelebihan dan kelemahan
dirinya, sehingga mereka dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk
memajukan lembaganya.
2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya khususnya input pendidikan yang
akan dikembangkan dalam proses pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah dan
perkembangan anak didiknya.
3. Sekolah dapat mempertanggungjawabkan kinerja dan mutu pendidikan yang
dihasilkan sekolah masing-masing kepada orangtua, masyarakat dan pemerintah,
sehingga mereka akan berupaya seoptimal mungkin untuk melaksanakan dan
mencapai target mutu pendidikan yang telah direncanakan.
4. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk
meningkatkan mutu pembelajaran dengan dukungan orangtua, masyarakat dan
pemerintah daerah setempat atau bahkan pemerintah pusat. (Umaedi, 2000: 3).


6
Pada dasarnya model manajemen berbasis sekolah adalah model pengelolaan
pendidikan yang mencoba diterapkan oleh sekolah- sekolah negeri maupun swasta, tidak
terkecuali dengan SMP Negeri 4 Khusus yang juga telah menggunakan model
manajemen berbasis sekolah. Berdasarkan observasi awal Sebagai implementasi dari
konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang demokratis berciri pada pemberian
wewenang luas pada sekolah untuk mengatur pendidikan dan pengajaran sebagai
aspirasi dari masyarakat kepada sekolah merupakan inti dari konsep MBS, maka di
ketahui bahwa SMP Negeri 4 Khusus

adalah salah satu lembaga yang mencoba

mempelopori dan menerapkan konsep MBS.
SMP Negeri 4 Khusus sebagai sebuah lembaga pendidikan yang telah berdiri
cukup lama dikenal sebagai sebuah lembaga yang memiliki segudang prestasi yang
sangat membanggakan baik di tingkat Kabupaten, Provinsi bahkan sampai pada tingkat
Nasional. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang di bawah naungan pemerintah,
maka policy yang dilakukan tentu saja didasarkan pada peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah, baik dalam bidang administrasi, proses pendidikan, proses

pengelolaan dan lain sebagainya. Karena orientasi kurikulum sekarang mengacu pada
peningkatan kualitas manajemen yang berbasis sekolah, maka penekanan pengembangan
yang semula berorientasi pada kuantitas berubah menjadi kualitas, mandiri, dan
disentralisasi. Namun realitasnya bahwa belum sepenuhnya sekolah ini

mampu

melaksanakan school based management atau MBS yang diharapkan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan.
Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas maka ada beberapa hal yang
mendasari mengapa penelitian ini mengambil lokasi di SMP Negeri 4 Khusus, yaitu:

7
1. Belum ada penelitian terdahulu yang membahas tentang bagaimana implementasi
manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Khusus.
2. Tingkat kelulusan siswa pada setiap ujian nasional mengalami peningkatan.
3. Berdasarkan observasi awal, tenaga pengajar di sekolah tersebut telah menjalankan
aktivitas mengajar dengan konsep PAIKEM.
4. Diduga besarnya jumlah siswa pada sekolah tersebut mengindikasikan bahwa minat,
partisipasi, dan apresiasi masyarakat terhadap sekolah ini sangatlah besar.

5. Belum diketahui ketersediaan dan kesiapan input-input pendidikan yang mendukung
keterlaksanaan program manajemen peningkatan berbasis sekolah diduga belum
memadai.
6. Belum diketahui keterbukaan manajemen sekolah, baik di segi dana maupun program
belum sesuai dengan yang dikehendaki.
7. Diduga iklim kerjasama antara sesama komunitas sekolah, komunitas sekolah
dengan masyarakat belum terlaksana dengan baik.
8. Belum terdeteksi efektifitas partisipasi komite sekolah dan dewan pendidikan dalam
penggalian dana sekolah.
9. Diduga belum maskimal akuntabitas sekolah kepada stakeholders.
10. Diduga belum memadai upaya untuk memecahkan

berbagai faktor-faktor

penghambat dalam pengimplementasian manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri
4 Khusus.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dikemukakan
rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:


