POLITIK NETRAL AKTIF Reformulasi Peran B

POLITIK NETRAL-AKTIF:

Reformulasi Peran Birokrasi dalam Seleksi
Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan1
 
 
 

Purwo Santoso2 
([email protected]
 
 
 
Netralitas  birokrasi  harus  dijaga  dalam  demokrasi. 
Dalam  proses  demokratisasi  yang  diperlukan  bukan  sikap 
netral  namun  pasif  atau  menjauh  dari  agenda  demokratisasi, 
melainkan  sebaliknya:  secara  pro‐aktif  ambil  bagian  dalam 
mengembangkan kekuatan penyangga perubahan sosial‐politik 
yang berlangsung. 
 
 

Setiap  kali  membicarakan  penyelenggaraan  pemilihan  umum, 
pemilihan  presiden  dan  pemilihan  kepala  daerah  di  satu  fihak,  dengan 
netralitas  birokrasi,  difihak  lain,  hal  yang  disebut  terakhir  kita  dudukkan 
sebagai dependent variable.  
 
Penyelenggaraan pemilu, 
pilpres dan pilkada 

 
 

Netralitas 
Birokrasi 

 
Kita  terbiasa  berfikir,  netralitas  birokrasi  adalah  konsekuensi  dari 
penyelenggaraan  pemilihan  tersebut. 3 Seolah‐olah,  birokrasi  tidak  memiliki 
                                                        
1


Disampaikan dalam Seminar Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Umum
& Pemilitan Kepala Daerah di Propinsi Bangka Belitung, yang diselenggarakan melalui kerjasama
antara Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia (MIPI) di Novotel Bangka Golf & Convention Center, Jl. Soekarno Hatta KM 5,
Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah, pada tanggal 5 Juni 2013.
2

Guru besar dan Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3

Terms of Reference yang diberikan oleh Panitia Seminar ini mangandaikan netralitas
birokrasi sebagai hal yang given, dan bahkan berkonotasi negatif. Yang diminta untuk dibahas
dalam makalah ini adalah Pemilihan Kepada Daerah Langsung dan Implikasi Poltiknya terhadap
Birokrasi Daerah. Sehubungan dengan urgensi untuk mengembangkan ‘politik netral aktif’
birokrasi, amanah panitia ini terpaksa dilanggar atau dibalik. Yang dibahas disini adalah justru
bagaimana netralitas dikembangkan agar kualitas pilkada membaik.

 




kekuatan dan tidak pula memiliki daya ubah. Seolah‐olah, netralitas birokrasi 
adalah  kondisi  yang  harus  diterima:  suka  atau  tidak  suka.  Hal  ini 
menandakan  bahwa,  dalam  pemikiran  kita  netralitas  birokrasi  senantiasa 
kita  fahami  secara  pasif.  Justru  karena  keharusannya  untuk  netral  itulah 
maka  birokrasi  harus  kita  bayangkan  secara  pasif.  Ini  adalah  pertanda 
bahwa,  pemilihan‐pemilihan  tersebut  kita  sikapi  sebagai  beban.  Birokrasi 
pemerintahan,  khususnya  birokrasi  di  tingkat  lokal,  diasumsikan  hanya 
dapat  berperan  sebagai  penanggung  akibat.  Apalagi  kalau,  setelah 
mengetahui  berbagai  dampak  negatif  yang  terjadi,  lalu  mengajak  untuk 
menyurutkan  niat  berdemokrasi.  Belakangan  ini  bergulir  wacana  untuk 
meniadakan  pemilihan  pilkada  langsung  karena  kesadaran  akan  dampak 
negatif yang ditemukan. 
 
