Hubungan Kejadian Verbal Abuse Orang Tua

!

"
$%&'
1,*

#

Yade Kurnia Sari, 2 Yuhendri Putra

1,2

STIKes Prima Nusantara Bukittinggi
*e mail : yadekurniasari@yahoo.com
#

(

atau biasa disebut
use adalah tindakan lisan atau perilaku yang
menimbulkan konsekuensi emosional yang merugikan. Kekerasan berdampak pada fisik maupun

psikologis pada anak dan dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan termasuk perkembangan
kognitif anak. Sejak Januari hingga April 2014kasus kekerasan fisik terhadap anak sebanyak 94 kasus,
kekerasan emosional sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan kejadian
orang tua terhadap anak dengan
perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Tarok Dipo
Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang, dengan desain penelitian
, pada bulan Agustus
2014, jumlah sampel sebanyak 67 orang dengan menggunakan teknik
.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan kuesioner dan observasi menggunakan format
data diolah dan dianalisis dengan komputer.Hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian kecil
ada kejadian verbal abuse orang tua terhadap anak (46,3%), sebagian besar perkembangan kognitif anak
usia Pra sekolah meragukan (38,8%), normal (31,3%) dan dimana P Value > 0,05 adalah P = 0,710.
Berdasarkan variabel yang diteliti, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian
orang tua dengan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah. Dengan demikian diharapakan kepada
masyarakat dan tenaga kesehatan perlunya memperhatikan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah,
dan dapat memberikan penyuluhan tentang informasi perkembangan anak sesuai dengan “asah”, “asih”,
dan “asuh” tiap tahap perkembangannya dan dapat mewujudkan Bukittinggi menuju kota layak anak.


!
'&
&('

)

"

#$%&

%#

*
*

"

+
#$%&


2

*

,

,

.

,

/

01

-

*
3&0 456

34% 456

347 756
where

8$ $(

*
;

,-

; ;

;

9 $ 1%$ :

)
;


;

2 : ,

!

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

47

)*

+

*

Tumbuh kembang anak merupakan
peristiwa
yang terjadi

selama
proses
pertumbuhan dan perkembangan anak yang
dapat terjadi secara fisik, intelektual, maupun
emosional. Pertumbuhan dan perkembangan
secara fisik dapat berupa perubahan ukuran
besar kecilnya fungsi organ mulai dari tingkat
sel hingga perubahan organ tubuh. Pertumbuhan
dan perkembangan intelektual anak dapat di
lihat dari kemampuan secara simbolik maupun
abstrak, seperti berbicara, bermain, berhitung,
membaca, dan hal ini disebut juga dengan
perkembangan kognitif.
Pertumbuhan dan
perkembangan secara emosional anak dapat
dilihat dari prilaku sosial di lingkungan anak
(Soetjiningsih, 2012)
Tumbuh kembang anak tidak hanya
menyangkut masalah fisik semata, tetapi yang
lebih penting adalah keterlibatannya secara

mental yaitu aspek kognitif yang berhubungan
dengan fungsi intelektual (Wong, 2009).
Perkembangan kognitif adalah tingkah laku
yang mengakibatkan orang memperoleh
pengetahuan atau yang dibutuhkan untuk
menggunakan pengetahuan. Proses utama yang
digolongkan di bawah istilah kognisi mencakup,
mendeteksi, menafsirkan, mengelompokkan dan
mengingat informasi, mengevaluasi gagasan,
menyimpulkan prinsip dan kaidah, mengkhayal
kemungkinan, menghasilkan strategi dan
berfantasi (Wong, 2009).
Masa Pra sekolah adalah masa
perkembangan yang berlangsung stabil dan
masih terjadi peningkatan pertumbuhan dan
perkembangan, khususnya pada aktifitas fisik
dan kemampuan kognitif (Hidayat, 2008).
Perkembangan kognitif pada seorang anak tidak
serta merta tumbuh begitu saja. Hal ini berarti
bahwa setiap manusia (anak) memiliki

karakteristik yang berbeda beda. Perkembangan
kognitif pada anak memang tidak dapat
dikatakan sama dari anak yang satu dengan anak
yang lain. Perbedaan perkembangan ini tidak
lepas dari beberapa faktor. Terdapat 2 faktor
yang mempengaruhi perkembangan kognitif
pada diri seorang anak diantaranyafaktor
internal dan faktor eksternal (Muhibbin, 2011).
Faktor
yang
mempengaruhi
perkembangan kognitif anak tersebut, salah
satunya adalah faktor eksternal seperti interaksi
sosial yang orang tua sangat berperan dalam
faktor
ini.
Sikap
keluarga
terhadap


perkembangan anak sering kali berwujud
otoriter. Otoriter sering dipertahankan oleh
orang tua agar anak patuh dan disiplin untuk
mencapai skala keberhasilan yang diinginkan
orang tua. Orang tua berlaku kasar dan
memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk
memberikan pelajaran pada anak anak mereka.
Padahal seharusnya setiap anak berhak
mendapatkan perlindungan dari kekerasan.
Sebagai akibat dari sikap otoriter ini orang tua
seringkali menunjukkan perlakuan yang salah
(Lianny Solihin, 2009).
Fenomena perlakuan salah dan tidak
wajar merupakan suatu permasalahan yang
dihadapi anak anak, yang dapat terjadi di
lingkungan keluarga, komunitas, sekolah
maupun tempat bermain. Khusus untuk kejadian
di keluarga, kejadian ini banyak tidak terungkap
kepermukaan karena masih ada anggapan
bahwa perlakuan salah pada anak menjadi

urusan domestik yang tidak layak atau tabu
untuk dibuka (Widyastuti Naning, 2009).
Kejadian ini telah menyangkut penegakan hak
asasi manusia dan hak anak, sehingga
permasalahan perlakuan salah dan tidak wajar
pada anak menjadi urusan publik, terutama
terkait undang undang No.23 tahun 2002
tentang
perlindungan
anak,
penderaan,
penganiayaan anak. Kekerasan pada anak
tersebut merupakan terjemahan dari
. Istilah
meliputi berbagai
macam bentuk tingkah laku, dari tindakan
ancaman fisik secara langsung oleh orang tua
atau orang dewasa lainnya, penganiayaan
seksual yang termasuk di dalamnya paksaan
atau memikat anak atau orang muda untuk ikut

ambil bagian dalam aktivitas seksual,
penganiayaan emosi merupakan perlakuan
menyakiti emosional anak secara terus menerus
sehingga menyebabkan pengaruh buruk dan
terus menerus pada perkembangan emosional
anak, yang meliputi penggunaan bahasa yang
salah seperti penyampaian kepada anak bahwa
mereka tidak berharga atau tidak disayang, tidak
cakap, dan semua yang menggambarkan
harapan yang tidak sesuai dengan usia dan
perkembangan anak, hal ini biasa disebut
, sampai kepada pengabaian dan
penelantaran kebutuhan kebutuhan dasar anak
(M.Ihsan, 2013).
Masa Pra sekolah merupakan masa
pembentukan otak dan perilaku anak (Richard,
1999). Pada masa ini ada beberapa hal yang
harus diperhatikan ketika berkomunikasi dengan

