Teori Feminisme dalam Penelitian Sastra

Teori Feminisme dalam Penelitian Sastra
REP | 27 April 2013 | 07:45

Dibaca: 4738

Komentar: 6

0

Feminisme lahir awal abad ke 20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya
yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Secara etimologis feminis berasal dari kata femme
(woman), berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan
(jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam
pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu
yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik
dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.

Teori feminis sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan
dengan konflik kelas ras, khususnya konflik gender. Dalam teori sastra kontemporer, feminis
merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh
adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Keberagaman

dan perbedaan objek dengan teori dan metodenya merupakan ciri khas studi feminis. Dalam
kaitannya dengan sastra, bidang studi yang relevan, diantaranya: tradisi literer perempuan,
pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan, tokoh-tokoh
perempuan, dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan kajian budaya, permasalahan perempuan lebih banyak berkaitan
dengan kesetaraan gender. Feminis, khususnya masalah-masalah mengenai wanita pada
umumnya dikaitkan dengan emansipasi, gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan
hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial
budaya pada umumnya. Dalam sastra emansipasi sudah dipermasalahkan sejak tahun 1920-an,
ditandai dengan hadirnya novel-novel Balai Pustaka, dengan mengemukakan masalah-masalah

kawin paksa, yang kemudian dilanjutkan pada periode 1930-an yang diawali dengan Layar
Terkembang karangan Sutan Takdir Aliajahbana.

Contoh-contoh dominasi laki-laki, baik dalam bentuk tokoh-tokoh utama karya fiksi yang
terkandung dalam karya sastra maupun tokoh faktual sebagai pengarang dapat dilihat baik dalam
sastra lama maupun sastra modern. Kesadaran berubah sejak tahun 1970-an, sejak lahirnya
novel-novel populer, yang diikuti dengan hadirnya sejumlah pengarang dan tokoh perempuan.
Sebagai pengarang wanita memang agak jarang. Sepanjang perjalanan sejarah sastra Indonesia

terdapat beberapa pengarang perempuan, antara lain: Sariamin, Hamidah, Suwarsih
Djojopuspito, Nh. Dini, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dee, dan lain-lain.

Menurut Salden(1986: 130-131), ada lima masalah yang biasa muncul dalam kaitannya
dengan teori feminis, yaitu a) masalah biologis, b) pengalaman, c) wacana, d) ketaksadaran, dan
e) masalah sosioekonomi. Perdebatan terpentinag dalam teori feminis timbul sebagai akibat
masalah wacana sebab perempuan sesungguhnya termarginalisasikan melalui wacana yang
dikuasaioleh laki-laki. Pada dasarnya teori feminis dibawa ke Indonesia oleh A. Teeuw.
Kenyataan ini pun sekaligus membuktikan bahwa teori-teori Barat dapat dimanfaatkan untuk
menganalisis sastra Indonesia, dengan catatan bahwa teori adalah alat, bukan tujuan.

Pemikiran feminis tentang kesetaraan gender sudah banyak diterima dan didukung baik oleh
kalangan perempuan sendiri maupun oleh kalangan laki-laki. Dukungan ini terlihat melalui
penerimaan masyarakat terhadap kaum perempuan di bidang-bidang yang tadinya hanya
didominasi oleh kaum laki-laki, melalui tulisan dan media.
Daftar Pustaka:
Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar: Pustaka
Pelajar

Sardjon, Asmowati, dkk. 2008. Estetika Sastra, Seni, dan Budaya. Fakultas Bahasa & Seni

Universitas Negeri Jakarta

Feminisme
Penulis : Bagus Pramono, Herlianto
Sampai hari ini sebagian kaum perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan
kaum laki-laki atau yang lazim disebut kesetaraan gender. Sebenarnya sebagian besar perempuan
yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang sudah "merdeka". Biasanya mereka itu
dari kalangan Wanita Karir yang sukses, punya prestasi, punya background pendidikan yang
tinggi. Dan mereka tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih "terpasung/
tidak memiliki hak setara dengan laki-laki/ perempuan yang tertindas".

