Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī Chapter III V

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Metode Penelitian
Metodologi yaitu landasan yang berupa tata aturan kerja dalam penelitian

dan bertujuan untuk membuktikan jawaban yang dihasilkan. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran,
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian
deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antarfenomena yang diselidiki.
Menurut Whitney (dalam Nazir, 2011:54), metode deskriptif adalah
pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Metode ini digunakan untuk
memecahkan masalah dan menjawab permasalahan yang dihadapi sekarang.
Metode ini menempuh langkah-langkah pengumpulan data, analisis data,
membuat kesimpulan, dan laporan dengan tujuan utama untuk membuat

penggambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskriptif situasi,
memfokuskan pada analisis isi.
Dalam tradisi kualitatif, peneliti harus menggunakan diri mereka sebagai
instrumen, mengikuti asumsi-asumsi kultural sekaligus mengikuti data. Dalam
berupaya mencapai wawasan-wawasan imajinatif ke dalam dunia sosial responden,

Universitas Sumatera Utara

peneliti diharapkan fleksibel dan reflektif tetapi tetap mengambil jarak (Mc
Fracken dalam Brannen, 1997:11)
Di dalam penelitian kualitatif konsep dan kategorilah, bukan kejadian atau
frekuensinya, yang dipersoalkan. Dengan kata lain, penelitian kualitatif tidak
meneliti suatu lahan kosong tetapi ia menggalinya (Mc. Cracken dalam Brannen,
1997:13).

3.2

Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam suatu penelitian ilmiah seyogyanya dimaksudkan


untuk memperoleh bahan yang relevan, akurat, dan realibel (Hadi dalam
Jabrohim, 2001:41). Relevan berarti berkaitan erat dengan tujuan penelitian;
akurat berarti sesuai atau tepat untuk tujuan penelitian; dan realibel berarti dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Dalam penelitian kualitatif peneliti sangat erat kaitannya dengan faktorfaktor kontekstual (Moleong dalam Jabrohim, 2001:42). Teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik penelitian kepustakaan
atau studi pustaka. Langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Membaca novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin.
2. Mengamati dan menganalisis makna setiap kalimat atau wacana di dalam
novel.
3. Mengklasifikasikan unsur-unsur feminisme dalam kalimat, kutipan atau
wacana di dalam novel.
4. Memasukkan data ke dalam kertas kerja penelitian untuk selanjutnya di
analisis berdasarkan landasan teori.

Universitas Sumatera Utara

3.3

Teknik Analisis Data

Analisis adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi,

serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca (Nazir, 2011:358).
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dalam mengkaji data. Metode
analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data yang
kemudian disusul dengan penganalisisan berdasarkan data yang telah dituliskan
dalam kartu data. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1.

Mengidentifikasi data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

2.

Melakukan

pembacaan

berulang-ulang


terhadap

data

yang

sudah

diidentifikasi.
3.

Melakukan pencatatan ulang data-data yang sudah diidentifikasi tersebut.

4.

Menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan hubungan antar
data sehingga diperoleh pemahaman terhadap masalah yang diteliti

5.


Membuat kesimpulan.

3.4

Data dan Sumber Data

3.4.1

Data
Data dalam penelitian ini adalah data verbal yang berupa kalimat, paragraf

yang berupa narasi ataupun dialog yang berhubungan dengan unsur-unsur
feminisme pada novel Impian di Bilik Merah.

Universitas Sumatera Utara

3.4.2

Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebuah novel yang


berjudul Impian di Bilik Merah 1 karya Cao Xueqin, yang dijadikan sebagai
sumber data primer. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Judul

: Impian di Bilik Merah 1 (Hong Lou Meng)

Penulis

: Cao Xueqin

Penyunting

: Agatha Tristanti dan Ken Diani Milati

Desain Cover : Helen Lie
Tahun Terbit

: 2014


Penerbit

: Bhuana Sastra (Imprint dari PT.BIP)

Jenis

: Novel

Cetakan

: Pertama

Tebal

: 548 halaman (34 bab)

Sampul

: Berwarna merah dengan gambar seorang laki-laki yang
sedang berbaring di taman dan dikelilingi perempuan.


Sumber data primer adalah sumber data utama penelitian yang diperoleh
tanpa lewat perantara. Selain data primer, terdapat sumber data sekunder dalam
penelitian ini, yaitu data-data yang bersumber dari buku-buku acuan serta internet
yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Sumber
data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku dan internet yang
berhubungan dengan sastra dan feminisme.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PEMBAHASAN

Bab empat berisi tentang analisis struktur pada Novel Impian di Bilik
Merah karya Cao Xueqin. Novel ini dikaji dengan menggunakan kajian
feminisme Marxis. Penulis mendeskripsikan figur tokoh perempuan dan
perjuangan tokoh perempuan dalam mewujudkan feminisme. Bab empat ini juga
menggambarkan tentang sosok perempuan China dalam kebudayaannya yang
Patriarki, termasuk kedudukan perempuan dalam masyarakat feodal yang
mengutamakan kaum laki-laki dan merendahkan kaum perempuan.


Untuk

mendukung analisis tentang feminisme pertama-tama penulis mendeskripsikan
tentang unsur-unsur struktural yang terdapat dalam novel, yang mana penulis
fokus pada tema, penokohan/perwatakan dan alur cerita (plot). Selanjutnya
dianalisis unsur-unsur struktural tersebut berdasarkan pendekatan feminisme
Marxis. Analisis itu diperlukan untuk menunjukkan adanya perbedaan gender
antara laki-laki dan perempuan, dan dengan analisis itu diharapkan perempuan
dapat mencapai kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.

4.1

Analisis Struktur Pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao
Xueqin
Ada beberapa unsur struktural dalam novel Impian di Bilik Merah karya

Cao Xueqin yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis novel ini. Unsurunsur tersebut adalah tema, penokohan/perwatakan dan alur cerita (plot). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian di bawah ini.


Universitas Sumatera Utara

4.1.1

Tema
Tema adalah ide pokok pengarang dalam membuat suatu karya sastra yang

ingin disampaikan kepada pembaca. Cao Xueqin dalam novelnya mengangkat
tema “kedudukan perempuan terhadap sistem feodal”. Masyarakat feodal adalah
masyarakat yang mengutamakan kaum laki-laki dan merendahkan kaum
perempuan. Perempuan tidak berhak mendapat pendidikan. Hanya keluarga kaya
yang mampu menggaji guru untuk mengajar perempuan di rumahnya.
Pada novel Impian di Bilik Merah ada tiga sistem feodalisme, yang
pertama yaitu sistem ujian negara. Sistem ujian negara adalah satu-satunya jalan
untuk menjadi pejabat. Maka, laki-laki harus rajin belajar Konghucuisme dan
Menghucuisme yang pada masa feodal menjadi filsafat dominan di Tiongkok.
Pada masa feodal jika seorang laki-laki rajin belajar, lulus ujian negara dan
menjadi pejabat akan dianggap sukses dan merupakan cita-cita umum. Hal itu
tertulis pada kutipan-kutipan berikut:
Di ibu kota, Yu Cun lulus ujian dengan nilai tinggi sekali,

sehingga memperoleh gelar Jin Shi. Ia lalu ditugaskan di beberapa
daerah, dan setelah bertugas sebgai hakim, akhirnya ia diangkat
menjadi Kepala Daerah Ru Zhou. (Impian di Bilik Merah, 2014:33).
Lin Ruhai sendiri memperoleh jabatan sebagai Komisaris
Perdagangan Garam setelah berhasil lulus Ujian Negara. Karena
hasil nilai ujiannya bagus sekali, ia memperoleh gelar tanhua, gelar
peringkat kedua terbaik dalam Ujian Negara. (Impian di Bilik Merah,
2014:34 dan 36).
Untuk mencapai cita-citanya, Jia Zheng berusaha
meningkatkan kedudukannya dengan mengikuti Ujian Negara.
(Impian di Bilik Merah, 2014:42-43).
Yang kedua adalah sistem perkawinan. Perkawinan tidak boleh ditentukan
sendiri. Sebagai anak tidak berhak minta menikah dengan orang lain karena orang

