T2 752013004 BAB III
BAB III
PANDANGAN MASYARAKAT NEGERI RUMAHTIGA TENTANG
KEBERSAMAAN FALSAFAH SAGU SALEMPENG PATAH DUA PASCA
KONFLIK 1999
A. Pendahuluan
Bagi orang Maluku, pohon sagu merupakan identitas orang Maluku.
Pohon sagu tersebut menghasilkan banyak fungsi, yakni: (a) daun sagu dijadikan
sebagai atap rumah dan wadah, (b) dahan pohon sagu dijadikan sebagai dinding
rumah (gaba-gaba), (c) batang pohon sagu diolah untuk sagu yang merupakan
makanan tradisional Maluku.
Sagu salempeng patah dua merupakan sebuah bentuk kearifan lokal
dari masyarakat Maluku yang hadir di tengah-tengah kehidupan orang Maluku
sejak zaman dulu hingga saat ini, menurut cerita yang berkembang di
masyarakat, awalnya falsafah sagu salempeng pata dua ini muncul adalah dari
kebiasaan nenek moyang orang Maluku yang dulunya hidup dalam kesusahan,
dan pada waktu itu sagu merupakan makanan pokok orang Maluku. Ketika
setiap kali makan bersama dalam sebuah keluarga, sagu merupakan salah satu
makanan yang sering disediakan di atas meja. Setelah disediakan kemudian sagu
tersebut harus dipatahkan untuk dibagikan kepada yang lain untuk dimakan
bersama. Ketika selesai proses pembakaran, sagu yang sudah masak itu akan
saling menyatu ujung-ujungnya antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu
harus dipatahkan untuk memisahkan satu per satu. Dari kebiasaan-kebiasaan
33
yang dilakukan oleh para leluhur itulah yang membuat timbulnya falsafah sagu
salempeng patah dua.1
Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk membina tatanan hidup
orang bersaudara yang saling menyayangi dan mempedulikan antara satu dengan
yang lainnya. Selain itu, hal ini dilakukan agar kehidupan mereka tetap harmonis
dan saling berbagi juga saling menolong. Seiring berjalannya waktu, falsafah ini
kemudian menjadi kebiasaan yang dimaknai sebagai salah satu identitas orang
Maluku secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Sagu salempeng patah dua merupakan salah satu falsafah orang Maluku
yang dapat diartikan sebagai berikut: (a) Sagu adalah salah satu makanan pokok
yang berasal dari sari pati pohon sagu yang menjadi konsumsi masyarakat
Maluku dan dapat diartikan sebagai simbol eksistensi kita sebagai orang
Maluku. (b) Salempeng adalah satu buah. (c) Patah Dua adalah di bagi menjadi
dua bagian. Ungkapan sagu salempeng patah dua bukan sekedar sebuah
“tautologis” (permainan kata) tetapi merupakan impresi atau “pernyataan hidup”
tentang arti kehidupan beragama dan bermasyarkat yang sesungguhnya.
Kenyataan eksistensial tentang hidup basudara itu, bukan sekedar peristiwa
sosiologis atau kultural (socio-cultural) saja, tetapi justru sebuah “peristiwa
theologis” yang sangat mendasar.2
Sagu merupakan makanan pokok masyarakat Maluku. Dalam kehidupan
sehari-hari, sagu menjadi kebutuhan yang sangat besar bagi masyarakat Maluku.
1
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 november 2014.
Aholiab Watloly, Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak negeri,
(Yogjakarta: Kanisius, 2005), 145.
2
34
Dengan demikian, sagu salempeng patah dua menjadi filosofi mendalam bagi
masyarakat Maluku. Mengapa? Karena sagu adalah simbol kehidupan bagi
masyarakat Maluku dan salempeng patah dua (sikap hidup berbagi) merupakan
bagian integral dalam kehidupan masyarakat Maluku. Dengan kata lain,
masyarakat Maluku harus hidup dengan tidak mementingkan kepentingan
pribadi dan
mempedulikan orang lain. Hal ini disebabkan karena sagu
salempeng patah dua megajarkan makna kehidupan yang rukun, saling
menyayangi satu dengan yang lain, dan saling menghargai satu dengan yang
lain.3
Lebih lanjut bapak E.M menjelaskan pemaknaan sagu salempeng patah
dua adalah merujuk pada adanya krisis hidup (lapar) yang dialami bersama,
tetapi hal tersebut tidak mengakibatkan pada pudarnya nilai-nilai kasih
(berbagi), malah sebaliknya dalam menghadapi krisis itu masyarakat Maluku
lebih mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan
pribadi, hal tersebut diwujudkan lewat sikap saling berbagi (sagu salempeng
patah dua), agar semua orang dapat sejahtera dan hidup dalam rasa saling
mempedulikan antar sesama. Artinya bahwa kehidupan yang rela berbagi
dengan sesama di Maluku masih ada ketika orang tidak memikirkan perutnya
saja tetapi malah sebaliknya lebih mementingkan kebersamaan yang terjalin.
Maluku memaknai sagu salempeng patah dua bukan hanya dalam lingkup
keluarga, tapi juga dalam lingkup masyarakat yang luas. Hal ini dikarenakan
3
Hasil wawancara dengan Bpk. E. M., pada 12 Desember 2014.
35
Maluku merupakan daerah yang majemuk, baik dari sisi agama, budaya maupun
adat-istiadat yang dijadikan sebagai identitas masyarakat.4
Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua mempunyai makna dan nilai yang
sangat mendalam yaitu nilai persatuan, persaudaraan, serta rasa saling berbagi
antara satu dengan yang lainnya. Lewat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,
masyarakat Maluku dapat membina kehidupan yang lebih harmonis dalam
bingkai persatuan dan persaudaraan. 5
Negeri Rumahtiga merupakan salah satu daerah di Maluku (Pulau
Ambon) yang juga mempraktekan falsafah sagu salempeng patah dua. Falsafah
sagu salempeng patah dua telah hadir dalam kehidupan masyarakat Negeri
Rumahtiga sejak dulu, diakui bahwa falsafah ini sangat membantu untuk
menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat Negeri Rumahtiga.6
Namun seiring berjalannya waktu, falsafah ini mulai mengalami pergeseran
makna yang mengakibatkan ketidakharmonisan dalam hubungan antar
masyarakat.7 Hal tersebut terjadi tidak dengan sendirinya melainkan ada
beberapa faktor yang turut mempengaruhi pergeseran nilai dan makna dari
falsafah ini, di antarnya kurang adanya pengetahuan tentang sejarah adatistiadat, pengaruh modernisasi yang berdampak pada sifat individualisme,
pembauran etnik serta konflik kemanusiaan yang terjadi sejak tahun 1999.8
Konflik pada saat itu merupakan ancaman terbesar bagi keharmonisan dan
persaudaraan warga Negeri Rumahtiga yang pada umumnya beragama Islam dan
4
Ibid.
Ibid.
6
Hasil wawancara dengan Ibu. N. D. dan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
7
Hasil wawancara dengan Bpk. E. M., pada 12 Desember 2014.
8
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
5
36
Kristen. Sagu salempeng patah dua seakan tidak mampu mengembalikan situasi
kota Ambon terkhususnya Negeri Rumahtiga pada saat itu, di mana
kekhawatiran dan rasa takut yang besar setiap waktunya meliputi kehidupan
warga Negeri Rumahtiga yang berdampak pada hilangnya rasa percaya antara
warga Muslim dan Kristen sehingga mereka melarikan diri ke tempat-tempat
yang dianggap aman dan jauh dari bahaya konflik.9
Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan pandangan orang Negeri
Rumahtiga tentang kebersamaan dalam falsafah sagu salempeng patah dua
pasca konflik 1999 berdasarkan hasil informasi yang penulis peroleh selama
penelitian yang dilakukan di Negeri Rumahtiga. Sekedar untuk diketahui, ketika
penulis melakukan proses penelitian di Negeri Rumahtiga ada terjadi konflik di
dalam internal pemerintahan Negeri sehingga data yang didapatkan merupakan
hasil wawancara, ada juga yang bersumber dari data statistik pemerintah serta
beberapa sumber dari internet.
9
Hasil wawancara dengan Bpk. Z. W., pada 30 November 2014.
37
B. Gambar Umum Negeri Rumahtiga
1. Konteks Sejarah Rumahtiga
Sejarah sebagai teropong kehidupan komunitas di Maluku sulit
direkonstruksi oleh sebab beberapa alasan antara lain: [a]. cerita sejarah asalusul dijadikan sebagai cerita sakral yang tidak boleh diceritakan secara
„sembarangan‟. Sebab itu hanya orang tertentu yang mengetahui detailnya.
Ketika berkembang dari waktu ke waktu, dari satu orang ke keturunan
berikutnya, separuh dari penggalan-penggalan sejarah telah hilang. Akibatnya
tidak ada lagi suatu gambaran detail karena bergantung pada memoria atau daya
ingat seseorang; [b]. sumber sejarah tertulis cukup langka; [c]. cerita sejarah
sering dijadikan bahan propaganda suatu kelompok atau sub-suku, atau soa,
sehingga menimbulkan beragam versi dan cara memahami sejarah suatu negeri.
Ini terjadi di beberapa negeri adat di Maluku termasuk di Rumahtiga.
Asal mula Negeri Rumahtiga berawal dari perpisahan tiga orang
bersaudara, yakni Tomu, Semang dan Hunihua, di Pari yang sekarang dikenal
dengan sebutan Hatu Parinusa. Alasan-alasan perpisahan mereka sulit
ditentukan. Tetapi yang bisa diduga ialah karena lokasi tempat kediaman di Pari
tidak lagi memadai untuk menampung keturunan mereka yang bertambah setiap
waktu. Tomu sebagai kakak laki-laki yang tertua memilih pergi ke Hitu Mesing,
atau tepatnya di daerah Amarata. Semang, juga saudara laki-laki, pergi ke Wakal
atau tepatnya di daerah Kramat, dan Hunihua, saudara perempuan bungsu, pergi
38
ke Karang Pari, tidak jauh dari Hatu Parinusa, dan Hunihua-lah yang
menurunkan turunan di Rumahtiga.10
Di Karang Pari terdapat 128 pengikut dan 40 budak, mereka hidup dari
sagu dan sageru. Karang Pari dipimpin oleh Laonelo (1600). Di sini orang
Hukunalo sudah bersentuhan dengan pengaruh Katolik yang dibawa oleh orangorang Portugis. Malah dalam sejarah diusirnya orang Portugis dari Hitu, orang
Hukunalo yang berperan mengantar mereka untuk selanjutnya mendiami Hative
dan dari sana menyeberang ke seberang lautan untuk mendirikan Benteng (New
Victoria). Dari perjumpaan dengan orang Portugis itu, orang Hukunalo
mengenal injil. Terjadi beberapa perubahan mendasar kala itu di kalangan orang
Hukunalo. Salah satunya adalah baptisan yang dilayankan kepada Latu Oetoe.
Dari peristiwa baptisan itu, tidak dapat dipungkiri bahwa orang Hukunalo
kemudian menjadi salah satu pemeluk agama Katolik bersama dengan orangorang di Hative.11
Pada masa pemerintahan gubernur Herman Spulsz (1640), karena misi
keagamaan, masyarakat Karang Pari diperintahkan turun ke Hukunalo. Saat itu,
Hukunalo dipimpin oleh Hete Latukao dengan jabatan kepala kampung.
Keturunan Laonelo yang ikut turun adalah Matheus, Pieter dan Tutuhory
(mereka bertiga selanjutnya disebut Mendes). Ketika bergabung di Hukunalo
mereka membangun tiga barak yang disebut Belanda sebagai Drei Huizen
(Luma Telu/Rumah Tiga). Pada waktu itu Poka juga ikut bergabung bersama
10
http//negerirumahtiga.blogspot.com/p/sejarah-negeri-rumahtiga.html, diunduh pada
25 November 2014.
11
Ibid.
