Poligami dalam Perspektif Hukum Islam da

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah Satu Persoalan penting yang sering dijadikan tuduhan bahwa islam
menganiaya perempuan dan berpihak pada lelaki secara mutlak ialah masalah
poligami, yakni diizinkannya lelaki mengumpulkan lebih dari satu isteri.1
Poligami merupakan salah satu tema penting khusus dari Allah SWT.
Sehingga tidak mengherankan kalau Dia meletakkannya pada wala surat An-Nisa’
dalam kitab-Nya yang mulia. Poligami terjadi ketika seorang laki-laki yang telah
memiliki istri menikah lagi dengan perempuan lain. Dalam islam, sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa seseorang laki-laki diperbolehkan menikahi beberapa
perempuan hingga empat orang.2
Meskipun dalam Islam ada kebolehan untuk melakukan poligami, namun
jika tidak bisa untuk berlaku adil maka diwajibkan untuk menikahi satu orang istri
saja. Dari persyaratan “keadian” inilah yang masih dikesampingkan oleh sebagian
banyak orang. Untuk itu lahirlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagai bentuk respon yang positif untuk mengatur seorang suami
yang ingin menikah lebih dari satu orang. Tentunya dengan berdasarakan pada
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Demikian juga lahirlah Kompilasi
Hukum Islam yang mengatur ketentuan poligami yang lebih condong pada agama
Islam.

Dari ketentuan UU No. 1/1974 dan KHI ini bertujuan untuk mmemberikan
ketentuan/persyaratan suami yang hendak menikah lagi, sehingga tertutuplah
sikap sewena-wena dari pihak suami. Hal ini juga demi terciptanya keluarga yang
sakinah, mawadah dan rahmah. Tentunya dengan dilakukannya poligami ini akan
ada hikmah yang terkandung didalamnya jika dilandasi oleh rasa keadilan. Jika
tidak dilandasi oleh rasa keadilan petaka yang nantinya akan timbul dalam rumah
tanga mereka.
B. Rumusan Masalah
1 Muhammad Baltaji, Ta’adud Az-zaujatu, Darussalam: Mesir, Poligami (ter.j), (Solo: Media
insani publishing), hal. 9
2 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Nahw Usul Jadidah li al-fiqh alislami, (Yogjakarta: ElSaq Press) , hal. 425

1

Berdasarkan latar belakang diatas, berikut ini dijabarkan secara rinci
beberapa rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini:
1. Apa yang dimaksud dengan poligami?
2. Apakah hukum dan dasar hukum yang menjelaskan tentang poligami dalam
perspektif Al-Qur’an?
3. Bagaimana syarat-syarat poligami dalam perspektif Hukum Islam?

4. Bagaimana poligami dalam perspektif Hukum Positif?
5. Apa hikmah di syari’atkannya poligami?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian poligami.
2. Mengetahui Hukum dan Dasar poligami dalam perspektif Al-Qur’an.
3. Mengetahui syarat-syarat poligami dalam perspektif hukum Islam.
4. Mengetahui poligami dalam pandangan hukum positif di Indonesia.
5. Mengetahui hikmah disyari’atkannya poligami.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami)
mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat
ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogami
berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada
jangka waktu tertentu.3
3 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raya Grafindo, 1995), hal 159

2


Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam
waktu yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam
perkawinan adalah monogami, sedangkan poligami datang belakangan sesuai
dengan perkembangan akal pikiran manusia dari zaman ke zaman.
Poligami adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orangorang yang memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan semangat
pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi
mereka,

bahwa

kondisi

perempuan

dalam

masyarakat

Islam


sangat

memprihatinkan dan dalam hal kesulitan, karena tidak adanya persamaan antara
laki-laki dan perempuan.4
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami itu
berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata Poli atau Polus
yang artinya banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang berarti kawin atau
perkawinan. Maka jikalau kata ini digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah
untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi
dalam jumlah yang tidak terbatas.
Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu
dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita saja.5

B. Hukum dan Dasar Hukum Poligami dalam Perspektif Al-Qur’an
Dasar pokok islam membolehkan poligami adalah firman Allah SWT yang
terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4): 3:

     
 










    

     
      

  

4 Al-Qamar Hamid, Hukum Islam Alternative, Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer (Jakarta:
Restu Ilahi, 2005), hal 19
5 Ibid hal.19


3

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”
a. Makna Mufrodat (Kosakata)
‫ووخإمن خخمفتتمم‬
:“dan kalau kalian khawatir”. Kata khawatir di sini ada makna
‘tahu’. Jadi bukan hanya khawatir saja. Dia juga tahu bahwa bila dia
berpoligami, dia tidak akan bisa adil. Dia tahu kalau dia menikahi yatim,
‫ال مي ووتاوم‬

dia tidak bisa adil. Maka dari itu, dia menghindarinya. (tafsir Thanthawi)
: Kata yatama merupakan jama’ dari kata yatim, yang makna dasarnya
adalah al-fard (tunggal) kemudian diartikan pula kepada faqd al-ab
(ayahnya sudah tidak ada). Al-Lais mengatakan bahwa yatim adalah anak
yan belum mencapai usia baligh dan ayahnya telah meninggal dunia. Jika
anak tersebut telah baligh, maka tidak lagi disebut yatim. Sedangkan
menurut Abu Ubaidah, anak perempuan yang sudah ditinggal ayahnya


tetap disebut yatim selama dia belum menikah.
‫وا‬
‫ ان وك ك ح‬: Kata inkihu dalam ayat ini merupakan fi’il amar jama’ dari inkih, yang
‫ح و‬
berasal dai kata dasar nahaka, yang secara etimologi berarti watha’ atau
jima’ (mempergauli istri). Sebagian ahli bahasa menyebutkan pula
bahwa, makna dasarnya adalah ‘aqad. Kedua makna ini dipakai dalam
bahasa Arab. Nikah dalam arti jima’ seperti yang tergambar dalam sabda
Rasulullah SAW. :

