Hukum Perdata Islam di Indonesia Analisi

Nama

: Izzatul Ulya

NIM

: 15230082

Kelas

: HTN-ICP

KASUS DAN KRONOLOGI KASUS
Aldi Taher menikahi Georgia Aisyah pada tanggal 25
Oktober 2017. Namun menurut sumber dari berita lain
mengatakan bahwa pernikahan mereka telah diwarnai
dengan perselisihan sejak awal pernikahan. Georgia
Aisyah melayangkan gugatan cerainya ke Pengadilan
Agama Jakarta Pusat pada 20 Oktober 2017 lalu.
Keributan yang terjadi terus-menerus membuat Georgia
Aisyah tak kuat melanjutkan pernikahannya dengan

Aldi Taher. Bahkan, wanita yang berprofesi sebagai
dokter gigi itu mengaku sudah sering cekcok di awal
pernikahannya.
Langkah mediasi sudah pernah dilakukan Georgia
Aisyah dengan Aldi Taher. Namun, upaya damai itu
selalu berujung gagal hingga akhirnya Georgia Aisyah
mantap bercerai meski dalam keadaan hamil tiga bulan.
Mengenai harta gono gini dan hak asuh anak, Aldi
Taher mengaku bahwa ia pasrah dan diserahkan
sepenuhnya kepada pengadilan.

LATAR BELAKANG
Perceraian merupakan putusan dari pernikahan, karena tidak mungkin adanya
perceraian jika tidak adanya perkawinan. Perkawinan merupakan awal dari hidup
bersama antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri, sedangkan perceraian
merupakan akhir dari kehidupan bersamasuami istri tersebut. Setiap orang
menghendaki agar perkawinan yang dilakukannya tetap utuh sepanjang masa
kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pulaperkawinan yang dibina berakhir dengan
sebuah perceraian. Tidak selalu perkawinan yang dilaksanakan itu sesuai dengan
keinginan, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan membinanya

secara baik, tetapi pada akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan memilih jalan
cerai.
Perceraian sendiri memiliki beberapa dampak, di antaranya adalah mengenai
perebutan hak asuh anak (pemeliharaan anak). Satu hal yang menjadi ketakutan besar
bagi seorang anak adalah perceraian orang tua, ketika perceraian terjadi anak akan
menjadi korban utama. Orangtua yang bercerai harus tetap memikirkan bagaimana
membantu anak untuk mengatasi penderitaan akibat perpisahan orang tuanya. Orang
tua adalah orang pertama yang bertanggung jawab untuk membayarkan hak-hak anak
keturunan mereka. Namun, tidak jarang tugas seperti itu menjadi terputus baik atas
kehendak suami istri, maupun diluar kehendak mereka. Suatu perceraian, khusus pada
cerai hidup meskipun bisa melegakan hati dua belah pihak, tetapi sudah pasti
merupakan pengalaman pahit bagi sang anak.
Mengenai kasus perceraian bagi yang telah dikaruniai anak, tentu saja hal ini
tidak terlepas oleh adanya perebutan hak asuh anak. Kasus-kasus seperti ini sangat
banyak terjadi, di antaranya adalah kasus yang dialami oleh Aldi Taher beserta
Istrinya, Georgia Aisyah. Dalam kasus Aldi Taher banyak spekulasi yang mengatakan
bahwa Aisyah menggugat cerai Aldi Taher karena penyakit kanker Aldi. Menariknya
lagi dalam kasus ini, Georgia Aisyah menggugat cerai Aldi Taher dalam keadaan
hamil. Untuk itu dari latar belakang inilah saya mengangkat kasus mengenai


perceraian Aldi Taher dengan Istrinya dilihat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
RUMUSAN MASALAH
Dari paparan latar belakang di atas maka dalam makalah ini disusun menengai
rumusan masalah, di antaranya:
1.

Bagaimana kasus perceraian antara Aldi Taher dan istrinya ditinjau dari
UU No 1/1974 Tentang Perkawinan dan KHI?

2.

Bagaimana kasus mengenai hak asuh anak dalam perceraian Aldi Taher
dengan istrinya ditinjau dari UU No 1/1974 Tentang Perkawinan dan
KHI?