Universitas Sumatera Utara

tualah yang akan menentukan. Jika orang tua sudah meninggal, tanggung jawab
ini terletak pada kakak sulung. Pada novel diceritakan bahwa Lin Daiyu agak
khawatir pernikahannya dengan Baoyu karena orang tuanya sudah meninggal,
sedangkan dia tidak memiliki kakak. Oleh karena itu, hak ini terletak pada
neneknya, yaitu Jia Mu atau disebut sebagai Nyonya Besar. Jika Nyonya Besar
tidak menyetujui pernikahan Baoyu dan Daiyu, mereka tidak boleh menikah.
Pernikahan kekerabatan tidak dilarang, melainkan sangat populer di
masyarakat pada saat itu. Pernikahan kekerabatan yang terjadi di 4 keluarga itu
dengan tujuan memperkokoh kekuatan keluarganya. Hal ini terlihat di dalam
novel, seperti Wang Xifeng dengan Jia Lian. Wang Xifeng adalah keponakan ibu
Baoyu yang dikenal dengan sebutan Nyonya Wang, sedangkan Jia Lian adalah
keponakan Jia Zheng, ayah dari Baoyu. Selain itu ada pula Baoyu yang akan
dijodohkan dengan Lin Daiyu dan Xue Baochai. Keduanya adalah saudara sepupu
Baoyu. Hal itu tertulis pada kutipan berikut:
Mendengar kata-kata Xifeng, Lin Daiyu menukas sambil
tertawa, “Coba kalian dengar kata-katanya. Baru saja dia memberi
kita sedikit teh, langsung meminta ganti.”
“Seharusnya begitu,” ujar Xifeng. “Bukankah kau telah
menerima teh kami? Tapi kenapa kau tidak mau menjadi menantu
kami?” (Impian di Bilik Merah, 2014:366).
Yang ketiga adalah sistem tingkat sosial. Perempuan yang menjadi selir
kaisar kedudukannya jauh lebih tinggi dari orang tua dan neneknya meskipun
nenek dan orang tua lebih tua generasinya, Untuk itu, harus dibangun rumah baru
sebagai pengganti rumah lama yang tidak memasang nama kedudukan seorang
selir.

Universitas Sumatera Utara

Pada masa feodal, kaum perempuan diindoktrinasi (sebuah proses yang
dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan perilaku tertentu)
bahwa jika seorang perempuan menikah lagi sesudah suaminya meninggal, maka
dianggap tidak suci lagi. Tetapi jika tidak menikah lagi dan menjaga kesucian diri
maka akan dihormati orang.
Kedudukan budak sangat rendah. Di keluarga kaya, tuan muda dan nona
masing-masing dicarikan ibu susu dan Ya Tou, panggilan untuk budak perempuan,
yang usianya hampir sama dengan tuan muda dan nona tersebut. Tugasnya adalah
melayani berganti pakaian, membawakan makanan dan minuman. Tugas lainnya
yaitu sebagai teman cerita tuan muda dan nona. Seorang Ya Tou dapat dijadikan
Ya Tou Tong Fang atau budak kesayangan jika pemiliknya suka padanya. Bahkan,
Ya Tou Tong Fang lebih menderita karena selain melayani pemiliknya dalam
kehidupan sehari-hari, dia juga harus melakukan hubungan intim dengan pemilik
laki-lakinya. Pada hakikatnya, Ya Tou Tong Fang tetap seorang budak,
kedudukannya lebih rendah dari gundik. Seorang gundik mempunyai Ya Tou
untuk melayaninya meskipun dia bukan istri yang dapat dibenarkan sepenuhnya.
asal istri yang resmi belum meninggal, gundik tidak ada kesempatan menjadi istri
yang resmi. Di depan istri resmi dan suaminya, gundik adalah budak. Di depan Ya
Tou dan pelayan lain, gundik baru mempunyai kesempatan berlaku sebagai
majikan. Hal itu tertulis pada kutipan berikut:
Karena Lin Daiyu hanya membawa seorang pelayan muda
bernama Xue Yan, “Itik Salju”, Nyonya Besar lalu memberinya
Ying Ge, “Tekukur Ungu”, sebagai teman.
Lin Daiyu pun diberi empat orang pengasuh dan lima pelayan
untuk melakukan segala macam pekerjaan, sama seperti cucu
Nyonya Besar yang lain.

Universitas Sumatera Utara

Pengasuh Baoyu bernama Li Ma. Pelayannya yang bernama
Xiren, alias “Semerbak Harum”, juga merupakan pelayan
kesayangan Nyonya Besar. (Impian di Bilik Merah, 2014:68).
Mula-mula Xiren menolaknya, tetapi setelah didesak,
akhirnya ia menyetujui. Apalagi, ia pun tahu bahwa akhirnya ia akan
menjadi selir Baoyu. Sejak itu, Baoyu menjadi lebih menyayanginya.
Xiren pun melayani tuan mudanya dengan lebih patuh lagi. (Impian
di Bilik Merah, 2014:108-109).
4.1.2

Penokohan dan Perwatakan
Dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin banyak sekali

tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya. Hampir semua tokoh yang muncul telah
mampu menunjukkan karakteristik pribadi yang unik, sanggup memberikan
penginderaan yang jelas dan terasa begitu nyata, lengkap dengan segala pelukisan
gambaran, penempatan, dan perwatakannya masing-masing tokoh. Tokoh yang
paling dominan dalam novel ini adalah Jia Baoyu, Lin Daiyu dan Xue Baochai.
Mereka digambarkan sebagai nyawa dari Griya Rong Guo, kediaman keluarga
besar Jia Fa dan segala keturunannya. Tokoh dan watak perempuan yang terdapat
pada novel ini yang sesuai dengan judul penulis akan dijelaskan dalam uraian
berikut:
a) Lin Daiyu
Lin Daiyu adalah tokoh utama perempuan dalam novel ini. Dari segi
fisiologis, Lin Daiyu digambarkan sebagai seorang perempuan yang cantik dan
mempunyai sopan santun. Namun kenyataannya Lin Daiyu adalah sosok
perempuan yang mempunyai penyakit yang tak kunjung sembuh. Seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut:
Sosok tubuh Lin Daiyu memang anggun, tetapi ia terlihat
lemah. Melihat keadaan si “Batu Giok Hitam” alias Lin Daiyu,