1. Menolak Surutnya Demokratisasi. 
Kita tahu bahwa ada pilkada menghasilkan sederetan dampak negatif: 
praktek vote buying (yang populer dengan istilah money politics) merajalela, 
terjadi  kekerasan  antar  kubu  kontestan  dalam  skala  besar,  ada  ketegangan 
antara  kepala  daerah  dengan  wakilnya,  dan  sejenisnya.  Pembuktian  dari 

adanya  dampak  negatif  ini  tidak  lagi  diperlukan.  Yang  menjadi  pertanyaan 
adalah, bagaimana menyikapi adanya dampak negatif tersebut. 
Yang  mengemuka  belakangan  ini  adalah  agenda  untuk  menyurutkan 
agenda  demokratisasi.  Alasannya:  demokratisasi  kita  kebablasan  !  Kalaulah 
demikian  adanya,  point  yang  hendak  diajukan  di  sini  adalah  bahwa,  secara 
keilmuan, tidak cukup alasan untuk surut dari agenda demokratisasi karena 
dampak  negatif  muncul  adalah  konsekuensi  dari  kesalahan  memaknai 
demokratisasi  itu  sendiri.  Kalau  sumber  persoalannya  adalah  cara  kita 
memaknai  demokratisasi  itu  sendiri,  maka  solusiya  adalah  reformulasi 
langkah  demokratisasi.  Kalaulah  langkah  mundur  diambil,  langkah  itu 
haruslah  dalam  rangka  maju  beberapa  langkah  ke  depan.  Langkah  mundur 
hanya masuk akal jika didedikasikan untuk mengatasi kealphaan yang telah 
terjadi.  
Usulan  untuk  meniadakan  pilkada  langsung  pada  dasarnya  setara 
dengan  strategi  burung  unta  dalam  mengatasi  masalah.  Ketika  burung  unta 
dalam  keadaan  terancam,  yang  dilakukan  bukannya  menghadapi  musuhnya 
melainkan  menenggelamkan  kepalanya  ke  dalam  pasir.  Keberanian  untuk 
memberlakukan  skema  seleksi  pemimpin  melalui  kontestasi  mengharuskan 
kita  berani  membayar  harganya:  memenuhi  persyaratan  untuk  mudah  dan 
murahnya  kontestasi  itu.  Mengambil  langkah  surut  sebelum  mecoba 

membayar  harga  yang  harus  dibayar  bagi  berlangsungnya  demokrasi, 
tidaklah jauh berbeda dengan cara burung unta menghadapi ancaman. 
Perlu  ditegaskan  bahwa,  pemilihan  kepada  daerah  secara  langsung 
memang  tidak  perlu  diperlakukan  sebagai  harga  mati  dalam  berdemokrasi. 
Pemilihan  tidak  langsung,  tetap  saja  memungkinkan  terwujudkan 
pemerintahan yang demokratis. Hanya saja, kealphaan kita dalam memahami 
duduksoalnya  kerumitan  demokratisasi  hanya  akan  memboroskan  energi 
 



kita sebagai bangsa. Bagaimanapun juga, birokrasi adakah kekuatan politik di 
negeri  ini,  dan  dalam  posisi  dan  perannya  sebagai  kekuatan  politik,  harus 
dirajut dalam pemikiran dan proses demokratisasi itu sendiri. 
 
2. Diagnosa 
Papara  di  atas  menandai  adanya  kejanggalan  berdemokrasi,  dan 
mengharuskan  kita  melakukan  refleksi  secara  seksama.  Sebagai  petunjuk 
awal,  demokrasi  pada  intinya  adalah  kedaulatan  rakyat,  dan  situasinya, 
rakyat justru bermasalah ketika diberi peran sentral. Ini menandakan bahwa, 