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

48

anak. Hal hal tersebut antara lain, penggunaan
nada atau intonasi yang tepat, bicara lambat
(tidak terburu buru saat berbicara), pengulangan
kata perintah dengan pengarahan yang
sederhana, menghindari sikap mendesak,
memberi kesempatan pada anak untuk
menyatakan ketakutan atau perhatian mereka,
emosi apa yang boleh/ tidak boleh ditunjukkan
saat berkomunikasi (Wong, 2009).
menyebabkan gejala yang
tidak spesifik. Kekerasan akan menyebabkan
anak menjadi generasi yang lemah, seperti
agresif, apatis, gangguan perkembangan dan
pertumbuhan,
pemarah,
menarik
diri,
kecemasan berat, gangguan tidur, ketakutan
yang berlebihan, kehilangan harga diri dan
depresi. Bahkan dampak lebih jauh dari
kekerasan yang dilakukan orang tua pada
anaknya adalah memperpanjang lingkungan
kekerasan. Anak yang mengalami tindakan
kekerasan, selanjutnya akan cenderung menjadi
pelaku tindakan kekerasan terhadap orang lain.
Fenomena ini akhirnya menjadi suatu mata
rantai yang tidak terputus, dimana setiap
generasi akan memperlakukan hal yang sama
untuk merespon kondisi situasional yang
menekannya, hingga pola perilaku
yang
diwariskan ini menjadi budaya kekerasan. Jadi,
bila pola asuh yang ada saat ini masih tetap
membudayakan kekerasan, boleh jadi 20 30
tahun kedepan masyarakat kita akan lebih buruk
lagi dari apa yang disaksikan saat ini
(Jalaluddin, 2012).
Hal yang paling sering menyebabkan
orang tua melakukan kekerasan terutama
kekerasan verbal adalah kenakalan anak.
Terutama ketika anak memasuki usia 3 tahun,
usia ini merupakan masa masa pembentukan
otak dan perilaku anak. Pada masa ini anak
dianggap sangat kritis untuk perkembangan
emosi dan psikologis. Perkembangan superego
terjadi selama periode ini dan kesadaran mulai
muncul. Kenakalan anak pada usia 3 sampai 6
tahun merupakan hal yang wajar, dengan cara
seperti itu anak mempelajari lingkungan secara
kreatif, tetapi kadang orang tua melihat hal itu
sebagai suatu hal yang mengganggu, dan orang
tua tidak segan segan untuk melakukan
kekerasan verbal seperti membentak dan
mengabaikan anak (Wong, 2009).
Perlakuan salah pada anak (
) di Amerika Serikat setiap tahunnya lebih
dari3 jutalaporankekerasan terhadap anak,
Amerika
Serikat
memilikisalah
satu
catatanterburuk
di
antaranegara negara
industriyangkehilanganrata rataantara 4 orang
sampai
7
oranganak anaksetiap
hari

untukpenyalahgunaan dan penelantaran anak.
Pada tahun 2012 tercatat bentuk bentuk
pelakuan salah terhadap anak (
)
berdasarkan persentasenya sebagai berikut;
terdapat 78,3 % perlakuan mengabaikan anak,
18,3 % kekerasan fisik, 9,3% kekerasan seksual,
sedangkan bentuk kekerasan emosional
sebanyak 8,5 %, 2,3 % pengabaian medis, dan
10,8 % bentuk kekerasan lainnya (<
"
, 2012), dan berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan
verbal pada anak merupakan masalah serius
yang terjadi pada anak. Hasil survey yang
dilakukan oleh C. S Mott Children’s Hospital
National diketahui bahwa kekerasan verbal
trmasuk ke dalam 10 masalah kesehatan yang
mengkhawatirkan kepada anak (Davis, 2010).
Di Indonesia sendiri masih sedikit data
yang menjelaskan mengenai angka kejadian
kekerasan verbal terutama yang terjadi pada
anak usia Pra sekolah, sebuah studi * .
:
=
menyebutkan bahwa
antara 40% dan 65% anak anak usia Pra
sekolah melaporkan telah ditakut takuti secara
verbal atau secara fisik sehingga mereka
mengalami luka luka fisik dan psikis. Anak
diperkirakan menjadi kekerasan rumah tangga,
biasanya melalui pertengkaran antara orangtua,
hal ini dapat secara serius mempengaruhi
kesejahteraan anak, perkembangan kognitif, dan
interaksi sosial dimasa kanak kanak dan dewasa
(Eunike & Kusnadi, 2009)
Berdasarkan catatan dari KPAI angka
kekerasan terhadap anak menunjukkan
kenaikan. Pada tahun 2011 tercatat ada 261
kasus kekerasan anak, sedangkan pada tahun
2012 lalu tercatat ada 426 kasus kekerasan anak,
baik kekerasan seksual, kekerasan fisik maupun
kekerasan emosional. Dan KPAI mencatat
dalam empat tahun terakhir kasus kekerasan
terhadap anak tertinggi pada tahun 2013 dengan
jumlah kasus sebanyak 1.615. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima
sebanyak 622 laporan kasus kekerasan terhadap
anak sejak Januari hingga April 2014, bentuk
622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari
kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan
seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap
anak sebanyak 94 kasus, kekerasan emosional
sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual
sebanyak 459 kasus. Tercatat 51 % anak
mengalami kekerasan dikeluarga, sementara itu
28,6 % anak mengalami kekerasan dilingkungan
sekolah, 20,4 % anak pernah mengalami
kekerasan dilingkungan masyarakat (Data
KPAI, 2014).

