Efektivitas Group Cognitive Behavioral Therapy Dalam Meningkatkan Abstinence Self Efficacy Pecandu Pada Masa Pemulihan di Pusat Rehabilitasi X Kota Medan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kepala Pusat Penelitian Data dan Informasi Badan Narkotika Nasional
(KAPUSLITDATIN BNN) Darwin Butar Butar pada tahun 2013 dalam acara
rapat koordinasi implementasi kebijakan dan strategi nasional pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (Jakstranas P4GN
2011 s/d 2015), menjelaskan bahwa penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah
menjadi ancaman nasional yang perlu diperhatikan secara seksama dan
multidimensional, baik ditinjau dari segi mikro (keluarga) maupun makro
(ketahanan nasional), serta dampak buruknya di bidang ekonomi dan sosial.
Dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkoba meningkat pesat dalam
segi jumlah pengguna. Berikut tabel proyeksi persentase peningkatan pengguna
Narkoba dari tahun 2008 hingga 2013.
Tabel 1.Persentase peningkatan penyalahguna narkoba di Indonesia (2008-2013)
Sumber: BNN.co.id
1
Universitas Sumatera Utara
Pada tabel 1 dapat dilihat peningkatan penyalahgunan narkoba selama 5
tahun (2008–2013). Pada semua kelompok penyalahguna narkoba tersebut dipilah
menurut kelompok pelajar/mahasiswa dan kelompok bukan pelajar/mahasiswa.
Angka prevalensi penyalahguna narkoba disetiap kelompok kemudian dibagi
menurut jenis penyalahguna yaitu coba pakai, teratur pakai, dan pecandu (bukan
suntik dan suntik). Pada kelompok pelajar/mahasiswa yang coba pakai, angka
kenaikan pada tahun 2008 sebesar 3,74%, kemudian mengalami kenaikan sekitar
0,27 % setiap tahun hingga mencapai 5,09% pada tahun 2013. Pada subkelompok
teratur juga mengalami kenaikan mulai dari 1,7% pada 2008 menjadi 2,31% pada
tahun 2013. Hal senada juga terjadi pada subkelompok pecandu bukan suntik dan
suntik. Peningkatan juga terjadi pada kelompok bukan pelajar/mahasiswa untuk
kenaikan angka prevalensi per tahun pada subkelompok coba pakai yaitu 0,06%
kemudian mengalami peningkatan menjadi 0,07% pada tahun 2013. Peningkatan
ini juga terjadi pada subkelompok pecandu teratur, begitu pula halnya pada
kelompok pecandu suntik dan bukan suntik. Keadaan ini menunjukkan bahwa
permasalahan penyalahgunaan narkoba semakin serius.
Menurut Ariesta (2010) penyalahgunaan narkoba adalah "penyakit
endemik" dalam masyarakat modern, "korban" umumnya remaja dan dewasa
muda. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi
keempat (APA, 2000), penyalahgunaan narkoba disebut juga sebagai substance
abuse, yaitu “suatu pola maladaptif dari penggunaan zat yang dapat menyebabkan
gangguan klinis yang signifikan atau dapat menyebabkan seseorang menjadi
menderita”.
Dalam
DSM
IV-TR
juga
dijelaskan
bahwa
gejala-gejala
2
Universitas Sumatera Utara
penyalahgunaan narkoba (substance abuse) meliputi ketidakmampuan untuk
mempertahankan pekerjaan, mengasuh anak atau ketidakmampuan untuk
menyelesaikan tugas sekolah, penggunaan obat-obatan pada situasi yang
berbahaya dan cukup sering mengalami konflik dengan orang lain akibat
penggunaan obat-obatan tersebut.
Wade (2007) menjelaskan bahwa banyak cara dilakukan untuk
menanggulangi masalah penyalahgunaan narkoba baik secara preventif maupun
represif. Sejalan dengan hal ini Budiarta (dalam Syafnita, 2007) mengemukakan
bahwa upaya preventif merupakan pencegahan yang dilakukan agar seseorang
jangan sampai terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
narkoba misalnya melakukan penyuluhan ke sekolah-sekolah dan juga melalui
iklan/poster anti narkoba kepada semua kalangan. Upaya represif artinya usaha
penanggulangan
dan
pemulihan
pengguna
narkoba
yang
mengalami
ketergantungan, salah satu usaha represif tersebut adalah dengan melakukan
rehabilitasi di pusat rehabilitasi maupun Rumah Sakit Ketergantungan Obat
(RSKO).
Wresniwiro (dalam Syafnita, 2007) mengemukakan bahwa rehabilitasi
merupakan usaha untuk penanggulangan dan pemulihan masalah narkoba dengan
cara menolong, merawat dan merehabilitasi korban penyalahgunaan obat
terlarang, sehingga diharapkan dapat kembali ke lingkungan masyarakat atau
dapat bekerja serta belajar dengan layak. Sarafino (2006) menjelaskan bahwa
proses pemulihan pecandu narkoba bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat
dilakukan dengan mudah, sebelum benar-benar dikatakan terbebas dari narkoba
3
Universitas Sumatera Utara
maka dalam perjalanannya ada saatnya pecandu mengalami relapse. Menurut
Sarafino (2006) relapse adalah suatu keadaan kembali pada perilaku sebelumnya,
dalam hal
ini
kembali
menggunakan
narkoba. Relapse
sangat tinggi
kemungkinannya terjadi pada minggu atau bulan pertama berhenti dari
penggunaan narkoba (Sarafino, 2006).
Menurut data RSKO di Jakarta pada tahun 2012 tingginya potensi relapse
pasien narkoba dapat mencapai 60-70 % (dalam BNN, 2013). Hal ini terjadi
karena bagi pecandu, usaha untuk menghentikan kecanduan merupakan hal yang
sulit sehingga meningkatkan kemungkinan untuk mengalami relapse. Kondisi ini
juga tergambar dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan konselor
berinisial I pada salah satu pusat rehabilitasi narkoba di kota Medan sebagai
berikut:
“Kalau melihat klien kami disini, ada juga yang bolak balik kemari. Disini
sering juga menerima klien yang udah pernah keluar masuk tempat
rehabilitasi lain. Ada klien yang kalau direhab ini baru pertama kali tapi si
klien sebelumnya udah pernah masuk rehabilitasi di tempat lain gitu bang”
(I.003, 9 September 2014)
“Kalau klien kami sendiri yang udah keluar dari pemulihan ada juga yang
kembali ke mari. Sering juga ada kembali kemari karena alasan udah
“goyang” dan tergoda untuk make narkoba lagi jadi daripada tambah parah
kliennya minta di rehab lagi” (I.005, 9 September 2014)
“Kadang ada juga yang lari dari rehab karena tidak tahan tidak memakai
barang dan pas udah keluar dia udah make narkoba lagi, dan dengan
bantuan keluarga dan pihak aparat bisa tertangkap lagi” (I.006, 9
September 2014)
Pernyataan ini menunjukkan suatu kondisi bahwa seorang pecandu
memiliki peluang untuk mengalami relapse, mengalami kesulitan untuk
4
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan dirinya agar tetap “bersih” dari narkoba. Hal ini senada dengan
pernyataan Minervini (2011) yang menyatakan bahwa tantangan dan hambatan
yang dihadapi para pecandu menuju kepulihan sangatlah berat, seorang pecandu
harus berusaha untuk memperbaiki komponen-komponen yang telah “rusak”
dalam kehidupan mereka, tidak hanya fisik, namun juga mental, sosial, dan
spiritual. Pecandu harus berjuang melawan sugesti yang akan berada terus dalam
kehidupan mereka bahkan mungkin juga mereka akan membawa sugesti ini
sampai akhir kehidupannya. Sugesti atau adanya keinginan/dorongan untuk
menggunakan zat ini disebut sebagai craving.