Universitas Sumatera Utara

neneknya lalu bertanya, “Kulihat kau beigtu lemah, apakah kau telah
memeriksakan diri ke tabib secara teliti? Obat apa saja yang telah
diberikan kepadamu?”
Lin Daiyu lalu melanjutkan, “Aku ingat ketika aku berumur 3
tahun, seorang biksu Buddha berambut kusut masai datang menemui
ayah, meminta untuk membawaku pergi untuk dijadikan tumbal
pengorbanan kepada Buddha. Jika biksu Buddha itu boleh
membawaku, aku akan baik; kalau tidak, aku akan sakit-sakitan. Aku
tidak boleh menangis terisak-isak, juga tidak boleh menemui sanak
saudara dari pihak ibu. Tentu saja, tidak ada yang mengacuhkan
nasihat itu karena menggelikan dan tidak masuk akal.” (Impian di
Bilik Merah, 2014:56).
Dilihat dari segi sosiologis, Lin Daiyu adalah perempuan keturunan
bangsawan yang terlahir dari keluarga Jia, yaitu Jia Min dan Lin Ruhai yang
tinggal di kota Yang Zhou. Dia terlahir ketika ayahnya sudah berumur 40 tahun.
Seperti yang terlihat pada kutipan berikut:
Lin Ruhai orang kelahiran Su Zhou, dari keluarga terpandang.
Kakek buyutnya dulu bangsawan kepala daerah. Walau Lin Ruhai
sudah mengambil beberapa orang selir, takdir tetap menentukan lain
dan ia pun tak punya pewaris lelaki.
Pada usia 40 tahun sekarang, ia hanya mempunyai seorang
anak perempuan dari istrinya, Nyonya Jia. Anak itu diberi nama Lin
Daiyu, yang sekarang berumur 5 tahun. (Impian di Bilik Merah,
2014:34 dan 36).
Lin Daiyu juga seorang anak yang cerdas dan memiliki semangat dalam
belajar. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:
Yu Cun amat senang dengan pekerjaannya, apalagi Daiyu
yang menjadi murid tunggalnya adalah anak yang cakap dan sangat
bersemangat belajar. (Impian di Bilik Merah, 2014:36).
Dari kutipan-kutipan di atas dapat diketahui bahwa Lin Daiyu adalah
seorang perempuan keturunan bangsawan yang cantik dan mempunyai sopan
santun. Lin Daiyu juga seseorang yang sejak lahir sudah mendapat penyakit yang
aneh yang tidak tahu nama dan sebabnya. Dia tidak boleh mendengar suara

Universitas Sumatera Utara

tangisan, juga tidak boleh mengeluarkan air mata. Penyakitnya akan sembuh jika
dia menjadi seorang biksuni seperti yang dikatakan biksu Buddha kepada orang
tuanya.
Lin Daiyu berasal dari keluarga keturunan bangsawan yang mana pada
masa itu jika ada keluarga keturunan bangsawan boleh mendapat pendidikan.
Pada masa itu, hanya keluarga kaya yang mampu menggaji guru untuk mengajar
wanita di rumahnya. Ayah Daiyu, Lin Ruhai sangat menyayangi anak perempuan
tunggalnya. Dia memberikan pendidikan kepada anaknya meskipun pendidikan
hanya diperuntukkan untuk anak laki-laki saja. Untuk itu dia mencari guru untuk
mengajar anaknya. Dan akhirnya seseorang bernama Yu Cun yang disetujui untuk
dijadikan guru bagi Lin Daiyu dan menurutnya Lin Daiyu adalah seorang anak
yang cerdas.
Ketika berumur 6 tahun, ibunya meninggal karena penyakit menahun.
Nenek Lin Daiyu, Nyonya Besar, memintanya untuk tinggal bersama. Tak berapa
lama setelah dia tinggal bersama neneknya di Griya Rong Guo, ayahnya pun
meninggal dunia akibat sakit yang dialaminya.
Dilihat dari segi psikologis, Lin Daiyu adalah seorang perempuan yang
sangat sensitif perasaannya. Seperti yang terlihat pada kutipan-kutipan berikut:
“Oh, dia mirip sekali dengan Lin Meimei.”
Mendengar terkaan Xiang Yun, semua tertawa sambil
mengiyakan bahwa pemain itu mirip sekali dengan Lin Daiyu.
Tiba-tiba, Lin Daiyu cemberut sehingga suasana menjadi
tidak nyaman. Lin Daiyu pun pergi ke kamarnya.
Baoyu masuk ke kamar Lin Daiyu dan berkata, “Kenapa kau
harus tersinggung?”
“Ucapannya terlalu menghinaku!” seru Lin Daiyu. “Masa
aku disamakan dengan pemain panggung?” (Impian di Bilik Merah,
2014:324 dan 327).

Universitas Sumatera Utara

Namun tak lama kemudian, ia melihat sekelompok orang
menuju ke kediaman Baoyu. Xifeng dan Nyonya Besar tampak di
antara mereka.
Oh, alangkah bahagianya Bao Yu karena setiap orang selalu
memperhatikannya, pikirnya. Sungguh berbeda dengan diriku.
Apakah hal ini karena kedudukan orangtuanya? Tiba-tiba saja hati
Lin Daiyu jadi sedih. (Impian di Bilik Merah, 2014:447).
Dari kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bahwa Lin Daiyu perasaannya
sangat mudah tersinggung, apabila orang lain membicarakan hal yang tidak baik
kepadanya, dia akan marah bahkan sampai menangis. Hal ini mungkin disebabkan
oleh keadaan dirinya yang telah kehilangan kedua orang tua ketika usianya masih
sangat muda. Bagi anak, orang tua adalah guru dalam melakukan hal apapun.
Hubungan yang baik dengan kedua orang tua berdampak untuk membentuk
karakter anak. Di dalam batin seorang anak, apabila kehilangan kedua orang tua
pasti akan memendam sebuah perasaan murung “di dunia ini hanya tinggal diri
sendiri sangat tidak beruntung”. Sehingga anak tersebut akan selalu merasa
rendah diri di hadapan orang lain.
b) Xue Baochai
Xue Baochai adalah anak dari adik perempuan ibu Baoyu, dikenal oleh
keluarga Jia sebagai Bibi Xue. Dilihat dari segi fisiologis, ia adalah seorang
perempuan yang cantik dan rendah hati. Ditinjau dari segi sosiologis, Xue
Baochai adalah sosok yang disenangi keluarga dan patuh terhadap tradisi serta
nilai-nilai tradisional. Seperti yang tertulis pada kutipan berikut:
Selain Xue Pan, Bibi Xue juga dikaruniai anak perempuan
bernama Baochai atau “Kebajikan Mulia”. Usia Baochai beberapa
tahun lebih muda dari Xue Pan. Gadis ini cantik dan rendah hati,
karena itu ayahnya amat menyayanginya. Selain itu, ia diberi
kesempatan untuk belajar di bawah bimbingan guru pribadi.

Universitas Sumatera Utara

Kecerdasannya ternyata 10 kali lipat dari kakaknya. Namun setelah
ayahnya meninggal, ia kurang tertarik pada buku. Apalagi, ia
menyadari betapa nakal kakaknya. Karena itu, ia memutuskan untuk
ikut merasakan tanggung jawab ibunya. (Impian di Bilik Merah,
2014:90).
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa di dalam keluarganya, hanya Xue
Baochai lah yang dapat dibanggakan. Kakak laki-lakinya sangat dibenci oleh
keluarganya karena sifatnya yang tidak baik. Karena ayahnya yang meninggal
ketika masih kecil, ibunya menggantungkan masa depan keluarganya kepada
dirinya.
Selain itu, Xue Baochai juga selalu menghibur hati orang lain ketika
sedang bersedih. Seperti tertulis pada kutipan berikut:
“Kau orang sabar,” kata Baochai. “Karena itu, aku tak perlu
lagi mengatakan soal sikap majikanmu terhadapmu. Tapi karena hari
ini dia tidak dapat mengendalikan diri, dia lupa apa yang telah
dilakukannya terhadapmu. Padahal ia merasa dekat sekali denganmu.
Apalagi, tak ada orang lain yang bisa menenangkannya jika ia marah.
Sekarang, jika kau menangis terus, semua orang akan mendengarnya
dan akan menertawakan majikanmu. Bukankah kau tak
menginginkan hal seperti itu terjadi?” (Impian di Bilik Merah,
2014:486-487).
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Xue Baochai tidak ingin hati
orang lain selalu bersedih. Tidak peduli meskipun seorang pelayan yang sedang
bersedih, ia selalu berusaha menghiburnya. Dia adalah perempuan yang selalu
berusaha melihat segala sesuatu secara positif. Dia lebih suka membicarakan
kebaikan daripada keburukan orang lain, dan lebih suka mencari solusi daripada
membuat orang frustasi.
Dari segi psikologis, Xue Baochai memiliki sifat yang perhatian terhadap
sesama, terutama kepada Lin Daiyu. Seperti tertulis pada kutipan berikut:

