Integrasi Pemeliharaan Sistem Keuangan o

INTEGRASI PEMELIHARAAN SISTEM KEUANGAN OLEH BANK INDONESIA MELALUI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

Disusun dalam Rangka Mengikuti :

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH (LKTI) NASIONAL

ECCENT’S 6th

Oleh :

DWI WULAN RAMADANI 041114029 DEDI RAHMAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2013

INTEGRASI PEMELIHARAAN SISTEM KEUANGAN OLEH BANK INDONESIA MELALUI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

Oleh :

DWI WULAN RAMADANI 041114029 DEDI RAHMAN

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena atas berkah, rahmat dan ijin-Nyalah kami bisa menyelesaikan karya tulis ini dengan baik. Tak lupa pula sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing kita menuju jalan yang terang.

Isu terhangat tentang Ekonomi akhir-akhir ini mengenai urgensi akan kehadiran Otoritas Jasa Keuangan dalam upaya mengakselerasi tata kelola kebijakan ekonomi di Indonesia yang berkualitas, mendorong saya menyusun

sebuah karya tulis dengan judul “ INTEGRASI PEMELIHARAAN SISTEM KEUANGAN OLEH BANK INDONESIA MELALUI IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL ”. Hal ini saya angkat tak lain dan dan tak bukan hanyalah untuk menggugah perhatian para ekonom untuk terus belajar dan mendalami ilmu ekonomi dalam proses pemberntukan ekonomi yang kuat serta menciptakan stabilitas ekonomi yang konsisten di Indonesia.

Karya tulis ini tidak selesai dengan sendirinya tanpa dorongan dari orang – orang di sekitar saya, tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu terselesaikannya karya kami ini, yaitu :

1. Teman – teman Fakultas Ekonomi & Bisnis UA yang telah memberikan semangatnya.

2. Serta semua pihak yang turut membantu terselesaikannya karya ilmiah ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu.

kamipun selaku penyusun sadar bahwa karya tulis yang telah kami buat ini jauh dari sempurna, baik dalam hal isi maupun penulisannya. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan penelitian dan karya kami selanjutnya. Akhirul Kalam, kami berharap agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Surabaya, 26 Mei 2013

Penyusun

ABSTRAK

Sebagai Lembaga Negara yang independen, Bank INDONESIA dituntut melakukan perubahan mendasar sesuai dengan semangat yang terkandung dalam undang-undang, yaitu independensi, transparansi, dan akuntabilitas. Sebagai institusi publik, Bank Indonesia di tuntut untuk memperbaiki good governance yang berimplikasi pada perlunya peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan kebijkan. Krisis keuangan dan moneter yang terjadi pada 1997-1999 juga mengharuskan Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk meningkatkan citra dan membangun kembali kredibilitasnya untuk meraih kepercayaan publik. Hal ini sangat di butuhkan agar efektifitas kebijakan moneter dapat terjamin. Dalam skala yang lebih luas, kredibilitas bank sentral sangat berpengaruh dalam meningkatkan kepercayaan internasional.

Gejolak nilai tukar negara-negara regional memiliki pengaruh paling utama yang menyebabkan terjadinya krisis yang berkepanjangan. Kuatnya tekanan terhadap rupiah mengakibatkan ketidakmampuan Bank Indonesia untuk menyangga pita intervensi ( band intervention ) yang ada sehingga sistem nilai tukar mengambang bebas ( Free floating system) menjadi salah satu alternatif sistem nilai tukar yang akhirnya dipilih untuk tetap menjaga cadangan devisa. Disamping sebagai dampak dari bergejolaknya nilai rupiah, sektor perbankan mengalami krisis yang sangat mendalam karena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Hal tersebut semakin diperberat oleh lemahnya kondisi internal sektor perbankan, terutama sebagai dampak dari konsentrasi kredit yang berlebihan, lemahnya manajemen bank, moral hazard yang timbul akibat mekanisme exit yang belum tegas serta belum efektifnya peagawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Mempertimbangkan dampak dan biaya / kerugian yang demikian besar terhadap perekonomian akibat instabilitas sistem keuangan tersebut serta langkah- langkah penyelesaian krisis ( crisis resolution ) yang juga membutuhkan waktu yang lama, maka wacana menjaga stabilitas sistem keuangan menjadi perhatian yang serius dari bank sentral dan pengambil kebijakan publik di berbagai negara dewasa ini. Di Indonesia, isu stabilitas sistem keuangan tersebut kembali menguat setelah terjadinya krisis keuangan dan perbankan dalam tahun 1997-1998.

Dalam karya tulis ini kami (baca : Penulis) mencoba menggali tentang bagaimana makroprudensial bisa membantu menjaga stabilitas perekonomian di Indonesia dengan memaksimalisasi fungsi ITF ( Inflation targeting framework ). Dimana ITF adalah salah satu instrument yang di gunakan dalam menentukan kebijakan makroprudensial.

Metode penulisan yang kami gunakan disini adalah pendekatan masalah dan solusi, dengan melakukan pemikiran yang runtut dan sistematis. Dengan Metode penulisan yang kami gunakan disini adalah pendekatan masalah dan solusi, dengan melakukan pemikiran yang runtut dan sistematis. Dengan

Keywords: Bank Indonesia, Sistem Keuangan, Kebijakan Makroprudensial

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelayanan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada masyarakat adalah produk kebijakan, antara lain berupa :

1. Stabilitas makro moneter atau stabilitas harga-harga yang secara umum dipahami masyarakat sebagai tingkat inflasi,

2. Stabilitas keuangan yang mencakup antara lain kesehatan dan kehandalan perbankan nasional sebagai lembaga intermediasi keuangan dalam rangka peningkatan kegiatan ekonomi,

3. Sistem pembayaran yang lancar dan aman serta cepat dan murah.

Ketiga produk kebijakan publik yang dihasilkan Bank Indonesia tersebut haruslah produk yang berkualitas sehingga stabilitas yang dihasilkan bukanlah stabilitas semu yang dibayar dengan harga yang sangat mahal oleh perekonomian, yang pada gilirannya juga ditanggung oleh masyarakat.