Situasi yang dapat menyebabkan seorang pecandu mengalami craving dan
selanjutnya mengalami relapse disebut sebagai high risk situation yaitu situasi
yang beresiko tinggi untuk memicu penggunaan narkoba. High risk situation
dapat berupa: tekanan psikologis, masalah keluarga, sakit yang dihubungkan
dengan masalah medis, hubungan sosial (bertemu dengan teman lama yang
merupakan pengguna), atau lingkungan (melintasi jalan tempat biasanya
menggunakan narkoba), berhadapan dengan objek, atau bahkan mencium bau
yang behubungan dengan obat-obatan (Leshner dalam National Institute of Drug
Abuse, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh seorang Psikolog,
Thersiah
Lubis
(dalam
Candraresmi,
2000)
yang
menangani
kasus
penyalahgunaan narkoba, menyimpulkan bahwa banyak pecandu yang telah
berulang kali kembali pada pemakaian narkoba padahal pecandu tersebut telah
berulang kali pula melakukan proses rehabilitasi. Menurutnya keberhasilan
pemulihan bagi pengguna narkoba dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
5
Universitas Sumatera Utara
faktor eksternal seperti mengikuti berbagai program pemulihan di panti
rehabilitasi serta faktor internal berupa keinginan untuk berhenti menggunakan
narkoba, memiliki keyakinan untuk mampu melepaskan diri dan menolak untuk
tetap tidak menggunakan narkoba.
Marlat dan Gordon (dalam Handershot, 2011) memberikan penjelasan
senada dengan Thersiah Lubis yang menyatakan bahwa faktor utama yang
menyebabkan seorang relapse adalah faktor keyakinan akan kemampuan yang ia
miliki. Seorang individu yang tidak yakin akan kemampuannya untuk menolak
narkoba maka akan semakin mudah untuk mengalami relapse. Berbeda halnya
dengan individu yang yakin akan kemampuannya untuk menolak narkoba, maka
akan semakin sulit untuk mengalami relapse. Sejalan dengan hal ini, Witkiewitz
& Marlatt (dalam Sarafino, 2006) juga menjelaskan bahwa salah satu yang dapat
menyebabkan pecandu relapse adalah keyakinan akan kemampuannya yang
rendah. Keyakinan seorang individu akan kemampuannya untuk menolak dan
tetap tidak menggunakan narkoba sehingga tidak mengalami relapse disebut
sebagai abstinence self-efficacy (Majer, 2004).
Groove (2012) menjelaskan bahwa abstinence self efficacy terdiri dari dua
kata yaitu abstinence dan self efficacy. Self-efficacy merupakan keyakinan seorang
individu mengenai kemampuannya untuk melakukan aktivitas tertentu yang
sebelumnya
sudah
dilatih
untuk
menghadapi
peristiwa
penting
dalam
kehidupannya, dan abstinence merupakan suatu keadaan pecandu yang tidak
menggunakan narkoba, sehingga abstinence self-efficacy adalah keyakinan
individu akan kemampuannya untuk menolak penggunaan narkoba dalam situasi
6
Universitas Sumatera Utara
yang dapat memicu penggunaan narkoba/high risk situation. Ilgen (2005)
menjelaskan bahwa abstinence self efficacy menentukan seorang individu untuk
merasa, berfikir, dan memotivasi untuk berperilaku tidak menggunakan narkoba.
Individu yang memiliki keyakinan akan kemampuannya akan memandang high
risk situation sebagai tantangan yang harus dikuasai atau dihadapi dan bukan
sebagai ancaman yang harus dihindari.
Mark Ilgen, John McKellar dan Quyen Tiet (2005) dalam penelitiannya
tentang abstinence self-efficacy, mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara
abstinence self-efficacy dengan perilaku tidak menggunakan narkoba (abstinence)
selama satu tahun. Durasi selama 1 tahun ini menunjukkan bahwa pecandu sudah
memiliki kemampuan yang baik untuk menolak penggunaan narkoba, terkait
dengan masa kritis untuk mengalami relapse dalam minggu atau bulan pertama
setelah rehabilitasi (Sarafino,2006). Hal ini juga menunjukkan pentingnya
peningkatan abstinence self efficacy dalam proses pemulihan di rehabilitasi.
Dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti di salah satu pemulihan narkoba
di Medan pada mantan pecandu yang berada dalam masa pemulihan menunjukkan
adanya ketidakyakinan akan kemampuannya untuk dapat pulih, terlihat dari
pernyataan pecandu berinisial B berikut ini:
“Saya udah satu bulan di sini, tapi saya masih ragu nanti kalau di bujuk
kawan, bisa-bisa saya gak tahan. Kalau dari program udah bagus tapi itu
dia aku masih belum tau bagaimana nanti kalau di bujuk kawan, takutnya
bisa terpengaruh lagi” (B.007, 16 September 2014)
“Kalau lagi galau, saya masih teringat makai shabu, biar hilang semua
beban di kepala ini. makanya kalau udah sehat gini bisalah saya bilang
sembuh tapi kalau udah galau gak yakin mampu nolak bang.” (B.010, 16
September 2014)
7
Universitas Sumatera Utara
Pecandu berinisial C juga menuturkan hal yang senada:
“Aku udah pernah masuk rehabilitasi satu kali bang, awalnya aku senang
kali bisa keluar dari rehabilitasi itu, merasa kayak dipenjara. Tapi waktu
udah keluar aku baru sadar kalau aku itu gampang goyang. Gampang kali
terpengaruh, diajak kawan pesta-pesta terus dikasih barang yaudah balek
lagi make bang.” (C.003, 2 oktober 2014)
“Kalau saat ini penting kali memang bang untuk meningkatkan
kemampuan kita untuk nolak make, kadang kalo udah dibujuk kawan ini
jadi susah awak nolaknya” (C.007, 2 oktober 2014)
“Sejauh ini belum yakin bang dengan kemampuanku, perlu dapat
motivasi ini biar makin percaya diri dengan kemampuan aku sendiri. Kan
itulah yang paling penting dulu, kalau kita belum yakin bagaimana bisa
kita bisa mampu, iya kan bang” (C.010, 2 oktober 2014).
