Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Pembuatan Dodol di Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Ergonomi

2.1.1

Definisi Ergonomi
Istilah ergonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu ergon (kerja) dan nomos

(peraturan, hukum) sehinga ergonomi secara bahasa berarti hukum kerja. Pada
berbagai Negara digunakan istilah yang berbeda, seperti Arbeitswissenschaft di
Jerman, Human Factor Engineering, atau Personal Research di Amerika Utara.
Ergonomi dapat didefinisikan sebagai suatu disiplin yang mengkaji keterbatasan,
kelebihan serta karakteristik manusia, dan memanfaatkan informasi tersebut
dalam merancang produk, mesin, fasilitas, lingkungan, dan bahkan sistem kerja,
dengan tujuan utama tercapainya kualitas kerja yang terbaik tanpa mengabaikan
aspek kesehatan, keselamatan, serta kenyamanan manusia penggunanya
(Iridiastadi, 2014).

Ergonomi adalah penerapan ilmu-ilmu biologis tentang manusia bersamasama dengan ilmu-ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai penyesuaian satu
sama lain secara optimal dari manusia terhadap pekerjaannya, yang manfaat dari
padanya diukur dengan efisiensi dan kesehatan kerja. Tidak jarang pula ergonomi
diberikan pengertian sebagai ilmu tentang bekerja (study work) atau ilmu tentang
kerja. Untuk ergonomi, di Indonesia digunakan pula istilah tata karya atau tata
kerja (Suma’mur, 2009).

11
Universitas Sumatera Utara

12

Definisi lain dari ergonomi adalah kajian interaksi antara manusia dan
mesin, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan kinerja sistem secara keseluruhan (Bridger, 2009).
Ergonomi merupakan suatu pendekatan yang bersifat multidisiplin.
Beberapa ilmu yang terkait erat dengan ergonomi

antara lain adalah ilmu


mengenai rekayasa, matematika dan statistic, anatomi dan fisiologi, psikologi
terapan, dan sosiologi. Ergonomi merupakan perpaduan dari berbagai bidang ilmu
seperti antropologi, biometrika, fisiologi kerja, dan sibernatika (Suma’mur, 2009).
Konsep dasar ergonomi adalah menciptakan keselarasan atau kesesuaian
anatara manusia dengan pekerjaannya. Intinya adalah ergonomi bertujuan
menciptakan kesesuaian antara keterbatasan manusia dengan pekerjaannya. Hal
ini dikarenakan manusia memiliki keterbatasan baik keterbatasan dari segi fisik,
psikis dan psikologi sedangkan saat bekerja, manusia berinteraksi dengan sistem
kerja seperti interaksi antara peralatan, mesin, sistem kerja dan lingkungan kerja
dengan bahaya-bahaya yang kemungkinan terjadi sehingga dapat membahayakan
keselamatan dan kesehatan pekerja.
Fokus utama ergonomi dalam sistem bekerja adalah manusia, karena
keterlibatan manusia dalam pekerjaan memiliki peran penting dalam keberhasilan
manusia untuk mencapai tujuannya. Dalam hal mencapai tujuan perlu dilakukan
penyesuaian antara manusia dengan sistem kerja seperti peralatan, mesin dan
lingkungan kerja sehingga didapatkan hasil kerja yang efektif, produktif dan
terjaminnya keselamatan dan kesehata kerja.

12
Universitas Sumatera Utara


13

Peranan penting ergonomi dalam meningkatkan keselamatan dan
kesehatan kerja, antara lain : desain suatu sitem kerja untuk mengurangi rasa nyeri
dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia, desain stasiun kerja untuk alat
peraga visual (visual display unit station). Hal tersebut untuk mengurangi
ketidaknyamanan visual dan postur kerja, desain suatu perkakas kerja (hand tools)
untuk mengurangi kelelahan kerja, desain suatu peletakan instrumen dan sistem
pengendali agar didapatkan optimasi dalam proses transfer informasi dengan
dihasilkannya suatu respon yang cepat dengan meminimalkan risiko kesalahan,
serta didapatkan optimasi, efisiensi kerja, dan hilangnya risiko kesehatan akibat
kerja yang kurang tepat (Nurmianto, 1996).

2.1.2

Tujuan Ergonomi
Secara umum tujuan penerapan ergonomi (Tarwaka, 2004) yaitu:

1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan

cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan
mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.
2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak
sosial,

mengelola

dan

mengkoordinir

kerja

secara

tepat

guna

meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif

maupun setelah tidak produktif.
3. Menciptakan keseimbangan nasional antara berbagai aspek meliputi aspek
teknis, ekonomis, antropologis, dan budaya dari setiap sistem kerja yang
dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi.