8
1. Bagaimana Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4
Khusus Kabupaten Umum?
2. Faktor-faktor apa yang menghambat dan mendukung penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP
Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum.
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menghambat dan mendukung penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis sebagai bahan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
khususnya ilmu Administrasi Negara.
2. Manfaat praktis adalah sebagai berikut:
a. Sebagai bahan informasi bagi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
umumnya dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Selatan
khususnya Kabupaten Umum dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
b. Sebagai bahan informasi kepada mereka yang berprofesi guru dalam menggali

informasi penting tentang manajemen berbasis sekolah.
c. Sumber pengetahuan aktual bagi pengelola sekolah (kepala sekolah, yayasan
pendidikan) dalam penerapan manajemen berbasis sekolah.
d. Memacu partisipasi aktif masyarakat dalam memajukan mutu pendidikan

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Desentralisasi Pendidikan
Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
pada hakekatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan azas
desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Berkaitan dengan aspirasi masyarakat, ditegaskan pula bahwa daerah dibentuk
berdasarkan kehendak masyarakat setempat dengan

mempersyaratkan kemampuan

ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah dan berbagai syarat lain yang
memungkinkan daerah menyelenggarakan otonomi daerah (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 7
ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004).
Dipertegas pula “Bahwa bidang pendidikan merupakan bidang yang termasuk
dalam garapan kewenangan daerah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah
pusat yang dikenal dengan desentralisasi pendidikan”.
Selanjutnya Burhanuddin (1998 : 117) “Sistem Sentralisasi atau desentralisasi
dalam penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan memiliki implikasi langsung
terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional dan manajemen
pendidikan. Bidang-bidang yang terkait langsung dengan sistem tersebut adalah
kebijaksanaan, pengawasan, mutu dan sumber dana pendidikan”.

10

10
Pendelegasian bisa berarti penyerahan wewenang dari pusat ke daerah, atau dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau dari unit ke unit dibawahnya, termasuk
pula dari pemerintah ke masyarakat. Salah satu wujud desentralisasi yang dimaksud
adalah terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Kewenangan
itu

perlu

diklarifikasikan.

Kewenangan

begitu

luasnya,

seperti

kewenangan

merumuskan, menetapkan, melaksanakan sampai dengan melakukan evaluasi terhadap
suatu kebijakan yang jangkauannya bersifat nasional. Karena itu tidak seluruh
kewenangan dapat didesentralisasikan.
Kalster (2000 : 11), menyebutkan bahwa desentralisasi pendidikan dalam
bentuk School Base community, diyakini dapat meningkatkan efisiensi, relevansi.
pemerataan dan mutu pendidikan serta memenuhi azas keadilan dan demokrasi. Hasil
studinya menunjukkan bahwa terdapat potensi yang memungkinkan keberhasilan
pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi lebih besar, di samping
menunjukkan sikap tanggap, pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga dapat
ditunjukkan sebagai sarana peningkatan efesiensi, mutu dan pemerataan pendidikan.
Penekanan tersebut berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi oleh pemerintah Misalnya krisis ekonomi yang tidak dapat dihindari
dampaknya terhadap pendidikan, terutamanya berkurangnya penyediaan dana yang
cukup untuk pendidikan dan menurunnya kemampuan sebagai orang tua untuk
membiayai pendidikan anaknya. Kondisi tersebut secara langsung mengakibatkan
menurunnya mutu pendidikan dan terganggunya proses pemerataan. Dengan melibatkan
masyarakat dalam pengelolaan sekolah, pemerintah akan terbantu dalam control maupun
pembiayaan sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada masyarakat kurang mampu yang