Pernyataan-pernyataan diatas didukung oleh salah seorang staf konselor
yang bertugas di pusat rehabilitasi tersebut. Ia menjelaskan bahwa kebanyakan
pecandu masih belum yakin akan kemampuannya untuk menahan diri dan tetap
tidak menggunakan narkoba atau dalam istilah yang sering mereka gunakan
disebut dengan “clean and sober” yang berarti bersih dari penggunaan narkoba
dan tidak mengalami gangguan kejiwaan, berikut penuturannya:
“Mereka ini penting sekali mendapat pembekalan tentang cara mengontrol
pikirannya biar percaya diri, biar nanti dia kuat kalau kembali ke luar, jadi
memang harus di bekali dengan kemampuan untuk mampu mengatakan
“tidak” untuk menggunakan narkoba” (I.012, 16 Oktober 2014)
“Sebahagian besar pecandu ini memang selalu mudah goyang dan gak
percaya diri dengan kemampuannya, ada takut takut kalau nanti
berhadapan dengan masalah. Kalau selalu tidak percaya diri akan
kemampuannya bagaiamana dia bisa kuat menghadapi tantangan di luar
sana. Ujung-ujungnya ya relapse lagi” (I.013, 16 Oktober 2014)
Pernyataan diatas menunjukkan kondisi mengenai pecandu yang tidak
yakin akan kemampuannya untuk menolak penggunaan narkoba. Sejalan dengan
8
Universitas Sumatera Utara
hal ini, Minervini (2011) melakukan penelitian mengenai keyakinan seorang
individu untuk mampu bertahan tidak menggunakan substance atau disebut
dengan abstinence self efficacy dalam situasi yang dapat memicu penggunaan
narkoba (high-risk situation). Hasil yang diperoleh adalah abstinence self efficacy
yang tinggi dapat membantu pecandu untuk mengendalikan dorongan/keinginan
untuk menggunakan zat (craving).
Menurut Marlat dan Gordon (dalam Handershot, 2011), cara untuk
meningkatkan abstinence self efficacy adalah dengan melakukan identifikasi
strategi kognitif yang tepat untuk mengatasinya maka akan semakin membuatnya
yakin untuk menolak penggunaan narkoba, dan selanjutnya menurunkan
kemungkinan untuk relapse. Selain itu, para pecandu juga memiliki pikiran
irasional berkaitan dengan penggunaan narkoba (Sudiyanto, 2007). Chiang (2006)
juga memberikan penjelasan yang senada; ia menjelaskan bahwa pecandu perlu
untuk merestrukturisasi pikirannya yang irasional, berupa pengharapan yang tidak
rasional akan manfaat penggunaan narkoba seperti: narkoba dapat membantu
penyelesaian masalah, meningkatkan harga diri, tanpa narkoba maka akan
mengurangi kemampuan fisik untuk bekerja dan mampu mengatasi berbagai
masalah sehari-hari. Adanya pikiran yang irasional ini secara jelas terlihat pada
seorang pecandu berinisial C:
“Kalau tidak memakai barang lagi rasanya hidup itu hampa. Kayak udah
segala-galanya gitu bang, terasa kosong bang. Kalau tidak memakai itu
kita jadi kayak gak semangat kerja” (C.013, 9 Oktober 2014)
“Kalau sudah muncul keinginan memakai narkoba itu bang, kayaknya
udah gelap dunia ini, pokoknya harus memakai, kira kira gitulah
pikiranku. Kalau misalnya macam naik darah ini bang, jantung berdetak
9
Universitas Sumatera Utara
gitu makin keras artinya mau mintalah badan ini bang” (C.015, 9 Oktober
2014)
“Kalau udah make narkoba pikiran kita kayaknya kita akan makin kuat
bang. Bisa tahan lama kalau kerja” (C.016, 10 Oktober, 2014)
Pernyataan-pernyataan diatas menunjukkan keadaan bahwa pecandu
memiliki pikiran irasional berupa overgeneralization (melakukan generalisasi dari
salah satu aspek kehidupan terhadap seluruh aspek kehidupannya) yaitu berupa
penilaian bahwa narkoba adalah segalanya, tanpa narkoba maka hidupnya hampa
dan juga terdapat pikiran jumping to conclusion (mengambil kesimpulan atas
fakta yang sangat sedikit) berupa anggapan bahwa peningkatan detak jantung
merupakan indikator bahwa ia butuh untuk menggunakan narkoba.
Sudiyanto (2007) menambahkan pula bahwa pecandu perlu untuk
membangun status kognitif yang rasional (cognitive restructuring) sehingga
menjadi adaptif dan semakin yakin akan kemampuannya dalam menghadapi high
risk situation. Begitu pula dengan pernyataan Bernard P. Rangé1 dan Ana
Carolina Robbe Mathias (2012) dalam bukunya yang berjudul Cognitive-Behavior
Therapy for Substance Abuse menjelaskan bahwa salah satu teknik untuk
membantu meningkatkan kemampuan pecandu untuk tidak menggunakan narkoba
adalah
dengan
mengidentifikasi
pikiran
irasional
kemudian
melakukan
restrukturisasi. Hal ini akan membuat pecandu mampu untuk menginterpretasi
situasi pemicu penggunaan narkoba dengan baik sehingga melemahkan
hasrat/keinginan untuk kembali menggunakan narkoba, keadaan inilah yang
selanjutnya membuat pecandu semakin yakin bahwa dirinya mampu untuk
menghindari penggunaan narkoba.
10
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Hagman (2004) memberikan penjelasan dari sudut pandang
yang berbeda. Hagman menjelaskan bahwa terdapat interaksi antara keberadaan
dalam situasi pemicu penggunaan zat, kemampuan penyelesaian masalah (coping
skills) dan abstinenence self-efficacy terhadap proses relapse. Individu yang
memiliki abstinence self efficacy yang rendah diakibatkan karena memiliki coping
skill yang tidak efektif. Semakin ia tidak memiliki keterampilan yang baik untuk
mampu mengatasi permasalahan yang ia alami maka semakin rendah
keyakinannya untuk menolak penggunaan narkoba. Hagman (2004) juga
menjelaskan bahwa pada saat seorang pecandu sudah memiliki keyakinan akan
kemampuannya untuk menghindari penggunaan narkoba maka semakin mampu ia
menolak penggunaan zat tersebut karena sudah memili kemampuan coping skill
yang baik.
CBT memberikan penjelasan yang logis mengenai hubungan kognitif yang
terdistorsi/irasional dengan gangguan psikologis, terapi ini telah diadaptasi secara
khusus dalam menangani masalah penyalahgunaan narkoba (Spiegler, 2003).
Beberapa penelitian mendukung efektifitas CBT untuk meningkatkan abstinence
self efficacy, akan tetapi CBT yang diberikan lebih difokuskan pada teknik coping
skill, seperti Jafari (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
membandingkan efektifitas dua pendekatan yaitu CBT dan SOC (stage of change
model) untuk meningkatkan abstinence self efficacy. Berdasarkan hasil
penelitiannya membuktikan bahwa CBT dapat meningkatkan self efficacy. Begitu
pula oleh Ali Khaneh Keshi pada tahun 2013 melakukan penelitian yang
bertujuan untuk menggali efektivitas cognitive behavior therapy (CBT) pada
11
Universitas Sumatera Utara
peningkatan self efficacy. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
yang signifikan setelah pemberian CBT.
