Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ain Ni Ain sebagai Pendekatan Konseling Perdamaian Berbasis Budaya T2 752015029 BAB II

BAB II
LANDASAN TEORI
Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan
dikemukan dan digunakan sebagai pendukung dalam menganalisa data. Teori-teori
yang ada akan dikonseptualkan untuk membantu mendeskripsikan dan menganalisa
data penelitian.
A. Konseling Multikultural
Dalam dunia konseling ada dua cara merespon multikulturalisme yakni
pendekatan konseling yang bersifat monokultural. Pendekatan konseling yang
didesain dan digunakan dalam konteks masyarakat Barat. Kemudian tahun 1960 dan
1970-an, konseling hadir dan bereaksi terhadap tekanan politik, legislatif, dan
personal yang bersumber dari gerakan persamaan kesempatan dan seputar rasisme
serta membangun kesadaran terhadap isu kultur dalam pendidikan dan praksis
konseling. Fase ini kemudian melahirkan banyak literatur dalam bidang konseling
dan psikoterapi terhadap isu budaya, silang budaya, transkultural, interkultural.
Merupakan usaha memasukan dimensi budaya dalam ruang konseling. Respon kedua
ini muncul dari kesadaran akan perbedaan kultur dalam konseling yang menempatkan
konsep kultur sebagai citra person-nya.1
Konseling berasal dari Bahasa Inggris to counsel yang berarti memberi arahan
dan memberi nasehat. Tokoh yang melakukan proses konseling disebut konselor.


1

290.

John Mcleod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus, (Jakarta: Kencana, 2010), 273-

14

Dalam pemahaman ini maka dalam proses konseling menempatkan konselor ke
dalam relasi bersama dengan konseli. Selanjutnya proses konseling hanya dapat
dibangun jika konselor menganggap konseli itu sangat berharga bukan sekedar
dikasihani tetapi dicintai. Sehingga dalam proses konseling dimana terciptanya relasi
atau hubungan yang harmonis orang dimungkinkan dapat mengalami kedamaian dan
kebahagaiaan.2 Kedamaian dan kebahagiaan yang tercipta, akan menumbuhkan rasa
saling menghargai terhadap diri sendiri tetapi juga kepada orang lain. Dengan
demikian akan terbuka hubungan atau relasi yang luas dan mendalam dengan orang
lain yakni dengan menempatkan diri kita pada perasaan orang lain kita dapat
mengetahui apa yang sedang digumuli. Dalam proses konseling yang dibangun oleh
konselor dan konseli harus berdasarkan kasih agar dapat tercipta komunikasi yang
baik dan juga menumbuhkan nilai spiritual.3 Dalam membangun suatu hubungan

konseling membutuhkan empati dasar. Kata empati berasal dari bahasa Yunani yakni
em dan pathos yang berarti perasaan yang mendalam untuk memahami dunia orang
lain. Seseorang harus memasuki dunia perasaan orang lain tanpa harus meninggalkan
perasaannya. Dalam hal ini seseorang harus masuk ke dalam perasaan orang lain
untuk memberikan penilaian dan memahaminya dalam persepsi orang tersebut.
Empati memungkinkan orang bukan hanya dapat mengenal, memahami, dan
merasakan orang lain dalam masalahnya, serta seperasaan dengan mereka.4

2

J. D. Engel, Konseling suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 1.
J. D. Engel, Konseling suatu Fungsi Pastoral,2
4
J. D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,
2016), 49-60
3

15

Pengertian yang lain diungkapkan oleh McLeod mengenai konseling.

Konseling merupakan bentuk pertolongan yang terfokus pada kebutuhan dan tujuan
seseorang. Defenisi konseling yang dikemukakan oleh Mcleod berorientasi pada
pengguna. Mcleod berpendapat bahwa

defenisi konseling dapat dipahami dari

orientasi sosial dan perspektif yang berpusat pada pengguna. Maksudnya adalah
bahwa proses konseling hanya dapat terjadi jika orang yang mencari pertolongan
(klien) menginginkannya. Dengan demikian proses konseling akan terjadi oleh karena
klien mengundang dan memberikan kebebasan kepada orang lain memasuki
hubungan tertentu dengan mereka.5
Mcleod menampilkan beberapa poin penting berkaitan dengan konseling yang
berorientasi pada pengguna; pertama, konseling adalah suatu aktivitas yang muncul
ketika seseorang yang bermasalah mengundang dan mengizinkan orang lain untuk
masuk kedalam hubungan tertentu. Kedua, seseorang mencari hubungan jenis ini jika
menemukan masalah atau problem dalm kehidupan yang tidak dapat mereka
pecahkan dengan sumber daya keseharian mereka, serta hal tersebut membuat mereka
terasing dari aspek kehidupan sosial. Ketiga, seseorang yang membutuhkan konseling
mengundang orang lain untuk menyediakan ruang dan waktu untuknya. Proses ini
ditandai dengan izin untuk berbicara, menghargai perbedaan, kerahasiaan, dan

afirmasi. Keempat, izin untuk berbicara yang dimaksudkan adalah memberikan
tempat bagi klien untuk dapat menceritakan kisah mereka, tempat dimana mereka
disemangati untuk menyuarakan pengalaman mereka yang dipendam, dalam jangka

5

John Mcleod, Pengantar Konseling, 8, 16.

16

waktu dan cara yang mereka tentukan, termasuk pengeksplorasian perasaan dan
emosi.6
Kelima, penghargaan terhadap perbedaan yakni konselor harus menempatkan
diri mereka sejauh mungkin dari isu klien, dan juga keinginan mereka agar konselor
dapat memfokuskan pemikiran untuk menolong klien sehingga klien dapat
mengartikulasikan dan bertindak sesuai dengan nilai yang ada dalam dunia klien.
Keenam, kerahasiaan merupakan tugas konselor agar tidak menyampaikan segala
yang dibicarakan oleh klien kepada orang lain yang ada dalam dunia klien. Ketujuh,
afirmasi yakni konselor melaksanakan hubungan yang mengekspresikan nilai inti
seperti kejujuran, integitas, perhatian, keyakinan akan nilai-nilai individual,

komitmen untuk berdialog dan kolaborasi, refleksivitas, pribadi yang interdependen,
dan perasaan sehat.7
Berdasarkan pemikiran beberapa para ahli mengenai konseling maka dapat
disimpulkan bahwa konseling merupakan proses percakapan yang mendalam yang
terjadi diantara konselor dan kliennya. Percakapan ini dilakukan berdasarkan kasih
agar klien dapat mengalami kedamaian dalam berelasi dengan orang lain maupun
dalam memahami dirinya sendiri. Percakapan konseling yang dilakukan terfukus
pada kebutuhan, tujuan, dan orientasi sosial klien. Percakapan ini akan berlangsung
jika klien memberikan kebebasan kepada konselor agar dapat melakukan proses
konseling. Penjelasan ini mengarah kepada proses konseling yang berfokus pada
klien. Oleh karena konseling yang berfokus pada klien maka beberapa poin yang
6
7

John Mcleod, Pengantar Konseling, 16, 17.
John Mcleod, Pengantar Konselin, 17.