Artikel Terkait


Cinderella dan Alkitab



Emansipasi Wanita dalam “Misycle Syelomoh”




Ibu kita, Maria 'Perempuan yang Terlupakan'



Peran Seorang Isteri



Susanna Wesley



Wanita



Penolong Ideal


Masalah yang terus-menerus tentang emansipasi sebenarnya bukan karena laki-laki menjadikan
wanita sebagai objek, melainkan karena perempuan sendiri yang berlaku demikian. Selalu
berteriak akan persamaan hak. Dalam parlemen di Indonesia ada sekelompok pejuang
perempuan yang meminta "quota" 30% dalam keanggotaan legislatif, minta daftar nama
perempuan di taruh di barisan atas dalam pemilihan. Bahkan iklan tentang ini banyak diekspos di
televisi. Ini justru sangat bertentangan dengan perjuangan feminisme. Sebab kalau meminta
"quota" artinya kaum perempuan ini yakin tidak mampu bersaing secara normal/ fair dengan
laki-laki dalam dunia politik, sehingga perlu "quota". Apabila para aktivis perempuan ini yakin
betul bahwa kaum kemampuan perempuan sejajar dengan laki-laki mengapa tidak bersaing
secara fair saja. Iklan tersebut menggambarkan unsur pemaksaan dan mengarah kepada sifat

KKN. Sehingga kemudian kita mendapati bahwa iklan tersebut merupakan sebuah ironisme dari
perjuangan perempuan yang selama ini digembar-gemborkan.
Sebenarnya di Indonesia, kesetaraan gender sudah sangat baik, lihat saja Megawati, beliau
seorang perempuan yang menjadi Presiden, sebuah sukses dalam peraihan karir yang paling
tinggi di negeri ini. Ada Rini Suwandi seorang professional handal yang menjabat sebagai
menteri Perdagangan. Sangat mengherankan bahwa kaum feminis Indonesia tidak merasa
terwakili oleh prestasi yang diraih mereka ini. Dilain sisi ada banyak sekali wanita karir di
Indonesia yang merangkap menjadi ibu tetapi sukses dalam pekerjaannya. Profil-profil tersebut
sudah menggambarkan bahwa perempuan mempunyai andil hebat dalam politik dan

perekonomian Negara Indonesia.
Di negara Islam pun kita menjumpai banyak perempuan yang memegang kendali politik tertinggi
contohnya Benazir Butto pernah menjabat sebagai Perdana Meteri di Pakistan, Shirin Ebadi
perempuan Iran dengan kepribadian luar biasa memenangkan hadiah Nobel 2003. Chandrika
Bandaranaike Kumaratunga presiden Srilanka. Dua perempuan pintar di Philipina Cory Aquino
& Gloria Arroyo. Di belahan dunia lain juga kita kenal Margareth Tacher, Madeleine Albright,
dan Madonna perempuan genius dengan kepribadian yang kontraversial dan sangat sukses. Di
masa lalu kita mengenal Evita Peron dan masih banyak lagi. Selamat, kaum perempuan! Bahwa
kaum perempuan mampu membuktikan bahwa potensi karir dan intelektual antara perempuan
dan laki-laki adalah setara.
Lalu apa lagi yang harus diperjuangkan? Sampai kapan kaum perempuan berjuang untuk
kesetaraan gender? Saya rasa jawabannya gampang saja "sampai pada saat mereka tidak teriakteriak lagi soal kesetaraan gender".
Kaum Perempuan di-lain sisi sudah menggeser peran-peran laki-laki, begitupun tidak ada
golongan yang mengatasnamakan diri mereka "Man´s Lib" protes tentang hal-hal contohnya
sebagai berikut : Ada Ladies Bank (Bank Niaga sudah mempeloporinya) dimana semua staff
dalam beberapa cabang adalah perempuan. Ada Gereja yang semua/ sebagian besar pekerjanya
adalah perempuan, dari gembala sidang, majelis, pemusik dsb. Banyak pabrik-pabrik yang hanya
menerima pekerja perempuan daripada laki-laki, di pabrik rokok, sepatu, mainan anak-anak lebih
suka menerima pekerja perempuan. Kita lihat disini kaum lagi-laki sudah tergeser di ladang
pekerjaan dan karir. Batapa banyak manager/ direktur/ pebisnis/ guru perempuan. Kadang juga

saya sering mendapat keluhan dari laki-laki bahwa mereka lebih sulit mendapat ladang pekerjaan
dibanding perempuan.
Masalah kesetaraan gender yang gencar didengungkan kaum perempuan itu akan selalu ada jika
kaum perempuan tidak pernah merasa bahwa laki-laki adalah "mitra" melainkan sebagai pesaing
dan musuh.
MACAM-MACAM ALIRAN FEMINISME
4.1. FEMINIS LIBERAL

Apa yang disebut sebagai Feminis Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang
memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan
kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap
manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara
rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan
ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan
diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya
kedudukan setara dengan lelaki.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi.
Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan
harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa
tergantung pada lelaki.

