Strategi Bisnis Strategi Bisnis Strategi Bisnis

Strategi pada dasarnya dimaksudkan untuk memenuhi dua keperluan vital, pertama
terkait dengan penempatan posisi relatif terhadap lingkungan luar perusahaan yang
membutuhkan pemahaman terhadap lingkungan di mana perusahaan berada. Kedua, untuk
penyelerasan lingkungan internal perusahaan yang mencakup semua kegiatan dan investasi.
Dengan strategi, setiap keuntungan unit bisnis dapat dipisahkan ke dalam dua komponen: tingkat
keuntungan rata-rata industri dan pemisahan rata-rata tersebut yang diterapkan kepada
keunggulan (atau kelemahan) dalam persaingan sebagai akibat dari strategi dalam industri
tersebut.
Konsep tradisional strategi disusun dalam kaitannya dengan posisi sumber daya
(kekuatan dan kelemahan) yang dimiliki perusahaan, alam hal ini sumber daya dan produk dapa
dianggap sebagai dua sisi mata uang, dimana posisi pasar untuk produk unggul ditentukan oleh
kepemilikan sumber daya yang langka dan spesifik. Para pendukung RBT mencoba mencari
penegasan perbedaan antara RBT dan IO dengan menekankan intrinsic inimitability of scarce;
sumber daya berharga untuk berbagai alasan; kemampuan mendapatkan sumber daya tertentu
dapat tergantung dari keunikan, kondisi historis yang tidak dapat diciptakan oleh pesaing;
hubungan antara sumber daya yang dimiliki perusahaan dan sustainable competitive advantage
yang tidak dipahami dengan baik; atau sumber daya yang berperan besar dalam tercapainya
keunggulan daya saing mungkin kompleks secara sosial dan di luar kemampuan perusahaan
untuk secara sistematis mengelola dan mempengaruhinya (Ghemawat, 2002, 67)[1].
Resource Based View
Mengapa suatu perusahaan secara terus menerus mampu mengungguli perusahaan

lainnya? Salah satu jawaban yang ditawarkan terhadap pertanyaan ini adalah implementasi
Resource-Based View – RBV (Peteraf, 1993). RBV dikatakan sebagai pendekatan baru dalam
formulasi strategic management, dan dalam penjelasan lain merupakan upaya membangun
keunggulan kompetitif yang merupakan hasil (resultant) dari hubungan antara keaneka-ragaman,
ex post limits to competition, imperfect mobility, dan ex ante limits to competition.
Munculnya RBV berawal dari pendekatan klasik dalam formulasi strategi yang pada
umumnya berangkat dari penilaian terhadap kompetensi dan sumber daya perusahaan, di mana

hal – hal yang berbeda (distinctive) atau superior dari pesaing dapat menjadi basis keunggulan
kompetitif (Andrews, 19971; Thompson dan Strickland, 1990). Asumsi dasar RBV adalah bahwa
sumberdaya dalam perusahaan bergabung menjadi satu (bundles) dan kemampuan yang
mendasari produksi tidak sama satu dengan lainnya. Perusahaan yang memiliki serta
menggunakan sumberdaya dan kemampuannya secara efisien memiliki peluang yang lebih besar
untuk beroperasi secara lebih ekonomis dan atau lebih baik dalam memuaskan pelanggan.
Keaneka-ragaman (heterogeneity) menunjukkan secara tidak langsung bahwa suatu perusahaan
yang memiliki berbagai kemampuan dapat berkompetisi dan hasil minimal yang diperolehnya
setidaknya impas (breakeven). Sementara perusahaan dengan sumberdaya marginal hanya dapat
berharap memperoleh impas, namun perusahaan dengan sumberdaya superior akan memperoleh
rents.
Teori pengembangan strategi menggunakan pendekatan RBV tergolong relatif baru dalam