17

disebutkan di atas mengenai konseling yang berpusat pada klien dapat

mempresentasikan dukungan, refleksi, dan pembaharuan dalam masyarakat. Dalam
area ini, konselor dan klien bersama-sama menggunakan sumber kultur yang didapat
(percakapan, ide, teori, ritual, langkah-langkah yang logis dalam pemecahan masalah,
wacana, dan teknologi) untuk mendapatkan pemecahan masalah kehidupan yang
mencetuskan keputusan untuk melakukan konseling. Proses konseling yang dapat
menolong klien dengan memperhatikan serta memahami klien dari sudut pandang
klien tanpa harus meninggalkan sudut pandang konselor agar dapat menemukan
langkah pemecahan masalah maka konselor sedang melakukan proses empati dalam
proses konseling. Sebab dengan berempati seorang konselor dapat menggunakan
unsur kultur yang dalam ada di dunia klien agar dapat menemukan langkah-langkah
yang logis dalam pemecahan masalah serta klien dapat dipulihkan dari kondisi yang
sebelumnya.
Praktik konseling sangat beragam. Konseling dapat dilakukan dengan bertatap
muka, dalam grup, dengan pasangan dan keluarga, lewat telepon, serta melalui materi
tertulis seperti buku dan panduan mandiri. Konseling harus memiliki korelasi dengan
bidang-bidang yang lain. Menurut Mcleod, konseling bukan hanya proses
pembelajaran individual tetapi juga merupakan aktivitas sosial yang memiliki makna
sosial. Konseling juga merupakan persetujuan kultur maksudnya adalah cara untuk
menumbuhkan kemampuan untuk beradaptasi dengan institusi sosial.8 Mcleod
menjelaskan beberapa tujuan konseling. Semua tujuan ini dalam praktiknya tidak

dapat melengkapi semua tujuan konseling akan tetapi melengkapi beberapa tujuan
8

John Mcleod, Pengantar Konseling, 8,11,13.

18

sesuai dengan tujuan masing-masing konselor. Tujuan konseling yang dijelaskan
Mcleod antara lain:9
a. Pemahaman. Mengarah kepada peningkatan kapasitas untuk memilih kontrol
rasional dari pada perasaan dan tindakan.
b. Berhubungan dengan orang lain. Menjadi lebih mampu membentuk dan
mempertahankan hubungan yang bermakna dan memuaskan dengan orang lain.
c. Kesadaran diri. Menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang
selama ini ditahan dan ditolak, atau mengembangkan perasaan yang lebih akurat
berkenan dengan bagaimana penerimaan orang lain terhadap diri.
d. Penerimaan diri. Pengembangan sikap positif terhadap diri yang ditandai dengan
kemapuan menjelaskan pengalaman yang menjadi kritik diri dan penolakan.
e. Aktualisasi diri atau individuasi. Pergerakan kearah pemenuhan potensi diri atau
penerimaan integrasi diri yang sebelumnya saling bertentangan.

f. Pencerahan. Membantu klien mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
g. Pemecahan masalah. Menemukan pemecahan masalah tertentu yang tak bisa
dipecahkan oleh klien seorang diri.
h. Pendidikan psikologi. Membuat klien mampu menangkap ide dan teknik untuk
memahami dan mengontrol tingkah laku.
i. Memiliki ketrampilan sosial. Mempelajari dan menguasai ketrampilan sosial dan
interpersonal. Seperti mempertahankan kontak mata, tidak menyela pembicaraan,
asertif atau pengendalian kemarahan.

9

John Mcleod, Pengantar Konseling, 13,14.

19

j. Perubahan kognitif. Modifikasi atau mengganti kepercayaan yang tak rasional
atau pemikiran yang tidak dapat diadaptasi.
k. Perubahan tingkah laku. Meodifikasi atau mengganti pola tingkah laku yang
merusak.
l. Perubahan sistem. Memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya sistem

sosial.
m. Penguatan. Berkaitan dengan keterampilan, kesadaran, dan pengetahuan yang
akan membuat klien mengontrol kehidupannya.
n. Restitusi. Membantu klien membuat perubahan kecil terhadap perilaku yang
merusak.
o. Reproduksi dan aksi sosial. Menginspirasi dalam diri seseorang hasrat dan
kapasitas untuk peduli terhadap orang lain, membagi pengetahuan, dan
mengkontribusi kebaikan bersama melalui kesepakatan politik dan kerja
komunitas.
Beberapa tujuan yang dikemukan diatas mengarah kepada proses konseling
yang berfokus pada klien sebagai individu yakni individu yang memahami dirinya,
memiliki kesadaran diri, penerimaan diri, aktualisasi diri, individu yang dapat
memecahkan masalahnya, serta individu yang mengontrol tingkah lakunya. Selain itu
individu yang merupakan bagian dari kehidupan sosial yakni individu yang memiliki
ketrampilan sosial, individu yang memiliki perubahan berpikir serta tindakan,
individu yang peduli terhadap orang lain, serta individu yang dapat bekerjasama
dengan orang lain atau komunitasnya.

20


Konseling merupakan suatu rangkaian proses yang memiliki hasil akhir.
Mcleod menjelaskan ada tiga kategori hasil akhir konseling yakni resolusi, belajar,
dan inklusi sosial. Pertama, Resolusi terhadap masalah sumber dalam hidup. Resolusi
mencakup pencapaian pemahaman atau perspektif terhadap masalah tersebut,
mencapai penerimaan pribadi terhadap permasalahan, dan mengambil tindakan untuk
mengubah situasi yang merupakan sumber permasalahan. Kedua, belajar mengikuti
konseling agar mendapat pemahaman, keterampilan, dan strategi baru yang membuat
diri mereka dapat menangani masalah serupa dimasa yang akan datang. Ketiga,
inklusi sosial konseling memberikan energi dan kapasitas personal sebagai seorang
yang dapat memberikan kontribusi terhadap makhluk lain dan kepentingan sosial.10
Pendekatan konseling yang ditawarkan oleh Mcleod merupakan konseling
yang dipahami dalam konteks sosial dan kultur. Maksudnya adalah klien dan
konselor merupakan peran sosial dan metode yang digunakan dalam proses konseling
menjelaskan tujuan serta kerja konseling yang dibentuk oleh kultur di mana mereka
hidup.11 Masyarakat pada hakekatnya memiliki identitas kultur yang sangat berperan
penting dalam pembentukan pribadi maupun kelompok. Pendekatan multikultural
menurut Pedersen, berawal dari posisi yang menyatakan bahwa keanggotaan dari
kultur atau beberapa kultur merupakan salah satu pengaruh paling penting terhadap
perkembangan identitas seseorang, sehingga masalah emosional dan perilaku yang
dibawah oleh seseorang dalam ruang konseling bisa jadi merupakan cerminan

bagaimana hubungan, moral, dan pemahaman terhadap “hidup yang nyaman”
10
11

John Mcleod, Pengantar Konseling, 17,18.
John Mcleod, Pengantar Konseling, 16.