Untuk mendapatkan kebijakan atau produk yang berkualitas seperti itu maka yang pertama dan yang utama Bank Indonesia haruslah menjadi lembaga pembuat kebijakan publik yang kredibel dan dihormati. Bank Indonesia yang tidak kredibel dan tidak dihomati akan sulit untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat; sementara kita mengetahui bahwa kepercayaan adalah penopang utama apakah kebijakan itu akan efektif dilaksanakan atau tidak.

Sebagaimana diketahui, setiap upaya pemulihan ekonomi memerlukan stabilitas, baik ekonomi, politik dan keamanan. Diatas fondasi stabilitas tersebut akan tumbuhlah perekonomian dengan akarkegiatan yang semakin kuat. Ke depan, dengan segala upaya dan kerja keras setiap jajaran dan dengan bantuan dari stakeholders, terutama dengan dukungan dan Evaluasi DPR, BI akan menjadi lembaga bank sentral yang dipercaya secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yangdimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. Nilai-nilai dasar Bank Indonesia yang menjadi pedoman perilaku manajemen dan pegawai untuk bertindak dan Sebagaimana diketahui, setiap upaya pemulihan ekonomi memerlukan stabilitas, baik ekonomi, politik dan keamanan. Diatas fondasi stabilitas tersebut akan tumbuhlah perekonomian dengan akarkegiatan yang semakin kuat. Ke depan, dengan segala upaya dan kerja keras setiap jajaran dan dengan bantuan dari stakeholders, terutama dengan dukungan dan Evaluasi DPR, BI akan menjadi lembaga bank sentral yang dipercaya secara nasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yangdimiliki serta pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. Nilai-nilai dasar Bank Indonesia yang menjadi pedoman perilaku manajemen dan pegawai untuk bertindak dan

Adanya kencenderungan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2012 ini membuat Bank Indonesia mengeluarkan aturan makroprudensial guna memperkuat sistem keuangan dari ancaman risiko sistemik, akibat pengaruh krisis keuangan Eropa.

Hal ini disampaikan Deputi Direktur Grup Stabilitas Sistem Keuangan Direktorat Peneliti dan Pengaturan Bank Indonesia bahwa berdasarkan amandemen undang-undang Bank Indonesia, makroprudensial itu merupakan kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan kita, dan untuk mencegah serta mengurangi risiko sistemik yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi keuangan dan moneter. Jadi seperti Antibodi pada sistem kekebalan tubuh.

Peraturan ini sendiri, akan digunakan Bank Indonesia untuk pengawasan sektor tertentu dengan monitoring likuiditas harian, kajian stabilitas keuangan, riset laporan pengawasan perbankan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang mengalami cenderung melambat karena perlambatan ekonomi global yang berdampak ke ekspor Indonesia.

Inflation Targeting Framework (ITF) yang dikenalkan Bank Indonesia sejak Juli 2005 telah menjadi praktek kebijakan moneter beberapa Negara seperti New Zealand, Australia, Inggris, Kanada, Korea Selatan dan Amerika Serikat sejak Bernanke menggantikan Greenspan. Para pendukung ITF percaya bahwa dengan menetapkan besaran target inflasi di awal tahun atau akhir tahun untuk ekspektasi inflasi tahun berikutnya, kebijakan ekonomi-makro yang mendukung pertumbuhan ekonomi dapat diharapkan lebih stabil, sustainable, transparent dan yang lebih penting tanpa kuatir atas perubahan tingkat inflasi yang terlalu besar. Dengan target inflasi, Bank Indonesia dan Pemerintah tentu (seharusnya) akan bekerjasama secara erat agar target itu betul-betul dapat tercapai.

Dan bila hal ini dipercayai para pelaku ekonomi, investor/produsen dan konsumen, maka roda perekonomian akan bergerak sesuai dengan yang direncanakan. Intinya adalah membangun kepercayaan publik sehingga Dan bila hal ini dipercayai para pelaku ekonomi, investor/produsen dan konsumen, maka roda perekonomian akan bergerak sesuai dengan yang direncanakan. Intinya adalah membangun kepercayaan publik sehingga

Dari ketiga hal tersebut (Bank Indonesia, Kebijakan Makroprudensial, dan Inflation Targeting Framework ), kami menganggap bahwa kesemuanya adalah hal yang menarik untuk di bahas dalam sebuah wacana, untuk itulah kami ingin mambahas bagaimana ITF ( Inflation Targeting Framework ) bisa menjadi instrument makroprudensial dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi di Indonesia di era OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

1.2 Rumusan Masalah

Melalui latar belakang di atas, kami mengajukan rumusan masalah sebagai berikut;

1. Bagaimana Peran Bank Indonesia dalam menjalankan tugasnya di Era OJK (Otoritas Jasa Keuangan)?

2. Kebijakan Makroprudensial yang bagaimana saja yang bisa memelihara kestabilan system keuangan negara yang paling tepat di terapkan di indonesia?

3. Se-baik apakah ITF ( Inflation Targeting Framework ) bisa menjawab dan member solusi akan stabilitas system keuangan?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut;

1. th Berpartisipasi dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah 6 Eccents yang di adakan oleh Himpunan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas

Airlangga.

2. Mendalami pengetahuan tentang kinerja Bank Indonesia, kebijakan makroprudensial, dan ITF sebagai solusi atas penjagaan stabilitas system keuangan negara.

3. Memberikan gambaran mengenai bagaimana teknis pelaksanaan dari kebijakan yang di ambil oleh negara sebagai upaya menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.

