Analisis Pemetaan Kebisingan dari Aktivitas Pesawat di Kawasan Bandar Udara Internasional Kualanamu

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bandar Udara dan Tata Ruang Bandara
2.1.1 Bandar Udara
Bandar udara atau bandara memiliki pengertian yang berasal dari kata ”Bandar” (tempat
berlabuh) dan “udara”. Bandar udara diartikan sebagai suatu tempat di darat atau di air
dimana pesawat udara dapat mendarat untuk menurunkan atau mengangkut penumpang
dan barang, mengadakan perbaikan atau mengisi bahan bakar (G&G Meriem Company,
1959). Menurut Annex 14 dari International Civil Aviation Organization (ICAO),
bandar udara adalah area tertentu di daratan atau perairan (termasuk bangunan, instalasi
dan peralatan) yang diperuntukan baik secara keseluruhan atau sebagian untuk
kedatangan, keberangkatan dan pergerakan pesawat.
Bandar udara berfungsi sebagai suatu tempat dengan segala perlengkapan beserta
gedungnya, dipakai untuk pemberangkatan, pendaratan dan pelayanan bagi pesawat
terbang dengan segala muatannya, berupa penumpang dan barang. Artinya, bandar
udara merupakan tempat perpindahan dari sub sistem angkutan udara ke udara, udara ke
darat atau udara ke air. Dewasa ini fungsi bandar udara telah banyak bergeser di
beberapa belahan dunia. Pergeseran dimaksud adalah pengelolaan bandar udara yang
semula berfungsi sebagai tempat tujuan (destination airport) berubah menjadi tempat
transit (transit airport) yang sekaligus merupakan kawasan bisnis (aerometropolitan)
(Oktavia, 2010).

Menurut Oktavia (2010), wujud dasar suatu bandar udara umumnya dikelompokkan
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
1. Terminal Building yang di dalamnya terdapat:
a. Bangunan terminal sebagai fasilitas wadah kegiatan penanganan penumpang dan
barang, kegiatan airlines, pengelolaan dan kegiatan lain yang mendukungnya.
b. Hanggar dari pesawat sebagai wadah kegiatan pemeliharaan pesawat.
c. Fasilitas pemeliharaan bandar udara, termasuk pemadam kebakaran.

Universitas Sumatera Utara

d. Apron, untuk fasilitas bongkar muat barang dan penumpang serta juga wadah
kegiatan pelayanan teknis pesawat.
2. Landasan pacu (runway) yang meliputi prinsip pengaturan tata letak runway yang
dapat dibagi jadi 3 bagian, yakni: single runway, parallel runway, dan divergent
runway. Pengaturan ini dapat dikembangkan lebih lanjut yang dipengaruhi oleh
kebutuhan panjangnya, jumlah dan arah runway.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 pasal 3 ayat 2 menjelaskan
bahwa berdasarkan cakupannya, bandar udara terbagi atas, yaitu:
1. Umum, ditujukan untuk melayani kepentingan umum.
2. Khusus, ditujukan untuk melayani kepentingan sendiri atau kelompok. Biasanya

merupakan milik swasta atau suatu kelompok usaha bisnis.
2.1.2 Tata Ruang Bandara
Tata ruang bandar udara dalam hal ini yang dibicarakan adalah tata ruang yang
berkaitan dengan perasional penerbangan yaitu tata ruang tentang keselamatan
penerbangan yang diatur oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) pada
Annex 14 tentang bebas hambatan untuk pesawat terbang take off, landing maupun
holding yang berhubungan dengan kawasan lingkungan di sekitar bandar udara
diantaranya radius 0 – 4000 m sebelah kanan dan kiri. Tinggi bangunan bandar udara
tidak boleh lebih dari 45 m kecuali obyek tetap seperti bukit atau gunung (Chaeran,
2008).
Pada jalur approach take off pada suatu lokasi yang jaraknya dari landas pacu antara 0 15.000 m tinggi kemiringan 2% dari jarak suatu lokasi dari ujung landas pacu, jika
suatu landas pacu berarti tinggi kemiringan 2% x 400 m : 80 m dan seterusnya
(Chaeran, 2008).
Pada jalur approach landing pada suatu lokasi yang jaraknya dari landas pacu 0 – 6600
m tinggi kemiringan 2% dari jarak suatu lokasi dari ujung landas pacu, jika jaraknya
6000 m berarti kemiringan tinggi 2% x 6000 m : 120 m tetapi setelah jarak 8400 m dan
seterusnya tinggi kemiringan 150 m (Chaeran, 2008).