11
semakin bertambah jumlahnya. Di samping itu, berkurangnya lapisan birokrasi dalam
prinsip desentralisasi juga mendukung efesiensi tersebut, keterlibatan kepala sekolah,
dan guru dalam pengambilan keputusan sekolah yang pada akhirnya mendorong mereka
untuk menggunakan sumber daya yang ada seefesien mungkin untuk mencapai hasil
yang optimal.
Pemberian otonomi yang luas kepada sekolah merupakan kepedulian
pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan
mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan
manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh
keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna
mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dengan landasan tersebut,
pemerintah mencoba untuk menerapkan desentralisasi pendidikan sebagai solusi. Selain
hal tersebut diatas, ada beberapa faktor yang mendorong penerapan desentralisasi.
Pertama, tuntutan orang tua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan
perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
Kedua, anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan
baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah. Ketiga, ketidakmampuan
birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan
masyarakat yang beragam. Keempat, penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi
tuntutan baru dari masyarakat. Kelima, tumbuhnya persaingan dalam memperoleh
bantuan dan pendanaan. (Umiarso dan Imam Gojali,2010:47-48)
Dengan demikian, misi utama desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaran pendidikan, meningkatkan pendayagunaan
potensi

daerah,

serta

terciptanya

infrastruktur

kedaerahan

yang

menunjang

12
terselenggaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan zaman, seperti
terserapnya konsep globalisasi, humanisasi dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan
demokratisasi pendidikan dilakukan dengan mengikut sertakan unsur-unsur pemerintah
setempat, masyarakat, dan orang tua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan
dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai kebutuhan
lingkungan. Selain itu, pengembangan kurikulum juga harus mampu mengembangkan
kebudayaan daerah dalam rangka memajukan kebudayaan nasional. Pada tataran ini,
desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu manajemen berbasis sekolah,
pendelegasian wewenang, dan inovasi pendidikan.
Hal yang menarik adalah desentralisasi pendidikan akan berimplikasi pada
tataran dunia baru pendidikan yang lebih humanis. Artinya. Ada ruang-ruang dalam
pendidikan untuk membangun peserta didik agar lebih mengerti dan berbakti untuk
kepentingan dan kesejahteraan bersama dengan landasan kearifan lingkungan. Dengan
asas tersebut, tercipta pula kearifan ekologi yang merupakan buah dari inovasi
kurikulum berbasis lingkungan atau masyarakat.
Pertanyaan terpenting tentang arah desentralisasi pendidikan adalah sampai
seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi kewenangan yang lebih besar menentukan
kebijakan-kebijakan tentang organisasi dan proses belajar mengajar, manajemen guru,
struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, serta sumber-sumber pendanaan sekolah.
Desentralisasi pendidikan yang efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian
kewenagan dan pendanaan yang lebih besar dari pusat ke daerah, tetapi juga meliputi
pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar ke sekolah-sekolah, sehingga
mereka dapat merencanakan proses belajar megajar dan pengembangan sekolah sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masingt-masing sekolah. Oleh karena itu dalam

13
desentralisasi pendidikan ada sasaran utama progaram restrukturisasi sistem dan
manajemen pendidikan di indonesia. Restrukturisasi tersebut hendaknya mencakup halhal berikut:
(a) Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, serta mencerminkan
desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
(b) Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsif
edukatif sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan
untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolahraga, serta menjalankan
syariat agama.
(c) Tenaga pendidikan terutama tenaga pengajar harus melalui proses seleksi sejak
memasuki LPTK disertai sistem tunjangan ikatan dinas dan wajib mengajar.
(d) Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem
pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara
seragam persemester dan tujuan ajaran.
(e) Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan
pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep
dasar yang dipelajari.
(f) Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap
lembaga pendidikan sebagi konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas.
(g) Kegiatan supervisi dan akreditasi. Supervisi serta pembinaan administrasi dan
akademis dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi bertujuan
untuk pengendalian mutu, sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu
pelayanan kelembagaan.

14
(h) Pendidikan

berbasis masyarakat,

seperti

pondok pesantren, kursus-kursus

keterampilan dan pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem
ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
(i) Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus
didasarkan pada bobot penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah
peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat, tingkat
partisipasi pendidikan, serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada setiap
sekolah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pergeseran sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kewenangan lebih banyak kepada daerah kabupaten dan
kota pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih efektif dan
efisien. Pemangkasan mekanisme sistem birokrasi yang berbelit-belit yang terpusat
secara sentralistik telah banyak membuang biaya dan waktu sampai tiba pada tahap
sasaran pendidikan yang sesungguhnya seperti perbaikan kualitas dan personil
pendidikan sekolah dan peserta didik di daerah. Maka Di era otonomi daerah kebijakan
strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1)
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang
memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan
mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas
(community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan
masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan
paradigma belajar atau learning paradigma yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau
learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan

15
pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi
pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera.
Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan
life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan
kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat
memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat
memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati
kesejahteraan dunia akhirat. Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat
pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya
terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS,
mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya
orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru,
siswa, tokoh masyarakat dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan
kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality insurance) yang disusun
secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan
hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan
membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya,
diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah
(RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari
orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas
pendidikan.

