POLITIK NETRAL AKTIF Reformulasi Peran B
POLITIK NETRAL-AKTIF:
Reformulasi Peran Birokrasi dalam Seleksi
Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan1
Purwo Santoso2
([email protected])
Netralitas birokrasi harus dijaga dalam demokrasi.
Dalam proses demokratisasi yang diperlukan bukan sikap
netral namun pasif atau menjauh dari agenda demokratisasi,
melainkan sebaliknya: secara pro‐aktif ambil bagian dalam
mengembangkan kekuatan penyangga perubahan sosial‐politik
yang berlangsung.
Setiap kali membicarakan penyelenggaraan pemilihan umum,
pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah di satu fihak, dengan
netralitas birokrasi, difihak lain, hal yang disebut terakhir kita dudukkan
sebagai dependent variable.
Penyelenggaraan pemilu,
pilpres dan pilkada
Netralitas
Birokrasi
Kita terbiasa berfikir, netralitas birokrasi adalah konsekuensi dari
penyelenggaraan pemilihan tersebut. 3 Seolah‐olah, birokrasi tidak memiliki
1
Disampaikan dalam Seminar Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Umum
& Pemilitan Kepala Daerah di Propinsi Bangka Belitung, yang diselenggarakan melalui kerjasama
antara Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia (MIPI) di Novotel Bangka Golf & Convention Center, Jl. Soekarno Hatta KM 5,
Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah, pada tanggal 5 Juni 2013.
2
Guru besar dan Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3
Terms of Reference yang diberikan oleh Panitia Seminar ini mangandaikan netralitas
birokrasi sebagai hal yang given, dan bahkan berkonotasi negatif. Yang diminta untuk dibahas
dalam makalah ini adalah Pemilihan Kepada Daerah Langsung dan Implikasi Poltiknya terhadap
Birokrasi Daerah. Sehubungan dengan urgensi untuk mengembangkan ‘politik netral aktif’
birokrasi, amanah panitia ini terpaksa dilanggar atau dibalik. Yang dibahas disini adalah justru
bagaimana netralitas dikembangkan agar kualitas pilkada membaik.
1
kekuatan dan tidak pula memiliki daya ubah. Seolah‐olah, netralitas birokrasi
adalah kondisi yang harus diterima: suka atau tidak suka. Hal ini
menandakan bahwa, dalam pemikiran kita netralitas birokrasi senantiasa
kita fahami secara pasif. Justru karena keharusannya untuk netral itulah
maka birokrasi harus kita bayangkan secara pasif. Ini adalah pertanda
bahwa, pemilihan‐pemilihan tersebut kita sikapi sebagai beban. Birokrasi
pemerintahan, khususnya birokrasi di tingkat lokal, diasumsikan hanya
dapat berperan sebagai penanggung akibat. Apalagi kalau, setelah
mengetahui berbagai dampak negatif yang terjadi, lalu mengajak untuk
menyurutkan niat berdemokrasi. Belakangan ini bergulir wacana untuk
meniadakan pemilihan pilkada langsung karena kesadaran akan dampak
negatif yang ditemukan.
1. Menolak Surutnya Demokratisasi.
Kita tahu bahwa ada pilkada menghasilkan sederetan dampak negatif:
praktek vote buying (yang populer dengan istilah money politics) merajalela,
terjadi kekerasan antar kubu kontestan dalam skala besar, ada ketegangan
antara kepala daerah dengan wakilnya, dan sejenisnya. Pembuktian dari
adanya dampak negatif ini tidak lagi diperlukan. Yang menjadi pertanyaan
adalah, bagaimana menyikapi adanya dampak negatif tersebut.
Yang mengemuka belakangan ini adalah agenda untuk menyurutkan
agenda demokratisasi. Alasannya: demokratisasi kita kebablasan ! Kalaulah
demikian adanya, point yang hendak diajukan di sini adalah bahwa, secara
keilmuan, tidak cukup alasan untuk surut dari agenda demokratisasi karena
dampak negatif muncul adalah konsekuensi dari kesalahan memaknai
demokratisasi itu sendiri. Kalau sumber persoalannya adalah cara kita
memaknai demokratisasi itu sendiri, maka solusiya adalah reformulasi
langkah demokratisasi. Kalaulah langkah mundur diambil, langkah itu
haruslah dalam rangka maju beberapa langkah ke depan. Langkah mundur
hanya masuk akal jika didedikasikan untuk mengatasi kealphaan yang telah
terjadi.
Usulan untuk meniadakan pilkada langsung pada dasarnya setara
dengan strategi burung unta dalam mengatasi masalah. Ketika burung unta
dalam keadaan terancam, yang dilakukan bukannya menghadapi musuhnya
melainkan menenggelamkan kepalanya ke dalam pasir. Keberanian untuk
memberlakukan skema seleksi pemimpin melalui kontestasi mengharuskan
kita berani membayar harganya: memenuhi persyaratan untuk mudah dan
murahnya kontestasi itu. Mengambil langkah surut sebelum mecoba
membayar harga yang harus dibayar bagi berlangsungnya demokrasi,
tidaklah jauh berbeda dengan cara burung unta menghadapi ancaman.
Perlu ditegaskan bahwa, pemilihan kepada daerah secara langsung
memang tidak perlu diperlakukan sebagai harga mati dalam berdemokrasi.
Pemilihan tidak langsung, tetap saja memungkinkan terwujudkan
pemerintahan yang demokratis. Hanya saja, kealphaan kita dalam memahami
duduksoalnya kerumitan demokratisasi hanya akan memboroskan energi
2
kita sebagai bangsa. Bagaimanapun juga, birokrasi adakah kekuatan politik di
negeri ini, dan dalam posisi dan perannya sebagai kekuatan politik, harus
dirajut dalam pemikiran dan proses demokratisasi itu sendiri.
2. Diagnosa
Papara di atas menandai adanya kejanggalan berdemokrasi, dan
mengharuskan kita melakukan refleksi secara seksama. Sebagai petunjuk
awal, demokrasi pada intinya adalah kedaulatan rakyat, dan situasinya,
rakyat justru bermasalah ketika diberi peran sentral. Ini menandakan bahwa,
birokrasi diperlukan untuk secara luas mengekspresikan kedaulatan rakyat.
Kealphaan kita adalah membiarkan proses demokratisasi berjalan sebatas
pada tataran prosedural dan kelangsungannya bersifat top down. Pemilu,
pilpres dan pilkada mau tidak mau melibatkan pemberlakukan serangkaian
peraturan perundang‐undangan sejak dari level nasional hingga ke desa‐
desa. Hanya saja, pemberlakuan tersebut demokrasi manifest sebagai
semacam disposisi peraturan perundang‐undangan. Roh demokrasi, yakni
aktualisasi popular control, tidak tergalang. Sungguh sangat ironis, bahwa
yang kita seriusi dalam demokratisasi adalah pengisian jabatan publik
melalui pemilu legislatif, pilpres dan pilkada, dan pada saat yang sama tidak
ada keseriusan dalam mengembangkan popular control. Pertanyaannya,
tanggung jawab siapakah pengembangan popular control ini ?
