SISTEM PENGETAHUAN SUKU BANGSA BUGIS

SISTEM PENGETAHUAN SUKU BANGSA BUGIS
Paper
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia yang
diampu oleh
Dosen:
Dr. H. Didin Saripudin, S. Pd, M. Si.
Dr. Syarif Mouis

oleh
Masyithoh Nurul Haq
1407264

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke
Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata
"Bugis" berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada

raja pertama kerajaan Cina yang bernama La Sattumpugi yang terdapat di Pammana,
Kabupaten Wajo saat ini. Rakyat La Sattumpugi menamakan diri mereka dengan merujuk
pada raja mereka, yaitu dengan julukan to ugi atau orang-orang atau pengikut dari La
Sattumpugi. (Ginanjar, dkk, 2011)
Suku Bugis merupakan penduduk asli Sulawesi Selatan. Di samping suku asli,
orang-orang Melayu dan Minangkabau yang merantau dari Sumatera ke Sulawesi sejak
abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di kerajaan Gowa, juga dikategorikan
sebagai orang Bugis. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak 6 juta
jiwa. Kini suku Bugis menyebar pula di propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,
Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, bahkan hingga manca negara. (Ginanjar,
dkk, 2011)
Suku Bugis memiliki nilai kebudayaan tersendiri. Kebudayaan adalah keseluruhan
kompleks yang meliputi sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, sistem seni, sistem
hukum, sistem moral, adat, dan kemampuan serta kebiasaan yang dipunyai manusia
sebagai anggota masyarakat.
Dalam tulisan kali ini, penulis akan coba fokus pada pendalaman dari sistem pengetahuan
Suku Bugis. Uraian mengenai pokok-pokok khusus yang merupakan isi dari sistem
pengetahuan dalam suatu kebudayaan, akan merupakan suatu uraian tentang
cabang-cabang pengetahuan. Cabang-cabang itu sebaiknya dibagi berdasarkan pokok
perhatiannya.

Menurut Koentjaraningrat (1979, hlm. 372-373) setiap suku bangsa di dunia biasanya
mempunyai pengetahuan tentang:
1. Alam sekitarnya,
2. Alam flora di daerah tempat tinggalnya,
3. Alam fauna di daerah tempat tinggalnya,
4. Zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya,
5. Tubuh manusia,
6. Sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia, dan
7. Ruang dan waktu
1

Demikian juga dengan sistem pengetahuan orang Bugis, yang memiliki sistem
pengetahuan di antaranya: pengetahuan tentang alam, flora, fauna, pengetahuan tentang
ramuan obat, pengetahuan kedutan pada bagian badan, pengetahuan tentang
appesissikeng (sifat dan waktu) manusia, dan pengetahuan tentang hari baik dan buruk.
Dari pengetahuan di atas, mempunyai perbedaan pengetahuan dari dimana orang Bugis
itu berada, terutama pada alam flora dan fauna, sedangkan tentang pengetahuan ramuan
obat yang berbeda adalah jenis tumbuh-tumbuhan dan namanya tumbuhan tersebut. Dari
dua macam sistem pengetahuan yang berbeda tiap pemukiman orang Bugis, nampak
adanya pengaruh lingkungan alam terhadap pembentuk pengetahuan mereka. Adapun

pengetahuan tentang hari baik dan buruk, kedutan-kedutan pada bagian badan dan
pengetahuan appesissikeng terdapat kesamaan yang umum dimengerti. (Badollah, 2015)
Pengetahuan tentang Alam
Pengetahuan tentang alam misalnya tentang musim, sifat-sifat gejala alam, tentang
binatang, dan lain sebagainya. Pengetahuan tentang alam ini sering mendekati wilayah
religi. Pengetahuan tentang alam ini juga sering berbentuk dongeng yang dianggap suci,
seperti kosmologi dan folklor dalam kesusastraan. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 373)
Sistem pengetahuan suku bangsa bugis tentang alam representatif dengan melihat
kepercayaan asli mereka yaitu animisme dan dinamisme, yang masih mereka anggap ada.
Warisan inilah yang dianggap oleh mereka sebagai agama dan kepercayaan yang benar
dan dikenal dengan nama Toani Tolotang, Patuntung, dan Aluk Todolo. (Mukhlis, dkk,
1995, 30-31)
Contoh sistem pengetahuan tentang alam dalam sebuah dongeng mitologi terkenal di
Suku Bugis, yaitu mitologi I Lagaligo, ini yang menghubungkan antara ‘dunia atas’
dengan ‘dunia bawah’. Baik ‘dunia atas’ maupun ‘dunia bawah’ adalah tempat keluarnya
dewa yang nanti akan menurunkan para raja mereka. Adanya gejala alam seperti hujan
lebat disertai kilat dan petir, bumi berguncang, dan lain-lain adalah pertanda kedatangan
dewa dari ‘dunia atas’. Sementara gejala alam seperti bambu petung, buih air (biasanya
dari lautan), dan sebagainya adalah pertanda datanganya dewa dari ‘dunia bawah’.
(Mukhlis, dkk, 1995, hlm. 78)