KAJIAN TEORI
1. Putusnya Perkawinan
Menurut istilah, seperti yang dituliskan oleh al-Jaziri, talak adalah melepaskan
ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan

kata-kata yang ditentukan. Kemudian Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan
sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri
hubungan perkawinan itu sendiri. definisi ini agak panjang dapat kita lihat dalam
kitab Kifayat al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk
melepaskan ikatan pernikahan dan talaka lafaz jahiliyah yang setelah Islam datang
menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Maka dari definisi talak
di atas, jelaslah bahwa talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk
melepaskan sebuah ikatan perkawinan.1
2. Pengertian Cerai Gugat
Dalam hukum Islam membagi perceraian kepada dua golongan besar yaitu
talak dan fasakh. Talak adalah perceraian yang timbul dari tindakan suami untuk
melepaskan ikatan dengan lafadz talak dan seumpamanya, sedangkan fasakh adalah
melepas ikatan perkawinan antara suami isteri yang biasanya dilakukan oleh isteri.
Dari dua golongan perceraian ini, Dr. Abdurrahman Taj sebagaimana dikutip oleh
H.M Djamil Latief, S.H. membuat klasifikasi perceraian sebagai berikut:2
1) Talak yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu li’an, perceraian dengan
sebab aib suami seperti impoten dan perceraian dengan sebab suami
menolak masuk Islam,

1 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016) h. 205
2 Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di
Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, (Jakarta: al-Hikmah &
DITBINBAPERA,.No 52 Th XII, 2001) h. 12

2) Talak yang terjadi tanpa putusan Hakim yaitu talak biasa yakni talak yang
diucapkan suami baik sharih maupun kinayah dan ‘ila,
3) Fasakh yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu dengan sebab
perkawinannya anak laki-laki atau perempuan yang masih dibawah umur
dan perkawinan itu tidak dilakukan oleh wali yaitu bapaknya atau
kakeknya, fasakh dengan sebab salah satu pihak dalam keadaan gila, tidak
sekufu, kurangnya mas kawin dari mahar mitsil dan salah satu pihak
menolak masuk Islam,
4) Fasakh yang terjadi tanpa adanya putusan hakim, yaitu fasakh dengan
sebab merdekanya isteri, ada hubungan semenda antara suami isteri dan
nikahnya fasid sejak semula.
Apabila dilihat dari penjelasan di atas maka secara umum pengertian dari
cerai gugat yaitu isteri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang
kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus

hubungan penggugat (isteri) dengan tergugat.3
3. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan
Talak sebagai sebab putusnya perkawinan adalah institusi yang paling banyak
dibahas para ulama. Seperti apa yang dinyatakan dalam oleh Sarakhsi, Talak itu
hukumnya dibolehkan ketika berada dalam keadaan darurat, baik atas inisiatif suami
(talak) atau inisiatif (Khulu’). Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi
dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu:
1) Nusyuz (kedurhakaan) yang dilakukan oleh seorang istri terhadap
suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah,
penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah
tangga.

3 Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di
Lingkungan Peradilan Agama, h. 13

2) Nusyuz suami terhadap Istri. Kemungkinan nusyuznya suami dapat
terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi
kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.
3) Salah satu pihak berbuat zina
4) Terjadinya Syiqaq. Kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena keduaduanya terlibat dalam syiqaq (percekcokan), misalnya disebabkan karena

kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar.4
4. Alasan Cerai menurut UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan dan KHI
Dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak
meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan.
Kemudian dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian
harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri.
Ketentuan ini dipertegas lagi dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) tersebut dan pasal 19
Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang mana disebutkan bahwa alasan yang
dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:5
1.

Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya
yangsukar disembuhkan

2.

Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemauannya.


3.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan pihak lain.

4.

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

4 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 212
5 Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga di Beberapa Negara Eropa,
Bandung: Citra Aditya, 1998), h.126

5.

Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

KHI pada pasal 116 juga mengatur bahwa yang dapat menjadi alasan

terjadinya perceraian adalah disebabkan karena:6
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain
diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan penambahan dua ayat
yaitu: (a) suami melanggar taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.7
5. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian
Pasal 41 UUP juga membicarakan akibat yang timbul oleh perceraian. Adapun
bunyi pasalnya adalah sebagai berikut:8

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
6 Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 221
7 Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga, h. 127
8 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 220

