Kurniawan Energizing 2015

Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu
Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November

2015 

 

ENERGIZING ENTREPRENEURIAL ECOSYSTEMS IN INDONESIA
Leonardi Lucky Kurniawan
Politeknik Ubaya, Surabaya

Abstract
Entrepreneurship has received significant attention over the past decade. Entrepreneurial ecosystems represent a
conceptual framework designed to foster economic development via entrepreneurship, innovation and small
business growth. The creation of sustainable entrepreneurial ecosystems requires attention to a range of factors and
they should be allowed to form organically.
This paper stems from an observation that many programs for entrepreneurship development in Indonesia run as as
individual programs and are very prone to poor coordination with other institutions or support systems. The paper
aims to support policy makers and practitioners in setting up new entrepreneurial ecosystems and may also lend
itself to becoming a trigger point for future research on entrepreneurial ecosystems which is still scarce. The
conclusion of the paper leads towards effective strategies and policies which foster and leverage entrepreneurial

ecosystems in Indonesia.
Key words: entrepreneurial ecosystems, entrepreneurship development, effective strategies and policies

Pendahuluan
Laporan ILO tahun 2013 memaparkan bahwa
tingkat pengangguran bagi penduduk Indonesia dengan usia
antara 15 dan 24 tahun adalah 19.6%. Ini berarti lebih dari 4
juta penduduk muda yang merupakan angkatan kerja di
Indonesia
tidak mempunyai pekerjaaan. Kebutuhan
lapangan pekerjaan akan berlanjut dan semakin meningkat.
Jumlah angkatan kerja di Indonesia diproyeksikan terus
bertumbuh sebesar lebih dari 13 juta orang antara tahun
2012 dan 2020. Dengan kata lain di tahun 2020 diperkirakan
dibutuhkan lebih dari 17 juta lapangan pekerjaan baru bagi
orang-orang muda di Indonesia.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar
keempat di dunia, Indonesia memiliki tenaga kerja dalam
jumlah besar yang seharusnya dapat dijadikan tenaga
potensial dalam menghasilkan produk barang dan jasa.

Sumber daya potensial ini seharusnya dikembangkan
menjadi tenaga kerja efektif yang dapat berkontribusi dalam
pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi tantangan semakin
banyaknya jumlah angkatan kerja dan penurunan
pengangguran (unemployment), kebijakan employment harus
mempertimbangkan bagaimana menciptakan lapangan
pekerjaan (employment creation). Entrepreneurship diyakini
sebagai unsur kunci dan memegang peranan besar untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi dan penurunan
pengangguran. Entrepreneurs berperan sebagai agen

perubahan dalam mengembangkan barang dan jasa,
mengimplementasikan metode yang lebih efisien dan
menciptakan industry serta business models yang baru.
Dengan kata lain, entrepreneurs harus mampu menciptakan
lapangan kerja, mendukung local communities dan
membangun masyarakat makmur. “Entrepreneurship is an
important driver of economic prosperity and social wellbeing, creating jobs and economic competitiveness. “
(Thuric & Wennekers, 2004; Monitor Company Group,
2009; Manpower Group, 2012).

Pertumbuhan
wirausaha di Indonesia masih
terbatas. Saat ini populasi wirausaha di Indonesia baru
mencapai 1,65 persen dari jumlah penduduk, jauh tertinggal
dibanding dengan negara tetangga Singapura, Malaysia dan
Thailand yang telah mencapai lebih dari 4 persen. Sosiolog
David McClelland mengatakan untuk menjadi negara
makmur perlu minimum 2% entrepreneurs dari total jumlah
penduduk.
Membangun pertumbuhan dan percepatan pertumbuhan
entrepreneurship adalah masalah kompleks yang
membutuhkan banyak pihak terlibat untuk bersama sama
memikirkan dan mengambil tindakan yang tepat. Riset yang
dilakukan oleh Gorman et al, 1997 dan Henry et al, 2005
menguatkan pendapat Drucker, 1985, yang mengatakan
entrepreneurship dapat dibentuk. Drucker juga menegaskan
bahwa entrepreneurship adalah suatu disiplin ilmu dan


 


Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu
Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November

 
karena itu dapat dipelajari. Perguruan tinggi mempunyai
peranan strategis untuk mengembangkan entrepreneurship
dan ikut bertanggungjawab atas pertumbuhan ekonomi dan
penurunan masalah pengangguran. Sekalipun demikian,
perguruan tinggi perlu mendapat dukungan banyak pihak
agar dapat membangun sustainable entrepreneurship.
Diperlukan keterlibatan atau kolaborasi para stakeholders
seperti pemerintah (di tingkat daerah maupun pusat),
asosiasi bisnis, LSM, penyedia jasa profesional (seperti
akuntan, notaris, konsultan bisnis), institusi keuangan,
sesama entrepreneurs, inkubator bisnis atau lainnya.
Agar dapat mewujudkan semakin banyak lapangan
pekerjaan baru, kebijakan pemerintah seyogyanya bukan
saja sekedar kebijakan membangun atau menambah
entrepreneurs baru, tetapi bagaimana membantu membangun

entrepreneur yang sudah ada menjadi semakin besar menjadi
high growth firms. Hasil analisis survei yang dilakukan
World Bank pada tahun 2009 terhadap lebih dari 1300
perusahaan di Indonesia menunjukkan bahwa hanya 16%
perusahaan di Indonesia yang merupakan scaleups tetapi
mampu menciptakan 52% pekerjaan yang benar benar baru
dalam kurun waktu 3 tahun terdahulu. Seperti di negara
lainnya, scaleups adalah job creators yang terbesar di
Indonesia. Di banyak negara maju telah terbukti sangat
sedikit jumlah startups yang mengalami pertumbuhan yang
signifikan menjadi high growth businesses. Karena itu
kebijakan meningkatkan jumlah business baru dianggap
kurang efektif karena hanya berdampak kecil dan
peningkatan jumlah high growth firms seharusnya menjadi
fokus kebijakan pengembangan entrepreneurship. Di
Indonesia pengembangkan
entrepreneurship lebih focus
pada pengembangan individual entrepreneurs dan cenderung
mengabaikan interaksi berbagai aktor penting yang
berkontribusi

dalam
membangun
entrepreneurial
ecosystems. Pidato (keynote speech) Wakil Gubernur Bank
Indonesia
Halim
Alamsyah
dalam
pembukaan
Entrepreneurship Strategic Policy Forum di Jakarta, 21
November
2014
menyatakan
pengembangan
entrepreneurship di Indonesia masih dalam bentuk program
partial oleh beberapa institusi
sehingga belum
menghasilkan dampak maksimal dan berkelanjutan
(sustainable). Beliau menegaskan perlunya kebijakan yang
makro untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan iklim

kewirausahaan
yang
semakin
kondusif
berupa
entrepreneurial ecosystems.

 

2015 

Daniel Isenberg, Profesor Entrepreneurship Practice di
Babson College, menulis artikel yang berjudul “How to Start
an Entrepreneurial Revolution” yang dimuat di Harvard
Business Review (July 2010) dan menegaskan bahwa
entrepreneurs akan menjadi sangat berhasil dan berkembang
apabila memiliki akses pada kebutuhan sumber daya,
keuangan dan professional services dan bergerak
di
lingkungan di mana kebijakan pemerintah mendorong dan

melindungi entrepreneurs. Isenberg menekankan pentingnya
comprehensive
entrepreneurial
ecosystems
dalam
membangun sustainable entrepreneurship.
Entrepreneurship Ecosystem
Ecosystems didefinisikan sebagai suatu system atau
sekelompok elemen/ unsur yang saling terkait yang dibentuk
oleh interaksi sekelompok organism dengan lingkungannya.
http://dictionary.reference.com/ mendefinisikan ecosystem
’as a system, or a group of interconnected elements, formed
by the interaction of a community of organisms with their
environment. Therefore ecosystems are defined by the
network of interactions among organisms, and between
organisms and their environment’. Hasil sintesa beberapa
definisi tentang entrepreneurship ecosystems dari berbagai
sumber dan ahli menghasilkan rumusan definisi

entrepreneurship ecosystems sebagai berikut :