Pengetahuan tentang Flora
Pengetahuan tentang flora sudah tentu merupakan salah satu dasar bagi kehidupan
manusia dalam masyarakat kecil, terutama jika mata pencaharian hidupnya dari bertani,
namun tak menutup kemungkinan juga bagi masyarakat dengan mata pencaharian lainnya
ikut merasa perlu memiliki pengetahuan tentang flora dalam rangka mengobati penyakit,
bumbu rempah-rempah untuk makan, upacara keagamaan, ilmu dukun, racun senjata, dan
lan sebagainya. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 373-374)

2

Dalam masyarakat Bugis dulu dikenal penggunaan serat tumbuh-tumbuhan dan kulit
kayu untuk pembuatan pakaian. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai
berkembang mereka menemukan bahan yang lebih baik yakni bahan baku benang kapas.
Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis corak kain sarung dan pakaian tradisional.
Orang Bugis juga banyak memanfaatkan tumbuhan untuk mengobati penyakit, contohnya
pemanfaatan Kasumba / Kesumba Bugis (sejenis pucuk bunga) untuk mengobati cacar air,
dalam pengetahuan mereka kesumba ini ada dua jenis, yaitu cippe lamacui (sejenis
tanaman benalu yang menempel di tanaman besar) dan putik kuma-kuma (putik / bunga
seperti teratai tapi tumbuhnya di daratan). Orang Bugis dalam membuat ramuan Kasumba
ini bisa dengan cara merebus bunganya denga dua gelas air, bisa juga dengan diseduh air

mendidih dan meminumnya setelah dingin sebanyak tiga gelas sehari. (Alilah, 2015)
Pengetahuan tentang Fauna
Pengetahuan tentang fauna merupakan pengetahuan dasar bagi suku-suku yang hidup
berburu dan suku yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan, tapi tak berarti tak terharga
juga bagi masyarakat petani, karena daging binatang cukup penting juga bagi suku
bangsa tani untuk makanan mereka, dan sifat-sifat binatang juga mereka harus tahu untuk
melindungi tumbuhan-tumbuhan mereka dari serangan para binatang perusak.
(Koentjaraningrat, 1979, hlm. 374)
Orang Bugis sudah mengenal olahan fauna untuk dijadikan makanan khas mereka,
contohnya olahan ikan mentah untuk dijadikan makanan yang lebih dikenal dengan
istilah lawa bale, jenis makanan ini mirip dengan sushi di Jepang. Lawa bale terdiri dari
ikan mentah yang sudah dipisahkan dari tulang dan kepalanya yang dicampurkan dengan
parutan kelapa.
Selain itu ada beberapa fauna yang menjadi khas dan sering dijumpai para orang Bugis
ini, mereka cukup bersahabat dengan mereka, hewan-hewan itu seperti anoa (hewan yang
mirip kerbau tapi kecil seperti kambing), kura-kura paruh betet (karena mulutnya yang
runcing seperti paruh burung betet), burung maleno (yang telurnya lima kali lebih besar
dari telur ayam kampung), babi rusa (hewan yang sepert babi tapi memiliki ukuran yang
lebih besar dan punya taring yang panjang), dan kera hitam. (Untad, tt)
Pengetahuan tentang Zat, Bahan, dan Benda Lingkungan

Pengetahuan tantang ciri-ciri dan sifat-sifat bahan mentah, benda-benda di sekelilingnya,
juga sangat penting bagi manusia untuk membuat alat-alat dalam hidupnya, karena sistem
teknologi dalam suatu kebudayaan sudah tentu terkait dengan sistem pengetahuan tentang
zat-zat, bahan-bahan mentah, dan benda-benda ini. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 374)