birokrasi diperlukan untuk secara luas mengekspresikan kedaulatan rakyat. 
Kealphaan  kita  adalah  membiarkan  proses  demokratisasi  berjalan  sebatas 
pada  tataran  prosedural  dan  kelangsungannya  bersifat  top  down.  Pemilu, 
pilpres  dan  pilkada  mau  tidak  mau  melibatkan  pemberlakukan  serangkaian 
peraturan  perundang‐undangan  sejak  dari  level  nasional  hingga  ke  desa‐
desa.  Hanya  saja,  pemberlakuan  tersebut  demokrasi  manifest  sebagai 
semacam  disposisi  peraturan  perundang‐undangan.  Roh  demokrasi,  yakni 
aktualisasi  popular  control,  tidak  tergalang.  Sungguh  sangat  ironis,  bahwa 
yang  kita  seriusi  dalam  demokratisasi  adalah  pengisian  jabatan  publik 
melalui pemilu legislatif, pilpres dan pilkada, dan pada saat yang sama tidak 
ada  keseriusan  dalam  mengembangkan  popular  control.  Pertanyaannya, 
tanggung jawab siapakah pengembangan popular control ini ? 
Kalau  demokrasi  kita  perlakukan  sebagai  agenda  publik,  maka 
pengagendaan  berkembangnya  popular  control  harus  ada  dalam  dokumen 
perencanaan  pemerintah.  Dalam  konteks  ini,  fihak  yang  paling  dekat  dalam 
agenda  setting  adalah  birokrasi  pemerintahan.  Apalagi  kalau 
pengganggarannya  harus  difikirkan.  Kendali  pengenggaran  ada  pada 
birokrasi  pemerintah.  Di  satu  sisi  kita  melihat  ada  lobang  kosong  dalam 
agenda  setting  demokratisasi,  di  sisi  lain  ada  antusiasme  yang  luar  biasa 
dalam  menjabarkannya:  pengisian  jabatan  publik:  presiden  (kepala  negara 

dan  pemerintahan),  kepala  daerah.  Di  sini  ada  semacam  pembiaran  bahwa 
proses demokratisasi dilakukan sesuka hati fihak‐fihak yang berkepentingan. 
Mereka yang mau dan mampu untuk memperebutkan jabatan publik sangat 
antusias  menggunakan  hak‐haknya,  dan  pada  diri  mereka  seakan  tidak 
terbebani  kewajiban  untuk  menjamin  berlangsungnya  popular  control  yang 
menjamin dirinya amanah dalam memegang tampuk kekuasaan.  
Point di atas dikemukakan sekedar untuk menunjukkan bahwa, negeri 
ini  memikul  biaya  besar  karena  kealphaan  kita  mengawal  agenda  setting 
demokratisasi.  Lebih  dari  itu,  kealphaan  ini  niscaya  terjadi  ketika  psyche 
birokrasi  adalah  tidak  tau  menau  dengan  agenda  demokratisasi.  Pada  saat 
yang  sama  kita  tahu,  gate  keeper  yang  paling  masuk  akal  adalah  birokrasi. 
Sebagai  gate  keeper,  birokrasi  pemerintah  membiarkan  berlangsungnya 
demokratisasi  a la  prasman.  Kekuatan‐kekuatan  politik  di  negeri  (pemodal, 
militer, preman) dipersilahkan untuk mengambil segmen demokratisasi yang 
diminati,  dan  minat  mereka  adalah  menduduki  jabatan‐jabatan  strategis  di 
puncak‐puncak  strata  birokrasi  itu  sendiri.  Untuk  itu,  yang  didorong  untuk 
 




diseriusi  adalah  pengisian  jabatan‐jabatan  strategis  tersebut  melalui 
berbagai  bentuk  pemilu.  Pembiaran  adalah  penyelenggaraan  model 
prasmanan  ini,  esensinya  adalah  bunuh  diri  politik  bagi  birokrasi.  Jelasnya, 
pretensi  netral  dalam  pengertian  tidak  ikut‐ikutan  dalam  politik  tidaklah 
masuk akal. Justru harus ada strategi politik agar birokrasi tetap “berdaulat” 
di  domainnya  sendiri.  Sebagaimana  dijelaskan  di  sub‐bab  berikut,  birokrasi 
dalam batas‐batas tertentu, harus mengawal agenda setting demokratisasi di 
dalam dan melalui domain birokrasi itu sendiri. 
Bermasalahnya  penyelenggaraan  pemilu,  pilpres  dan  pilkada  adalah 
karena  netral  dan  pasifnya  birokrasi.  Oleh  karena  itu,  birokrasi  harus 
didudukkan  dirinya  sebagai  lokus  dan  partisipan  proses  demokratisasi. 
Birokrasi menjadi poros vital demokrasi melalui pengadministrasian hak dan 
kewajiban  rakyat  dan  negara.  Hal  inilah  yang  selama  ini  kita  abaikan  pada 
level  pemikiran,  lalu  pada  gilirannya  menggiring  kesan  bahwa  kita 
menghadapi jalan buntu ketika hendak melakukan demokratisasi. Untuk itu, 
perlu  pembalikan  nalar.  Reformulasi  netralitas  birokrasi,  yang  nantinya 
didetailkan  pembahasannya,  membuka  peluang  untuk  perbaikan  tata 
pemerintahan,  baik  dari  sisi  birokrasi  maupun  pemilihan  pucuk  pimpinan 
birokrasi pemerintahan. 
Dahsyatnya dampak negatif pemilihan pucuk pimpinan pemerintahan 