Pendekatan coping skill yang diberikan ini dilandasi oleh beberapa hal,
Julian (2007) dalam bukunya yang berjudul cognitive-behavioral therapy
menjelaskan bahwa kebanyakan praktisi CBT menggunakan teknik coping skill
karena teknik ini memiliki fokus pada high risk situation, dengan memahami
peran situasi tersebut maka individu kemudian dibekali kemampuan coping guna
menghadapi high risk situation. Selanjutnya, Jafari (2012) menjelaskan bahwa
metode coping skill merupakan metode yang lebih cepat dan lebih mudah untuk
dilakukan, selain itu metode ini juga secara langsung dapat membantu individu
untuk semakin mampu dalam menerapkan coping skill pada high risk situation.
Namun, berdasarkan penjelasan Bernard (2012) seorang pecandu tidak hanya
memerlukan peningkatan kemampuan coping skill saja, tetapi perlu untuk
membangun status kognitif yang rasional.
Keadaan ini semakin memperjelas bahwa selain dibantu untuk mampu
melakukan teknik coping, pecandu juga perlu untuk mengganti pikirannya yang
irasional menjadi rasional. Spiegler (2003) menjelaskan bahwa teknik coping skill
dan restrukturisasi kognitif merupakan bagian dari cognitive behavioral therapy
(CBT). Terapi kognitif yang berdasarkan pada cognitive restructuring berperan
untuk mengubah kognitif klien secara langsung dengan cara mengubah pikiran
yang irasional menjadi rasional. Sedangkan dalam coping skill individu akan
diberikan intervensi berupa peningkatan coping skill untuk menghadapi high risk
situation.
12
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjabaran ini, maka peneliti menilai bahwa perlu untuk
memberikan CBT tidak hanya dengan menggunakan teknik coping skill tetapi
juga menggunakan teknik restrukturisasi kognitif sebagai upaya untuk membantu
pecandu meningkatkan keyakinan akan kemampuannya menolak menggunakan
narkoba. Intervensi CBT dapat dilakukan secara individual maupun berkelompok.
Subjek dalam penelitian ini merupakan pecandu yang berada dalam pusat
rehabilitasi yang sama dan juga memiliki keluhan yang sama, oleh karena itu
pendekatan CBT dengan cara berkelompok akan lebih efisien dalam segi waktu,
biaya dan tenaga. CBT berkelompok atau Group Cognitive Behavioral Therapy
merupakan bentuk pelaksanaan CBT dengan melibatkan beberapa orang klien.
Bieling (2006) menjelaskan bahwa kelebihan pendekatan berkelompok ini adalah
memberikan fokus pada keterbukaan dalam berinteraksi, mampu menyediakan
ruang dan peluang kepada klien untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
melalui kewujudan unsur-unsur terapeutik dalam CBT kelompok seperti nilai
umum, dukungan, peluang untuk mencoba tingkah laku baru dan respon. Selain
itu, CBT berkelompok merupakan suatu proses antara pribadi yang bercirikan
pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, saling percaya, saling
perhatian, saling memahami dan saling membantu. Morrison (dalam Bieling,
2006) menyebutkan bahwa keuntungan yang diperoleh dalam pendekatan Group
CBT dibandingkan dengan individual adalah efisiensi dari segi waktu, biaya dan
tenaga. Oleh karena ini maka peneliti akan mengangkat judul “Efektivitas Group
Cognitive Behavioral Therapy dalam meningkatkan Abstinence Self efficacy
Pecandu pada masa pemulihan di pusat rehabilitasi X Kota Medan”
13
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah
Rumusan permasalahan dalam pelitian ini adalah:
1. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan teknik restrukturisasi
kognitif efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy?
2. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan teknik coping skill efektif
untuk meningkatkan abstinence self efficacy?
3. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan gabungan teknik
restrukturisasi kognitif dan coping skill efektif untuk meningkatkan abstinence
self efficacy?
4. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan gabungan restrukturisasi
kognitif dan coping skill lebih efektif untuk meningkatkan abstinence self
efficacy dibandingkan dengan pemberian restrukturisasi kognitif dan coping
skill secara terpisah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas Group
Cognitive Behavioral Therapy dengan menggunakan teknik restrukturisasi
kognitif dan/atau coping skill untuk meningkatkan abstinence self efficacy pada
pecandu dalam proses pemulihan di rehabilitasi.
14
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis :
a) Menambah pemahaman dan sumber informasi bagi disiplin ilmu
psikologi klinis, khususnya mengenai penerapan Group Cognitive
Behavioral Therapy dengan menggunakan teknik restrukturisasi
kognitif dan/atau coping skill untuk meningkatan abstinence self
efficacy pada pecandu narkoba.
b) Memberikan masukan bahwa pecandu tidak hanya memerlukan
intervensi coping skill, tetapi perlu juga untuk mengganti
pikirannya yang irasional menjadi rasional agar semakin yakin
akan kemampuannya untuk menolak penggunaan narkoba.
2. Manfaat praktis:
a) Bagi pusat-pusat rehabilitasi, diharapkan dapat melihat pentingnya
peningkatan abstinence self efficacy dalam diri seorang pecandu
narkoba sebagai bekal bagi mereka untuk bertahan tanpa
penggunaan narkoba setelah keluar dari tempat rehabilitasi.
b) Pecandu yang menjalani rehabilitasi dapat semakin meningkatkan
keterampilannya dalam hal coping skill.
c) Pecandu mampu menerapkan pikirannya yang rasional dalam
menghadapi high risk situation.
d) Implikasi hasil penelitian dapat digunakan dalam penyusunan
Standard Operasional Procedure (SOP) terhadap penanganan
penyalahguna narkoba.
15
Universitas Sumatera Utara
e) Memberikan masukan bagi pihak rehabilitasi untuk memiliki
sumber daya manusia seperti tenaga Psikolog klinis yang memiliki
keahlian CBT untuk menerapkan intervensi coping skill dan/atau
restrukturisasi kognitif dalam proses rehabilitasi pecandu narkoba.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab 1
Pendahuluan: Bab ini menguraikan secara umum mengenai segala
sesuatu yang berkaitan dengan penelitian.
Bab 2
Landasan Teori: Bab ini menguraikan mengenai berbagai teori
yang dapat memberikan penjelasan dan mendukung data penelitian.
Bab 3
Metode Penelitian: Bab ini menguraikan rangkaian penelitian yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan dan analisa data.
Bab 4
Hasil dan Pembahasan: Bab ini menguraikan mengenai hasil yang
ditemukan dalam penelitian serta pembahasan hasil penelitian dan
perbandingan hasil penelitian dengan teori.
Bab 5
Kesimpulan, dan Saran: Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan
dari seluruh hasil yang telah diperoleh, dan saran untuk
penyempurnaan penelitian selanjutnya.