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan
tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang
tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika
yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung
keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak
tergantung lagi pada pria.
4.2. FEMINISME RADIKAL
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 70-an di mana aliran ini menawarkan ideologi
"perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas
kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an,
utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki
terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan
ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
4.3. FEMINISME POST MODERN
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya
modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya
pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak
bermakna identitas atau struktur sosial.
4.4. FEMINISME ANARKIS
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan

masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang
sesegera mungkin harus dihancurkan.
4.5. FEMINISME SOSIALIS

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada
Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan
sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan
suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas,
tanpa pembedaan gender.
Dan lain sebagainya.
V. MENGAPA ADA FEMINISME?
* Herlianto
Gerakan Feminisme lahir dari sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran
terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai
upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari
gerakan pembebasan perempuan.
Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa
pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum
kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh
kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam bidangbidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang

lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional
yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan
kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era
Liberalisme di Eropah dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya
kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung
melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktekpraktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa
banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat
dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang
harus ´tunduk kepada suami!´ dalam Efesus 5:22 dengan menafsirkannya secara harfiah dan
tekstual seakan-akan mempertebal perendahan terhadap kaum perempuan itu.
Efesus 5:22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ";menaikkan derajat kaum
perempuan"; tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi
sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792
Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul ´Vindication of the Right of Woman´ yang
isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahuntahun 1830-40 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan
mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan
ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum
laki-laki.


Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era reformasi dengan
terbitnya buku "The Feminine Mystique"; yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku
ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita
bernama ´National Organization for Woman´ (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian
merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman
berhasil mendorong dikeluarkannya ´Equal Pay Right´ (1963) sehingga kaum perempuan bisa
menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk
pekerjaan yang sama, dan ´Equal Right Act´ (1964) dimana kaum perempuan mempuntyai hak
pilih secara penuh dalam segala bidang.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, soalnya sekalipun sudah ada perbaikanperbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun
1967 dibentuklah ´Student for a Democratic Society´ (SDS) yang mengadakan konvensi nasional
di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul
kelompok ´feminisme radikal´ dengan membentuk ´Women´s Liberation Workshop´ yang lebih
dikenal dengan singkatan ´Women´s Lib.´ Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum
perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama
Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968
kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya ´Miss America Pegeant´ di Atlantic City
yang mereka anggap sebagai ´pelecehan terhadap kaum wanita´ dan ´komersialisasi tubuh
perempuan.´ Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di manamana di seluruh dunia.
Gerakan ini adalah itikad baik kaum perempuan, dan semestianya mendapat dukungan bukan
saja dari kaum perempuan tetapi juga seharusnya dari kaum laki-laki, tetapi mengapa kemudian
banyak kritik diajukan kepada mereka?
5.A. SASARAN KRITIK TERHADAP FEMINISME
Sebenarnya awal bangkitnya gerakan kaum perempuan itu banyak mendapat simpati bukan saja
dari kaum perempuan sendiri tetapi juga dari banyak kaum laki-laki, tetapi perilaku kelompok
feminisme radikal yang bersembunyi di balik "women´s liberation" telah melakukan usaha-usaha
yang lebih radikal yang berbalik mendapat kritikan dan tantangan dari kaum perempuan sendiri
dan lebih-lebih dari kaum laki-laki. Organisasi-organisasi agama kemudian juga menyatakan
sikapnya yang kurang menerima tuntutan "Women´s Lib" itu karena mereka kemudian banyak
mengusulkan pembebasan termasuk pembebasan kaum perempuan dari agama dan moralitasnya
yang mereka anggap sebagai kaku dan buah dari ´agama patriachy´ atau ´agama kaum laki-laki.´
Memang memperjuangkan kesamaan hak dalam memperoleh pekerjaan, gaji yang layak,
perumahan maupun pendidikan harus diperjuangkan, dan bahkan pemberian hak-suara kepada
kaum perempuan juga harus diperjuangkan, tetapi kaum perempuan juga harus sadar bahwa
secara kodrati mereka lebih unggul dalam kehidupan sebagai pemelihara keluarga, itulah
sebabnya adalah salah kaprah kalau kemudian hanya karena kaum perempuan mau bekerja lalu
kaum laki-laki harus tinggal di rumah memelihara anak-anak dan memasak.