secara langsung, menandakan bahwa problematika penyelenggaraan pilpres, 
pilkada dan pemilu di negeri ini tidaklah sekedar problematika pada tataran 
aktor  ataupun  oknum.  Oleh  karena  itu,  tidaklah  proporsional  kalau  kita 
reduksi  persoalan  dampak  negatif  pemilihan  pucuk  pimpimpinan  birokrasi 
ini sekedar sebagai persoalan kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini 
harus  menjadi  agenda  penting  dari  reformasi  birokrasi  yang  santer 
digulirkan belakangan ini.  
Selama  ini  kita  kurang  seksama  memperbincangkan  netralitas 
birokrasi  dalam  bingkai  demokrasi  dan  demokratisasi  sebagai  tatanan 
sistemik.  Yang  mengedepan  adalah  memang  elemen  vital  dari  fihak‐fihak 
yang  memanfaatkan  hak  untuk  dipilih  melalui  mekanisme  ‘kontestasi’,  dan 
mekanisme  ini  sangat  mudah  terpeleset  menjadi  konflik,  bahkan  kekerasan 
yang brutal. Dalam setiap kontestasi, terjadi mobilisasi dukungan antar antar 
kubu dimana masing‐masing fihak mencurahkan seluruh energi dan jejaring 
dan  sentimen  at  all  cost.  Pertaruhan  ‘habis‐habisan’  ini  lebih  kasat  mata 
ketika  yang  diperbutkan  masing‐masing  adalah  yang  relatif  dekat:  jabatan 
kepala daerah. Sadar akan rentannya kontestasi terpeleset menjadi brutalnya 
kekerasan, tidaklah masuk akal kalau birokrasi bertindak reaktif. Kita faham 
bahwa  mencegah  itu  lebih  baik  dari  menangguangi.  Adalah  kerugian  besar 
jika,  atas  nama  netralitas  birokrasi,  lalu  pemerintah  dari  waktu  ke  waktu 

mengadapi  persoalan  secara  reaktif,  sementara  para  kontestas  siap 
bertempur  habis‐habisan.  Keberanian  kita  menyelenggarakan  pilpres, 
pilkada dan pemilu, dengan demikian haruslah dimaknai sebagai keberanian 
untuk  menggelar  kontestasi  habis‐habisan.  Berbagai  infrastruktur  politik 
bisa  dan  perlu  dikembangkan  agar  ada  penanganan  konflic  yang  embedded 
dengan cara kerja birokrasi. 
 



Demokratisasi menghasilkan tragedi ketika, dalam serunya kontestasi 
tersebut,  kita  cenderung  mereduksi  birokrasi  pemerintahan  “sekedar” 
sebagai  Pegawai  Negeri  Sipil  (PNS).  Perlu  dicatat  bahwa,  kealphaan  kita 
bukan  hanya  manifest  pada  abainya  kita  tentang  dimensi  sistemik  yang 
melekat pada pengelolaan kontestasi, namun juga tidak antisipatif kita dalam 
mempraktekkan 
butir‐butir 
gagaran 
liberal 
dalam 