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

49

KPAI pada bulan Maret lalu pernah
menerima laporan, dari salah satu anak
ada yang menerima perlakuan
kekerasan dari temannya, setelah diselidiki
ternyata ini ada kaitannya dengan sikap orang
tuanya yang sering marah tanpa sebab dan
menggunakan bahasa bahasa yang tidak
seharusnya di ucapkan oleh orang tua terhadap
anaknya, dan orang tuanya ternyata mendidik
penuh dengan kekerasan seperti membentak,
dan memukul (Liputan6.com, 2014)
Kemungkinan fenomena verbal abuse
ini akan semakin banyak ditemui, dan menjadi
fenomena gunung es. Hal ini dikarenakan
kebanyak orang tua maupun pihak lain tidak
menyadari bahwa terjadi salah satu bentuk
perlakuan salah pada anak dalam bentuk
kekerasan verbal.
sering kita kenal
seperti mengancam, mengkritik, membentak,
memarahi, dan memaki dengan mengeluarkan
kata kata yang tidak pantas pada anaknya.
merupakan prilaku yang
dikarakteristikkan dengan melakukan tindakan
yang merugikan bagi anak anak secara sadar
dan dilakukan secara berulang ulang yang
disertai dengan adanya ketidakseimbangan
antara pelaku dan korbannya (Jing, 2009).
Kejadian
ini sendiri dapat
disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor faktor
tersebut terdiri dari faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor eksternal yang dapat
menyebabkan munculnya pelakuan
pada anak adalah faktor ekonomi dan
faktor lingkungan,. Sedangkan faktor internal
meliputi pengetahuan orang tua dan pengalaman
orang tua tentang
itu sendiri.
(Soetjiningsih, 2012)
Orang tua terlalu berharap pada anak
dan cenderung memaksa agar anak menuruti
keinginan mereka jika tidak mereka akan
menerima hukuman dan ancaman. Hal ini yang
membuat anak menunjukkan sikap kecemasan,
mudah berputus asa, tidak mudah berencana
sesuatu, juga penolakan terhadap orang lain,
lemah hati dan mudah berprasangka. Tingkah
laku yang yang tidak dikehendaki pada diri
anak merupakan gambaran dari keadaan di
dalam keluarga. Efisiensi konsep orang tua ini
akan mengeringkan potensi anak, menghambat
perkembangan
emosional
anak
serta
menelantarkan minat anak. (Lianny Solihin,
2009).
Dampak dari kejadian verbal abuse
yang di alami oleh anak dapat berdampak pada
perkembangan intelektual seperti perkembangan
kognitif anak dan menimbulkan masalah lain
dalam kehidupan anak. Dampak lain dari

kejadian
pada anak erat kaitannya
dengan prilaku anti sosial pada masa mendatang
setelah anak tumbuh menjadi remaja dan
dewasa. Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Yuliana Fajrina (2007) meneliti di RW 04
Kelurahan Rangkapan Jaya Baru Depok adanya
pengaruh tindak kekerasan orang tua terhadap
perkembangan anak usia sekolah. Hasil
penelitian menunjukkan dari jumlah responden
40 orang, 56% responden mengalami kekerasan
secara verbal oleh orang tua, dan anak
mengalami
gangguan
perkembangan
intelektualnya.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA)
Sumatera Barat menemukan tahun 2008
ditemukan 115 kasus kekerasan pada anak,
tahun 2009 sebanyak 135 kasus, tahun 2011
sebanyak 92 kasus, tahun 2012 sebanyak 86
kasus, dan pada tahun 2013 sebanyak 154 kasus
kekerasan pada anak. Bukittinggi merupakan
kota yang memiliki penduduk terpadat di
Provinsi Sumatera Barat, berdasarkan data yang
diperoleh dari Polresta Kota Bukittinggi
didapatkan angka kekerasan pada anak dari
tahun ke tahun selalu terjadi peningkatan. Pada
tahun 2012 terjadi 32 angka kekerasan pada
anak, di tahun 2013 meningkat menjadi 42
angka kekerasan pada anak, ditahun 2014
periode Januari Mei ditemui 18 angka
kekerasan pada anak. Kekerasan ini tidak hanya
dalam bentuk kekerasan fisik juga dalam bentuk
kekerasan seksual dan emosional. (Polresta
Kota Bukittinggi, 2014)
Berdasarkan survei awal yang telah
dilakukan oleh peneliti pada tanggal 12 Juni
2014 jumlah seluruh anak usia Pra sekolah (usia
5 6 tahun) di Kota Bukittinggi berjumlah 4469
orang yang terdiri dari 2172 anak laki laki dan
sisanya 2297 anak perempuan. Jumlah ini
merupakan hasil dari seluruh anak usia Pra
sekolah yang terdaftar dalam 7 puskesmas yang
terdapat di Kota Bukittinggi. Jumlah anak usia
Pra sekolah terbanyak terdapat di wilayah kerja
Puskesmas Guguk Panjang dengan jumlah 1008
orang, selanjutunya adalah Puskesmas Tigo
Baleh dengan jumlah 973 anak usia Pra sekolah,
dan
urutan
ketiga
adalah
Puskesmas
Mandiangin dengan jumlah 621 orang anak usia
Pra sekolah.
(Dinas
Kesehatan
Kota
Bukittinggi, 2014), dan peneliti lakukan
wawancara sederhana pada tanggal 16 Juni
2014 di Kelurahan Tarok Dipo wilayah kerja
Puskesmas Guguk Panjang, tepatnya di
Puskesmas Pembantu Ujung Bukit, dengan
mewawancarai 10 orang tua yang memiliki anak
usia Pra sekolah yaitu usia 5 6 tahun,
didapatkan hasil semua responden pernah