39
Karang Pari di Hukunalo. Mereka berembuk untuk memberikan nama pada
tempat itu dan sepakat menamainya Negeri Rumahtiga.12
Terbentuknya Negeri Rumahtiga ini sekitar tahun 1663 – 1664. Negeri
Rumahtiga akhirnya merupakan negeri kelima yang terbentuk di Uli Lisawane,
yang terdiri dari Wakal, Eli, Pelisa, Senalo, Hukunalo (Rumahtiga) dan dipimpin
oleh Wakal. Masyarakat menuju rumah Matheus dan memintanya menjadi
pemimpin, karena dia merupakan orang kaya di situ. Matheus memiliki jabatan
“The Orang Kaya Matheus Drei Huzein of Hukunalo”. Matheus Mendes
memiliki tiga orang anak yaitu Christian Mendes, Johana Mendes, dan Kalasina
Mendes. Setelah masa kepemimipinan Matheus Mendes berakhir, dia digantikan
oleh anaknya, Christian Mendes. Christian Mendes akhirnya menikah denngan
Maria Kastanja dan hijrah ke Hatalai. Johana Mendes meninggal dan tidak
mempunyai ketururnan. Kemudian kepemimpinan Christian Mendes digantikan
oleh Marcus da Costa yang merupakan suami dari Kalasina Mendes.13
Kepemimpinan Marcus da Costa selanjutnya digantikan oleh Elifas da
Costa. Elifas da Costa merupakan orang kaya terakhir yang memimpin Negeri
Rumahtiga. Sekitar tahun 1800an negeri Rumahtiga dipimpin oleh seorang raja
yaitu Pieter Fredrick Theodorus da Costa. Kemudian pada akhir tahun 1800 –
masuk tahun 1900 pemerintahan diganti dengan Wellem da Costa. Setelah
pemerintahan Wellem da Costa, pemerintahan mengalami kekosongan
disebabkan banyak keturunan da Costa pergi menuntut ilmu di Pulau Jawa.14
12
Ibid.
Ibid.
14
Ibid.
13
40
Kemudian untuk menutupi kekosongan, diangkat tiga orang yang diberi
gelar Wijk Master (Kepala Dusun). Wijk Master Persulessy memimpin di Wijk
Pohon Mangga, Wijk Master Enos Hendriks memimpin di Wijk Kusu-kusu,
sedangakan Wijk Master Andreas Saimima memimpin di Wijk Pantai. Pada
tahun 1920 pemerintahan Negeri Rumahtiga dipimpin kembali oleh seorang raja
yaitu Ishak Theodorus Tita. Dia merupakan anak (arken15) dari Wijk Master
Andreas Saimima.16
Pada tahun 1930 – 1957, masa peralihan dari Belanda ke Jepang,
pemerintahan dipegang oleh Rachel Tita atau dikenal dengan nama Nona Raja.
Waktu Nona Raja sakit terjadi kekosongan kekuasaan. Untuk menyelamatkan
pemerintahan diangkat Willem Hatulesila (1957 – 1958) sebagai pejabat
sementara. Kemudian posisi pejabat digantikan oleh Alexander David Tita yang
memimpin tidak sampai satu tahun. Setelah itu, Bupati Chris Kainama
mendefenitifkan Josephus Tita (1980 – 1996) sebagai Raja Negeri Rumahtiga
yang memerintah selama dua periode.17
Kemudian sejalan dengan keputusan peraturan pemerintah yang
dikeluarkan, maka status pemerintahan Negeri diubah menjadi pemerintahan
Desa. Pada waktu itu pemerintahan di pegang oleh Ferdinand Tita (1996–2000).
Yang pada waktu itu pun terjadi tragedi kemanusiaan di Maluku yang
mengakibatkan situasi pemerintahan kacau. Dalam situasi yang demikian, beliau
tetap memimpin walaupun masa pemerintahannya telah berakhir. Pada tahun
2008, Ricky Sopacua ditunjuk oleh Walikota Ambon sebagai Pejabat sementara
15
Pengalihan dari satu marga ke marga yang lain.
Ibid.
17
Ibid.
16
41
bersamaan dengan diubah kembali status Desa menjadi Negeri sesuai dengan
keputusan Peraturan Daerah. Pada akhir tahun 2009 telah terpilih Pejabat Negeri
Rumahtiga yang baru yaitu Samuel Hendriks dan beliau dilantik pada tanggal 12
Mei 2010 dan salah satu tugasnya untuk mempersiapkan proses pemilihan Raja
Negeri Rumahtiga yang defenitif.18
2. Letak Geografis dan Sejarah Awal Negeri Rumahtiga
Negeri adat Rumahtiga secara geografis berkedudukan sebagai berikut:19
Sebelah Utara berbatasan dengan Negeri Wakal dan Hitumessing
Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Dalam dan Teluk Ambon
Sebelah Timur berbatasan dengan Hunuth-Durian Patah, petuanan
Negeri Halong
Sebelah Barat berbatasan dengan negeri Hative Besar dan Wayame
Masyarakat Rumahtiga adalah komunitas adat di Pulau Ambon yang
secara kultural termasuk dalam Uli Lisawane bersama negeri adat seperti Wakal,
Eli, Pelisa, Senalo, Hukunalo (Rumahtiga) dan dipimpin oleh Wakal yang
sekaligus adalah gandong dari Rumahtiga.20
Sebagai suatu negeri adat, masyarakat Rumahtiga terhimpun dalam tiga
soa besar yakni: Soa Pari, yang terdiri dari marga da Costa (sebagai kepala soa)
bersama dengan marga Limba, Huwae, Talahatu dan Hatumeseng, Soa
Hukunalo, yang terdiri dari marga Tita (sebagai kepala soa) bersama marga
18
Ibid.
Pemerintah Negeri Rumahtiga, 2014.
20
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
19
42
Saimima, dan Soa Haubaga, yang terdiri dari marga Hatulesila (sebagai kepala
soa), bersama dengan marga Parera, Pettipeilohy dan Narua. Kelompok marga
da Costa, Tita dan Hatulesila diyakini sebagai kelompok masyarakat asli
Rumahtiga yang sejarahnya telah dituturkan pada bagian awal Bab ini.
Sedangkan marga lain seperti Limba, Talahatu, Persulessy, Mataheru, Huwae,
Saimima, merupakan marga-marga yang juga memiliki sejarah keleluhuran
tersendiri di Rumahtiga dan diyakini pula sebagai penduduk asli Rumahtiga.21
Para penduduk asli ini menempati wilayah-wilayah adatis dalam teritori
negeri Rumahtiga antara lain di wijk-wijk yang sekarang lebih dikenal dengan
nama daerah Pohon Mangga, Kusu-kusu dan Rumahtiga Pantai. Seiring dengan
perkembangan penduduk asli ini, sebagian dari mereka mulai membuka daerah
sekitar Wailela, Kota Mahu dan Srisa Ueng (Blimbing Ueng) untuk sebagai
tempat permukiman baru. Negeri Rumahtiga pun berkembang dan kawasan
permukiman baru itu kini lebih dikenal dengan nama Wailela.22
Penduduk asli ini yang kemudian menjadi penganut agama Kristen. Dari
sejarahnya, mereka semula adalah orang-orang Katolik, yaitu komunitas orang
Hukunalo yang bergaul erat dengan Portugis semasa Portugis diusir dari Hitu
dan menyebar ke Leitimor dan mendirikan benteng pertahanan (New Victoria).
Jejak Katolisisme agak sulit ditemui di Rumahtiga. Kecuali itu, fakta adanya
sebagian jemaat Parokhi Katolik di Rumahtiga dewasa ini adalah perkembangan
baru seiring dengan pembauran sosial akibat berdirinya Universitas Pattimura.23
21
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
Ibid.
23
Ibid.
22
43
3. Konteks Pembauran Sosial di Rumahtiga:
a. Pembauran Sosial Masyarakat Rumahtiga
Jemaat Rumahtiga yang homogen ternyata sudah lama hidup bersama
dengan komunitas sub-etnis lain. Dalam sejarahnya, orang-orang Hukunalo yang
kemudian turun dari Hatu Parinusa menetap di daerah yang kini menjadi negeri
Rumahtiga. Orang-orang dari Seram, dalam hal ini moyang dari marga Tita
merupakan salah satu kelompok sub-etnik (Alune) yang menempati Rumahtiga
dan menjadi salah satu penduduk asli negeri itu. Nama da Costa adalah nama
Portugis yang diperkirakan ada di Rumahtiga karena perkawinan dengan
penduduk setempat. Selain itu marga Limba, merupakan marga lain yang datang
ke Rumahtiga dan diperkirakan dari Bali pada saat ekspansi Majapahit, jadi
sudah ada jauh lebih awal sebelum masuknya Portugis dan Belanda. Mereka
kemudian menyebar ke Toraja.24
Tentang orang-orang Buano di Rumahtiga tidak ada lagi penanggalan
yang jelas. Tetapi beberapa fakta sejarah menunjukkan bahwa komunitas orang
Buano sudah ada di Rumahtiga dan bukti situs Mesjidnya masih ada hingga kini,
yakni di Wijk Kusu-kusu. Komunitas Buano diperkirakan datang di zaman
Portugis. Rupanya mereka menjadi pekerja untuk membangun Benteng di tepi
teluk Ambon. Di masa Belanda, orang-orang Lease yang diambil sebagai
pendayung armada Hongi turut dimukimkan berdekatan dengan orang Buano di
Rumahtiga.25
24
25
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
Ibid.
44
Sejarah dengan orang Buano cukup tragis. Perang antara orang Hukunalo
atau orang Rumahtiga dengan Buano terjadi secara besar-besaran, dan
mengakibatkan orang-orang Buano keluar meninggalkan negeri Rumahtiga.
Peperangan ini terjadi karena orang-orang Buano yang adalah pekerja benteng
teluk Ambon bertengkar dengan orang-orang Lease yang adalah pendayung
armada hongi yang pada saat itu sedang bermukim di Rumahtiga, pertengkaran
ini diakibatkan oleh karena masalah yang kurang jelas. Sehingga terjadi baku
pukul dan armada Hongi sempat dibakar. Saat hendak keluar mereka bersumpah
tidak akan kembali ke Rumahtiga untuk alasan apa pun terutama mendirikan
rumah untuk bermukim.26
Selain orang-orang Buano, kemudian pula orang-orang Leihitu, Lease
dari Saparua, Nusalaut dan Haruku juga datang dan menempati Rumahtiga.
Marga-marga seperti Talahatu, Hetharion dan Tulaseket dari Lilibooy
menempati Rumahtiga dan terus menetap sampai saat ini. Sedangkan dari
Saparua yakni Pattipeilohy, Saimima dan Persulessy malah menempati posisi
strategis dalam pemerintahan Wijk di Rumahtiga pada zaman Belanda. Selain itu
dari Haruku seperti Mataheru juga menempati posisi yang serupa.27
Hal ini menandakan bahwa konteks pembauran sosial di Rumahtiga di
masa lampau meninggalkan indikasi dialektika sosial: di satu sisi konflik dan di
sisi lain relasi mutual antarsub-etnik yang berbeda. Salah satu contoh dari
dialektika mutual itu ialah setiap orang dagang yang datang dan tinggal diberi
lahan untuk membangun rumah oleh marga asli tertentu dan jika ada suatu acara
26
27
Ibid.
Ibid.
45
keluarga (pesta perkawinan, syukuran sidi dan baptisan) semua penduduk negeri
diundang menghadiri acara dimaksud.28
Dari data statistik penduduk Rumahtiga, komposisi penduduknya dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 01 :
Komposisi Penduduk Rumahtiga
No. Agama/Denominasi Jumlah
Jumlah
KK
Jiwa
1. Islam
887
5134
2. Protestan
949
4116
3. Katolik
15
66
4. Pentakosta
7
32
Total
1858
9348
Sumber: Pemerintah Negeri Rumahtiga, 2014
Data tersebut adalah gambaran mengenai keberadaan masyarakat
Rumahtiga pasca konflik sosial 1999 atau setelah kembali dari pengungsian pada
tahun 2005. Dari situ tergambar bahwa pembauran sosial di Rumahtiga saat ini
terjadi di antara komunitas kristen (Protestan dan Katolik) dengan muslim.