‫يءءْ إ كللال ل ح‬
‫وا ك ح ل‬
‫ل ح‬
‫ح‬
‫كاَ ح‬
‫إك و‬
‫ش و‬
‫صن حعح و‬


Lakukanlah segala sesuatu, kecuali jima’ (nikah).
Namun yang disebut dengan kata nikah dalam surat An-Nisa’ tersebut
berarti ‘aqad, yaitu suatu ijab dan kabul yang dilakukan oleh wali
seorang wanita dan calon suami, yang mana dengan ‘aqad tersebut,
seorang laki-laki boleh mencampuri wanita yang di-kabul-nya dalam
‫ال موعمدتل‬

‘aqad tersebut.
: Kata al-‘adl adalah masdar dari kata ‘adala, ya’dilu, ‘adlan, dan
‘adaalatan,

yang secara bahasa dimaknai dengan al-istiqomah

(konsisten). Kan secara syar’i, kata al-‘adalah diartikan kepada:

4

menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dilarang agama. Selain itu, kata
al-‘adala dimaknai juga: kemampuan dalam jiwa seseorang untuk
menghalangi dirinya melakukan perbuatan yang dilarang. Akan tetapi

al-‘adl dalam ayat ini dimaknai dengan makna yang kedua, yakni
bahwasannya seorang suami harus berbuat adil kepada istrinya. Artinya,
seorang suami harus mampu menghalangi dirinya dari hal-hal yang
menyakiti istrinya dengan cara mencukupkan kebutuhan belanjanya
(materi) dan tidak membeda-bedakannya dengan istri yang lain dalam hal
tersebut maupun pembagian-pembagian lainnya.6
b. Asbabun Nuzul Ayat
Surat An-Nisa’ ini adalah surat Madaniyah. Ia adalah surat Al-Qur’an yang
terpanjang setelah surat Al-Baqarah dan urutannya adalah sesudah surat AlMumtahanah. Beberapa riwayat mengatakan bahwa sebagian surat ini turun pada
waktu peristiwa Fathul Makkah (pembebasan kota makkah) tahun 8 hijriah, dan
sebagian lagi turun pada waktu peristiwa hudaibiyah yang terjadi sebelumnya,
yaitu pada tahun 6 hijriyah.7
Diriwayatkan dari Aisyah bahwasannya ayat ini turun berkenaan dengan
kejadian seorang anak yatim perempuan yang dipelihara oleh seorang laki-laki.
Anak yatim tersebut memiliki harta benda, dan karena mengharapkan harta
bendanya, laki-laki tersebut menikahinya. Setelah menikahinya, kemudian ia
memukul anak yatim itu dan mempergaulinya dengan buruk serta tidak
memberikan sesuatu kepadanya. Maka turunlah ayat:

     

 









   
Imam Al-Bukhari, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir,

meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang laki-laki memelihara seorang
anak yatim yang mempunyai kemuliaan dan keluhuran. Kemudian ia
menikahi

anak

yatim


tersebut

dan

tidak

memberikan

kepadanya8:
6 Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, cet.2 (Jakarta: AMZAH, 2013), hlm. 190-191
7 Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid 4. (Jakarta: Gema Insani; 2001), Hal.113
8 Op.cit, Kadar M. Yusuf. Hal. 192

5

sesuatu

‫جل ل ح‬
‫عاَئ ك ح‬
‫ة‬
‫ن ح‬
‫م ح‬
‫ش ح‬
‫ن حر ح‬
‫ه ع حن وحهاَ ا ح ل‬
‫ه ي حت ك ح‬
‫ت لح ح‬
‫كاَ ن ح و‬
‫ي الل ح‬
‫ة حرظ ك ح‬
‫عح و‬
‫ن ل ححهاَ ع حد و قق وح ح‬
‫ وح ح‬,َ‫ححها‬
‫م‬
‫م ك‬
‫كاَ ح‬
‫كاَ ح‬
‫فحن حك ح ح‬
‫سك ححهاَ ع حل حي وهك وحل حلل و‬
‫ن يح و‬
‫م‬
‫ن نح و‬
‫ن ك‬
‫ف ك‬
‫ن ل ححهاَ ك‬
‫ت فكي وللهك )وحا ك و‬
‫سهك ح‬
‫خت حلل و‬
‫سىَ قء فحن ححز ل حلل و‬
‫م و‬
‫ي حك ح و‬
‫ه حقاَ ح‬
‫ت‬
‫ن ل ح تح و‬
‫مىَ( أ و‬
‫خ ك‬
‫ق ك‬
‫اح و‬
‫ ك حللاَ ن حلل و‬, ‫ل‬
‫سب ح ح‬
‫وا كفىَ الحيتاَ ح‬
‫سط ح و‬
‫ه ذ حل ك ح‬
‫ح‬
‫ماَ ل كهك‬
‫ق وح كفىَ ح‬
‫شركي وك حت ح ح‬
‫ك العحذ و ك‬
Artinya :
“Dari Aisyah R.A “Sesungguhnya seorang laki-laki memiliki seorang
perempuan yatim, lalu dia menikahinya, dan perempuan itu memiliki adzq (pohon
kurma). Dia sengaja menahannya karena harta itu, sementara dia tidak memiliki
perasaan apapun terhadap perempuan tersebut. Maka turunlah, “Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya)”. Aku kira beliau berkata, “Dia adalah
sekutunya pada kurma dan pada hartanya.”9

c. Syarah Ayat

     
 









   