disiplin manajemen stratejik. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa suatu
perusahaan berbeda dari lainnya? Mengapa suatu perusahaan memperoleh laba yang lebih besar
dari lainnya? Apa yang membuat keunggulan bersaing tetap sustainable? Salah satu kekuatan
pendekatan RBV tercermin dalam kemampuannya untuk menjelaskan mengapa suatu perusahaan
memiliki keunggulan bersaing dalam bisnis tunggal dan keunggulan perusahaan yang melewati
berbagai bisnis.
RBV merupakan salah satu pendekatan dalam merancang suatu strategi mencapai
keunggulan (competitive strategy) dengan mengunakan resources internal yang dimiliki
perusahaan. Keunggulan dicapai bila resources tersebut hanya dimiliki oleh perusahaan atau
pesaing tidak mudah menirunya. Untuk itu perlu dikenali faktor yang mempengaruhi eksistensi
resources apakah dari keterbatasan supply atau dari upaya inovasi yang dilakukan terus menerus.
Strategi berbasis resources (RBS) dikembangkan dengan memperhatikan ketersediaan resources.
Pengelolaan resources dalam kaitan dengan strategi dipengaruh oleh perspektif manajer, apakah
outside-in atau inside-out.
Aplikasi kedua perspektif dalam pengelolaan resources ini dapat diterapkan pada
perusahaan penyedia jasa dalam skala kecil atau industri jasa dalam skala luas. Mengingat
karakteristik jasa, maka strategi meraih keunggulan berbasis resources perlu memperhatikan

kesulitan (pitfalls) seperti misalnya perbedaan ekspektasi dan kebutuhan dari berbagai pelanggan
pada saat yang bersamaan. Strategi yang sukses pada dasarnya merupakan hasil dari bagaimana

seluruh eksponen perusahaan melaksanakan tanggung jawabnya, tanpa melihat di level mana
jabatan mereka, atau apakah perusahaan tersebut dilengkapi dengan teknologi atau tidak.
Pengelolaan resources sebagai basis strategi bisnis di perusahaan dan industri jasa memerlukan
antar-muka (interface) antara strategi dan operasional, karena hal ini mempengaruhi pengalaman
pelayanan oleh pelanggan.
Sumber Daya (Resources)
Resources diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: tangible assset, intangible asset dan
kemampuan organisasi (organizational capability). Perusahaan memiliki sejumlah resources
yang unik, inilah yang membedakan satu perusahaan dengan lainnya. Keunikan dan karakteristik
resources yang tidak dapat dikumpulkan dalam waktu yang relatif pendek, menyebabkan pilihan
strategi perusahaan dibatasi oleh ketersediaan resources serta kecepatan dalam menghimpun
resources baru. Ketersediaan resources, kendala laju perubahan merupakan faktor yang
menjadikan perusahaan lain tidak mudah untuk menetapkan strateginya. Jika faktor – faktor
tersebut mudah didapat oleh perusahaan lain, maka dengan mudah strategi dapat ditiru.
Menciptakan kondisi resources tidak simetris (resource asymmetries) oleh karenanya merupakan
substansi strategi. Nilai resources yang dimiliki suatu perusahaan terdapat pada jalinan kompleks
antara perusahaan dan lingkungan kompetitif-nya terkait dengan demand, scarcity, dan
appropriability.
Upaya secara terus menerus membangkitkan resources baru merupakan kondisi agar
resources tersebut bermanfaat terutama dalam hubungannya dengan mempertahankan demand.

Sementara itu, resources yang memfasilitasi tercapainya keunggulan bersaing harus tidak banyak
dimiliki pihak lain (uncommon). Oleh karenanya, perusahaan perlu menciptakan kondisi
kelangkaan sumber saya (rarity of resource) – yang menjadi kekuatan daya saingnya –
selamanya. Mencegah agar tidak ada peniruan (inimitability) resources merupakan upaya
stratejik guna membatasi persaingan. Empat karakteristik yang menyulitkan peniruan resources:
secara fisik bersifat unik, akumulasinya memerlukan waktu relatif lama dan tidak dapat
dipercepat (path dependency), peniru tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang

sumberdaya yang hendak ditirunya (causal ambiguity), kompetitor memiliki kemampuan untuk
mereplikasi resources-nya tetapi karena ukuran pasar memilih untuk tidak melakukannya
(economic deterrence). Karakteristik umum yang berpengaruh terhadap nilai suatu resources
ditentukan dari hubungan komplek di dalam sistem pesaing, pelanggan, pemasok. Sedangkan
karakteristik lain dari resources bersifat intrinsik.
Economic Rent
Ricardian berpendapat economic rent disebabkan oleh keterbatasan supply, sementara
Schumpeterian berkeyakinan economic rent diperoleh dari hasil inovasi. Perbedaan penting dari
dua pendapat ini, Ricardian rent karena sifatnya yang sulit ditiru memiliki peluang berumur
panjang, sementara Schumpeterian rent karena mudah ditiru beresiko tidak berumur panjang.
Menggunakan pendekatan Ricardian rent, dapat disimpulkan bawah perusahaan yang memiliki
sumberdaya superior – yang tersedia secara terbatas – dan menggunakannya secara efisien dapat