Corak bermukim pun terstruktur seperti dahulu sebelum konflik. Penduduk
Kristen tinggal di daerah yang disebut Negeri Rumahtiga (awal), sedangkan
penduduk Muslim menempati dusun-dusun seperti Taeno, Kota Jawa,
Karanjang, Waringin Cap, Air Ali, Telaga Pange, Bandari, dan Pasar
Rumahtiga.29
Sedangkan realitas penduduk asli dan pendatang, dari data jumlah jiwa
pada masyarakat Rumahtiga, komposisinya menunjukkan perbandingan yang
28
29
Ibid.
Hasil wawancara dengan Ibu. N. D., pada 23 November 2014.
46
cukup signifikan, yakni penduduk asli sejumlah 570 jiwa atau 138 KK,
sedangkan penduduk dalam kategori pendatang sejumlah 8.778 jiwa atau 1720
KK.30
Penduduk Rumahtiga sangat terbuka dan pembauran sosialnya tidak bisa
dibendung. Akibatnya komunitas pendatang, yang masuk melalui migrasi dan
perkawinan lebih tinggi jumlahnya dari penduduk asli. Hal itu berlaku pula pada
jemaat atau orang-orang kristen, mengingat Rumahtiga semula adalah komunitas
protestan yang homogen.
Sedangkan mata pencaharian masyarakat Negeri Rumahtiga didominasi
oleh Petani. Dari jumlah penduduk Negeri Rumahtiga sebanyak 9.348 jiwa,
rincian mata pencahariannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 02 :
Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No.
Jenis Pekerjaan
Jumlah (orang)
1
PNS
698
2
Wirausaha
440
3
Petani
703
4
Sopir
56
5
TNI/POLRI
428
6
Buru/Swasta
94
7
Pengusaha
42
8
Pedagang
305
12 Lain-lain
93
2.859
Jumlah
Sumber : Pemerintah Negeri Rumahtiga, 2014
30
Ibid.
47
b. Komunitas Buton di Rumahtiga
Orang Buton di Rumahtiga ternyata memiliki sejarah yang cukup
panjang. Oleh alasan-alasan penuturan sejarah seperti telah dikemukakan
sebelumnya, jejak ke awal kedatangan komunitas Buton pun agak sulit
dipastikan. Namun lazimnya sejarah kedatangan orang Buton ke Maluku dapat
dipastikan bersamaan dengan masuknya armada dari Malaka dan Makassar
dalam rangka perdagangan rempah-rempah di awal abad ke-14.31
Dalam gradasi sejarah itu, orang Buton terkenal sebagai pengelana yang
memiliki tipikal berbeda dari orang-orang Cina, India dan Arab yang juga
mengunjungi dan malah tinggal dan membangun permukiman serta melakukan
aktifitas perekonomian di Ambon.32 Orang Buton pada awalnya memilih tinggal
di pesisir pantai dan menekuni kerja sebagai nelayan. Mereka makan seadanya
dari hasil tangkapan dan hasil bameti33. Namun lambat laun mereka meminta ijin
untuk menjaga kebun atau dusun cengkih, kelapa dan pala milik penduduk asli
setempat. Atas ijin itu mereka mulai membangun rumah untuk dihuni dengan
tetap mempertahankan tipe rumah panggung, sebagai model dan gaya rumah
orang Buton di sepanjang pulau Ambon.34
Dari konteks itu mereka mulai membangun kampung di dusun-dusun
atau di kawasan yang sebelumnya disebut ewang35 oleh penduduk asli setempat.
Lambat laun komunitas ini mulai berkembang. Saudara-saudara mereka dari
31
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
Elifas Tomix Maspaitella, Ambtenar dan Pendatang: Klaim Landscape dan Interelasi
Demografis di Ambon, diakses penulis dari http://www.kutikata.blogspot.com, tanggal 12
Desember 2014.
33
Kegiatan melaut pada saat air laut sedang sudut.
34
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
35
Hutan (rimba/belantara).
32
48
Pulau Buton atau tempat lain di Pulau Ambon mulai berdatangan dan
membangun juga rumah dengan alasan yang sama. Dari waktu ke waktu seiring
dengan bertambahnya penduduk, wilayah hunian mereka menjadi semakin
terbuka dan melebar. Mereka mampu menjangkau kawasan ewang yang lebih
jauh lagi dan membangun pula perkampungan yang baru. Di Rumahtiga tipikal
itu sangat kelihatan. Malah di Rumahtiga komunitas Buton menempati lebih
dari satu tempat yang kemudian menjadi dusun, seperti Taeno, Telaga Pange,
Air Ali, Bandari, dan Waringin Cap yang dahulu ditempati orang-orang
Hukunalo sebelum turun atau diturunkan ke negeri saat ini.36
Konteks pembauran sosial di Rumahtiga antara penduduk asli dan
pendatang ternyata bukan hanya yang berasal dari Maluku, melainkan juga
komunitas Buton dari Sulawesi Tenggara. Di sisi lain, pembauran antaragama
menjadikan Rumahtiga sebagai negeri adat yang majemuk dari sisi agama, sebab
komunitas Buton beragama Islam dan tinggal sejak puluhan tahun di Rumahtiga.
Relasi dengan komunitas Buton selama ini berlangsung baik. Dalam sistem
pemerintahan,
dusun-dusun
yang
dihuni
orang
Buton/Muslim
diberi
kewenangan tertentu melalui kepala Dusun. Semula Kepala Dusun dijabat oleh
orang-orang Rumahtiga yang beragama Kristen, termasuk orang dagang Kristen
karena mayoritas yang terdapat dalam Negeri Rumahtiga adalah Kristen. Kini
semua kepala dusun adalah orang Buton.37
36
37
Ibid.
Hasil wawancara dengan Bpk. E. M., pada 12 Desember 2014.
49
C. Pandangan Orang Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam
Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999
1. Sagu Salempeng Patah Dua Sebagai Identitas dan Lambang
Pemersatu
Sagu salempeng patah dua, mencerminkan sikap batin orang Maluku itu
sendiri. Falsafah sagu salempeng patah dua merupakan energi budaya yang
menggerakan orang Maluku untuk mampu membina hidup bersama yang
harmonis dalam perbedaan-perbedaan yang eksistensial. Hal inilah yang
membuat Maluku termaknai sebagai sebuah keluarga besar yang majemuk dan
kemajemukan itulah membuatnya besar. Sagu salempeng patah dua dimaknai
sebagai kehidupan yang saling peduli dan berbagi dengan hubungan-hubungan
batiniah yang terbangun dalam cara hidup orang Maluku.38
Dapat dikatakan bahwa sagu salempeng patah dua dimaknai sebagai
kehidupan yang saling peduli dan berbagi dalam hal ini semua hal dalam
kehidupan orang Maluku dilakukan atas dasar saling peduli dan berbagi. Secara
sederhana dapat pula dikatakan kesusahan satu orang merupakan kesusahan
semua orang. Oleh kerena itu harus ditanggung secara bersama atas dasar
kehidupan orang basudara di Maluku. Inilah eksistensi orang Maluku yang
berbeda dalam banyak hal dan merangkai perbedaan-perbedaan itu menjadi
kehidupan yang harmonis. Orang tatua (para leluhur), berkat kepeduliannya
telah mewariskan falsafah hidup orang basudara melalui falsafah sagu
38
Ibid.
50
salempeng patah dua sebagai gaya hidup yang menunjang terbinanya hidup
yang harmonis dengan mengelola banyak perbedaan yang dipandang sebagai
anugerah.39
Falsafah
Sagu salempeng patah dua merupakan salah satu identitas
orang Maluku yang sangat dipegang teguh oleh para orang tua yang dulunya
sangat merasakan dan mengimplementasikan falsafah tersebut dalam tatanan
kehidupan sosial masyarakat Maluku. Mengapa demikian? Sagu selain dijadikan
sebagai makanan pokok orang Maluku, filosofisnya diartikan lebih mendalam
dari sekedar pemaknaan „makanan pokok‟ tersebut tegas Bapak E.M.40
Baginya, sagu telah dilekatkan sebagai jati diri orang Maluku dimanapun
mereka membangun kehidupan. Hakikatnya ketika berbicara tentang jati diri itu
berarti orang Maluku membangun sebuah kehidupan yang berpola pada
kerasnya sagu yang tidak mudah untuk dihancurkan. Dengan bahasa yang
sederhana mau dikatakan bahwa, kerasnya sagu menunjukkan hubungan
persaudaraan orang Maluku yang sangat intim tidak hanya bagi satu agama saja
misalnya Kristen tetapi, bagi semua agama di Maluku tanpa terkecuali.
Pemaknaaan selanjutnya tentang sagu salempeng patah dua itu berbicara tentang
kehidupan yang saling berbagi. Filosofi inilah yang dipakai sebagai identitas
orang Maluku.41
Sagu salempeng patah dua tidak hanya dimaknai sebagai identitas orang
Maluku saja. Akan tetapi, hal tersebut juga dimaknai sebagai lambang
pemersatu. Sagu salempeng patah dua yang artinya ialah sagu dibagi menjadi
39
Hasil wawancara dengan Bpk. Z. W., pada 30 November 2014.
Hasil wawancara dengan Bpk. E. M., pada 12 Desember 2014.
41
Ibid.
40
51
dua bagian bukan menunjukan kehancuran dalam tatanan kehidupan masyarakat
Maluku melainkan dengan adanya pembagian sagu menjadi dua bagian tersebut
mau menunjukan bahwa masyarakat Maluku memiliki nilai hidup kasih,
kepedulian dan saling berbagi yang sangat tinggi sehingga lewat nilai-nilai itulah
menyatukan semua masyarakat Maluku tanpa memandang status sosial, ras
bahkan agama sekalipun. Berbicara tentang sagu sebagai lambang pemersatu itu
berarti berbicara tentang turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain,
tegas Bapak E.M.42
Dengan sederhana mau dikatakan, sagu salempeng patah dua
memberikan nilai hidup yang berharga bagi orang Maluku bahwasanya hidup
orang bersaudara sangat berharga nilainya dibandingkan dengan apapun.43
Pepatah usang (sudah lama; sudah kuno; sudah sudah tidak lazim lagi)44
orang Maluku ale rasa beta rasa45 atau juga ibarat pepatah berat sama dipikul
ringan sama dijinjing begitulah nilai-nilai yang dilahirkan dari filosofi sagu
salempeng patah dua. Filosofi ini tidaklah terbantahkan dalam keberadaan plural
masyarakat Maluku. Nilai-nilai kehidupan yang dimaknai dari filosofi sagu
salempeng patah dua telah lama terpatri dalam tatanan kehidupan sosial
masyarakat Maluku. Setiap generasinya diajarkan untuk mewujudnyatakan
filosofi tersebut dalam kehidupan kebersamaan.46
Benar bahwa, sagu salempeng patah dua ialah identitas dan lambang
pemersatu bagi masyarakat Maluku. Akan tetapi, realita kehidupan yang
42
Ibid.
Ibid.
44
http://www.kbbi.web.id/usang., diunduh pada 10 April 2015.
45
Pepatah orang Maluku yang artinya saling merasakan suka dan duka bersama-sama.
46
Hasil wawancara dengan Bpk. Z.W., pada 30 November 2014.