21

dipahami dan didefenisikan dalam kultur (atau beberapa kultur) tempat di mana
seseorang hidup.12
Pemahaman ini sejajar dengan defenisi multikultural menurut Parekh yang
menjelaskan masyarakat multikultural merupakan sebuah masyarakat yang meliputi
dua kultur atau lebih komuninat kulturnya. Istilah multikultural mengacu pada
kenyataan akan keanekaragaman kultur.13 Multikulturalisme dilihat sebagai sebuah
perspektif tentang kehidupan manusia. Pemahaman ini didasarkan pada tiga wawasan
yakni pertama, manusia secara kultur diletakan dalam posisi bahwa mereka tumbuh
dan hidup dalam dunia yang terstruktur secara kultur, mengorganisasikan kehidupan
dan hubungan-hubungan sosial menurut sistem makna, memposisikan nilai yang
besar tentang identitas kultur mereka. Kedua, kebudayaan-kebudayaan yang berbeda
mencerminkan sistem makna dan pandangan tentang jalan hidup yang baik. Ketiga,
semua kebudayaan kecuali yang paling primitif secara internal bersifat majemuk dan
mencerminkan sebuah percakapan berkelanjutan antara tradisi dan rangkaian gagasan
mereka yang berbeda-beda.14
Pemahaman tentang apa yang dimaksudkan dengan kultur menjadi bagian
awal sebelum memahami lebih dalam mengenai konseling multikultural. Kultur
dipahami sebagai cara hidup seseorang atau sekelompok orang. Dalam riset
antropologi sosial, bersikap adil terhadap kompleksifitas kultur hanya dimungkinkan
jika hidup di dalamnya selama waktu tertentu, dan melaksanakan observasi yang

12

Pederson dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, 274
Bhikhu Parekh, Rethinking Multicuturalism; Keberagaman Budaya dan Teori Politik, (
Yogyakarta: Kanisius, 2008), 17,18.
14
Parekh, Rethinking Multiculturalism, 440-442.
13

22

sistematis terhadap masyarakat yang hidup di dalam kultur yakni dengan mengenal
dunia mereka melalui cara hubungan darah, ritual, mitologi, dan bahasa. Kultur
menurut Clifford Geertz, dapat dipahami sebagai:
Pola makna yang tertanam dalam simbol dan ditransmisikan secara
historis, sebuah sistem konsepsi turunan yang diekspresikan dalam bentuk
simbolik yang digunakan (orang-orang) untuk berkomunikasi, bertahan
hidup, dan mengembangakan pengetahuan mereka tentang hidup dan
sikap terhadapnya.15
Menurutnya, memahami kultur atau cara hidup sekelompok orang hanya dapat
dilakukan dengan mencoba memahami apa yang ada dalam kultur tersebut, makna,
konsep turunan yang disimbolkan dalam dan diekspresikan dalam perilaku yang
bergerak dari dalam ke luar. Kultur merupakan tempat eksistensi seseorang sehingga
sulit dipahami oleh konselor sebab kultur seseorang sangat kompleks. Konseling
terjadi dalam dunia konselor. dengan demikian seorang konselor harus peka, dan
rendah diri berkenan tingkat kemungkinan memasuki realitas kultur yang dipendam
oleh klien. Falicov mengatakan, Inti dari konseling multikultural adalah sensitivitas
terhadap berbagai cara yang memungkinkan berbagai fungsi kultur dan interaksi
terlebur mejadi kepedulian tentang pengalaman kultur orang lain.16
Pemahaman tentang kultur yang dimasukan dalam ruang konseling
memberikan penjelasan bahwa kultur dari seseorang atau kelompok sangat berperan
penting dalam menjelaskan relasi seseorang dengan lingkungannya. Dalam hal ini
emosi dan perilaku individu dapat dipahami dalam kultur yang membentuknya.
Sehingga dalam proses konseling, konselor harus memahami kultur klien yakni

15
16

Clifford Geertz dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, 274
Falicov dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, 275.

23

memahami cara hidup, makna, dan nilai-nilai yang terkandung didalam kultur klien.
Agar dapat memahami kultur klien, konselor harus hidup di dalam kultur klien, peka
terhadap kultur klien, serta mengamati kultur klien sebab didalam kultur klien
terdapat ekspresi emosi, tindakan, cara berkomunikasi, cara bertahan hidup, serta
mengetahui nilai-nilai yang terdapat didalam kultur klien.
Karakteristik identitas kultur dalam konseling multikultural yang menjadi
asumsi dasar meliputi bagaimana realitas dipahami, konsep diri, konstruksi moral,
konsep waktu, dan juga perasaan akan tanah air. Kelima asumsi ini akan menjadi
dasar agar dapat memahi klien yang memiliki identitas kultur. Selain itu klien juga
dapat diamati secara eksternal dengan memperhatikan dimensi interpersonal dan
kehidupan sosial. Dimensi interpersonal itu meliputi prilaku nonverbal, kontak mata,
jarak, gerakan tubuh, sentuhan, penggunaan bahasa, pola hubungan darah dan
hubungan antar sesama, hubungan gender, ekspresi emosi, serta peran teori
penyembuhan. Dalam konseling multikultural, karakteristik identitas kultur dan
dimensi interpersonal mempresentasikan dunia klien yang dapat dieksplorasi agar
dapat terbangun sebuah dunia klien dan konselor yang bersifat mutual dan saling
membantu.
1. Aspek Kultur Dasar dalam Konseling Multikultural
1.1 Konsep Realitas
Memahami orang-orang dari kultur yang berbeda tentu memiliki ide yang
berbeda tentang realitas. Realitas yang dipahami misalnya dualistik atau holistik.
Dalam kultur Barat, yang memahami realitas bersifat dualistik yang membagi dunia
dalam dua tipe entitas: jiwa dan tubuh. Jiwa terdiri dari ide, konsep, dan pikiran.
24