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.”
Ayat ini secara implisit mengandung anjuran menikah. Dalam hadits juga
dijelaskan tentang keutamaan menikah. Ayat tersebut juga menggambarkan sikap
atau etika yang harus dimiliki oleh orang-orang yang memelihara anak yatim dan
berkeinginan menikahinya, sedangkan ia tidak bisa berlaku adil kepadanya_yaitu
khawatir kalau ia enggan memberikan maskawin kepada anak yatim itu karena
anak asuhnya_, maka sebaiknya ia tidak menikah dengan anak yatim tersebut, dan
9 Hasbi Ash-Shidieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur jilid 4, cet. 2 (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1995) hal. 3073

6

agar lebih baik ia menikah dengan perempuan lain yang ia dapat berbuat adil
kepadanya.
Ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 3 tersebut juga menunjukkan
kebolehan melakukan poligami, yaitu seorang laki-laki menikahi lebih dari satu
orang perempuan, baik dua, tiga, ataupun empat. Poligami itu paling banyak
hanya diperbolehkan menikahi empat orang perempuan, hal ini juga berdasarkan
hadis Rasulullah yang diriwayatkan dari Az-Zuhri:

‫ح‬
‫ أ ح‬: ‫ع حن إبن ع حمر‬
‫ح‬
‫ح‬
‫م‬
‫ة الث ل ح‬
‫لل‬
‫ب‬
‫ن‬
‫ل‬
‫غ‬
‫ن‬
‫م ح‬
‫ق ك‬
‫و‬
‫ح‬
‫ل‬
‫يأ و‬
‫ن ح‬
‫سللل ح ح‬
‫سللل ح ح‬
‫فلل و‬
‫ح و‬
‫و كو ح‬
‫ك‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ه عح و‬
‫محر‬
‫سللوحةءْ كفاَل و ح‬
‫جاَه كل كي لللةك فحأ و‬
‫شللحر ن ك و‬
‫ه فحللأ ح‬
‫معحلل ح‬
‫ن ح‬
‫سللل ح و‬
‫وحل ح ح‬
‫م ح‬
‫النبي صحلىَ الله ع حل حيه وسل لم أ ح‬
‫ن أ حورب حعحاَ ل‬
‫ه‬
‫ن‬
‫م‬
‫ر‬
‫ي‬
‫خ‬
‫ت‬
‫ي‬
‫ن‬
‫ح‬
‫و‬
‫ك‬
‫ح‬
‫ل‬
‫ح‬
‫و‬
‫و ك ح ح ح‬
‫لك ي ح‬
‫ح ل‬
‫ح‬

“Dari Ibnu Umar, bahwasannya Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam.
Pada zaman jahiliyah ia memiliki sepuluh orang istri, dan istri-istinya itu masuk
Islam pula bersamanya. Maka Nabi SAW menyuruh memilih empat diantara

mereka.”
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Asy-Syafi’i, yang ia terima
dari Naufal bin Mu’awiyyah Ad-Daily, dijelaskan pula:

‫سللوو ح‬
‫قلل ح‬
‫ل‬
‫ت فح ح‬
‫عن ود كيو ح‬
‫ت وح ك‬
ْ‫سللوح ء‬
‫ل ل كللىَ حر ح‬
‫س نك و‬
‫أ و‬
‫خ و‬
‫م ح‬
‫سل ح و‬
‫ملل ح‬
‫ح‬
‫ح‬
‫ت‬
‫ إ ك و‬:‫م‬
‫ن ك‬
‫ه ع حل حي وهك وح ح‬
‫شللئ و ح‬
‫سل ل ح‬
‫صللىاَلل ح‬
‫اللهك ح‬
‫خت حور أورب حعحللاَ ل أي لت حهحلل ل‬
َ‫خحرى‬
‫ق ال ح و‬
‫وححفاَرك ك‬

“Saya masuk Islam dan saya_ketika itu_ memiliki lima orang istri. Maka

Rasulullah berkata kepada saya, pilih empat orang diantara mereka yang kamu
sukai dan ceraikanlah yang lainnya.”
Dengan keterangan tersebut maka jelaslah, bahwa poligami itu tidak boleh
lebih dari empat orang.
Firman Allah kelanjutan ayat surat An-Nisa’ (4) ayat 3:

     

      

   

“Maka jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang

saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.”10
10 Op.cit, Kadar M. Yusuf, hal 195

7

Bukhari meriwayatkan bahwa Urwah ibnu Zubair RA, pernah bertanya
kepada Aisyah RA, tentang firman Allah (yang artinya), “Jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila kamu
menikahinya)..”, lalu Aisyah menjawab, “Wahai anak saudara wanitaku, anak
yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya. Ia campurkan hartanya dengan
harta walinya, lalu si wali itu tertarik kepada harta dan kecantikannya. Kemudian
si wali itu hendak menikahinya dengan memberikan maskawin tidak sebagaimana
biasa yang diberikan oleh orang-orang lain. Karena itu, mereka dilarang menikahi
wanita-wanita yatim itu kecuali dengan berlaku adil kepadanya dan memberikan
maskawin sebagaimana yang berlaku serta diperintahkanlah mereka untuk
menikahi wanita-wanita lain.
Kalimat yang berbunyi “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila menikahinya)….” Maka ini adalah
keprihatinan, ketakwaan, dan takut kepada Allah yang menggetarkan hati si wali
apabila dia tidak dapat berlaku adil terhadap wanita yang ada dalam
pemeliharaannya.
Ayat ini bersifat mutlak, tidak membatasi tempat-tempat keadilan. Maka,
yang dituntut olehnya adalah keadilan dalam semua bentuknya dengan segala
pengertiannya dalam hal ini, baik yang khusus berkenaan dengan masalah
maskawain maupun yang berhubungan dengan urusan lain, seperti kalau
menikahinya karena menginginkan hartanya, bukan karena cinta kepadanya, dan
bukan karena kehendak mempergaulinya.11
Berlaku adil yang dimaksudkan adalah perlakuan yang adil dalam
melayani istri, seperti : pakaian, tempat, giliran, dan lain-lain yang bersifat
lahirilah. Islam memang membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
Dan, ayat tersebut membatasi diperbolehkannya poligami hanya empat orang saja.
Namun, apabila takut takut akan berbuat durhaka apabila menikah dengan lebih
dari seorang perempuan, maka wajiblah ia cukupkan dengan seorang saja.12