16
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kepala Pusat Penelitian Data dan Informasi Badan Narkotika Nasional
(KAPUSLITDATIN BNN) Darwin Butar Butar pada tahun 2013 dalam acara
rapat koordinasi implementasi kebijakan dan strategi nasional pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (Jakstranas P4GN
2011 s/d 2015), menjelaskan bahwa penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah
menjadi ancaman nasional yang perlu diperhatikan secara seksama dan
multidimensional, baik ditinjau dari segi mikro (keluarga) maupun makro
(ketahanan nasional), serta dampak buruknya di bidang ekonomi dan sosial.
Dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkoba meningkat pesat dalam
segi jumlah pengguna. Berikut tabel proyeksi persentase peningkatan pengguna
Narkoba dari tahun 2008 hingga 2013.
Tabel 1.Persentase peningkatan penyalahguna narkoba di Indonesia (2008-2013)
Sumber: BNN.co.id
1
Universitas Sumatera Utara
Pada tabel 1 dapat dilihat peningkatan penyalahgunan narkoba selama 5
tahun (2008–2013). Pada semua kelompok penyalahguna narkoba tersebut dipilah
menurut kelompok pelajar/mahasiswa dan kelompok bukan pelajar/mahasiswa.
Angka prevalensi penyalahguna narkoba disetiap kelompok kemudian dibagi
menurut jenis penyalahguna yaitu coba pakai, teratur pakai, dan pecandu (bukan
suntik dan suntik). Pada kelompok pelajar/mahasiswa yang coba pakai, angka
kenaikan pada tahun 2008 sebesar 3,74%, kemudian mengalami kenaikan sekitar
0,27 % setiap tahun hingga mencapai 5,09% pada tahun 2013. Pada subkelompok
teratur juga mengalami kenaikan mulai dari 1,7% pada 2008 menjadi 2,31% pada
tahun 2013. Hal senada juga terjadi pada subkelompok pecandu bukan suntik dan
suntik. Peningkatan juga terjadi pada kelompok bukan pelajar/mahasiswa untuk
kenaikan angka prevalensi per tahun pada subkelompok coba pakai yaitu 0,06%
kemudian mengalami peningkatan menjadi 0,07% pada tahun 2013. Peningkatan
ini juga terjadi pada subkelompok pecandu teratur, begitu pula halnya pada
kelompok pecandu suntik dan bukan suntik. Keadaan ini menunjukkan bahwa
permasalahan penyalahgunaan narkoba semakin serius.
Menurut Ariesta (2010) penyalahgunaan narkoba adalah "penyakit
endemik" dalam masyarakat modern, "korban" umumnya remaja dan dewasa
muda. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi
keempat (APA, 2000), penyalahgunaan narkoba disebut juga sebagai substance
abuse, yaitu “suatu pola maladaptif dari penggunaan zat yang dapat menyebabkan
gangguan klinis yang signifikan atau dapat menyebabkan seseorang menjadi
menderita”.
Dalam
DSM
IV-TR
juga
dijelaskan
bahwa
gejala-gejala
2
Universitas Sumatera Utara
penyalahgunaan narkoba (substance abuse) meliputi ketidakmampuan untuk
mempertahankan pekerjaan, mengasuh anak atau ketidakmampuan untuk
menyelesaikan tugas sekolah, penggunaan obat-obatan pada situasi yang
berbahaya dan cukup sering mengalami konflik dengan orang lain akibat
penggunaan obat-obatan tersebut.
Wade (2007) menjelaskan bahwa banyak cara dilakukan untuk
menanggulangi masalah penyalahgunaan narkoba baik secara preventif maupun
represif. Sejalan dengan hal ini Budiarta (dalam Syafnita, 2007) mengemukakan
bahwa upaya preventif merupakan pencegahan yang dilakukan agar seseorang
jangan sampai terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
narkoba misalnya melakukan penyuluhan ke sekolah-sekolah dan juga melalui
iklan/poster anti narkoba kepada semua kalangan. Upaya represif artinya usaha
penanggulangan
dan
pemulihan
pengguna
narkoba
yang
mengalami
ketergantungan, salah satu usaha represif tersebut adalah dengan melakukan
rehabilitasi di pusat rehabilitasi maupun Rumah Sakit Ketergantungan Obat
(RSKO).
Wresniwiro (dalam Syafnita, 2007) mengemukakan bahwa rehabilitasi
merupakan usaha untuk penanggulangan dan pemulihan masalah narkoba dengan
cara menolong, merawat dan merehabilitasi korban penyalahgunaan obat
terlarang, sehingga diharapkan dapat kembali ke lingkungan masyarakat atau
dapat bekerja serta belajar dengan layak. Sarafino (2006) menjelaskan bahwa
proses pemulihan pecandu narkoba bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat
dilakukan dengan mudah, sebelum benar-benar dikatakan terbebas dari narkoba
3
Universitas Sumatera Utara
maka dalam perjalanannya ada saatnya pecandu mengalami relapse. Menurut
Sarafino (2006) relapse adalah suatu keadaan kembali pada perilaku sebelumnya,
dalam hal
ini
kembali
menggunakan
narkoba. Relapse
sangat tinggi
kemungkinannya terjadi pada minggu atau bulan pertama berhenti dari
penggunaan narkoba (Sarafino, 2006).
Menurut data RSKO di Jakarta pada tahun 2012 tingginya potensi relapse
pasien narkoba dapat mencapai 60-70 % (dalam BNN, 2013). Hal ini terjadi
karena bagi pecandu, usaha untuk menghentikan kecanduan merupakan hal yang
sulit sehingga meningkatkan kemungkinan untuk mengalami relapse. Kondisi ini
juga tergambar dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan konselor
berinisial I pada salah satu pusat rehabilitasi narkoba di kota Medan sebagai
berikut:
“Kalau melihat klien kami disini, ada juga yang bolak balik kemari. Disini
sering juga menerima klien yang udah pernah keluar masuk tempat
rehabilitasi lain. Ada klien yang kalau direhab ini baru pertama kali tapi si
klien sebelumnya udah pernah masuk rehabilitasi di tempat lain gitu bang”
(I.003, 9 September 2014)
“Kalau klien kami sendiri yang udah keluar dari pemulihan ada juga yang
kembali ke mari. Sering juga ada kembali kemari karena alasan udah
“goyang” dan tergoda untuk make narkoba lagi jadi daripada tambah parah
kliennya minta di rehab lagi” (I.005, 9 September 2014)
“Kadang ada juga yang lari dari rehab karena tidak tahan tidak memakai
barang dan pas udah keluar dia udah make narkoba lagi, dan dengan
bantuan keluarga dan pihak aparat bisa tertangkap lagi” (I.006, 9
September 2014)
Pernyataan ini menunjukkan suatu kondisi bahwa seorang pecandu
memiliki peluang untuk mengalami relapse, mengalami kesulitan untuk
4
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan dirinya agar tetap “bersih” dari narkoba. Hal ini senada dengan
pernyataan Minervini (2011) yang menyatakan bahwa tantangan dan hambatan
yang dihadapi para pecandu menuju kepulihan sangatlah berat, seorang pecandu
harus berusaha untuk memperbaiki komponen-komponen yang telah “rusak”
dalam kehidupan mereka, tidak hanya fisik, namun juga mental, sosial, dan
spiritual. Pecandu harus berjuang melawan sugesti yang akan berada terus dalam
kehidupan mereka bahkan mungkin juga mereka akan membawa sugesti ini
sampai akhir kehidupannya. Sugesti atau adanya keinginan/dorongan untuk
menggunakan zat ini disebut sebagai craving.