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelohara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan member
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri.9
6. Pemeliharaan Anak Bila Terjadi Perceraian dalam Islam
Bila terjadi pemutudan perkawinan karena perceraian, baik ibu atau bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi
kepentingan anaknya. Jika terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai

penguasaan anak-anak maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah keluarga
ataupun dengan keputusan pengadilan.
Persoalan jika terjadi perceraian, siapakah yang berhak untuk memelihara
anak. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ada
peristiwa, seorang wanita menghadap Rasulullah dan berkata,
Ya Rasulullah bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya,
asuhankulah yang mengawasinya, dan air susukulah minumannya. Bapaknya
hendak mengambilnya dariku, maka bersabda Rasulullah, engkau lebih
berhak untuk memelihara anak itu, selama engkau belum menikah dengan
lelaki lain.
Apabila dilihat dari beberapa teks-teks suci dalam hal pemeliharaan anak jika
terjadi perceraian antara kedua orang tuanya, menetapkan untuk pemeliharaan anak
pada pihak ibu selama anak belum balig dan belum menikah dengan lelaki lain.
Alasannya bisa dilihat pada pernyataan Abu Bakar as-Siddiq,
Ibu lebih cenderung sabar kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih
oenyantun, lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya.10
7. Pemeliharaan anak perspektif UU No 1 Tahun 1974
9 Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga, h. 127
10 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 298

Secara global Undang-Undang Perkawinan telah member aturan pemeliharaan
anak tersebut yang dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan. Di dalam
pasal 41 dinyatakan bahwa:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelohara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan member
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri.11
Menyangkut kewajiban orang tua terhadap anak dimuat di dalam BAB X
mulai pasal 45-4912
Pasal 45
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya
2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana
berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka
yang baik.
2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu
memerlukan bantuannya.
Pasal 47
1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan i luar Pengadilan.
11 Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga, h. 127
12 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 298

Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barangbarang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.
Pasal 49
1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang
tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung
yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan
Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban
untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
8. Pemeliharaan anak perspektif KHI
KHI dalam pasal-pasalnya menggunakan istilah Pemeliharaan Anak yang
dimuat di dalam BAB XIV Pasal 98 – 106. Beberapa pasal yang penting akan kutipan
di sini:13
Pasal 98
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan.
3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu.
Kemudian, pasal yang secara eksplisit mengatur masalah kewajiban
pemeliharaan anak dan harta jika terjadi perceraian hanya terdapat dalam Pasal 105
dan Pasal 106.
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
13 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 302

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaanditanggung oleh ayahnya.
Pasal 106
1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang
belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan
memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau suatu
kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1)
Pasal-pasal KHI tentang hadanah menegaskan bahwa kewaiban pengasuhan
material dan non material merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari
itu, KHI malam membagi tugas-tugas yang harus diemban kepada orang tua
kendatipun mereka berpisah. Anak yang belum mumayiz tetap diasuh oleh ibunya,
sedangkan ayahnya bertanggung jawab atas pembiayaan.
Kompilasi Hukum Islam juga menentukan bahwa anak yang belum mumayiz
tetap atau berumur dua belas tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya,
sedangkan apabila anak tersebut telah mumayiz, ia dapat memilih antara ayah atau
ibunya untuk bertindak sebagai pemeliharaannya.14

14 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 303

ANALISIS
1. Perceraian Aldi Taher dengan Aisyah menurut Hukum Perdata Islam
Indonesia
Seperti apa yang dinyatakan dalam oleh Sarakhsi di atas bahwa talak itu
hukumnya dibolehkan ketika berada dalam keadaan darurat, baik atas inisiatif suami
(talak) atau inisiatif (Khulu’). Setidaknya ada empat kemungkinan penyebab
terjadinya cerai, di antaranya adalah nusyuz seorang istri terhadap suami, nusyuz
seorang suami terhadap istri, salah satu pihak berbuat zina atau murtad, dan syiqaq
(percekcokan).
Pengaturan masalah perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(PP 9/1975). Berdasarkan Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP
mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan.
Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975 adalah
gugatan yang diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya ke pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat [1] PP
9/1975). Dalam kasus ini, orang yang menggugat adalah Georgia Aisyah selaku Istri
dari Aldi Taher.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa sebelumnya Aldi Taher sedang
memperjuangkan kesembuhan atas penyakit kanker yang diderita. Namun, Georgia
Aisyah malah melayangkan gugatan terhadap Aldi Taher. Dalam PP Nomor 9 Tahun
1975 Pasal 19 huruf d dinyatakan bahwa alasan dibenarkan adanya perceraian adalah
karena salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. Apabila merujuk pada ayat ini,