Sedangkan tubuh bersifat nyata, dapat diamati, dan berkembang dalam ruang.
Realitas dualisme berdampak pada peningkatan pemisahan antara diri dan objek, atau
diri dan yang lain. Diri dikaitkan dengan jiwa dan dirancang di luar serta jauh dari
dunia luar. Dunia luar yang dimaksud adalah dunia segala sesuatu atau orang lain.
orang-orang selain dunia Barat menganggap dunia sebagai sebuah kesatuan.misalnya
Buddhisme, Hinduisme, dan agama dunia lain yang memahami bentuk fisik, mental,
dan spiritual sebagai aspek atau sisi dari satu realitas tunggal, bukan sebagai domain
yang terpisah.17
Pemahaman seseorang terhadap realitas dapat ditemukan dalam ruang
konseling. Berbagai elemen kunci dalam konseling, kata yang digunakan oleh
seseorang dalam mengekspresikan dan mendeskripsikan masalah memberikan sudut
pandang mendasar, implisit, dan filosofis dari sebuah kultur terhadap apa yang
dimilikmi individu. Konsep penyembuhan dengan menggunakan kultur tergantung
pada realitas yang dualistik atau holistik. Kultur dualis masyarakat Barat,
membicarakan masalah yang ada saja akan memasukkannya ke penanganan mental.
Kultur yang terdiri dari kesatuan jiwa, raga, dan roh, praktek penyembuhannya akan
menghadapkan seseorang kepada ketiga hal itu misalnya meditasi, latihan, dan diet.18
1.2. Memahami Diri
Memahami diri menjadi seseorang sangat bervariasi dari satu kultur dengan
kultur yang lain berbeda. Diri menurut Landrine (1992),19 self adalah inner thing (sisi
dalam diri sesuatu) atau daerah pengalaman diri yang berdiri sendiri dan lengkap dari
17

John Mcleod, Pengantar Konseling, 277.
John Mcleod, Pengantar Konselin, 277.
19
Landrine dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, 277,278.

18

25

kultur Barat, diyakini sebagai peletak dasar, pembuat, dan pengontrol perilaku.
Landrine menabrakan konsep diri kultur Barat dengan pengalaman diri indexical
dalm kultur non-Barat:
Diri dalam kultur ini bukanlah entitas yang eksis secara indenpenden
dari hubungan dan konteks tempatnya diinterpretasikan. Sang diri
diciptakan kembali dalam interaksi dan konteks, dan hanya eksis di
dalam dan melalui hal tersebut.
Selain itu dalam konsep memahami diri terdapat pendekatan individualis dan
pendekatan kolektif. Kedua pendekatan ini tentunya memiliki perbedaan. Pendekatan
individualis yang mendominasi kultur Barat dan juga pendekatan kolektif merupakan
bagian dari kultur tradisional. Orang dengan pendekatan kolektif senang menganggap
dirinya sebagai anggota dari keluarga, suku, atau kelompok sosial lain dan membuat
keputusan berdasarkan kebutuhan, nilai, dan prioritas jaringan sosial ini. kultur
individualis menekankan pada perasaan bersalah, merujuk pada pengalaman batin,
dan penyalahan diri. Orang dengan kultur kolektif lebih senang berbicara mengenai
rasa malu, merujuk pada situasi dimana mereka tertangkap basa oleh orang yang
berkuasa. Akan sangat sulit untuk memahami orang lain yang ada dalam dua
pendekatan yang berbeda.
1.3 Konstruksi moral
Membuat pilihan moral, memutuskan yang benar dan salah adalah inti
kehidupan. Akan tetapi membuat pilihan moral ada dan dipengaruhi oleh kultur.
Moralitas Barat yakin dengan pilihan dan tanggung jawab individu dan kemauan
untuk dibimbing oleh prinsip moral yang abstrak seperti keadilan atau kejujuran.
Sedangkan kultur tradisional isu moral sangat ditentukan oleh takdir misalnya karma.

26

Ajaran dan prinsip moral tertanam dalam cerita bukan diartikulasi dalam konsep
abstrak. Perbedaan antara memilih (kultur Barat) dan takdir (kultur tradisional) sangat
berpengaruh dalam konseling. Nilai moral dalam kultur individual cendrung
menghadirkan nilai seperti pencapaian, otonomi, indenpenden, dan rasionalitas.
Sedangkan kultur kolektivis lebih menekankan pada nilai sosiabilitas, pengorbanan,
dan kesesuaian.20
1.4 Konsep waktu
Dari perspektif person dan kelompok sosial, waktu adalah salah satu elemen
tempat cara hidup dan hubungan terbentuk. Salah satu ciri masyarakat industrial
modern adalah berorientasi pada masa depan. Masa lalu dilupakan dan dihancurkan.
Cerita yang diterima oleh keluarga atau komunitas di masa lalu, bertahan ditingkat
yang paling rendah. Masa lalu diartikan sebagai warisan. Sebaliknya, masyarakat
tradisional dan kolektif didominasi oleh orientasi masa lalu. Terdapat kesinambungan
antara cerita di masa lalu dan sekarang dengan mengkhayalkan para nenek moyang
hadir dan berkomunikasi dengan yang masih hidup. Konsep maju dalam masyarakat
modern sangat berperan penting sehingga sesuatu yang berhubungan dengan praktek,
gaya hidup oleh generasi sebelum dianggap ketinggalan jaman dan using. Sedangkan
kultur tradisional, konsep maju dapat dianggap sebagai satu ancaman. Bentuk
komunikasi dan penyimpangan informasi dalam berbagai pengaturan kultur juga
berpengaruh terhadap pengalaman menjalani waktu. Konstruksi waktu dalam
pengaturan kultur yang berbeda dapat menimbulkan konsekuensi praksis yang
dominan maksudnya dalam masyarakat dengan kultur ketepatan waktu, memberikan
20

John Mcleod, Pengantar Konseling, 279.

