JURNAL FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN Vol. 1 No. 1 Sept 2015

(1)

JURNAL FAKULTAS

PSIKOLOGI UNIVERSITAS

HKBP NOMMENSEN

JURNAL FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN Volume 1 Nomor 1 September 2015

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar: Suatu Studi eksploratif pada mahasiswa Universitas HKBP Nommensen

Asina Christina Rosito, S.Psi, M.Sc

Mengenali Adhd (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) Dan Penanganannya Pada Anak Sejak Dini

Ervina Marimbun Rosmaida Siahaan, M.Psi, Psikolog

Orang Tua Sebagai Model Utama Bagi Perilaku Makan Sehat Pada Anak-Anak

Nancy Naomi G.P. Aritonang, M.Psi, Psikolog

Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Well-being Karyawan in Pt. Intan Havea Industry, Medan

Nenny Ika Putri Simarmata, M.Psi, Psikolog

Perbedaan Sikap Jemaat Laki-laki dan perempuan Terhadap Efektivitas kepemimpinan pendeta perempuan di gereja batak karo protestan

Karina M. Brahmana, M.Psi, Psikolog

Gambaran Kecerdasan Spiritual (SQ) Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas HKBP Nommensen Medan

Togi Fitri Afrini Ambarita, M.Psi, Psikolog

M A J A L A H I L M I A H

F A K U L T A S P S I K O L O G I - U N I V E R S I T A S H K B P N O M M E N S E N

UHN


(2)

ORANG TUA SEBAGAI MODEL UTAMA BAGI PERILAKU MAKAN SEHAT PADA ANAK-ANAK

Nancy Naomi GP Aritonang, M.Psi, Psikolog ABSTRAK

Obesitas adalah krisis publik yang umum terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Obesitas pada anak meningkat berkaitan dengan penghargaan terhadap kesehatan dan well-being pada anak. Obesitas pada masa kanak-kanak dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan pemasukan kalori dalam tubuh dengan kalori yang dibutuhkan (untuk pertumbuhan, perkembangan, metabolism, dan aktivitas fisik). Obesitas beresiko terhadap kesehatan fisik, namun membatasi asupan makan (diet) dapat menyebabkan siklus naik turunnya berat badan sehingga berdampak buruk terhadap kesehatan juga.

Melakukan pencegahan terhadap obesitas pada anak lebih baik dari pada melakukan diet, diet kurang disarankan dilakukan pada anak-anak karena penerapan diet yang salah akan menyebabkan pertumbuhan akan terganggu. Makan secara benar merupakan keterampilan yang dipelajari dan bukan sesuatu yang dimiliki secara alamiah. Anak akan belajar cara makan yang benar melalui proses belajar model (modelling) dari figur yang ada di lingkungannya. Orang tua sebagai model utama yang mempengaruhi perilaku anak-anak penting memahami perilaku makan yang sehat, termasuk didalamnya tentang pola makan sehat yang dapat menjadi kebiasaan baik bagi anak-anak. Pendekatan behavioral dapat dipelajari dalam menerapkan pola makan sehat pada anak, sehingga dalam penerapannya hal tersebut dapat menjadi model yang baik bagi anak-anak.

Key words: obesitas, perilaku makan, diet, modelling, pendekatan behavioral

I. Pendahuluan

Jumlah orang yang mengalami obesitas atau kelebihan berat badan meningkat selama 30 tahun terakhir. Populasi orang obesitas di dunia meningkat setiap tahunnya. Pada 1980 jumlahnya sekitar 857 ribu dan pada 2013 menjadi 2 miliar. Indonesia termasuk negara yang jumlah obesitasnya tinggi, yaitu peringkat 10 sebagai negara dengan orang obesitas terbanyak di dunia (Liputan6.com, 2015). Menurut British Population Survey (BPS) pada 2014, jumlah pria gemuk enam kali lebih banyak dari 10 tahun yang lalu. Sementara untuk wanita adalah 3,5 kalinya dibandingkan dengan tahun 2004 (Unoviana Kartika, 2014).

Obesitas dapat terjadi pada usia berapa saja, tetapi tersering pada tahun pertama kehidupan, usia 56 tahun dan pada masa remaja (Rosana, 2007). Prevalensi anak yang mengalami obesitas semakin meningkat pada negara-negara berkembang. Hasil survey National


(3)

Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) pada tahun 2007-2008 memperkirakan 16.9% dari anak-anak dan remaja dalam kelompok usia 2-19 tahun mengalami obesitas. Obesitas pada anak ditemui pada kelompok usia prasekolah, yaitu 2-5 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, dan meningkat 5-10% antara tahun 1976-1980, dan pada tahun 2007-2008 meningkat dari 6.5 -19.6% diantara kelompok usia 6-11 tahun. Data yang dikumpulkan dari periode yang sama bahwa pada usia remaja (usia 12-19 tahun), obesitas meningkat dari 5.0- 18.1% (Kamik & Kanekar, 2012).