Kalau demokrasi kita perlakukan sebagai agenda publik, maka
pengagendaan berkembangnya popular control harus ada dalam dokumen
perencanaan pemerintah. Dalam konteks ini, fihak yang paling dekat dalam
agenda setting adalah birokrasi pemerintahan. Apalagi kalau
pengganggarannya harus difikirkan. Kendali pengenggaran ada pada
birokrasi pemerintah. Di satu sisi kita melihat ada lobang kosong dalam
agenda setting demokratisasi, di sisi lain ada antusiasme yang luar biasa
dalam menjabarkannya: pengisian jabatan publik: presiden (kepala negara
dan pemerintahan), kepala daerah. Di sini ada semacam pembiaran bahwa
proses demokratisasi dilakukan sesuka hati fihak‐fihak yang berkepentingan.
Mereka yang mau dan mampu untuk memperebutkan jabatan publik sangat
antusias menggunakan hak‐haknya, dan pada diri mereka seakan tidak
terbebani kewajiban untuk menjamin berlangsungnya popular control yang
menjamin dirinya amanah dalam memegang tampuk kekuasaan.
Point di atas dikemukakan sekedar untuk menunjukkan bahwa, negeri
ini memikul biaya besar karena kealphaan kita mengawal agenda setting
demokratisasi. Lebih dari itu, kealphaan ini niscaya terjadi ketika psyche
birokrasi adalah tidak tau menau dengan agenda demokratisasi. Pada saat
yang sama kita tahu, gate keeper yang paling masuk akal adalah birokrasi.
Sebagai gate keeper, birokrasi pemerintah membiarkan berlangsungnya
demokratisasi a la prasman. Kekuatan‐kekuatan politik di negeri (pemodal,
militer, preman) dipersilahkan untuk mengambil segmen demokratisasi yang
diminati, dan minat mereka adalah menduduki jabatan‐jabatan strategis di
puncak‐puncak strata birokrasi itu sendiri. Untuk itu, yang didorong untuk
3
diseriusi adalah pengisian jabatan‐jabatan strategis tersebut melalui
berbagai bentuk pemilu. Pembiaran adalah penyelenggaraan model
prasmanan ini, esensinya adalah bunuh diri politik bagi birokrasi. Jelasnya,
pretensi netral dalam pengertian tidak ikut‐ikutan dalam politik tidaklah
masuk akal. Justru harus ada strategi politik agar birokrasi tetap “berdaulat”
di domainnya sendiri. Sebagaimana dijelaskan di sub‐bab berikut, birokrasi
dalam batas‐batas tertentu, harus mengawal agenda setting demokratisasi di
dalam dan melalui domain birokrasi itu sendiri.
Bermasalahnya penyelenggaraan pemilu, pilpres dan pilkada adalah
karena netral dan pasifnya birokrasi. Oleh karena itu, birokrasi harus
didudukkan dirinya sebagai lokus dan partisipan proses demokratisasi.
Birokrasi menjadi poros vital demokrasi melalui pengadministrasian hak dan
kewajiban rakyat dan negara. Hal inilah yang selama ini kita abaikan pada
level pemikiran, lalu pada gilirannya menggiring kesan bahwa kita
menghadapi jalan buntu ketika hendak melakukan demokratisasi. Untuk itu,
perlu pembalikan nalar. Reformulasi netralitas birokrasi, yang nantinya
didetailkan pembahasannya, membuka peluang untuk perbaikan tata
pemerintahan, baik dari sisi birokrasi maupun pemilihan pucuk pimpinan
birokrasi pemerintahan.
Dahsyatnya dampak negatif pemilihan pucuk pimpinan pemerintahan
secara langsung, menandakan bahwa problematika penyelenggaraan pilpres,
pilkada dan pemilu di negeri ini tidaklah sekedar problematika pada tataran
aktor ataupun oknum. Oleh karena itu, tidaklah proporsional kalau kita
reduksi persoalan dampak negatif pemilihan pucuk pimpimpinan birokrasi
ini sekedar sebagai persoalan kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini
harus menjadi agenda penting dari reformasi birokrasi yang santer
digulirkan belakangan ini.
Selama ini kita kurang seksama memperbincangkan netralitas
birokrasi dalam bingkai demokrasi dan demokratisasi sebagai tatanan
sistemik. Yang mengedepan adalah memang elemen vital dari fihak‐fihak
yang memanfaatkan hak untuk dipilih melalui mekanisme ‘kontestasi’, dan
mekanisme ini sangat mudah terpeleset menjadi konflik, bahkan kekerasan
yang brutal. Dalam setiap kontestasi, terjadi mobilisasi dukungan antar antar
kubu dimana masing‐masing fihak mencurahkan seluruh energi dan jejaring
dan sentimen at all cost. Pertaruhan ‘habis‐habisan’ ini lebih kasat mata
ketika yang diperbutkan masing‐masing adalah yang relatif dekat: jabatan
kepala daerah. Sadar akan rentannya kontestasi terpeleset menjadi brutalnya
kekerasan, tidaklah masuk akal kalau birokrasi bertindak reaktif. Kita faham
bahwa mencegah itu lebih baik dari menangguangi. Adalah kerugian besar
jika, atas nama netralitas birokrasi, lalu pemerintah dari waktu ke waktu
mengadapi persoalan secara reaktif, sementara para kontestas siap
bertempur habis‐habisan. Keberanian kita menyelenggarakan pilpres,
pilkada dan pemilu, dengan demikian haruslah dimaknai sebagai keberanian
untuk menggelar kontestasi habis‐habisan. Berbagai infrastruktur politik
bisa dan perlu dikembangkan agar ada penanganan konflic yang embedded
dengan cara kerja birokrasi.
4
Demokratisasi menghasilkan tragedi ketika, dalam serunya kontestasi
tersebut, kita cenderung mereduksi birokrasi pemerintahan “sekedar”
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Perlu dicatat bahwa, kealphaan kita
bukan hanya manifest pada abainya kita tentang dimensi sistemik yang
melekat pada pengelolaan kontestasi, namun juga tidak antisipatif kita dalam
mempraktekkan
butir‐butir
gagaran
liberal
dalam
kerangka
penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini.