‘a set of interconnected entrepreneurial actors (both
potential and existing), entrepreneurial organisations (e.g.
firms, venture capitalists, business angels, banks),
institutions (universities, public sector agencies, financial
bodies) and entrepreneurial processes (e.g. the business
birth rate, numbers of high growth firms, levels of
‘blockbuster entrepreneurship’, number of serial
entrepreneurs, degree of sell-out mentality within firms and
levels of entrepreneurial ambition) which formally and
informally coalesce to connect, mediate and govern the
performance within the local entrepreneurial environment’
Berdasarkan pengamatan dan penelitiannya,
Eisenberg mengemukakan dalam bukunya bahwa
lingkungan yang kondusif mendukung pertumbuhan
entrepreneurship. Para entrepreneurs mampu meraih
keberhasilan ketika mereka memiliki akses sumber daya
manusia (human), keuangan (finance) dan dukungan
profesional dan mereka dapat bergerak dalam lingkungan



Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu
Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November

 
dimana kebijakan pemerintah mendorong dan melindungi
entrepreneurs. Network semacam inilah yang digambarkan
sebagi entrepreneurship ecosystem.Suatu usaha bisnis
(venture) muncul dan mampu berkembang bukan sematamata karena kemampuan entrepreneur yang visioner dan
berbakat tetapi juga karena usaha tersebut berada di
lingkungan atau ‘ecosystems’ yang dibangun dari berbagai
unsur yang memungkinkan usaha tumbuh dan berkembang.
Entrepreneurship ecosystems terdiri dari berbagai macam
elemen, puluhan atau bahkan ratusan elemen. Isenberg
menggagas model ‘economic ecosystem strategy for
economic development’ dan mengidentifikasi 6 domain
dalam entrepreneurship system yaitu 1) kultur yang
kondusiv; 2) leadership dan kebijakan yang baik; 3)
ketersediaan dana yang cukup; 4) sumber daya manusia
yang berkualitas; 5) pasar yang mendukung; dan 6)
institutional support (termasuk institusi non pemerintah,

profesional dan infrastruktur). Beliau mengemukakan bahwa
pendekatan tersebut merupakan strategi yang cost-effective
untuk menstimulir kesejahteraan perekonomian.
Pada dasarnya semua entrepreneurship ecosystems
mencakup 6 domain tersebut namun setiap entrepreneurship
ecosystem memiliki keunikan masing- masing karena
masing-masing ecosystems merupakan kumpulan berbagai
unsur yang berinteraksi secara kompleks dan idiosyncratic/
khas. Kebanyakan para entrepreneurs sepakat bahwa 3
domain yang dianggap paling penting agar bisnis bisa
bertumbuh yaitu pasar yang mudh diakses, sumber daya
manusia dan finance.
Kepemimpinan dan kebijakan pemerintah merupakan faktor
yang dapat memicu percepatan pertumbuhan (potential
growth accelerator) dan sekaligus juga faktor yang dapat
memperlambat pertumbuhan (potential growth inhibitor).
Indonesia
Indonesia mempunyai jumlah penduduk lebih dari
240 juta orang dan memiliki sumber daya alam yang
berlimpah, namun mempunyai populasi wirausaha hanya
1,65% dari total jumlah penduduk. Merupakan tantangan
bagi kita bagaimana Indonesia bisa meningkatkan jumlah
wirausaha sesuai dengan standar internasional karena
entrepreneurship merupakan kunci untuk masa depan negara
berkembang.
 