27

perjanjian dengan menggunakan ketepatan waktu dan durasi adalah hal yang rasional
sedangkan bagi kultur yang lain, hal ini tampak tidak rasional klien akan menemui
konselor apabila mereka sudah siap untuk tujuan konseling.
1.5 Nilai penting tempat
Dimensi kultur yang paling akhir adalah hubungan antara kultur dengan
lingkungan fisik. Dalam masyarakat modern sebagian besar ikatan antara orang
dengan tempat telah putus. Mobilisasi sosial dan geografis adalah hal yang umum.
Masih ada penghargaan terhadap tempat dalam kultur modern akan tetapi
penghargaan itu terpisah dari individu. Konselor akan menghadapi berbagai kultur
dengan pemahaman yang berbeda juga tentang makna tempat.21
2. Aspek Kultur Diamati Secara Eksternal22
Salah satu aspek perbedaan kultur yang dapat diamati adalah perilaku nonverbal. Kultur dapat diamati dari sinyal non-verbal seseorang seperti sentuhan, kontak
mata, gerak tubuh, dan kedekatan. Misalnya, dalam kultur Barat tatap mata secara
langsung dianggap sebagai tanda kejujuran dan keterbukaan. Dalam kultur yang lain,
tindakan itu dianggap kasar dan intrusif.
Pola perilaku verbal merupakan perbedaan kultur yang dapat diamati. Orang
dari kultur Barat cenderung menyampaikan cerita yang berurutan, logis, dan linear.
Sedangkan orang dengan klutur yang lain cenderung menyampaikan cerita yang
berputar dan tampak tidak akan sampai pada titik tertentu. Kuncinya adalah cara

21
22

Mcleod, Pengantar Konseling, 279.
Mcleod, Pengantar Konseling, 280-285.

28

seseorang menyampaikannya, berbicara, bahasa yang digunakan mengkomunikasikan
kultur dan identitas mereka.
Karakteristik yang lain yang dapat diamati adalah pola hubungan darah. Cara
yang paling penting untuk menggambarkan perbedaan dalam ikatan darah adalah
dengan bertanya, hubungan mana yang paling penting bagi anda? Dalam kultur Barat,
jawabannya sering kali berhubungan dengan pasangan atau partner hidup. Sedangkan
budaya yang lain hubungan yang paling dekat adalah antara orang tua dan anak.
Pengaruh gender dalam pembentukan identitas sangat kuat. Identitas dan peran
gender dibentuk dengan cara yang berbeda dalam kultur yang berbeda.
Ekspresi emosi adalah salah satu sisi enkulturasi yang sangat penting dalam
konseling. Kultur yang berbeda menghasilkan beragam pemahaman terhadap emosi
yang diterima dan ekspresi mana yang diizinkan dilakukan dalam depan publik.
Caranya adalah dengan mengamati dan memahami bahasa (verbal dan non-verbal)
yang digunakan dalam menyampaikan emosi dan perasaan.
Perbedaan kultur yang dapat diamati juga dalam kultur adalah mengenai sikap
dan praktik penyembuhan. Setiap kultur memiliki pemahamannya sendiri terhadap
keberadaan, sakit, dan penyembuhan. Prilaku penyembuhan yang didasarkan pada
pengetahuan ilmiah dan juga prilaku penyembuhan yang didasari oleh keyakinan
supranatural.
Nilai dan model identitas kultur yang dimiliki muncul dari fakta kemustahilan
seorang konselor untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dalam kultur. Ketika
seorang konselor berhadapan dengan klien dengan latar belakang kultur yang
berbeda, informasinya dapat diperoleh dari klien, membaca, dari anggota kultur, atau
29

dengan tinggal di dalam kultur itu. Dalam memahami kultur tidak hal yang benar atau
salah. Semua kultur dapat dipahami sejauh adanya panduan dan kerangka kerja untuk
menawarkan cara dalam memahami kompleksitas identitas kultur. Konseling
multikultural bukan saja menuntut kemampuan untuk melihat seseorang dalam
kerangka kultur akan tetapi mengaplikasikan pemahaman dalam tugas membantu
orang dengan permasalahan mereka. Pemahaman terhadap kultur klien dalam proses
konseling mengarahkan konselor kepada kepekaan terhadap klien dengan memahami
kulturnya. Konselor dapat mengetahui cara memahami realitas klien yang dualistik
maupun holistik, cara memahami diri yang bersifat individual atau kolektif, dan cara
mengambil keputusan yang dipengaruhi oleh kultur klien. Selain itu konselor
memiliki kepekaan terhadap pola perilaku verbal, ekspresi emosi, pola hubungan
darah, serta nilai-nilai kultur yang dapat menyembuhkan klien. Kepekaan konselor
dalam memahami kultur klien mengarahkan proses konseling kedalam pemahaman
bahwa kultur memiliki nilai-nilai kehidupan yang diberlakukan dalam hidup individu
dan kelompok. Kultur akan terus diwariskan agar dapat mengontrol kehidupan
manusia sehingga manusia dapat menemukan makna dan nilai-nilai yang dapat
menolong manusia menjalani hidup. Konseling berlangsung dalam dunia klien untuk
itu klien dapat ditolong dengan cara memahami kulturnya yakni cara berpikir dan
bertindak klien, sebab cara berpikir dan bertindak individu atau kelompok sangat
dipengaruhi oleh kultur.

30

B. Konseling Perdamaian
Konseling

perdamaian

merupakan

konseling

yang

bekerja

untuk

mempromosikan penyembuhan dan membangun perdamaian di wilayah yang
terganggu oleh perang. Konseling perdamaian hadir untuk mengatasi konsekuensi
dari perang yang terjadi yakni hilangnya nyawa, kurangnya kebutuhan dasar,
kehilangan dukungan, gangguan sosial, gangguan edukasi, kekerasan fisik, trauma,
tekanan emosional, dll. Penekananan penyembuhannya pada individu dan dukungan
komunitas. Konseling perdamaian merupakan upaya untuk mengatasi dan sebagai
cara untuk membangun kembali dukungan sosial. Pendekatan ini didasarkan pada
asumsi bahwa di dalam kondisi yang paling buruk, seseorang dapat bertahan, pulih,
dan berkembang. Konseling perdamaian memberikan keterampilan hidup yang
diperlukan yaitu keterampilan untuk menghasilkan pendapat dan kemampuan
komunikasi, memulihkan hubungan, mendorong tanggung jawab, dan menghadirkan
toleransi diantara anggota masyarakat. Konseling perdamaian dapat membawa
individu maupun kelompok ke dalam proses pengampunan dan rekonsiliasi sebab
perdamaian dimulai dalam kehidupan sehari-hari melalui pikiran, perkataan, dan
tindakan. Konseling perdamaian menolong individu atau kelompok agar dapat
menghadapi masa lalu dan menemukan pemahaman baru untuk membangun
perdamaian. individu atau kelompok yang berkonflik diberdayakan secara sadar
untuk mengambil keputusan, bukan untuk bereaksi dan melanjutkan siklus kekerasan
yang mereka lakukan. Selain itu tugas konseling perdamaian juga adalah membangun