16
Sebetulnya,sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai
tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik
sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk
peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas
kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar
(SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program
berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya
sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan,
sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan
pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga
mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun
dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite
sekolah atau para pendidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka
penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin
menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk
dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, yaitu
pemerintah.
Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa masalah.
Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi kewenangan
kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang
seluruhnya harus menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya,
guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun,
pada SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan hasil belajar siswa masih
menjadi “proyek pemerintah pusat” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan.

17
Demikian pula pada tingkat SD di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi
kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah
pusat mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat
pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian
dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh
birokrasi pendidikan.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang
masih setengah hati diserahkan. Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era
Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacammacam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan.
Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai improvisasi
di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah
program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan
pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu
pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
(2) Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
(3) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
(5) Pemberian insentif kepada guru-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
(7)Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk
mengikuti program Pascasarjana.

18
Kebijakan otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah sebagai berikut,
diantaranya: a) Secara general otonomi pendidikan menuju pada upaya meningkatkan
mutu pendidikan sebagai jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih dari 20 tahun
bergelut dengan persoalan-persoalan kuantitas, b) Pada sisi otonomi daerah, otonomi
pendidikan

mengarah

pada

menipisnya

kewenangan

pemerintah

pusat

dan

membengkaknya kewenangan daerah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel
pendidikan yang harus disertai dengan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat, c) Terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan dalam konteks
otonomi daerah dalam menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai
kekuatan tarik menarik antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan.
d) Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar
otonomi pendidikan dapat berjalan pada relny, e) Pada tingkat persekolahan, otonomi
pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip School Based Management
pada tingkat pedidikan dasar dan menengah; penataan kelembagaan pada level dan
tempat yang menjadi faktor kunci keberhasilan otonomi pendidikan, f) Sudah
selayaknya jika otonomi pendidikan harus bergandengan dengan kebijakan akuntabiliti
terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan,
g)Pada level pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih tetap berada dalam kerangka
otonomi keilmuan, h) Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan
tinggi dapat ditempatkan bukan pada kepentingan daerah semata-semata melainkan pada
kenyataan bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional, i) Secara makro, apapun yang
terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulankeunggulannya. (Yoyon, 2000:6)

19
Menurut Fransisca Kemmerer dalam Ali Muhdi 2007:149, ada empat bentuk
desentralisasi pendidikan, yakni:
a) Dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih
rendah dalam jajaran birokrasi pusat.
b) Pendelegasian, yaitu pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintah atau badan
yang dikelola secara publik
c) Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
d) Swastanisasi, berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau
perorangan.
Dalam kasus Indonesia, sejauh yang telah dilakukan nampaknya cenderung
mengambil bentuk yang terakhir, swastanisasi.Menguatnya aspirasi otonomi dan
desentralisasi khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kenyataan adanya
kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama
orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa di antara masalah dan
kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini adalah:1)

Kebijakan pendidikan

nasional yang sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan
keragaman sesuai dengan realita masyarakat Indonesia di berbagai daerah.2) Kebijakan
dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi kepada pencapaian target
kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu
menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses pembelajaran sangat
berorientasi pada ranah kognitif dengan pendekatan formalisme dan pada saat yang
sama, cenderung mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik.
B.

Kebijakan Publik Dalam Dimensi Akuntabilitas.