Universitas Sumatera Utara

“Kemarin, kulihat resep obatmu banyak menggunakan
ginseng dan kayu manis. Kurasa ramuan itu hanya untuk
memperkuat saraf dan merangsang semangat saja. Jadi, tidak baik
jika kau meminum terlalu banyak obat yang mengandung panas.
Seharusnya, kau memperkuat hatimu dulu, karena itu dapat
mempengaruhi unsur bumi sehingga kau bisa mencerna makanan
lebih baik. Sebaiknya kau makan saja sup yang dibuat dari satu ons
sarang burung dan setengah ons gula batu. Ini lebih baik dari obat,
dan sarang walet lebih bermanfaat bagimu daripada yang lain,” kata
Baochai. (Impian di Bilik Merah, 2014:450).
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa seorang perempuan bernama Xue
Baochai sangat memperhatikan kesehatan saudaranya. Meskipun terkadang Lin
Daiyu merasa iri dan cemburu dengan kedekatan Xue Baochai bersama Baoyu,
tapi Xue Baochai tidak membalas kecemburuan Lin Daiyu dengan kecemburuan
juga. Dia lebih suka memperhatikan kesehatan orang lain karena kesehatan
merupakan hal yang sangat penting bagi semua manusia.
c) Wang Xifeng
Wang Xifeng merupakan tokoh antagonis dalam novel ini. Dia adalah
keponakan Nyonya Wang, ibu Baoyu, yang menikah dengan Jia Lian. Jia Lian
adalah anak laki-laki Jia She, yang merupakan putra pertama Nyonya Besar.
Dari segi fisiologis, Wang Xifeng memiliki wajah yang cantik, matanya
seperti mata burung phoenix, bertubuh semampai, dan bergaya glamour atau
mewah. Hal itu tertulis seperti kutipan berikut:
Kira-kira dua tahun yang lalu, Lian telah kawin dengan
keponakan Nyonya Wang bernama Xifeng, si „Burung Cantik‟.
Meski tak suka membaca, tapi tutur katanya halus di tengah-tengah
keluarganya. (Impian di Bilik Merah, 2014:47).
Tiba-tiba seorang wanita muda yang manis masuk.
Perawakannya semampai dan sikapnya mandiri. Ia mengenakan
pakaian yang berwarna lebih cerah daripada yang dipakai oleh para

Universitas Sumatera Utara

cucu di situ. Selain itu, ia pun mengenakan perhiasan yang serba
gemerlap. (Impian di Bilik Merah, 2014:58).
Wang Xifeng disebut sebagai „Burung Cantik‟ karena matanya besar dan
tajam seperti burung phoenix. Phoenix dalam mitologi China merupakan burung
yang lemah lembut, ia turun dengan sangat hati-hati sehingga tidak merusak apa
pun yang dipijak atau disentuhnya. Phoenix dianggap kekuatan yang dikirim dari
surga yang ditujukan untuk kaisar. Phoenix, dalam bahasa Mandarin disebut feng
huang, mengindikasikan bahwa feng adalah kata „angin‟ sehingga pada masa
legenda phoenix dikenal sebagai dewanya angin. Dalam sejarah China, phoenix
menjadi simbol sanjungan bagi penguasa yang berhasil dalam memimpin negara
dengan damai. Berdasarkan penjelasan tentang burung phoenix tersebut, maka
pantaslah Wang Xifeng disebut sebagai „Burung Cantik‟ yang sesuai dengan
fisiknya.
Dari segi sosiologis, Wang Xifeng sedikit dermawan. Dia pernah
menolong kerabatnya yang miskin. Seperti pada kutipan berikut:
Xifeng kemudian mengambilnya, lalu memberikannya
kepada nenek Liu.
“Terimalah perak ini dan buatlah pakaian untuk anak-anak,”
kata Xifeng. “Sering-seringlah datang kemari jika tidak ada
kesibukan. Bukankah kita ini masih saudara? Tapi aku juga tidak
berusaha untuk menahan kalian karena aku tahu hari sudah siang,
sedangkan perjalanan pulangmu masih jauh. Hanya saja, kumohon
agar kalian mau menyampaikan salamku kepada siapa saja yang
masih ingat kepada kami.” (Impian di Bilik Merah, 2014:124).
Meskipun dalam novel ini Wang Xifeng digambarkan sebagai sosok yang
antagonis, tetapi dia juga memiliki sifat yang baik. Kedermawanannya dalam
menolong kerabatnya (memiliki hubungan keluarga dengan kakek Wang Xifeng)
ikhlas, tidak meminta pamrih.

Universitas Sumatera Utara

Dari segi psikologis, Wang Xifeng memiliki watak yang kejam, terutama
kepada pelayan yang membantah perintahnya. Dia juga suka merendahkan para
pelayan. Seperti pada kutipan-kutipan berikut:
Kemudian, ia memberi perintah dengan nada keras, “Bawa
dia keluar, dan cambuk dia 20 kali.” Mendengar keputusan itu, tak
seorang pun pembantu yang berani memohon pengampunan padanya
karena raut muka Xifeng sangat menakutkan hingga menggetarkan
hati semua orang. Karena itu, mereka langsung menarik keluar
pembantu yang lalai itu, dan mencambuknya sebanyak perintah yang
diberikan. Sebagai lanjutan hukuman itu, ia tidak diberi gaji selama
sebulan. (Impian di Bilik Merah, 2014:222-223).
Sesudah berkata begitu, Xifeng menampar pipi kiri dan pipi
kanan pelayan itu. Seketika itu juga, muka pelayan itu menjadi
sembab.
“Coba kau tampar dia,” perintah Xifeng. “Tanyakan padanya,
kenapa dia lari. Jika tidak mengaku, robek saja mulutnya!” (Impian
di Bilik Merah, 2014:480-481).
Mendengar kata-kata Jia Lian, akhirnya Xifeng naik pitam.
Karena mengira Ping-Er secara diam-diam suka mengadu kepada Jia
Lian, Xifeng lalu menghampiri Ping-Er dan langsung menampar
mukanya. Sesudah itu, ia segera masuk ke kamar, lalu menjambak
istri Bao-Er dan memukulnya bertubi-tubi. (Impian di Bilik Merah,
2014:483).
Dari kutipan-kutipan di atas jelas sekali terlihat bahwa Xifeng sosok
perempuan yang berani dan bertindak kejam terhadap siapapun yang melawannya.
Dalam mengambil keputusan, dia mengambil cara menyerang dan bahkan tak
segan akan membunuh seseorang. Keberanian seperti itu hanya dilakukan untuk
kejahatan. Setelah melakukan suatu kejadian atau peristiwa, dia selalu tidak
menyesal, dan akan membasmi sampai ke akar-akarnya. Kekerasan membuat
orang tunduk kepadanya.