31

kerja sama dalam bidang ekonomi maupun politik sebab untuk membangun
perdamaian konseling saja tidak cukup.23
Teori konseling perdamaian yang dipakai dalam landasan teori sangat terbatas
karena itu agar dapat meletakan kerangka berpikir mengenai konseling perdamaian
penulis menggunakan teori yang dikemukan oleh Jeannie R. Annan, dkk.
Penjelasan mengenai konseling perdamaian di atas, didasari atas pandangan bahwa
konflik antar individu atau antar kelompok pada dasarnya berhubungan dengan
masalah psikologis yang ada pada masing-masing pihak yang berkonflik.
Penyelesaian terhadap masalah konflik dapat dibantu dengan proses konseling,
sehingga mereka mencapai perdamaian seperti yang diinginkan oleh mereka yang
terlibat dalam konflik. Konsep konseling perdamaian dikembangkan untuk
mengembangkan sebuah prosedur konseling yang memungkinkan orang berkonflik
dapat menyelesaikan masalah-masalah psikologis yang dialami dan masalahmasalah yang menjadi sumber penyebab konflik.
C. Perdamaian dan Rekonsiliasi
Perdamaian berasal dari kata damai yang diartikan sebagai suasana tidak adanya
permusuhan dan hubungan yang serasi atau harmonis di antara kedua belah pihak.
Oleh karena damai yang menunjuk pada sebuah suasana atau keadaan maka
perdamaian merupakan proses atau usaha menuju suasana damai itu.24 Perdamaian

23

Jeannie R. Annan, dkk, “ Counseling For Peace In The Midst Of War:
Counselors From Northern Uganda Share Their Views”, International Journal for
the Advancement of Counselling, Vol. 25, No. 4, December 2003, 235-244.
24
N. A. Weny, Tang Pi’u-Wang Solang, Menyambung yang Terputus, Menambal yang
Tersobek: Sebuah Kristologi Pendamaian dari Perspektif Orang Pantar Barat. Sosiologi Agama

32

dalam pengertian sesungguhnya merupakan ketiadaan kekerasan dalam bentuk
langsung atau tidak langsung. 25
Galtung mengartikan perdamaian dalam dua defenisi yakni pertama, perdamaian
adalah tidak adanya atau pengurangan kekerasan dalam bentuk apapun. Kedua,
perdamaian merupakan tanpa kekerasan dan kreatif mentransformasi konflik. Kedua
definisi ini berlaku kerja perdamaian yakni bekerja untuk mengurangi kekerasan
dengan cara damai serta studi perdamaian untuk kondisi kerja perdamaian. Definisi
pertama berorientasi pada kekerasan dimana perdamaian menjadi negasinya.
Sedangkan definisi kedua berorientasi pada konflik dimana perdamaian merupakan
konteks konflik yang terungkap tanpa kekerasan dan kreatif. Untuk mengetahui
tentang perdamaian kita harus tahu tentang konflik dan bagaimana konflik bisa
diubah, baik tanpa kekerasan dan kreatif.26 Konflik menurut Galtung merupakan
perselisihan yang terjadi antara dua orang atau aktor yang mengejar tujuan yang sama
atau konflik merupakan dilema seseorang atau actor yang mengejar dua tujuan yang
tidak sesuai. Perselisihan tersebut dengan mudah mengarah pada upaya untuk
menyakiti atau menyakiti actor atau orang yang menghalangi. Dilema tersebut dapat
menyebabkan usaha untuk menyangkal sesuatu dalam diri sendiri, dengan kata lain

Pilihan Berteologi Di Indonesia (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2016),
229.
25
Izak Lattu, Planting the seed of peace. Agama dan pendidikan perdamaian dalam
masyarakat multikultural. Buku Ajar Agama (Salatiga: satya wacana university Press, 2015), 190.
26
Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development, and Civilization
(London and New Dehli: Sage Publication,1996), 9.

33

untuk menghancurkan diri sendiri. Mungkin juga ada Selfdestruction dalam
perselisihan (menolak usaha sendiri untuk mencapai tujuan mengelak.27
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka perdamaian dapat didefenisikan
sebagai proses menghadirkan damai tanpa melakukan kekerasan langsung maupun
tidak langsung. Proses menghadirkan damai menunjuk pada tindakan kreatif individu
agar dapat mentransformasi konflik atau perselisihan yakni dengan cara mengetahui
konflik, bagaimana konflik dapat diatasi, diubah secara kreatif tanpa menggunkan
kekerasan. Dengan demikian perdamaian berarti tidak adanya kekerasan dalam segala
bentuk maupun konflik yang berlangsung dengan cara yang konstruktif. Perdamaian
ada di dalam interaksi masyarakat tanpa kekerasan serta dapat mengelola konflik
mereka secara positif.
Galtung membagi perdamaian dalam dua tipologi yakni perdamaian negatif dan
perdamaian positif. Perdamaian negatif diartikan sebagai tidak adanya kekerasan atau
tidak adanya perang.28 Perdamaian negatif memerlukan kontrol pemerintah terhadap
konflik yang terjadi yakni dengan melakukan pengamanan dan perlindungan oleh
aparat keamanan di wilayah-wilayah perbatasan konflik. Strategi yang dipakai untuk
menghadirkan damai negatif adalah dengan memisahkan pihak yang berkonflik,
sehingga pihak-pihak yang berkonflik tidak saling bertemu satu dengan yang lain.
Dengan menghadirkan damai negatif maka pihak yang sedang berkonflik tidak akan

27

70.

Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development, and Civilization ,

28

Temesgen Tilahun, “Johan Galtung’s Concept of Positive and Negative Peace in the
Contemporary Ethiopia: an Appraisal,” International Journal of Political Sciences and Development.
Vol 3 No 6, ISSN: 2360-784X (2015): 251.

34

saling bertemu dan tidak akan tercipta ruang bersama untuk menghasilkan
perdamaian yang diinginkan. Integrasi yang diinginkan semua pihak tidak terwujud
oleh karena pemisahan

yang dilakukan pemerintah dengan menempatkan

perlindungan sekuritas.29 Klasifikasi perdamaian negatif adalah pesimistis, kuratif,
dan perdamaian tidak selalu dengan cara damai.30 Gagasan perdamaian sebagai tidak
adanya kekerasan kolektif terorganisir antara kelompok manusia khususnya negaranegara, antar kelas, antar ras, dan kelompok etnis merujuk pada jenis perdamaian
negatif.31
Perdamaian positif menunjuk pada suasana damai di mana terdapat
kesejahteraan, keadilan, dan kebebasan. Damai positif menganjurkan interaksi
mendalam warga masyarakat demi menghadirkan integrasi sosial. Menghadirkan
perdamaian positif diperlukan kerja sama dengan tujuan memperbaiki masa lalu dan
membangun kembali masa depan. Kerja sama ini dapat dilakukan dengan
memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan yang dihadapi serta menjadi tanggung
jawab bersama.32
Menurut Galtung Perdamaian positif menghadirkan hal-hal baik dalam
masyarakat, khususnya kerja sama dan integrasi antara kelompok yang ada dalam
masyarakat. Klasifikasi perdamaian positif adalah integrasi struktural, optimis,
preventif, perdamaian dengan cara damai. Perdamaian positif menunjuk pada kondisi
sosial di mana kegiatan mengeksploitasi dapat diminimalkan atau dihilangkan dan di
29

Galtung dalam Izak Lattu, Planting the Seed of Peace, 190-191.
Galtung dalam Temesgen Tilahun, “Johan Galtung’s Concept,” 252.
31
Galtung dalam Temesgen Tilahun, “Johan Galtung’s Concept,” 252
32
Galtung dalam Izak Lattu, Planting the Seed of Peace, 191.