Pertama, liberalisme menaruh kecurigaan yang luar biasa besar pada
negara dan pemerintah, dan penguatan kadar liberty melalui kontestasi
dalam pemilihan, secara diam‐diam menyeret kita pada peminggiran peran
negara dan pemerintah. Normalnya nalar netral‐pasif dalam birokrasi kita,
sedikit banyak, terkait dengan hal itu. Cara khas kita dalam menyikapi
kontestasi tadi adalah: ‘tidak ikut‐ikutan’. PNS diharapkan ‘tidak terlibat’
dalam kontestasi. Di sini tersirat anggapan bahwa birokrasi harus dijaga
sebagai wilayah yang steril dari politik. Yang jelas, netralitas birokrasi, dalam
banyak kasus berimplikasi pada pembebas tugasan PNS yang terlibat dalam
politik, tepatnya politik kepartaian.
Kedua, penjaminan liberty yang dilakukan atas nama demokrasi tadi,
resminya memang dialamatkan pada setiap warga negara. Kealphaan kita
adalah menyadari bahwa, kemampuan setiap warga negara untuk memetik
manfaat dari penjaminan liberty tersebut tidaklah sama. Ada kelompok kaya,
yang dengan kekayaannya mampu mengoptimalkan pengaruh politiknya.
Ada tokoh‐tokoh informal, yang dengan jejaring informal yang dimilikinya,
bisa memetik keuntungan politik besar‐besaran. Orang bilang, demokrasi
dibajak elit. Ada lagi yang bilang, pemilihan pemimpin pemerintahan sudah
terbeli oleh pemodal dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu kita sadari bahwa kata
‘netral’ dalam terminologi netralitas birokrasi memiliki dua konotasi. Dalam
konotasi pertama, netral adalah tidak terlibat. Asumsinya, politik adalah
wilayah “kotor” namun tak terhindarkan, dan oleh karenanya harus dijauhi
oleh para PNS yang juga dijuluki (menyebut dirinya sebagai) abdi negara.4
Dalam konotasi kedua, netral adalah fair: menjaga jarak yang sama terhadap
setiap kontestan. Oleh karena bias liberal dalam pemikiran pemerintahan di
negeri ini bermuara pada penekanan pada konotasi pertama maka kita perlu
serius mengembangkan konotasi yang kedua. Tatkala netral dijabarkan
sebagai fairness, maka sikap netral tidak harus menjauh atau menarik diri.
4
Ironisnya, proses yang harus dihindari ini adalah proses untuk menentukan pucuk
pimpinannya. Birokrasi diharapkan untuk patuh pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh
mereka yang dipilih melalui kotornya politik. Dalam stigmatisasi aneh ini, birokrat dan birokrasi
didudukkan sebagai makhluk yang apolitis dan diharapkan menjadi penyangga kepentingan
publik. Di dalam konteks ini, dibayangkan bahwa dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara
kekuasaan negara birokrasi adalah representasi dari kepentingan publik, yang harus “superior” dari
para politisi yang didudukkan sebagai pejuang-pejuang kepentingan politik. Konotasi tersebut di
atas terus menerus direproduksi saat berjalannya pemerintahan yang otoriter, yang ingin
memastikan bahwa yang duduk dalam jajaran pemimpin pemerintahan adalah mereka yang loyal
kepada pucuk pimpinan birokrasi pemerintahan; yakni Presiden
5
Mengingat belum mapannya electoral governance di negeri ini, peran pro‐
aktif birokrasi perlu didorong. Sebagai contoh, karena mapannya tradisi
menghindar dari politik, birokrasi pemerintah merasa tidak
bertanggungjawab terhadap hilangnya hak warga negara karena tidak
tercatat dalam Daftar Calon Sementara. Buruknya administrasi yang
diselenggarakan birokrasi bermuara pada buruknya kualitas pemilihan
umum ataupun pemilihan kepala daerah.
Oleh karena pertimbangan di atas, kontestasi politik perlu
didudukkan sebagai keniscayaan dalam rangka memastikan berlangsungnya
pemerintahan hak setiap warga negara untuk menjadi pemimpin. Justru
birokrasi, sebagai organisasi modern yang menjadi andalan publik perlu
mencurahkan kompetensinya demi memastikan berlangsungnya
perpolitikan yang berkualitas. Netralitas birokrasi justru disangga dengan
pendayagunaan kompetensinya.5 Justru kompetensi birokrasi perlu dijamin
untuk menyangga kontestasi politik yang niscaya berlangsung, melalui
penempaan electoral governance.
3. Preskripsi: Politik Netral‐Aktif’
Setara dengan jargon ‘bebas‐aktif’ dalam diplomasi, Indonesia perlu
mengembangkan kaidah ‘netral‐aktif’ dalam reformasi birokrasinya. Ada
sejumlah bias pewacanaan dan pemaknaan peran birokrasi dalam pemilihan
umum yang diproduksi di masa lalu, yang luput refleksi kritis kita. Untuk
menuntaskan, kalau bukan melakukan akselerasi proses demokratisasi yang
kita usung, bias tersebut perlu dikoreksi.6 Reframing ataupun reformulasi
tentang netralitas birokrasi sangat perlu diusung sebagai agenda advokasi,
setidaknya oleh Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. Netralitas
birokrasi tidak boleh lagi didorong oleh semangat untuk menghindar dari,
apa yang dituduhkan sebagai politik kotor para politisi partai. Langkah
menghindar dari persoalan riel dalam demokratisas ini tidak nampak karena
terbiasanya kita dengan konotasi pasif dalam mewacanakan netralitas. Justru
dengan mengembangkan netralitas itulah birokrasi perlu didorong untuk
melakukan intrumentasi agar dapat menjinakkan liarnya perpolitikan. Lebih
dari itu, netralitas tidak boleh lagi didudukkan sebagai kriteria pengawasan
PNS melainkan harus dikembangkan sebagai elemen vital bagi
pengembangan demokratis di negeri ini.
5
Francis E. Rourke, “Responsiveness and Neutral Competence in American
Bureaucracy”, Public Administration Review, Vol. 52, No. 6 (Nov. - Dec., 1992), pp. 539-546.
6
Pointnya di sini, tidak semua hal yang dilakukan dimasa lalu harus ditinggalkan,
melainkan harus dimaknai ulang dalam rangka demokratisasi. Misalnya, kaidah bahwa PNS tidak
diharapkan memihak pada kandidat atau kontestan manapun, tetap saja harus dipertahankan. Oleh
karenanya, keharusan PNS mengundurkan diri dari jabatan ketika menjadi kontestan adalam demi
menjamin fairness, bukan karena konotasi “busuknya” politik kepartaian. Reproduksinya wacana
busuknya perpolitikan hanya menyulitkan kita mendemokrasikan diri melalui proses transformasi
niscaya rumit dan berbelit-belit.