Bagaimanapun kehidupan modern, kaum perempuan harus tetap menjadi ibu rumah tangga. Ini
tidak berarti bahwa kaum perempuan harus selalu berada di rumah, ia dapat mengangkat
pembantu atau suster bila penghasilan keluarga cukup dan kepada mereka dapat didelegasikan
beberapa pekerjaan rumah tangga, tetapi sekalipun begitu seorang isteri harus tetap menjadi ibu
rumah tangga yang bertanggung jawab dan rumah tangga tidak dilepaskan begitu saja.
Bila semula gerakan kaum perempuan "feminisme" itu lebih mengarah pada perbaikan nasib
hidup dam kesamaan hak, kelompok radikal "Women´s Lib" telah mendorongnya untuk
mengarah lebih jauh dalam bentuk kebebasan yang tanpa batas dan telah menjadikan feminisme
menjadi suatu "agama baru."
Sebenarnya halangan yang dihadapi ´feminisme´ bukan saja dari luar tetapi dari dalam juga.
Banyak kaum perempuan memang karena tradisi yang terlalu melekat masih lebih senang
´diperlakukan demikian,´ atau bahkan ikut mengembangkan perilaku ´maskulinisme´ dimana
laki-laki dominan Sebagai contoh dalam soal pembebasan kaum perempuan dari ´pelecehan
seksual´ banyak kaum perempuan yang karena dorongan ekonomi atau karena kesenangannya
pamer justru mendorong meluasnya prostitusi dan pornografi. Banyak kaum perempuan memang
ingin cantik dan dipuji kecantikannya melalui gebyar-gebyar pemilihan ´Miss´ ini dan ´Miss" itu,
akibatnya usaha menghentikan yang dianggap ´pelecehan´itu terhalang oleh sikap sebagian kaum
perempuan sendiri yang justru ´senang berbuat begitu.´
Halangan juga datang dari kaum laki-laki. Kita tahu bahwa secara tradisional masyarakat pada
umumnya menempatkan kaum laki-laki sebagai ´penguasa masyarakat,´ (male dominated
society) bahkan masyarakat agama dengan ajaran-ajarannya yang orthodox cenderung
mempertebal perilaku demikian.
Dalam agama-agama sering terjadi ´pelacuran kuil´ dimana banyak gadis-gadis harus mau
menjadi ´pengantin´ para pemimpin agama seperti yang dipraktekkan dalam era modern oleh
´Children of God´ dan ´Kelompok David Koresy´, dan di kalangan Islam fundamentalis banyak
dipraktekkan disamping poligami juga bahwa kaum perempuan dihilangkan identitas rupanya
dengan memakai kerudung sekujur badannya atau bahwa kaum perempuan tidak boleh menjadi
pemimpin yang membawahi laki-laki, dan bukan hanya itu ada kelompok agama di Afrika yang
yang mengharuskan kaum perempuan di sunat hal mana tentu mendatangkan penderitaan yang
tak habis-habisnya bagi kaum perempuan. Di segala bidang jelas kesamaan hak kaum perempuan
sering diartikan oleh kaum laki-laki sebagai pengurangan hak kaum laki-laki, dan kaum
perempuan kemudian menjadi saingan bahkan kemudian ingin menghilangkan dominasi kaum
laki-laki di masyarakat!
Kritikan prinsip yang dilontarkan pada feminisme khususnya yang radikal (Women´s Lib) adalah
bahwa mereka dalam obsesinya kemudian ´mau menghilangkan semua perbedaan yang ada
antara perempuan dan laki-laki.´ Jelas sikap radikal yang mengabaikan perbedaan kodrat antara
kaum perempuan dan laki-laki itu tidak realistis karena faktanya toh berbeda dan menghasilkan
dilema, sebab kalau kaum perempuan dilarang meminta cuti haid karena kaum laki-laki tidak
haid pasti timbul protes, sebaliknya tentu pengusaha akan protes kalau kaum laki-laki
diperbolehkan ikut menikmati ´cuti haid dan hamil´ padahal mereka tidak pernah haid dan tidak
mungkin hamil.