30

35

mana tak ada kekerasan dalam bentuk apa pun. Kehadiran damai positif untuk
memberikan situasi yang merangkul, adil, serta menjaga harmoni ekosistem. Oleh
karena itu, terkait dengan perdamaian positif, ada sepuluh nilai-nilai hubungan positif
yakni kehadiran kerjasama, kebebasan dari rasa takut, bebas dari keinginan,
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, tidak adanya eksploitasi, kesetaraan,
keadilan, kebebasan bertindak, pluralisme, dinamisme. Dalam pemaknaannya,
individu yang satu tidak mengeksploitasi satu sama lain, tentang individu yang tidak
hidup dalam ketakutan dan kecemasan, tentang individu yang memiliki berbagai
tindakan terbuka untuk diri mereka sendiri sehingga mereka dapat hidup. Perdamaian
positif diisi dengan konten positif seperti pemulihan hubungan, penciptaan sistem
sosial yang melayani kebutuhan seluruh penduduk dan resolusi konstruktif konflik.33
Damai yang positif dimaknai dalam pemahaman Galtung mengenai
rekonsiliasi. Menurut Galtung, rekonsiliasi adalah bentuk akomodasi dari pihak-pikah
yang terlibat dalam koflik destruktif untuk saling menghargai satu sama lain,
menyingkirkan rasa sakit, dendam, takut, benci, dan bahaya terhadap pihak lawan.
Dari pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi merupakan bentuk
akomodasi dari pihak yang bertikai untuk saling menghargai dan tidak saling
membenci terhadap pihak lawan.34 pemahaman ini menyatakan bahwa rekonsiliasi
sebagai bagian dari resolusi konflik merupakan tahapan perdamaian yang akan
memakan waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Sebab rekonsiliasi
33
34

merupakan

proses mengejar suatu perdamaian dengan

Galtung dalam Temesgen Tilahun, “Johan Galtung’s Concept,” 252-253.
Johan Galtung, Rekonsiliasi Konflik, ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), 67.

36

menyelesaikan akar permasalahan dan mengampuni, serta dapat memperoleh kondisi
yang rukun (kembali rukun).
Mengacu pada makna perdamaian yakni proses menghadirkan damai tanpa
kekerasan langsung maupun tidak langsung maka ada dua tipe yang dikemukan yakni
perdamaian negatif dan perdamaian positif. Perdamaian negatif yakni situasi di mana
tidak ada perang oleh karena intervensi pemerintah melalui pengamanan dan
perlindungan aparat keamanan. Sedangkan perdamaian positif merupakan situasi
tidak adanya kekerasan baik kekerasan langsung maupun tidak langsung. Perdamaian
positif dapat terwujud dalam kerja sama antara masyarakat agar dapat menghadirkan
integrasi sosial yakni pemulihan hubungan dalam masyarakat. Perdamaian positif
berorientasi pada masa lalu dan masa yang akan datang. Dengan demikian
perdamaian positif dapat dipertahankan oleh karena kerja sama setiap anggota
masyarakat untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan.
Berkaitan dengan pemikiran mengenai perdamaian positif dan perdamaian
negatif maka Galtung menjelaskan tiga pendekatan untuk memperoleh perdamaian
yakni peacekeeping, peacemaking, dan peacebuilding. Ketiga pendekatan ini saling
berkesinambungan dalam usaha untuk memperoleh perdamaian.
Pertama, peacekeeping merupakan pendekatan klasik yang dipakai oleh pihak
yang berkuasa atau pemerintah. Pendekatan ini pada dasarnya disosiatif yakni pihak
yang berkonflik dijauhkan satu sama lain di bawah ancaman hukuman yang cukup
jika mereka melanggar, terutama jika mereka melanggar ke wilayah masing-masing.
Kekuatan yang diusahakan oleh pemerintah disertai dengan langkah-langkah sosial
disosiatif lainnya, seperti pemisahan pihak yang berkonflik dan juga pendekatan
37

klasik seperti penggunaan jarak geografi. Jika dua kekuatan sosial disebutkan - tidak
cukup untuk menjaga mereka terpisah atau masih ada ancaman perilaku destruktif
dan sikap kebencian dan atau penghinaan, maka pihak ketiga yakni pihak militer
dapat dipanggil untuk melakukan operasi peackeeping, misalnya berpatroli
perbatasan dan penggunaan peralatan teknologi misalnya pagar elektromagnetik, dll.
Jadi peacekeeping merupakan proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan
melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang
netral.35
Kedua, peacemaking adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau
merekonsiliasi dan strategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi,
arbitrasi terutama terutama pada level elit atau pimpinan. Pihak-pihak yang bertikai
dipertemukan guna mendapat penyelesaian dengan cara damai. Hal ini dilakukan
dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah. Akan tetapi pihak ketiga
tersebut tidak mempunyai hak untuk menentukan keputusan yang diambil. Pihak
ketiga hanya menengahi apabila terjadi suasana yang memanas antara pihak bertikai
yang sedang berunding.36
Ketiga, Konsep membangun perdamaian atau peacebuilding didefenisikan
sebagai aktifitas yang memiliki ruang gerak luas terutama mencakup rekonsiliasi,
transformasi sosial dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan.
35

Johan Galtung, Peace, war and defense: essays in peace research; Vol. 2, (Ejlers:
Copenhagen, 1976), 282. Bisa dilihat juga dalam Yulius Hermawan, Transformasi dalam Studi
Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 93.
36
Johan Galtung, Peace, war and defense: essays in peace research; Vol. 2, (Ejlers:
Copenhagen, 1976), 282. Bisa dilihat juga dalam Yulius Hermawan, Transformasi dalam Studi
Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 93.