Universitas Sumatera Utara

Wang Xifeng juga sangat pandai memeriksa hati seseorang dari air muka
dan ucapannya. Hal ini membuat banyak orang yang was-was jika bertemu
dengannya. Tertulis dalam kutipan berikut:
Saat itu, datanglah para gadis muda dari Da Guan Yuan.
Mula-mula mereka tampak ragu-ragu, tapi setelah mereka bertukar
pandang, Xifeng akhirnya dapat menduga apa yang hendak mereka
kemukakan.
Karena Xifeng dapat menerka tugas apa yang sebenarnya
akan diberikan kepadanya, Xifeng segera berkata, “Kalian jangan
mempermainkanku, sebab aku sudah tahu maksud kalian. Bukankah
perkumpulan itu hanya untuk hiburan di antara kalian saja? Karena
itu, kurasa kalian tidak memerlukan pengawasan. Tapi yang kalian
butuhkan sebenarnya hanya orang yang dapat membiayai pertemuan
itu. Betul, kan?”
Mendengar perkataan Xifeng yang tepat, akhirnya mereka
tertawa. (Impian di Bilik Merah, 2014:491-492).
Pada kutipan di atas dapat dilihat bahwa kehebatan Wang Xifeng yang lain
ternyata

bisa membaca maksud seseorang hanya dari ekspresi muka dan

ucapannya. Pada saat pihak pembicara tidak ada berbicara, dia sudah bisa
menebaknya. Pihak pembicara baru saja akan bicara, dia sudah bisa
menanganinya. Oleh karena itu, banyak orang-orang berkata kalau Wang Xifeng
“punya seribu mata hati”.
Wang Xifeng juga memiliki sifat yang dengki. Seperti yang tertulis pada
kutipan berikut:
Tabib kemudian memberinya resep ginseng dengan mutu
paling tinggi, yang hanya terdapat di Tai Yuan. Ketika Nyonya
Wang diminta untuk memberi ginseng itu, ia menyuruh Xifeng
untuk memberikan ginseng itu. Namun, Xifeng malah mengirimkan
ginseng yang bermutu rendah. (Impian di Bilik Merah, 2014:195).
Kutipan di atas terjadi ketika Jia Rui jatuh sakit akibat perbuatan Xifeng
kepadanya. Dalam novel diceritakan kalau Jia Rui jatuh cinta kepada Wang

Universitas Sumatera Utara

Xifeng dan ingin selalu berada di dekatnya. Untuk itu dia mengatur rencana
menipu Jia Rui sehingga dia menjadi sakit. Karena mengetahui yang sakit adalah
Jia Rui, maka Wang Xifeng tidak ingin melihatnya sembuh. Untuk itu
dikirimkannya ginseng yang bermutu rendah.
d) Yuanyang
Yuanyang adalah pelayan kesayangan Nyonya Besar. Dari segi fisiologis,
dia adalah sosok perempuan yang cantik dan baik hati. Yuanyang juga seorang
pelayan yang pintar dan terampil. Seperti yang tertulis dalam kutipan berikut:
Ketika Yuanyang berkunjung ke tempat Jia She, si tua ini
terpesona oleh kecantikan Yuan Yang. Ia terus mengawasi gadis itu.
(Impian di Bilik Merah, 2014:505).
Setelah menunggu beberapa saat di kediaman Nyonya Besar,
Nyonya Xing segera masuk ke kamar Yuanyang. Di sana, ia
mendekati Yuanyang yang sedang merenda dan memuji
kepandaiannya. (Impian di Bilik Merah, 2014:508).
Dilihat dari segi psikologis, Yuanyang mempunyai sifat berpendirian
teguh dan berani. Hal ini terjadi ketika Nyonya Xing mengatakan kepada
Yuanyang tentang suaminya, Jia She, yang ingin menjadikannya selir. Terlihat
pada kutipan berikut:
“Suamiku sedang membutuhkan seseorang yang dapat
dipercaya. Ternyata, dia memilihmu, Yuanyang. Dari sekian banyak
calon yang ingin sekali terpilih, kaulah yang diambilnya. Jika pada
suatu hari kau melahirkan bayi lelaki dari Jia She, kau akan
mendapat tempat yang sederajat dengan yang lainnya. Mari kita
menghadap Nyonya Besar.”
Yuanyang tidak menjawab, tetapi malah menarik tangannya
secara kasar. (Impian di Bilik Merah, 2014:508-509).
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Yuanyang mempunyai sifat
memegang teguh apa yang menjadi pendapatnya. Dia selalu membangun

Universitas Sumatera Utara

hidupnya di atas dasar prinsip kebenaran yang bersifat mutlak. Dia sangat
menjunjung nilai nilai kesucian dan tidak pernah merasa malu untuk menunjukkan
prinsipnya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan kepada orang yang
pada dasarnya tidak suka dengan prinsip kebenarannya.
Sifat beraninya muncul ketika dia menolak tawaran Nyonya Xing. Dia
tidak mau dijadikan selir meskipun yang akan menikah dengannya adalah anak
majikannya sendiri, yang mana pada masa itu jika ada perempuan budak yang
akan dijadikan selir merupakan suatu kebanggan bagi dirnya dan keluarganya.
Terlebih lagi jika bisa melahirkan anak laki-laki yang sesuai dengan sistem
Patriarki pada masa itu. Dia berani untuk menolak demi mempertahankan harga
dirinya sebagai seorang perempuan dan juga tidak bersedia mengalah demi
kepentingan orang banyak terhadap sistem feodal pada masa itu.

4.1.3

Alur Cerita (Plot)
Alur yang dipakai dalam penulisan novel Impian di Bilik Merah adalah

alur bolak-balik/flash back/balikan, yaitu alur yang menceritakan suatu peristiwa
dengan cara menceritakan suatu kejadian yang telah terlewati untuk menjelaskan
peristiwa yang berhubungan dengan alur berikutnya. Hal itu dilakukan Cao Xue
Qin sebagai penulis novel Impian di Bilik Merah karena ia ingin menyampaikan
pemikiran bahwa tidak hanya alur linier saja yang digunakan untuk
mengungkapkan perubahan emosi tokoh-tokohnya. Alur dalam novel Impian di
Bilik Merah tersebut terlihat dari uraian di bawah ini:

Universitas Sumatera Utara

1. Tahap Pertama
Pada tahap ini pembaca akan diajak menyaksikan awal mula
riwayat „Si Batu‟ yang tertarik pada dunia manusia dan minta dibawa ke
dunia manusia. Cerita dimulai dengan memperkenalkan tokoh Shi Yin
sang penjaga Kuil Labu.dan Jia Yu Cun, seorang pelajar dari kalangan
miskin, yang bertetangga dengan Shi Yin karena tinggal di Kuil Labu.
Dengan kesaktiannya, Dewi Nuwa mencurahkan sinar
kehidupan pada batu itu, dan memberkatinya dengan daya
kekuatan sakti. Dengan demikian, batu itu dapat muncul ataupun
lenyap secara mendadak.
Pada suatu hari, ketika si Batu sedang meratapi nasibnya,
ia melihat seorang biksu Buddha dan pendeta Tao berjalan
mendekatinya. Keduanya sedang berbicara tentang keindahan di
Debu Merah.
Mendengar hal itu, timbul godaan duniawi pada si Batu. Ia
tergugah ingin merasakan kenikmatan kehidupan fana. Karena itu,
disapanya biksu dan pendeta itu. (Impian di Bilik Merah, 2014:12).
Lalu cerita akan berlanjut ke masa lalu Yu Cun yang lulus ujian
negara sehingga memperoleh gelar Jin Shi. Kemudian diceritakan kisah
Lin Ruhai yang merupakan ayah dari Lin Daiyu. Yu Cun adalah guru Lin
Daiyu semasa kecil. Setelah ibunya meninggal, Lin Daiyu pun berhenti
belajar. Yu Cun bepergian ke luar kota dan bertemu dengan teman lama
yang bernama Leng Zixing. Zixing menceritakan kepada Yu Cun kisah
dua keluarga besar bernama Griya Ning Guo dan Griya Rong Guo. Setelah
mereka bercerita tentang dua keluarga besar tersebut, mereka pun pulang
ke tempat masing-masing. Esok harinya, Ruhai minta tolong kepada Yu
Cun agar mengantarkan anaknya Lin Daiyu ke tempat neneknya di ibu
kota.