43
52
ditampilkan sekarang ini tidak lagi menunjukan nilai-nilai yang dilahirkan dari
falsafah hidup orang Maluku tersebut masih terpelihara. Sejatinya sagu
salempeng patah dua yang dimaknai sebagai lambang pemersatu tersebut lamakelamaan tidak lagi memiliki eksistensi dalam tatanan kehidupan sosial orang
Maluku sehingga ketika makna dari lambang pemersatu tersebut mulai bergeser
secara tidak langsung orang Maluku akan kehilangan identitas mereka.47
Hal ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari, di mana ada rasa
ketidaknyamanan dari pihak orang Kristen maupun Muslim, jika mereka berada
di wilayah-wilayah yang bukan merupakan wilayah mayoritas dari pihak mereka
yang beragama Kristen maupun Islam. Ketidaknyamanan ini meruapakan salah
satu akibat yang timbul pasca atau sesudah konflik kemanusiaan yang terjadi di
Maluku beberapa tahun lalu. Padahal jika dibandingkan dengan keadaan
sebelum terjadinya konflik, baik orang Kristen maupun orang Islam, hidupnya
saling berdampingan dan tidak ada rasa ketidaknyamanan seperti yang sekarang
dirasakan oleh kedua belah pihak. Contohnya: pada waktu dulu, orang Kristen
dan orang Islam hidup bertetangga dalam satu wilayah atau kompleks. Namun
sekarang, kehidupan yang dulu telah berubah dan sangat berbeda, d imana orang
Kristen sekarang tinggal dalam wilayahnya sendiri dan sebaliknya orang Islam
pun telah tinggal di tempat atau wilayah yang mayoritas beragama Islam.
Dengan demikian, eksistensi dari falsafah sagu salempeng patah dua dalam
47
Ibid.
53
tatanan kehidupan sosial orang Maluku, kini mulai bergeser dalam hal
prakteknya.48
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Pemaknaan
Sagu
Salempeng
Patah
Dua
Dalam
Praktek
Kehidupan
Masyarakat Rumahtiga
Bergesernya pemaknaan akan falsafah hidup orang Maluku sagu
salempeng patah dua tentu memiliki akar penyebab mengapa hal tersebut
terjadi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya pergeseran pemaknaan
sagu salempeng patah dua oleh masyarakat negeri Rumahtiga. Ketika dikatakan
adanya pergeseran pemaknaan dari falsafah tersebut, Bapak O.L menguraikan
bahwa modernisasi yang mengakibatkan lahirnya sifat-sifat individualistis
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pergeseran pemaknaan falsafah
hidup tersebut. Masyarakat Maluku terkhusus masyarakat negeri Rumahtiga
telah terkontaminasi dengan pola hidup modern yang cenderung mementingkan
diri sendiri sehingga seolah melupakan kehidupan kebersamaan yang terbentuk
oleh falsafah sagu salempeng patah dua tersebut. Faktor yang dimaksudkan oleh
narasumber diistilahkan sebagai faktor individualistis.49
Bapak S.L juga menambahkan bahwa faktor yang tidak kalah penting
ialah konflik atau tragedi kemanusiaan yang terjadi beberapa tahun silam.
Baginya, konflik telah melahirkan luka yang dalam bagi masyarakat negeri
Rumahtiga. Luka konflik tersebut menjadi trauma yang mendalam bagi mereka
48
49
Hasil wawancara dengan Bpk. S.L, pada 28 November 2014.
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
54
hingga kini. Faktor kedua ini dianggap sangat esensial terjadinya pergeseran
pemaknaan falsafah sagu salempeng patah dua.50
Selain dari kedua faktor penyebab diatas, Bapak A.M juga menambahkan
bahwa pembauran etnik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya pergeseran pemaknaan sagu salempeng patah dua. Pembauran etnik
yang dimaksudkan ialah lebih banyaknya warga pendatang dari luar daerah
Maluku dibandingkan dengan warga asli masyarakat Rumatiga. Dengan adanya
dominasi penduduk pendatang inilah warga asli mulai terpengaruh oleh hasutan
mereka terkhusus kepada penduduk asli yang kurang memahami nilai adat
istiadat tentang hidup persaudaraan. Hasutan yang dimaksudkan ialah agama
dipakai sebagai bahan legitimasi politik sehingga menyebabkan sentimen agama.
Dengan begitu, perpecahan dan konflik akan mudah terjadi di Maluku terkhusus
dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat negeri Rumahtiga yang dulunya
sangat menghidupi falsafah hidup sagu salempeng patah dua.51 Bapak O.L juga
menambahkan bahwa yang menyebabkan bergesernya falsafah sagu salempeng
patah dua dari kehidupan masyarakat atau orang Maluku dan warga Negeri
Rumahtiga adalah para pendatang yang hadir tengah-tengah kehidupan mereka
dengan cara berdagang dan berdomisili di daerah Negeri Rumahtiga.52
Berdasarkan hasil wawancara, maka hal-hal tersebut merupakan faktorfaktor yang telah menyebabkan terjadinya pergeseran aktualisasi nilai sagu
salempeng patah dua, di mana masyarakat Negeri Rumahtiga dulunya sangat
memaknai falsafah hidup sagu salempeng patah dua sebagai nilai hidup
50
Hasil wawancara dengan Bpk. S.L, pada 28 November 2014.
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
52
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
51
55
persaudaraan yang diwariskan dari leluhur kepada masyarakat Negeri
Rumahtiga.
3. Dampak dari Pergeseran Pemaknaan Sagu Salempeng Patah Dua
Realita kehidupan sosial yang dulunya telah dibangun oleh orang tua
dahulu bahwasannya setiap generasi Maluku harus melestarikan bahkan
mempraktekkan filosofi yang telah mereka bentuk dan lahirkan lewat
pemaknaan sagu salempeng patah dua kini mulai pudar dalam prakteknya.
Seolah pemaknaan filosofi tersebut oleh generasi Maluku sekarang ini tidak lagi
bermakna oleh karena faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas. Dengan
adanya faktor-faktor tersebut menimbulkan dampak terhadap pola hidup
masyarakat negeri Rumahtiga.53
Pemaknaan sagu salempeng patah dua memang bergeser, akan tetapi
lebih dari itu hal ini tidak hilang sama sekali. Sagu salempeng patah dua lebih
dirasakan pada masa lalu namun, tidak untuk sekarang ini. Bpk A.M kemudian
bercerita bahwa, ketika Hari Raya Natal atau Lebaran biasanya warga bebas
untuk saling mengunjungi, di mana orang Muslim datang berkunjung ke orang
Nasrani pada waktu Natal dan sebaliknya pada saat Lebaran tiba. Akan tetapi
pada masa sekarang, kegiatan ini hanya dilakukan sebatas pada adanya
hubungan keluarga. Pengakuan ini pun diungkapkan oleh Ibu N.D, di mana
setelah konflik warga Muslim maupun Kristen terlihat sudah memiliki jarak
53
Hasil wawancara dengan Bpk. Z. W., pada 30 November 2014.
56
padahal sebelum konflik 1999, jarak itu seakan tidak ada dan tidak ada rasa takut
satu dengan yang lain.54
Diakui juga bahwa sagu salempeng patah dua sudah mulai bergeser
sejak konflik 1999 namun masih ada yang melakukannya dalam kehidupan
setiap hari antar tetangga.55 Berbagai macam bentuk acara yang bersifat
kebersamaan
dilakukan
oleh
masyarakat
Negeri
Rumahtiga
untuk
mengembalikan rasa persaudaraan antar sesama, di antaranya makan patita atau
makan bersama yang bermanfaatkan untuk mempersatukan masyarakat Negeri
Rumahtiga. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Rumahtiga, baik yang beragama
Islam maupun Kristen. Dengan demikian, dijelaskan bahwa sagu salempeng
patah dua bukan hanya untuk orang Islam maupun Kristen melainkan untuk
semua kalangan umat beragama yang berdomisili di Negeri Rumahtiga.56
Inilah realita yang terjadi, karena bagi masyarakat Negeri Rumahtiga,
sagu salempeng patah dua merupakan falsafah hidup orang Maluku yang kini
sudah mulai terkikis namun tidak ditinggalkan sama sekali serta masih dapat
ditemui dalam acara-acara tertentu seperti acara ikat tali gandong maupun acara
adat lainnya.57
Selain dampak-dampak yang telah dikemukakan di atas, kecurigaan
antara individu atau kelompok yang berbeda agama pun masih terpelihara
hingga kini. Konflik telah menimbulkan kecurigaan yang besar bagi sesama
terkhusus untuk kaum Muslim dan Nasarani. Sagu salempeng patah dua dilihat
54
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
Hasil wawancara dengan Ibu. N. D., pada 23 November 2014.
56
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
57
Hasil wawancara dengan Bpk. Z. W., pada 30 November 2014.
55
57
sebagai pemersatu bagi masyarakat Negeri Rumahtiga yang terbecah-belah
karena konflik namun lewat kehadiran sagu salempeng patah dua, warga
Muslim maupun Nasrani yang ketika konflik melarikan diri dan mengungsi di
luar daerah atau kawasan Negeri Rumahtiga, kini kembali dengan alasan bahwa
mereka adalah satu ikatan persaudaraan yang harus kembali ke tanah asal
mereka yaitu Negeri Rumahtiga.58
Sagu salempeng patah dua telah hidup sejak dahulu dalam kehidupan
masyarakat Rumahtiga. Sagu salempeng patah dua juga bukan hanya
dipratekkan dalam kehidupan sesama masyarakat Rumahtiga melainkan juga
dilakukan oleh masyarakat Rumahtiga terhadap para pendatang yang kini telah
hidup bersama dengan masyarakat Rumahtiga. Namun hal ini mulai bergeser
ketika konflik di Maluku terjadi pada tahun 1999. Tetapi konfllik tidak secara
mutlak menghilangkan falsafah ini dari kehidupan masyarakat Negeri
Rumahtiga. Hal lain yang juga mempengaruhi bergesernya falsafah ini adalah
sikap individualisme yang di mana orang sudah tidak lagi mementingkan
kepentingan bersama melainkan lebih dari itu orang lebih banyak memikirkan
dan mementingkan kepentingan pribadi demi kesejahteraan hidupnya.59
Modernisasi juga menjadi salah satu faktor bergesernya falsafah tersebut,
hal ini disebabkan oleh karena masyarakat Negeri Rumahtiga sudah memiliki
lapangan pekerjaan yang berbeda-beda sehingga hal tersebut juga mempengaruhi
pola pikir masyarakat. Misalnya: berbagai macam pekerjaan yang menjadi
tanggung jawab masing-masing, mengakibatkan orang tidak lagi memiliki pola
58
59
Ibid.
Hasil wawancara dengan Bpk. Z. W., pada 30 November 2014.
58
pikir yang sama sehingga kadangkala terjadi kesalahpahaman satu terhadap yang
lain.60
Dengan kata lain, keberadaan dan pemaknaan sagu salempeng patah dua
saat ini hanya sebatas kata-kata yang kemudian marak dibicarakan sesuai
kebutuhan, namun lebih dari itu perwujudannya dalam kehidupan setiap hari
sudah mulai bergeser tetapi tidak hilang sama sekali.
D. Rangkuman :
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dikatakan bahwa falsafah sagu
salempeng patah dua telah sejak zaman dahulu dan merupakan warisan dari
leluhur. Sagu salempeng patah dua merupakan identitas masyarakat Negeri
Rumahtiga yang telah menjadi pola hidup dari masyarakat Negeri Rumahtiga
untuk membina kehidupan sosial yang lebih baik. Sagu salempeng patah dua
memiliki makna penting bagi masyarakat Negeri Rumahtiga, yaitu hidup saling
berbagi, saling tolong-menolong dan saling mempedulikan satu dengan yang
lainnya.
Aktualisasi nilai falsafah sagu salempeng patah dua dulunya sangat baik,
tetapi sekarang mulai bergeser. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
konflik kemanusiaan yang menimpa Negeri Ruamhtiga, pembauran etnik dan
pengaruh modernisasi. Meskipun demikian, falsafah sagu salempeng patah dua
tidak ditinggalkan sama sekali. Hal ini terbukti dengan masih diberlakukannya
ritual-ritual adat untuk kembali memperkuat eksistensi dari nilai sagu salempeng
60
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
59
patah dua untuk membina kehidupan bersama dalam masyarakat Negeri
Rumahtiga, seperti: makan patita dan panas gandong.