mempertahankan keunggulan kompetitifnya sepanjang mampu mengendalikan sumberdayanya
agar tidak dimiliki pihak lain secara bebas atau ditiru oleh pesaing.
Keadaan semacam ini mirip dengan monopoly rent, perbedaannya terletak pada dalam
model monopoli keaneka-ragaman dihasilkan dari kompetisi spasial atau perbedaan produk.
Keuntungan (profit) monopoli diperoleh dari pembatasan output yang dilakukan secara sengaja,
sementara dalam Ricardian rents, keuntungan diperoleh dari kelangkaan yang sudah menjadi
sifat (inherent scarcity) dari pasokan sumberdaya. Terlepas dari kedua rents di atas, agar
keunggulan kompetitif tetap bertahan kondisi keaneka-ragaman sumberdaya harus tetap
dipelihara dengan menjaga rents tetap di atas biaya (ex ante limits to competition).
Resource-Based Strategy (RBS)
Langkah – langkah dalam membangun Resource-Bases Strategy (RBS) diawali dengan
mengidentifikasi dan mengumpulkan sumberdaya (inventory resources) perusahaan. Selanjutnya,
menilai semua resources menggunakan kriteria competitive superiority, scarcity, dan
appropriability. Berikutnya, mengidentifikasi kesenjangan dari semua resources dibandingkan
dengan kebutuhan resources yang akan menjadi modal utama RBS. Guna mendapatkan
gambaran gap yang ada, selanjutnya dilakukan pemisahan (disaggregate) resources. Investasi

resources dilakukan dengan mempertimbangkan Continuity dan Adaptability, Commitment dan
Flexibility. Kualitas resources dengan beberapa cara: memperkuat resources yang ada dengan
meningkatkan kualitasnya, menambah resources yang bersifat komplemen guna memperkuat

posisi pasar, dan mengembangkan resources baru yang dimaksudkan untuk memberi kemudahan
bagi perusahaan untuk memasuki pasar atau industri baru.
Kajian mengenai RBS terpusat pada dua faktor kritis yang membatasi ex post
competition: imperfect imitability dan imperfect substitutability. Kedua upaya ini disebut sebagai
mekanisme isolasi (Rumelt, 1987), atau mobility bariers (Caves dan Porter, 1977), atau
perluasan entry barriers (Bain, 1956). Sebaliknya, Yao (1988) berpendapat bahwa kegagalan
keunggulan pasar secara mendasar disebabkan oleh ekonomi produksi dan sunk costs,
transaction costs dan imperfect information. Faktor – faktor lain yang dapat menghambat imitasi
adalah time compression diseconomies, asset mass efficiencies, interconnectedness of asset
stocks, asset erosion, dan causal ambiguity (Dierickx dan Cool, 1989). Faktor imobilitas atau
imperfect mobility merupakan kebutuhan kunci lain untuk keunggulan yang lestari (sustainable).
Analisa sumberdaya perusahaan dan posisinya dalam persaingan merupakan salah satu
hal yang perlu dilakukan dalam pengembangan strategi menggunakan RBV (Thompson et al,
2005). Pada tataran praktikal, analisa diawali dengan mempertanyakan seberapa baik strategi
yang ada, kemudian melakukan identifikasi terhadap kekuatan dan kelemahan sumberdaya
perusahaan yang dimiliki serta peluang dan ancaman yang ada di luar lingkungan perusahaan.
Langkah berikutnya mengevaluasi apakah harga produk/jasa dan biaya sudah unggul dari para
pesaing. Ketiga langkah di atas kemudian digunakan untuk menganalisis apakah perusahaan
lebih kuat atau lebih lemah dari para pesaing. Dengan mengetahui posisi perusahaan relatif
terhadap pesaing dalam suatu industri, manajemen dapat menggunakan informasi tersebut untuk

mengidentifikasi isu – isu strategis yang memerlukan perhatian, terutama bila strategi yang ada
belum mampu menjawab perubahan yang terjadi di lingkungan luar, atau tidak dapat
memanfaatkan sumberdaya perusahaan secara efisien dan efektif.
Jika manajemen memutuskan untuk mengubah strategi yang ada, pertanya-annya adalah
tindakan (actions) apa saja yang diperlukan untuk memromosikan pelaksanaan strategi dengan
lebih baik. Thompson et al (2005) menawarkan lima tindakan manajerial yang memfasilitasi