38

Peacebuilding berjalan setelah aktivitas peacekeeping dan peacemaking dilakukan.
Peacebuilding dilakukan dalam waktu yang relatif panjang. Hal ini tidak terlepas dari
beberapa dimensi yang melingkupi peacebuilding yakni personal, relasional, kultur
dan stuktural. Struktur berkaitan dengan bagaimana membangun perdamaian melalui
transformasi nilai sekaligus peningkatan kapasitas institusi eksekutif, legislatif,
yudikatif, serta militer dan kepolisian. Dua institusi terakhir ini memegang peranan
penting dalam mengendalikan masyarakat pasca konflik. Sebab kenyataannya pihak
yang berkonflik rentan terhadap provokasi dan sangat mendambakan penegakan
hukum, struktur juga mengacu pada sistem dan struktur sosial yaitu bagaimana
hubungan diorganisasikan, siapa yang mempunyai pawernya, bisa pada tingkat
keluarga dan pada tingkat masyarakat yang lebih luas.
Peacebuilding juga

merupakan strategi

atau upaya

yang mencoba

mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik
dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik.
Tujuan peacebuilding sejatinya tidak hanya terbatas pada perhentian konflik dan
penjagaan kesepakatan damai. Namun konsep ini mencakup kerja-kerja yang luas dan
komprehensif baik pada saat konflik maupun pasca konflik. Selama konflik
berlangsung

kerja-kerja

perdamaian

biasanya

difokuskan

pada

intervensi

konflikmelalui mediasi atau fasilitas dan rekonsiliasi. Tujuannya untuk mengelola
melokalisir konflik sehingga tidak meluas kemana-mana, dan sedapat mungkin
diredakan. Jadi peacebuilding merupakan proses implementasi perubahan atau
rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang

39

langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan perdamaian negatif berubah
menjadi damai positif dimana masyarakat merasakan adanya keadilan sosial dan
kesejahteraan yang efektif.37
Dari penjelasan mengenai tiga pendekatan untuk memperoleh perdamaian
maka dapat rangkai alurnya seperti berikut: peacekeeping untuk menciptakan keadaan
damai negatif terdahulu. Setelah pertikaian bisa dihentikan, namun potensi masih
tetap mengancam maka program selanjutnya adalah Peacemaking untuk mencegah
pertikaian atau kekerasan pecah kembali. Pada periode tertentu peacekeeping telah
dianggap mampu menjaga perdamaian negatif, maka selanjutnya adalah program
management konflik, yaitu mengelola konflik tanpa kekerasan melalui proses-proses
politik seperti negosiasi dan mediasi untuk memecahkan masalah. Ketika pemecahan
masalah telah terbentuk maka kesepakatan harus diimplikasikan dalam bentuk
program-program peacebuilding masyarakat pasca konflik.38
Ketiga pendekatan yang digunakan untuk menghadirkan perdamaian
dikerjakan secara berkesinambungan. Peacekeeping terjadi karena ada intervensi
pemerintah melalui perlindungan aparat keamanan yang bekerja untuk memisahkan
pihak yang berkonflik dari tindakan kekerasan antara pihak yang berkonflik.
Peacemaking akan dikerjakan jika peacekeeping tidak dapat menghadirkan
perdamaian. Peacemaking merupakan tindakan mempertemukan pihak yang
berkonflik terutama pada level elit yang melakukan mediasi yakni proses intervensi
37

Alekius Jemadu, Analisis konflik Internal dari Perspektif Hubungan Internasional, dalam
buku Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi, Yulius
Hermawan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 93
38
Novri Susan, Sosiologi Konflik Isu-Isu Konflik Kontemporer ( Jakarta: Kencana, 2009), 98.

40

pihak ketiga dalam menyelesaikan konflik, negosiasi yakni proses tawar menawar
dengan cara berunding agar menemukan kesepakatan bersama, dan arbitrasi yakni
pengambilkan keputusan yang berfungsi untuk mengikat pihak yang berkonflik.
Peacebuilding merupakan proses strategi atau pun upaya agar dapat mengubah
perdamaian negative menjadi perdamaian positif dimana keadilan dan kesejahteraan
dapat dirasakan semua orang. Peacebuilding tidak hanya terbatas pada kesepatakan
untuk menajga kedamaian akan tetapi mencakup kerja yang luas baik pada saat
konflik terjadi maupun pasca konflik. Sebab perdamaian bukan hanya terjalin pada
saat konflik sudah berakhir akan tetapi perdamaian dipahami sebagai kondisi damai
yang terus bertahan.
Rangkuman
1. Konseling merupakan proses percakapan yang mendalam antara konselor
dengan kliennya. Proses konseling yang dilakukan terfokus pada kebutuhan,
tujuan, dan orientasi sosial klien. Proses konseling seorang konselor
membutuhkan rasa empati agar dapat menolong klien menemukan langkahlangkah logis pemecahan masalah serta klien dapat dipulihkkan dari kondisi
sebelumnya.
2. Konseling multikultural merupakan salah satu pendekatan konseling berbasis
budaya sebab kepekaan terhadap budaya merupakan dasar dalam konseling
multikultural.

41

3. Konseling

perdamaian

merupakan

konseling

yang

bekerja

untuk

mempromosikan penyembuhan dan membangun perdamaian diwilayah yang
terganggu oleh konflik.
4. Konflik merupakan perselisihan yang terjadi antara dua orang atau aktor atau
aktor yang mengejar tujuan yang sama. Perselisihan tersebut dengan mudah
mengarah pada upaya untuk menyakiti atau menyakiti aktor atau orang yang
menghalangi.
5. Perdamaian dapat dipahami dalam dua wajah yakni perdamaian positif dan
perdamaian negatif yang dapat dibedakan dalam tiga pendekatan yakni
peacekeeping, peacemaking, dan peacebuilding.

42

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Budaya sebagai Instrumen Pembangunan Daerah T2 092013011 BAB II

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB II

3 10 60

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mambere Namalum untuk Pemenuhan Kebutuhan Lanjut Usia sebagai Pendampingan dan Konseling Pastoral Berbasis Budaya T2 752015014 BAB II

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat T2 752015028 BAB II

0 0 53

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ino Fo Makati Nyinga sebagai Konseling Social Justice T2 752015006 BAB II

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ain Ni Ain sebagai Pendekatan Konseling Perdamaian Berbasis Budaya

1 1 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ain Ni Ain sebagai Pendekatan Konseling Perdamaian Berbasis Budaya T2 752015029 BAB VI

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ain Ni Ain sebagai Pendekatan Konseling Perdamaian Berbasis Budaya T2 752015029 BAB V

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ain Ni Ain sebagai Pendekatan Konseling Perdamaian Berbasis Budaya T2 752015029 BAB IV

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ain Ni Ain sebagai Pendekatan Konseling Perdamaian Berbasis Budaya T2 752015029 BAB I

0 2 13