60
PANDANGAN MASYARAKAT NEGERI RUMAHTIGA TENTANG
KEBERSAMAAN FALSAFAH SAGU SALEMPENG PATAH DUA PASCA
KONFLIK 1999
A. Pendahuluan
Bagi orang Maluku, pohon sagu merupakan identitas orang Maluku.
Pohon sagu tersebut menghasilkan banyak fungsi, yakni: (a) daun sagu dijadikan
sebagai atap rumah dan wadah, (b) dahan pohon sagu dijadikan sebagai dinding
rumah (gaba-gaba), (c) batang pohon sagu diolah untuk sagu yang merupakan
makanan tradisional Maluku.
Sagu salempeng patah dua merupakan sebuah bentuk kearifan lokal
dari masyarakat Maluku yang hadir di tengah-tengah kehidupan orang Maluku
sejak zaman dulu hingga saat ini, menurut cerita yang berkembang di
masyarakat, awalnya falsafah sagu salempeng pata dua ini muncul adalah dari
kebiasaan nenek moyang orang Maluku yang dulunya hidup dalam kesusahan,
dan pada waktu itu sagu merupakan makanan pokok orang Maluku. Ketika
setiap kali makan bersama dalam sebuah keluarga, sagu merupakan salah satu
makanan yang sering disediakan di atas meja. Setelah disediakan kemudian sagu
tersebut harus dipatahkan untuk dibagikan kepada yang lain untuk dimakan
bersama. Ketika selesai proses pembakaran, sagu yang sudah masak itu akan
saling menyatu ujung-ujungnya antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu
harus dipatahkan untuk memisahkan satu per satu. Dari kebiasaan-kebiasaan
33
yang dilakukan oleh para leluhur itulah yang membuat timbulnya falsafah sagu
salempeng patah dua.1
Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk membina tatanan hidup
orang bersaudara yang saling menyayangi dan mempedulikan antara satu dengan
yang lainnya. Selain itu, hal ini dilakukan agar kehidupan mereka tetap harmonis
dan saling berbagi juga saling menolong. Seiring berjalannya waktu, falsafah ini
kemudian menjadi kebiasaan yang dimaknai sebagai salah satu identitas orang
Maluku secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Sagu salempeng patah dua merupakan salah satu falsafah orang Maluku
yang dapat diartikan sebagai berikut: (a) Sagu adalah salah satu makanan pokok
yang berasal dari sari pati pohon sagu yang menjadi konsumsi masyarakat
Maluku dan dapat diartikan sebagai simbol eksistensi kita sebagai orang
Maluku. (b) Salempeng adalah satu buah. (c) Patah Dua adalah di bagi menjadi
dua bagian. Ungkapan sagu salempeng patah dua bukan sekedar sebuah
“tautologis” (permainan kata) tetapi merupakan impresi atau “pernyataan hidup”
tentang arti kehidupan beragama dan bermasyarkat yang sesungguhnya.
Kenyataan eksistensial tentang hidup basudara itu, bukan sekedar peristiwa
sosiologis atau kultural (socio-cultural) saja, tetapi justru sebuah “peristiwa
theologis” yang sangat mendasar.2
Sagu merupakan makanan pokok masyarakat Maluku. Dalam kehidupan
sehari-hari, sagu menjadi kebutuhan yang sangat besar bagi masyarakat Maluku.
1
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 november 2014.
Aholiab Watloly, Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak negeri,
(Yogjakarta: Kanisius, 2005), 145.
2
34
Dengan demikian, sagu salempeng patah dua menjadi filosofi mendalam bagi
masyarakat Maluku. Mengapa? Karena sagu adalah simbol kehidupan bagi
masyarakat Maluku dan salempeng patah dua (sikap hidup berbagi) merupakan
bagian integral dalam kehidupan masyarakat Maluku. Dengan kata lain,
masyarakat Maluku harus hidup dengan tidak mementingkan kepentingan
pribadi dan
mempedulikan orang lain. Hal ini disebabkan karena sagu
salempeng patah dua megajarkan makna kehidupan yang rukun, saling
menyayangi satu dengan yang lain, dan saling menghargai satu dengan yang
lain.3
Lebih lanjut bapak E.M menjelaskan pemaknaan sagu salempeng patah
dua adalah merujuk pada adanya krisis hidup (lapar) yang dialami bersama,
tetapi hal tersebut tidak mengakibatkan pada pudarnya nilai-nilai kasih
(berbagi), malah sebaliknya dalam menghadapi krisis itu masyarakat Maluku
lebih mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan
pribadi, hal tersebut diwujudkan lewat sikap saling berbagi (sagu salempeng
patah dua), agar semua orang dapat sejahtera dan hidup dalam rasa saling
mempedulikan antar sesama. Artinya bahwa kehidupan yang rela berbagi
dengan sesama di Maluku masih ada ketika orang tidak memikirkan perutnya
saja tetapi malah sebaliknya lebih mementingkan kebersamaan yang terjalin.
Maluku memaknai sagu salempeng patah dua bukan hanya dalam lingkup
keluarga, tapi juga dalam lingkup masyarakat yang luas. Hal ini dikarenakan
3
Hasil wawancara dengan Bpk. E. M., pada 12 Desember 2014.
35
Maluku merupakan daerah yang majemuk, baik dari sisi agama, budaya maupun
adat-istiadat yang dijadikan sebagai identitas masyarakat.4
Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua mempunyai makna dan nilai yang
sangat mendalam yaitu nilai persatuan, persaudaraan, serta rasa saling berbagi
antara satu dengan yang lainnya. Lewat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,
masyarakat Maluku dapat membina kehidupan yang lebih harmonis dalam
bingkai persatuan dan persaudaraan. 5
Negeri Rumahtiga merupakan salah satu daerah di Maluku (Pulau
Ambon) yang juga mempraktekan falsafah sagu salempeng patah dua. Falsafah
sagu salempeng patah dua telah hadir dalam kehidupan masyarakat Negeri
Rumahtiga sejak dulu, diakui bahwa falsafah ini sangat membantu untuk
menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat Negeri Rumahtiga.6
Namun seiring berjalannya waktu, falsafah ini mulai mengalami pergeseran
makna yang mengakibatkan ketidakharmonisan dalam hubungan antar
masyarakat.7 Hal tersebut terjadi tidak dengan sendirinya melainkan ada
beberapa faktor yang turut mempengaruhi pergeseran nilai dan makna dari
falsafah ini, di antarnya kurang adanya pengetahuan tentang sejarah adatistiadat, pengaruh modernisasi yang berdampak pada sifat individualisme,
pembauran etnik serta konflik kemanusiaan yang terjadi sejak tahun 1999.8
Konflik pada saat itu merupakan ancaman terbesar bagi keharmonisan dan
persaudaraan warga Negeri Rumahtiga yang pada umumnya beragama Islam dan
4
Ibid.
Ibid.
6
Hasil wawancara dengan Ibu. N. D. dan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
7
Hasil wawancara dengan Bpk. E. M., pada 12 Desember 2014.
8
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
5
36
Kristen. Sagu salempeng patah dua seakan tidak mampu mengembalikan situasi
kota Ambon terkhususnya Negeri Rumahtiga pada saat itu, di mana
kekhawatiran dan rasa takut yang besar setiap waktunya meliputi kehidupan
warga Negeri Rumahtiga yang berdampak pada hilangnya rasa percaya antara
warga Muslim dan Kristen sehingga mereka melarikan diri ke tempat-tempat
yang dianggap aman dan jauh dari bahaya konflik.9
Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan pandangan orang Negeri
Rumahtiga tentang kebersamaan dalam falsafah sagu salempeng patah dua
pasca konflik 1999 berdasarkan hasil informasi yang penulis peroleh selama
penelitian yang dilakukan di Negeri Rumahtiga. Sekedar untuk diketahui, ketika
penulis melakukan proses penelitian di Negeri Rumahtiga ada terjadi konflik di
dalam internal pemerintahan Negeri sehingga data yang didapatkan merupakan
hasil wawancara, ada juga yang bersumber dari data statistik pemerintah serta
beberapa sumber dari internet.
9
Hasil wawancara dengan Bpk. Z. W., pada 30 November 2014.
37
B. Gambar Umum Negeri Rumahtiga
1. Konteks Sejarah Rumahtiga
Sejarah sebagai teropong kehidupan komunitas di Maluku sulit
direkonstruksi oleh sebab beberapa alasan antara lain: [a]. cerita sejarah asalusul dijadikan sebagai cerita sakral yang tidak boleh diceritakan secara
„sembarangan‟. Sebab itu hanya orang tertentu yang mengetahui detailnya.
Ketika berkembang dari waktu ke waktu, dari satu orang ke keturunan
berikutnya, separuh dari penggalan-penggalan sejarah telah hilang. Akibatnya
tidak ada lagi suatu gambaran detail karena bergantung pada memoria atau daya
ingat seseorang; [b]. sumber sejarah tertulis cukup langka; [c]. cerita sejarah
sering dijadikan bahan propaganda suatu kelompok atau sub-suku, atau soa,
sehingga menimbulkan beragam versi dan cara memahami sejarah suatu negeri.
Ini terjadi di beberapa negeri adat di Maluku termasuk di Rumahtiga.
Asal mula Negeri Rumahtiga berawal dari perpisahan tiga orang
bersaudara, yakni Tomu, Semang dan Hunihua, di Pari yang sekarang dikenal
dengan sebutan Hatu Parinusa. Alasan-alasan perpisahan mereka sulit
ditentukan. Tetapi yang bisa diduga ialah karena lokasi tempat kediaman di Pari
tidak lagi memadai untuk menampung keturunan mereka yang bertambah setiap
waktu. Tomu sebagai kakak laki-laki yang tertua memilih pergi ke Hitu Mesing,
atau tepatnya di daerah Amarata. Semang, juga saudara laki-laki, pergi ke Wakal
atau tepatnya di daerah Kramat, dan Hunihua, saudara perempuan bungsu, pergi
38
ke Karang Pari, tidak jauh dari Hatu Parinusa, dan Hunihua-lah yang
menurunkan turunan di Rumahtiga.10
Di Karang Pari terdapat 128 pengikut dan 40 budak, mereka hidup dari
sagu dan sageru. Karang Pari dipimpin oleh Laonelo (1600). Di sini orang
Hukunalo sudah bersentuhan dengan pengaruh Katolik yang dibawa oleh orangorang Portugis. Malah dalam sejarah diusirnya orang Portugis dari Hitu, orang
Hukunalo yang berperan mengantar mereka untuk selanjutnya mendiami Hative
dan dari sana menyeberang ke seberang lautan untuk mendirikan Benteng (New
Victoria). Dari perjumpaan dengan orang Portugis itu, orang Hukunalo
mengenal injil. Terjadi beberapa perubahan mendasar kala itu di kalangan orang
Hukunalo. Salah satunya adalah baptisan yang dilayankan kepada Latu Oetoe.
Dari peristiwa baptisan itu, tidak dapat dipungkiri bahwa orang Hukunalo
kemudian menjadi salah satu pemeluk agama Katolik bersama dengan orangorang di Hative.11
Pada masa pemerintahan gubernur Herman Spulsz (1640), karena misi
keagamaan, masyarakat Karang Pari diperintahkan turun ke Hukunalo. Saat itu,
Hukunalo dipimpin oleh Hete Latukao dengan jabatan kepala kampung.
Keturunan Laonelo yang ikut turun adalah Matheus, Pieter dan Tutuhory
(mereka bertiga selanjutnya disebut Mendes). Ketika bergabung di Hukunalo
mereka membangun tiga barak yang disebut Belanda sebagai Drei Huizen
(Luma Telu/Rumah Tiga). Pada waktu itu Poka juga ikut bergabung bersama
10
http//negerirumahtiga.blogspot.com/p/sejarah-negeri-rumahtiga.html, diunduh pada
25 November 2014.
11
Ibid.