11 Loc.cit, Sayyid Quthb, hal 114
12 Loc.cit, Sohari Sahrani Tihami, hal. 360

8

d. Muhasabah Ayat
Islam membolehkan poligami dengan syarat jika suami
dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. akan tetapi, apabila
ia tidak bisa berlaku adil, maka tidak boleh memiliki istri lebih
dari satu. Adapun yang di maksud adil disini seperti yang telah
disinggung dalam makna mufradat,

adalah keadilan dalam

memberikan nafkah, yang disesuaikan dengan keadaan masingmasing istri, dan pembagian waktu untuk mereka. Adapun
peraan hati yang terkadang menyayangi salah satu dari yang
lain, tidaklah mengapa selama tidak diwujudkan dalam suatu
tindakan atau perbuatan. Al-Qur’an juga menafikkan kemampuan
seorang suami menyamaratakan perasaannya terhadap semua
istrinya, sebagaimana terdapat dalam surat An-Nisa’ (4): 129:


























    

     

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”13
Dalam kitab kitab Al-Muwatta’, karya Imam Malik hanya ditulis kasus
seorang pria bangsa Thaqif yang masuk islam dan mempunyai istri sepuluh, dan
ternyata Nabi menyuruh mempertahankan maksimal empat dan menceraikan
13Op.cit, Kadar M. Yusuf, hal. 195

9

lainnya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa Imam Malik membolehkan
poligami maksimal empat istri.
Dalam kitab ‫ الم‬karangan Imam Al-Syafi’i dituliskan,bahwa dalam islam
membolehkan seorang muslim mempunyai istri maksimal empat, berdasar AlQur’an dan Hadis Nabi. Dari Al-Qur;an dicatat ayat An-Nisa’ (4):3 sebagaimana
tersebut diatas. Pada bagian lain, pada judul poligami maksimal empat, ditulis
dasar Al-Qur’an Al-Ahzab (33):51, Al-Mu’minun (23):5-6 dan An-Nisa’ (4):3.
Ayat pertama, Al-Ahzab (33):51 berhubungan dengan giliran (pembagian
malam) para istri, nafkah dan waris mewarisi:

    
     
       
     

    










    
“Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara
mereka (isteri-isterimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki.
dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan
yang telah kamu cerai, Maka tidak ada dosa bagimu. yang demikian itu adalah
lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan
semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. dan Allah
mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. dan adalah Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Menurut riwayat, pada suatu ketika isteri-isteri Nabi Muhammad s.a.w.
ada yang cemburu, dan ada yang meminta tambahan belanja. Maka Nabi
Muhammad s.a.w. memutuskan perhubungan dengan mereka sampai sebulan
lamanya. oleh karena takut diceraikan Nabi, Maka mereka datang kepada Nabi
menyatakan kerelaannya atas apa saja yang akan diperbuat Nabi terhadap mereka.
turunnya ayat ini memberikan izin kepada Nabi untuk menggauli siapa yang

10



dikehendaki-Nya dan isteri-isterinya atau tidak menggaulinya; dan juga memberi
izin kepada Nabi untuk rujuk kepada isteri-isterinya seandainya ada isterinya yang
sudah diceraikannya.
Ayat kedua, Al-Mu’minun (23): 5-6 berbicara tentang dua hal, yakni.
1. Halal nikah dengan wanita merdeka dan budak,
2. Boleh melakukan aktivitas senang-senang (‫)تلذذ‬dengan kemaluan istri dan
budak, tetapi tidak boleh dengan binatang.
Sementara dasar hadis untuk menunjukkan boleh poligami maksimal
empat, dicatat cerita seorang bangsa thaqif yang masuk islam dan mempunyai istri
sepuluh. Nabi menyuruh mempertahankan empat dan menceraikan lainnya.
Tuntutan harus berbuat adil diantara para istri, menurut As-Syafi’i :berhubungan
dengan urusan fisik, misalmya mengunjungi istri dimalam atau siang hari.
Tuntutan ini didasarkan pada prilaku Nabi dalam berbuat adil kepada para
istrinya, yaitu dengan membagi giliran malam dan memberikan nafkah,Akan
halnya dengan keadilan dalam hati, menurut As-Syafi’i hanya Allah yang
mengetahuinya. Karena itu, mustahilnya seorang dapat berbuat adil kepada
istrinya yang diisyaratkan pada ayat An-Nisa’ (4):129 yang berhubungan dengan
hati.
Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali berpendapat, seorang laki-laki boleh
menikahi wanita maksimal empat, berdasarkan An-Nisa’ (4):3, kasus ghaylan bin
salamah, dan kasus Nawfal bin Mu’awiyah. Karena itu, dari pembahasan tersebut
dapat disimpulkan, meskipun menggunakan dasar (‫ )دليل‬yang berbeda para ulama
konvensional tersebut mengakui bahwa poligami boleh hukumnya, bukan
dianjurkan (sunnah), apalagi wajib (amar/perintah) seperti yang diasumsikan
sebagaian orang. Kesimpulan lain yang dapat dicatat adalah bahwa ada sejumlah
nash yang berhubungan dengan poligami yang dicatat para ulama mazhab, yakni
An-Nisa’ (4):3, An-Nisa’ (4):129, Al-Ahzab (33):50, Al-Mu’minun (23) 5-6, Doa
Nabi, ancaman bagi suami yang tidak adil bagi istri-istrinya, dan kasus laki-laki
yang masuk islam dan di suruh Nabi untuk mempertahankan istrinya maksimal
empat
Sebagai tambahan, semua ulama tersebut diatas mencatat An-Nisa’ (4):3
untuk mendukung kebolehan poligami maksimal empat. Sementara dalil