Obesitas adalah krisis publik yang umum yang terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Rentang berat badan pada individu yang lebih besar daripada berat badan ideal, yang dibandingkan dengan tinggi badannya, dinyatakan sebagai overweight atau obese. Body mass

index (BMI), suatu ukuran terhadap berat badan yang dikaitkan dengan tinggi badan, juga

menggunakan indeks antropometrik pada risiko penyakit jantung (Kamik & Kanekar, 2012). Orang yang diklasifikasikan sebagai kelebihan berat badan adalah ketika BMI (body mass index)

adalah ≥ 25, dan obesitas ketika BMI ≥ 30 (NCHS, 2009, dalam Sarafino, 2011).

Menurut Ogden (2004), penderita obesitas memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami berbagai macam penyakit seperti hipertensi, sakit jantung, kanker, dan kematian. Kamik & Kanekar (2012) menyatakan bahwa banyak masalah yang berkaitan dengan kesehatan diasosiasikan dengan obesitas pada anak-anak. Obesitas pada masa kanak-kanak mengarahkan pada risiko kesehatan pada masa dewasa. Masalah kesehatan berkaitan dengan obesitas tidak hanya secara fisik tetapi psikologis dan sosial juga.

Lebih lanjut dikatakan oleh Kamik & Kanekar (2012), bahwa anak-anak yang obesitas memiliki body-image negatif, yang mengarahkan pada self-esteem yang lebih rendah. Anak-anak merasa depresi dan cemas tentang masalah obesitas yang dialaminya dan ini berakibat negative pada perilaku mereka. Ini juga merefleksikan secara negatif pada akademik dan perkembangan sosial mereka. Mereka merasa didiskriminasikan secara sosial dan distigma oleh teman sebaya dan orang dewasa.

Obesitas pada anak meningkat berkaitan dengan penghargaan terhadap kesehatan dan

well-being pada anak. Obesitas pada masa kanak-kanak dapat disebabkan oleh

ketidakseimbangan pemasukan kalori dalam tubuh dengan kalori yang dibutuhkan (untuk pertumbuhan, perkembangan, metabolism, dan aktivitas fisik). Normalnya, jumlah kalori yang dikonsumsi anak-anak melalui makanan atau cemilan, jika tidak digunakan untuk energy


(4)

beraktivitas, akan mengarahkan pada obesitas. Faktor-faktor yang menyebabkan obesitas pada masa kanak-kanak adalah faktor genetika, behavioral, dan lingkungan Kamik & Kanekar (2012).

Obesitas beresiko terhadap kesehatan fisik, namun membatasi asupan makan (diet) dapat menyebabkan siklus naik turunnya berat badan sehingga berdampak buruk terhadap kesehatan juga (Ogden, 1996). Usaha untuk makan lebih sedikit telah menjadi sinonim dengan diet dan penelitian menemukan bahwa antara 61 sampai 89% populasi wanita berusaha untuk mengurangi asupan makanan mereka beberapa kali dalam kehidupannya. Sebagai tambahan, diet juga ditemukan dilakukan oleh remaja dan anak gadis berusia 9 tahun (Wardle & Beales, 1986; Hill et al., 1994, dalam Odgen, 1996).

Diet tidak sepenuhnya efektif dalam mengatasi kelebihan berat badan maupun obesitas. Menurut Ogden (1996) penderita obesitas yang mengikuti diet memiliki kecenderungan untuk berpusat pada makanan, yang selanjutnya memunculkan tingkah laku makan berlebihan. Penelitian terbaru menemukan bahwa fluktuasi berat badan memiliki efek negatif terhadap kesehatan, dapat menyebabkan kematian dan gangguan penyakit jantung. Terus berusaha diet dan gagal merugikan kesehatan fisik daripada terus menjadi obesitas secara konsisten (Brownell, et al, 1989, dalam Ogden 1996).

Fenomena diet pada anak-anak masih meragukan, mengingat bahwa anak-anak sedang pada masa pertumbuhan, yang membutuhkan kalori dengan kecukupan gizi. Kebanyakan orang tua merasa khawatir menerapkan diet pada anak-anak, karena khawatir anaknya kekurangan vitamin atau kekurangan gizi, sehingga cenderung membiarkan anak memakan makanan sebanyak yang diinginkannya.

Makan secara benar merupakan keterampilan yang dipelajari dan bukan sesuatu yang dimiliki secara alamiah. Obesitas merupakan salah satu faktor resiko yang dialami individu yang kurang aktif bergerak dan mengkonsumsi makanan mengandung lemak juga kalori tinggi. Kebiasaan ini juga meningkatkan bahaya penyakit yang terkait dengan tingginya tekanan darah, penyakit jantung dan kanker. Orang tua berperan penting dalam menentukan perilaku makan anak (Ogden, 1996).