Situasi yang dapat menyebabkan seorang pecandu mengalami craving dan
selanjutnya mengalami relapse disebut sebagai high risk situation yaitu situasi
yang beresiko tinggi untuk memicu penggunaan narkoba. High risk situation
dapat berupa: tekanan psikologis, masalah keluarga, sakit yang dihubungkan
dengan masalah medis, hubungan sosial (bertemu dengan teman lama yang
merupakan pengguna), atau lingkungan (melintasi jalan tempat biasanya
menggunakan narkoba), berhadapan dengan objek, atau bahkan mencium bau
yang behubungan dengan obat-obatan (Leshner dalam National Institute of Drug
Abuse, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh seorang Psikolog,
Thersiah
Lubis
(dalam
Candraresmi,
2000)
yang
menangani
kasus
penyalahgunaan narkoba, menyimpulkan bahwa banyak pecandu yang telah
berulang kali kembali pada pemakaian narkoba padahal pecandu tersebut telah
berulang kali pula melakukan proses rehabilitasi. Menurutnya keberhasilan
pemulihan bagi pengguna narkoba dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
5
Universitas Sumatera Utara
faktor eksternal seperti mengikuti berbagai program pemulihan di panti
rehabilitasi serta faktor internal berupa keinginan untuk berhenti menggunakan
narkoba, memiliki keyakinan untuk mampu melepaskan diri dan menolak untuk
tetap tidak menggunakan narkoba.
Marlat dan Gordon (dalam Handershot, 2011) memberikan penjelasan
senada dengan Thersiah Lubis yang menyatakan bahwa faktor utama yang
menyebabkan seorang relapse adalah faktor keyakinan akan kemampuan yang ia
miliki. Seorang individu yang tidak yakin akan kemampuannya untuk menolak
narkoba maka akan semakin mudah untuk mengalami relapse. Berbeda halnya
dengan individu yang yakin akan kemampuannya untuk menolak narkoba, maka
akan semakin sulit untuk mengalami relapse. Sejalan dengan hal ini, Witkiewitz
& Marlatt (dalam Sarafino, 2006) juga menjelaskan bahwa salah satu yang dapat
menyebabkan pecandu relapse adalah keyakinan akan kemampuannya yang
rendah. Keyakinan seorang individu akan kemampuannya untuk menolak dan
tetap tidak menggunakan narkoba sehingga tidak mengalami relapse disebut
sebagai abstinence self-efficacy (Majer, 2004).
Groove (2012) menjelaskan bahwa abstinence self efficacy terdiri dari dua
kata yaitu abstinence dan self efficacy. Self-efficacy merupakan keyakinan seorang
individu mengenai kemampuannya untuk melakukan aktivitas tertentu yang
sebelumnya
sudah
dilatih
untuk
menghadapi
peristiwa
penting
dalam
kehidupannya, dan abstinence merupakan suatu keadaan pecandu yang tidak
menggunakan narkoba, sehingga abstinence self-efficacy adalah keyakinan
individu akan kemampuannya untuk menolak penggunaan narkoba dalam situasi
6
Universitas Sumatera Utara
yang dapat memicu penggunaan narkoba/high risk situation. Ilgen (2005)
menjelaskan bahwa abstinence self efficacy menentukan seorang individu untuk
merasa, berfikir, dan memotivasi untuk berperilaku tidak menggunakan narkoba.
Individu yang memiliki keyakinan akan kemampuannya akan memandang high
risk situation sebagai tantangan yang harus dikuasai atau dihadapi dan bukan
sebagai ancaman yang harus dihindari.
Mark Ilgen, John McKellar dan Quyen Tiet (2005) dalam penelitiannya
tentang abstinence self-efficacy, mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara
abstinence self-efficacy dengan perilaku tidak menggunakan narkoba (abstinence)
selama satu tahun. Durasi selama 1 tahun ini menunjukkan bahwa pecandu sudah
memiliki kemampuan yang baik untuk menolak penggunaan narkoba, terkait
dengan masa kritis untuk mengalami relapse dalam minggu atau bulan pertama
setelah rehabilitasi (Sarafino,2006). Hal ini juga menunjukkan pentingnya
peningkatan abstinence self efficacy dalam proses pemulihan di rehabilitasi.
Dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti di salah satu pemulihan narkoba
di Medan pada mantan pecandu yang berada dalam masa pemulihan menunjukkan
adanya ketidakyakinan akan kemampuannya untuk dapat pulih, terlihat dari
pernyataan pecandu berinisial B berikut ini:
“Saya udah satu bulan di sini, tapi saya masih ragu nanti kalau di bujuk
kawan, bisa-bisa saya gak tahan. Kalau dari program udah bagus tapi itu
dia aku masih belum tau bagaimana nanti kalau di bujuk kawan, takutnya
bisa terpengaruh lagi” (B.007, 16 September 2014)
“Kalau lagi galau, saya masih teringat makai shabu, biar hilang semua
beban di kepala ini. makanya kalau udah sehat gini bisalah saya bilang
sembuh tapi kalau udah galau gak yakin mampu nolak bang.” (B.010, 16
September 2014)
7
Universitas Sumatera Utara
Pecandu berinisial C juga menuturkan hal yang senada:
“Aku udah pernah masuk rehabilitasi satu kali bang, awalnya aku senang
kali bisa keluar dari rehabilitasi itu, merasa kayak dipenjara. Tapi waktu
udah keluar aku baru sadar kalau aku itu gampang goyang. Gampang kali
terpengaruh, diajak kawan pesta-pesta terus dikasih barang yaudah balek
lagi make bang.” (C.003, 2 oktober 2014)
“Kalau saat ini penting kali memang bang untuk meningkatkan
kemampuan kita untuk nolak make, kadang kalo udah dibujuk kawan ini
jadi susah awak nolaknya” (C.007, 2 oktober 2014)
“Sejauh ini belum yakin bang dengan kemampuanku, perlu dapat
motivasi ini biar makin percaya diri dengan kemampuan aku sendiri. Kan
itulah yang paling penting dulu, kalau kita belum yakin bagaimana bisa
kita bisa mampu, iya kan bang” (C.010, 2 oktober 2014).