11

tambahan untuk membuktikan kebolehan poligami maksimal empat tersebut, para
ulama mencatat nash yang berbeda. Terlihat hanya imam As-Syafi’i yang
memcatat dan menghubungkan An-Nisa’ (4):3 dengan 129, yaitu menyimpulkan
bahwa keadilan yang dituntuk Al-Qur’an untuk boleh poligami, sebagaimana
yang tercantum dalam ayat An-Nisa’ (4):3 adalah keadilan dalam hal-hal yang
berhubungan dengan kebutuhan fisik (sandang, pangan dan papan), sementara
mustahilnya seorang suami berlaku adil yang ditegaskan Al-Nisa’ (4):129 adalah
hal-hal yang berhubungan dengan batin (non-fisik/cinta). Karena itu kalau dapat
berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam memenuhi kebutuhan istri-istrinya dalam
memenuhi kebutuhan fisik seorang suami boleh melakukan poligami.14
Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas (QS. An-Nisa’(4):
ayatt 3), tidaklah bertentangan dengan firman Allah SWT. Dalam surat An-Nisa’
(4) :129:
“ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung(kepadanya yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung.” (QS. An-Nisa’: 129)
Dalam ayat 3 surat An-Nisa’ diwajibkan berlaku adil, sedangan ayat 129
meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah
bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriah bukan
kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil
dalam masalah cinta dan kasih sayang.
Abu bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan
dalam cinta itu berada diluar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya dalam
genggaman Allah Swt. Yang mampu membolak balikkannya menurut kehendakNya. Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri yang
satu, tetapi tidak begitu dengan istri yang lainnya. Dalam hal ini apabila tidak
sengaja, ia tidak terkena hukum dosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh
karena itu, tidaklah dipaksa untuk melakukannya.
14 Khoirun Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia, (Yogyakarta, Academika,
2009), hlm 266

12

Pada waktu Al-Qur-an turun, praktik poligami sudah bisa dilaksanakan
masyarakat Arab dengan jumlah tak terbatas. Orang-orang yahudi dan Nasrani
saat itu juga tidak mengharamkannya. Jadi tidak diperlukan peritah untuk
melakukan poligami itu. Yang diperlukan saat itu adalah untuk membatasi
poligami pada dua, tiga atau empat sebagai batas yang maksimal. Pembatasan ini
perlu agar orang jangan sampai memakan harta anak yatim yang dipeliharanya,
karena keperluannya untuk memberi nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya
yang banyak.15
C. Syarat-Syarat Poligami dalam Perspektif Hukum Islam
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan
tidak mengharuskan umatnya melaksanakan monogami mutlak dengan pengertian
seorang laki-laki hanya boleh beristri seorang wanita dalam keadaan dan situasi
apapun dan tidak pandang bulu apakah laki-laki itu kaya atau miskin, hiposeks
atau hiperseks, adil atau tidak adil secara lahiriyah. Islam pada dasarnya menganut
sistem monogami dengan memberikan kelonggaran dibolehkannya poligami
terbatas. Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya memiliki seorang istri dan
sebaliknya seorang istri hanya memiliki seorang suami. Tetapi islam tidak
menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristri banyak sebagaimana yang
sudah berjalan dahulu kala. Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya lakilaki tertentu berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian
karena tidak semuanya mempunyai kemampuan untuk berpoligami. Poligami
dalam islam dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, baik jumlah maksimal maupun
persyaratan lain seperti:
1. Jumlah istri yang boleh dipoligmi paling banyak empat orang wanita.
Seandainya salah satu diantaranya ada yang meninggal atau diceraikan
suami dapat mencari ganti yang lain asalkann jumlah tidak melebihi empat
orang pada waktu yang bersamaan.
2. Laki-laki dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya,
menyangkut masalah-masalah lahiriah seperti pembagian waktu jika
15Mardani, Hukum Perkawinan Islam di dunia islam Modern, (Yogyakarta: Graha ilmu, 2001),
hal 88.

13

pemberian nafkah dan hal-hal yang menyangkut kepentingan lahiri.
Sedangkan masalah batin, tentu saja selamanya manusia tidak mungkin
dapat berbuat adil secara hakiki.
Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai
alternatif atau jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki
atau sebab-sebab lain yang menganggu ketenangan batinnya agar tidak sampai
jatuh kelembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan agama.
Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus
kejurang maksiat yang dilarang islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu
boleh beristri lagi( poligami) dengan syarat bisa berlaku adil.16
Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua
hak-hak mereka, maka ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup
dipenuhinya hanya tiga maka baginya haram menikah dengan empat orang. Jika ia
sanggup memenuhi hanya dua orang istri maka haram baginya menikahi tiga
orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim dengan mengawini dua orang
perempuan, maka haram baginya melakukan poligami.
Dalam sebuah hadits nabi SAW, juga disebutkan:

‫ي صلللىَ الللله عليلله وسلللم‬
‫عن ابىَ هريرة ان النللب ي‬
‫ من كاَنت امراتاَن فماَل الللىَ احللداهماَ جللاَء‬:‫قاَل‬
َ‫يوم القياَمة وشقه ماَئل )رواه ابو داود والترميذى‬
(‫والنساَئىَ وابن حباَن‬
“Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya Nabi saw. Bersabda: “barang siapa yang
mempunyai dua orang istri lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia
akan datang hari kiamat nanti dengan punggung miring.” (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’I, dan ibnu hiban)
Aisyah RA. berkata:
16 Loc.cit, Sohari Sahrani Tiham, hal 357-358