3

Dengan terciptanya peralatan untuk hidup yang berbeda, maka secara perlahan tapi pasti,
tatanan kehidupan perorangan, dilanjutkan berkelompok, kemudian membentuk sebuah
masyarakat, akan penataannya bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk hidup tersebut.
Peralatan hidup ini dapat pula disebut sebagaihasil manusia dalam mencipta. Dengan
bahasa umum, hasil ciptaan yang berupa peralatan fisik disebut teknologi dan proses
penciptaannya dikatakan ilmupengetahuan dibidang teknik.Sejak dahulu, suku Bugis di
Sulawesi Selatan terkenal sebagai pelaut yang ulung. Mereka sangat piawai dalam
mengarungi lautan dan samudera luas hingga ke berbagai kawasan di Nusantara dengan
menggunakan perahu Pinisi. (Nur, 2014)
1. Perahu Pinisi
Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugis yang
sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalam naskah Lontarak I
Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 M. Menurut naskah

tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan
Luwu. Bahan untuk membuat perahu tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon
dewata) yang terkenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu
ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia pindah
ke pohon lainnya. Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai
produsen Perahu Pinisi.
2. Sepeda dan Bendi
Sepeda ataupun Dokar, koleksi perangkat pertanian tadisional ini adalah bukti sejarah
peradaban bahwa sejak zaman dahulu bangsa indonesia khususnya masyarakat Sulawesi
Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutama tanaman padi sebagai bahan
makanan pokok.
3. Koleksi peralatan menempa besi dan hasilnya
Jika anda ingin mengenali lebih jauh tentang sisi lain dari kehidupan masalampau
masyarakat Sulawesi Selatan, maka anda dapat mengkajinya melalui koleksi tradisional
menempa besi, hasil tempaan berupa berbagai jenis senjata tajam, baik untuk penggunan
sehari – hari maupun untuk perlengkapan upacara adat.
4. Koleksi Peralatan Tenun Tradisional
Dari koleksi Peralatan Tenun Tradisional ini, dapat diketahui bahwa budaya menenun di
Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah, yakni ditemukan berbagai

jenis benda peninggalan kebudayaan di beberapa daerah seperti Leang – Leang kabupaten
Maros yang diperkirakan sebagai pendukung pembuat pakaian dari kulit kayu dan serat –
serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai
berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat pemintal tenun dengan
4

bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis corak kain saung dan
pakaian tradisional contohnya baju Bodo, baju adat Bugis-Makassar, dengan Lipa' Sabbe
(sarung sutra) yang biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo .
Pengetahuan tentang Tubuh Manusia
Pengetahuan tentang tubuh manusia, tetutama dulu saat ilmu kedokteran belum begitu
berkembang seperti saat ini, sangat dibutuhkan dan seringkali memang sudah diketahui
secara luas sendiri oleh masyarakat. Di desa, orang yang biasanya dapat menyembuhkan
orang sakit disebut dengan dukun, tukang pijat. Seorang dukun ilmunya disebut dengan
ilmu dukun. Ilmu dukun ini biasanya banyak menggunakan banyak sekali ilmu gaib, di
samping itu mereka juga banyak memiliki ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia, letak, dan
susunan urat-urat, dan lain sebagianya. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 374)
Pengobatan tradisional leluhur Bugis berdasarkan lontarak Bone ini juga didasarkan pada
pemahaman terhadap tumbuh-tumbuhan alam yang ada di lingkungan sekitar, filsosofi
yang diajarkan dalam kebudayaan mereka, serta ajaran Islam. Salah satu filosofi yang

dipegang teguh adalah bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya yang disediakan oleh
Tuhan di alam semesta (Abdul Hamid, 2008).
Penulis contohkan pada penyakit panas, orang Bugis mengatasi demam bisa dengan
berbagai cara yaitu di antaranya dengan memarut pisang muda, lalu ditempelkan pada
kepala, atau menggiling halus tawak, lalu ditempelkan pada kepala. Bisa juga minum
minyak labu pada waktu pagi. Atau dengan memasak minyak wijen dan minyak pacar
hingga airnya habis, dicampur, lalu diminum. Cara lainnya bisa dengan mencampurkan
asam, gula pasir, dan jalawe, lalu makan saat pagi atau ketika akan tidur. Ada lagi dengan
menggiling pucuk jambu, menyiramnya dengan air panas, lalu diminum. Cara terakhir
bisa dengan mencampur air pencuci beras yang pertama dengan kemiri, lalu diminum.
(Efendi, 2011)
Contoh berikutnya akan penulis berikan pada cara pengobatan penyakit cacar, yaitu
dengan membakar daun kemiri yang gugur dan pepang, kemudian abunya diambil dengan
menambahkan air, lalu sapukan pada puru-puru. Bisa juga dengan membakar kulit jeruk
yang kering sampai hangus, lalu menggosokkannya pada puru-puru. Ada lagi dengan
mencampurkan jadam dengan asam cuka, dan menambahkan padanya jintan hitam yang
telah dihalsukan dengan minyak zaitun, terakhir menyapukannya pada puru-puru. (Efendi,
2011)
Pengetahuan tentang Hubungan Sesama Manusia
Pengetahuan tentang sesama manusia juga tidak dapat diabaikan. Sebelum terpengaruh