Dalam etika kehidupan-pun, sebagian besar masyarakat kita masih menganggap kaum
perempuan adalah kaum yang lebih lemah. Kita jumpai dalam setiap kejadian emergency,
kebakaran, kecelakaan dan bencana lainnya. Para "team penolong" selalu akan menolong
"women and children" lebih dahulu. Ini sebenarnya didasari atas rasa kemanusiaan saja bukan
atas diskriminasi gender.
Kesalahan fatal feminisme radikal ini kemudian menjadikan laki-laki bukan lagi sebagai mitra
atau partner tetapi sebagai ´saingan´ (rival) bahkan ´musuh ´ (enemy)!´ Sikap feminisme yang
dirusak citranya oleh kelompok radikal sehingga menjadikannya ´sangat eksklusif´ itulah yang
kemudian mendapat kritikan luas.
Kritikan lain juga diajukan adalah karena dalam membela kaum perempuan dari sikap
´pelecehan seksual;´ mereka kemudian ingin melakukan kebebasan seksual tanpa batas, seperti
´Women´s Lib´ mendorong kebebasan seksual sebebas-bebasnya termasuk melakukan
masturbasi, poliandri, hubungan seksual antara orang dewasa dan anak-anak, lesbianisme,
bahkan liberalisasi aborsi dalam setiap tahap kehamilan. Kebebasan ini tidak berhenti disini
karena ada kelompok radikal yang ´menolak peran kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga´
dan menganggap ´perkawinan´ sebagai belenggu. Andrea Dworkin bahkan menganggap
&380361hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tidak beda dengan perkosaan!´.
Dalam hal yang demikian sikap ´Women´s Lib´ sudah melenceng jauh terhadap hubungan
normal cinta-kasih antara laki-laki dan perempuan.
Di kalangan agama Kristen, feminisme itu lebih lanjut mempengaruhi beberapa teologperempuan yang menghasilkan usulan agar sejarah Yesus yang sering disebut sebagai ´History´
diganti dengan ´Herstory´ dan lebih radikal lagi agar semua kata ´Bapa´ untuk menyebut Allah
dalam Alkitab harus diganti dengan kata ´Ibu.´ Ibadah dan pengakuan iman (Credo) tidak lagi
menyebut ´Allah Bapa tetapi Allah Ibu´ atau the ´Mother Goddess,´ bahkan lambang salib perlu
diganti dengan meletakkan tanda O (bulatan) tepat diatas lambang salib Kristus sehingga
menjadi lambang kaum perempuan.
Kita sekarang menghadapi era informasi dimana kedudukan kaum perempuan dibanyak segi bisa
lebih unggul dari kedudukan kaum laki-laki. Dalam hal dimana kedudukan isteri lebih baik
daripada suami memang keadaanya bisa sukar dipecahkan, tetapi keluarga Kristen tentunya
harus memikirkan dengan serius pentingnya peran ibu rumah tangga demi menjaga
kelangsungan keturunan yang ´takut akan Tuhan´ (Maz.78:1-8), dan disinilah pengorbanan
seorang ibu perlu dipuji. Dalam hal seorang ibu berkorban untuk mendahulukan keluarga
sehingga bagi mereka karier dinomor duakan atau dijabat dengan ´paruh waktu´ lebih-lebih
selama anak-anak masih kecil, seharusnya para suami bisa lebih toleran menjadi ´penolong´ bagi
isteri dalam tugas ini.
Sungguh sangat disayangkan bahwa banyak tokoh-tokoh perempuan sendiri tidak mengakui
"pekerjaan ibu rumah tangga sebagai profesi" dan menganggapnya lebih inferior daripada
misalnya pekerjaan sebagai dokter, pengacara atau pengusaha, dalam sikap ini kita dapat melihat
sampai dimana kuku feminisme radikal sudah pelan-pelan menusuk daging.