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

50

berteriak dan menakut nakuti anak. Dari 6
responden tidak mengatahui bahwa berteriak
dan berkata kasar kepada anak merupakan salah
satu bentuk perlakuan salah pada anak (
), mereka menganggap berteriak dan
menakut nakuti anak merupakan suatu hal yang
wajar. 2 diantara responden juga mengatakan
bahwa mereka belum dapat mengerti seluruh
ucapan yang diungkapkan anak. 4 responden
mengetahui bahwa berteriak dan berkata kasar
kepada anak merupakan salah satu bentuk
perlakuan kasar pada anak, namun mereka
masih sering berteriak dan menakut nakuti
anak.
Berdasarkan penelitian Armalis (2012)
meneliti di sekolah dasar negeri 09
Padang Barat adanya hubungan bermakna
antara kekerasan emosional dengan kesehatan
Jiwa anak usia Sekolah. Lebih dari sebagian
responden (54,9%) mengalami kekerasan fisik,
(68,3%) responden mengalami kekerasan
emosional. Sebagian besar responden (76,8%)
mempunyai kesehatan jiwa yang kurang baik.
Dengan maraknya fenomena ini bidan
seharusnya juga memegang peran perawatan
dan perlindungan anak, dan kesehatan jiwa.
Peran tersebut dijalankan di bawah kerangka
kerja
" Tahun 1989 dan >
=
" Tahun 1983. Bidan dapat memberikan
perhatian mengenai potensi penganiayaan anak
pada masa keadaan mental yang dipengaruhi
oleh faktor riwayat wanita saat ini atau situasi
kehidupannya.
Perhatian
ini
mencakup
kekerasan dalam rumah tangga terhadap wanita
itu sendiri, dan penelitian menunjukkan bahwa
terdapat kaitan kuat antara kekerasan dalam
rumah tangga dan penganiayaan anak (Cleaver
et al, 1999). Asuhan antenatal merupakan masa
terbaik bekerja dengan wanita dan memberikan
dukungan, atau membantu wanita memperoleh
dukungan yang dibutuhkannya, guna mencegah
kemungkinan munculnya masalah setelah bayi
lahir. Bahkan banyak persoalan keluarga yang
sering kali di asosiasikan dengan tingkat
penganiayaan yang tinggi adalah mereka yang
orang tuanya, khususnya ibu, mendapatkan
manfaat dari tingkat dukungan ante dan
pascanatal yang tinggi (Diane, 2009)
Begitu juga dengan di Kota Bukittinggi
sendiri sekarang ini adanya kebijakan dan
program perlindungan anak di Kota Bukittinggi,
hal ini tidak hanya semata untuk pemenuhan
hak dasar anak. Namun juga untuk
pengembangan empat hak dasar anak melalui
berbagai program. Guna mewujudkan kota
layak anak tersebut, saat ini pihak Pemko
sedang membuat Ranperda Perlindungan

Perempuan dan Anak, yang memberikan
jaminan pendidikan, kesehatan, dan jaminan
mendapatkan pengakuan identitas (Padang
Ekspres, 2014)
Dari data yang telah penulis dapatkan,
penulis merasa perlu untuk mengetahui adanya
hubungan kejadian
orang tua
terhadap anak dengan perkembangan kognitif
anak usia Pra sekolah di wilayah kerja
Puskesmas Guguk Panjang Kelurahan Tarok
Dipo Bukittinggi. Penelitian ini penting
dilakukan
untuk
memperoleh
sejumlah
kesimpulan sebagai dasar bagi perlindungan
anak dengan mencari sebab sebab kekerasan
sehingga akan mendorong upaya preventif yang
lebih baik bagi upaya penghapusan kekerasan
terhadap anak.

#,)

* -)

) )*)+. . *

Subjek dalam penelitian ini adalah ibu yang
memilki anak usia Pra sekolah dan anak usia
Pra sekolah di Kelurahan Tarok Dipo Wilayah
Kerja Puskesmas Bukittinggi Tahun 2014 yang
berjumlah 673 orang dengan sampel 67
responden. Metode yang digunakan yaitu
penelitian survey analitik dengan pendekatan
. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan adalah
(Arikunto, 2010) Dimana penelitian
ini untuk mengetahui hubungan kejadian
orang tua terhadap anak dengan
perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah di
Kelurahan Tarok Dipo wilayah kerja Puskesmas
Guguk Panjang Bukittinggi tahun 2014.
Variabel independen (intervensi) dalam
penelitian ini adalah kejadian
.
Sedangkan variabel dependentnya (efek) adalah
perkembangan kognitif anak. Teknik analisa
data dengan menggunakan analisa univariat
dan bivariat menggunakan uji
dengan tingkat kepercayaan 95%. Penelitian ini
dilakukan di Kelurahan Tarok Dipo Wilayah
Kerja Puskesmas Guguk Panjang Tahun 2014
dan waktu penelitian bulan Agustus 2014.

.+

* )-#

*

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus
2014 di Kelurah Tarok Dipo wilayah kerja
Puskesmas Guguk Panjang Bukittinggi. Jumlah
responden sebanyak 67 orang yang dipilih
sesuai dengan kriteria sampel. Hasil penelitian
dibahas dalam bentuk analisa univariat dan
analisa bivariate yang akan dijelaskan sebagai
berikut :

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

51

/
'0&

1
!

"

#

$%&'

1
Tidak Ada Kejadian
Ada Kejadian
,

2
36
31

53,7 %
46,3 %

34

&%% 2

Hasil tabel 4.1 bahwa dari 67 orang responden, ditemukan sebagian kecil ada kejadian
yaitu sebanyak 46,3 % (31 orang tua) terhadap anak usia Pra sekolah.
'0$

1
!

"

#

$%&'

1
Abnormal
Meragukan
Tidak Dites
Normal
,

2
10
26
10
21

14,9 %
38,8 %
14,9 %
31,3 %

34

&%% 2

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari 67 responden anak usia Pra sekolah sebagian besar memiliki
perkembangan kognitif meragukan yaitu sebanyak 38,8 % (26 anak), untuk perkembangan kognitif
normal sebanyak 31,3 % (21 anak) dan untuk perkembangan kognitif anak abnormal dan tidak dites
masing masingnya sebanyak 14,9 % (10 anak).
#/
'05
!
"

#

$%&'

Perkembangan Kognitif
Kejadian
"