2015 

Akhir- akhir ini pemerintah mulai berusaha
menyosialisasikan topik kewirausahaan kepada masyarakat
dengan berbagai cara. Misalnya, sejak 2011 Kementerian
Koperasi dan UKM menggagas Gerakan Kewirausahan
nasional (GKN) untuk memasyarakatkan budaya
berwirausaha bagi masyarakat dan meningkatkan jumlah
wirausaha. Sejak 2012, Bank Indonesia telah menginisiasi
program wirausaha melalui pilot project program penciptaan
wirausaha baru. Program tersebut diikuti dengan
pendampingan pada tahun 2013 untuk meningkatkan kinerja
wirausaha melalui magang di perusahaan yang telah
berhasil, pendampingan dalam aspek pemasaran/promosi
usaha dan pendampingan formalisasi usaha dan sebagai
kelanjutannya, di tahun 2014 BI juga telah melaksanakan
program pengembangan wirausaha yang bertujuan untuk
meningkatkan jumlah wirausaha di sektor agribisnis dan
berorientasi ekspor dalam rangka mendukung ketahanan
pangan dan struktur neraca perdagangan. Subyek
kewirausahaan akhir-akhir ini juga menjadi topik ilmu
pengetahuan dan penelitian di berbagai bidang akademik dan
tidak terbatas pada disiplin ilmu ekonomi saja. Hampir
kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia menawarkan
pendidikan kewirausahaan di kurikulumnya.
Pidato (keynote speech) Wakil Gubernur Bank
Indonesia
Halim
Alamsyah
dalam
pembukaan
Entrepreneurship Strategic Policy Forum di Jakarta, 21
November 2014 menegaskan bahwa pengembangan
entrepreneurship di Indonesia masih dalam bentuk program
partial oleh beberapa institusi sehingga belum menghasilkan
dampak maksimal dan berkelanjutan (sustainable). Beliau
menegaskan perlunya kebijakan yang makro untuk
mendorong terwujudnya pertumbuhan iklim kewirausahaan
yang semakin kondusif berupa entrepreneurial ecosystems.
Selanjutnya Halim Alamsyah mengatakan, rendahnya
kewirausahaan di Indonesia juga tercermin dari kesehatan
ekosistem kewirausahaan. Terkait dengan entrepreneurial
ecosystem health, menurut Global Entrepreneurship &
Development Index 2014 dari 121 negara di dunia Indonesia
menduduki hanya peringkat 68. Sedangkan berdasarkan The
EY G20 Entrepreneurship Barometer 2013, Indonesia ,di
antara negara-negara G20, termasuk kelompok negara yang
memiliki ranking terendah dalam ekosistem kewirausahaan.
Banyak hal yang perlu mendapatkan perhatian untuk
membangun entrepreneurship ecosystems di negara kita.
Budaya kewirausahaan di Indonesia masih dalam tahap
sangat dini dan belum matang . Sebagai contoh, mindset
entrepreneurs lebih banyak terfokus pada profit dan bukan
pada ‘people investment. Mereka mempunyai ambisi segera
cepat kaya dan bukan berambisi membangun sustainable


Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu
Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November

 
business yang tentunya membutuhkan waktu untuk itu.
Mereka seringkali ikut-ikutan dalam membangun usaha dan
sekedar mengikuti tren yang sedang berlaku saat itu. Contoh
lainnya terkait dengan lemahnya kolaborasi di antara para
entrepreneurs. Sebagai pebisnis baru logis mereka masih
membutuhkan dukungan pebisnis yang lebih berpengalaman
untuk berbagi ilmu dan memberikan mentoring atau
berbagai nasihat. Sering kali entrepreneur yang baru belajar
berbisnis harus memikirkan juga sendiri banyak hal
pendukung yang bukan menjadi keahliannya. Dengan
jaringan yang terbatas, banyak entrepreneur baru yang
bahkan tidak tahu harus bertanya ke mana tentang sistem
keuangan usahanya atau suatu masalah legal. Akhirnya
dilakukan seadanya dan cenderung asal-asalan. Banyak
ketidakjelasan yang ditabrak. Sementara hal-hal ini sangat
krusial untuk pengelolaan bisnis.

Kesimpulan dan saran
Meningkatkan entrepreneurship adalah fenomena
kompleks yang membutuhkan waktu. Kebijakan yang fokus
hanya membangun atau menciptakan entrepreneurs baru
semata-mata tidak akan efektif dan berdampak besar pada
pengembangan entrepreneurship. Penelitian tentang
Entrepreneurial Ecosystems belum banyak dilakukan di
Indonesia, namun di banyak negara maju telah terbukti
bahwa entrepreneurial ecosystems yang sehat mendukung
percepatan pertumbuhan entrepreneurs dan karenanya
berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Untuk membangun terwujudnya iklim kewirausahaan yang
mendukung entrepreneurial ecosystems, perlu kebijakan
yang bersifat macro untuk mengatasi kelemahan-kelemahan
yang ada dan sering dikeluhkan oleh para entrepreneurs kita.