II-2


Universitas Sumatera Utara

2.2 Suara, Bunyi dan Bising
2.2.1 Suara
Suara didefinisikan sebagai gelombang yang bergerak di udara atau media elastis atau
sesuatu yang merangsang mekanisme pendengaran kemudian menghasilkan persepsi
suara (Suryati, 2015).
Suara merupakan manifestasi energi dari pergerakan perambatan melalui media (udara,
air, logam, dan lain-lain) yang didengar oleh telinga manusia. Suara yang dapat
didengar manusia hanya rentang frekuensi tertentu yang dapat menimbulkan respon
pada pendengaran (Nasri, S. 1997).
Laju rambat gelombang suara di udara bergantung pada suhu sekitar. Pada suhu 20°C
laju rambat suara sekitar 344 m/dt. Setiap kenaikan 10°C maka laju rambat suara
bertambah sekitar 0,61 m/dt. Dalam pengendalian kebisingan diasumsikan bahwa laju
rambat suara di udara tidak tergantung pada frekuensi dan kelembaban udara
(Sasongko, dkk, 2000).
2.2.2 Bunyi
Bunyi adalah perubahan tekanan yang dapat dideteksi oleh telinga atau kompresi
mekanikal atau longitudinal yang merambat melalui medium, medium atau zat
perantara ini dapat berupa zat cair, padat, dan gas. (Quielle, 2015).

Bunyi adalah suatu gelombang berupa getaran dari molekul-molekul zat yang saling
berada satu dengan yang lain secara terkoordinasi sehingga menimbulkan gelombang
dan meneruskan energi serta bunyi yang menimbulkan kebisingan disebabkan oleh
sumber suara yang bergetar, sedangkan getaran sumber suara ini mengganggu
keseimbangan molekul-molekul udara di sekitarnya sehingga molekul-molekul udara
ikut bergetar. Getaran sumber ini menyebabkan terjadinya gelombang rambatan energi
mekanis dalam medium udara menurut pola rambatan longitudional. Rambatan
gelombang di udara ini dikenal sebagai suara atau bunyi (Sasongko, dkk, 2000).
Terdapat 2 (dua) hal yang menentukan kualitas bunyi, yaitu:

II-3

Universitas Sumatera Utara

1. Frekuensi bunyi, yaitu sejumlah fluktuasi atau fibrasi perdetik yang diekspresikan
dalam Hz (satuan frekuensi yang sama dengan satu rangkaian perdetik), yang
dirasakan secara subyektif sebagai pola titik nada (Grandjean, E. 1988).
2. Intensitas bunyi, yaitu arus energi persatuan luas yang dinyatakan dalam satuan
decibel (dB), membandingkannya dengan kekuatan dasar 0,0002 dyne/cm2 yaitu
kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang tepat dapat di dengar oleh

telinga normal (Suma’mur, P.K. 1996).
2.2.3 Bising
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 tahun 1996 Pasal 1 Ayat
1 kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam waktu
singkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 51
Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 10 semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari
alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat
menimbulkan gangguan pendengaran.
Bising adalah setiap bunyi gabungan dari berbagai bunyi-bunyian yang mempunyai
efek yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan pada perasaan para pendengar
yang tingkat atau intensitasnya dapat diukur (Sasongko, dkk. 2000).
Kebisingan merupakan suara yang tidak diinginkan yang bersumber dari alat produksi
dan atau alat yang pada tingkat tertentu akan menimbulkan gangguan pendengaran.
Kebisingan (noise) dapat juga diartikan sebagai sebuah bentuk getaran yang dapat
berpindah melalui medium padat, cair, dan gas (Harris, 1991).
Berdasarkan frekuensi tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi dan tenaga bunyi maka
bising dibagi dalam 3 (tiga) kategori yaitu (Gabriel, J.F. 1996).
1. Audible Noise (bising pendengaran), biisng ini disebabkan oleh frekuensi bunyi
antara 31,5 – 8.000 Hz.

2. Occupational Noise (bising yang berhubungan dengan pekerjaan), bising yang
disebabkan oleh bunyi mesin di tempat kerja.

II-4

Universitas Sumatera Utara

3. Impuls Noise (impact noise = bising impulsive), bising yang terjadi akibat adanya
bunyi yang menyentak. Misalnya pukulan palu, ledakan meriam, tembakan bedil dan
lain-lain.

Sumber bising merupakan gabungan dari beberapa komponen sumber suara (PT.
Quadrant Utama, 1998):
a. Fluid Turbulence, bising yang terbentuk oleh getaran yang diakibatkan benturan
antar partikel pada pipa, valve, gas exhaust, moving and vibration part, bising terjadi
oleh getaran yang disebabkan oleh gesekan, benturan atau ketidakseimbangan
gerakan bagian mesin/peralatan seperti bearing pada kompresor, turbin, pluks
pompa, dan blower.
b. Electrical Equipment, bising yang disebabkan efek perubahan fluks elektromagnetik
pada bagian inti yang terbuat dari logam, misalnya generator, motor listrik,

transformator.
c. Temperatur Difference, bising yang terbentuk oleh pemuaian dan penyusutan fluida,
misalnya terjadi pada mesin jet pesawat.