20
Kebijakan (policy) secar etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani,
yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan
gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima
pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya
(Monahan dalam Syafaruddin, 2008:75). Abidin (2006:17) menjelaskan kebijakan
adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota
masyarakat.Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal
organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk
menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama
para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1999).
Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan
Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif,
meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”.
Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal
yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi
spesifik yang ada.Masih banyak kesalahan pemahaman maupun kesalahan konsepsi
tentang kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan kebijaksanaan, yang
maknanya sangat berbeda dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yang
dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah aturan tertulis hasil keputusan
formal organisasi. Contoh kebijakan adalah : (1) Undang-Undang, (2) Peraturan
Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan
(7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan disini adalah bersifat
mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini juga memberi
pengetahuan pada kita bahwa ruang lingkup kebijakan dapat bersifat makro, meso, dan

21
mikro. Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa
kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959)
memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu
pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas factorfaktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk
mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan
perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan
yang bersifat melembaga bisa tercapai.
Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang ada
dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri,
keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia tidak bisa
berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa
berubah. Ketika kebijakan politik dalam dan luar negeri, kebijakan pendidikan biasanya
akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri dapat pula
mengganti kebijakan yang telah mapan pada jamannya. Bukan hal yang aneh,ganti
menteri berganti kebijakan. Masih ingat dibenak kita ada pelajaran PSPB yang secara
prinsipil tidak jauh berbeda dengan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun di pelajari di
PMP (sekarang PKN/PPKN).
Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut dengan
adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya
semakin keras sekeras tuntutan akan reformasi dalam segala bidang. Ini membuktikan
bahwa kecenderungan masyarakat pada masa kini berbeda dengan masa lalu. Fasli Jalal
dan Dedi Supariadi (2001) menyatakan: Bila di masa lalu masyarakat cenderung

22
menerima apa pun yang diberikan oleh pendidikan, maka sekarang mereka tidak dengan
mudah menerima apa yang diberikan oleh pendidikan.
Masyarakat yang notabene membayar pendidikan merasa berhak untuk
memperoleh pendidikan yang lebih baik bagi dirinya dan anak-anaknya.
Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan
redesain sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat. Caranya adalah
mengembangkan model manajemen pendidikan yang akuntabel. Fasli Jalal dan Dedi
Supriadi (2001) menyatakan: Upaya untuk mencapai akuntabilitas institusi memerlukan
kurikulum yang relevan yang memperhitungkan kebutuhan masyarakat, kemampuan
manajemen yang tinggi, komitmen yang kuat untuk mencapai keunggulan, sarana
penunjang yang mamadai, dan perangkat aturan yang jelas dan dilaksanakan secara
konsisten oleh institusi pendidikan yang bersangkutan. Empat hal penting yang
dikemukakan di atas membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat. Sebab tidak
saja dibutuhkan kemauan tetapi juga kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam teori
perubahan, orang dapat berubah, jika ia memiliki kemauan sekaligus kemampuan.
Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi.
Di Indonesia telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu
pada sekolah dan masyarakat. Model manajemen ini menuntut keterlibatan yang tinggi
dari stakeholders sekolah. Susan Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian
MBS telah muncul manajemen berpartisipasi tinggi yang membutuhkan empat sumber
daya penting: 1) informasi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4) penghargaan dan
sanksi." Empat sumber daya ini jika dikelola secara baik akan meningkatkan efektivitas
manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen sekolah akan ditunjukkan dengan output
yang berkualitas.

23
Akuntabilitas yang tinggi hanya dapat dicapai dengan pengelolaan sumber daya
sekolah secara efektif dan efisien. Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah
lembaga-lembaga pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang
memiliki kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan
Dedi Supriadi (2001:88): Tiga aspek yang dapat memberi jaminan mutu suatu lembaga
pendidikan, yaitu kompetensi, akreditasi, dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang
dianggap telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut
berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang
dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga terakreditasi
(accredited).
Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai mampu untuk menghasilkan
lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin mutuya sehingga dihargai oleh
masyarakat adalah lembaga pendidikan yang akuntable. Institusi pendidikan yang
akuntabel adalah institusi pendidikan yang mampu menjaga mutu keluarannya sehingga
dapat diterima oleh masyarakat. Jadi, dalam hal ini akuntabel tidaknya suatu lembaga
pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu
lembaga

juga

bergantung

mempertanggungjawabkan

kepada
pengelolaan

kemampuan
keuangan

suatu

lembaga

kepada

publik.