Penelitian terdahulu mengenai obesitas didasari oleh asumsi bahwa obesitas makan dengan cara yang berbeda dan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan individu yang memiliki berat badan normal (Ferster et al., 1962, dalam Odgen, 1996). Externality theory dari Schachter mengungkapkan bahwa meskipun semua individu bertanggung jawab terhadap


(5)

stimulus eksternal seperti bentuk, rasa, dan bau dari makanan, dan bahwa stimulus itu dapat menyebabkan makan berlebihan, individu obesitas sangat responsif terhadap stimulus eksternal bahkan sampai tidak dapat mengendalikan diri (Odgen, 1996).

Perilaku makan dipengaruhi oleh stimulus internal dan stimulus eksternal. Pada umumnya individu yang memiliki berat badan normal makan terutama karena internal cues atau isyarat dari dalam diri (seperti karena lapar, atau kepuasan), sementara individu penderita obesitas cenderung kurang responsif terhadap internal cues namun sangat responsif terhadap

external cues, seperti waktu, tampilan makanan, rasa makanan, dan sejumlah ciri-ciri makanan.

Juga diungkapkan bahwa responsifitas yang berlebihan terhadap external cues tersebut menyebabkan obesitas (Schachter & Rodin 1974, dalam Odgen, 1996).

External Cues dalam hal ini juga termasuk stimulus makanan yang dilihat anak pada

televisi ataupun media sosial yang dilihatnya sehari-hari. Seperti iklan coklat pada televisi yang menggambarkan anak-anak yang senang setelah memakan coklat, menjadi stimulus eksternal pada anak-anak untuk menkonsumsinya. Selain itu, anak-anak juga bisa belajar dari peer group

ataupun teman sebayanya, tentang pola makan yang umum dimakan oleh anak sebanyanya. Pola makan makanan cepat saji (fast food) sering diadopsi anak-anak melalui teman-teman sekolahnya yang dilihatnya secara langsung. Anak-anak yang dalam tahap perkembangan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, cenderung mengikuti pola perilaku orang terdekat ataupun orang-orang yang ada disekelilingnya. Secara sadar ataupun tidak sadar anak-anak sering mengikuti pola makan teman sebaya atau orang tuanya.

Pada umumnya orang dewasa yang obesitas, sudah gemuk sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu pencegahan berat badan berlebih harus dimulai sejak awal (Sarafino, 2011). Anak-anak yang obesitas pada masa kAnak-anak-kAnak-anak cenderung untuk tetap obesitas hingga masa dewasa. (Serdula, et.all, 1993, dalam Sarafino, 2011). Namun masalah yang umum dalam mencegah terjadinya obesitas pada masa kanak-kanak: lebih dari sepertiga orangtua dengan anak yang

overweight menegaskan bahwa anak mereka berada pada berat badan yang tepat (Jeffrey, et.all,

dalam Sarafino, 2011).

Pencegahan terhadap obesitas pada anak-anak harus dimulai dari orang tua dan keluarga. Orang tua sebagai figur modeling utama bagi anak-anak berperan penting dalam menentukan pola makan anak-anak hingga dewasa. Kebiasaan orang tua memakan makanan yang sehat akan menularkan perilaku makan sehat pada anak-anaknya. Dalam hal ini proses modeling terjadi.


(6)

Modelling atau belajar model adalah proses menirukan tingkah laku orang lain yang dilihat, dilakukan secara sadar atau tidak. Belajar model ini sinonim dengan imitasi, identifikasi dan belajar melalui observasi (Monks, dkk, 2006). Menurut Bandura (dalam Monks, dkk, 2006), kebanyakan tingkah laku orang terjadi karena pengamatan atau belajar model.

Anak-anak yang dalam masa pertumbuhan akan belajar model dari figur orang tua. Menurut Freud, pada masa kanak-kanak, anak akan mengidentifikasikan diri dengan orang tua, yaitu anak perempuan dengan ibunya dan anak laki-laki dengan ayahnya. Anak-anak akan meniru dan mengikuti perilaku orang tua yang menjadi figur modelnya. Orang tua yang menunjukkan perilaku yang positif, misal, memakan makanan yang sehat, akan diikuti oleh anaknya dengan kebiasaan memakan makanan sehat. Orang tua sebagai model utama dalam perilaku anak, sebaiknya memiliki pengetahuan tentang pola makan yang sehat, terutama untuk mencegah anak memiliki berat badan berlebih atau obesitas. Pola makan sehat dapat diajarkan orang tua secara langsung kepada anak-anak, melalui beberapa pendekatan behavioral. Teknik

modelling dan associated learning dapat diterapkan dalam membiasakan anak dalam memiliki

pola makan yang sehat. Pendekatan behavioral ini mengasosiasikan perilaku makan sehat dengan hadiah (rewarding eat behavior, atau food as a reward), juga mengasosiasikan perilaku makan, yang sehat dan tidak sehat dengan konsekuensi fisiologis (food and physiological consequences) yang dipelajari anak sebagai sesuatu yang sebaiknya dihindari ataupun diikuti.