Pernyataan-pernyataan diatas didukung oleh salah seorang staf konselor
yang bertugas di pusat rehabilitasi tersebut. Ia menjelaskan bahwa kebanyakan
pecandu masih belum yakin akan kemampuannya untuk menahan diri dan tetap
tidak menggunakan narkoba atau dalam istilah yang sering mereka gunakan
disebut dengan “clean and sober” yang berarti bersih dari penggunaan narkoba
dan tidak mengalami gangguan kejiwaan, berikut penuturannya:
“Mereka ini penting sekali mendapat pembekalan tentang cara mengontrol
pikirannya biar percaya diri, biar nanti dia kuat kalau kembali ke luar, jadi
memang harus di bekali dengan kemampuan untuk mampu mengatakan
“tidak” untuk menggunakan narkoba” (I.012, 16 Oktober 2014)
“Sebahagian besar pecandu ini memang selalu mudah goyang dan gak
percaya diri dengan kemampuannya, ada takut takut kalau nanti
berhadapan dengan masalah. Kalau selalu tidak percaya diri akan
kemampuannya bagaiamana dia bisa kuat menghadapi tantangan di luar
sana. Ujung-ujungnya ya relapse lagi” (I.013, 16 Oktober 2014)
Pernyataan diatas menunjukkan kondisi mengenai pecandu yang tidak
yakin akan kemampuannya untuk menolak penggunaan narkoba. Sejalan dengan
8
Universitas Sumatera Utara
hal ini, Minervini (2011) melakukan penelitian mengenai keyakinan seorang
individu untuk mampu bertahan tidak menggunakan substance atau disebut
dengan abstinence self efficacy dalam situasi yang dapat memicu penggunaan
narkoba (high-risk situation). Hasil yang diperoleh adalah abstinence self efficacy
yang tinggi dapat membantu pecandu untuk mengendalikan dorongan/keinginan
untuk menggunakan zat (craving).
Menurut Marlat dan Gordon (dalam Handershot, 2011), cara untuk
meningkatkan abstinence self efficacy adalah dengan melakukan identifikasi
strategi kognitif yang tepat untuk mengatasinya maka akan semakin membuatnya
yakin untuk menolak penggunaan narkoba, dan selanjutnya menurunkan
kemungkinan untuk relapse. Selain itu, para pecandu juga memiliki pikiran
irasional berkaitan dengan penggunaan narkoba (Sudiyanto, 2007). Chiang (2006)
juga memberikan penjelasan yang senada; ia menjelaskan bahwa pecandu perlu
untuk merestrukturisasi pikirannya yang irasional, berupa pengharapan yang tidak
rasional akan manfaat penggunaan narkoba seperti: narkoba dapat membantu
penyelesaian masalah, meningkatkan harga diri, tanpa narkoba maka akan
mengurangi kemampuan fisik untuk bekerja dan mampu mengatasi berbagai
masalah sehari-hari. Adanya pikiran yang irasional ini secara jelas terlihat pada
seorang pecandu berinisial C:
“Kalau tidak memakai barang lagi rasanya hidup itu hampa. Kayak udah
segala-galanya gitu bang, terasa kosong bang. Kalau tidak memakai itu
kita jadi kayak gak semangat kerja” (C.013, 9 Oktober 2014)
“Kalau sudah muncul keinginan memakai narkoba itu bang, kayaknya
udah gelap dunia ini, pokoknya harus memakai, kira kira gitulah
pikiranku. Kalau misalnya macam naik darah ini bang, jantung berdetak
9
Universitas Sumatera Utara
gitu makin keras artinya mau mintalah badan ini bang” (C.015, 9 Oktober
2014)
“Kalau udah make narkoba pikiran kita kayaknya kita akan makin kuat
bang. Bisa tahan lama kalau kerja” (C.016, 10 Oktober, 2014)
Pernyataan-pernyataan diatas menunjukkan keadaan bahwa pecandu
memiliki pikiran irasional berupa overgeneralization (melakukan generalisasi dari
salah satu aspek kehidupan terhadap seluruh aspek kehidupannya) yaitu berupa
penilaian bahwa narkoba adalah segalanya, tanpa narkoba maka hidupnya hampa
dan juga terdapat pikiran jumping to conclusion (mengambil kesimpulan atas
fakta yang sangat sedikit) berupa anggapan bahwa peningkatan detak jantung
merupakan indikator bahwa ia butuh untuk menggunakan narkoba.
Sudiyanto (2007) menambahkan pula bahwa pecandu perlu untuk
membangun status kognitif yang rasional (cognitive restructuring) sehingga
menjadi adaptif dan semakin yakin akan kemampuannya dalam menghadapi high
risk situation. Begitu pula dengan pernyataan Bernard P. Rangé1 dan Ana
Carolina Robbe Mathias (2012) dalam bukunya yang berjudul Cognitive-Behavior
Therapy for Substance Abuse menjelaskan bahwa salah satu teknik untuk
membantu meningkatkan kemampuan pecandu untuk tidak menggunakan narkoba
adalah
dengan
mengidentifikasi
pikiran
irasional
kemudian
melakukan
restrukturisasi. Hal ini akan membuat pecandu mampu untuk menginterpretasi
situasi pemicu penggunaan narkoba dengan baik sehingga melemahkan
hasrat/keinginan untuk kembali menggunakan narkoba, keadaan inilah yang
selanjutnya membuat pecandu semakin yakin bahwa dirinya mampu untuk
menghindari penggunaan narkoba.
10
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Hagman (2004) memberikan penjelasan dari sudut pandang
yang berbeda. Hagman menjelaskan bahwa terdapat interaksi antara keberadaan
dalam situasi pemicu penggunaan zat, kemampuan penyelesaian masalah (coping
skills) dan abstinenence self-efficacy terhadap proses relapse. Individu yang
memiliki abstinence self efficacy yang rendah diakibatkan karena memiliki coping
skill yang tidak efektif. Semakin ia tidak memiliki keterampilan yang baik untuk
mampu mengatasi permasalahan yang ia alami maka semakin rendah
keyakinannya untuk menolak penggunaan narkoba. Hagman (2004) juga
menjelaskan bahwa pada saat seorang pecandu sudah memiliki keyakinan akan
kemampuannya untuk menghindari penggunaan narkoba maka semakin mampu ia
menolak penggunaan zat tersebut karena sudah memili kemampuan coping skill
yang baik.
CBT memberikan penjelasan yang logis mengenai hubungan kognitif yang
terdistorsi/irasional dengan gangguan psikologis, terapi ini telah diadaptasi secara
khusus dalam menangani masalah penyalahgunaan narkoba (Spiegler, 2003).
Beberapa penelitian mendukung efektifitas CBT untuk meningkatkan abstinence
self efficacy, akan tetapi CBT yang diberikan lebih difokuskan pada teknik coping
skill, seperti Jafari (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
membandingkan efektifitas dua pendekatan yaitu CBT dan SOC (stage of change
model) untuk meningkatkan abstinence self efficacy. Berdasarkan hasil
penelitiannya membuktikan bahwa CBT dapat meningkatkan self efficacy. Begitu
pula oleh Ali Khaneh Keshi pada tahun 2013 melakukan penelitian yang
bertujuan untuk menggali efektivitas cognitive behavior therapy (CBT) pada
11
Universitas Sumatera Utara
peningkatan self efficacy. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
yang signifikan setelah pemberian CBT.