Pernah ketika ada kunjungan Gorbachev, presiden Rusia waktu itu, yang berkunjung ke Amerika
Serikat, isterinya "Raisa" bersama "Barbara", isteri presiden Amerika Serikat George Bush Sr. ,
diundang untuk berbicara disuatu "Universitas perempuan yang terkenal." Ketika keduanya
berbicara, sekelompok perempuan yang bergabung dengan "women"s lib" meneriakkan yel-yel
bahkan membawa poster yang mencemooh mereka karena mereka hanya menjadi ibu rumah
tangga yang tidak bisa mempunyai karier sendiri. Bahkan, beberapa profesor perempuan
menolak hadir karena merasa direndahkan bila mendengar pembicara perempuan yang hanya
seorang ibu rumah tangga. Pembawa Acara, menanggapi kritikan-kritikan itu kemudian
berkomentar bahwa "memang keduanya adalah ibu rumah tangga, tetapi karena dampingan
keduanya, dua orang paling berkuasa di dunia dapat menciptakan kedamaian di dunia, suatu
profesi luhur yang tiada taranya!"
5.B.SEBUAH INTROSPEKSI
Dibalik kritikan yang ditujukan terhadap "Women"s Lib" khususnya dan "Feminisme"
umumnya, kita perlu melakukan introspeksi karena sebenarnya "feminisme" itu timbul sebagai
reaksi atas sikap kaum laki-laki yang cenderung dominan dan merendahkan kaum perempuan.
Ini terjadi bukan saja di kalangan umum tetapi lebih-lebih di kalangan yang meng "atas
namakan" agama memang sering berperilaku menekan kepada kaum perempuan.
Dalam menyikapi "feminisme" sebagai suatu gerakan, kita harus berhati-hati untuk tidak
menolaknya secara total, sebab sebagai "gerakan persamaan hak" harus disadari bahwa usaha
gerakan itu baik dan harus didukung bahkan diusahakan oleh kaum-laki-laki yang dianggap
bertanggung jawab atas kepincangan sosial-ekonomi-hukum-politis di masyarakat itu khususnya
yang menyangkut gender. Yang perlu diwaspadai adalah bila feminisme itu mengambil bentuk
radikal melewati batas kodrati sebagai "gerakan pembebasan kaum perempuan" seperti yang
secara fanatik diperjuangkan oleh "Women"s Lib."
Bagi umat Kristen, baik umat yang tergolong kaum perempuan maupun kaum-laki-laki,
keberadaan "sejarah Alkitab" harus diterima sebagai "History" dan data-data para patriach (bapabapa Gereja) tidak perlu diubah karena masa primitif dan agraris memang mendorong terjadinya
dominasi kaum laki-laki, tetapi sejak masa industri lebih-lebih masa informasi, kehadiran peran
kaum perempuan memang diperlukan dalam masyarakat selain peran mereka yang terpuji dalam
rumah tangga dan Alkitab tidak menghalanginya. Tetapi sekalipun begitu, Alkitab dengan jelas
menyebutkan adanya perbedaan kodrati dalam penciptaan kaum laki-laki dan kaum perempuan.
Kaum laki-laki memang diberi perlengkapan otot yang lebih kuat dan daya juang yang lebih
besar, tetapi kaum perempuan diberi tugas sebagai "penolong" yang sejodoh yang sekaligus
menjadi ibu anak-anak yang dilahirkan dari rahimnya.
Kita harus sadar bahwa arti "penolong" bukanlah berarti "budak" tetapi sebagai "mitra" atau
"tulang rusuk yang melengkapi tubuh." Kesamaan hak harus dilihat dalam rangka tidak
melanggar kodrat manusia. Kita harus sadar bahwa kotbah-kotbah yang sering menyalahgunakan
ayat-ayat Efesus fasal 5 tentang "hubungan suami dan isteri" (yang juga dilakukan oleh banyak
penginjil perempuan) harus diletakkan dalam konteks bahwa "suami harus mengasihi isterinya"
(Efs.5:25). Tunduk dalam ayat-22 bukan sembarang tunduk (seperti kepada penjajah atau
majikan) tetapi seperti kepada Tuhan (Kristus), dan "kasih" bukanlah sekedar cinta tetapi dalam

pengertian "kasih Kristus" yang "rela berkorban demi jemaat" (Efs.5:25) dan seperti "laki-laki
mengasihi" dirinya sendiri" (Efs.5:33). Tentu kita sadar bahwa "berkorban" itu jauh lebih besar
dan sulit dilakukan daripada "tuntuk" bukan?
Gerakan feminisme sudah berada di tengah-tengah kita, peran kaum perempuan yang cenderung
dimarginalkan dalam masyarakat "patriachy" sekarang sudah mulai menunjukkan ototnya.
Semua perlu terbuka akan kritik kaum perempuan yang dikenal sebagai penganut "feminisme"
tetapi feminisme harus pula mendengarkan kritikan dari kaum perempuan sendiri maupun kaum
laki-laki agar "persamaan" (equality) tidak kemudian menjurus pada "kebebasan" (liberation)
yang tidak bertanggung jawab.
* Diambil dari tulisan Bp. Herlianto/ Yabina

KAJIAN AWAL TENTANG TEORI-TEORI GENDER
Oleh: Marzuki (PKn dan Hukum FISE UNY)
Abstract
Gender is a characteristic used as the basis for identifying the differences between
men and women in terms of social and cultural conditions, values and behavior,
mentality, emotions, and other nonbiologis factors. To understand and resolve the
issue of gender, we can study various theories of gender. Gender theories adopted
many of the theories of sociology and psychology. Among of gender theories is the
Structural-Functional Theory, Social-Conflict Theory, Theory of Liberal Feminism,
Theory of Marxist-Socialist Feminism, Theory of Radical Feminism, Ekofeminisme
Theory, and Theory of Psychoanalysis.
Kata Kunci: Gender, Feminisme, dan Teori-teori Gender.
Pendahuluan
Persoalan gender bukanlah persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum,
keagamaan, maupun yang lainnya. Namun demikian, kajian tentang gender masih
tetap aktual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat khususnya di
Indonesia yang belum memahami persoalan ini dan masih banyak terjadi berbagai
ketimpangan dalam penerapan gender sehingga memunculkan terjadinya
ketidakadilan gender.
Memahami persoalan gender bukanlah hal yang mudah, tetapi diperlukan