6
Untuk ilustrasi, mari kita merunut seberapa serius kita
menindaklanjuti Amandemen Undang‐undang Dasar. Kita tahu bahwa salah
satu kesepakatan konstitusional kita adalah mewujudkan demokrasi dalam
tata pemerintahan presidensial, dan oleh karenanya diselenggarakanlah
pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepada daerah (pilkada) secara
langsung. Namun, karena kuatnya arus pemikiran ‘netral pasif’ kita tidak
cukup serius, kalau memang sempat peduli, untuk mengkaitkan kualitas
Pilpres/Pilkada sebagai bagian dari dari pengembangan presidensialisme.
Yang marak selama ini adalah mobilisasi kesepakatan bahwa
presidensialisme tidak berjalan. Tidak nampaknya decisive policy‐making
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan serta merta dilekatkan pada
karakter personal pemenang Pilpres. Sangat sedikit, yang peduli untuk
melacak apakah hal itu bukan konsekuensi dari ketidak mapanan sistem
presidensial yang berlangsung di negeri ini.7 Sehubungan dengan hal ini,
yang penting untuk ditanyakan bukanlah sekedar seberapa netral birokrasi
kita dalam pilpres dan pilkada. Yang lebih penting untuk dikedepankan
adalah, bagaimana caranya agar netralitas birokrasi dapat menjadikan
pilpres dan pilkada mengkondisikan cepatmatangnya transformasi menuju
pemerintahan demokratis dalam model presidensial. Di sini, pucuk
pemerintahan nasional maupun pucuk pemerintahan lokal diharapkan
memiliki kompetensi policy‐making dan fully competent dalam memimpin
pemerintahan dalam kurun waktu lima tahun tanpa direcoki sejumlah
masalah struktural seperti: ketegangan antara Presiden dengan Wakil
Presiden, atau ketegangan antara Kepada Daerah dengan Wakil Kepala
Daerah.
Politik netral‐aktif’ birokrasi mengharuskan kita mendudukkan
pemilu, pilpres maupun pilkada sebagai bagian tak terpisahkan dari disain
besar demokratisasi. Lebih dari itu, satuan hitungnya bukanlah sekedar
lancar dan absahnya pemimpin pemerintahan yang terlipih 8 , melainkan
terwujudnya pemerintahan demokratis. Tanpa kesediaan untuk
menggunakan demokrasi sebagai satuan hitung, maka pemilu, pilpres dan
pilkada manfaat nyata dari kontestasi yang berlangsung hanya terpusat pada
elit.9 Merekalah yang menikmati pewacanaan karena dengan pewacanaan
seperti itu, dominasi mereka terjustifikasi dan bahkan terreproduksi.10 Cara
7
Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; Dari Dilema ke Kompromi,
Gramedia Pustakan Utama, Jakarta, 2010.
8
Kita tahu bahwa jargon yang dikumandangkan untuk menjaga kualitas pemilu, pilpres
dan pilkada selama ini adalah LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia) dan JURDIL (jujur dan
adil). Jargon ini hanya peduli dengan kelancaran penyelenggaraan pemilihan pemimpin
pemerintahan, dan keabsahan fihak yang memang. Amanat untdang-undang terhadap lembaga
penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum, pun berhenti disitu.
9
James Petras, “Class Politics, State Power and Legitimacy”, Economic and Political
Weekly, Vol. 24, No. 34 (Aug. 26, 1989), pp. 1955-1958.
10
Lebih dari itu, tanpa peluasan satuan hitung ini, tidaklah fair kecaman para ahli ilmu
pemerintahan bahwa Indonesia terjebak dalam elektoralisme dalam berdemokrasi, karena
fikirannya sendiripun elektoralistik.
7
berfikir lama, yang membiarkan elit memobilisasi dukungannya melalui
kelatahan yang diwariskan pemerintahan otoriter, perlu dobrak.
Politik netral‐aktif birokrasi perlu dikembangkan mengingat
problematiknya pemberlakukan skema liberal di negeri ini. Demokratisasi
dalam mainstream pemikiran politik yang menggejala di negeri ini, dimaknai
peminggiran peran negara dalam pengelolaan kepentingan publik.
Demokratisasi berlangsung simultan dengan liberalisasi ekonomi yang
mengandaikan bahwa pemerintahan yang baik adalah yang perannya
seminimal mungkin. Bersamaan dengan hal itu, berlaku asumsi bahwa
pengalaman berdemokrasi akan dengan sendirinya menggulirkan proses
transformasi menuju tatatan yang demokratis. Asumsi ini, setelah ditelaah
secara seksama, ternyata tidak terbukti.11 Maknya, terbiasanya oleh terlibat
secara baik dalam kegiatan‐kegiatan pemilu yang didasari oleh semangat
peminggiran peran negara ini tidak dengan serta‐merta menjadikan nilai‐
nilai demokrasi semakin terlembaga dan membudaya.
Proses discursive, termasuk reframing perbincangan sangat
diperlukan. Dibalik maraknya wacana netral pasif tersirat, dalam istilah
James Scott, hidden transcript yang perlu dicermati tentang peminggiran
peran negara. 12 Point yang hendak dikedepankan di sini adalah bahwa,
betapapun birokrasi di negeri ini dirundung masalah, demokratisasi di negeri
ini memerlukan netralitas yang bersifat berwatak pro‐aktif. Birokrasi,
bagaimanapun juga adalah kekuatan politik penting dalam tata
pemerintahan di negeri ini, dan akselesasi proses demokratisasi bisa
dilakukan justru dengan mengambangkan netralitas aktif (menggantikan
netralitas pasif yang terpelihara selama ini).
Ada dua bentuk keterlibatan birokrasi dalam penyelenggaraan
pemilu, pilpres dan pilkada. Bentuk keterlibatan yang pertama, bersifat
langsung, yakni dalam proses electoral governance. Ada birokrasi
penyelenggaraan pemilu yang harus dikembangkan agar pemili berkualitas
terselenggara, dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas untuk
memimpin jalannya birokrasi itu sendiri. Dalam konteks ini, electoral
governance bisa didudukkan bukan hanya sebagai penjaminan
tersalurkannya hak rakyat dalam menentukan pimpinannya, malainkan juga
sebagai proses mencari pemimpin terbaik untuk berjalannya birokrasi
pemerintahan. Bentuk keterlibatan yang kedua bersifat tidak langsung,
namun justru memiliki dampak yang besar bagi peningkatan kualitas
demokrasi. Muara dari pelibatan birokrasi, dalam hal ini, adalah
berlangsungnya proses policy‐making yang efektif untuk mengatasi masalah
publik.
11
Mark Warren, “Democratic Theory and Self-Transformation”, The American Political
Science Review, Vol. 86, No. 1 (Mar., 1992), pp. 8-23.
12
Gagasan ini disinapirasi oleh Carol J. Greenhouse, “Hegemony and Hidden
Transcripts: The Discursive Arts of Neoliberal Legitimation, American Anthropologist, New
Series, Vol. 107, No. 3 (Sep., 2005), pp. 356-368.