pendidikan
Penulis

mengelompokkan akuntabiltas yang pertama sebagai akuntabilitas kinerja, sementara
yang kedua sebagai akuntabilitas keuangan. Manajemen Berbasis Sekolah yang
diterapkan di Indonesia juga mensyaratkan kemampuan akuntabilitas sekolah kepada
publik.
Menurut Slamet (2005:6): MBS harus dipahami sebagai model pemberian
kewenangan yang lebih besar kepada sekolah, yang meliputi kewenangan mengatur dan

24
mengurus sekolah, mengambil keputusan, mengelola, memimpin, dan mengontrol
sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan
sekolah, maka sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu
sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang
dikerjakan sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti
akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban
penyelenggara

sekolah.

Bagaimana

sekolah

mampu

mempertanggungjawabkan

kewenangan yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab
sekolah. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di Indonesia banyak
instituasi pendidikan yang lemah dan tidak sedikit institusi pendidikan yang tidak
akuntabel.
Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan
sudah seharusnya lebih akuntabel kepada masyarakat dan kecenderungan umum bahwa
isu-isu pendidikan seharusnya terbuka telah membuka ruang bagi untuk menanggapinya,
sekalipun itu bersifat non-profesional." (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita
Headington, 2000). Di Indonesia akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, juga
masih menempuh jalan panjang. Ketika terjadi perubahan mendasar dalam sistem
pendidikan, isu akuntabilitas sepertinya memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah
sebagai basis penerapan manajemen pendidikan dituntut harus mampu mewujudkan
akuntabilitas bagi publik. Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut
Slamet (2005:5), "Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggung
jawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan penyelenggara
organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewajiban untuk meminta keterangan
atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12) mendefinsikan akuntabilias

25
dikaitkan dengan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya dapat terjadi jika ada
partisipasi dari stakeholders sekolah. Semakin kecil partisipasi stakeholders dalam
penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah pula akuntabilitas
sekolah.Jadi,kalau

disimpulkan

akuntabilitas

adalah

kemampuan

sekolah

mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang
diperoleh sebagai hasil partisipasi dari stakeholders.
Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, legal and
financial dimensions and operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi
yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan menuntut
tanggung jawab dari sekolah untuk mewujudkannya, tidak saja bagi publik tetapi
pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita
Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal responsibility to provide
appropriate educational experiences for pupils and to report to parents and other
professionals." Headington menekankan akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun
secara formal (aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua
siswa untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Pendapat Headington
memberi tekanan pada akuntabilitas kinerja pembelajaran. Di Indonesia, juga di Negaranegara yang telah menerapkan MBS, terjadi kekacauan dalam memahami MBS, bahwa
seringkali aspek pembelajaran dipahami terpisah dengan MBS. Apa yang dikatakan oleh
David Marsh merupakan sebuah peringatan keras akan bahaya kekacauan dalam
penerapan MBS. Bahwa MBS tidak dipahami sebagai sebuah inovasi yang terpisah dari
pembelajaran. Jadi, kalau Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek
pembelajaran yang dimotori oleh guru, maka sebenarnya ini adalah bagian hakiki dalam
penerapan MBS yang tidak boleh diabaikan oleh sekolah.

26
Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap
sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang
lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap
sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan:
Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja
sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya.
Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggung
jawabkan hasil kerja kepada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai
kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang
diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan
pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan
pendidikan kepada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan
bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir dari sistem penyelenggaran manajemen sekolah,
tetapi merupakan faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih
tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru sebagai titik awal menuju
keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi.
b.1. Pelaksanaan Akuntabilitas dalam MBS.
Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah
mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang ditandai
dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan manajemen sesuai
dengan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut,
maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang adalah
pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah semakin dekat dengan
masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam pengelolaan merupakan hal yang tidak