Menurut Buchari (2007), berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia bising dapat
dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Bising yang mengganggu (irritating noise). Intensitasnya tidak terlalu keras,
misalnya: suara mendengkur.
b. Bising yang menutupi (masking noise) merupakan bunyi yang menutupi pendengaran
yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan keselamatan dan
kesehatan tenaga kerja, karena teriakan atau tanda bahaya tenggelam dalam bising
sumber bunyi.
c. Bising

yang merusak

(damaging/injurious noise) merupakan bunyi

yang


intensitasnya melebihi nilai ambang batas kebisingan. Bunyi jenis ini akan merusak
atau menurunkan fungsi pendengaran.

Menurut

Moriber

(1974),

kebisingan

pada

berbagai

level

intensitas

dapat


mengakibatkan kerusakan yang bertingkat-tingkat. Kerusakan ini antara lain:
a. > 80 dB

: menyebabkan kerusakan pendengaran sebagian

II-5

Universitas Sumatera Utara

b. 120-125 dB : menyebabkan gangguan pendengaran sementara
c. 125-140 dB : bisa menyebabkan telinga sakit
d. > 150 dB

: menyebabkan kehilangan pendengaran permanen

Emisi bisingan dari segi kejadiannya dibagi menjadi 2 yaitu bising seketika (impulse
noise) dan bising terus-menerus (continuous noise). Bising seketika adalah bising dalam
waktu yang singkat dan intensitas yang besar,mcontohya ledakan senjata pasir.
Sedangkan bising terus-menerus adalah bising dalam durasi waktu yang lebih lama dan

intensitas yang lebih rendah (Sugiharto, 2000).
2.3 Kebisingan Pesawat Udara
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 13 Tahun 2010 Pasal 1 Ayat
3 kawasan kebisingan adalah kawasan tertentu disekitar bandar udara yang terpengaruh
gelombang suara mesin pesawat udara dan yang dapat mengganggu lingkungan.
Bising pesawat udara adalah bunyi yang dihasilkan oleh setiap pesawat udara yang
sedang beroperasi, memuat penumpang, selama terbang atau mendarat. Bising pesawat
udara menjadi perhatian penting bagi penduduk di sekitar 100 km2 (65 mil-kwadrat)
dari kebanyakan bandar udara. Bising pesawat udara adalah sumber bising lingkungan
terbesar kedua (setelah bising jalan kendaraan). Selama penerbangan komersial sipil dan
operasi militer juga ikut berperan (Fleming, 1996).
Kebisingan pesawat yang dirasakan lebih mengganggu karena terjadi secara tiba-tiba
dan dalam waktu yang singkat jika dibandingkan dengan kebisingan lalu lintas yang
cenderung kontinyu dan steady di sekitar kawasan perumahan (Bruel & Kjaer, 2000).
Kawasan kebisingan di sekitar bandar udara diukur sesuai standar nasional dengan
mempertimbangkan (Suryati, 2015):
a. Rencana induk bandar udara
b. Rencana pengembangan bandar udara
c. Prakiraan jenis pesawat
d. Frekuensi operasi

e. Periode waktu operasi

II-6

Universitas Sumatera Utara

2.4 Sumber Kebisingan dari Pesawat Terbang
Sumber kebisingan di bandar udara, yaitu (Suryati, 2015):
a. Mesin dari pesawat terbang
b. Gesekan udara pada badan pesawat
c. Gesekan roda pada landasan
d. Jumlah pesawat terbang yang beroperasi dalam waktu yang berdekatan
Mesin jet terbagi menjadi 2 yaitu mesin jet generasi awal yang dikenal dengan sebutan
turbo jet dan mesin jet generasi berikutnya yang disebut turbo fan. Pada mesin turbo jet,
kebisingan ditimbulkan oleh semburan gas buang (jet efflux), kompresor, dan mesin
turbinnya, pada mesin ini, udara dihisap masuk lalu dimampatkan oleh kompresor,
dicampurkan dengan bahan bakar, lalu dibakar dan gas yang dihasilkan disemburkan
oleh turbin dengan kecepatan tinggi untuk mendorong pesawat bergerak maju.
Kebisingan terbesar disebabkan oleh semburan gas buang yang panas dan memiliki
kecepatan tinggi yang bergesekan dan teraduk dengan udara luar yang lebih dingin dan
bergerak lebih lamban. Semakin tinggi laju semburan gas buang, semakin keras
kebisingan yang dihasilkan (Primanda, 2012).
Pada mesin turbo fan sumber utama bising berasal dari mesin jet primair. Kebisingan
primair jet dibangkitkan oleh pencampuran dari gas buang yang berkecepatan tinggi
dari mesin bersama udara diam yang ada disekelilingnya, fan exhaust juga
menimbulkan bising tetapi kebisingan yang berarti pada saat lepas landas, pada saat
kebisingan primair jet kalah oleh kebisingan fan exhaust. Ini menandakan bahwa
kecepatan fan exhaust lebih rendah dari kecepatan primair jet. Sumber bising yang
paling dominan selama lepas landas adalah primair jet, tetapi waktu mendarat sumber
bising ganti dari suara mesin (Chaeran, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi dampak kebisingan, yaitu (Suryati, 2015):
a. Besarnya kebisingan yang dihasilkan
b. Durasi
c. Jalur penerbangan yang digunakan selama take off dan landing
d. Jumlah dan jenis operasi penerbangan
e. Prosedur pengoperasian pesawat