II. Tinjauan Pustaka

2.1. Defenisi Obesitas

Definisi obesitas didasarkan pada rasio berat badan berbanding tinggi badan, yang kemudian dibandingkan dengan rata-rata berat badan berbanding tinggi badan individu dalam populasi dan juga berdasaarkan pengukuran lemak di tubuh (Ogden, 1996).

Stunkard (1984, dalam Ogden, 1996) mengemukakan bahwa obesitas dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok, yaitu:

1) Mild (20-40% kelebihan berat badan), 2) Moderate (41-100% berat badan), atau


(7)

3) Severe ( lebih dari 100% kelebihan berat badan).

Obesitas juga didefinisikan berdasarkan Body Mass Index (BMI), yang dihitung berdasarkan kuadrat dari berat badan (kg)/tinggi badan (m2). Dari perhitungan ini individu dikategorikan:

1) memiliki berat badan normal jika memiliki nilai BMI: 20-24,9. 2) obesitas tingkat 1 jika nilai BMI: 25-29,9.

3) obesitas tingkat 2 jika nilai BMI: 30-39,9. 4) obesitas tingkat 3 jika nilai BMI: 40 ke atas.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran BMI ini adalah, kategori BMI tidak dapat diterapkan pada individu yang sedang dalam masa pertumbuhan (anak-anak), wanita hamil, atlet berotot.

2.2. Eating Behavior (Perilaku makan)

Selama tahun 1960-an dan 1970-an, teori tentang perilaku makan menekankan peran asupan makanan dalam memprediksi berat badan. Penelitian terdahulu mengenai obesitas didasari oleh asumsi bahwa obesitas makan dengan cara yang berbeda dan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan individu yang memiliki berat badan normal (Ferster et al., 1962, dalam Odgen 1996). Perkembangan pendekatan terhadap perilaku makan menekankan pada pentingnya belajar dan pengalaman dan fokus pada perkembangan preferensi makanan pada masa kkanak. Penelitian Davis (1928, 1939, dalam Odgen, 1996) dalam studinya pada bayi dan anak-anak untuk menguji respon anak-anak-anak-anak terhadap diet yang dipilihnya sendiri, menemukan bahwa anak-anak mampu memilih diet yang konsisten dengan pertumbuhan dan kesehatan, dan bebas dari masalah-masalah pemberian makanan.

2.3. Social Learning(Belajar sosial)

Belajar sosial menggambarkan akibat dari mengobservasi perilaku orang lain yang terkadang berkaitan dengan modelling atau „observational learning’. Studi awal mengeksplorasi tentang dampak dari sugesti sosial pada perilaku makan anak dan mengarahkan anak untuk mengobservasi dari sekumpulan model peran membuat anak-anak memiliki pola makan yang berbeda-beda (Duncker, 1938, dalam Odgen, 2004). Model yang dipilih adalah anak lain, orang dewasa yang tidak dikenal dan seorang pahlawan fiksi (fictional hero). Hasilnya menunjukkan


(8)

perubahan yang lebih besar pada preferensi makanan pada anak-anak jika model adalah anak yang lebih besar, seorang teman atau fictional hero. Orang dewasa yang tidak dikenal tidak memiliki dampak pada preferensi makanan. Pada studi lainnya, peer modelling digunakan untuk mengubah preferensi anak-anak tentang sayur (Birch, 1980, dalam Odgen, 2004).

Sikap orang tua terhadap makanan dan perilaku makan adalah sesuatu yang utama dalam proses belajar sosial. Wardle, 1995 (dalam Odgen, 2004) menyatakan bahwa sikap orangtua secara jelas mempengaruhi anak secara tidak langsung melalui pembelian makanan dan penyediaan makanan di rumah; mempengaruhi kebiasaan dan preferensi anak. Beberapa bukti mengindikasikan pada orang tua yang mempengaruhi perilaku makan anak mereka. Sebagai contoh, Klesges,et al, 1991 (dalam Odgen, 2004) menemukan bahwa anak-anak memilih makanan yang berbeda ketika mereka diamati orangtua mereka dibandingkan dengan ketika mereka tidak diamati. Selain itu, Contento,et al.,1993 (dalam Odgen, 2004) menemukan hubungan antara motivasi kesehatan ibu dan kualitas diet anak-anak. Perilaku dan sikap anak menjadi pusat dari proses belajar sosial dengan penemuan penting bahwa ada asosiasi positif antara orang tua dan diet anak-anak.