39
Karang Pari di Hukunalo. Mereka berembuk untuk memberikan nama pada
tempat itu dan sepakat menamainya Negeri Rumahtiga.12
Terbentuknya Negeri Rumahtiga ini sekitar tahun 1663 – 1664. Negeri
Rumahtiga akhirnya merupakan negeri kelima yang terbentuk di Uli Lisawane,
yang terdiri dari Wakal, Eli, Pelisa, Senalo, Hukunalo (Rumahtiga) dan dipimpin
oleh Wakal. Masyarakat menuju rumah Matheus dan memintanya menjadi
pemimpin, karena dia merupakan orang kaya di situ. Matheus memiliki jabatan
“The Orang Kaya Matheus Drei Huzein of Hukunalo”. Matheus Mendes
memiliki tiga orang anak yaitu Christian Mendes, Johana Mendes, dan Kalasina
Mendes. Setelah masa kepemimipinan Matheus Mendes berakhir, dia digantikan
oleh anaknya, Christian Mendes. Christian Mendes akhirnya menikah denngan
Maria Kastanja dan hijrah ke Hatalai. Johana Mendes meninggal dan tidak
mempunyai ketururnan. Kemudian kepemimpinan Christian Mendes digantikan
oleh Marcus da Costa yang merupakan suami dari Kalasina Mendes.13
Kepemimpinan Marcus da Costa selanjutnya digantikan oleh Elifas da
Costa. Elifas da Costa merupakan orang kaya terakhir yang memimpin Negeri
Rumahtiga. Sekitar tahun 1800an negeri Rumahtiga dipimpin oleh seorang raja
yaitu Pieter Fredrick Theodorus da Costa. Kemudian pada akhir tahun 1800 –
masuk tahun 1900 pemerintahan diganti dengan Wellem da Costa. Setelah
pemerintahan Wellem da Costa, pemerintahan mengalami kekosongan
disebabkan banyak keturunan da Costa pergi menuntut ilmu di Pulau Jawa.14
12
Ibid.
Ibid.
14
Ibid.
13
40
Kemudian untuk menutupi kekosongan, diangkat tiga orang yang diberi
gelar Wijk Master (Kepala Dusun). Wijk Master Persulessy memimpin di Wijk
Pohon Mangga, Wijk Master Enos Hendriks memimpin di Wijk Kusu-kusu,
sedangakan Wijk Master Andreas Saimima memimpin di Wijk Pantai. Pada
tahun 1920 pemerintahan Negeri Rumahtiga dipimpin kembali oleh seorang raja
yaitu Ishak Theodorus Tita. Dia merupakan anak (arken15) dari Wijk Master
Andreas Saimima.16
Pada tahun 1930 – 1957, masa peralihan dari Belanda ke Jepang,
pemerintahan dipegang oleh Rachel Tita atau dikenal dengan nama Nona Raja.
Waktu Nona Raja sakit terjadi kekosongan kekuasaan. Untuk menyelamatkan
pemerintahan diangkat Willem Hatulesila (1957 – 1958) sebagai pejabat
sementara. Kemudian posisi pejabat digantikan oleh Alexander David Tita yang
memimpin tidak sampai satu tahun. Setelah itu, Bupati Chris Kainama
mendefenitifkan Josephus Tita (1980 – 1996) sebagai Raja Negeri Rumahtiga
yang memerintah selama dua periode.17
Kemudian sejalan dengan keputusan peraturan pemerintah yang
dikeluarkan, maka status pemerintahan Negeri diubah menjadi pemerintahan
Desa. Pada waktu itu pemerintahan di pegang oleh Ferdinand Tita (1996–2000).
Yang pada waktu itu pun terjadi tragedi kemanusiaan di Maluku yang
mengakibatkan situasi pemerintahan kacau. Dalam situasi yang demikian, beliau
tetap memimpin walaupun masa pemerintahannya telah berakhir. Pada tahun
2008, Ricky Sopacua ditunjuk oleh Walikota Ambon sebagai Pejabat sementara
15
Pengalihan dari satu marga ke marga yang lain.
Ibid.
17
Ibid.
16
41
bersamaan dengan diubah kembali status Desa menjadi Negeri sesuai dengan
keputusan Peraturan Daerah. Pada akhir tahun 2009 telah terpilih Pejabat Negeri
Rumahtiga yang baru yaitu Samuel Hendriks dan beliau dilantik pada tanggal 12
Mei 2010 dan salah satu tugasnya untuk mempersiapkan proses pemilihan Raja
Negeri Rumahtiga yang defenitif.18
2. Letak Geografis dan Sejarah Awal Negeri Rumahtiga
Negeri adat Rumahtiga secara geografis berkedudukan sebagai berikut:19
Sebelah Utara berbatasan dengan Negeri Wakal dan Hitumessing
Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Dalam dan Teluk Ambon
Sebelah Timur berbatasan dengan Hunuth-Durian Patah, petuanan
Negeri Halong
Sebelah Barat berbatasan dengan negeri Hative Besar dan Wayame
Masyarakat Rumahtiga adalah komunitas adat di Pulau Ambon yang
secara kultural termasuk dalam Uli Lisawane bersama negeri adat seperti Wakal,
Eli, Pelisa, Senalo, Hukunalo (Rumahtiga) dan dipimpin oleh Wakal yang
sekaligus adalah gandong dari Rumahtiga.20
Sebagai suatu negeri adat, masyarakat Rumahtiga terhimpun dalam tiga
soa besar yakni: Soa Pari, yang terdiri dari marga da Costa (sebagai kepala soa)
bersama dengan marga Limba, Huwae, Talahatu dan Hatumeseng, Soa
Hukunalo, yang terdiri dari marga Tita (sebagai kepala soa) bersama marga
18
Ibid.
Pemerintah Negeri Rumahtiga, 2014.
20
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
19
42
Saimima, dan Soa Haubaga, yang terdiri dari marga Hatulesila (sebagai kepala
soa), bersama dengan marga Parera, Pettipeilohy dan Narua. Kelompok marga
da Costa, Tita dan Hatulesila diyakini sebagai kelompok masyarakat asli
Rumahtiga yang sejarahnya telah dituturkan pada bagian awal Bab ini.
Sedangkan marga lain seperti Limba, Talahatu, Persulessy, Mataheru, Huwae,
Saimima, merupakan marga-marga yang juga memiliki sejarah keleluhuran
tersendiri di Rumahtiga dan diyakini pula sebagai penduduk asli Rumahtiga.21
Para penduduk asli ini menempati wilayah-wilayah adatis dalam teritori
negeri Rumahtiga antara lain di wijk-wijk yang sekarang lebih dikenal dengan
nama daerah Pohon Mangga, Kusu-kusu dan Rumahtiga Pantai. Seiring dengan
perkembangan penduduk asli ini, sebagian dari mereka mulai membuka daerah
sekitar Wailela, Kota Mahu dan Srisa Ueng (Blimbing Ueng) untuk sebagai
tempat permukiman baru. Negeri Rumahtiga pun berkembang dan kawasan
permukiman baru itu kini lebih dikenal dengan nama Wailela.22
Penduduk asli ini yang kemudian menjadi penganut agama Kristen. Dari
sejarahnya, mereka semula adalah orang-orang Katolik, yaitu komunitas orang
Hukunalo yang bergaul erat dengan Portugis semasa Portugis diusir dari Hitu
dan menyebar ke Leitimor dan mendirikan benteng pertahanan (New Victoria).
Jejak Katolisisme agak sulit ditemui di Rumahtiga. Kecuali itu, fakta adanya
sebagian jemaat Parokhi Katolik di Rumahtiga dewasa ini adalah perkembangan
baru seiring dengan pembauran sosial akibat berdirinya Universitas Pattimura.23
21
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
Ibid.
23
Ibid.
22
43
3. Konteks Pembauran Sosial di Rumahtiga:
a. Pembauran Sosial Masyarakat Rumahtiga
Jemaat Rumahtiga yang homogen ternyata sudah lama hidup bersama
dengan komunitas sub-etnis lain. Dalam sejarahnya, orang-orang Hukunalo yang
kemudian turun dari Hatu Parinusa menetap di daerah yang kini menjadi negeri
Rumahtiga. Orang-orang dari Seram, dalam hal ini moyang dari marga Tita
merupakan salah satu kelompok sub-etnik (Alune) yang menempati Rumahtiga
dan menjadi salah satu penduduk asli negeri itu. Nama da Costa adalah nama
Portugis yang diperkirakan ada di Rumahtiga karena perkawinan dengan
penduduk setempat. Selain itu marga Limba, merupakan marga lain yang datang
ke Rumahtiga dan diperkirakan dari Bali pada saat ekspansi Majapahit, jadi
sudah ada jauh lebih awal sebelum masuknya Portugis dan Belanda. Mereka
kemudian menyebar ke Toraja.24
Tentang orang-orang Buano di Rumahtiga tidak ada lagi penanggalan
yang jelas. Tetapi beberapa fakta sejarah menunjukkan bahwa komunitas orang
Buano sudah ada di Rumahtiga dan bukti situs Mesjidnya masih ada hingga kini,
yakni di Wijk Kusu-kusu. Komunitas Buano diperkirakan datang di zaman
Portugis. Rupanya mereka menjadi pekerja untuk membangun Benteng di tepi
teluk Ambon. Di masa Belanda, orang-orang Lease yang diambil sebagai
pendayung armada Hongi turut dimukimkan berdekatan dengan orang Buano di
Rumahtiga.25
24
25
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
Ibid.
44
Sejarah dengan orang Buano cukup tragis. Perang antara orang Hukunalo
atau orang Rumahtiga dengan Buano terjadi secara besar-besaran, dan
mengakibatkan orang-orang Buano keluar meninggalkan negeri Rumahtiga.
Peperangan ini terjadi karena orang-orang Buano yang adalah pekerja benteng
teluk Ambon bertengkar dengan orang-orang Lease yang adalah pendayung
armada hongi yang pada saat itu sedang bermukim di Rumahtiga, pertengkaran
ini diakibatkan oleh karena masalah yang kurang jelas. Sehingga terjadi baku
pukul dan armada Hongi sempat dibakar. Saat hendak keluar mereka bersumpah
tidak akan kembali ke Rumahtiga untuk alasan apa pun terutama mendirikan
rumah untuk bermukim.26
Selain orang-orang Buano, kemudian pula orang-orang Leihitu, Lease
dari Saparua, Nusalaut dan Haruku juga datang dan menempati Rumahtiga.
Marga-marga seperti Talahatu, Hetharion dan Tulaseket dari Lilibooy
menempati Rumahtiga dan terus menetap sampai saat ini. Sedangkan dari
Saparua yakni Pattipeilohy, Saimima dan Persulessy malah menempati posisi
strategis dalam pemerintahan Wijk di Rumahtiga pada zaman Belanda. Selain itu
dari Haruku seperti Mataheru juga menempati posisi yang serupa.27
Hal ini menandakan bahwa konteks pembauran sosial di Rumahtiga di
masa lampau meninggalkan indikasi dialektika sosial: di satu sisi konflik dan di
sisi lain relasi mutual antarsub-etnik yang berbeda. Salah satu contoh dari
dialektika mutual itu ialah setiap orang dagang yang datang dan tinggal diberi
lahan untuk membangun rumah oleh marga asli tertentu dan jika ada suatu acara
26
27
Ibid.
Ibid.
45
keluarga (pesta perkawinan, syukuran sidi dan baptisan) semua penduduk negeri
diundang menghadiri acara dimaksud.28
Dari data statistik penduduk Rumahtiga, komposisi penduduknya dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 01 :
Komposisi Penduduk Rumahtiga
No. Agama/Denominasi Jumlah
Jumlah
KK
Jiwa
1. Islam
887
5134
2. Protestan
949
4116
3. Katolik
15
66
4. Pentakosta
7
32
Total
1858
9348
Sumber: Pemerintah Negeri Rumahtiga, 2014
Data tersebut adalah gambaran mengenai keberadaan masyarakat
Rumahtiga pasca konflik sosial 1999 atau setelah kembali dari pengungsian pada
tahun 2005. Dari situ tergambar bahwa pembauran sosial di Rumahtiga saat ini
terjadi di antara komunitas kristen (Protestan dan Katolik) dengan muslim.