II-7

Universitas Sumatera Utara

f. Aircraft mix (jenis-jenis pesawat yang beroperasi pada saat tersebut)
g. Sistem runway yang digunakan
h. Hari dan musim berlangsung operasi
i. Kondisi meteorologi
2.5 Pengukuran Kebisingan
Pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan menggunakan alat Sound Level
Meter. Ada tiga cara atau metode pengukuran akibat kebisingan di lokasi kerja, yaitu
(Prabu, 2009):
1.

Pengukuran dengan titik sampling
Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang batas hanya
pada satu atau beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga dapat dilakukan untuk
mengevaluasi kebisingan yang disebabkan oleh suatu peralatan sederhana, misalnya
kompresor/generator. Jarak pengukuran dari sumber harus dicantumkan, missal 3
meter dari ketinggian 1 meter. Selain itu juga harus diperhatikan arah mikrofon alat
pengukur yang digunakan.

2.

Pengukuran dengan peta kontur
Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfat dalam mengukur
kebisingan, karena peta tersebut dapat menentukan gambar tentang kondisi
kebisingan dalam cakupan area. Pengukuran ini dilakukan dengan membuat
gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai dengan pengukuran yang dibuat.
Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambarkan keadaan kebisingan,
warna hijau untuk tingkat kebisingan dengan intensitas dibawah 85 dBA, warna
orange untuk tingkat kebisingan yang tinggi diatas 90 dBA, dan warna kuning
untuk kebisingan dengan intensitas antara 85 – 90 dBA.

3. Pengukuran dengan grid
Untuk mengukur dengan grid adalah dengan membuat contoh data kebisingan pada
lokasi yang diinginkan. Titik – titik sampling harus dibuat dengan jarak interval
yang sama diseluruh lokasi. Dalam pengukuran lokasi dibagi menjadi beberapa
kotak tersebut ditandai dengan baris dan kolom untuk memudahkan identitas.

II-8

Universitas Sumatera Utara

2.6 Peralatan Pengukuran Kebisingan

Peralatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan dapat dilihat pada Tabel
2.1.
Tabel 2.1 Peralatan Pengukuran Kebisingan
Jenis Pengukuran

Alat yang Digunakan
Dosimeter
ISLM*

Hasil
Dosis atau
Leq
Leq

SLM**

dB (A)

Paparan bising
personal

SLM

dB (A)

Tingkat kebisingan
dihasilkan oleh
sumber khusus

ISLM

Equivalent
Sound Level
dB (A)

Survey kebisingan
Bising impulse

SLM
ISLM
Impulse SLM

dB (A)
Leq
Tekanan
puncak dB
(A)

Komentar
Paling akurat untuk pengukuran
personal
Bila pekerja berpindah-pindah, sulit
untuk
mengukur
personal
eksposurnya
Bila rentang kebisingan sangat luas,
sulit untuk mencari rata-rata
eksposurnya. Hanya berguna bila
ada pembagian kerja yang jelas dan
bila tingkat bising relative stabil
setiap waktunya.
Pengukuran harus dilakukan 1
hingga 3 meter dari sumber (tidak
langsung pada sumber).
Sangat berguna untung rentang
bising yang luas, dapat mengukur
Leq pada waktu yang singkat (1
menit).
Untuk membuat peta kebisangan
Untuk bising yang sangat bervariasi
Untuk mengukur puncak setiap
impuls

Keterangan : ISLM= Integrating Sound Level Meter
SLM = Sound Level Meter
Sumber : Galih, 2014

2.6.1 Sound Level Meter (SLM)
Alat ini terdiri dari mikrofon, sirkuit, dan display pembacaan. Mikrofon ini akan
mendeteksi tekanan udara yang bervariasi yang kemudian dengan bunyi akan
mengubahnya menjadi sinyal elektrik. Pembacaaan akan terlihat dalam satuan decibel.
Sound Level Meter memiliki pembobotan atau skala A, B, dan C. Sound Level Meter
merupakan alat pengukuran dengan cara yang sederhana. Kebisingan diperiksa dengan
pengukuran tingkat tekanan bunyi dB(A) selama 10 menit untuk tiap pengukuran.
Pembacaan dilakukan setiap 5 detik (Tingay, 2013). Alat dapat dilihat pada Gambar 2.1.