14

‫كاَن رسول الله صلىَ الله عليه وسلم يقسم فيعد‬
‫ اللهم هذا قسمي فيماَ املك فل املك فل‬: ‫ويقول‬
َ‫تلمنللىَ فيمللاَ تملللك ول املللك قلاَل ابللو داود يعنللى‬
‫القلب‬
“Rasulullah SAW. Selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil dan beliau
pernah berkata: ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu,
janganlah engkau mencelakakanku tentang apa yang Engkau kuasai, sedang aku
tidak menguasainya.” Abu dawud berkata bahwa yang dimaksud dengan “
Engkau tetapi aku tidak menguasai yaitu hati.” ( HR. Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasai dan ibnu Majah)
Menurut Al-khaththabi hadis tersebut sebagai penguat kewajiban
melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh
bersikap berat sebelah dalam menggaulinya yang berarti mengurangi haknya,
tetapi tidak dilarang untuk lebih mencintai perempuan yang satu daripada lainnya,
karena masalah cinta berada diluar kesanggupannya.
Jika suami mengadakan perjalanan hendaklah dia mengajak salah seorang
diantara istrinya untuk menemaninya, dan lebih baik apabila dilakukan undian.
Dalam hal ini, khaththabi juga berkata giliran yang dilakukan Rsulullah SAW.
Terkadang ada yang mendapat siang hari, dan terkadang juga ada yang mendapat
malam hari. Dalam masalah giliran, juga ada hak hibah sebagaimana adanya hibah
dalam masalah harta benda. Kebanyakan ulama sepakat bahwa istri yang ikut
serta menemani suami bepergian, maka hari-hari digunakan itu dijumlahan dan
diganti dengan hari-hari lainnya, dan hari-hari yang digunakiannya itu tidak
menyebabkan ia kehilangan sekian kali masa giliran menurut lama dan pendeknya
waktu perjalanan.
Kebanyakan Ulama sepakat bahwa istri yang ikut serta menemani
suaminya bepergian, maka hari-hari digunakan itu tidak dijumlahkan dan diganti
dengan hari-hari yang lainnya dan hari-hari yang digunakannya itu tidak

15

menyebabkan ia kehilangan sekian kali masa giliran menurut lama dan pendeknya
waktu perjalanan. Akan tetapi, segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa
hari-hari yang digunakan tadi dijumlahkan dan diganti dengan hari-hari lain
sehingga nantinya ia kehilangan sekian kali masa giliran dan masa banyak.
Pendapat pertama yang lebih baik karena sudah menjadi ijma’ sebagian
besar ulama. Disamping itu, walaupun ia mendapatkan hari-hari menemani
suaminya lebih banyak, ia mengalami penderitaan dan kesusahan semasa
perjalanan yang cukup berat. Selain itu prinsip keadilan juga menolak hal ini.
Sebab, kalau disamakan berarti menyimpang dari rasa adil. Itulah maksud dari
hadis berikut, yang memperbolehkan istri mendapat giliran dari suaminya untuk
tidak menggunakannya, sebab menjadi hak sepenuhnya ia boleh memberikan
kesempatan bepergian kepada istri yang lain.

‫ اذا سللفر‬.‫كاَن رسول الله صلىَ الله عليلله وسلللم‬
‫ن خرج سهمهاَ خرج بهاَ معلله‬
‫اقرع بين نساَئه فاَيته ي‬
‫وكاَن وكاَن يقسم بك ي‬
‫ن‬
‫ن يومهاَ غيللر ا ي‬
‫ل امراة منه ي‬
‫سودة بنت زمعة وهبت يومهاَ لعاَ ئشة‬
“Rasulullah, jika mau bepergian, beliau mengadakan undian diantara para
istrinya. Maka mana yang mendapat giliran. Dialah yang akan keluar menemani
beliau. Dan beliau menggilir istri-istrinya pada hari-hari yang ditentukannya,
kecuali bagian saudah binti Zama’ah diberikannya hari gilirannya kepada
aisyah.”17
Dalam hal giliran tidur bersama, kalau suami bekerja di siang hari,
hendaklah diadakan giliran di malam hari. Dan apabila bekerja di malam hari
maka gilirannya siang hari, maka ia harus bermalam pula pada istri yang laim
selama dua atau tiga hari. Bila is sedang berada dalam giliran seorang istri, maka
ia tidak boleh memasuki istri yang lain, kecuali kalau ada keperluan yang sangat
penting, misalnya istri sedang sakit keras atau sedang bahaya lainnya. Dalam
17Op.cit, Sohari Sahrani Tiham, hal.361- 365

16

keadaan demikian, ia boleh memasuki rumah istrinya itu walaupun ia sedang
dalam giliran istri yang lain. Demikian juga bila diantara istri-istri itu sduah
kerelaan dalam masalah ini.

Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Aisyah disebutkan:

‫عن عاَ ئشة رضي الله عنهاَ قاَلت كاَن رسول الله‬
‫صلىَ الله عليه وسلماَ يفضللل بعضللناَ علللىَ بعللض‬
‫فىَ القسم من مكثه عند ناَ وكاَن ق ي‬
‫ل يوم ل وهللو‬
‫يطوف عليناَ جميعاَ فبدء نللوا مللن كلل ي‬
‫ل امللراة مللن‬
‫غيللر مسلليس حللتىَ يبلللغ الللتىَ هللو يومهللاَ فيللبيت‬
(‫عندهاَ) رواه ابو داود واحمد‬
“Dari Aisyah RA. berkata : “Rasullah SAW. Tidak melebihkan sebagian kami
diatas yang lain, dalam pembagian waktu untuk kembali kepada kami, walaupun
sedikit sekali waktu bagi Rasulullah. Tapi beliau tetap bergilir kepada kami.
Beliau mendekati istri-istrinya dengan tidak mencampurinya hingga ia sampai
kepada istrinya yang mendapat giliran itu, lali ia bermalam dirumahnya”. ( HR.
Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis Lain juga menyebutkan:

‫ كاَ النبي صلىَ الله عليلله‬:‫عن انس رضىَ الله قاَل‬
‫وسلم يطوف علىَ نساَئه فىَ اليلللة الواحللدة وللله‬
(‫يومئذ تسع نسوة)رواه البخاَرىَ ومسلم‬