Universitas Sumatera Utara

“Aku akan senang sekali kalau kau bisa membantuku.
Kebetulan, ibu mertuaku ingin agar anak perempuanku, Lin
Daiyu alias „Batu Giok Hitam‟, tinggal bersamanya untuk
merawat neneknya.
“Karena kau ingin pergi ke ibu kota, maukah kau ikut
berlayar bersama anakku?”
Yu Cun menyetujui saran itu. (Impian di Bilik Merah,
2014:48).
2. Tahap Kedua
Pada tahap ini akan terlihat Lin Daiyu telah tiba di kediaman
neneknya, yaitu di Griya Rong Guo. Dia disambut dengan hangat oleh
neneknya. Kemudian diceritakan pertemuan pertama antara Lin Daiyu
dengan Jia Baoyu. Cerita berlanjut ke flash back masa lalu Xue Pan dan
cerita mengenai keluarganya. Xue Pan merupakan kakak laki-laki Xue
Baochai yang suka congkak, pemarah, boros dan mata keranjang. Pada
novel ini, semua kisah tokoh-tokohnya akan diceritakan dengan alur flash
back.
Selanjutnya cerita akan bergulir pada perayaan Pesta Bunga Prem
di Griya Ning Guo. Kerabat di Griya Rong Guo semuanya diundang.
Karena seringnya Lin Daiyu dan Baoyu bertemu, benih-benih cinta pun
muncul. Tapi karena takdir, Baoyu harus menikah dengan Baochai yang
memiliki permata seperti dirinya, sedangkan Lin Daiyu tidak memiliki
permata sedikit pun. Selanjutnya akan diceritakan betapa seringnya Lin
Daiyu bertengkar dengan Baoyu karena perasaan sensitif yang dimiliki
Daiyu. Jika Daiyu bertengkar dengan Baoyu, dia sering mengekspresikan
perasaannya dengan menangis dan menulis syair-syair puisi.

Universitas Sumatera Utara

Dalam novel ini banyak menceritakan perayaan-perayaan atau
perkumpulan, seperti Perayaan Pesta Bunga, Perayaan Lentera Perayaan
Ulang Tahun, Perkumpulan Para Penyair, bahkan Upacara Pemakaman
pun diceritakan pada novel ini.
Di dalam novel ini juga diceritakan bagaimana peran wanita dalam
mengurus keuangan istana yang biasanya hanya diurus oleh kaum laki-laki.
Peran Wang Xifeng sangat berpengaruh dalam Griya Rong Guo. Dia
sering diangkat jadi ketua pengawas, pengatur keuangan, bahkan akan
diangkat menjadi Perdana Mentri.

3. Tahap Ketiga
Pada tahap inilah peran feminisme akan muncul. Seorang pelayan
kesayangan Nyonya Besar, Yuanyang, diminta untuk menjadi selir Jia She
yang memang suka dengan wanita-wanita muda dan cantik. Yuanyang
menolak dengan tegas, bahkan berani bertindak kasar kepada atasannya,
Nyonya Xing, istri Jia She, untuk mempertahankan pendiriannya. Dia
lebih memilih mati atau menjadi biarawati, daripada harus menikah
dengan “Si Tua Mata Keranjang” itu.
Sampai pada akhirnya Nyonya Besar pun memarahi Jia She yang
merupakan anaknya sendiri. Dia lebih membela pelayannya karena dia
tahu anaknya itu hanya ingin wanita yang muda dan cantik, setelah bosan
akan mencari yang lain lagi. Nyonya Besar pun mencari solusi dengan
menyuruh istri anaknya membeli gadis yang disukainya dengan harga
berapapun asalkan tidak menjadikan Yuanyang selirnya. Jia She yang telah

Universitas Sumatera Utara

dihina oleh orang tuanya pun menjadi malu. Dia pura-pura sakit, tapi tetap
membeli seorang gadis sebagai pengganti Yuanyang.
Cerita berakhir dengan Xue Pan, kakak laki-laki Xue Baochai,
yang ingin merayu Liu Xiang Lian, pemuda yang gemar main sandiwara
yang merupakan teman Baoyu dan Qin Zhong. Sepanjang Pesta
Pengangkatan Lai Shang Rong menjadi pegawai kehakiman, Xue Pan
terus memandangi Liu Xiang Lian dan diam-diam mengajaknya berduaan
saja. Xiang Lian pun mengusulkan pergi ke tempat yang sepi untuk bicara
berdua saja. Sampai di suatu rawa yang sepi, jauh dari desa dan kuil,
mereka pun bertemu. Xiang Lian ingin mereka melakukan sumpah. Belum
lagi Xue Pan selesai mengucapkan sumpah, tiba-tiba dari belakang Xiang
Lian memukulnya. Kemudian Xue Pan ditendang, dipukul habis-habisan
sampai disuruh minum air rawa yang kotor.Setelah puas, Xiang Lian pun
pergi. Tak lama, Jia Rong menemukannya, lalu membawanya pulang ke
rumah menggunakan tandu. Setelah sembuh, Xue Pan terpaksa
meninggalkan ibu kota agar teman-temannya melupakan tingkah lakunya
yang hina.
Alur yang terdapat dalam novel Impian di Bilik Merah tersebut
dapat dikaitkan dengan feminisme Marxis yang pengarang angkat dalam
novel ini, yaitu tentang kehidupan masayarakat China yang feodal yang
mana wanita selalu direndahkan dan dijadikan pemuas nafsu belaka. Para
feminisme Marxis menentang paham feodalisme tersebut karena telah
memanfaatkan kaum perempuan sebagai daya tarik untuk kebutuhan

Universitas Sumatera Utara

pribadinya, berdasarkan budaya Patriarki yang selalu menganggap bahwa
perempuan itu lebih rendah.

4.2

Analisis Kandungan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah
Karya Cao Xueqin
Dalam teori-teori sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan

perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya
kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan harus sama dengan kaum laki-laki.
Melalui penjelasan ini dapat dikatakan bahwa kaum perempuan merasa tidak
disejajarkan dengan laki-laki sehingga melahirkan keinginan kesetaraan gender.
Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek
ketertindasan wanita atas diri pria. Hal barusan mengisyaratkan pentingnya
kesetaraan dalam hak. Aspek ini juga berlaku bagi dunia kesastraan.
Perempuan punya tempat tersendiri dalam karya sastra. Penempatan
perempuan pada nilai-nilai kultural yang mempunyai kedudukan tak hanya
sebagai masyarakat kelas dua tapi juga berperan sama pentingnya dengan kaum
pria. Sebuah karya sastra tidak hanya menyajikan kekerasan maupun berusaha
menjadikan perempuan sebagai objek, tapi juga ingin menghapus perbedaan yang
ada selama ini sehingga tercapai persamaan gender yang diinginkan.