eksekusi strategi, sementara Afuah (2004) menawarkan pengelolaan sumber penghasilan
(sources of revenues) dan sasaran pasar. Lima tindakan yang disebutkan Thompson et al
mencakup: penyusunan sumberdaya yang mendorong eksekusi strategi dengan baik; penerapan
kebijakan dan prosedur yang dimaksudkan untuk memfasilitasi eksekusi strategi; memakai best
practices dan mengupayakan peningkatan berkelanjutan dalam aktivitas rantai nilai (value
chain); menggunakan sistem informasi dan operasi yang memungkinkan personalia perusahaan
untuk melaksanakan peran strategis masing – masing dengan cakap; dan memberikan hadiah
(rewards) dan atau insentif kepada semua eksponen perusahaan atas pencapaian strategi maupun
sasaran keuangan.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Afuah (2004) berargumen bahwa keberhasilan strategi
perusahaan dapat diukur dari nilai kepuasan pelanggan yang tercermin dari berulangnya mereka
membeli produk/jasa perusahaan. Persoalannya, value yang diharapkan berbeda dari satu
pelanggan ke pelanggan lainnya, oleh karenanya menjadi penting bagi perusahaan untuk

memutuskan pelanggan atau kelompok pelanggan mana yang akan dijadikan sasaran layanan,
serta seberapa banyak permintaan value mereka akan dilayani. Selain itu pada suatu sasaran
pasar seringkali terdapat peluang untuk memperoleh lebih dari satu sumber pendapatan, dan
tambahan revenue ini bahkan memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dari sumber
utamanya. Dicontohkan penjual mobil, selain memperoleh keuntungan dari penjualan mobil juga
mendapat tambahan penghasilan dari jasa perbaikan dan pemeliharaan yang memberikan tingkat
keuntungan yang lebih besar dari penjualan mobil.
Selain memberi value kepada pelanggan yang lebih baik dari pesaing serta
mengidentifikasi sumber – sumber penghasilan dari target pasar, Afuah menam-bahkan perlunya
menghubungkan (connect) semua aktivitas di dalam internal perusahaan guna memfasilitasi
model bisnis yang menguntungkan. Kemampuan perusahaan menawarkan value (melalui lowcost or differentiated products) merupakan hasil dari serangkaian aktivitas nilai-tambah yang
mendukung kreasi produk atau layanan. Aktivitas nilai tambah yang dimaksud merupakan
kombinasi antara pengelolaan sistem bisnis yang mengandalkan sumberdaya perusahaan, sistem
nilai yang berlaku pada suatu industri, dan keterkaitan vertikal (vertical linkage) dengan industri
terkait.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa RBS merupakan pendekatan alternatif
dalam menyusun strategi perusahaan. Sebagai strategi, RBS mengandalkan kekayaan
sumberdaya yang ada, namun juga memerhatikan lingkungan luar baik yang dapat dikendalikan
maupun yang di luar kemampuan perusahaan untuk mengendalikannya. Kunci sukses penerapan

strategi berbasis sumberdaya ini, terletak pada kemampuan perusahaan memelihara keanekaragaman, mencegah pesaing meniru atau memiliki sumberdaya yang secara unik dikuasai (ex
post limits to competition), menjadikan pesaing selalu mengalami imperfect mobility, dan
mengelola semua sumberdaya secara efisien dan efektif dalam penggunaannya (ex ante limits to
competition). Analisis sumberdaya dan kapabilitas internal juga perlu melibatkan pemahaman
mengenai faktor – faktor yang menjadi sifat industri seperti competitive and macro forces,
cooperative forces, dan industry value drivers. Selain itu, guna memastikan tingkat keuntungan –
sebagai hasil dari strategi bisnis – perusahaan perlu memastikan posisinya relatif terhadap:
customer value, segmen pasar yang menjadi sasaran, sumber – sumber penghasilan, persaingan
pasar, dan harga produk/jasa yang ditawarkan.
Kritik terhadap RBS terutama pada belum adanya definisi yang jelas mengenai peran
sumber daya manusia (SDM) di dalam lingkungan perusahaan sebagai bagian dari strategi,
apakah diperlakukan sebagai aset atau liability. Hal ini mengingat tidak semua personalia
perusahaan dapat digolongkan sebagai aset. Jika demikian, perusahaan yang SDM-nya lebih
sebagai liability harus mengubahnya terlebih dahulu sehingga menjadi aset, sebelum menerapkan
strategi berbasis sumberdaya. Dalam hubungannya dengan perubahan orientasi pasar dari
monopoli, captive menjadi persaingan (competitive market) , keraguan juga muncul, apakah
basis pelanggan (customer base) dapat dianggap sebagai sumberdaya yang dapat di-internalized,
atau harus dianggap sebagai faktor luar merupakan variabel yang sulit diperkirakan
preferensinya. Beberapa perusahaan memperlakukan customer base sebagai aset yang
mempengaruhi nilai perusahaan (industri jasa telekomunikasi dan perbankan), namun demikian