17

“Dari anas RA. berkata: “Nabi SAW bergilir kepada istri-istrinya pada suatu
malam, dan bagi beliau ketika itu ada sembilan orang istri.” ( HR. Bukhari dan
Muslim)
Seorang suami boleh masuk kepada istri yang bukan gilirannya disiang
hari sekedar meletakkan barang atau memberi nafkah dan tidak boleh masuk
untuk berkasih mesra.
Sekurang-kurangnya, giliran perempuan itu satu malam, dan sebanyaknya
tiga malam. Tidak memperbolehkannya melebihi tiga malam/hari agartidak
menyebabkan adanya “penyerobotan” diantara istri-istri yang lain. Karena
gilirannya yang lebih dari tiga hari, berarti telah mengambil hak dari yang lain,
yang berarti telah berbuat durhaka.
Memberikan nafkah belanja yang berupa sandang pangan maupun papan
kepada para istri dan anak-anak merupakan amal yang sangat utama. Nafkah yang
kita berikan kepada mereka itu termasuk sedekah yang tentunya mendapat pahala
dari Allah SWT. Firman nya dalam surat at-thalaq ayat 7 menyebutkan

‫لينفللق ذوسللعة مللن سللعته ومللن قللدرعليه رزقلله‬
‫مللاَ اتللاَه الللله ليكيلللفّ الللله نفسللاَ ال‬
‫فلينفللق م ي‬
‫ماَاتاَهاَسيجعل الله بعد عسريسرا‬
Artinya hendaklah orang yang memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dan harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Ath. Thalaaq 7)18
Sandang dan pangan merupakan kewajiban seorang suami kepada istrinya
yang dalam istilahnya disebut nafkah. Bila seorang suami mempunyai istri lebih
dari satu kewajiban memberi nafkah yang berupa sandang dan pangan kepada
para istrinya haruslah bersifat “adil”. Namun.keharusan adil dalam hal ini
18 Mahfudli Sahli, Amaliah Surgawi. (Semarang : Mujahidin, 1981) , hal 37

18

sebenarnya diambil dari penafsiran hukum pada sebuah kalimat dalam surat AnNisa’ ayat 3 yang berbunyi :

     

  

Tetapi apabila kamu takut untuk tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah seorang
wanita saja.
Jadi, berbuat adil terhadap para istri bagi seorang suamui yang mempunyai
istri lebih dari satu dalam memberikan sandang, pangan dan papan adalah wajib.
Tetapi kewajiban suami dalam memberikan nafkah sandang pangan dan papan
kepada istri-istrinya itu tidaklah harus sama rata atau sama besar, karena makna
adil dalam suatu kaidah disebutkan:

‫وضع شيئ في مو ضعهاَلعدل‬
Maksudnya adil itu adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya
Jadi, memberikan nafkah yang berupa sandang pangan dan papan bagi
seorang suami yang mempunyai istri tidaklah harus sama. Contoh memberikan
belanja yang berupa uang kepada istri pertama lebih besar dari pada memberikan
uang kepada istri kedua, karena dimungkinkan istri pertama sudah mempunyai
anak sementara istri kedua belum, itu baru bisa diakan adil.
D. Poligami Dalam Perspektif Hukum Positif
Ada beberapa aturan atau undang-undang yang merupakan dasar dalam
menentukan hukum dari poligami antara lain:
a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dalam UU No.1 Tahun 1974, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 3,
4 dan 5. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
 Pasal 3 (1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang isteri. seorang isteri hanya boleh mempunyai
seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami

19

untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang berkepentingan.
 Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebuta dalam pasal 3 (2) UU ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam dalam ayat (1) pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila :
a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b) issteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan
c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
 Pasal 5 (1) Untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalan pasal 4 (1) UU ini, harus dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut :
a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
b) adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-keperluan hidup,
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-istrinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2
(dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari hakim pengadilan.
b. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 tahun
1974. Dalam PP No.9 Tahun 1975, yang berkaitan dengan poligami adalah
pasal 40, 41, 42, 43 dan 44.
c. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawian dan
Perceraian Pegawai Negeri Sipil. Dalam PP No.10 Tahun 1983, yang
berkaitan dengan poligami adalah pasal 4,5,6,7,8,9,10 dan 11.

20

d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas PP No 10 /
1983 tentang izin perkawian dan Percraian Pegawai Negeri Sipil.
 Dalam pasal 1 disebutkan bahwa mengubah beberapa ketentuan dalam
PP No 10 /1983, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3 (1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib
memperoleh izin atau surat keterangan terlebih dahulu dari pejabat.
(2) Bagi PNS yang berkedudukan sebagai penggugat atau PNS
yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau
surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
mengajukan permintaan secara tertulis.
(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya
gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan, harus
dicantumkan alasan lengkap yang mendasarinya:
Pasal 4 (1) PNS pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
(2) PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua
/ketiga/keempat.
(3) Perrmintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan secara tertulis
(4)

Dalam surat permintaan dimaksud dalam ayat (3) harus

dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin
untuk beristeri lebih dari seorang.
Pasal 5 (2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari PNS dalam
lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk
beristeri lebih dari seorang, wajib memberikan pertmbangan dan
meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam
jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai
tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.
Pasal 9 (1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari
seorang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) wajib
memperhatikan dengan saksama alasan-alasan yang dikemukakan

