HM YunusAnis Ketua PP Ketujuh

HM YunusAnis Ketua PP Ketujuh
Muhammad Yunus Anis dilahirkan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 3 Mei 1903.
Ayahnya, Haji Muhammad Anis, adalah seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta. Berdasarkan
surat kekancingan dari Swandana Tepas Dwara Putera Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada
tahun tahun 1961, disebutkan bahwa Yunus Anis masih ada hubungan kekerabatan dengan Sultan
Mataram. Ia terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang ketujuh, atau Ketua
PP Muhammadiyah periode 1959-1962. Saat-saat awal Orde Lama.
Sejak kecil ia dididik agama oleh kedua orang tuanya dan datuknya sendiri, terutama membaca
al-Qur’an dan pendidikan akhlaq. Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat
Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad di
Batavia (Jakarta) yang dibimbing oleh Syech Ahmad Syurkati, seorang kawan akrab Kiai
Dahlan. Pendidikan yang diterima di sekolah tersebut membawa dirinya tampil sebagai
pemimpin Islam di Indonesia yang tangguh.
Setelah menamatkan pendidikannya, Yunus Anis mengaktifkan diri sebagai mubaligh. Ia banyak
terjun ke masyarakat di berbagai daerah di Indonesia untuk mengembangkan misi dakwah dan
Muhammadiyah. Ia juga banyak mendirikan Cabang Muhammadiyah di berbagai daerah di
Indonesia.
Ia dikenal juga sebagai organisator dan administrator. Tahun 1924-1926 ia menjabat sebagai
Pengurus Cabang Muhammadiyah di Batavia. Kepemimpinannya semakin menonjol dan
memperoleh kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Pada tahun 1934-1936 dan 19531958 ia dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kemudian
menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962.

Ketika HM Yunus Anis menjadi Sekretaris PP Muhammadiyah, ia suka berkeliling ke cabangcabang dan ranting Muhammadiyah baik yang ada di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Selama
kunjungan ke berbagai daerah sampai di pelosok-pelosok itu beliau dengan mudah
menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat setempat. Dengan kecakapannya
berkomunikasi dan menarik hati maka dimana-mana ia mendapat sambutan secara meriah.
Namanya semakin terkenal di kalangan Muhammadiyah. Ketenaran namanya di setiap daerah itu
maka setiap ada Kongres (Muktamar) Muhammadiyah ia memperoleh suara untuk menjadi
pengurus. Dan puncaknya pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1959 ia terpilih menjadi Ketua
PP Muhammadiyah periode 1959-1962.
Saat ia memimpin, perkembangan Muhammadiyah cukup pesat. Perkembangan dapat dilihat dari
jumlah cabang dan ranting yang ada dari tahun ke tahun. Teranyata pada periode Ketua PP
Muhammadiyah dipegang HM Yunus Anis semakin meningkatn. Sebagai gambaran, pada tahun
1960, Muhammadiyah mempunyai jumlah ranting dan cabang sebanyak 2556 tempat (tanpa
rincian), tetapi pada tahun 1961 meningkat menjadi 2740 tempat dengan rincian 524 cabang dan
2216 ranting. Ini tentu sumbangan yang penting bagi Muhammadiyah meski pada saat itu
mengalami masa-masa sulit karena hambatan dari PKI dan antek-anteknya mulai terasa.
Perjuangannya di Muhammadiyah amatlah ikhlas. Karenanya, meski pada periode sesudahnya ia
sudah tidak menjadi Ketua, ia tetap mengabdikan dirinya untuk perkembangan Persyarikatan
Muhammadiyah. Selain sebagai Penasehat PP Muhammadiyah, ia rela sebagai Wakil Ketua
Majelis Pendidikan dan Ketua Urusan Dokumentasi dan Sejarah PP Muhammadiyah. Jabatan
bukan masalah untuk bisa mengabdikan pada Muhammadiyah guna semaraknya Islam di

Indonesia.

M Yunus Anis seorang tokoh pembaharu dalam Muhammadiyah. Pemikiran, sikap dan
pandangannya membawa ke arah kemajuan Islam. Agama dan pribadinya sangat kuat, ia
berprinsip bahwa isi al-Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber kebenaran, maka dalam
melakukan kegiatannya selalu mengarah dengan mencari hal yang benar dan menolak kebatilan.
Perhatiannya terhadap kegiatan sosial kemasyarakatan besar, terutama kepada anak yatim piatu
dan fakir miskin. Menurut pendapatnya, Islam harus memiliki peran aktif dalam segala bidang,
termasuk dalam pemerintahan. Apa yang bertentangan dengan kebenaran Islam ditolaknya
dengan tegas. Orang Islam diharapkan hidupnya mempunyai makna untuk nusa , bangsa, negara
dan agama. Oleh karena itu harta benda yang dimilikinya berfungsi sosial, maka beliau
mengharapkan agar orang Islam tidak menjadikan dirinya hina dan tercela dalam kehidupan
masyarakat. (lut)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 20 2004