perusahaan pada kedua industri ini seringkali mengalami kesulitan ketika pelanggan tidak lagi
puas dengan value yang ditawarkan sehingga beralih kepada pesaing. Dalam kondisi seperti ini,
sumberdaya dan saya saing perusahaan menjadi berkurang.
Strategi Level Bisnis (SLB)

Keunggulan bersaing hanya dicapai bila perusahaan dapat menciptakan superior value
kepada pembeli/pelanggannya lebih baik dari para pesaingnya. Superior value melekat pada
produk atau jasa yang ditawarkan. Perusahaan yang tidak fokus pada keterbatasan kombinasi
produk-pasar beresiko menghadapi sejumlah persoalan: low economies of

scale, slow

organizational learning, unclear brand image, unclear corporate identity, high organizational
complexity, dan limit to flexibility.
SLB perlu memperhatikan lingkungan industri, segmentasi pasar, mendefinisikan dan
memilih binis, memposisikan dalam bisnis relatif terhadap pemain lain. Lebih lanjut, basis paling
penting yang perlu diperhatikan antara lain: harga, kelengkapan (feature), bundling, kualitas,
availability, citra perusahaan, dan hubungan dengan stakeholder.
Melestarikan Keunggulan Bersaing
Kelestarian (sustainability) tergantung pada dua faktor utama; competitive defendability

yakni kemampuan perusahan untuk berada satu langkah di depan pesaing, dan environmental
consonance yakni kemampuan perusahaan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Strategi menyeimbangkan antara organisasi dan lingkungan dicontohkan oleh Bally pemimpin
pasar mesin permainan pinball. Di tahun 1990-an kekuatannya dalam bidang pembuatan
peralatan elektro-mekanikal tidak lagi sesuai dengan permintaan pasar, beberapa pesaing telah
mengubah preferensi permintaan. Bally dihadapkan pada pilihan, meningkatkan teknologi agar
sesuai dengan perkembangan pasar atau membangun kompetensi baru dari awal lagi. Akhirnya
Bally memutuskan untuk meninggalkan bisnis mesin pinball dan mengalihkan bisnisnya kepada
bisnis baru slot machine yang saat itu sedang tumbuh
Perspektif Pada SLB
Dalam upaya beradaptasi dengan lingkungan, muncul pertanyaan “siapa yang harus
menyesuaikan siapa?” – apakah perusahaan mengadaptasi dirinya dengan lingkungan (sebagai
kesengajaan), atau apakah dengan sendirinya perusahaan akan beradaptasi dengan lingkungan.
Manajer dengan perspektif outside-in percaya bahwa perusahaan tidak boleh self-center, namun
sebaiknya secara terus menerus memperhatikan lingkungannya ketika menentukan strategi

(market driven). Analisa lingkungan diperlukan untuk mengidentifikasi pasar (peluang) dan
kompetisi (ancaman). Kodak dengan digital imaging-nya memberi contoh perspektif outside-in.
Di lain pihak, manajer dengan perspektif inside-out percaya bahwa strategi mesti dibangun dari
kekuatan perusahaan. Kelompok ini berargumen bahwa perusahaan yang sukses menghimpun
basis resources yang kuat selama periode tertentu, memiliki peluang membuka pasar dalam
jangka pendek dan menengah. Penekanan perspektif inside-out terutama pada pentingnya
perusahaan memiliki kompetensi dalam mengelola tangible resources (competence-based view)
atau capabilities-based view.*****

[1] Ghemawat, Pankaj (2002), Business History Review 76 (spring 2002): 37-74. © 2002 by The President and
Fellows of Harvard College