Jumlah
Abnormal

Meragukan

Tidak Dites

Normal

Frek

%

Frek

%

Frek

%

Frek

%

Frek

%

Tidak Ada
Kejadian
Ada Kejadian

5
5

7,5
7,5

12
14

17,9
20,9

6
4

9,0
6,0

13
8

19,4
11,9

36
31

53,7
46,3

Total

10

14,9

26

38,8

10

14,9

21

31,3

67

100

0,710

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang tidak ada kejadian
orang tua
terhadap anak didapatkan sebangian kecil yaitu 7,5 % (5 orang) anak usia Pra sekolah dengan
perkembangan kognitif abnormal, dan sebagian besar 19,4 % (13 orang) dengan perkembangan kognitif
normal, 9,0 % (6 orang) tidak dites atau menolak saat dites, dan 17,9 % (12 orang) perkembangan
kognitif meragukan, (Ha ditolak) terbukti
> 0,05 yaitu
0,710.
!
"

#

$%&'
Dari hasil penelitian berdasarkan tabel
4.1 dapat diketahui bahwa sebagian besar dari
67 responden yaitu sebanyak 36 orang (53,7%)
tidak ada kejadian
orang tua
terhdap anak di Kelurahan Tarok Dipo Wilayah

Kerja Puskesmas Guguk Panjang Bukittinggi
Tahun 2014.
Angka kejadian ini relatif lebih tinggi
dibandingkan penelitian penelitian sebelumnya
yang diteliti oleh Atlas (2008) yang menyatakan
yang terjadi terhadap anak dalam
keluarga tercatat 35 % (n=120).
Hal ini selaras dengan penelitian
Yuliana Fajrina (2007) meneliti di Rangkapan
Jaya Baru Depok bahwa adanya pengaruh
tindak
kekerasan
orang
tua
terhadap
perkembangan anak usia sekolah. Hasil

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

52

penelitian menunjukkan dari jumlah responden
40 orang, 46 % responden mengalami kekerasan
secara verbal oleh orang tua
atau biasa juga disebut
adalah tindakan lisan atau
perilaku yang menimbulkan konsekuensi
emosional yang merugikan (Wong, 2009).
terjadi ketika orang tua menyuruh
anak untuk diam atau jangan menangis. Jika
anak mulai bicara, ibu terus menerus
menggunakan kekerasan verbal seperti “kamu
bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”.
Anak akan mengingat itu semua jika kekerasan
verbal itu berlangsung dalam satu periode hal
ini yang membuat anak menunjukkan sikap
kecemasan, mudah berputus asa tidak mudah
berencana sesuatu juga penolakan terhadap
orang lain (Lianny Solihin, 2009). Bentuk
yang sering terjadi pada anak
seperti tidak sayang dan dingin, intimidasi,
mengecilkan atau mempermalukan anak,
kebiasaan mencela anak, tidak mengindahkan
atau menolak anak, dan hukuman ekstrim
(Amartha, 2010).
Masih tingginya angka kejadian
pada penelitian ini yaitu sebanyak 46,3
%, tindakan
yang sering dilakukan
orang tua seperti orang tua jarang memeluk
anak, jarang memanggil anak dengan kata
sayang, dan sering menjerit atau berteriak
kepada anak. Lahirnya
tersebut
dipengaruhi oleh pengetahuan orang tua yang
tidak begitu mengetahui atau mengenal
informasi mengenai kebutuhan perkembangan
anak, misalnya anak belum memungkinkan
untuk melakukan sesuatu tetapi karena
sempitnya pengetahuan orang tua, anak dipaksa
melakukan dan ketika anak memang belum bisa
melakukan orang tua menjadi marah,
membentak dan mencaci anak.
Pengalaman orang tua pada sewaktu
kecilnya mendapat perlakuan salah yang
merupakan
situasi
pencetus
terjadinya
kekerasan pada anak. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh M. Ihsan (2013)
yang menyatakan bahwa tindakan
yang terjadi dalam keluarga disebabkan oleh
tidak adanya kehangatan antara orangtua dan
anak. Orang tua juga sering menjerit atau
berteriak kepada anak karena anak tidak
mengindahkan perkataannya, ataupun karena
anak sering berada jauh dari orang tua sehingga
untuk memanggilnya orang tua harus berteriak
agar anak cepat datang. Gaya kontrol yang biasa
digunakan orang tua ini adalah otoriter atau
diktator yaitu orang tua mencoba mengontrol
prilaku dan sikap anak melalui perintah yang

tidak boleh dibantah, dan gaya kontrol permisif
yaitu orang tua memiliki sedikat kontrol atau
tidak sama sekali atas tindakan anak mereka.
Umur orang tua juga mempengaruhi
pola asuh dari orang tua itu sendiri. Pada
penelitian ini terdapat 2 kelompok besar
golongan usia yaitu < 30 tahun dan ≥ 30 tahun.
Dijelaskan menurut (Hurlock, 2012) bahwa usia
20 40 tahun merupakan usia dewasa awal atau
masa reproduksi dimana peran pada masa ini
antara lain peran sebagai pasangan hidup dan
sebagai
orang
tua
yang
selalu
mempersembahkan waktu untuk mendidik dan
merawat anak. Usia orang tua mempengaruhi
peranan dalam menentukan pola asuh, setiap
tahap perkembangan mempunyai peran masing
masing, semakin tua usia orang tua maka
berbeda pula peran dari usia sebelumnya
(Hurlock 2012).
Berdasarkan
kesimpulan
peneliti,
responden yang tidak melakukan
disebabkan mereka jarang merendahkan anak,
jarang mencela anak, dan jarang menjatuhkan
harga diri anak dimuka umum. Tindakan ini
dilakukan orang tua karena mereka tidak ingin
anak anaknya juga direndahkan orang lain,
terutama dalam persaingan sesama orang tua
yang saling membanggakan anak. Sebagian dari
orang tua tersebut mengetahui dan mengenal
informasi mengenai kebutuhan perkembangan
anak, dan kebutuhan pendidikan anak. Orang
tua menganggap bahwa anak adalah anugrah di
dalam keluarga yang kedudukannya sama
dengan yang lain dan harus dihargai. Biasanya
didalam keluarga yang tidak ada kejadian
ini adalah orang tua yang memiliki gaya
kontrol demokratik, orang tua mengarahkan
sikap anak dengan keterbukaan, orang
tuanmenghormati individualitas dari setiap anak
dan mengizinkan mereka untuk menyuarakan
keberatannya terhadap standar atau peraturan
keluarga. Gaya kontrol difokuskan pada
masalah tidak pada penarikan rasa cinta dan
ungkapan sayang pada anak.