II-9

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Sound Level Meter
Sumber: Meter Digital, 2012

2.6.2 Integrating Sound Level Meter (ISLM)
Alat ini memiliki kesamaan dengan dosimeter. Integrating Sound Level Meter (ISLM)
menentukan ekivalen level suara pada kondisi tertentu. Perbedaannya dengan dosimeter
adalah ISLM tidak digunakan untuk pengukuran personal eksposur dan menghasilkan
pembacaan tunggal untuk bising yang ada. ISLM merupakan alat pengukuran dengan
cara langsung. ISLM mempunyai pengukuran LTMS, yaitu Leq dengan waktu ukur tiap
5 detik. Pemeriksaan dilakukan dengan pengukuran selama 10 menit. Waktu
pengukuran dilakukan selama aktivitas 24 jam (ISLM) dengan pembagian waktu
sebagai berikut (Primanda, 2012):
1. Pada siang hari (LS) tingkat kebisingan yang paling tinggi selama 10 jam pada
selang waktu 06:00-22:00.
2. Tingkat kebisingan pada malam hari (LM) diukur 8 jam pada selang 22;00-06:00.
Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan
paling sedikit 4 waktu pengukuran pada siang hari dan paling sedikit 3 waktu
pengukuran pada malam hari.
Alat dapat dilihat pada Gambar 2.2.

II-10

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Integrating Sound Level Meter
Sumber: AFC International, 2011
2.6.3 Noise Dosimeter
Noise Dosimeter adalah alat ukur terhadap tingkat kebisingan dari suatu ruangan kerja
dengan rentang 40 dB – 143 dB. Alat ini dapat mengukur selama 8, 10, 12 jam atau
dalam waktu 24 jam dan dianalisa menggunakan komputer sehingga didapatkan grafik
tingkat kebisingan. Tingkat suara akan memberikan hasil berupa angka yang dapat
dibandingkan dengan aturan batas maksimum (85 dBA untuk shift selama 8 jam, 40 jam
per minggu, batasnya akan lebih rendah untuk waktu kerja yang lebih lama).
(Laboratorium Core, 2012). Alat dapat dilihat pada Gambar 2.3.

II-11

Universitas Sumatera Utara

GaGambar 2.3 Noise Dosimeter

Gambar 2.3 Noise Dosimeter
Sumber: www.extech.com
2.7 Dampak Kebisingan
Dampak kebisingan pesawat terhadap masyarakat tergantung kepada beberapa faktor,
yaitu besarnya kebisingan yang dihasilkan, durasi dari kebisingan tersebut, jalur
penerbangan yang digunakan selama take off dan landing, jumlah dan jenis pesawat
yang beroperasi pada saat tersebut, sistem runway yang digunakan, hari dan musim
berlangsung operasi, dan juga kondisi meteorology (Primanda, 2012).
Hal-hal yang berkaitan dengan pemaparan kebisingan pesawat terhadap masyarakat
adalah penggunaan tanah dan bangunan di sekitar bandar udara, jenis konstruksi
bangunan

yang digunakan, jarak bangunan tersebut dari bandar udara, tingkat

kebisingan ambien, dan sikap masyarakat di sekitar bandar udara (Hamzah, 2012).
Dampak kebisingan terhadap masyarakat diklasifikasikan 2 kategori yaitu dampak pada
sikap manusia (tingkah laku manusia) dan dampak terhadap kesehatan atau fisiologis.
Dampak terhadap sikap manusia adalah yang berkaitan dengan terjadinya gangguan
terhadap aktivitas manusia. Ini mencakup kebisingan yang menimbulkan kejengkelan,
gangguan komunikasi, gangguan ketika istirahat dan tidur, sedangkan dampak terhadap
kesehatan adalah yang berhubungan dengan hilangnya kemampuan pendengaran

II-12

Universitas Sumatera Utara

manusia atau bisa juga dampak nonauditory seperti timbulnya penyakit kardiovaskular
dan hipertensi (Yully, 2002).
2.7.1 Gangguan Fisiologis
Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, basal
metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki, dapat
menyebabkan pucat dan gangguan sensoris. Gangguan fatal lainnya akibat paparan
bising adalah aktivitas lambung menurun, tonus otot meningkat, serta perubahan
biokimiawi antara lain kadar glukosa, urea, dan kolesterol dalam darah (Prabu, 2009).
2.7.2 Gangguan Psikologis
Bising menjadi sumber stress dari yang ringan sampai berat, karena berpengaruh pada
pembicaraan seseorang, juga saat berpikir dan belajar. Stress dapat meningkatkan
keluhan-keluhan psikosomatis antara lain sakit kepala, gangguan gastrointestinal,
kelelahan yang kronik, asma, ulkus peptikum, penyakit jantung koroner, dan gangguan
tidur (Prabu, 2009).
2.7.3 Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan oleh masking effect (penyelimutan bunyi)
atau terjadinya mask speech atau terhalangnya aktivitas komunikasi bunyi lain yang
lebih besar (dalam hal ini kebisingan pesawat). Hal ini menyebabkan sulitnya
melakukan percakapan secara normal karena selalu terjadi interupsi oleh kebisingan
pesawat. Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung akan mengakibatkan bahaya
terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, karena tidak mendengar teriakan atau
tanda bahaya dan tentunya akan dapat meurunkan mutu pekerjan dan produktivitas kerja
(Primanda, 2012).
2.7.4 Gangguan Keseimbangan
Bising yang sangat tinggi di atas 130 dB dapat mengganggu keseimbangan tubuh yang
ditandai dengan timbulnya kesan seperti melayang, dan keadaan sekeliling seperti
berputar-putar, pusing, mual dan lain-lain (Roestam, 2004).