Lowe et al. 1998 (dalam Odgen, 2004) menyatakan bahwa preferensi makanan dapat ditingkatkan dengan menawarkan reward pada konsumsi makanan target, sepanjang konteks simbolik dari reward adalah positif, dan tidak mengindikasikan bahwa memakan makanan target adalah aktivitas yang bernilai rendah. Sepanjang anak tidak berpikir bahwa „saya ditawarkan suatu reward untuk memakanan sayuran saya‟, disamping sayur menjadi hal negatif kemudian

rewards dapat diberikan.

2.4. Modelling

Modelling atau belajar model adalah proses menirukan tingkah laku orang lain yang dilihat,

dilakukan secara sadar atau tidak. Belajar model ini sinonim dengan imitasi, identifikasi dan belajar melalui observasi (Monks, dkk, 2006). Menurut Bandura (dalam Monks, dkk, 2006), kebanyakan tingkah laku orang terjadi karena pengamatan atau belajar model. Odgen (1996), menyatakan bahwa faktor belajar sosial adalah penting dalam pemilihan makanan. Hal ini termasuk significant people dalam lingkungannya, terutama orang tua dan juga media, yang sering menawarkan informasi penting baru, menggambarkan peran model dan mengilustrasikan perilaku dan sikap yang dapat diobservasi.


(9)

2.5.Pendekatan Behavioral Terhadap Perilaku Makan

Beberapa pendekatan behavioral yang berkaitan dengan perilaku makan, yaitu:

1. Associative learning

Belajar asosiatif berkaitan dengan dampak dari faktor-faktor, yang dipertimbangkan sebagai reinforcers dengan operant conditioning. Dalam hal perilaku makan, penelitian menemukan bahwa makanan dapat dipasangkan dengan aspek lingkungan. Termasuk didalamnya, makanan dipasangkan dengan suatu reward, digunakan sebagai suatu reward

dan dikaitkan dengan konsekuensi fisiologis. 2. Rewarding eating behavior.

Beberapa penelitian sering menguji efek rewarding perilaku makan seperti: “jika anda

memakan sayur, makan saya akan menyenangkanmu”. Sebagai contoh, Birch et al., 1980

(dalam Ogden, 2014) memberikan anak-anak makanan yang diasosiasikan dengan atensi positif orang dewasa dibandingkan dengan situasi yang lebih netral, dan hal ini menunjukkan preferensi pada makanan tertentu. Penelitian akhir dalam menggunakan video untuk mengubah perilaku makan menemukan bahwa menghadiahkan konsumsi sayuran dapat meningkatkan perilaku tersebut (Lowe et al. 1998, dalam Ogden, 2004).

3. Food as the reward.

Penelitian akhir mengeksplorasi dampak penggunaan makanan sebagai suatu reward. Pada studi ini mengasosiasikan makanan dengan perilaku lainnya, seperti “jika anda berperilaku

baik, anda akan diberikan biscuit”. Birch et al.,1980 (dalam Odgen, 2014) meneliti anak-anak dengan makanan sebagai suatu reward, sebagai sebuah makanan ringan ataupun dalam suatu situasi non-sosial (kontrol). Hasilnya menemukan bahwa penerimaan makanan terhadap makanan meningkat ketika makanan diberikan sebagai suatu reward, tetapi kondisi netral lain tidak memiliki efek. Memberikan makanan sebagai suatu reward meningkatkan preferensi terhadap makanan.

Asosiasi antara makanan dan reward menekankan suatu peran bagi kontrol orang tua melebihi perilaku makan. Beberapa penelitian menempatkan dampak dari control sebagai suatu studi mengindikasikan bahwa orang tua sering percaya bahwa akses terbatas pada makanan dan larangan untuk memakan makanan adalah strategi tepat untuk meningkatkan preferensi makanan (Casey & Rozin, 1989, dalam Odgen, 2004).


(10)

2.6. Modelling Perilaku Makan Sehat Orang Tua Pada Anak-Anak

Berikut beberapa cara atau pendekatan yang dapat dilakukan orang tua sebagai modelling perilaku makan sehat pada anak-anak, yaitu:

1. Associated learning, yaitu mengasosiasikan perilaku makan sehat dengan reward (hadiah),

dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

a. Rewarding eat behavior, yaitu menghadiahkan anak-anak sesuatu yang diinginkan ketika

anak-anak memakan makanan sehat.

Misal. Jika anak menghabiskan makanannya, anak diperbolehkan bermain, Jika anak memakan sayuran setiap waktu makan, anak akan diajak bermain di taman bermain pada akhir minggu.

b. Food as the reward , yaitu memberikan makanan sebagai reward atau hadiah atas perilaku

makan sehat yang ditunjukkan anak.

Misal. Jika anak memakan sayurannya, maka anak bisa memakan pudding, Jika anak menghabiskan susunya, maka anak akan diberikan biscuit.