8
Reformulasi Peran Birokrasi dalam Seleksi
Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan1
Purwo Santoso2
([email protected])
Netralitas birokrasi harus dijaga dalam demokrasi.
Dalam proses demokratisasi yang diperlukan bukan sikap
netral namun pasif atau menjauh dari agenda demokratisasi,
melainkan sebaliknya: secara pro‐aktif ambil bagian dalam
mengembangkan kekuatan penyangga perubahan sosial‐politik
yang berlangsung.
Setiap kali membicarakan penyelenggaraan pemilihan umum,
pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah di satu fihak, dengan
netralitas birokrasi, difihak lain, hal yang disebut terakhir kita dudukkan
sebagai dependent variable.
Penyelenggaraan pemilu,
pilpres dan pilkada
Netralitas
Birokrasi
Kita terbiasa berfikir, netralitas birokrasi adalah konsekuensi dari
penyelenggaraan pemilihan tersebut. 3 Seolah‐olah, birokrasi tidak memiliki
1
Disampaikan dalam Seminar Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Umum
& Pemilitan Kepala Daerah di Propinsi Bangka Belitung, yang diselenggarakan melalui kerjasama
antara Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia (MIPI) di Novotel Bangka Golf & Convention Center, Jl. Soekarno Hatta KM 5,
Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah, pada tanggal 5 Juni 2013.
2
Guru besar dan Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3
Terms of Reference yang diberikan oleh Panitia Seminar ini mangandaikan netralitas
birokrasi sebagai hal yang given, dan bahkan berkonotasi negatif. Yang diminta untuk dibahas
dalam makalah ini adalah Pemilihan Kepada Daerah Langsung dan Implikasi Poltiknya terhadap
Birokrasi Daerah. Sehubungan dengan urgensi untuk mengembangkan ‘politik netral aktif’
birokrasi, amanah panitia ini terpaksa dilanggar atau dibalik. Yang dibahas disini adalah justru
bagaimana netralitas dikembangkan agar kualitas pilkada membaik.
1
kekuatan dan tidak pula memiliki daya ubah. Seolah‐olah, netralitas birokrasi
adalah kondisi yang harus diterima: suka atau tidak suka. Hal ini
menandakan bahwa, dalam pemikiran kita netralitas birokrasi senantiasa
kita fahami secara pasif. Justru karena keharusannya untuk netral itulah
maka birokrasi harus kita bayangkan secara pasif. Ini adalah pertanda
bahwa, pemilihan‐pemilihan tersebut kita sikapi sebagai beban. Birokrasi
pemerintahan, khususnya birokrasi di tingkat lokal, diasumsikan hanya
dapat berperan sebagai penanggung akibat. Apalagi kalau, setelah
mengetahui berbagai dampak negatif yang terjadi, lalu mengajak untuk
menyurutkan niat berdemokrasi. Belakangan ini bergulir wacana untuk
meniadakan pemilihan pilkada langsung karena kesadaran akan dampak
negatif yang ditemukan.
1. Menolak Surutnya Demokratisasi.
Kita tahu bahwa ada pilkada menghasilkan sederetan dampak negatif:
praktek vote buying (yang populer dengan istilah money politics) merajalela,
terjadi kekerasan antar kubu kontestan dalam skala besar, ada ketegangan
antara kepala daerah dengan wakilnya, dan sejenisnya. Pembuktian dari
adanya dampak negatif ini tidak lagi diperlukan. Yang menjadi pertanyaan
adalah, bagaimana menyikapi adanya dampak negatif tersebut.
Yang mengemuka belakangan ini adalah agenda untuk menyurutkan
agenda demokratisasi. Alasannya: demokratisasi kita kebablasan ! Kalaulah
demikian adanya, point yang hendak diajukan di sini adalah bahwa, secara
keilmuan, tidak cukup alasan untuk surut dari agenda demokratisasi karena
dampak negatif muncul adalah konsekuensi dari kesalahan memaknai
demokratisasi itu sendiri. Kalau sumber persoalannya adalah cara kita
memaknai demokratisasi itu sendiri, maka solusiya adalah reformulasi
langkah demokratisasi. Kalaulah langkah mundur diambil, langkah itu
haruslah dalam rangka maju beberapa langkah ke depan. Langkah mundur
hanya masuk akal jika didedikasikan untuk mengatasi kealphaan yang telah
terjadi.
Usulan untuk meniadakan pilkada langsung pada dasarnya setara
dengan strategi burung unta dalam mengatasi masalah. Ketika burung unta
dalam keadaan terancam, yang dilakukan bukannya menghadapi musuhnya
melainkan menenggelamkan kepalanya ke dalam pasir. Keberanian untuk
memberlakukan skema seleksi pemimpin melalui kontestasi mengharuskan
kita berani membayar harganya: memenuhi persyaratan untuk mudah dan
murahnya kontestasi itu. Mengambil langkah surut sebelum mecoba
membayar harga yang harus dibayar bagi berlangsungnya demokrasi,
tidaklah jauh berbeda dengan cara burung unta menghadapi ancaman.
Perlu ditegaskan bahwa, pemilihan kepada daerah secara langsung
memang tidak perlu diperlakukan sebagai harga mati dalam berdemokrasi.
Pemilihan tidak langsung, tetap saja memungkinkan terwujudkan
pemerintahan yang demokratis. Hanya saja, kealphaan kita dalam memahami
duduksoalnya kerumitan demokratisasi hanya akan memboroskan energi
2
kita sebagai bangsa. Bagaimanapun juga, birokrasi adakah kekuatan politik di
negeri ini, dan dalam posisi dan perannya sebagai kekuatan politik, harus
dirajut dalam pemikiran dan proses demokratisasi itu sendiri.
2. Diagnosa
Papara di atas menandai adanya kejanggalan berdemokrasi, dan
mengharuskan kita melakukan refleksi secara seksama. Sebagai petunjuk
awal, demokrasi pada intinya adalah kedaulatan rakyat, dan situasinya,
rakyat justru bermasalah ketika diberi peran sentral. Ini menandakan bahwa,
birokrasi diperlukan untuk secara luas mengekspresikan kedaulatan rakyat.
Kealphaan kita adalah membiarkan proses demokratisasi berjalan sebatas
pada tataran prosedural dan kelangsungannya bersifat top down. Pemilu,
pilpres dan pilkada mau tidak mau melibatkan pemberlakukan serangkaian
peraturan perundang‐undangan sejak dari level nasional hingga ke desa‐
desa. Hanya saja, pemberlakuan tersebut demokrasi manifest sebagai
semacam disposisi peraturan perundang‐undangan. Roh demokrasi, yakni
aktualisasi popular control, tidak tergalang. Sungguh sangat ironis, bahwa
yang kita seriusi dalam demokratisasi adalah pengisian jabatan publik
melalui pemilu legislatif, pilpres dan pilkada, dan pada saat yang sama tidak
ada keseriusan dalam mengembangkan popular control. Pertanyaannya,
tanggung jawab siapakah pengembangan popular control ini ?