4.2.1

Figur Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme pada Novel
Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin
Cao Xueqin mengangkat figur perempuan China tradisional yang hidup

dalam masa feodalisme. Di tengah-tengah indahnya istana Ning Guo dan Rong

Universitas Sumatera Utara

Guo, terselip berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan China.
Dalam novel ini ada dua perempuan dimunculkan sebagai sosok-sosok yang
berambisi, terampil dan patuh terhadap majikan. Dua tokoh paling penting yang
sangat berpengaruh dalam penceritaan novel ini adalah Wang Xifeng dan
Yuanyang.
Figur tokoh perempuan China yang sangat berambisi adalah Wang Xifeng,
seorang perempuan dari kelas bangsawan yang berambisi besar untuk dapat
menguasai griya Rong Guo. Padahal pada masa itu, perempuan hanya bisa
berdiam diri di rumah dan dilarang untuk memimpin suatu kedudukan. Terlihat
pada kutipan berikut ini:
Namun ternyata, Xifeng ingin sekali menerima tugas itu
sehingga ia agak mendesak, “Kuharap Bibi menyetujuinya karena
kakak tertua benar-benar membutuhkan bantuan kita.”
“Apakah kau yakin bisa menunaikan tugas itu?”tanya
Nyonya Wang.
“Saya rasa tugas itu tidak terlalu sulit,” jawab Xifeng.
“Bukankah kakak tertua sudah mengaturnya? Saya hanya bertugas
mengawasi pekerjaan dalam rumah saja. Jika ada yang tidak saya
ketahui, bukankah saya bisa bertanya pada Bibi?” (Impian di Bilik
Merah, 2014:217-218).
Semangat Wang Xifeng menjadi kenyataan ketika dia dipilih untuk
memimpin upacara kematian Qin Shi. Selain itu, dia juga dipilih sebagai
orang yang mengatur keuangan istana. Sifatnya yang pandai berbicara di
hadapan orang lain, membuat mereka menaruh kepercayaan kepada Xifeng
untuk mengatur segala urusan di istana. Dia sangat mendambakan panggung
politik yang lebih besar untuk mengembangkan kepandaiannya. Dalam
mengurus suatu hal, dia sangat tajam dan tidak mau kalah. Dia juga suka

Universitas Sumatera Utara

memamerkan kepandaiannya di hadapan keluarganya, terdapat dalam
kutipan berikut:
“Kurasa kurang bijaksana kalau kita menempatkan para
biksuni dan pendeta wanita itu di beberapa kuil. Jika sewaktu-waktu
Yang Mulia Yuan Chun diizinkan mengunjungi kita lagi, kita tentu
harus mengumpulkan mereka kembali secara terburu-buru. Menurut
pendapatku, lebih baik kita menempatkan mereka di Biara Bulan Air.
Selain biayanya tidak besar, mereka juga mudah dipanggil bila
diperlukan.” (Impian di Bilik Merah, 2014:349-350).
Kutipan di atas merupakan pendapat Xifeng dalam hal mencarikan tempat
tinggal bagi para biksuni muda Buddha dan pendeta wanita Tao. Dia berpendapat
bahwa lebih baik para biksuni dan pendeta wanita tinggal di tempat mereka
daripada harus tinggal di beberapa kuil. Pendapatnya yang lain juga terlihat pada
kutipan berikut ini:
“Jika saya jadi Ibu Mertua,” kata Xifeng, “Saya akan berpikir
seribu kali, sebab Nyonya Besar selain tidak mau ditinggalkan oleh
Yuanyang, beliau juga sering mengatakan bahwa dia tidak senang
terhadap ayah mertua yang suka mencari selir. Menurut pendapat
saya, lebih baik Ibu Mertua mencegahnya. Memang siapa saja bisa
berbuat begitu selagi masih muda, tapi lain halnya jika sudah punya
anak, keponakan, dan cucu. Jika sampai memalukan, tentu Nyonya
Besar akan mengecamnya secara terbuka.” (Impian di Bilik Merah,
2014:503-504).
Dari kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bahwa Wang Xifeng memiliki
kepandaian yang luar biasa dalam memberikan pendapat. Dia dianggap dapat
memberi solusi terbaik jika ada terjadi suatu masalah. Seperti Nyonya Xing, Ibu
Mertuanya, yang bingung harus melakukan apa karena suaminya menyuruh
Yuanyang untuk menjadi selir. Sebelum hal itu terjadi dia khawatir kalau Nyonya
Besar, majikan dari Yuanyang, akan menolak keputusan suaminya tersebut. Oleh

Universitas Sumatera Utara

sebab itu dia mencari Wang Xifeng untuk mencari solusi dan pendapat Wang
Xifeng pun diterimanya.
Kemudian ada figur perempuan China yang memiliki keterampilan khas
seorang perempuan kelas bawah yaitu Yuanyang, seorang pelayan kesayangan
Nyonya Besar. Perempuan China yang berkelas bawah harus bekerja sebagai
pelayan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedudukan budak muda atau Ya
Tou sangat rendah pada masa itu. Mereka harus melayani semua kebutuhan
majikannya, seperti melayani berganti pakaian, membersihkan semua ruangan
majikannya, serta membawakan makanan dan minuman. Majikan dapat
memaksakan kehendak kepada pelayannya. Seperti tokoh Yuanyang yang dipaksa
menikah dengan suaminya Nyonya Xing, Jia She. Keluarga Yuanyang pun tidak
dapat berbuat apa-apa selain menerimanya, terdapat pada kutipan berikut:
“Kenapa kau tidak mau menjadi majikan atau nyonya? Masa
kau ingin terus jadi pelayan? Coba kalau beberapa tahun lagi kau
menikah dengan salah seorang pesuruh di sini, bukankah kau akan
tetap menjadi budak? Ayo, pergi bersamaku. Kalau sekarang aku
bersikap baik terhadapmu, sampai kelak pun aku akan tetap bersikap
baik kepadamu.” (Impian di Bilik Merah, 2014:509).
Mendengar ancaman Jia She, Jin Wen Xiang tak bisa berbuat
lain kecuali mengucapkan kata “ya, ya, ya” dan berjanji akan
memaksa adiknya. (Impian di Bilik Merah, 2014:515).
Dalam masyarakat China tradisional, lelaki dijadikan puncak segalanya,
termasuk kekuasaan sehingga lelaki memainkan peran yang sangat dominan
dalam kehidupan bermasyarakat. Dunia perempuan kelas bawah dapat berubah
jika menikah dengan majikannya. Perempuan itu akan menjadi selir yang
kedudukannya menjadi lebih tinggi dari orang tua dan neneknya. Seorang
perempuan yang dijadikan selir akan dibangun rumah baru sebagai pengganti

Universitas Sumatera Utara

rumah lama yang tidak memasang nama seorang selir, seperti terlihat pada
kutipan berikut:
Selain itu, Kaisar juga memberi izin kepada keluarga selir
dari Kerajaan Zhou dan Wu serta Griya Rong Guo untuk
membangun istana atas biaya kaisar.
Da Guan Yuan, nama istana yang diberikan kepada Yuan
Chun, didirikan di halaman Griya Ning Guo di bagian timur halaman
Griya Rong Guo. (Impian di Bilik Merah, 2014:249).
Perempuan China pada masa feodal masih sangat taat pada adat yang
sebagian besar merugikannya, bahkan mereka sering merasa tertindas oleh
perbuatan majikannya. Dari sinilah Yuanyang ingin agar perempuan China dapat
sedikit lebih dihargai agar mereka bisa merasakan kebahagiaan. Selain itu, untuk
dapat menguasai suatu kekuasaan, perempuan China harus pandai bicara agar
dapat memimpin suatu kekuasaan, seperti yang dilakukan Wang Xifeng.
Perempuan China digambarkan sebagai perempuan yang ulet, pekerja keras dan
patuh maka sudah sewajarnya perempuan mendapatkan hak yang sama dengan
kaum lelaki.