2. Food & physiological consequences, yaitu konsekuensi fisik yang dihubungkan dengan

perilaku makan yang tidak sehat atau tidak sehat.

a. Orang tua sebagai figur model menunjukkan pada anak-anak, ketika ia memakan makanan sehat dan merasa puas dengan hasilnya (perut nyaman dan merasa berenergi/kuat). Dengan demikian maka akan tumbuh belief (keyakinan) pada anak, bahwa memakan makanan sehat akan membuatnya menjadi kuat dan sehat.

b. Ketika orang tua memakan makanan kurang sehat, misal. Makanan fast food seperti nugget atau mie instan, orang tua menunjukkan bahwa ia merasa perutnya sakit dan kepalanya pusing. Dengan demikian maka anak akan mengasosiasikan makanan fast food dengan

kesakitan.

III. KESIMPULAN

Tingkat obesitas semakin meningkat belakangan ini, termasuk pada anak-anak. Masalah dalam mencegah terjadinya obesitas pada masa kanak-kanak adalah bahwa kebanyakan orangtua dengan anak yang overweight merasa bahwa anak mereka berada pada berat badan


(11)

yang tepat. Pemilihan makan dapat dipengaruhi oleh belajar sosial. Orang tua sebagai role model

bagi anak berperan penting dalam menentukan perilaku makan anak.

Orang tua dapat menerapkan pendekatan behavioral dalam membiasakan anak untuk memakan makanan yang sehat, termasuk mengasosiasikan makanan dengan hadiah, ataupun mengasosiasikan makanan dengan konsekuensi fisik. Orang tua juga sebaiknya membiasakan memakan makanan sehat di depan anak, dan memilih makanan sehat sebagai pola konsumsi di keluarga, sehingga anak akan terbiasa untuk mengikuti pola makan sehat tersebut.


(12)

DAFTAR PUSTAKA

Rosana. C. (2007). Dinamika Psikologis Remaja Putri yang Mengalami Obesitas. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.

Kamik & Kanekar. (2012). Childhood Obesity: A Global Public Health Crisis. USA:

International Journal Prevention Medical [on-line]

Lipuran6.com, 2015. Orang Dewasa Obesitas tertinggi di dunia. http://health.liputan6.com/read/2152649/orang-dewasa-obesitas-di-ri-tertinggi-di-dunia, [Artikel online]

Monks, dkk. (2006). Psikologi Perkembangan (Revisi III). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ogden, J. (2004 ). Health Psychology: A Text Book (3th Ed). USA: McGraw-Hill, Inc.

Ogden, J. 1996. Health Psyckology: A Text Book. Buckhingham Philadelphia: Open University Press.

Sarafino, E.P. (2002). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (6th Ed). USA: John Wiley & Sons, Inc

Unoviana Kartika. (2014). Jumlah orang gemuk terus bertambah. http://health.kompas.com/read/2014/08/20/170610223/Jumlah.Orang.Gemuk.Terus.Bertam bah. [Artikel online]


(1)

3) Severe ( lebih dari 100% kelebihan berat badan).

Obesitas juga didefinisikan berdasarkan Body Mass Index (BMI), yang dihitung berdasarkan kuadrat dari berat badan (kg)/tinggi badan (m2). Dari perhitungan ini individu dikategorikan:

1) memiliki berat badan normal jika memiliki nilai BMI: 20-24,9. 2) obesitas tingkat 1 jika nilai BMI: 25-29,9.

3) obesitas tingkat 2 jika nilai BMI: 30-39,9. 4) obesitas tingkat 3 jika nilai BMI: 40 ke atas.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran BMI ini adalah, kategori BMI tidak dapat diterapkan pada individu yang sedang dalam masa pertumbuhan (anak-anak), wanita hamil, atlet berotot.

2.2. Eating Behavior (Perilaku makan)

Selama tahun 1960-an dan 1970-an, teori tentang perilaku makan menekankan peran asupan makanan dalam memprediksi berat badan. Penelitian terdahulu mengenai obesitas didasari oleh asumsi bahwa obesitas makan dengan cara yang berbeda dan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan individu yang memiliki berat badan normal (Ferster et al., 1962, dalam Odgen 1996). Perkembangan pendekatan terhadap perilaku makan menekankan pada pentingnya belajar dan pengalaman dan fokus pada perkembangan preferensi makanan pada masa kkanak. Penelitian Davis (1928, 1939, dalam Odgen, 1996) dalam studinya pada bayi dan anak-anak untuk menguji respon anak-anak-anak-anak terhadap diet yang dipilihnya sendiri, menemukan bahwa anak-anak mampu memilih diet yang konsisten dengan pertumbuhan dan kesehatan, dan bebas dari masalah-masalah pemberian makanan.