4. Mengambil kesimpulan tentang konsep pengelolaan keuangan negara yang di lakukan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral di negara Indonesia.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang bisa kita ambil dalam penulisan karya tulis tentang integrasi pemeliharaan sistem keuangan oleh bank indonesia melalui implementasi kebijakan makroprudensial adalah;

1. Mendapatkan pemahaman konseptual yang lebih mendalam mengenai system kebijakan makroprudensial dalam menjaga stabilitas keuangan negara.

2. Memberikan sebuah karya mengenai kajian kebijakan makroprudensial menggunakan instrument ITF (inflation targeting framework).

3. Memberikan informasi kepada para pembaca mengenai kinerja Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan negara.

4. Menjadikan karya tulis ini sebagai bahan rujukan kepustakaan tentang kebijakan stabilitas system keuangan dalam proses pembelajaran.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Bank Indonesia

Bank sentral mempunyai peran yang sangat strategis bagi masyarakat pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Yang paling mendasar adalah perannya dalam mencetak dan mengedarkan uang. Bank sentral merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan mata uang sebagai alat pembayaran yang sah di suatu negara. Peran ini vital karena begitu penting dan luasnya fungsi uang dalam perekonomian.

bank sentral ini mulanya berkembang dari suatu bank yangmempunyai tugas sebagaimana yang di lakukan bank-bank pada umumnya. Secara gradual bank tersebut di beri tugas dan tanggung jawab yang lebih besar di bandingkan dengan bank lainya, seperti menerbitkan uang kertas dan bertindak sebagai agen dan banker pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya, bank yang kemudian di kenal dengan bank sentral selain memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih besar, juga terlepas dari beberapa tugas dan tanggung jawab bang pada umumnya.

Pada awalnya bank sentral di sebut sebagai bank of issue „bank

sirkulasi‟ karena tugasnya yang harus mempertahankan konversi uang kertas yang di kkeluarkanya terhadap emas atau perak, atau keduanya. Dalam perkembangan selanjutanya bank sirkulasi ini menjalankan fungsi lain, seperti untuk mengawasi dan mengatur perbankan, untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dengan mengatur jumalh uang beredar, atau bertanggung jawab dalam penyelenggaraan system pembayaran.

Tugas-tugas pokok yang di emban Bank Indoensia sebagai otoritas moneter pada periode tersebut, khususnya untuk memelihara kestabilan nilai rupiah, berkontradiksi dengan tugas lain bank indoensia, yaitu tugas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memeperluas kesempatan kerja.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, misalnya sering pula diikuti dengan peningkatan harga-harga (inflasi) yang tinggi. Hal ini di sebabkan oleh menguatnya permintaan di dalam negeri sehubungan dengan meningkanya pendapatan masyarakat sebagai dampak pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Inflasi yang tinggi berkelanjutan dan tidak terkendali pada giliranya akan menganggua kesinambungan pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Selanjutanya, dengan di berlakukanya UU No. 23 Tahun 1999, kedudukan Bank Indonesia selaku bank sentral republik Indonesia telah di pertegas kembali. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia mempunyai kedudukan yang independen sebagaimana bank-bank sentral di beberapa negara seperti amerika serikat, chili, Filipina, inggris, jepana, jerman, korea selatan, dan swiss. Sebagai suatu otoritas moneter yang independen, bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter dan melaksanakan kebijakan yang telah di tetapkan dalam pelaksanaan tugasnya tanpa campur tangan pihak luar bank Indonesia. dalam kaitan ini,u bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan setiap bentuk campur tangan atau intervensi dari pihak luar bank indoneisa. Dengan independensi tersebut, bank Indonesia selaku otoritas moneter di harapkan dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif.

Bedasarkan UU No. 23 Tahun 1999, bank Indonesia di nyatakan sebagai badan hukum. Dengan status tersebut, bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum termasuk mengelola kekayaan sendiri terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu bank Indonesia juga berwenang membuat peraturan yang mengikat masyarakat luas sesuai dengan tugas dan kewenanganya dan dapat bertindak atas namanya sendiri di dalam dan di luar pengadilan.

Secara konseptual, Erman Munzir (1996) menjelaskan peranan perbankan di Indonesia sebagai berikut:

1. Lembaga perantara dan lembaga kepercayaan masyarakat, karena menghimpun dana dan menyalurkan dana masyarakat.

2. Lembaga moneter, karena perrbankan menciptakan uang dan menentukan suku bunga serta bertindak sebagai saluran atau sarana untuk pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter dan perbankan.

3. Lembaga penyelenggara sistem pembayaran, karena memberikan dan menciptakan jasa untuk pembayaran secara nasional dan internasional.

4. Lembaga pendorong ekonomi nasional, karena berperan mendorong kegiatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi.

Sedangkan peranan bank sentral adalah mengendalikan penawaran uang adalah sebagai berikut:

1. Operasi pasar terbuka ( open market operations ) adalah pembelian dan penjualan obligasi pemeruintah oleh bank sentral. Ketika bank sentral membeli obligasi dari masyarakat, basis moneter dan penawaran uang meningkat. Ketika bank sentral menjual obligasi kepada masyarakat maka basis moneter dan penawaran uang menurun.

2. Tingkat diskonto ( discount rate ) adalah tingkat bunga yang dikenakan bank sentral ketika memberi pinjaman kepada bank-bank.

3. Cadangan yang disyaratkan ( reserve requirement ) adalah peraturan bank sentral yang menuntut bank-bank untuk memiliki rasio deposit cadangan minimum.

4. Himbauan moral ( Moral Hazard )

Ketiga instrumen di atas digunakan oleh otoritas moneter untuk menjaga kestabilan moneter dalam perekonomian suatu negara.

Kasus pada organisasi perbankan di Indonesia tidak terlepas dari kondisi makro tidak hanya pada lingkup negara, namun lebih jauh lagi yaitu pada lingkup global. Berawal dari krisis moneter yang melanda negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan lainnya yang berimplikasi pada turbulensi nilai tukar.