Pendekatan coping skill yang diberikan ini dilandasi oleh beberapa hal,
Julian (2007) dalam bukunya yang berjudul cognitive-behavioral therapy
menjelaskan bahwa kebanyakan praktisi CBT menggunakan teknik coping skill
karena teknik ini memiliki fokus pada high risk situation, dengan memahami
peran situasi tersebut maka individu kemudian dibekali kemampuan coping guna
menghadapi high risk situation. Selanjutnya, Jafari (2012) menjelaskan bahwa
metode coping skill merupakan metode yang lebih cepat dan lebih mudah untuk
dilakukan, selain itu metode ini juga secara langsung dapat membantu individu
untuk semakin mampu dalam menerapkan coping skill pada high risk situation.
Namun, berdasarkan penjelasan Bernard (2012) seorang pecandu tidak hanya
memerlukan peningkatan kemampuan coping skill saja, tetapi perlu untuk
membangun status kognitif yang rasional.
Keadaan ini semakin memperjelas bahwa selain dibantu untuk mampu
melakukan teknik coping, pecandu juga perlu untuk mengganti pikirannya yang
irasional menjadi rasional. Spiegler (2003) menjelaskan bahwa teknik coping skill
dan restrukturisasi kognitif merupakan bagian dari cognitive behavioral therapy
(CBT). Terapi kognitif yang berdasarkan pada cognitive restructuring berperan
untuk mengubah kognitif klien secara langsung dengan cara mengubah pikiran
yang irasional menjadi rasional. Sedangkan dalam coping skill individu akan
diberikan intervensi berupa peningkatan coping skill untuk menghadapi high risk
situation.
12
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjabaran ini, maka peneliti menilai bahwa perlu untuk
memberikan CBT tidak hanya dengan menggunakan teknik coping skill tetapi
juga menggunakan teknik restrukturisasi kognitif sebagai upaya untuk membantu
pecandu meningkatkan keyakinan akan kemampuannya menolak menggunakan
narkoba. Intervensi CBT dapat dilakukan secara individual maupun berkelompok.
Subjek dalam penelitian ini merupakan pecandu yang berada dalam pusat
rehabilitasi yang sama dan juga memiliki keluhan yang sama, oleh karena itu
pendekatan CBT dengan cara berkelompok akan lebih efisien dalam segi waktu,
biaya dan tenaga. CBT berkelompok atau Group Cognitive Behavioral Therapy
merupakan bentuk pelaksanaan CBT dengan melibatkan beberapa orang klien.
Bieling (2006) menjelaskan bahwa kelebihan pendekatan berkelompok ini adalah
memberikan fokus pada keterbukaan dalam berinteraksi, mampu menyediakan
ruang dan peluang kepada klien untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
melalui kewujudan unsur-unsur terapeutik dalam CBT kelompok seperti nilai
umum, dukungan, peluang untuk mencoba tingkah laku baru dan respon. Selain
itu, CBT berkelompok merupakan suatu proses antara pribadi yang bercirikan
pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, saling percaya, saling
perhatian, saling memahami dan saling membantu. Morrison (dalam Bieling,
2006) menyebutkan bahwa keuntungan yang diperoleh dalam pendekatan Group
CBT dibandingkan dengan individual adalah efisiensi dari segi waktu, biaya dan
tenaga. Oleh karena ini maka peneliti akan mengangkat judul “Efektivitas Group
Cognitive Behavioral Therapy dalam meningkatkan Abstinence Self efficacy
Pecandu pada masa pemulihan di pusat rehabilitasi X Kota Medan”
13
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah
Rumusan permasalahan dalam pelitian ini adalah:
1. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan teknik restrukturisasi
kognitif efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy?
2. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan teknik coping skill efektif
untuk meningkatkan abstinence self efficacy?
3. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan gabungan teknik
restrukturisasi kognitif dan coping skill efektif untuk meningkatkan abstinence
self efficacy?
4. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan gabungan restrukturisasi
kognitif dan coping skill lebih efektif untuk meningkatkan abstinence self
efficacy dibandingkan dengan pemberian restrukturisasi kognitif dan coping
skill secara terpisah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas Group
Cognitive Behavioral Therapy dengan menggunakan teknik restrukturisasi
kognitif dan/atau coping skill untuk meningkatkan abstinence self efficacy pada
pecandu dalam proses pemulihan di rehabilitasi.
14
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis :
a) Menambah pemahaman dan sumber informasi bagi disiplin ilmu
psikologi klinis, khususnya mengenai penerapan Group Cognitive
Behavioral Therapy dengan menggunakan teknik restrukturisasi
kognitif dan/atau coping skill untuk meningkatan abstinence self
efficacy pada pecandu narkoba.
b) Memberikan masukan bahwa pecandu tidak hanya memerlukan
intervensi coping skill, tetapi perlu juga untuk mengganti
pikirannya yang irasional menjadi rasional agar semakin yakin
akan kemampuannya untuk menolak penggunaan narkoba.
2. Manfaat praktis:
a) Bagi pusat-pusat rehabilitasi, diharapkan dapat melihat pentingnya
peningkatan abstinence self efficacy dalam diri seorang pecandu
narkoba sebagai bekal bagi mereka untuk bertahan tanpa
penggunaan narkoba setelah keluar dari tempat rehabilitasi.
b) Pecandu yang menjalani rehabilitasi dapat semakin meningkatkan
keterampilannya dalam hal coping skill.
c) Pecandu mampu menerapkan pikirannya yang rasional dalam
menghadapi high risk situation.
d) Implikasi hasil penelitian dapat digunakan dalam penyusunan
Standard Operasional Procedure (SOP) terhadap penanganan
penyalahguna narkoba.
15
Universitas Sumatera Utara
e) Memberikan masukan bagi pihak rehabilitasi untuk memiliki
sumber daya manusia seperti tenaga Psikolog klinis yang memiliki
keahlian CBT untuk menerapkan intervensi coping skill dan/atau
restrukturisasi kognitif dalam proses rehabilitasi pecandu narkoba.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab 1
Pendahuluan: Bab ini menguraikan secara umum mengenai segala
sesuatu yang berkaitan dengan penelitian.
Bab 2
Landasan Teori: Bab ini menguraikan mengenai berbagai teori
yang dapat memberikan penjelasan dan mendukung data penelitian.
Bab 3
Metode Penelitian: Bab ini menguraikan rangkaian penelitian yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan dan analisa data.
Bab 4
Hasil dan Pembahasan: Bab ini menguraikan mengenai hasil yang
ditemukan dalam penelitian serta pembahasan hasil penelitian dan
perbandingan hasil penelitian dengan teori.
Bab 5
Kesimpulan, dan Saran: Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan
dari seluruh hasil yang telah diperoleh, dan saran untuk
penyempurnaan penelitian selanjutnya.
16
Universitas Sumatera Utara