kerangka 
penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini. 
Pertama, liberalisme menaruh kecurigaan yang luar biasa besar pada 
negara  dan  pemerintah,  dan  penguatan  kadar  liberty  melalui  kontestasi 
dalam  pemilihan,  secara  diam‐diam  menyeret  kita  pada  peminggiran  peran 
negara  dan  pemerintah.  Normalnya  nalar  netral‐pasif  dalam  birokrasi  kita, 
sedikit  banyak,  terkait  dengan  hal  itu.  Cara  khas  kita  dalam  menyikapi 
kontestasi  tadi  adalah:  ‘tidak  ikut‐ikutan’.  PNS  diharapkan  ‘tidak  terlibat’ 
dalam  kontestasi.  Di  sini  tersirat  anggapan  bahwa  birokrasi  harus  dijaga 
sebagai wilayah yang steril dari politik. Yang jelas, netralitas birokrasi, dalam 
banyak kasus berimplikasi pada pembebas tugasan PNS yang terlibat dalam 
politik, tepatnya politik kepartaian. 
Kedua,  penjaminan  liberty  yang  dilakukan  atas  nama  demokrasi  tadi, 
resminya  memang  dialamatkan  pada  setiap  warga  negara.  Kealphaan  kita 
adalah  menyadari  bahwa,  kemampuan  setiap  warga  negara  untuk  memetik 
manfaat dari penjaminan liberty tersebut tidaklah sama. Ada kelompok kaya, 
yang  dengan  kekayaannya  mampu  mengoptimalkan  pengaruh  politiknya. 
Ada  tokoh‐tokoh  informal,  yang  dengan  jejaring  informal  yang  dimilikinya, 
bisa  memetik  keuntungan  politik  besar‐besaran.  Orang  bilang,  demokrasi 
dibajak  elit.  Ada  lagi  yang  bilang,  pemilihan  pemimpin  pemerintahan  sudah 
terbeli oleh pemodal dan sebagainya.  
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu kita sadari bahwa kata 
‘netral’ dalam terminologi netralitas birokrasi memiliki dua konotasi. Dalam 
konotasi  pertama,  netral  adalah  tidak  terlibat.  Asumsinya,  politik  adalah 
wilayah  “kotor”  namun  tak  terhindarkan,  dan  oleh  karenanya  harus  dijauhi 
oleh  para  PNS  yang  juga  dijuluki  (menyebut  dirinya  sebagai)  abdi  negara.4 
Dalam konotasi kedua, netral adalah fair: menjaga jarak yang sama terhadap 
setiap kontestan. Oleh karena bias liberal dalam pemikiran pemerintahan di 
negeri ini bermuara pada penekanan pada konotasi pertama maka kita perlu 
serius  mengembangkan  konotasi  yang  kedua.  Tatkala  netral  dijabarkan 
sebagai  fairness,  maka  sikap  netral  tidak  harus  menjauh  atau  menarik  diri. 
                                                        
4

Ironisnya, proses yang harus dihindari ini adalah proses untuk menentukan pucuk
pimpinannya. Birokrasi diharapkan untuk patuh pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh
mereka yang dipilih melalui kotornya politik. Dalam stigmatisasi aneh ini, birokrat dan birokrasi
didudukkan sebagai makhluk yang apolitis dan diharapkan menjadi penyangga kepentingan
publik. Di dalam konteks ini, dibayangkan bahwa dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara
kekuasaan negara birokrasi adalah representasi dari kepentingan publik, yang harus “superior” dari
para politisi yang didudukkan sebagai pejuang-pejuang kepentingan politik. Konotasi tersebut di
atas terus menerus direproduksi saat berjalannya pemerintahan yang otoriter, yang ingin
memastikan bahwa yang duduk dalam jajaran pemimpin pemerintahan adalah mereka yang loyal
kepada pucuk pimpinan birokrasi pemerintahan; yakni Presiden

 