2.3. Social Learning (Belajar sosial)

Belajar sosial menggambarkan akibat dari mengobservasi perilaku orang lain yang terkadang berkaitan dengan modelling atau „observational learning’. Studi awal mengeksplorasi tentang dampak dari sugesti sosial pada perilaku makan anak dan mengarahkan anak untuk mengobservasi dari sekumpulan model peran membuat anak-anak memiliki pola makan yang berbeda-beda (Duncker, 1938, dalam Odgen, 2004). Model yang dipilih adalah anak lain, orang dewasa yang tidak dikenal dan seorang pahlawan fiksi (fictional hero). Hasilnya menunjukkan


(2)

perubahan yang lebih besar pada preferensi makanan pada anak-anak jika model adalah anak yang lebih besar, seorang teman atau fictional hero. Orang dewasa yang tidak dikenal tidak memiliki dampak pada preferensi makanan. Pada studi lainnya, peer modelling digunakan untuk mengubah preferensi anak-anak tentang sayur (Birch, 1980, dalam Odgen, 2004).

Sikap orang tua terhadap makanan dan perilaku makan adalah sesuatu yang utama dalam proses belajar sosial. Wardle, 1995 (dalam Odgen, 2004) menyatakan bahwa sikap orangtua secara jelas mempengaruhi anak secara tidak langsung melalui pembelian makanan dan penyediaan makanan di rumah; mempengaruhi kebiasaan dan preferensi anak. Beberapa bukti mengindikasikan pada orang tua yang mempengaruhi perilaku makan anak mereka. Sebagai contoh, Klesges,et al, 1991 (dalam Odgen, 2004) menemukan bahwa anak-anak memilih makanan yang berbeda ketika mereka diamati orangtua mereka dibandingkan dengan ketika mereka tidak diamati. Selain itu, Contento,et al.,1993 (dalam Odgen, 2004) menemukan hubungan antara motivasi kesehatan ibu dan kualitas diet anak-anak. Perilaku dan sikap anak menjadi pusat dari proses belajar sosial dengan penemuan penting bahwa ada asosiasi positif antara orang tua dan diet anak-anak.

Lowe et al. 1998 (dalam Odgen, 2004) menyatakan bahwa preferensi makanan dapat ditingkatkan dengan menawarkan reward pada konsumsi makanan target, sepanjang konteks simbolik dari reward adalah positif, dan tidak mengindikasikan bahwa memakan makanan target adalah aktivitas yang bernilai rendah. Sepanjang anak tidak berpikir bahwa „saya ditawarkan suatu reward untuk memakanan sayuran saya‟, disamping sayur menjadi hal negatif kemudian

rewards dapat diberikan.

2.4. Modelling

Modelling atau belajar model adalah proses menirukan tingkah laku orang lain yang dilihat,

dilakukan secara sadar atau tidak. Belajar model ini sinonim dengan imitasi, identifikasi dan belajar melalui observasi (Monks, dkk, 2006). Menurut Bandura (dalam Monks, dkk, 2006), kebanyakan tingkah laku orang terjadi karena pengamatan atau belajar model. Odgen (1996), menyatakan bahwa faktor belajar sosial adalah penting dalam pemilihan makanan. Hal ini termasuk significant people dalam lingkungannya, terutama orang tua dan juga media, yang sering menawarkan informasi penting baru, menggambarkan peran model dan mengilustrasikan perilaku dan sikap yang dapat diobservasi.


(3)

2.5. Pendekatan Behavioral Terhadap Perilaku Makan

Beberapa pendekatan behavioral yang berkaitan dengan perilaku makan, yaitu: 1. Associative learning

Belajar asosiatif berkaitan dengan dampak dari faktor-faktor, yang dipertimbangkan sebagai reinforcers dengan operant conditioning. Dalam hal perilaku makan, penelitian menemukan bahwa makanan dapat dipasangkan dengan aspek lingkungan. Termasuk didalamnya, makanan dipasangkan dengan suatu reward, digunakan sebagai suatu reward

dan dikaitkan dengan konsekuensi fisiologis. 2. Rewarding eating behavior.

Beberapa penelitian sering menguji efek rewarding perilaku makan seperti: “jika anda

memakan sayur, makan saya akan menyenangkanmu”. Sebagai contoh, Birch et al., 1980 (dalam Ogden, 2014) memberikan anak-anak makanan yang diasosiasikan dengan atensi positif orang dewasa dibandingkan dengan situasi yang lebih netral, dan hal ini menunjukkan preferensi pada makanan tertentu. Penelitian akhir dalam menggunakan video untuk mengubah perilaku makan menemukan bahwa menghadiahkan konsumsi sayuran dapat meningkatkan perilaku tersebut (Lowe et al. 1998, dalam Ogden, 2004). 3. Food as the reward.