21

dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasa PNS yang
bersangkutan.
e. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Adapun pasal-pasal KHI yang memuat tentang poligami adalah pasal 55, 56, 57,
dan 58. Dari beberapa dasar dan aturan yang telah dikemukakan dapat di pahami
bahwa azas perkawinan adalah monogami yang tidak bersifat mutlak, tetapi
monogami terbuka, sebab menurut pasal 3 (1) UU No.1/1974 dikatakan bahwa
seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri begitu pula sebaliknya.
Tetapi pada pasal 3 (2) UU No.1/1974 yang menyatakan bahwa “ Pengadilan
dapat memberi izin kepada seseorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan adanya ayat (2)
ini berarti undang-Undang ini menganut azas monogami terbuka, oleh karena itu
tidak tertutup kemungkinan dalam keadaan tertentu seorang suami melakukan
poligami yang tentunya dengan pengawasan pengadilan. Dalam hal seorang suami
akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan dimaksud hanya memberi izin
kepada suami yang beristeri lebih dari seorang apabila cukup alasan-alasannya
(lihat pasal 4 ayat (1 dan 2) UU No.1/1974, pasal 41 PP No. 9/ 1975) sebagai
berikut:
a)

Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,

b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit tidak dapat disembuhkan dan
c)

Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Jadi seorang suami yang yang mempunyai isteri masih hidup, tetapi

ternyata tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, misalnya tidak
dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik, mengatur rumah tangga
dengan baik, mengurus dan mendidik anak-anaknya dengan baik, termasuk tidak
menjaga kehormatan dirinya dari makziat, begitu pula jika isteri cacat badannya,
misalnya lumpuh, gila, , lepra yang susah disembuhkan, apatalgi jika isteri tak
mendapatkan keturunan. Dengan alasan-alasan demikian suami dapat beristeri
lebih dari seorang dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan.19

19 Muhammad saleh Ridwan, “Ar-Risalah,” Poligami di Indonesia, 2 (Nopember,2010), hal. 371374

22

E. Hikmah Poligami
Karena

tuntutan

pembangunan,

undang-undang

diperbolehkannya

poligami tidak dapat di abaikan begitu saja, walaupun hukumnya tidak wajib tidak
pula sunah. Dengan menyimak hikmah-hikmah yang terkandung dalam
poligami.20 Hendaknya ada kemauan dari pihak pemerintah untuk turut
memerhatikan masalah ini. Di antara hikmah-hikmahnya adalah :
1) Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan
istri mandul.
2) Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri,
sekalipun istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai
istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tak
dapat disembuhkan.
3) Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari
perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
4) Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang
tinggal di Negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh
lebih

banyak

dari

kaum

prianya,

misalnya

akibat

peperangan.
Namun apabila poligami dilakukan tanpa adanya suatu
rasa keadilan dan tanpa adanya sesuatu keadaan yang daruat
maka kekacaunlah nantinya yang akan timbul dalam rumah
tangga.

Dalam

kenyataanya

manusia

hanya

cenderung

menyanyangi satu diantara yang banyak, apalagi terhadap istri
yang

lebih

cantik,

muda

dan

segar.

Maka

hal

ini

akan

menimbulkan suatu perbuatan yang sewena –wena suami
terhadap istri-istrinya yang lain, bahkan banyak kasus yang
menjurus

pada

perbuatan

zalim.

20Loc.cit, Hasbi Ash-Shidieqy, hlm. 3075

23

Sehingga

menyebabkan

menderitanya

istri-istri

yang

lain.

Padahal

tujuan

utama

melaksanakan perkawinan yaitu untuk menciptakan suasana
rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah.21

BAB III
KESIMPULAN
Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami)
mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat
ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga.
Dasar pokok islam membolehkan poligami adalah firman Allah SWT yang
terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4): 3 dan 129, pada bagian lain, pada
judul poligami maksimal empat, ditulis dasar Al-Qur’an Al-Ahzab (33):51, AlMu’minun (23):5-6.
Poligami dalam islam dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, baik jumlah
maksimal maupun persyaratan lain seperti:
a. Jumlah istri yang boleh dipoligmi paling banyak empat orang wanita.
b. Laki-laki dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya,
menyangkut masalah-masalah lahiriah seperti pembagian waktu jika
pemberian nafkah dan hal-hal yang menyangkut kepentingan lahiri.
21Op.cit, Sohari Sahrani Tihami, hal. 370-374

24

Sedangkan masalah batin, tentu saja selamanya manusia tidak mungkin dapat
berbuat adil secara hakiki.
Ketentuan poligami dalam Undang-Undang No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, diatur dalam pasal 4 dan pasal 5.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab IX
mulai pasal 55 sampai pasal 59. Dari kedua ketentuan tersebut
dapat ditarik kesimpulan dari hubungan yang terkait di dalamnya
serta perbedaannya.
Dalam UU No.1/1974 tidak sebutkan batasan seorang yang
ingin menikah lebih dari satu, berbeda dengan KHI yang cuma
membatasi 4 orang istri bagi seorang suami yang ingin menikah
lagi.
Dari alasan seorang suami yang ingin menikah lagi dari
ketentuan dua peraturan ini tidak ada perbedaan, yaitu samasama mengarah pada keadaan dan kondisi si istri. Demikian juga
dalam persyaratn untuk bisa diizinkan oleh Pengadilan yaitu
harus adanya syarat utama yaitu adanya persetujuan dari
istri/istri-istri. Namun dalam KHI persetujuan dari istri juga harus
dibuktikan secara secara lisan dalam sidang di Pengadilan
Agama.
Dalam UU No1/1974 dan KHI juga sama mengatur kasus
dimana istri tidak bisa dimintai izin karena keadaan tertentu
yang menghalanginya atau karena sebab lain yang perlu
mendapat penilaian Hakim. Namun dalam hal dimana istri tidak
mau memberikan izin kepada suami yang ingin menikah lagi,
maka pihak suami atu istri bisa mengajukan banding atau kasasi.
Berbeda dengan UU No.1/1974 yang tidak ada kesempatan
mengaukan banding atau kasasi. Sehingga jika istri tidak
mengizinkan maka tidak bisalah
Hikmah Poligami yang dilandasi oleh rasa keadilan yaitu:

25



Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan
istri mandul.



Untu