II-13

Universitas Sumatera Utara

2.7.5 Gangguan Pendengaran
Efek kebisingan ini merupakan gangguan yang paling serius karena dapat menyebabkan
ketulian. Gangguan pendengaran akibat paparan bising ada 3 macam, yaitu (Buchari,
2007):
a. Tuli sementara (temporary threshold shift) diakibatkan pemaparan bising dengan
intensitas tinggi lebih dari 85 dB dalam waktu istirahat yang cukup, daya dengarnya
akan pulih kembali ke ambang dengar semula.
b. Tuli menetap (permanent threshold shift) diakibatkan paparan bising terus menerus
sehingga terjadi akumulasi dan sifat ketulian berubah menjadi menetap dan
patologis. Intensitas bising lebih dari 85 dB selama 8 jam atau lebih dalam sehari
akan mengakibatkan gangguan pendengaran yang bersifat permanen.
c. Trauma akustik terjadi kerusakan organ telinga akibat adanya energi suara yang
sangat besar. Kerusakan dapat berupa pecahnya gendang telinga, kerusakan tulangtulang pendengaran, atau kerusakan langsung organ corti.
2.7.6 Gangguan Hormonal
Bising yang berulang kali dan terus-menerus merupakan salah satu stressor bagi
manusia. Selama stress, katekolamin, epinefrine, dan norepinephrine, sering muncul
dalam respon stress. Beberapa hormon, termasuk hormon pertumbuhan, hormon TSH,
dan insulin mengalami perubahan konsentrasi dalam darah. Stressor menyebabkan
peningkatan corticotropin releasing factor (CRF) oleh hipotalamus, yang kemudian
memicu aktifitas hypothalamic – pituitary – adrenocortical – axis (HPA aksis).
Peningkatan CRF ini menyebabkan kenaikan kadar kortisol serta penurunan jumlah
limfosit sehingga respon imun terganggu. Jumlah kortisol yang berlebihan juga bisa
meningkatkan tekanan darah (Manalu, 2014).
2.8 Pengendalian Kebisingan
Secara umum upaya pengendalian kebisingan dilakukan melalui pengurangan dan
pengendalian tingkat bising menjadi 3 aspek, yaitu (Chaeran, 2008):

II-14

Universitas Sumatera Utara

2.8.1 Pengendalian pada Sumber
Pengendalian kebisingan pada sumber meliputi (Ramita, 2011):
a. Perlindungan pada peralatan, struktur, dan pekerja dari dampak bising.
b. Pembatasan tingkat bising yang boleh dipancarkan sumber.
c. Reduksi kebisingan pada sumber biasanya memerlukan modifikasi atau mereduksi
gaya-gaya penyebab getaran sebagai sumber kebisingan dan mereduksi komponenkomponen peralatan.
2.8.2. Pengendalian pada Rambatan
Pengendalian pada media rambatan dilakukan diantara sumber dan penerima
kebisingan. Prinsip pengendaliannya adalah melemahkan intensitas kebisingan yang
merambat dari sumber kepenerima dengan cara membuat hambatan-hambatan. Ada dua
cara pengendalian kebisingan pada media rambatan yaitu outdoor noise control
(Mahbubiyah, 2011).
2.8.3. Pengendalian pada Manusia
Pengendalian kebisingan pada manusia dilakukan untuk mereduksi tingkat kebisingan
yang diterima setiap hari. Pengendalian ini terutama ditujukan pada orang yang setiap
harinya menerima kebisingan, seperti operator pesawat terbang dan orang lain yang
menerima kebisingan. Pada manusia kerusakan akibat kebisingan diterima oleh
pendengaran (telinga bagian dalam) sehingga metode pengendaliannya memanfaatkan
alat bantu yang bisa mereduksi tingkat yang masuk ke telinga (Mahbubiyah, 2011).
2.9 Perhitungan Kebisingan
Dalam mengevaluasi kebisingan lingkungan, terdapat beberapa indikator untuk jenis
evaluasi yang berbeda-beda. Contohnya sebagai berikut: untuk evaluasi kebisingan
secara umum, dapat digunakan kebisingan siang malam dan indikator setaranya,
sedangkan untuk kebisingan jalan raya digunakan metric Traffic Noise Index (TNI).
Untuk pesawat terbang sendiri metrik pengukuran yang digunakan antara lain Effective
Perceive Noise Level (EPNL), Noise Number Index (NNI), Noise Exposure Forecast
(NEF), dan Weighted Equivalent Continuous Perceived Noise Level (WECPNL). EPNL