!
"

#

$%&'
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui
bahwa dari 67 responden yang diobservasi
menggunakan format penilaian skrening lebih dominan dengan perkembangan kognitif
meragukan, yaitu sebanyak 26 orang (38,8 %).
Penelitian ini sebanding dengan penelitian Dake

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

53

(2008) menyatakan bahwa 38 % (n=132) anak
mengalami keterlambatan kognitif dan ini relatif
lebih tinggi.
Menurut Wong (2009) perkembangan
kognitif merupakan perubahan terkait usia yang
terjadi dalam aktivitas mental. Intelegnsia
memungkinkan individu melakukan adaptasi
terhadap lingkungan sehingga meningkatkan
kemungkinan bertahan hidup, dan melaliu
prilakunya
individu
membentuk
dan
mempertahankan
keseimbangan
dengan
lingkungan.
Perkembangan kognitif anak terdiri
dari bahasa dan visual motor. Bahasa
merupakan salah satu indikator perkembangan
keseluruhan dari perkembangan kognitif anak.
Keterlambatan perkembangan awal kemampuan
bahasa dapat mempengaruhi berbagai fungsi
dalam
kehidupan
sehari hari,
selain
mempengaruhi kehidupan personal sosial, juga
akan menimbulkan kesulitan belajar, bahkan
hambatan saat terjun ke dunia pekerjaan kelak
(Sari Pediatri, 2009).
Berdasarkan
kesimpulan
peneliti,
banyaknya anak dengan perkembangan kognitif
yang meragukan disebabkan karena rendahnya
persepsi anak tersebut yaitu kemampuan
membedakan informasi yang masuk rendah,
gangguan kognisi, dan prematuritas seperti berat
badan lahir,
juga menentukan
perkembangan kognitif anak. Kemudian
kurangnya perhatian dari orang tua untuk
memacu dan mendukung anak dalam setiap
langkah perkembangannya sehingga anak
menjadi tidak diperhatikan dan akan
menyibukkan diri dengan pekerjaan atau
kegiatan yang sama tanpa berusaha untuk
menambah kosa kata dan tata bahasa baru.
Selain itu, perkembangan kognitif ini juga
dipengaruhi oleh stimulasi yang kurang dalam
mengarahkan perkembangan anak, orang tua
yang melakukan
pada anak
mengakibatkan anak takut untuk melakukan
berkata dan melakukan suatu perbuatan,
kurangnya kasih sayang yang didapat dari
anggota keluarga, jumlah anggota keluarga yang
banyak menyebabkan anak kurang terarahkan
dengan baik, serta kepribadian orang tua yang
cenderung
otoriter
dalam
memberikan
pengasuhan pada anak.
Menurut Maslow dalam Mubarak dan
Chayatin
(2007),
Kebutuhan
fisiologis
merupakan kebutuhan paling dasar yang disusul
dengan kebutuhan ditingkat atasnya yaitu rasa
aman dan nyaman,
hargadiri dan aktualisasi. Bila keadaan sosial
ekonomi dan tingkat pekerjaan mapan maka

orang tua cenderung memanfaatkan waktu
luang dengan kegiatan kegiatan yang lebih
memiliki latar belakang dan reputasi yang tinggi
misalnya: rekreasi, les atau pendidikan
tambahan. Sedangkan keadaan sosial ekonomi
dan tingkat pekerjaan yang rendah orang tua
lebih otoriter dan tidak memilki waktu untuk
dapat bersama sama memberikan “asuh”,
“asih”, dan “asah” yang layak dan sesuai
dengan kebutuhan anak.
Sementara bagi anak dengan perkembangan
kognitif normal disebabkan karena banyaknya
waktu ibu bersama anak sehingga dengan
kebersamaan dengan anak tersebut ibu dapat
memperhatikan setiap perkembangan anak dan
memberikan stimulasi agar anak dapat
berkembang dengan normal sesuai usianya,
terutama dalam setiap tahap perkembangan
kognitifnya.
Faktor
lain
menyebutkan
bahwa
perencanaan kehamilan maupun kehamilan
dengan bantuan mempengaruhi perkembangan
kognitif anak pada usia 3 – 6 tahun bahwa anak
anak yang lahir setelah kehamilan yang
direncanakan
lebih
baik
perkembangan
kognitifnya dibandingkan dengan rekan rekan
mereka yang kehamilannya tidak direncanakan,
sementara itu anak dengan kehamilan yang
dengan bantuan proses reproduksi memiliki
kemampuan verbal yang lebih baik (Carson,
2013).

"

!
#

$%&'
Berdasarkan
hasil
analisis
menunjukkan bahwa dari 36 tidak ada kejadian
oleh orang tua terhadap anak
memiliki anak dengan perkembangan kognitif
yang normal (19,4 %), dibandingkan dengan
perkembangan kognitif abnormal (7,5 %).
Sedangkan dari 31 responden yang ada kejadian
terhadap anak memiliki anak
dengan perkembangan kognitif meragukan
(20,9%), dibandingkan dengan perkembangna
kognitif tidak dites (6,0%). Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara kejadian verbal abuse
orang tua terhadap anak dengan perkembangan
kognitif anak usia Pra sekolah dengan nilai P
value = 0,710 (> 0,05).