Selanjutnya „ contagion effect ‟ dari krisis tersebut juga menjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis tersebut hampir melanda banyak sektor ekonomi

kita, namun yang terparah adalah sektor perbankan. Hal tersebut tidak terlepas dari fundamental pengelolaan perbankan di Indonesia yang selama ini dijalankan kita, namun yang terparah adalah sektor perbankan. Hal tersebut tidak terlepas dari fundamental pengelolaan perbankan di Indonesia yang selama ini dijalankan

dipenuhinya ketentuan reserve requirement (RR), Loan to Deposits Ratio (LDR), kecukupan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) merupakan persoalan-persoalan umum yang sering dijumpai dalam praktik perbankan di Indonesia. Belum lagi persoalan lemahnya profesionalisme manajemen bank tersebut dalam masalah pengelolaan termasuk pengelolaan yang tidak memperhatikan ketentuan „ prudential banking ‟.

Bank Indonesia menetapkan kebijakan ekonomi moneter bersama dengan menteri keuangan melalui Gubernur Bank Indonesia. Misalnya melalui Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia mengenai Koordinasi Pengelolaan Uang Negara. Keputusan itu mengatur tindakan makroprudensial seperti jumlah cadangan uang dan valuta asing Bank Indonesia serta tingkta bunga simpanan dan pinjaman yang ditetapkan secara resmi oleh Bank Indonesia bersama menteri keuangan.

2.2 Sistem Keuangan

Sistem keuangan, yang terdiri dari otoritas keuangan, sistem perbankan, dan sistem lembaga keuangan bukan bank, pada dasarnya merupakan tatanan dalam perekonomian suatu negara yang memiliki peran utama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan. Fasilitas jasa keuangan tersebut diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan, termasuk pasar uang dan pasar modal.

Sistem keuangan dapat diartikan sebagai kumpulan institusi, pasar, ketentuan perundangan, peraturan-peraturan, dan teknik-teknik di mana surat berharga diperdagangkan, tingkat bunga ditetapkan, dan jasa-jasa keuangan

( financial services ) dihasilkan serta ditawarkan ke seluruh bagian dunia (Peter S. Rose, 7 th edition 2000).

Sistem keuangan memiliki fungsi-fungsi pokok, yaitu fungsi tabungan ( saving function ), fungsi kekayaan ( wealth function ), fungsi likuiditas ( liquidity function ), fungsi kredit ( credit function ), fungsi pembayaran ( payment function ), fungsi resiko ( risk function ), serta fungsi kebijakan ( policy function ).

Dalam perjalanan sejarah sektor keuangan Indonesia, sistem keuangan mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat fundamental terutama setelah memasuki era deregulasi pada akhir dekade 1980-an yang kemudian berlanjut dengan diundangkannya beberapa undang-undang di bidang keuangan dan perbankan.

Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yang mempunyai dana ( surplus of funds ) kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana ( lack of funds ). Apabila sistem keuangan tidak bekerja dengan baik maka perekonomian menjadi tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai.

Dalam sistem keuangan tersebut, keberadaan lembaga perbankan khususnya bank umum menjadi sangat penting bahkan merupakan inti dari sistem keuangan setiap negara. Oleh karena itu kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional sangat dipengaruhi oleh kestabilan dan kekuatan sistem keuangan.Hal ini dikarenakan fungsi yang dimiliki bank sebagai lembaga keuangan.

2.3 Kebijakan Makroprudensial

Kebijakan Makroprudensial merupakan kebijakan restrukturisasi sebagai kebijakan makro ekonomi yang ditujukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat melalui perlindungan dan penjaminan dana pihak ketiga, terutama juga untuk melindungi bank-bank sehat dari akibat penularan bank-bank yang sakit. Dengan demikian sistem pembayaran akan kembali lancar sehingga aktivitas perekonomian dan perekonomian menuju recovery . (Heru Kurnianto Tjahjono)

Program ini diawali dengan melakukan pembenahan sistem perbankan Indonesia dari bank-bank yang bermasalah. Bank-bank yang dinilai masih prospektif untuk diupayakan pemulihan kesehatannya (revitalisasi) dan dikembangkan. Di bawah ini langkah-langkah penting yang ditempuh melalui skema restrukturisasi perbankan:

1. Merumuskan landasan hukum berupa Undang-Undang Perbankan (UU No. 10/98) sebagai perangkat yang akan menjamin legalitas upaya-upaya yang dilakukan melalui Restrukturisasi Perbankan. Dalam Undang- Undang tersebut ditegaskan mengenai pemberian otoritas penuh terhadap

BI dalam aspek regulasi dan supervisi. Selain itu peningkatan „ share ‟ kepemilikan asing juga dimungkinkan. Bank-bank nasional melalui

ketentuan baru tersebut juga diberikan ijin untuk beroperasi sebagai bank syariah (berdasarkan konsep bagi hasil).

2. Pengambilalihan aset-aset bermasalah dari bank dan menyerahkannya pada institusi khusus yang dibentuk untuk meningkatkan value dari asset tersebut, yaitu ( Asset Management Unit ). Upaya ini ditujukan untuk mengentaskan bank-bank dari masalah kualitas asset yang buruk karena NPL ( Non Performing Liabilities ) bank-bank tersebut dikeluarkan dari neraca bank, sehingga bank-bank tersebut tidak dihadapkan pada masalah kewajiban pembentukan cadangan.

3. Melakukan Corporate Restructuring . Sebaik apapun upaya pemulihan kesehatan perbankan namun jika kondisi dunia usaha tidak ikut dibenahi, maka upaya tersebut akan menjadi sia-sia belaka. Hubungan antara sektor riil (dunia usaha) dengan sektor perbankan adalah „ibarat telur dan ayam‟. Sektor riil yang tidak produktif tidak dapat memanfaatkan lembaga bank sebagai intermediary institution . Oleh karena itu penataan kembali rules of the games dalam dunia usaha harus menjadi agenda penting program restrukturisasi perbankan.