27
dapat ditunda-tunda. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam rangka MBS tiada lain
agar para pengelola sekolah atau pihak-pihak yang diberi kewenangan mengelola urusan
pendidikan itu senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan
penyimpangan untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga
berperan besar dalam memenuhi berbagai aspek kepentingan masyarakat. Akuntabilitas
menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal.
Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan
masyarakat. Sekolah dan orang tua siswa. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas
pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama
warga sekolah. Antar kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan
guru. Pengelola sekolah harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh komponen
pengelolaan MBS kepada masyarakat. Komponen pertama yang harus melaksanakan
akuntabilitas adalah guru. Mengapa, karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen
sekolah adalah proses belajar mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus
bertanggung jawab adalah siswa. Guru harus dapat melaksanakan ini dalam tugasnya
sebagai pengajar.
Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal
membuat persiapan, melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu
dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting
untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher
are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing
work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping
them make progress in their learning. Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses

28
pembelajaran, tetapi juga menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas output.
Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan dalam
pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar kecilnya
penerimaan, maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola.
Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari
warga sekolah dan masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi
tidak akan dipercaya. Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga
menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem
yang baik akan menjamin pengelolaan keuangan yang bersih, dan jauh dari praktek
korupsi.
Fakta menyangkut praktek korupsi dalam dunia pendidikan bukan hal baru.
Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) awal tahun 2008 bahwa, korupsi dalam
dunia pendidikan telah menjamah, mulai dari Departemen Pendidikan, Dinas
Pendidikan, hingga di sekolah-sekolah. Kenyataan ini sangat ironis, karena berbanding
terbalik dengan apa yang seharusnya diajarkan lembaga pendidikan kepada anak bangsa,
tidak saja dari segi intelektual tetapi juga moral. Informasi ini merupakan "tamparan"
keras bagi dunia pendidikan. Oleh karena itu dalam rangka penerapan MBS ini,
pengelolaan keuangan sekolah harus jauh dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Akuntabilitas

juga

semakin

memiliki

arti,

ketika

sekolah

mampu

mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang mampu
mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah
yang memiliki tingkat efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki tingkat
efektivitas

outputnya

tinggi,

akan

meningkatkan

b.2. Faktor-Faktor Penghambat Akuntabilitas dalam MBS.

efisiens

eksternal.

29
Codd (1999), seorang pakar kebijakan pendidikan dalam Marks Olssen, dkk
(2004), menyatakan bahwa dalam perspektif global, akuntabilitas dipengaruhi oleh
kecenderungan manusia yang mengutamakan kebebasan. Kebebasan yang muncul
secara baru (neoliberalisme) ikut mempengaruhi ketahanan moral orang dalam
melaksanakan akuntabilitas.

Menurutnya Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-

masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal. Keduanya memiliki ciri yang
berbeda, ini disebabkan oleh karena titik tolak kedunya berbeda. Akuntabilitas eksternal
didasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal didasarkan pada
tanggung jawab profesional, dengan melekat sebuah konsep agen moral. Oleh karena
pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini berbeda, maka hal-hal yang diperlihatkanpun
berbeda. Misalnya, akuntabilitas eksternal memiliki kepercayaan yang rendah,
sedangkan pada akuntabilitas internal justru sebaliknya memiliki kepercayaan yang
tinggi. Selanjutnya dari segi tanggung jawab, pada akuntabilitas eksternal terdapat
kontrol yang hirarkis, sedangkan pada akuntabilitas internal tanggung jawab
professional didelegasikan.
Dari segi pelaksanaan tugas, pada akuntabilitas eksternal terikat pada kontrak,
sedangkan akuntabilitas internal menekankan pada komitmen, loyalitas, rasa memiliki,
dan kecakapan. Akuntabilitas eksternal memperlihatkan proses formal dalam pelaporan
dan perekaman untuk manajamen hirarkhis, sedangkan dalam akuntabilitas internal
akuntabel banyak konstituen. Dalam akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan
peran moral, ketimbang etika kebiasan, dan etika struktur. Sedangkan jenis akuntabilitas
internal peran moral tinggi sehingga pertimbangannya matang dan memiliki kebebasan
untuk bertindak. Kedua jenis akuntabilitas di atas memiliki penda