Corak bermukim pun terstruktur seperti dahulu sebelum konflik. Penduduk
Kristen tinggal di daerah yang disebut Negeri Rumahtiga (awal), sedangkan
penduduk Muslim menempati dusun-dusun seperti Taeno, Kota Jawa,
Karanjang, Waringin Cap, Air Ali, Telaga Pange, Bandari, dan Pasar
Rumahtiga.29
Sedangkan realitas penduduk asli dan pendatang, dari data jumlah jiwa
pada masyarakat Rumahtiga, komposisinya menunjukkan perbandingan yang
28
29
Ibid.
Hasil wawancara dengan Ibu. N. D., pada 23 November 2014.
46
cukup signifikan, yakni penduduk asli sejumlah 570 jiwa atau 138 KK,
sedangkan penduduk dalam kategori pendatang sejumlah 8.778 jiwa atau 1720
KK.30
Penduduk Rumahtiga sangat terbuka dan pembauran sosialnya tidak bisa
dibendung. Akibatnya komunitas pendatang, yang masuk melalui migrasi dan
perkawinan lebih tinggi jumlahnya dari penduduk asli. Hal itu berlaku pula pada
jemaat atau orang-orang kristen, mengingat Rumahtiga semula adalah komunitas
protestan yang homogen.
Sedangkan mata pencaharian masyarakat Negeri Rumahtiga didominasi
oleh Petani. Dari jumlah penduduk Negeri Rumahtiga sebanyak 9.348 jiwa,
rincian mata pencahariannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 02 :
Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No.
Jenis Pekerjaan
Jumlah (orang)
1
PNS
698
2
Wirausaha
440
3
Petani
703
4
Sopir
56
5
TNI/POLRI
428
6
Buru/Swasta
94
7
Pengusaha
42
8
Pedagang
305
12 Lain-lain
93
2.859
Jumlah
Sumber : Pemerintah Negeri Rumahtiga, 2014
30
Ibid.
47
b. Komunitas Buton di Rumahtiga
Orang Buton di Rumahtiga ternyata memiliki sejarah yang cukup
panjang. Oleh alasan-alasan penuturan sejarah seperti telah dikemukakan
sebelumnya, jejak ke awal kedatangan komunitas Buton pun agak sulit
dipastikan. Namun lazimnya sejarah kedatangan orang Buton ke Maluku dapat
dipastikan bersamaan dengan masuknya armada dari Malaka dan Makassar
dalam rangka perdagangan rempah-rempah di awal abad ke-14.31
Dalam gradasi sejarah itu, orang Buton terkenal sebagai pengelana yang
memiliki tipikal berbeda dari orang-orang Cina, India dan Arab yang juga
mengunjungi dan malah tinggal dan membangun permukiman serta melakukan
aktifitas perekonomian di Ambon.32 Orang Buton pada awalnya memilih tinggal
di pesisir pantai dan menekuni kerja sebagai nelayan. Mereka makan seadanya
dari hasil tangkapan dan hasil bameti33. Namun lambat laun mereka meminta ijin
untuk menjaga kebun atau dusun cengkih, kelapa dan pala milik penduduk asli
setempat. Atas ijin itu mereka mulai membangun rumah untuk dihuni dengan
tetap mempertahankan tipe rumah panggung, sebagai model dan gaya rumah
orang Buton di sepanjang pulau Ambon.34
Dari konteks itu mereka mulai membangun kampung di dusun-dusun
atau di kawasan yang sebelumnya disebut ewang35 oleh penduduk asli setempat.
Lambat laun komunitas ini mulai berkembang. Saudara-saudara mereka dari
31
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
Elifas Tomix Maspaitella, Ambtenar dan Pendatang: Klaim Landscape dan Interelasi
Demografis di Ambon, diakses penulis dari http://www.kutikata.blogspot.com, tanggal 12
Desember 2014.
33
Kegiatan melaut pada saat air laut sedang sudut.
34
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
35
Hutan (rimba/belantara).
32
48
Pulau Buton atau tempat lain di Pulau Ambon mulai berdatangan dan
membangun juga rumah dengan alasan yang sama. Dari waktu ke waktu seiring
dengan bertambahnya penduduk, wilayah hunian mereka menjadi semakin
terbuka dan melebar. Mereka mampu menjangkau kawasan ewang yang lebih
jauh lagi dan membangun pula perkampungan yang baru. Di Rumahtiga tipikal
itu sangat kelihatan. Malah di Rumahtiga komunitas Buton menempati lebih
dari satu tempat yang kemudian menjadi dusun, seperti Taeno, Telaga Pange,
Air Ali, Bandari, dan Waringin Cap yang dahulu ditempati orang-orang
Hukunalo sebelum turun atau diturunkan ke negeri saat ini.36
Konteks pembauran sosial di Rumahtiga antara penduduk asli dan
pendatang ternyata bukan hanya yang berasal dari Maluku, melainkan juga
komunitas Buton dari Sulawesi Tenggara. Di sisi lain, pembauran antaragama
menjadikan Rumahtiga sebagai negeri adat yang majemuk dari sisi agama, sebab
komunitas Buton beragama Islam dan tinggal sejak puluhan tahun di Rumahtiga.
Relasi dengan komunitas Buton selama ini berlangsung baik. Dalam sistem
pemerintahan,
dusun-dusun
yang
dihuni
orang
Buton/Muslim
diberi
kewenangan tertentu melalui kepala Dusun. Semula Kepala Dusun dijabat oleh
orang-orang Rumahtiga yang beragama Kristen, termasuk orang dagang Kristen
karena mayoritas yang terdapat dalam Negeri Rumahtiga adalah Kristen. Kini
semua kepala dusun adalah orang Buton.37
36
37
Ibid.
Hasil wawancara dengan Bpk. E. M., pada 12 Desember 2014.
49
C. Pandangan Orang Rumahtiga Tentang Kebersamaan Dalam
Falsafah Sagu Salempeng Patah Dua Pasca Konflik 1999
1. Sagu Salempeng Patah Dua Sebagai Identitas dan Lambang
Pemersatu
Sagu salempeng patah dua, mencerminkan sikap batin orang Maluku itu
sendiri. Falsafah sagu salempeng patah dua merupakan energi budaya yang
menggerakan orang Maluku untuk mampu membina hidup bersama yang
harmonis dalam perbedaan-perbedaan yang eksistensial. Hal inilah yang
membuat Maluku termaknai sebagai sebuah keluarga besar yang majemuk dan
kemajemukan itulah membuatnya besar. Sagu salempeng patah dua dimaknai
sebagai kehidupan yang saling peduli dan berbagi dengan hubungan-hubungan
batiniah yang terbangun dalam cara hidup orang Maluku.38
Dapat dikatakan bahwa sagu salempeng patah dua dimaknai sebagai
kehidupan yang saling peduli dan berbagi dalam hal ini semua hal dalam
kehidupan orang Maluku dilakukan atas dasar saling peduli dan berbagi. Secara
sederhana dapat pula dikatakan kesusahan satu orang merupakan kesusahan
semua orang. Oleh kerena itu harus ditanggung secara bersama atas dasar
kehidupan orang basudara di Maluku. Inilah eksistensi orang Maluku yang
berbeda dalam banyak hal dan merangkai perbedaan-perbedaan itu menjadi
kehidupan yang harmonis. Orang tatua (para leluhur), berkat kepeduliannya
telah mewariskan falsafah hidup orang basudara melalui falsafah sagu
38
Ibid.
50
salempeng patah dua sebagai gaya hidup yang menunjang terbinanya hidup
yang harmonis dengan mengelola banyak perbedaan yang dipandang sebagai
anugerah.39
Falsafah
Sagu salempeng patah dua merupakan salah satu identitas
orang Maluku yang sangat dipegang teguh oleh para orang tua yang dulunya
sangat merasakan dan mengimplementasikan falsafah tersebut dalam tatanan
kehidupan sosial masyarakat Maluku. Mengapa demikian? Sagu selain dijadikan
sebagai makanan pokok orang Maluku, filosofisnya diartikan lebih mendalam
dari sekedar pemaknaan „makanan pokok‟ tersebut tegas Bapak E.M.40
Baginya, sagu telah dilekatkan sebagai jati diri orang Maluku dimanapun
mereka membangun kehidupan. Hakikatnya ketika berbicara tentang jati diri itu
berarti orang Maluku membangun sebuah kehidupan yang berpola pada
kerasnya sagu yang tidak mudah untuk dihancurkan. Dengan bahasa yang
sederhana mau dikatakan bahwa, kerasnya sagu menunjukkan hubungan
persaudaraan orang Maluku yang sangat intim tidak hanya bagi satu agama saja
misalnya Kristen tetapi, bagi semua agama di Maluku tanpa terkecuali.
Pemaknaaan selanjutnya tentang sagu salempeng patah dua itu berbicara tentang
kehidupan yang saling berbagi. Filosofi inilah yang dipakai sebagai identitas
orang Maluku.41
Sagu salempeng patah dua tidak hanya dimaknai sebagai identitas orang
Maluku saja. Akan tetapi, hal tersebut juga dimaknai sebagai lambang
pemersatu. Sagu salempeng patah dua yang artinya ialah sagu dibagi menjadi
39
Hasil wawancara dengan Bpk. Z. W., pada 30 November 2014.
Hasil wawancara dengan Bpk. E. M., pada 12 Desember 2014.
41
Ibid.
40
51
dua bagian bukan menunjukan kehancuran dalam tatanan kehidupan masyarakat
Maluku melainkan dengan adanya pembagian sagu menjadi dua bagian tersebut
mau menunjukan bahwa masyarakat Maluku memiliki nilai hidup kasih,
kepedulian dan saling berbagi yang sangat tinggi sehingga lewat nilai-nilai itulah
menyatukan semua masyarakat Maluku tanpa memandang status sosial, ras
bahkan agama sekalipun. Berbicara tentang sagu sebagai lambang pemersatu itu
berarti berbicara tentang turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain,
tegas Bapak E.M.42
Dengan sederhana mau dikatakan, sagu salempeng patah dua
memberikan nilai hidup yang berharga bagi orang Maluku bahwasanya hidup
orang bersaudara sangat berharga nilainya dibandingkan dengan apapun.43
Pepatah usang (sudah lama; sudah kuno; sudah sudah tidak lazim lagi)44
orang Maluku ale rasa beta rasa45 atau juga ibarat pepatah berat sama dipikul
ringan sama dijinjing begitulah nilai-nilai yang dilahirkan dari filosofi sagu
salempeng patah dua. Filosofi ini tidaklah terbantahkan dalam keberadaan plural
masyarakat Maluku. Nilai-nilai kehidupan yang dimaknai dari filosofi sagu
salempeng patah dua telah lama terpatri dalam tatanan kehidupan sosial
masyarakat Maluku. Setiap generasinya diajarkan untuk mewujudnyatakan
filosofi tersebut dalam kehidupan kebersamaan.46
Benar bahwa, sagu salempeng patah dua ialah identitas dan lambang
pemersatu bagi masyarakat Maluku. Akan tetapi, realita kehidupan yang
42
Ibid.
Ibid.
44
http://www.kbbi.web.id/usang., diunduh pada 10 April 2015.
45
Pepatah orang Maluku yang artinya saling merasakan suka dan duka bersama-sama.
46
Hasil wawancara dengan Bpk. Z.W., pada 30 November 2014.