Kalau demokrasi kita perlakukan sebagai agenda publik, maka
pengagendaan berkembangnya popular control harus ada dalam dokumen
perencanaan pemerintah. Dalam konteks ini, fihak yang paling dekat dalam
agenda setting adalah birokrasi pemerintahan. Apalagi kalau
pengganggarannya harus difikirkan. Kendali pengenggaran ada pada
birokrasi pemerintah. Di satu sisi kita melihat ada lobang kosong dalam
agenda setting demokratisasi, di sisi lain ada antusiasme yang luar biasa
dalam menjabarkannya: pengisian jabatan publik: presiden (kepala negara
dan pemerintahan), kepala daerah. Di sini ada semacam pembiaran bahwa
proses demokratisasi dilakukan sesuka hati fihak‐fihak yang berkepentingan.
Mereka yang mau dan mampu untuk memperebutkan jabatan publik sangat
antusias menggunakan hak‐haknya, dan pada diri mereka seakan tidak
terbebani kewajiban untuk menjamin berlangsungnya popular control yang
menjamin dirinya amanah dalam memegang tampuk kekuasaan.
Point di atas dikemukakan sekedar untuk menunjukkan bahwa, negeri
ini memikul biaya besar karena kealphaan kita mengawal agenda setting
demokratisasi. Lebih dari itu, kealphaan ini niscaya terjadi ketika psyche
birokrasi adalah tidak tau menau dengan agenda demokratisasi. Pada saat
yang sama kita tahu, gate keeper yang paling masuk akal adalah birokrasi.
Sebagai gate keeper, birokrasi pemerintah membiarkan berlangsungnya
demokratisasi a la prasman. Kekuatan‐kekuatan politik di negeri (pemodal,
militer, preman) dipersilahkan untuk mengambil segmen demokratisasi yang
diminati, dan minat mereka adalah menduduki jabatan‐jabatan strategis di
puncak‐puncak strata birokrasi itu sendiri. Untuk itu, yang didorong untuk
3
diseriusi adalah pengisian jabatan‐jabatan strategis tersebut melalui
berbagai bentuk pemilu. Pembiaran adalah penyelenggaraan model
prasmanan ini, esensinya adalah bunuh diri politik bagi birokrasi. Jelasnya,
pretensi netral dalam pengertian tidak ikut‐ikutan dalam politik tidaklah
masuk akal. Justru harus ada strategi politik agar birokrasi tetap “berdaulat”
di domainnya sendiri. Sebagaimana dijelaskan di sub‐bab berikut, birokrasi
dalam batas‐batas tertentu, harus mengawal agenda setting demokratisasi di
dalam dan melalui domain birokrasi itu sendiri.
Bermasalahnya penyelenggaraan pemilu, pilpres dan pilkada adalah
karena netral dan pasifnya birokrasi. Oleh karena itu, birokrasi harus
didudukkan dirinya sebagai lokus dan partisipan proses demokratisasi.
Birokrasi menjadi poros vital demokrasi melalui pengadministrasian hak dan
kewajiban rakyat dan negara. Hal inilah yang selama ini kita abaikan pada
level pemikiran, lalu pada gilirannya menggiring kesan bahwa kita
menghadapi jalan buntu ketika hendak melakukan demokratisasi. Untuk itu,
perlu pembalikan nalar. Reformulasi netralitas birokrasi, yang nantinya
didetailkan pembahasannya, membuka peluang untuk perbaikan tata
pemerintahan, baik dari sisi birokrasi maupun pemilihan pucuk pimpinan
birokrasi pemerintahan.
Dahsyatnya dampak negatif pemilihan pucuk pimpinan pemerintahan
secara langsung, menandakan bahwa problematika penyelenggaraan pilpres,
pilkada dan pemilu di negeri ini tidaklah sekedar problematika pada tataran
aktor ataupun oknum. Oleh karena itu, tidaklah proporsional kalau kita
reduksi persoalan dampak negatif pemilihan pucuk pimpimpinan birokrasi
ini sekedar sebagai persoalan kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini
harus menjadi agenda penting dari reformasi birokrasi yang santer
digulirkan belakangan ini.
Selama ini kita kurang seksama memperbincangkan netralitas
birokrasi dalam bingkai demokrasi dan demokratisasi sebagai tatanan
sistemik. Yang mengedepan adalah memang elemen vital dari fihak‐fihak
yang memanfaatkan hak untuk dipilih melalui mekanisme ‘kontestasi’, dan
mekanisme ini sangat mudah terpeleset menjadi konflik, bahkan kekerasan
yang brutal. Dalam setiap kontestasi, terjadi mobilisasi dukungan antar antar
kubu dimana masing‐masing fihak mencurahkan seluruh energi dan jejaring
dan sentimen at all cost. Pertaruhan ‘habis‐habisan’ ini lebih kasat mata
ketika yang diperbutkan masing‐masing adalah yang relatif dekat: jabatan
kepala daerah. Sadar akan rentannya kontestasi terpeleset menjadi brutalnya
kekerasan, tidaklah masuk akal kalau birokrasi bertindak reaktif. Kita faham
bahwa mencegah itu lebih baik dari menangguangi. Adalah kerugian besar
jika, atas nama netralitas birokrasi, lalu pemerintah dari waktu ke waktu
mengadapi persoalan secara reaktif, sementara para kontestas siap
bertempur habis‐habisan. Keberanian kita menyelenggarakan pilpres,
pilkada dan pemilu, dengan demikian haruslah dimaknai sebagai keberanian
untuk menggelar kontestasi habis‐habisan. Berbagai infrastruktur politik
bisa dan perlu dikembangkan agar ada penanganan konflic yang embedded
dengan cara kerja birokrasi.
4
Demokratisasi menghasilkan tragedi ketika, dalam serunya kontestasi
tersebut, kita cenderung mereduksi birokrasi pemerintahan “sekedar”
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Perlu dicatat bahwa, kealphaan kita
bukan hanya manifest pada abainya kita tentang dimensi sistemik yang
melekat pada pengelolaan kontestasi, namun juga tidak antisipatif kita dalam
mempraktekkan
butir‐butir
gagaran
liberal
dalam
kerangka
penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini.