II-15

Universitas Sumatera Utara

merupakan pengembangan dari nilai Perceived Noise Level (PNL) dengan koreksi nada
dan durasi. WECPNL adalah penyederhanaan dari EPNL yang dikhususkan untuk
mengevaluasi kebisingan lingkungan (Margaret, 2014).
Untuk perhitungan kebisingan daerah pemukiman mengikuti peraturan berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 48 Tahun 1996 Tentang Baku
Tingkat Kebisingan dalam Lampiran II metoda pengukuran tingkat kebisingan dapat
dilakukan dengan dua cara:
1. Cara Sederhana
Dengan sebuah sound level meter biasa diukur tingkat tekanan bunyi dB(A) selama 10
(sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 (lima) detik.

2. Cara Langsung
Dengan sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas pengukuran
LTMS, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan pengukuran selama 10
(sepuluh) menit.
Waktu pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dengan cara pada siang hari
tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang waktu 06:00 – 22:00
dan aktifitas malam hari selama 8 jam (LM) pada selang 22:00 – 06:00.
Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan
paling sedikit 4 waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3
waktu pengukuran, sebagai contoh:
-

L1 diambil pada jam 07:00 mewakili 06:00 – 09:00

-

L2 diambil pada jam 10:00 mewakili 09:00 – 11:00

-

L3 diambil pada jam 15:00 mewakili 14:00 – 17:00

-

L4 diambil pada jam 20:00 mewakili 17:00 – 22:00

-

L5 diambil pada jam 23:00 mewakili 22:00 – 24:00

-

L6 diambil pada jam 01:00 mewakili 24:00 – 03:00

-

L7 diambil pada jam 04:00 mewakili 03:00 – 06:00

II-16

Universitas Sumatera Utara

Keterangan:
Leq

= Equivalent Continuous Noise Level atau tingkat kebisingan sinambung setara
ialah nilai tingkat kebisingan yang berubah-ubah (fluktuatif) selama waktu
tertentu, yang setara dengan tingkat kebisingan dari kebisingan yang steady
pada selang waktu yang sama. Satuannya adalah dB(A).

LTMS

= Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik

LS

= Leq selama siang hari

Lm

= Leq selama malam hari

LSM

= Leq selama siang dan malam hari

Metoda Perhitungan dapat dilakukan dengan rumus:
LS = 10 log 1/16 {T1.100,1.1.1+ … + T4.100,1.1.4} dB (A)

(2.1)

LM = 10 log 1/8 {T5.100,1.1.5+ … + T7.100,1.1.7} dB (A)

(2.2)

Untuk mengetahui apakah kebisingan sudah melampaui tingkat kebisingan maka perlu
dicari nilai LSM dari pengukuran lapangan. LSM dihitung dengan rumus:
LSM = 10 log 1/24 {16.100,1.1s + … + 8.100,1(LM+5} dB (A)

(2.3)

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 13 Tahun 2010 Pasal 1 Ayat 5
Weighted Equivalent Continuous Perceived Noise Level atau tingkat kebisingan yang
dapat diterima terus menerus ekivalen tertimbang selanjutnya disingkat WECPNL
adalah satuan untuk menyusun frekuensi pesawat udara pada siang, malam hari dan dini
hari, pada saat kebisingan lebih terasa berdasarkan pada psikologis.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 13 Tahun 2010 dalam Pasal
1 Ayat 3 kawasan kebisingan adalah kawasan tertentu di sekitar bandar udara yang
terpengaruh gelombang suara mesin pesawat udara dan dapat mengganggu lingkungan.
Pada pasal 3 disebutkan bahwa kawasan kebisingan di sekitar bandar udara terdiri dari:

II-17

Universitas Sumatera Utara

a. Kawasan kebisingan tingkat I
Kawasan yang dimanfaatkan untuk semua jenis pembangunan gedung maupun
pengadaan kegiatan, kecuali untuk gedung sekolah dan rumah sakit, dan mempunyai
nilai tingkat kebisingan lebih besar atau sama dengan 70 WECPNL sampai dengan
lebih kecil 75 WECPNL (70 ≤ WECPNL < 75).
b. Kawasan kebisingan tingkat II
Kawasan yang dimanfaatkan untuk semua jenis pembangunan gedung maupun
pengadaan kegiatan, kecuali untuk gedung sekolah, rumah tinggal, rumah sakit dan
mempunyai nilai tingkat kebisingan lebih besar atau sama dengan 75 WECPNL
sampai dengan lebih kecil 80 WECPNL (75 ≤ WECPNL < 80).
c. Kawasan kebisingan tingkat III
Kawasan yang dimanfaatkan untuk pembangunan bandar udara dan berbagai dan dan
dilengkapi dengan insulasi suara dan mempunyai nilai tingkat kebisingan lebih besar
atau sama dengan 80 WECPNL (WECPNL ≥ 80).
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM 13 Tahun 2010 perhitungan
WECPNL dapat dilihat di bawah ini:
WECPNL

= dB(A) + 10 logn N – 27

dB(A)

= 10 log [(1/n) x

N

= N2 + 3N3 +10 (N1 + N4)

i

= 1 10 Li/10]

(2.4)
(2.5)
(2.6)

Dimana :
WECPNL = Weighted Equivalent Continuous Perceived Noise Level adalah satu
diantara beberapa index tinglat kebisingan pesawat udara yang ditetapkan
dan direkomendasikan oleh ICAO.
dB(A)

= Nilai decibel bobot A rata-rata dari setiap puncak kesibukan pesawat
dalam satu hari pengukuran.

n

= Jumlah kedatangan dan keberangkatan pesawat udara selama periode 24
jam.

Li

= Bacaan dB(A) tertinggi dari penerbangan pesawat ke i dalam satu hari
pengukuran.

N

= Jumlah kedatangan dan keberangkatan pesawat udara yang dihitung

II-18

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan pemberian bobit yang berbeda untuk pagi, siang, dan malam.
N1

= Jumlah kedatangan dan keberangkatan pesawat udara dari jam 00:00 –
07:00.

N2

= Jumlah kedatangan dan keberangkatan pesawat udara dari jam 07:00 –
19:00.

N3

= Jumlah kedatangan dan keberangkatan pesawat udara dari jam 19:00 –
22:00.

N4

= Jumlah kedatangan dan keberangkatan pesawat udara dari jam 22:00 –
00:00.

2.10 Baku Mutu Kebisingan
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 Pasal 1
Ayat 3, baku mutu kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Tingkat
kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam satuan Decibel disingkat
dB. Decibel adalah ukuran bunyi atau kuantitas yang dipergunakan sebagai unit-unit
tingkat tekanan suara berbobot A, yang dilakukan untuk mensederhanakan plot-plot
multiple seperti pada gambar dan untuk secara kira-kira membandingkan kuantitas
logaritmik dari stimulus akustik yang diterima telinga.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 178 Tahun 1987 tentang kebisingan
yang berhubungan dengan kesehatan, menyatakan pembagian wilayah kebisingan ke
dalam empat zona, yaitu:
a. Zona A, adalah zona untuk tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan
kesehatan atau sosial. Tingkat kebisingan 35-45 dB.
b. Zona B, adalah untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi. Tingkat
kebisingan 45-55 dB.
c. Zona C, adalah untuk perkantoran, pertokoan, perdagangan, dan pasar. Tingkat
kebisingan 50-60 dB.
d. Zona D, adalah untuk lingkungan industri, pabrik, stastiun kereta api, dan terminal
bus. Tingkat kebisingan 60-70 dB.

II-19

Universitas Sumatera Utara

Menurut IATA (International Air Transportation Association) kebisingan dibagi ke
dalam 4 zona, yaitu:
a. Zona A

: intensitas > 150 dB. Daerah berbahaya dan harus dihindari.

b. Zona B

: intensitas 135 – 150 dB. Individu yang terpapar perlu memakai
pelindung telinga (earmuff dan earplug).

c. Zona C

: intensitas 115 –135 dB. Perlu memakai earmuff.

d. Zona D

: intensitas 100 – 115 dB. Perlu memakai earplug.

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996
tentang baku tingkat kebisingan peruntukan kawasan atau lingkungan kegiatan dapat
dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Baku Mutu Tingkat Kebisingan
No.

Peruntukan Kawasan

1.

Perumahan dan pemukiman

Tingkat
Kebisingan
dB(A)
55

2.

Perdagangan dan jasa

70

3.

Ruang terbuka hijau

50

Lingkungan
Kegiatan
Rumah sakit atau
sejenisnya
Sekolah atau
sejenisnya
Tempat ibadah
atau sejenisnya

Tingkat
Kebisingan
dB(A)
55
55
55

4.
5.
6.

Industri
70
Rekreasi
70
Khusus :
a. Bandar Udara*
b. Stasiun Kereta Api*
c. Pelabuhan Laut
70
d. Cagar Budaya
60
Keterangan * diserahkan kepada Menteri Perhubungan.
Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996

II-20

Universitas Sumatera Utara