berbagai kajian yang bisa mengantarkan pada pemahaman yang benar tetang
gender.
Kajian-kajian yang sering digunakan untuk memahami persoalan gender adalah
kajian-kajian dalam ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi. Dari berbagai kajian sosial
inilah muncul berbagai teori sosial yang kemudian dijadikan sebagai teori-teori
gender atau sering juga disebut teori-teori feminisme. Sebenarnya masih banyak
lagi
kajian yang bisa digunakan untuk mendekati persoalan gender di samping kajian2
kajian sosial, misalnya kajian antropologis dan kajian psikologis, kajian ekonomis,
meskipun tidak sedominan kajian-kajian sosial.
Tulisan singkat ini mencoba memaparkan beberapa teori gender yang dibangun
berdasarkan teori-teori yang berkembang dalam sosiologi dan psikologi. Tulisan ini
diharapkan memberi penjelasan awal tentang berbagai teori gender yang dapat
dijadikan sebagai dasar untuk melakukan analisis gender terhadap berbagai
persoalan
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Teori-teori ini juga diharapkan dapat
mendasari para pengkaji dan para pengambil kebijakan dalam persoalan gender
untuk memecahkan persoalan ketimpangan gender yang masih terus muncul di
tengah-tengah kehidupan kita di Indonesia. Sebelum dibahas teori-teori gender, ada
baiknya dibahas dulu pengertian gender.
Pengertian Gender
Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin ( sex ), padahal gender berbeda
dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan
atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis
kata
‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (John M. Echols dan
Hassan Shadily, 1983: 265). Kata ‘gender’ bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang

tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku (Victoria
Neufeldt (ed.), 1984: 561).
Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain
tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah
pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine
Showalter (ed.), 1989: 3). Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang
3
dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 34). Lebih
tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah
suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas,
dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam
masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4).
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat
yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas,
dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex ,
meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex , yaitu jenis kelamin
(John
M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis,
sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan
aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada
perkembangan
aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang
perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek

maskulinitas dan femininitas seseorang.
Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi
melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti
kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses
yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan
Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat
diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan
gender di tengah-tengah masyarakat.
4
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan
dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat
menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor
publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan
kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas,
hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak
secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan
menjadi apa nantinya.
Teori-teori Gender
Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender.
Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari
teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait
dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan
kejiwaan.
Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak
diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang
dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan

masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja
yang
dianggap penting dan cukup populer.
1. Teori Struktural-Fungsional
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang
diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa
suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini
mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat,
mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur5
unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini
dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn
dan Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56).
Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam
kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur
masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang
dalam
struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada
anggota yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau
bendahara, dan ada yang menjadi anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan
untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan
fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya,
norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Ratna Megawangi, 1999:
56).
Terkait dengan peran gender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra
industri yang terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai

pemburu ( hunter ) dan perempuan sebagai peramu ( gatherer ). Sebagai pemburu,
lakilaki lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa
makanan kepada keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dalam
urusan reproduksi, seperti mengandung, memelihara, dan menyusui anak.
Pembagian
kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan
kelangsungan
masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi peran gender sangat
ditentukan oleh sex (jenis kelamin).
Menurut para penganutnya, teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan
dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian
6
peran secara seksual adalah suatu yang wajar (Nasaruddin Umar, 1999: 53).
Dengan
pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik.
Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem keutuhan
keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila
tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula.
Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena
dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis
kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan
dalam urusan domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby
teori ini akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey
menilai teori ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam stratifikasi gender di
tengah-tengah masyarakat (Nasaruddin Umar, 1999: 53).
Meskipun teori ini banyak memeroleh kritikan dan kecaman, teori ini masih
tetap bertahan terutama karena didukung oleh masyarakat industri yang cenderung

tetap memertahankan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek
produktivitas. Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak
lebih dari sekedar alat produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung
diabaikan. Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat
diterima secara wajar. Yang juga memerkuat pemberlakuan teori ini adalah karena
masyarakat modern-kapitalis, menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman
(Nasaruddin Umar, 1999: 60), cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja
berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih
rendah dan dalam posisi marginal, sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan
menduduki
posisi sentral.
7
2. Teori Sosial-Konflik
Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat,
terutama dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri,
menurutnya, akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan
sekelompok orang menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan
pertentangan antar individu pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu
organisasi atau masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 76).
Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori
Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian
dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan
dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh
perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa
dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan laki-lakiperempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis,
hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan

peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena
konstruksi masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx
seperti F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins.
Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori
diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari
teori
struktural-fungsional, yaitu: 1) walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik
yang sistemik, pola relasi yang ada sebenarnya penuh dengan kepentingankepentingan pribadi atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa sistem
sosial secara sistematis menghasilkan konflik; 2) maka konflik adalah suatu yang
8
takterhindarkan dalam semua sistem sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek
pendistribusian sumber daya yang terbatas, terutama kekuasaan; dan 4) konflik
adalah sumber utama terjadinya perubahan dalam masyarakat (Ratna Megawangi,
1999: 81).
Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol
laki-laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya
subordinasi
perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas
perempuan adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan
status perempuan mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi
perdagangan
(Nasaruddin Umar, 1999: 62).
Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis
dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik
yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi
relasi
sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap

konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis
Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender
adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality
(kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender,
yaitu
dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang
menciptakannya (Ratna Megawangi, 1999: 91.
Teori sosial-konflik ini juga mendapat kritik dari sejumlah pakar, terutama
karena teori ini terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan
yang
selanjutnya melahirkan konflik. Dahrendorf dan R. Collins, yang tidak sepenuhnya
setuju dengan Marx dan Engels, menganggap konflik tidak hanya terjadi karena
9
perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga
disebabkan
oleh beberapa faktor lain, termasuk ketegangan antara orang tua dan anak, suami
dan
isteri, senior dan yunior, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya (Nasaruddin
Umar, 1999: 64). Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh para feminis
modern yang kemudian banyak memunculkan teori-teori baru mengenai feminisme,
seperti feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan feminisme radikal.
3. Teori Feminisme Liberal
Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan
laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara
menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada
pembedaan ( distinction ) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga,
fungsi

organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan
bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228).
Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme.
Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam
semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi
suatu
kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan
penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.
4. Teori Feminisme Marxis-Sosialis
Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai
kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang
menimbulkan kelas-kelas dan division of labour , termasuk di dalam keluarga.
10
Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran
pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan
‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk
membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan
(Ratna Megawangi, 1999: 225). Berbeda dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak
terlalu menekankan pada faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi
sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan
gender dalam kerangka dasar ideologinya.
Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan
domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan
domistik. Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif.
Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung
pada produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya
makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain yang

memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan
kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh
kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat
memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor
domistik yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143).
5. Teori Feminisme Radikal
Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan
1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis,
teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan
sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi
dominasi
11
laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung
membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri,
bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow
mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi
laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat
bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri (Ratna
Megawangi, 1999: 226).
Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari
kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal
tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan
perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak
terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak
bisa lepas dari beban ini.
6. Teori Ekofeminisme
Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan

ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak
belakang dengan tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminisme
modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari
pengaruh
lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori
ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk
yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189).
Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia
maskulin yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan
kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk
12
dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan ke dunia
maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern semakin
dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Akibatnya, yang terlihat adalah kompetisi,
self-centered , dominasi, dan eksploitasi. Contoh nyata dari cerminan memudarnya
kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan) dalam masyarakat adalah
semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial,
dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya (Ratna
Megawangi, 1999: 183).
7. Teori Psikoanalisa
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori
ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak
awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian
seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku
seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai
pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang
memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup

rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id . Ego berusaha
mengatur
hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial.
Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu
mengingatkan
ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999:
46).
Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak
dapat dirubah. Pada tahap phallic stage , yaitu tahap seorang anak memeroleh
kesenangan pada saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak
13
memeroleh kesenangan erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak
perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak lakilaki
dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi sosial
berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan (Nasaruddin
Umar, 1999: 41).
Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan
terhadap ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat
ayahnya sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut
ancaman dari ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan
menjadikannya sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat
dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan
dan merasa sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan
menjadikan ibunya sebagai objek irihati.
Pendapat Freud ini mendapat protes keras dari kaum feminis, terutama karena
Freud mengungkapkan kekurangan alat kelamin perempuan tanpa rasa malu. Teori

psikoanalisa Freud sudah banyak yang didramatisasi kalangan feminis. Freud sendiri
menganggap kalau pendapatnya masih tentatif dan masih terbuka untuk dikritik.
Freud tidak sama sekali menyudutkan kaum perempuan. Teorinya lebih banyak
didasarkan pada hasil penelitiannya secara ilmiah. Untuk itu teori Freud ini justeru
dapat dijadikan pi