Pertama, liberalisme menaruh kecurigaan yang luar biasa besar pada
negara dan pemerintah, dan penguatan kadar liberty melalui kontestasi
dalam pemilihan, secara diam‐diam menyeret kita pada peminggiran peran
negara dan pemerintah. Normalnya nalar netral‐pasif dalam birokrasi kita,
sedikit banyak, terkait dengan hal itu. Cara khas kita dalam menyikapi
kontestasi tadi adalah: ‘tidak ikut‐ikutan’. PNS diharapkan ‘tidak terlibat’
dalam kontestasi. Di sini tersirat anggapan bahwa birokrasi harus dijaga
sebagai wilayah yang steril dari politik. Yang jelas, netralitas birokrasi, dalam
banyak kasus berimplikasi pada pembebas tugasan PNS yang terlibat dalam
politik, tepatnya politik kepartaian.
Kedua, penjaminan liberty yang dilakukan atas nama demokrasi tadi,
resminya memang dialamatkan pada setiap warga negara. Kealphaan kita
adalah menyadari bahwa, kemampuan setiap warga negara untuk memetik
manfaat dari penjaminan liberty tersebut tidaklah sama. Ada kelompok kaya,
yang dengan kekayaannya mampu mengoptimalkan pengaruh politiknya.
Ada tokoh‐tokoh informal, yang dengan jejaring informal yang dimilikinya,
bisa memetik keuntungan politik besar‐besaran. Orang bilang, demokrasi
dibajak elit. Ada lagi yang bilang, pemilihan pemimpin pemerintahan sudah
terbeli oleh pemodal dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu kita sadari bahwa kata
‘netral’ dalam terminologi netralitas birokrasi memiliki dua konotasi. Dalam
konotasi pertama, netral adalah tidak terlibat. Asumsinya, politik adalah
wilayah “kotor” namun tak terhindarkan, dan oleh karenanya harus dijauhi
oleh para PNS yang juga dijuluki (menyebut dirinya sebagai) abdi negara.4
Dalam konotasi kedua, netral adalah fair: menjaga jarak yang sama terhadap
setiap kontestan. Oleh karena bias liberal dalam pemikiran pemerintahan di
negeri ini bermuara pada penekanan pada konotasi pertama maka kita perlu
serius mengembangkan konotasi yang kedua. Tatkala netral dijabarkan
sebagai fairness, maka sikap netral tidak harus menjauh atau menarik diri.
4
Ironisnya, proses yang harus dihindari ini adalah proses untuk menentukan pucuk
pimpinannya. Birokrasi diharapkan untuk patuh pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh
mereka yang dipilih melalui kotornya politik. Dalam stigmatisasi aneh ini, birokrat dan birokrasi
didudukkan sebagai makhluk yang apolitis dan diharapkan menjadi penyangga kepentingan
publik. Di dalam konteks ini, dibayangkan bahwa dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara
kekuasaan negara birokrasi adalah representasi dari kepentingan publik, yang harus “superior” dari
para politisi yang didudukkan sebagai pejuang-pejuang kepentingan politik. Konotasi tersebut di
atas terus menerus direproduksi saat berjalannya pemerintahan yang otoriter, yang ingin
memastikan bahwa yang duduk dalam jajaran pemimpin pemerintahan adalah mereka yang loyal
kepada pucuk pimpinan birokrasi pemerintahan; yakni Presiden
5
Mengingat belum mapannya electoral governance di negeri ini, peran pro‐
aktif birokrasi perlu didorong. Sebagai contoh, karena mapannya tradisi
menghindar dari politik, birokrasi pemerintah merasa tidak
bertanggungjawab terhadap hilangnya hak warga negara karena tidak
tercatat dalam Daftar Calon Sementara. Buruknya administrasi yang
diselenggarakan birokrasi bermuara pada buruknya kualitas pemilihan
umum ataupun pemilihan kepala daerah.
Oleh karena pertimbangan di atas, kontestasi politik perlu
didudukkan sebagai keniscayaan dalam rangka memastikan berlangsungnya
pemerintahan hak setiap warga negara untuk menjadi pemimpin. Justru
birokrasi, sebagai organisasi modern yang menjadi andalan publik perlu
mencurahkan kompetensinya demi memastikan berlangsungnya
perpolitikan yang berkualitas. Netralitas birokrasi justru disangga dengan
pendayagunaan kompetensinya.5 Justru kompetensi birokrasi perlu dijamin
untuk menyangga kontestasi politik yang niscaya berlangsung, melalui
penempaan electoral governance.
3. Preskripsi: Politik Netral‐Aktif’
Setara dengan jargon ‘bebas‐aktif’ dalam diplomasi, Indonesia perlu
mengembangkan kaidah ‘netral‐aktif’ dalam reformasi birokrasinya. Ada
sejumlah bias pewacanaan dan pemaknaan peran birokrasi dalam pemilihan
umum yang diproduksi di masa lalu, yang luput refleksi kritis kita. Untuk
menuntaskan, kalau bukan melakukan akselerasi proses demokratisasi yang
kita usung, bias tersebut perlu dikoreksi.6 Reframing ataupun reformulasi
tentang netralitas birokrasi sangat perlu diusung sebagai agenda advokasi,
setidaknya oleh Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. Netralitas
birokrasi tidak boleh lagi didorong oleh semangat untuk menghindar dari,
apa yang dituduhkan sebagai politik kotor para politisi partai. Langkah
menghindar dari persoalan riel dalam demokratisas ini tidak nampak karena
terbiasanya kita dengan konotasi pasif dalam mewacanakan netralitas. Justru
dengan mengembangkan netralitas itulah birokrasi perlu didorong untuk
melakukan intrumentasi agar dapat menjinakkan liarnya perpolitikan. Lebih
dari itu, netralitas tidak boleh lagi didudukkan sebagai kriteria pengawasan
PNS melainkan harus dikembangkan sebagai elemen vital bagi
pengembangan demokratis di negeri ini.
5
Francis E. Rourke, “Responsiveness and Neutral Competence in American
Bureaucracy”, Public Administration Review, Vol. 52, No. 6 (Nov. - Dec., 1992), pp. 539-546.
6
Pointnya di sini, tidak semua hal yang dilakukan dimasa lalu harus ditinggalkan,
melainkan harus dimaknai ulang dalam rangka demokratisasi. Misalnya, kaidah bahwa PNS tidak
diharapkan memihak pada kandidat atau kontestan manapun, tetap saja harus dipertahankan. Oleh
karenanya, keharusan PNS mengundurkan diri dari jabatan ketika menjadi kontestan adalam demi
menjamin fairness, bukan karena konotasi “busuknya” politik kepartaian. Reproduksinya wacana
busuknya perpolitikan hanya menyulitkan kita mendemokrasikan diri melalui proses transformasi
niscaya rumit dan berbelit-belit.