4. Implementasi program rekapitalisasi sebagai bentuk dukungan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sisi liabilities neraca bank melalui penambahan modal pada bank-bank bermasalah yang masih memiliki prospek cukup baik. Mengingat besarnya dukungan. Mengingat besarnya dukungan finansial yang harus ditanggung pemerintah, program ini hanya ditujukan pada bank-bank terpilih berdasarkan kriteria tertentu. Untuk itu sebelumnya dilakukan due diligence guna menseleksi bank-bank yang bisa diikut sertakan dalam program tersebut. Secara teoritis, sesudah bank-bank tersebut „disuntikkan‟ modal oleh pemerintah diharapkan bank-bank akan 4. Implementasi program rekapitalisasi sebagai bentuk dukungan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sisi liabilities neraca bank melalui penambahan modal pada bank-bank bermasalah yang masih memiliki prospek cukup baik. Mengingat besarnya dukungan. Mengingat besarnya dukungan finansial yang harus ditanggung pemerintah, program ini hanya ditujukan pada bank-bank terpilih berdasarkan kriteria tertentu. Untuk itu sebelumnya dilakukan due diligence guna menseleksi bank-bank yang bisa diikut sertakan dalam program tersebut. Secara teoritis, sesudah bank-bank tersebut „disuntikkan‟ modal oleh pemerintah diharapkan bank-bank akan

5. Reformasi dalam hal supervisi dan regulasi untuk memperbaik dan meningkatkan efisiensi dan keefektifan peran dan fungsi bank sentral sebagai pengawas dan pembina bank-bank komersial. Dengan terjadinya seleksi alam melalui program restrukturisasi perbankan tersebut nantinya jelas akan lebih sedikit bank-bank yang beroperasi. Di tinjau dari aspek span of control , kondisi tersebut akan menguntungkan bank sentral dalam melakukan pengawasan mengingat keterbatasan SDM yang dimiliki. Dengan semakin sedikit jumlah bank yang harus diawasi oleh Bank Indonesia diharapkan kualitas pengawasan akan meningkat dan muaranya adalah peningkatan kualitas dan kinerja bank-bank nasional Indonesia.

Ciri – ciri kebijakan ekonomi makroprudensial:

a. Penyaluran kredit perbankan ke sektor yang tepat dan mendatangkan profit yang menjanjikan bagi perbankan.

b. Kebijakan tersebut memerhatikan faktor politik, hukum, dan sosial yang ikut dipengaruhi oleh sektor kebijakan ekonomi melalui naik atau turunnya suku SBI.

c. Berorientasi kepada stabilitas keuangan yang merata di sektor pemerintah, perbankan, dan masyarakat pengguna jasa keuangan.

d. adanya rule yang dikomunikasikan dalam awal penerapan. Namun, tetap membuka ruang untuk melakukan diskresi apabila terjadi shock dalam perekonomian.

e. dimensi time-series, yaitu kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan. Dalam konteks ini, kebijakan makroprudensial harus didisain sedemikian sehingga mampu menghilangkan atau paling tidak memitigasi e. dimensi time-series, yaitu kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan. Dalam konteks ini, kebijakan makroprudensial harus didisain sedemikian sehingga mampu menghilangkan atau paling tidak memitigasi

f. Bersifat countercyclical yang akan bersinergi dengan tujuan kebijakan moneter dalam mengurangi fluktuasi perekonomian. Kebijakan makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas di

saat perekonomian sedang melaju kencang (periode up swing ) akan mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan kredit sehingga menjaga daya tahan bank kedepan di saat perekonomian memburuk.

BAB III METODE PENULISAN

3.1. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan karya tulis ini menggunakan satu jenis data yakni data sekunder. Data sekunder tersebut berupa kepustakaan yang berasal literatur keilmuan, makalah, jurnal penelitian, artikel –artikel ilmiah dari sumber yang kredibel dan internet.

3.2. Teknik Pendekatan Masalah

Penulisan karya tulis ini menggunakan pendekatan konseptual dengan memadukan data-data kepustakaan yang dimiliki. Penulisan ini menggunakan bahan ilmu sosial, ekonomi, hukum, dan berita aktual.

3.3. Teknik Analisis Data

Analisis data yang dilakukan menggunakan metode data kualitatif. Hal ini dilakukan karena kami ingin berusaha mengerti dan memahami secara lebih mendalam tentang bagaimana penyelenggaraan konsep integrasi pemeliharaan sistem keuangan oleh Bank Indonesia melalui implementasi kebijakan makroprudensial dalam konteks permasalahan dan solusi. Langkah-langkah yang penulis tempuh didasarkan atas cara berpikir runtut untuk memperoleh jawaban atas permasalahan yang menjadi ujung pangkal dalam penulisan karya tulis ini.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Urgensi Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

Sistem keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan ( shock ) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan. Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik.

a. Asimetari Informasi : Sumber Instabilitas Sistem Keuangan Telah dipahami bahwa sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yangberkelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana. Apabila system keuangan tidak bekerja dengan baik, maka perekonomian menjadi tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai. Salah satu masalah krusial dalam sistem keuangan yang dapat menjadi sumber instabilitas keuangan yaknimenyangkut terjadinya asimetri / ketidaksamaan informasi ( asymmetric information ) yakni suatu situasi dimana satu pihak yang terlibat dalam kesepakatan keuangan tidak memilikiinformasi yang akurat dibanding pihak lain. sebagai contoh, peminjam ( debitur ) biasanyamemiliki informasi yang lebih baik keuntungan dan kerugian potensial dari suatu proyek.Investasi yang direncanakan dibandingkan dengan pihak pemberi pinjaman (kreditur).Dengan demikian, kreditur tidak dapat membedakan antara pinjaman yang sehat dantidak sehat.