Penelitian akhir mengeksplorasi dampak penggunaan makanan sebagai suatu reward. Pada studi ini mengasosiasikan makanan dengan perilaku lainnya, seperti “jika anda berperilaku baik, anda akan diberikan biscuit”. Birch et al.,1980 (dalam Odgen, 2014) meneliti anak-anak dengan makanan sebagai suatu reward, sebagai sebuah makanan ringan ataupun dalam suatu situasi non-sosial (kontrol). Hasilnya menemukan bahwa penerimaan makanan terhadap makanan meningkat ketika makanan diberikan sebagai suatu reward, tetapi kondisi netral lain tidak memiliki efek. Memberikan makanan sebagai suatu reward meningkatkan preferensi terhadap makanan.

Asosiasi antara makanan dan reward menekankan suatu peran bagi kontrol orang tua melebihi perilaku makan. Beberapa penelitian menempatkan dampak dari control sebagai suatu studi mengindikasikan bahwa orang tua sering percaya bahwa akses terbatas pada makanan dan larangan untuk memakan makanan adalah strategi tepat untuk meningkatkan preferensi makanan (Casey & Rozin, 1989, dalam Odgen, 2004).


(4)

2.6. Modelling Perilaku Makan Sehat Orang Tua Pada Anak-Anak

Berikut beberapa cara atau pendekatan yang dapat dilakukan orang tua sebagai modelling perilaku makan sehat pada anak-anak, yaitu:

1. Associated learning, yaitu mengasosiasikan perilaku makan sehat dengan reward (hadiah),

dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

a. Rewarding eat behavior, yaitu menghadiahkan anak-anak sesuatu yang diinginkan ketika

anak-anak memakan makanan sehat.

Misal. Jika anak menghabiskan makanannya, anak diperbolehkan bermain, Jika anak memakan sayuran setiap waktu makan, anak akan diajak bermain di taman bermain pada akhir minggu.

b. Food as the reward , yaitu memberikan makanan sebagai reward atau hadiah atas perilaku

makan sehat yang ditunjukkan anak.

Misal. Jika anak memakan sayurannya, maka anak bisa memakan pudding, Jika anak menghabiskan susunya, maka anak akan diberikan biscuit.

2. Food & physiological consequences, yaitu konsekuensi fisik yang dihubungkan dengan

perilaku makan yang tidak sehat atau tidak sehat.

a. Orang tua sebagai figur model menunjukkan pada anak-anak, ketika ia memakan makanan sehat dan merasa puas dengan hasilnya (perut nyaman dan merasa berenergi/kuat). Dengan demikian maka akan tumbuh belief (keyakinan) pada anak, bahwa memakan makanan sehat akan membuatnya menjadi kuat dan sehat.

b. Ketika orang tua memakan makanan kurang sehat, misal. Makanan fast food seperti nugget atau mie instan, orang tua menunjukkan bahwa ia merasa perutnya sakit dan kepalanya pusing. Dengan demikian maka anak akan mengasosiasikan makanan fast food dengan

kesakitan. III. KESIMPULAN

Tingkat obesitas semakin meningkat belakangan ini, termasuk pada anak-anak. Masalah dalam mencegah terjadinya obesitas pada masa kanak-kanak adalah bahwa kebanyakan orangtua dengan anak yang overweight merasa bahwa anak mereka berada pada berat badan


(5)

yang tepat. Pemilihan makan dapat dipengaruhi oleh belajar sosial. Orang tua sebagai role model

bagi anak berperan penting dalam menentukan perilaku makan anak.

Orang tua dapat menerapkan pendekatan behavioral dalam membiasakan anak untuk memakan makanan yang sehat, termasuk mengasosiasikan makanan dengan hadiah, ataupun mengasosiasikan makanan dengan konsekuensi fisik. Orang tua juga sebaiknya membiasakan memakan makanan sehat di depan anak, dan memilih makanan sehat sebagai pola konsumsi di keluarga, sehingga anak akan terbiasa untuk mengikuti pola makan sehat tersebut.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Rosana. C. (2007). Dinamika Psikologis Remaja Putri yang Mengalami Obesitas. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.

Kamik & Kanekar. (2012). Childhood Obesity: A Global Public Health Crisis. USA:

International Journal Prevention Medical [on-line]

Lipuran6.com, 2015. Orang Dewasa Obesitas tertinggi di dunia. http://health.liputan6.com/read/2152649/orang-dewasa-obesitas-di-ri-tertinggi-di-dunia, [Artikel online]

Monks, dkk. (2006). Psikologi Perkembangan (Revisi III). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ogden, J. (2004 ). Health Psychology: A Text Book (3th Ed). USA: McGraw-Hill, Inc.

Ogden, J. 1996. Health Psyckology: A Text Book. Buckhingham Philadelphia: Open University Press.

Sarafino, E.P. (2002). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (6th Ed). USA: John Wiley & Sons, Inc

Unoviana Kartika. (2014). Jumlah orang gemuk terus bertambah. http://health.kompas.com/read/2014/08/20/170610223/Jumlah.Orang.Gemuk.Terus.Bertam bah. [Artikel online]