43
52
ditampilkan sekarang ini tidak lagi menunjukan nilai-nilai yang dilahirkan dari
falsafah hidup orang Maluku tersebut masih terpelihara. Sejatinya sagu
salempeng patah dua yang dimaknai sebagai lambang pemersatu tersebut lamakelamaan tidak lagi memiliki eksistensi dalam tatanan kehidupan sosial orang
Maluku sehingga ketika makna dari lambang pemersatu tersebut mulai bergeser
secara tidak langsung orang Maluku akan kehilangan identitas mereka.47
Hal ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari, di mana ada rasa
ketidaknyamanan dari pihak orang Kristen maupun Muslim, jika mereka berada
di wilayah-wilayah yang bukan merupakan wilayah mayoritas dari pihak mereka
yang beragama Kristen maupun Islam. Ketidaknyamanan ini meruapakan salah
satu akibat yang timbul pasca atau sesudah konflik kemanusiaan yang terjadi di
Maluku beberapa tahun lalu. Padahal jika dibandingkan dengan keadaan
sebelum terjadinya konflik, baik orang Kristen maupun orang Islam, hidupnya
saling berdampingan dan tidak ada rasa ketidaknyamanan seperti yang sekarang
dirasakan oleh kedua belah pihak. Contohnya: pada waktu dulu, orang Kristen
dan orang Islam hidup bertetangga dalam satu wilayah atau kompleks. Namun
sekarang, kehidupan yang dulu telah berubah dan sangat berbeda, d imana orang
Kristen sekarang tinggal dalam wilayahnya sendiri dan sebaliknya orang Islam
pun telah tinggal di tempat atau wilayah yang mayoritas beragama Islam.
Dengan demikian, eksistensi dari falsafah sagu salempeng patah dua dalam
47
Ibid.
53
tatanan kehidupan sosial orang Maluku, kini mulai bergeser dalam hal
prakteknya.48
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Pemaknaan
Sagu
Salempeng
Patah
Dua
Dalam
Praktek
Kehidupan
Masyarakat Rumahtiga
Bergesernya pemaknaan akan falsafah hidup orang Maluku sagu
salempeng patah dua tentu memiliki akar penyebab mengapa hal tersebut
terjadi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya pergeseran pemaknaan
sagu salempeng patah dua oleh masyarakat negeri Rumahtiga. Ketika dikatakan
adanya pergeseran pemaknaan dari falsafah tersebut, Bapak O.L menguraikan
bahwa modernisasi yang mengakibatkan lahirnya sifat-sifat individualistis
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pergeseran pemaknaan falsafah
hidup tersebut. Masyarakat Maluku terkhusus masyarakat negeri Rumahtiga
telah terkontaminasi dengan pola hidup modern yang cenderung mementingkan
diri sendiri sehingga seolah melupakan kehidupan kebersamaan yang terbentuk
oleh falsafah sagu salempeng patah dua tersebut. Faktor yang dimaksudkan oleh
narasumber diistilahkan sebagai faktor individualistis.49
Bapak S.L juga menambahkan bahwa faktor yang tidak kalah penting
ialah konflik atau tragedi kemanusiaan yang terjadi beberapa tahun silam.
Baginya, konflik telah melahirkan luka yang dalam bagi masyarakat negeri
Rumahtiga. Luka konflik tersebut menjadi trauma yang mendalam bagi mereka
48
49
Hasil wawancara dengan Bpk. S.L, pada 28 November 2014.
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
54
hingga kini. Faktor kedua ini dianggap sangat esensial terjadinya pergeseran
pemaknaan falsafah sagu salempeng patah dua.50
Selain dari kedua faktor penyebab diatas, Bapak A.M juga menambahkan
bahwa pembauran etnik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya pergeseran pemaknaan sagu salempeng patah dua. Pembauran etnik
yang dimaksudkan ialah lebih banyaknya warga pendatang dari luar daerah
Maluku dibandingkan dengan warga asli masyarakat Rumatiga. Dengan adanya
dominasi penduduk pendatang inilah warga asli mulai terpengaruh oleh hasutan
mereka terkhusus kepada penduduk asli yang kurang memahami nilai adat
istiadat tentang hidup persaudaraan. Hasutan yang dimaksudkan ialah agama
dipakai sebagai bahan legitimasi politik sehingga menyebabkan sentimen agama.
Dengan begitu, perpecahan dan konflik akan mudah terjadi di Maluku terkhusus
dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat negeri Rumahtiga yang dulunya
sangat menghidupi falsafah hidup sagu salempeng patah dua.51 Bapak O.L juga
menambahkan bahwa yang menyebabkan bergesernya falsafah sagu salempeng
patah dua dari kehidupan masyarakat atau orang Maluku dan warga Negeri
Rumahtiga adalah para pendatang yang hadir tengah-tengah kehidupan mereka
dengan cara berdagang dan berdomisili di daerah Negeri Rumahtiga.52
Berdasarkan hasil wawancara, maka hal-hal tersebut merupakan faktorfaktor yang telah menyebabkan terjadinya pergeseran aktualisasi nilai sagu
salempeng patah dua, di mana masyarakat Negeri Rumahtiga dulunya sangat
memaknai falsafah hidup sagu salempeng patah dua sebagai nilai hidup
50
Hasil wawancara dengan Bpk. S.L, pada 28 November 2014.
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
52
Hasil wawancara dengan Bpk. O. L., pada 23 November 2014.
51
55
persaudaraan yang diwariskan dari leluhur kepada masyarakat Negeri
Rumahtiga.
3. Dampak dari Pergeseran Pemaknaan Sagu Salempeng Patah Dua
Realita kehidupan sosial yang dulunya telah dibangun oleh orang tua
dahulu bahwasannya setiap generasi Maluku harus melestarikan bahkan
mempraktekkan filosofi yang telah mereka bentuk dan lahirkan lewat
pemaknaan sagu salempeng patah dua kini mulai pudar dalam prakteknya.
Seolah pemaknaan filosofi tersebut oleh generasi Maluku sekarang ini tidak lagi
bermakna oleh karena faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas. Dengan
adanya faktor-faktor tersebut menimbulkan dampak terhadap pola hidup
masyarakat negeri Rumahtiga.53
Pemaknaan sagu salempeng patah dua memang bergeser, akan tetapi
lebih dari itu hal ini tidak hilang sama sekali. Sagu salempeng patah dua lebih
dirasakan pada masa lalu namun, tidak untuk sekarang ini. Bpk A.M kemudian
bercerita bahwa, ketika Hari Raya Natal atau Lebaran biasanya warga bebas
untuk saling mengunjungi, di mana orang Muslim datang berkunjung ke orang
Nasrani pada waktu Natal dan sebaliknya pada saat Lebaran tiba. Akan tetapi
pada masa sekarang, kegiatan ini hanya dilakukan sebatas pada adanya
hubungan keluarga. Pengakuan ini pun diungkapkan oleh Ibu N.D, di mana
setelah konflik warga Muslim maupun Kristen terlihat sudah memiliki jarak
53
Hasil wawancara dengan Bpk. Z. W., pada 30 November 2014.
56
padahal sebelum konflik 1999, jarak itu seakan tidak ada dan tidak ada rasa takut
satu dengan yang lain.54
Diakui juga bahwa sagu salempeng patah dua sudah mulai bergeser
sejak konflik 1999 namun masih ada yang melakukannya dalam kehidupan
setiap hari antar tetangga.55 Berbagai macam bentuk acara yang bersifat
kebersamaan
dilakukan
oleh
masyarakat
Negeri
Rumahtiga
untuk
mengembalikan rasa persaudaraan antar sesama, di antaranya makan patita atau
makan bersama yang bermanfaatkan untuk mempersatukan masyarakat Negeri
Rumahtiga. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Rumahtiga, baik yang beragama
Islam maupun Kristen. Dengan demikian, dijelaskan bahwa sagu salempeng
patah dua bukan hanya untuk orang Islam maupun Kristen melainkan untuk
semua kalangan umat beragama yang berdomisili di Negeri Rumahtiga.56
Inilah realita yang terjadi, karena bagi masyarakat Negeri Rumahtiga,
sagu salempeng patah dua merupakan falsafah hidup orang Maluku yang kini
sudah mulai terkikis namun tidak ditinggalkan sama sekali serta masih dapat
ditemui dalam acara-acara tertentu seperti acara ikat tali gandong maupun acara
adat lainnya.57
Selain dampak-dampak yang telah dikemukakan di atas, kecurigaan
antara individu atau kelompok yang berbeda agama pun masih terpelihara
hingga kini. Konflik telah menimbulkan kecurigaan yang besar bagi sesama
terkhusus untuk kaum Muslim dan Nasarani. Sagu salempeng patah dua dilihat
54
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
Hasil wawancara dengan Ibu. N. D., pada 23 November 2014.
56
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
57
Hasil wawancara dengan Bpk. Z. W., pada 30 November 2014.
55
57
sebagai pemersatu bagi masyarakat Negeri Rumahtiga yang terbecah-belah
karena konflik namun lewat kehadiran sagu salempeng patah dua, warga
Muslim maupun Nasrani yang ketika konflik melarikan diri dan mengungsi di
luar daerah atau kawasan Negeri Rumahtiga, kini kembali dengan alasan bahwa
mereka adalah satu ikatan persaudaraan yang harus kembali ke tanah asal
mereka yaitu Negeri Rumahtiga.58
Sagu salempeng patah dua telah hidup sejak dahulu dalam kehidupan
masyarakat Rumahtiga. Sagu salempeng patah dua juga bukan hanya
dipratekkan dalam kehidupan sesama masyarakat Rumahtiga melainkan juga
dilakukan oleh masyarakat Rumahtiga terhadap para pendatang yang kini telah
hidup bersama dengan masyarakat Rumahtiga. Namun hal ini mulai bergeser
ketika konflik di Maluku terjadi pada tahun 1999. Tetapi konfllik tidak secara
mutlak menghilangkan falsafah ini dari kehidupan masyarakat Negeri
Rumahtiga. Hal lain yang juga mempengaruhi bergesernya falsafah ini adalah
sikap individualisme yang di mana orang sudah tidak lagi mementingkan
kepentingan bersama melainkan lebih dari itu orang lebih banyak memikirkan
dan mementingkan kepentingan pribadi demi kesejahteraan hidupnya.59
Modernisasi juga menjadi salah satu faktor bergesernya falsafah tersebut,
hal ini disebabkan oleh karena masyarakat Negeri Rumahtiga sudah memiliki
lapangan pekerjaan yang berbeda-beda sehingga hal tersebut juga mempengaruhi
pola pikir masyarakat. Misalnya: berbagai macam pekerjaan yang menjadi
tanggung jawab masing-masing, mengakibatkan orang tidak lagi memiliki pola
58
59
Ibid.
Hasil wawancara dengan Bpk. Z. W., pada 30 November 2014.
58
pikir yang sama sehingga kadangkala terjadi kesalahpahaman satu terhadap yang
lain.60
Dengan kata lain, keberadaan dan pemaknaan sagu salempeng patah dua
saat ini hanya sebatas kata-kata yang kemudian marak dibicarakan sesuai
kebutuhan, namun lebih dari itu perwujudannya dalam kehidupan setiap hari
sudah mulai bergeser tetapi tidak hilang sama sekali.
D. Rangkuman :
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dikatakan bahwa falsafah sagu
salempeng patah dua telah sejak zaman dahulu dan merupakan warisan dari
leluhur. Sagu salempeng patah dua merupakan identitas masyarakat Negeri
Rumahtiga yang telah menjadi pola hidup dari masyarakat Negeri Rumahtiga
untuk membina kehidupan sosial yang lebih baik. Sagu salempeng patah dua
memiliki makna penting bagi masyarakat Negeri Rumahtiga, yaitu hidup saling
berbagi, saling tolong-menolong dan saling mempedulikan satu dengan yang
lainnya.
Aktualisasi nilai falsafah sagu salempeng patah dua dulunya sangat baik,
tetapi sekarang mulai bergeser. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
konflik kemanusiaan yang menimpa Negeri Ruamhtiga, pembauran etnik dan
pengaruh modernisasi. Meskipun demikian, falsafah sagu salempeng patah dua
tidak ditinggalkan sama sekali. Hal ini terbukti dengan masih diberlakukannya
ritual-ritual adat untuk kembali memperkuat eksistensi dari nilai sagu salempeng
60
Hasil wawancara dengan Bpk. A. M., pada 25 November 2014.
59
patah dua untuk membina kehidupan bersama dalam masyarakat Negeri
Rumahtiga, seperti: makan patita dan panas gandong.
60