maka Georgia diperbolehkan menggugat cerai Aldi apabila Aldi memang tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami.
Namun, Georgia membantah jika ia melayangkan gugatan terhadap Aldi
karena penyakit kanker Aldi. Ia mengatakan bahwa penyebab Aisyah melayangkan
gugatan cerai adalah karena sering terjadinya pertengkaran hingga tidak bisa
disatukan kembali. Bahkan ia mengatakan bahwa percekcokan tersebut sudang sering
terjadi di awal pernikahan mereka. Aisyah juga mengatakan bahwa sudah tidak
bersama dengan Aldi selama satu bulan dan memilih tinggal bersama keluarganya.
Apabila dilihat dari alasan Aisyah di atas, maka hal itu merujuk pada PP
Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf e yang berbunyi ‘antara suami dan istri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukum kembali dalam rumah tangga. Hal ini terlihat jelas dalam perceraian ini yang
mana sebelumnya mediasi telah dilakukan berkali-kali antara Aldi beserta keluarga
dan juga Aisyah beserta keluarga yang tak kunjung menemui titik temu. Akhirnya,
Georgia tetap melayangkan gugatan cerai terhadap Aldi Taher. Dalam Islam, istilah
ini dikenal dengan Syiqaq.
Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat
berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP dan
PP 9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri,
mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi:
“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada
Pengadilan Agama, yang daerahhukumnya mewilayahitempat tinggal
penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin
suami.”
Sedang dalam alasan atau sebab perceraian dalam kasus ini terdapat dalam
Pasal 115 huruf f Kompilasi Hukum Islam.
Hal yang menarik dalam kasus ini adalah Georgia Aisyah ketika melayangkan
gugatan cerai, ia tengah hamil. Apakah diperbolehkan? Mengenai perceraian ketika

istri sedang hamil, hal tersebut tidak dilarang, baik di dalam Kompilasi Hukum Islam
maupun di UU Perkawinan dan peraturan pemerintahnya. Namun, terdapat masa
iddah atau masa tunggu bagi janda yang diceraikan oleh suaminya ketika sedang
hamil, yaitu sampai ia melahirkan. Hal ini terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
maupun dalam UU Perkawinan. Sehingga bisa saja seorang suami menceraikan
istrinya ketika sedang hamil.
2. Hak Asuh Anak dalam Perceraian Aldi Taher dengan Aisyah
Seperti yang telah diketahui di atas bahwa Georgia Aisyah, istri Aldi Taher,
tengah hamil anak kedua. Sebelumnya, Aisyah juga telah memiliki anak yaitu
Geraldine Nur Ardiansyah yang kini berusia dua tahun. Aldi Taher mengakui pasrah
mengenai hak asuh anak dan diserahkan kepada pengadilan.
Apabila merujuk pada hukum Islam sendiri, sesuai dengan hadis nabi yang
berbunyi Ya Rasulullah bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya,
asuhankulah yang mengawasinya, dan air susukulah minumannya. Bapaknya hendak
mengambilnya dariku, maka bersabda Rasulullah, engkau lebih berhak untuk
memelihara anak itu, selama engkau belum menikah dengan lelaki lain. Kemudian
juga hadis yang berbunyi Ibu lebih cenderung sabar kepada anak, lebih halus, lebih
pemurah, lebih oenyantun, lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas
anaknya. Maka hak asuh anak dalam kasus ini adalah jatuh kepada Georgia.
Sedang menurut UUP Di dalam pasal 41 dinyatakan bahwa:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri.15
Sangat jelas apabila dilihat dalam peraturan di atas maka pemeliharaan anak
dan mendidik anak tetap jatuh kepada kedua orang tua. Karena dalam kasus ini Aldi
tidak mempermasalahkan hak asuh anak, maka pengadilanlah yang akan
menutuskannya. Namun untuk biaya kehidupan dan pendidikan anak, beban
dipikulkan terhadap Aldi selaku ayah. Selain itu Aldi juga berkewajiban atas biaya
penghidupan dan/atau menentukan kewajiban bagi bekas istri.
Sedangkan dalam KHI, mengenai pemeliharaan anak akibat cerai terdapat
dalam Pasal 105,
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
biaya pemeliharaanditanggung oleh ayahnya.
Karena anak pasangan Aldi Taher dan Georgia Aisyah masih berumur 2 tahun
dan belum mumayiz maka hak asuh anak berada di bawah ibunya.
DAFTAR PUSTAKA
Manan, Abdul. Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian
Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum,
(Jakarta: al-Hikmah & DITBINBAPERA,.No 52 Th XII, 2001
Muhammad, Abdul Kadir. Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga di Beberapa
Negara Eropa. Bandung: Citra Aditya, 1998
Nuruddin , Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974
sampai KHI. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016

15 Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga, h. 127