ilmu psikologi modern, sebuah suku bangsa dalam bergaul dengan sesamanya biasanya
berpegangan dengan ilmu firasat (pengetahuan tantang tipe-tipe wajah) atau pengetahuan
5

tentang tanda-tanda tubuh tersebut. Dalam hal ini bisa dikategorikan ada di dalamnya
yaitu pengetahuan tentang sopan-santun, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat, silsilah,
sejarah, dsb. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 374-375)
Dalam Suku Bugis, adat istiadat (yang juga dikenal dengan konsep ade‘),
kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di masa lalu mengacu kepada
kehidupan dewa - dewa yang diyakini. Di sana juga dikenal istilah pamali sebuah
ungkapan yang bersifat spontan sebagai bentuk pelarangan dengan penekanan pada
kejiwaan, untuk tidak melanggar hal yang dianggap pemali. (Fitriyani, 2015)
Ada pula istilah siri’, yaitu ajaran moralitas untuk menjaga dan mempertahankan diri dan
kehormatannya. Siri’ juga bisa dikatakan hukum adat karena jika seorang anggota
keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia dianggap menginjak
ajaran siri’ dan akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang
ini. Siri’ terbagi menjadi dua yaitu, siri' nipakasiri‘ dan siri' masiri'. (Fitriyani, 2015)
Sistem kekerabatan orang Bugis disebut assiajingeng yang mengikuti sistem bilateral
atau sistem yang mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Dalam
suku Bugis zaman dulu dikenal tiga strata sosial atau kasta, yaitu ana’ arung (bangsawan)

yang punya beberapa sub kasta lagi (kasta tertinggi), to maradeka atau orang merdeka
(orang kebanyakan sebagai kasta pertengahan), dan yang terakhir kasta terendah yaitu
kasta ata atau budak. Perlu dicatat pula dalam status sosial yang berhubungan dengan
status gender di suku Bugis ada yang dikenal dengan istilah bissu, sebutan untuk seorang
transgender (waria), menariknya bissu dalam masyarakat Bugis memiliki kedudukan
terhormat dan mendapat julukan manusia setengah dewa. (Nur, 2014)
Pengetahuan tentang Ruang dan Waktu
Pengetahuan tentang ruang dan waktu juga ada dalam banyak kebudayaan yang belum
terpengaruh ilmu pasti modern. Di sana dikenal ilmu untuk menghitung jumlah-jumlah
besar, untuk mengukur, menimbang, menganggal, dsb. (Koentjaraningrat, 1979, hlm.
375)
Umumnya orang Bugis berbentuk rumah yang bisa dipindahkan dari satu tempat ke
tempat lain dengan konstruksi yang dibuat secara lepas-pasang (knock down). Orang
Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang
pusat siklus kehidupan, tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, menikah, dan meninggal.
Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi
secara turun temurun dari leluhur. (Nur, 2014)
Konstruksi rumah berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat atas, tengah, dan bawah
yang juga sudah di-setting dengan fungsi-fungsi khusus yaitu: tingkat atas digunakan
untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah, yang digunakan sebagai
6

tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, makan dan dapur.
Tingkat dasar yang berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan alat-alat
pertanian, dan kandang ternak. Rumah tradisional bugis dapat juga digolongkan
berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku. (Nur,
2014)
Berkaitan dengan tempat ada juga kepercayaan masyarakat tentang adanya dewa yang
bertahta di tempat-tempat tertentu. Seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang
berdiam di Gunung Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama Dewata
Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan Enyi’ li’timo’ kemudian
melahirkan Patoto E. Dewa Patoto E kemudian kawin dengan Palingo dan melahirkan
Batara Guru. Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai
dewa penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas dipuncak
Himalaya. (Ginanjar, dkk, 2011)
Kemudian, pengetahuan tentang tempat juga membentuk sistem pencaharian masyarakat
Bugis, dijelaskan sistem mata pencaharian hidup orang Bugis pada umumnya adalah
petani, ada juga sebagai pedagang untuk mereka yang tinggal cukup jauh dari pantai dan
yang lain bekerja sebagai nelayan untuk penduduk yang bertempat tinggal di pinggir
pantai.
Sistem pengatahuan tentang ruang dan waktu juga berhubungan dengan sistem
pernikahan dalam suku. Mereka mengenal tahap-tahap dalam pernikahan juga
waktu-waktu baik untuk menetapkan tanggal nikah. Tahap pernikahan itu ada lettu
(lamaran), mappettuada (kesepakatan pernikahan) di sinilah pihak laki-laki dan pihak
perempuan membicarakan waktu pernikahan, jenis sunrang atau mas kawin, balanja atau
belanja pernikahan, penyelanggaran pesta, dan sebagainya, lalu ada madduppa (mengundang)
ialah kegiatan kesepakatan antar kedua belah pihak untuk memberi tahu kepada semua
kaum kerabat mengenai pelaksanakan nikah. Kemudian mappaccing (pembersihan) ialah
ritual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah dimulai yang biasanya hanya
dilakukan oleh kaum bangsawan, dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang
dihormati, cara pelaksanaannya dengan menggunakan daun pacci (daun pacar), kemudian para
undangan dipersilahkan untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai,
konon bertujuan untuk membersihkan dosa calon mempelai, dilanjutkan dengan
sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai. (Ginanjar, dkk, 2011)
Pengetahuan tentang Bahasa dan Tulisan
Ada juga pengetahuan tentang bahasa dan tulisan etnografi, di mana huruf yang jadi
unsur di dalamnya dapat mengabstraksikan suatu konsep dan suara. Masyarakat atau suku
bangsa sering manganalisa alam sekeliling tampat tinggal mereka dan mengupas
suara-suara dalam bahasa. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 375)
7

Dari segi aspek budaya, orang Bugis mempunyai bahasa tersendiri yang dikenal sebagai
Bahasa Bugis (juga dikenal sebagai Ugi / Ugidan). Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan
etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros,
sebagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-Pare, Kabupaten Pinrang,
sebagian Kabupaten Enrekang, sebagian Kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten
Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten
Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. (Ginanjar, dkk, 2011)
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugidan dengan kesusastraan tertulis sejak berabad-abad
lamanya dalam bentuk lontar. Sehingga konsonan di dalam Ugi dikenal sebagai Lontara
yang berdasarkan tulisan Brahmi. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem
huruf yang berasal dari Sanskerta. (Ginanjar, dkk, 2011)
Menurut Coulmas (1989), pada awalnya tulisan diciptakan untuk mencatatkan
firman-firman tuhan, karena itu tulisan disakralkan dan dirahasiakan. Namun dalam
perjalanan waktu dengan berbagai kompleksitas kehidupan yang dihadapi oleh manusia,
maka pemikiran manusia pun mengalami perkembangan demikian pula dengan tulisan
yang dijadikan salah satu jalan keluar untuk memecahkan problem manusia secara
umumnya. (Ginanjar, dkk, 2011)
Kemudian mengenai Lontara Bugis, bagi masyarakat Bugis klasik, Lontara dianggap
sebagai , hal itu disebabkan epos La Galigo / I Galigo / I La Galigo yang dianggap sakral
bagi mereka ditulis dengan haruf lontara, karena memang para penyair Bugis dulu banyak
menuangkan fikiran dan ekspresi hatinya di atas daun lontara. Huruf lontara tidak hanya
digunakan masyarakat Bugis tapi juga digunakan oleh masyarakat Makassar, dan
masyarakat Luwu. Aksara Bugis telah wujud sejak abad ke-12 saat menyebarnya
pengaruh Hindu di kepulauan Nusantara. (Ginanjar, dkk, 2011)
Pada akhir tulisan ini, penulis hendak mengingatkan pada para pembaca bahwa nilai-nilai
yang ada pada sistem kebudayaan-pengetahuan Suku Bugis merupakan sebagai warisan
yang telah berlangsung dalam kurung waktu yang begitu lama dan nilai ini terkadang
masih ditemukan dalam kehidupan modern saat ini di tengah masyarakat Bugis yang juga
berubah mengikuti alur-alur perubahan zaman. Nilai-nilai yang ada pada budaya Bugis
seperti nilai kejujuran, kecendikiaan, kepatuhan, keteguhan, dan nilai usaha. Sehingga
mari untuk terus memperdalam, menghargai, dan melestarikan warisan-warisan luhur
tersebut.
Sumber:
Alilah, Ummu. (2015). Kasumba Bugis Obat Cacar Air [online]. Diakses dari:
http://bundaherlin.blogspot.co.id/2011/09/kasumba-bugis-obat-cacar-air.html.
[25
Desember 2015]