4.2.2

Perjuangan Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme pada
Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin
Perempuan seringkali dihadapkan pada persoalan yang cukup rumit yang

diakibatkan dari situasi hubungan laki-laki dengan perempuan yang tidak sejajar.
Pola relasi ini mengakibatkan perempuan mendapatkan banyak ketidakadilan.
Perempuan menanggapinya dengan berbagai cara dan sikap. Ada yang menyadari
dan menumbuhkan kesadaran kritis yang berlanjut pada keberanian sikap
menentang segala bentuk ketidakadilan tersebut, tetapi ada juga yang tidak

Universitas Sumatera Utara

menyadari. Hal ini diakibatkan dari sosialisasi masyarakat dan keluarga sehingga
perempuan sendiri menganggapnya sebagai sebuah kodrat.
Dalam novel Impian di Bilik Merah terdapat tokoh-tokoh perempuan yang
berani memperjuangkan hak-haknya dan melawan sistem budaya masyarakat
Patriarkis. Tokoh-tokoh tersebut adalah Wang Xifeng dan Yuanyang.
Wang Xifeng adalah potret perempuan China yang ingin mendapat
kesetaraan dengan laki-laki untuk memimpin suatu kekuasaan. Melalui novelnya,
Cao Xueqin menguraikan tokoh perjuangan perempuan tersebut dengan melihat
sisi lain perempuan, yaitu dari sisi kekuasaan perempuan dalam meminpin
kekuasaan. Tokoh Wang Xifeng juga digambarkan Xueqin sebagai seorang
perempuan yang berani bertindak kejam agar mendapat posisi kekuasaan tersebut.
Xifeng dipercaya oleh keluarga Jia karena kepandaiannya dalam berbicara dan
mengambil hati orang lain. Sebelum keinginannya terwujud, dia selalu bersikap
manis di depan orang lain, terutama Ibu Mertua dan Nenek Mertuanya. Terdapat
dalam kutipan berikut:
“Yang penting,” kata Xifeng untuk mengambil hati, “Ibu
Mertua tentu tahu apa yang terbaik, bukan? Siapa sih yang tidak mau
mendaki sampai ke puncak?....... (Impian di Bilik Merah, 2014:506).
“Dan kau Xifeng, kuharap kau jangan marah terhadapku,”
kata Nyonya Besar sambil memegang Xifeng.
“Ah, padahal saya juga bersedia menerima amarah Nenek
Mertua, tapi kenapa Nenek Mertua merasa telah berbuat salah pada
saya,” kata Xifeng. (Impian di Bilik Merah, 2014:521).
Dalam kehidupan masyarakat China, terutama sebelum RRC berdiri,
pranata sosial yang paling penting adalah keluarga. Memahami keluarga
membantu memahami kehidupan orang China dan sikap kaum pria dan wanita

Universitas Sumatera Utara

yang membentuk keluarga tersebut. Dahulu keluargalah yang merupakan unit
sosial yang paling kecil dan bukan individu.
Keluarga (Chia) dalam masyarakat China tradisional adalah keluarga
kekerabatan yang diatur menurut sistem patrilineal. Istilah ini berarti bahwa
keturunan dihitung menurut garis laki-laki. Posisi perempuan di masyarakat China
tradisional sangat rendah dan harus patuh terhadap peraturan-peraturan.
Diantara berbagai peraturan yang harus dipatuhi oleh perempuan China
adalah aturan Tiga Kepatuhan, yaitu patuh pada orang tua selama ia belum
menikah, pada suami setelah ia menikah dan pada anak laki-laki setelah suaminya
meninggal dunia. Aturan tersebut kemudian menjadi dasar bahwa seorang
perempuan menjadi milik suami dan keluarga suaminya setelah ia menikah. Sebab,
seorang perempuan secara langsung pindah dari rumah atau keluarga kandungnya,
tempat dia lahir (niang jia) dan menjadi anggota keluarga suaminya (po jia).
Dalam kehidupan berumah tangga, posisinya sebagai seorang istri dalam keluarga
suaminya secara teoritis sangat tidak aman. Ketika menikah, maka ia berada di
bawah kekuasaan keluarga suaminya, termasuk Ibu Mertuanya.
Sama halnya dengan Wang Xifeng, dia sangat patuh terhadap Ibu Mertua
dan Nenek Mertuanya. Dia tidak berani melawan perintah mereka, terdapat pada
kutipan berikut:
Ketika melihat Nyonya Besar marah, Nyonya Wang hanya
bisa tegak dan mendengarkan dengan diam, karena seorang menantu
tidak pantas mempertahankan diri jika dituduh sesuatu oleh
mertuanya. Begitu pula dengan Bibi Xue yang tak mungkin bisa
membela kakaknya, serta Baochai yang tak dapat membela bibinya.
Li Wan, Xifeng, dan Baoyu juga tidak pantas jika ingin membelanya.

Universitas Sumatera Utara

Orang yang berhak membantah Nyonya Besar hanya anakanak kandungnya. Ying Chun juga tidak berani, sedangkan Xi Chun
masih terlalu muda. (Impian di Bilik Merah, 2014:518, 520).
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa seorang menantu tidak boleh
membantah perkataan Ibu Mertuanya, yang boleh membantah hanyalah anak-anak
kandungnya. Hal ini dikarenakan adanya aturan Tiga Kepatuhan yang dialami
perempuan China seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Meskipun Wang Xifeng patuh terhadap Ibu Mertua dan Nenek Mertuanya,
tetapi sikapnya tidak demikian terhadap suaminya. Xifeng sering meremehkan
suaminya di hadapan orang lain karena sikap suaminya yang tidak pandai
berbicara dan tidak bersikap sebagai seorang pemimpin. Terdapat pada kutipan
berikut:
“Apakah kau yakin tugas itu dapat kau tangani?” tanya Jia
Lian, sambil menatap Jia Qiang dari bawah ke atas,.....
Xifeng lalu berkata kepada suaminya, “Rupanya kau kira
dirimu saja yang mampu melakukan itu. Apa kau meragukan
pertimbangan Jia Qiang? Seharusnya kita puas boleh belajar dari
yang lain...........
“Aku tidak meragukan pertim

Dokumen yang terkait

Analisis Tokoh Jia Baoyu Pada Novelhónglóumèng Karya Cao Xueqin

0 89 113

Analisis Tokoh Utama Pada Novel Putri Huan Zhu 1 Karya Chiung Yao Berdasarkan Pendekatan Struktural (小说《还珠格格》中小燕子和 夏紫薇的性恪研究) (Xiǎoshuō “huán zhū gégé” zhōngxiǎo yànzi hé xià zǐwēi dì xìng kè yánjiū)

1 101 83

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

1 21 113

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 1 9

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 0 2

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 0 9

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 0 15

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 0 3

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 0 35

Lampiran I Sinopsis Novel Hongloumeng Karya Cao Xueqin

1 1 30