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

54

Sebanding dengan penelitian yang
dilakukan oleh Munawati (2011) menyatakan
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
orang tua terhadap anak dengan
perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah di
RW 04 Kelurahan Rangkapan Jaya Baru Depok.
Berbeda dengan penelitian Armalis faktor
faktor yang mempengaruhi perkembangan
kognitif anak usia Pra sekolah di SDN.09
Padang Barat tahun 2012 bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara kekerasan
verbal orang tua terhadap perkembangan
kognitif anak usia Pra sekolah.
Menurut Soetjiningsih (2012) bahwa
kekerasan yang dialami oleh anak dapat
berdampak pada fisik maupun psikologi.
Namun
biasanya tidak berdampak
secara fisik kepada anak, tetapi dapat merusak
anak beberapa tahun ke depan. Dampak akibat
kekerasan verbal pada anak antara lain anak
menjadi tidak peka dengan perasaan orang lain,
mengganggu perkembangan dan pertumbuhan
anak, anak menjadi agresif, gangguan
emosional,
hubungan
sosial
terganggu,
kepribadian
, menciptakan lingkaran
setan dalam keluarga, dan bunuh diri.
Pada penelitian ini yang terjadi justru
sebaliknya dimana tidak terdapat hubungan
antara kejadian
orang tua terhadap
anak dengan perkembangan kognitif anak usia
Pra sekolah. Hal ini disebabkan, perkembangan
kognitif tidak hanya semata mata dipengaruhi
oleh kejadian
orang tua tetapi juga
di pengaruhi oleh faktor lainnya yaitu internal
dan eksternal. Faktor internal antara lain
berhubungan dengan persepsi anak, kognisi
anak, dan prematuritas. Sedangkan faktor
eksternal seperti riwayat keluarga, pola asuh
orang tua, lingkungan verbal, pendidikan,
jumlah anak. Apabila faktor lain ini lebih
dominan mempengaruhi prilaku tentu saja dapat
mengakibatkan pola asuh atau komunikasi
adanya kejadian
tidak lagi
mempengaruhi perkembangan kognitif anak
usia Pra sekolah.Orang tua yang melakukan
menyebabkan anak cendrung
tertekan, merasa takut untuk berbuat dan
berkata kata serta pemalu, hal ini tentunya akan
menghambat perkembangan anak dan mereka
mengalami
keterlambatan
perkembangan
dibandingkan anak seusianya (Muhibbin, 2011).
Berdasarkan kuesioner pada penelitian
ini dapat kita ketahui bahwa rata rata orang tua
sering memeluk anak, memanggil anak dengan
kata sayang, dan orang tua pernah mengucapkan
selamat atas hal positif yang dilakukan oleh
anak. Dan juga dapat diketahui bahwa rata rata

orang tua pernah bahkan kadang kadang dan
sering orang tua berteriak pada anak,
mengancam anak, mencela anak, dan tidak
memperhatikan anak atau mempedulikan anak,
orang tua sering kali tidak memberikan respon
terhadap apapun aktifitas anak dan orang tua
sering memberikan hukuman kepada anak.
Sementara bagi yang tidak ada
kejadian
orang tua terhadap anak
dan memiliki anak dengan perkembangan
kognitif
meragukan
maupun
abnormal
disebabkan karena kurangnya pengetahuan
orang
tua
tentang
cara
menstimulasi
perkembangan kognitif anak dan orang tua yang
disibukkan dengan pekerjaan, sehingga anak
dibiarkan bermain sendiri tanpa pengawasan
dan arahan dari orang tua. Walaupun orang tua
tidak pernah berkata kasar dan meremehkan
anak, namun karena jarang diajak bicara,
diajarkan tentang gambar, berhitung ataupun
menggunakan tata bahasa, menyebabkan anak
mengalami keterlambatan dalam hal tersebut.
Terbukti dari hasil penelitian bahwa cukup
banyak anak yang tidak mengerti dengan kata
sifat, kata depan, anak tidak bisa berhitung >
10, sulitnya anak membedakan warna dan anak
juga kesulitan dalam menggambar. Kemudian
pada penelitian ini juga ditemukan dengan tidak
adanya kejadian
perkembangan
kognitif anak usia Pra sekolah yang normal dan
tidak dites. Perkembangan kognitif dengan hasil
tidak dites, merupakan penilaian yang diberikan
pada saat observasi beberapa dari anak tersebut
tidak mau atau menolak untuk dites dan tidak
mau melakukan item item penilaian. Hal ini
menjadi faktor faktor lain yang membuat tidak
terdapatnya hubungan yang bermakna antara
kejadian
orang tua terhadap anak
dengan perkembangan kognitif anak usia Pra
sekolah.
Sedangkan yang ada kejadian
orang tua terhadap anak dan memiliki
anak dengan perkembangan kognitif normal
dapat disebabkan karena kondisi genetik seperti
diwariskan dari orang tua, masalah selama
kehamilan, komplikasi saat kelahiran. Selain
faktor kelainan di dalam
tubuh si anak,
keterlambatan perkembangan motorik anak juga
bisa disebabkan oleh sedikitnya rangsangan
yang diterima si anak dari orangtua.kurangnya
Interaksi sosial dalam keluarga yang memiliki
dampak besar pada perkembangan kognitif
serta hambatan kognitif juga dapat disebabkan
oleh kekurangan gizi yang ekstrim. Sementara
itu juga terdapat perkembangan kognitif anak
yang meragukan, tidak dites dan abnormal.
Perkembangan
kognitif
yang
abnormal

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

55

dikarenakan anak memiliki 2 keterlambatan
pada 1 sektor penilaian, sedangkan untuk hasil
perkembangan kognitif yang tidak dites, pada
saat dilakukan tes atau penilaian anak menolak
untuk melakukan tes yang diajukan dan
perkembangan kognitif yang normal anak dapat
melakukan dengan baik dan tidak terdapat
keterlambatan dari item item tes tersebut.
Keterkaitan antara status sosial,
ekonomi dan pekerjaan dengan pola asuh orng
tua memiliki hubungan yang sangat erat.
Keluarga dengan status ekonomi dan pekerjaan
kelas rendah cenderung lebih keras dalam
pengasuhan dan sering menggunakan hukuman
fisik maupun emosional dalam mengasuh
anakanaknya. Sedangkan untuk kelas ekonomi
dan pekerjaan menengah atau sedang lebih
cenderung memberikan pengawasan dan
perhatiannya
sebagai
orang
tua,
dan
menerapkan kontrol lebih halus. Hal tersebut
terjadi karena orang tua lebih berfokus pada
pengembangan kreativitas anak dibanding
masalah ekonomi keluarga sehingga anak dapat
berkembang dengan baik (Yusuf, 2010).

) .-

+ *

*

( *

) .- + *
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 67
orang responden tentang hubungan kejadian
orang tua terhadap anak dengan
perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah (5
– 6 tahun) di Kelurahan Tarok Dipo Wilayah
Kerja Puskesmas Guguk Panjang Bukittingi
tahun 2014, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sebagian besar responden ditemukan tidak
ada kejadian
orang tua
terhadap anak, yaitu (53,7 %)
2. Sebagian
besar
anak
memiliki
perkembangan kognitif meragukan yaitu
(38,8 %) dan normal sebanyak (31,3 %)
3. Tidak terdapat hubungan bermakna antara
kejadian
orang tua terhadap
anak dengan perkembangan kognitif anak
usia Pra sekolah di Kelurahan Tarok Dipo

1

(

1. Armalis. (2012). =
+ ,
?
+
!
" ,
,
. Padang: UNAND
2. Amartha. (2010). + ,
@
*
" ,. In google.com: URL:
ABB
B(31 Mei
2014).
3. Arief, Jallaludin. (2008 December 27). Child
abuse. In google.com [serial online]
ABB
,
74
B (8
April 2014).

Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang
Bukittingi tahun 2014, P value 0,710.
( *
#
Agar
menambah pengetahuan dan
wawasan peneliti dalam mengembangkan
pengetahuan
yang
dimanfaatkan
dalam
menghadapi anak usia Pra sekolah yang telah
diperoleh peneliti.
#

.
Agar hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan atau informasi dalam pemberian
asuhan kepada orang tua yang memiliki anak
usia Pra sekolah.
#

(
Agar dapat dijadikan sebagai media
informasi tentang dampak tindak kekerasan
verbal orang tua terhadap anak dengan
perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah,
sehingga orang tua mengetahui akibat yang di
timbulkan hanyak tampak dari segi fisik tetapi
dari segi psikologi yang berdampak jangka
panjang.
#

"
Agar dapat dijadikan sebagai media
informasi tentang dampak tindak kekerasan
verbal dan diharapkan tindak kekerasan
terhadap
anak
dapat
dicegah,
dan
memperhatikan perkembangan kognitif anak
usia Pra sekolah, dan dapat memberikan
penyuluhan kepada masyarakat luas tentang
informasi perkembangan anak sesuai dengan
“asah”, “asih”, dan “asuh” tiap tahap
perkembangannya dan dapat mewuujudkan
Pemkot Bukittinggi dalam upaya menciptakan
Bukittinggi menuju kota layak anak.
4. Ayi Setia Budi. (2008). In
google.com
[serial
online]
URL:
ABB
B
B
B%741'17
B(17
April
2014).
5. Carson. C, Kelly, Y. ?
4
.
2011;343:d4473. [PubMed]
6. Fajriana, Yuliana. (2007).
+ ,
@

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

(A
BMJ
*

56

,

,
" ,C
,
. Padamg:
UNAND
7. Hidayat, A.Aziz Alimul. (2008).
+
" ,
C ,
,
+
. Jakarta: Salemba Medika
8.
_____________
________.
(2005).
+
" ,. Jakarta: Salemba
Medika
9.
_____________
________. (2012). >
,
+
* , , "
- . Jakarta:
Salemba Medika
10.
Hurlock (2012).
,
,
,
/
D
+
?
.
Alih Bahasa Istiwidayati. Jakarta: Erlangga
11. Ihsan. (2013). Perlindungan Anak dari
Tindak kekerasan
12. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). In
google.com
[serial
online]
URL:
ABB
,
B, B
)
(20 Mei 2014).
13. Lembaga Mitra KPAI. (2014). In
google.com
[serial
online]
URL:
ABB
,
. (24 Juni 2014)
14. Liputan6.com. (2014). In google.com [serial
online] URL:
BB
0
. (24
Juni 2014)
15. Maryanti, Dwi. (2011). : , "/ <
:
:
. Jakarta: TIM
16. Nabil, kazhim Muhammad. 2010. >
,
" ,
*
+ ,
.
Jakarta:
Pustaka Al kautsar
17. National Child Abuse Statistic. (2012). In
google.com
[serial
online]
URL:
ABB
B
B
(24 Juni 2014)
18. Narendra, M. B. (2003).
,
" ,.
Jakarta: EGC
19. Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). >
+
. Jakarta: Rineka
cipta
20. Padang Ekspres. (2014). : ,
> /
+
E , " ,. Jum’at, 15 Agustus 2014.
Hal 12
21. Pediatri, Sari. (2009) ,
.
+
:
Bandung: UNPAD
22. ___________. (2009). *
+
" ,
>
+
* , .
Bandung: UNPAD
23. Potter & Perry. (2005).
+
%. Jakarta: EGC
24. Rakhmat, Jalaluddin. (2012).
,
+
,
D
/ . Bandung: PT. Rosda
Karya

25. Santoso, Heru. 2009. * . Jakarta: EGC
26. Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset
Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu
27. Soetiningsih. (2012). *
,
" ,. Jakarta:EGC
28. __________. (2003).
,
" ,
. Jakarta: EGC.
29. Solihin,
Lianny.
(2009).
*
,
+ ,
" ,
+
Jurnal Pendidikan Penabur No.03 / Th.III.
In google.com [serial online] URL:
ABB
,
. (13 Mei 2014)
30. Sostroasmoro, Sudigdo. (2006). >
+
?
.
Jakarta: Sagung Seto.
31. ____ ________. (2013). >
+
?
.
Jakarta: Sagung Seto.
32. STIKes Prima Nusantara. (2013)
+
Bukittinggi : Prima
Nusantara.
33. Subbagian Tumbuh Kembang. (2004).
,
.
Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUGM/RS Sardjito.
34. Sunaryo.
(2004).
,
,
+
. Jakarta : EGC
35. Supartini, Yupi. (2010). *
+
" ,. Jakarta: EGC
36. Suyitno, H, dan Narendra, M. B. (2003).
, " ,. Jakarta: EGC
37. Syah,
Muhibbin.
(2011).
,
,
,
: .
Bandung: PT Remaja Rosda Karja
38. Tanuwijaya, S. (2003). +
C
*
+
. Jakarta: EGC
4' Tim Dirjen Pembinaan Kesmas. (1997).
- , *
+
:
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
40. UNICEF, PBB. (2006). In google.com
[serial
online]
URL:
ABB
B
B BC< ?
F"
FD
F3 6F%4$14%
. (24
Juni 2014)
41. Wawan, Dewi. (2010). *
,
,
, >
. Jakarta: Nuha Medika.
42. Widyastuti, D, dan Widyani, R. (2009).
,
" , #
0
*
. Jakarta: Puspa Swara
43. Wong Donna L. (2009). +
% Jakarta: EGC
44. Yeyeh Ai Rukiyah. (2013). "
<
:
" , :
. Jakarta:
TIM

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

57

45. Yusuf, S. (2010).
,
,
D
/ . Bandung: Remaja Rosdakarya

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

58