Permasalahan asimetri informasi selanjutnya menyebabkan dua permasalahan pokokyakni adverse selection dan moral hazard . Adverse selection merupakan satu bentukmasalah asimetri, informasi yang terjadi sebelum transaksi keuangan dilakukan karenapeminjam dengan kualitas yang rendah (memiliki resiko kredit tinggi) biasanya akan maumencari pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi. Dari masalah adverse selection inilah sebagian besar dari pinjamannya biasanya merupakan kredit bermasalah.

Asimetri informasi ini juga menggambarkan dampak lanjutan dari krisis finansial pada perekonomian misalnya dalam kondisi suku bunga naik, mungkin berakibat pada adverseselection sehingga mengakibatkan penurunan penawaran kredit oleh bank. Demikian pulakondisi penurunan nilai agunan yang menyebabkan timbulnya debitur dengan net worth yang rendah. Akhirnya bila terjadi bank runs , bank yang sehat dapat memproteksi dirinyadengan mencadangkan lebih banyak likuiditas yang berakibat kontraksi dari sisipemberian kreditnya.

Permasalahan pokok yang lain adalah menyangkut moral hazard , yakni yang terjadisesudah transaksi dilakukan dimana pemberi pinjaman berada dalam posisi yangmenerima resiko atas dimana usaha yang dilakukan peminjam Moral hazard terjadikarena peminjam memperoleh keuntungan untuk mengalihkan proyeknya pada proyekyang beresiko tinggi yang tidak diinginkan oleh pemberi pinjaman yang apabila berhasildapat memberikan keuntungan yang besar dan apabila gagal akan ditanggung olehpemberi pinjaman dalam bentuk tidak kembalinya kredit yang diberikan.Kerangka dari masalah asimetri informasi ini memegang peranan yang penting bagiinstitusi perbankan dan lembaga keuangan dan intermediasi lain khususnya yangmemberikan kredit. Namun perbankan memiliki kelebihan-kelebihan khusus dibandingkanlembaga intermidasi. Ketika kualitas informasi mengenai debitur buruk, maka masalahasimetri informasi akan mengemuka yang nantinya dapat menjadi sumber ketidakstabilansistem keuangan. Oleh karena itu, dalam kerangka kestabilan sistem keuangan, Keberadaan instrumen hukum diharapkan dapat meminimalisir asimetri informasi yangterjadi dan paling tidak difokuskan pada 3 aspek pengaturan penting yakni:

(i) Mengatur semua transaksi pemindahan dana dari pihak- pihak/individu individu dalam lembaga keuangan; (ii) Mengatur perilaku ( behaviour ) individu-individu/pihak-pihak dalam lembagakeuangan; serta (iii) Menyelesaikan konflik yang terjadi diantara pihak –pihak dalam lembaga keuangan secara efisien dan cepat. Dengan pengaturan pada ketiga (i) Mengatur semua transaksi pemindahan dana dari pihak- pihak/individu individu dalam lembaga keuangan; (ii) Mengatur perilaku ( behaviour ) individu-individu/pihak-pihak dalam lembagakeuangan; serta (iii) Menyelesaikan konflik yang terjadi diantara pihak –pihak dalam lembaga keuangan secara efisien dan cepat. Dengan pengaturan pada ketiga

b. Stabilitas Sistem Keuangan : Pengertian dan Prasyarat Secara umum istilah financial stability atau stabilitas keuangan telah dikenal banyak oleh pelaku ekonomi terutama pelaku pasar keuangan, namun demikian belum terdapat suatu kesepakatan umum mengenai apa yang dimaksud dengan stabilitas keuangandimaksud. Namun, pada prinsipnya, stabilitas keuangan berkaitan dengan 2 elemen, yaitu stabilitas harga dan stabilitas sektor keuangan, yang mencakup lembaga keuanganserta pasar keuangan yang secara keseluruhan mendukung jalannya sistem keuangan.

Jika salah satu elemen tersebut terganggu ataupun tidak dapat berfungsi dengan baik,maka elemen lainnya akan terpengaruh. Misalnya, tingkat inflasi yang tinggi dapatmembawa konsekuensi pada kebijakan uang ketat ( tight money policy ), peningkatan sukubunga, dan peningkatan kredit bermasalah, yang akhirnya memicu kegagalan bank danlembaga keuangan lainnya dalam sektor

keuangan. Sebaliknya, gangguan pada systemkeuangan akanmempengaruhi efektivitas transmisi kebijakan moneter dan tingkat hargasecara umum.Pertanyaannya adalah mengapa stabilitas keuangan merupakan isu yang sangat penting? Stabilitas keuangan bukanlah merupakan suatu target akhir, namun lebihkepada suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi pertumbuhan perekonomian.

Jika lembaga-lembaga keuangan dan pasar keuangan yang berperan sebagai mediatorkeuangan berada dalam kondisi tidak stabil ataupun menghadapi ketidakpastian, makadapat dipastikan aktivitas perekonomian akan sulit berlangsung karena rendahnyaaktivitas produksi, konsumsi maupun investasi. Disamping itu, dalam kondisi tingkat inflasiyang tinggi, akan sulit bagi perekonomian suatu negara untuk tetap kompetitif dalammenghadapi persaingan global. Mengingat cakupan sektor keuangan yang cukup luas,maka tidak mudah untuk mendefinisikan suatu gambaran ideal stabilitas keuangan.Namun, untuk mencapai kondisi sektor keuangan yang stabil paling tidak diperlukanbeberapa prasyarat berikut:

(1) Lembaga Keuangan yang Sehat (2) Pasar Keuangan yang Stabil (3) Lembaga Pengaturan dan Pengawasan yang Kompeten

4.2 Bank Indonesia di Era OJK (Otoritas Jasa Keuangan)

Banyaknya masalah yang timbul akibat dari kompleksnya sistem keuangan membuat Bank Indonesia harus melakukan reformasi dalam berbagai aspek kebijakan maupun organisasinya.