1. Kultur yang kondusif
Banyak usaha yang dibangun karena trial and error atau
karena mengikuti tren yang sedang berlaku. Para
entrepreneurs harus belajar mengembangkan skill dan
membangun
kemampuannya untuk berkreasi dan
melakukan inovasi serta tetap mempunyai sikap toleransi
terhadap resiko dan kegagalan. Mereka harus belajar banyak
hal dari sesama entrepreneurs melalui diskusi informal atau
dengan bantuan mentor dan juga menghadiri pertemuanpertemuan yang agak formal yang diadakan oleh lembaga
atau perguruan tinggi dalam bentuk pelatihan, seminar,
workshop atau lainnya. Mereka juga perlu belajar dari

2015 

entrepreneurs yang sudah berhasil dan telah mencapai fase
sukses.
Untuk membangun kultur yang kondusif perlu dukungan
pemerintah berupa kebijakan atau regulasi yang
memfasilitasi pengembangan entrepreneurship, melindungi
entrepreneurs dan sejalan dengan kebijakan peningkatan
entrepreneurship Antara lain perlu adanya jaminan
kepastian hukum dan keharmonisan peraturan di tingkat
daerah, regional dan pusat.

2. Leadership dan support systems
Kepemimpinan yang baik dan support systems
mendukung terwujudnya entrepreneurial ecosystems.
Gerakan kewirausahaan sebaiknya dipimpin oleh
entrepreneurs. Keterlibatan pihak lainnya seharusnya hanya
sebagai pendukung untuk menghindari conflict of interests.
Selain dukungan dari pemerintah, tidak kalah pentingnya
peran perguruan tinggi atau institusi lainnya seperti LSM,
para profesionals (seperti akuntan, bankers, konsultan pajak,
konsultan hukum, market researchers) dan infrastruktur
(telekomunikasi, transportasi, dll)

3. Finance
Kebutuhan dana sering kali menjadi issue besar dan kendala
bagi entrepreneurs baik bagi startups atau nascent
entrepreneurs
maupun
entrepreneurs
yang
ingin
mengembangkan usahanya. Entrepreneurial ecosystems
yang sehat dapat mendukung mereka untuk berinvestasi ,
baik misalnya melalui micro loans,
angel investors
(keluarga, atau teman), venture capitals (institusi), atau
lainnya. Di Indonesia banyak investasi tahap awal lambat
berkembang atau kesulitan merealisasikan pengembangan
usaha mereka karena peraturan dan kebijakan yang tidak
mendukung.

Daftar Pustaka
Bernardez, M. (2009) The power of entrepreneurial
ecosystems: extracting booms from busts,
www.expert2business.com/itson/Articles/Ecosyst
ems.pdf
Cohen, B. (2006) Sustainable valley entrepreneurial
ecosystems business strategy and the
environment, Wiley InterScience.


 

Seminar Nasional & Call For Paper, Forum Manajemen Indonesia (FMI) Ke-7“Dinamika Dan Peran Ilmu
Manajemen Untuk Menghadapi AEC”Jakarta, 10-12 November

2015 

 

Feld,Brad (2012) Startup Communities: Building an
Entrepreneurial Ecosystem in Your City
John Wiley & Sons.Inc., Hokoben, New Jersey
Isenberg, D. J. (2010) "How to start an Entrepreneurial
Revolution," Harvard Business Review
88(6): 40-51.
Mazzarol, T.(2014) Growing and sustaining
entrepreneurial ecosystems: What they are and
the
role of government policy,White Paper WP012014, Small Enterprise Association of
Australia
and
New
Zealand(SEAANZ),
www.seaanz.org
Suresh, J., and Ramraj, R. (2012) "Entrepreneurial
Ecosystem: case study on the influence of
environmental factors on entrepreneurial
success," European Journal of Business and
Management 4(16): 95-101.
WEF (2013) Entrepreneurial ecosystems around the
globe and company growth dynamics,
Geneva, Switzerland, World Economic Forum.