13
Universitas Sumatera Utara

14

2.1.3

Konsep Keseimbangan Dalam Ergonomi
Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapsitas kerja

harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga tercapai performansi kerja yang
tinggi. Dalam kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh terlalu rendah
(underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload). Hubungan antara
kemampuan kerja, tuntutan tugas dan performa sebagai konsep dasar ergonomi
dapat dijelaskan pada bagan dibawah ini.

Material

Task/Work Place

Characteristics

Characteristics

Personal

Physiological

Capacity

Capacity

Task

Work


Demands

Capacity

Organizational

Environmental

Psycological

Biomechanical

Characteristics

Characteristics

Capacity

Capacity


Performance
Quality

Stress

Fatigue

Accident

Discomfort

Diseases

Gambar 2.1 Konsep Keseimbangan Ergonomi
Sumber : Manuaba (2000)
a. Tuntutan tugas
Tuntutan tugas dipengaruhi oleh karakteristik tugas dan material yang
digunakan, karakteristik organisasi dan budaya kerja serta karakteristik
lingkungan tempat kerja.


14
Universitas Sumatera Utara

15

b. Kapasitas kerja
Kapasitas kerja seseorang ditentukan oleh karakteristik individu baik fisik,
mental maupun kognitif, kapasitas psikologi, kapasitas fisiologi serta kapasitas
biomekanik yang berhubungan dengan kemampuan dan daya tahan sistem
muskuloskeletal tubuh.
c. Performa
Performa kerja seseorang tergantung pada rasio dan besarnya tuntutan tugas
terhadap besarnya kemampuan individu yang bersangkutan. Agar performa
kerja yang optimal dapat terpenuhi, perlu adanya keseimbangan antara
tuntutan tugas dengan kapasitas yang dimiliki (Manuaba, 2000 dalam
Tarwaka, 2004).

2.2

Anatomi dan Fisiologi Organ dalam Sistem Musculoskeletal

Manusia memiliki kemampuan untuk mempertahankan postur tubuh dan

bergerak dengan bebas karena adanya sistem otot-rangka (musculoskeletal).
Sistem otot-rangka (musculoskeletal) manusia dibentuk oleh komponen utama,
seperti otot, tulang, ligament, tendon, dan sendi.
2.2.1 Muskuler/Otot
Struktur tubuh manusia mempunyai sekitar 400 otot yang memiliki fungsi
masing-masing. Secara keseluruhan bobot otot hampir mencapai 40-50% bobot
tubuh dan hampir 50% otot mengkonsumi metabolisme tubuh. Berdasarkan
aktivitas geraknya, otot rangka dapat dikelompokkan menjadi:
a. Otot sinergis, yakni otot yang bekerja bersamaan sesuai arah yang diinginkan.

15
Universitas Sumatera Utara

16

b. Otot antagonis, yakni otot yang bekerja berlawanan dengan otot sinergis yaitu
bekerja berlawanan arah.
c. Otot fleksor, yakni otot yang bekerja dengan membengkokkan sendi.

d. Otot ekstensor, yakni otot yang bekerja dengan meluruskan kembali sendi ke
posisi awal.
e. Otot abduktor, yakni otot yang bekerja dengan menggerakkan anggota tubuh
menjauhi garis tengah tubuh.
f. Otot adduktor, yaitu otot yang menggerakkan anggota tubuh mendekati garis
tengah tubuh.
Otot dibentuk oleh kumpulan serat otot (muscle fiber), jaringan ikat, dan
saraf. Serat otot berbentuk relatif besar, memanjang, dan berbentuk silindris,
dengan ukuran garis tengah berkisar dari 10 hingga 100 mikrometer (µm), dan
panjang hingga 750.000 µm, atau 2,5 kaki (75 cm) (Sherwood, 2007).
Ketika melakukan kontraksi, otot memerlukan energi yang diperoleh dari
hasil pemecahan molekul ATP (adenosine diphosphate) dan energi. Jika kontraksi
terjadi terus menerus pada saat melakukan suatu pekerjaan, aliran darah ke otot
terhambat sehingga energi diperoleh dari senyawa glukosa otot (glikogen).
Glukosa kemudian mengalami glikolisis menjadi asam piruvat dan ATP yang
menghasilkan energi untuk pergerakan/kontraksi otot serta asam laktat sebagai
produk sampingan yang mengakibatkan timbulnya rasa pegal atau kelelahan. Otot
yang berkontraksi terus-menerus dapat mengalami kejang otot (Iridiastadi, 2014).