Mengingat  belum  mapannya  electoral  governance  di  negeri  ini,  peran  pro‐
aktif  birokrasi  perlu  didorong.  Sebagai  contoh,  karena  mapannya  tradisi 
menghindar  dari  politik,  birokrasi  pemerintah  merasa  tidak 
bertanggungjawab  terhadap  hilangnya  hak  warga  negara  karena  tidak 
tercatat  dalam  Daftar  Calon  Sementara.  Buruknya  administrasi  yang 
diselenggarakan  birokrasi  bermuara  pada  buruknya  kualitas  pemilihan 
umum ataupun pemilihan kepala daerah. 
Oleh  karena  pertimbangan  di  atas,  kontestasi  politik  perlu 
didudukkan sebagai keniscayaan dalam rangka memastikan berlangsungnya 
pemerintahan  hak  setiap  warga  negara  untuk  menjadi  pemimpin.  Justru 
birokrasi,  sebagai  organisasi  modern  yang  menjadi  andalan  publik  perlu 
mencurahkan  kompetensinya  demi  memastikan  berlangsungnya 
perpolitikan  yang  berkualitas.  Netralitas  birokrasi  justru  disangga  dengan 
pendayagunaan  kompetensinya.5 Justru  kompetensi  birokrasi  perlu  dijamin 
untuk  menyangga  kontestasi  politik  yang  niscaya  berlangsung,  melalui 
penempaan electoral governance.  
 
3. Preskripsi: Politik Netral‐Aktif’ 
Setara  dengan  jargon  ‘bebas‐aktif’  dalam  diplomasi,  Indonesia  perlu 
mengembangkan  kaidah  ‘netral‐aktif’  dalam  reformasi  birokrasinya.  Ada 
sejumlah bias pewacanaan dan pemaknaan peran birokrasi dalam pemilihan 
umum  yang  diproduksi  di  masa  lalu,  yang  luput  refleksi  kritis  kita.  Untuk 
menuntaskan, kalau bukan melakukan akselerasi proses demokratisasi yang 
kita  usung,  bias  tersebut  perlu  dikoreksi.6 Reframing  ataupun  reformulasi 
tentang  netralitas  birokrasi  sangat  perlu  diusung  sebagai  agenda  advokasi, 
setidaknya  oleh  Masyarakat  Ilmu  Pemerintahan  Indonesia.  Netralitas 
birokrasi  tidak  boleh  lagi  didorong  oleh  semangat  untuk  menghindar  dari, 
apa  yang  dituduhkan  sebagai  politik  kotor  para  politisi  partai.  Langkah 
menghindar dari persoalan riel dalam demokratisas ini tidak nampak karena 
terbiasanya kita dengan konotasi pasif dalam mewacanakan netralitas. Justru 
dengan  mengembangkan  netralitas  itulah  birokrasi  perlu  didorong  untuk 
melakukan intrumentasi agar dapat menjinakkan liarnya perpolitikan. Lebih 
dari itu, netralitas tidak boleh lagi didudukkan sebagai kriteria pengawasan 
PNS  melainkan  harus  dikembangkan  sebagai  elemen  vital  bagi 
pengembangan demokratis di negeri ini.  
                                                        
5

Francis E. Rourke, “Responsiveness and Neutral Competence in American
Bureaucracy”, Public Administration Review, Vol. 52, No. 6 (Nov. - Dec., 1992), pp. 539-546.
6

Pointnya di sini, tidak semua hal yang dilakukan dimasa lalu harus ditinggalkan,
melainkan harus dimaknai ulang dalam rangka demokratisasi. Misalnya, kaidah bahwa PNS tidak
diharapkan memihak pada kandidat atau kontestan manapun, tetap saja harus dipertahankan. Oleh
karenanya, keharusan PNS mengundurkan diri dari jabatan ketika menjadi kontestan adalam demi
menjamin fairness, bukan karena konotasi “busuknya” politik kepartaian. Reproduksinya wacana
busuknya perpolitikan hanya menyulitkan kita mendemokrasikan diri melalui proses transformasi
niscaya rumit dan berbelit-belit.