Reformasi pengawasan perbankan meliputi perubahan yang bersifat paradigmatik pada beberapa hal sebagai berikut: Pertama, perubahan dasar pola pikir pengawasan dari konsep atau teori Y ke Teori X. Pola pikir yang menjadi dasar konsep pengawan selama ini adalah konsep teori Y, artinya otoritas pengawas memandang positif aspek perilaku individual dalam hal ini para bankir. Teori tersebut mengasumsikan bahwa masing-masing individu memiliki watak positif, baik dapat dipercaya, bekerja sungguh-sungguh dan berdedikasi tinggi sehingga dianggap tidak mungkin memiliki itikad buruk untuk melakukan pelanggaran.

Pola pikir seperti di atas, pada praktiknya ternyata membawa implikasi yang kurang menguntungkan karena pada pengawas cenderung „longgar‟

dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu dipandang perlu untuk menggantikan pola pikir tersebut dengan pola pikir teori X. Dalam teori X, setiap individu diasumsikan memiliki kecenderungan dan potensi untuk menjadi tidak baik. Mereka mempunya serangkaian sifat tidak baik seperti cenderung malas bekerja, banyak melakukan pelanggaran dan lain-lain. Dengan asumsi demikian, setiap pengawas haru berhati-hati dan teliti dalam melakukan tugas pengawasannya.

Kedua, perubahan paradigma regulatory authority ke supervisory authority . Dalam paradigma tersebut, pengawasan dideskripsikan dengan penyusunan berbagai macam peraturan untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran. Jika terjadi pelanggaran, bank sentral sebagai pengawas akan memberikan pembinaan sebelum memberikan sanksi. Dalam konteks Kedua, perubahan paradigma regulatory authority ke supervisory authority . Dalam paradigma tersebut, pengawasan dideskripsikan dengan penyusunan berbagai macam peraturan untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran. Jika terjadi pelanggaran, bank sentral sebagai pengawas akan memberikan pembinaan sebelum memberikan sanksi. Dalam konteks

Dalam upaya perubahan budaya menuju g ood corporate governance , hal utama yang penting untuk ditekankan adalah komitmen otoritas terhadap budaya tersebut. Komitmen tersebut harus selalu disampaikan dan didukung oleh semua pihak dalam organisasi. Terkait dengan hal tersebut adalah pentingnya mindset kolektif untuk membentuk perilaku yakni sikap mental mapan yang dibentuk melalui pendidikan, pengalaman dan pandangan.

Agar proses perubahan tersebut dapat berjalan dengan baik maka pematangan konsep perubahan merupakan hal yang mendasar. Selanjutnya adalah sosialisasi konsep mewujudkan good corporate governance termasuk mengidentifikasi dan mengantisipasi penolakan terhadap perubahan ( resistance to change ) melalui antara lain:

 Orientasi dan Komunikasi  Program pendidikan dan pelatihan  Partisipasi dan Keterlibatan.  Dukungan fasilitas dan berbagai kemudahan.

Program fit and proper test merupakan salah satu upaya mewujudkan budaya good corporate governance . Mekanisme seleksi yang ketat dilakukan untuk memuculkan para bankir yang sesuai dengan budaya tersebut ( people fit culture ).

4.3 Implementasi Makroprudensial pada Sistem Keuangan dengan ITF ( Inflation Targeting Framework )

Kelebihan ITF dalam kebijakan makroprudensial dapat kita lihat pada efek jangka pendek maupun jangka panjang yang nantinya akan timbul dalam implementasi kebijakan tersebut. Antara lain kelebihan tersebut ialah:

a. Pertama, paradigma bahwa kebijakan moneter perlu didukung oleh kebijakan makroprudensial membawa konsekuensi bahwa tidak dapat a. Pertama, paradigma bahwa kebijakan moneter perlu didukung oleh kebijakan makroprudensial membawa konsekuensi bahwa tidak dapat

b. Kedua, horizon pencapaian inflasi dalam fleksibel ITF perlu lebih diperpanjang memberikan ruang bagi kebijakan moneter untuk merespon berkembangnya ketidak seimbangan di sektor keuangan

c. Ketiga, paradigm baru ini memberikan implikasinya pada pendekatan yang selama ini dilakukan dalam memformulasikan kebijakan moneter, termasuk model dan indikator yang digunakan. Dalam system keuangan yang didominasi oleh perbankan, informasi mengenai kondisi perbankan seperti permintaan dan penawaran kredit, standar pemberian kredit, delinquency ratio, NPL, serta tingkat leverage debitur, sangat bermanfaat dalam pengambilan keputusan.

d. Keempat, adanya forward looking provisioning yang mendorong bank untuk menyisihkan cadangan yang didasarkan pada ekspektasi kerugian kedepan. Kebijakan yang memberikan disinsentif bagi arus modal yang berjangka pendek, seperti persyaratan minimum-tinggal atas arus modal, Tobin-type tax, dan kewajiban hedging adalah langkah-langkah yang dapat diterapkan untuk memperpanjang jangka waktu arus modal masuk.

e. Kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai kestabilan harga dan menurunkan fluktuasi output, sedangkan kebijakan makroprudensial diarahkan untuk mencapai stabilitas system keuangan. Kebijakan moneter memiliki satu instrumen, yaitu suku bunga kebijakan. Suku bunga kebijakan ini mempengaruhi nilai tukar melalui uncovered interest parity dan suku bunga jangka pendek. Nilai tukar mempengaruhi permintaan agregat dan permintaan ekspor melalui kurva IS dan inflasi melalui kurva Phillips. Sementara itu, suku bunga jangka pendekakan berpengaruh pada e. Kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai kestabilan harga dan menurunkan fluktuasi output, sedangkan kebijakan makroprudensial diarahkan untuk mencapai stabilitas system keuangan. Kebijakan moneter memiliki satu instrumen, yaitu suku bunga kebijakan. Suku bunga kebijakan ini mempengaruhi nilai tukar melalui uncovered interest parity dan suku bunga jangka pendek. Nilai tukar mempengaruhi permintaan agregat dan permintaan ekspor melalui kurva IS dan inflasi melalui kurva Phillips. Sementara itu, suku bunga jangka pendekakan berpengaruh pada

Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasisaja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku ( rule ) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh ( framework ) untuk perumusan danpelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanp ainflasi ( zero inflation ).

Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan ( suistanable growth ). Penyebabnya, karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premirisiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minatinvestasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.

Secara teoritis dan empiris, berkembangnya model ITF erat kaitannya dengan kontroversi yang tejadi di antara ekonom di bidang moneter. Kontroversi tersebut belum berakhir dan tampaknya tidak akan pernah berakhir. Perdebatan di antara ekonom moneter mengerucut (konvergensi) pada 4 (empat) hal yang kemudian 4 hal itu menjadipremis dari model ITF (Masson et al,1998). Empat premis dasar tersebut adalah sebagai berikut;

(1). Uang netral dalam jangka panjang. Artinya, dalam jangka panjang perubahan jumlah uang beredar ( money supply ) hanya berpengaruh terhadap variable nominal (misalnya inflasi), tapi tidak berpengaruh sama sekali terhadap variabel riil (misalnya pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja). Secara teoritis, persoalan ini erat kaitannya dengan debat panjang antara dua keompok pemikiran. Yaitu antara kelompok implicit mainstream views yang menekankan fungsi uang sebagai alat tukar ( the medium of change ) dan berkesimpulan bahwa uang bersifat netral ( money neutrality ). Kelompok yang berpandangan bahwa money as social relationatau credit approach yang berpandangan bahwa uang bersifat tidak netral (Smithin, 2003). Namun secara empiris, banyak studi yang dilakukan sejak tahun 1970-an mendukung kenetralan uang terhadap sektor riil dalam jangka panjang (Taylor, 1996). (2). Tingkat inflasi yang tinggi dan berfluktuasi menimbulkan biaya ekonomi yang sangat mahal dalam perekonomian. Banyak studi yang membuktikan kautnya hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, tingkat inflasi berpengaruh terhadap distribusi pendapatan melalui perubahan nilai kekayaan yang tidak proporsional dan sekaligus menurunkan tingkat kesejahteraan (Ismail et al, 2005). (3). Uang bersifat tidak netral dalam jangka pendek. Meskipun kebijakan moneter memiliki dampak positif terhadap output dalam jangka pendek, namum pemahaman para ekonom mengenai dampak kebijakan moneter terhadap output dalam jangka pendek masih belum jelas. Ismail (2006) menyatakan bahwa ketidakjelasan itu meliputi: (i). Berapa besarnya dampak, (ii). Kapan dampak itu akan muncul, (iii). Bagaimana kebijakan moneter itu ditransformasikan ke seluruh sektor ekonomi. Untuk alasan itu, kebijakakan moneter yang ditujukan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja , sebenarnya masih menghadapi ketidakpastian (Dodge,2005). (4). Adanya time lag yang panjang antara saat implementasi kebijakan moneter

dan tercapainya sasaran akhir ( final target ) atau saat munculnya inflasi. Meskipun telah diyakini adanya dampak kebijakan moneter terhadap inflasi, tetapi kapan dan berapa besar pengaruhnya tidak bisa diketahui dengan segera dalam jangka pendek. Atas dasar itu, maka rumusan kebijakan moneter yang ditujukan untuk dan tercapainya sasaran akhir ( final target ) atau saat munculnya inflasi. Meskipun telah diyakini adanya dampak kebijakan moneter terhadap inflasi, tetapi kapan dan berapa besar pengaruhnya tidak bisa diketahui dengan segera dalam jangka pendek. Atas dasar itu, maka rumusan kebijakan moneter yang ditujukan untuk

4.4 Agenda ke Depan Terkait dengan Kestabilan Sistem Keuangan

Untuk meminimalkan terulangnya sistemic risk pada sektor keuangan khususnya sistem perbankan, maka sistem perbankan nasional perlu disempurnakan.Penyempurnaan cetak biru sistem perbankan nasional dalam rangka kestabilan systemkeuangan yang tengah digodok saat ini meliputi dua aspek besar, yaitu :

1. Penyempurnaan fungsi Bank Indonesia selaku lender of last resort (LOLR);

2. Penyempurnaan kelembagaan peran, dan wewenang otoritas perbankan sebagaimana diamanatkan Pasal 34 UU No.23 Tahun 1999 tentang BankIndonesia dan Pasal 37B ayat (2) UU No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubahdengan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu :

(a) pemisahan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia; (b) pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang indipenden; (c) pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan. Serta Penyempurnaan system perbankan yang meliputi kelembagaan bank, pemilikan bank sumber daya manusia perbankan, produk perbankan, dan teknologi perbankan yang kesemua aspek itu dikemas dalam kesatuan perangkat hukum yang jelas dan tegas.

(1) Penyempurnaan Fungsi Bank Indonesia selaku Lender of Last Resort

Dalam rangka penyempurnaan sektor keuangan dan perbankan, langkah penting yang harus dilakukan adalah perbaikan perangkat hukum perbankan dan kesentralan.Penyempurnaan perangkat hukum ini tidak hanya mencakup Penyempurnaan UU dan peraturan-peraturan pelaksanaan dibawahnya saja, tetapi juga meliputi penyempurnaan peran dan kewenangan lembaganya. Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia selaku otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran mengeluarkan regulasi dan melakukan pembinaan / pengawasan ( surveillance ) terhadap perbankan agar perbankandapat menjalankan fungsinya secara efektif selaku lembaga intermediary dan sekaligusberfungsi pula sebagai media untuk mentransmisikan kebijakan moneter bank sentral.Berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 peran Bank Indonesia dalam rangka menjagastabilitas sistem keuangan mencakup :

a. Menciptakan kebijakan moneter yang kondusif;