8

Badollah, Muhammad Zainuddin. (2015). Review Buku Kebudayaan Bugis oleh Prof. Dr.
H.
Abu
Hamid
Sulawesi
Selatan
[online].
Diakses
dari:
http://www.kompasiana.com/muhammadzainuddinbadollahi/review-buku-kebudayaa
n-bugis-oleh-prof-dr-h-abu-hamid-sulawesi-selatan_54f94060a3331112678b4ca4.
[19 Desember 2015]
Efendi, Yusuf. (2011). Pengobatan Tradisional Melayu Bugis Sulawesi Selatan [online].
Diakses
dari:
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2740/pengobatan-tradisional-melayu-bugis-s
ulawesi-selatan. [25 Desember 2015]
Fitriyani, Anita. (2015). Suku Bugis-Makassar [online]. Diakses
http://www.slideshare.net/NinotzGatesJekWaras/suku-bugis-makassar.
Desember 2015]

dari:
[19

Ginanjar,
Ajeng,
dkk.
(2011).
Suku
Bugis
[online].
Diakses
dari:
https://www.scribd.com/doc/94533757/5-MAKALAH-SUKU-BUGIS 2011. [19
Desember 2015]
Hamid, Abdul. (2008). Pengobatan Tradisional Berbasis Lontara di Sulawesi Selatan.
Sulawesi Selatan: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Koentjaraningrat. (1979). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Nur,

Zulfa. (2014). Kebudayaan Suku Bugis [online]. Diakses
https://zulfaworld.wordpress.com/2014/03/19/kebudayaan-suku-bugis/.
Desember 2015]

dari:
[19

P. Mukhlis, dkk. (1995). Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Depdikbud.
Universitas Pendidikan Indonesia. (2014). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas
Pendidikan
Indonesia
Tahun
2014
[online].
Diakses
dari
http://www.academia.edu/9805012/Pedoman_Penulisan_Karya_Ilmiah_Universitas_
Pendidikan_Indonesia_Tahun_2014. [1 Maret 2015]
Untad, Herbarium. (tt). Sulawesi Pulau di Indonesia dengan Fauna Terunik [online].
Diakses
dari:
http://herbarium.untad.ac.id/index.php/12-berita/11-sulawesi-pulau-di-indonesia-den
gan-fauna-terunik. [29 Desember 2015]

9

Dokumen yang terkait

SISTEM OTOMATISASI SONAR (LV MAX SONAR EZ1) DAN DIODA LASER PADA KAPAL SELAM

15 214 17

ANALISIS SISTEM TEBANG ANGKUT DAN RENDEMEN PADA PEMANENAN TEBU DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA X (Persero) PABRIK GULA DJOMBANG BARU

36 327 27

PENGARUH PENILAIAN dan PENGETAHUAN GAYA BUSANA PRESENTER TELEVISI TERHADAP PERILAKU IMITASI BERBUSANA (Studi Tayangan Ceriwis Pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Komunikasi Angkatan 2004)

0 51 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

PERBEDAAN MOTIVASI BERPRESTASI ANTARA MAHASISWA SUKU JAWA DAN SUKU MADURA

6 144 7

ENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA MATA PELAJARAN IPS POKOK BAHASAN KERAGAMAN SUKU BANGSA DAN BUDAYA DI INDONESIA DENGAN MODEL PROBLEM POSING PADA SISWA KELAS V SDN GAMBIRAN 01 KALISAT JEMBER TAHUN PELAJARAN 2011/2012

1 24 17

SIMULASI SISTEM KENDALI KECEPATAN MOBIL SECARA OTOMATIS

1 82 1

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL TERNAK ITIK PETELUR DENGAN SISTEM INTENSIF DAN TRADISIONAL DI KABUPATEN PRINGSEWU

10 119 159

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI KANTOR KESATUAN BANGSA DAN POLITIK KOTA METRO

15 107 59