 



Untuk  ilustrasi,  mari  kita  merunut  seberapa  serius  kita 
menindaklanjuti  Amandemen  Undang‐undang  Dasar.  Kita  tahu  bahwa  salah 
satu  kesepakatan  konstitusional  kita  adalah  mewujudkan  demokrasi  dalam 
tata  pemerintahan  presidensial,  dan  oleh  karenanya  diselenggarakanlah 
pemilihan  presiden (pilpres)  dan pemilihan  kepada  daerah  (pilkada) secara 
langsung.  Namun,  karena  kuatnya  arus  pemikiran  ‘netral  pasif’  kita  tidak 
cukup  serius,  kalau  memang  sempat  peduli,  untuk  mengkaitkan  kualitas 
Pilpres/Pilkada  sebagai  bagian  dari  dari  pengembangan  presidensialisme. 
Yang  marak  selama  ini  adalah  mobilisasi  kesepakatan  bahwa 
presidensialisme  tidak  berjalan.  Tidak  nampaknya  decisive  policy‐making 
Presiden  Susilo  Bambang  Yudhoyono,  dengan  serta  merta  dilekatkan  pada 
karakter  personal  pemenang  Pilpres.  Sangat  sedikit,  yang  peduli  untuk 
melacak  apakah  hal  itu  bukan  konsekuensi  dari  ketidak  mapanan  sistem 
presidensial  yang  berlangsung  di  negeri  ini.7 Sehubungan  dengan  hal  ini, 
yang  penting  untuk  ditanyakan  bukanlah  sekedar  seberapa  netral  birokrasi 
kita  dalam  pilpres  dan  pilkada.  Yang  lebih  penting  untuk  dikedepankan 
adalah,  bagaimana  caranya  agar  netralitas  birokrasi  dapat  menjadikan 
pilpres  dan  pilkada  mengkondisikan  cepatmatangnya  transformasi  menuju 
pemerintahan  demokratis  dalam  model  presidensial.  Di  sini,  pucuk 
pemerintahan  nasional  maupun  pucuk  pemerintahan  lokal  diharapkan 
memiliki  kompetensi  policy‐making  dan  fully  competent  dalam  memimpin 
pemerintahan  dalam  kurun  waktu  lima  tahun  tanpa  direcoki  sejumlah 
masalah  struktural  seperti:  ketegangan  antara  Presiden  dengan  Wakil 
Presiden,  atau  ketegangan  antara  Kepada  Daerah  dengan  Wakil  Kepala 
Daerah. 
Politik  netral‐aktif’  birokrasi  mengharuskan  kita  mendudukkan 
pemilu,  pilpres  maupun  pilkada  sebagai  bagian  tak  terpisahkan  dari  disain 
besar  demokratisasi.  Lebih  dari  itu,  satuan  hitungnya  bukanlah  sekedar 
lancar  dan  absahnya  pemimpin  pemerintahan  yang  terlipih 8 ,  melainkan 
terwujudnya  pemerintahan  demokratis.  Tanpa  kesediaan  untuk 
menggunakan  demokrasi  sebagai  satuan  hitung,  maka  pemilu,  pilpres  dan 
pilkada manfaat nyata dari kontestasi yang berlangsung hanya terpusat pada 
elit.9 Merekalah  yang  menikmati  pewacanaan  karena  dengan  pewacanaan 
seperti itu, dominasi mereka terjustifikasi dan bahkan terreproduksi.10 Cara 
                                                        
7

Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; Dari Dilema ke Kompromi,
Gramedia Pustakan Utama, Jakarta, 2010.
8

Kita tahu bahwa jargon yang dikumandangkan untuk menjaga kualitas pemilu, pilpres
dan pilkada selama ini adalah LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia) dan JURDIL (jujur dan
adil). Jargon ini hanya peduli dengan kelancaran penyelenggaraan pemilihan pemimpin
pemerintahan, dan keabsahan fihak yang memang. Amanat untdang-undang terhadap lembaga
penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum, pun berhenti disitu.
9

James Petras, “Class Politics, State Power and Legitimacy”, Economic and Political
Weekly, Vol. 24, No. 34 (Aug. 26, 1989), pp. 1955-1958.
10

Lebih dari itu, tanpa peluasan satuan hitung ini, tidaklah fair kecaman para ahli ilmu
pemerintahan bahwa Indonesia terjebak dalam elektoralisme dalam berdemokrasi, karena
fikirannya sendiripun elektoralistik.