6
Untuk ilustrasi, mari kita merunut seberapa serius kita
menindaklanjuti Amandemen Undang‐undang Dasar. Kita tahu bahwa salah
satu kesepakatan konstitusional kita adalah mewujudkan demokrasi dalam
tata pemerintahan presidensial, dan oleh karenanya diselenggarakanlah
pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepada daerah (pilkada) secara
langsung. Namun, karena kuatnya arus pemikiran ‘netral pasif’ kita tidak
cukup serius, kalau memang sempat peduli, untuk mengkaitkan kualitas
Pilpres/Pilkada sebagai bagian dari dari pengembangan presidensialisme.
Yang marak selama ini adalah mobilisasi kesepakatan bahwa
presidensialisme tidak berjalan. Tidak nampaknya decisive policy‐making
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan serta merta dilekatkan pada
karakter personal pemenang Pilpres. Sangat sedikit, yang peduli untuk
melacak apakah hal itu bukan konsekuensi dari ketidak mapanan sistem
presidensial yang berlangsung di negeri ini.7 Sehubungan dengan hal ini,
yang penting untuk ditanyakan bukanlah sekedar seberapa netral birokrasi
kita dalam pilpres dan pilkada. Yang lebih penting untuk dikedepankan
adalah, bagaimana caranya agar netralitas birokrasi dapat menjadikan
pilpres dan pilkada mengkondisikan cepatmatangnya transformasi menuju
pemerintahan demokratis dalam model presidensial. Di sini, pucuk
pemerintahan nasional maupun pucuk pemerintahan lokal diharapkan
memiliki kompetensi policy‐making dan fully competent dalam memimpin
pemerintahan dalam kurun waktu lima tahun tanpa direcoki sejumlah
masalah struktural seperti: ketegangan antara Presiden dengan Wakil
Presiden, atau ketegangan antara Kepada Daerah dengan Wakil Kepala
Daerah.
Politik netral‐aktif’ birokrasi mengharuskan kita mendudukkan
pemilu, pilpres maupun pilkada sebagai bagian tak terpisahkan dari disain
besar demokratisasi. Lebih dari itu, satuan hitungnya bukanlah sekedar
lancar dan absahnya pemimpin pemerintahan yang terlipih 8 , melainkan
terwujudnya pemerintahan demokratis. Tanpa kesediaan untuk
menggunakan demokrasi sebagai satuan hitung, maka pemilu, pilpres dan
pilkada manfaat nyata dari kontestasi yang berlangsung hanya terpusat pada
elit.9 Merekalah yang menikmati pewacanaan karena dengan pewacanaan
seperti itu, dominasi mereka terjustifikasi dan bahkan terreproduksi.10 Cara
7
Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; Dari Dilema ke Kompromi,
Gramedia Pustakan Utama, Jakarta, 2010.
8
Kita tahu bahwa jargon yang dikumandangkan untuk menjaga kualitas pemilu, pilpres
dan pilkada selama ini adalah LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia) dan JURDIL (jujur dan
adil). Jargon ini hanya peduli dengan kelancaran penyelenggaraan pemilihan pemimpin
pemerintahan, dan keabsahan fihak yang memang. Amanat untdang-undang terhadap lembaga
penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum, pun berhenti disitu.
9
James Petras, “Class Politics, State Power and Legitimacy”, Economic and Political
Weekly, Vol. 24, No. 34 (Aug. 26, 1989), pp. 1955-1958.
10
Lebih dari itu, tanpa peluasan satuan hitung ini, tidaklah fair kecaman para ahli ilmu
pemerintahan bahwa Indonesia terjebak dalam elektoralisme dalam berdemokrasi, karena
fikirannya sendiripun elektoralistik.
7
berfikir lama, yang membiarkan elit memobilisasi dukungannya melalui
kelatahan yang diwariskan pemerintahan otoriter, perlu dobrak.
Politik netral‐aktif birokrasi perlu dikembangkan mengingat
problematiknya pemberlakukan skema liberal di negeri ini. Demokratisasi
dalam mainstream pemikiran politik yang menggejala di negeri ini, dimaknai
peminggiran peran negara dalam pengelolaan kepentingan publik.
Demokratisasi berlangsung simultan dengan liberalisasi ekonomi yang
mengandaikan bahwa pemerintahan yang baik adalah yang perannya
seminimal mungkin. Bersamaan dengan hal itu, berlaku asumsi bahwa
pengalaman berdemokrasi akan dengan sendirinya menggulirkan proses
transformasi menuju tatatan yang demokratis. Asumsi ini, setelah ditelaah
secara seksama, ternyata tidak terbukti.11 Maknya, terbiasanya oleh terlibat
secara baik dalam kegiatan‐kegiatan pemilu yang didasari oleh semangat
peminggiran peran negara ini tidak dengan serta‐merta menjadikan nilai‐
nilai demokrasi semakin terlembaga dan membudaya.
Proses discursive, termasuk reframing perbincangan sangat
diperlukan. Dibalik maraknya wacana netral pasif tersirat, dalam istilah
James Scott, hidden transcript yang perlu dicermati tentang peminggiran
peran negara. 12 Point yang hendak dikedepankan di sini adalah bahwa,
betapapun birokrasi di negeri ini dirundung masalah, demokratisasi di negeri
ini memerlukan netralitas yang bersifat berwatak pro‐aktif. Birokrasi,
bagaimanapun juga adalah kekuatan politik penting dalam tata
pemerintahan di negeri ini, dan akselesasi proses demokratisasi bisa
dilakukan justru dengan mengambangkan netralitas aktif (menggantikan
netralitas pasif yang terpelihara selama ini).
Ada dua bentuk keterlibatan birokrasi dalam penyelenggaraan
pemilu, pilpres dan pilkada. Bentuk keterlibatan yang pertama, bersifat
langsung, yakni dalam proses electoral governance. Ada birokrasi
penyelenggaraan pemilu yang harus dikembangkan agar pemili berkualitas
terselenggara, dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas untuk
memimpin jalannya birokrasi itu sendiri. Dalam konteks ini, electoral
governance bisa didudukkan bukan hanya sebagai penjaminan
tersalurkannya hak rakyat dalam menentukan pimpinannya, malainkan juga
sebagai proses mencari pemimpin terbaik untuk berjalannya birokrasi
pemerintahan. Bentuk keterlibatan yang kedua bersifat tidak langsung,
namun justru memiliki dampak yang besar bagi peningkatan kualitas
demokrasi. Muara dari pelibatan birokrasi, dalam hal ini, adalah
berlangsungnya proses policy‐making yang efektif untuk mengatasi masalah
publik.
11
Mark Warren, “Democratic Theory and Self-Transformation”, The American Political
Science Review, Vol. 86, No. 1 (Mar., 1992), pp. 8-23.
12
Gagasan ini disinapirasi oleh Carol J. Greenhouse, “Hegemony and Hidden
Transcripts: The Discursive Arts of Neoliberal Legitimation, American Anthropologist, New
Series, Vol. 107, No. 3 (Sep., 2005), pp. 356-368.
8