 



berfikir  lama,  yang  membiarkan  elit  memobilisasi  dukungannya  melalui 
kelatahan yang diwariskan pemerintahan otoriter, perlu dobrak.  
Politik  netral‐aktif  birokrasi  perlu  dikembangkan  mengingat 
problematiknya  pemberlakukan  skema  liberal  di  negeri  ini.  Demokratisasi 
dalam mainstream pemikiran politik yang menggejala di negeri ini, dimaknai 
peminggiran  peran  negara  dalam  pengelolaan  kepentingan  publik. 
Demokratisasi  berlangsung  simultan  dengan  liberalisasi  ekonomi  yang 
mengandaikan  bahwa  pemerintahan  yang  baik  adalah  yang  perannya 
seminimal  mungkin.  Bersamaan  dengan  hal  itu,  berlaku  asumsi  bahwa 
pengalaman  berdemokrasi  akan  dengan  sendirinya  menggulirkan  proses 
transformasi  menuju  tatatan  yang  demokratis.  Asumsi  ini,  setelah  ditelaah 
secara  seksama,  ternyata  tidak  terbukti.11 Maknya,  terbiasanya  oleh  terlibat 
secara  baik  dalam  kegiatan‐kegiatan  pemilu  yang  didasari  oleh  semangat 
peminggiran  peran  negara  ini  tidak  dengan  serta‐merta  menjadikan  nilai‐
nilai demokrasi semakin terlembaga dan membudaya.  
Proses  discursive,  termasuk  reframing  perbincangan  sangat 
diperlukan.  Dibalik  maraknya  wacana  netral  pasif  tersirat,  dalam  istilah 
James  Scott,  hidden  transcript  yang  perlu  dicermati  tentang  peminggiran 
peran  negara. 12  Point  yang  hendak  dikedepankan  di  sini  adalah  bahwa, 
betapapun birokrasi di negeri ini dirundung masalah, demokratisasi di negeri 
ini  memerlukan  netralitas  yang  bersifat  berwatak  pro‐aktif.  Birokrasi, 
bagaimanapun  juga  adalah  kekuatan  politik  penting  dalam  tata 
pemerintahan  di  negeri  ini,  dan  akselesasi  proses  demokratisasi  bisa 
dilakukan  justru  dengan  mengambangkan  netralitas  aktif  (menggantikan 
netralitas pasif yang terpelihara selama ini). 
Ada  dua  bentuk  keterlibatan  birokrasi  dalam  penyelenggaraan 
pemilu,  pilpres  dan  pilkada.  Bentuk  keterlibatan  yang  pertama,  bersifat 
langsung,  yakni  dalam  proses  electoral  governance.  Ada  birokrasi 
penyelenggaraan  pemilu  yang  harus  dikembangkan  agar  pemili  berkualitas 
terselenggara,  dan  menghasilkan  pemimpin  yang  berkualitas  untuk 
memimpin  jalannya  birokrasi  itu  sendiri.  Dalam  konteks  ini,  electoral 
governance  bisa  didudukkan  bukan  hanya  sebagai  penjaminan 
tersalurkannya hak rakyat dalam menentukan pimpinannya, malainkan juga 
sebagai  proses  mencari  pemimpin  terbaik  untuk  berjalannya  birokrasi 
pemerintahan.  Bentuk  keterlibatan  yang  kedua  bersifat  tidak  langsung, 
namun  justru  memiliki  dampak  yang  besar  bagi  peningkatan  kualitas 
demokrasi.  Muara  dari  pelibatan  birokrasi,  dalam  hal  ini,  adalah 
berlangsungnya proses policy‐making yang efektif untuk mengatasi masalah 
publik. 
 
                                                        
11

Mark Warren, “Democratic Theory and Self-Transformation”, The American Political
Science Review, Vol. 86, No. 1 (Mar., 1992), pp. 8-23.
12

Gagasan ini disinapirasi oleh Carol J. Greenhouse, “Hegemony and Hidden
Transcripts: The Discursive Arts of Neoliberal Legitimation, American Anthropologist, New
Series, Vol. 107, No. 3 (Sep., 2005), pp. 356-368.