16
Universitas Sumatera Utara

17

2.2.2 Skeletal
2.2.2.1 Tulang/Rangka
Sistem rangka manusia tersusun dari 206 buah tulang yang memiliki
bentuk, ukuran dan tekstur yang berbeda. Tulang sangat berperan sebagai
penyokong struktur tubuh dan pembentuk formasi rangka tubuh. Sistem rangka
memiliki beberapa fungsi yaitu:
a. Sebagai penyokok, menahan jaringan dan memberi bentuk tubuh.
b. Pelindung organ-organ penting di dalam tubuh
c. Sebagai alat gerak pasif
d. Sebagai tempat penyimpanan kalsium
e. Sebagai tempat pembentukan sel darah merah (hematopoiesis)
Tulang tersusun atas sel-sel

(osteocytes, osteoblast, dan osteoclast),

matriks organic yang tersusun dari serat kolagen, dan garam-garam organik,
seperti fosfor dan kalsium. Bagian luar tulang berwujud padat, tapi di dalamnya
terdapat perencah tulang spons yang menyerupai sarang lebah. Hal ini yang
membuat tulang bersifat kuat namun ringan, sehingga tulang mampu menopang
tubuh tanpa membebani manusia. Ada beberapa jenis tulang yaitu:
a. Tulang panjang (seperti pada lengan dan kaki) yang bekerja seperti tuas
sehingga bisa digunakan untuk menggerakkan tubuh.
b. Tulang pendek (seperti pada pergelangan tangan dan kaki) yang memiliki
kekuatan lebih besar dari tulang panjang namun gerakkan terbatas.
c. Tulang pipih (seperti pada tengkorak) untuk perlindungan organ tubuh.
d. Tulah dengan bentuk tidak beraturan (seperti tulang belakang).

17
Universitas Sumatera Utara

18

2.2.2.2 Sendi
Sendi adalah penghubung antar dua tulang sehingga memungkinkan
terjadinya pergerakan. Ada beberapa jenis sendi yaitu:
a. Synarthrosis (suture) : Hubungan antara dua tulang yang tidak dapat
digerakkan, strukturnya terdiri atas fibrosa.
b. Amphiarthrosis : Hubungan antara dua tulang yang sedikit dapat digerakkan,
strukturnya adalah kartilago. Contoh: Tulang belakang.
c. Diarthrosis : Hubungan antara dua tulang yang memungkinkan pergerakan,
yang terdiri dari struktur sinovial.
2.2.3

Ruas Tulang Belakang (Low Back Region)
Bagian-bagian dari ruas tulang belakang dikelompokkan menjadi:

a. Tulang leher (Vertebra Cervicalis) sebanyak 7 ruas
b. Tulang punggung (Vertebra Thoracic) sebanyak 12 ruas dan bersatu
dengan tulang rusuk yang berfungsi melindungi organ tubuh seperti
jantung dan paru-paru
c. Tulang pinggang (Vertebra Lumbalis) sebanyak 5 ruas yang membentuk
pinggang
d. Tulang ekor (Vertebra Coccyaglis) sebanyak 4 ruas
Ruas tulang belakang berfungsi untuk menegakkan/menopang postur
struktur tulang belakang manusia. Postur tegak juga meningkatkan gaya mekanik
struktur tulang belakang lumbrosakral. Punggung tersusun dari beberapa
komponen yaitu :

18
Universitas Sumatera Utara

19

a. Otot punggung didukung oleh punggung, perut, pinggang dan tungkai yang
kuat dan fleksibel. Semua otot ini berfungsi untuk menahan agar tulang
belakang dan diskus tetapdalam posisi normal.
b. Diskus adalah bantalan tulang rawan yang berfungsi sebagai penahan
goncangan.Tiap diskus mengandung cairan yang mengalir ke dalam dan keluar
diskus. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas sehingga memungkinkan
punggung bergerak bebas.
Ruas-ruas tulang belakang saling berhubungan antar satu sama lainnya
karena adanya jaringan tulang rawan yang disebut cakram (intervertebral disc).
Pada tubuh manusia terdapat 24 buah Intervertebral disc. Tulang rawan ini
berfungsi sebagai penyangga agar vertebra tetap berada pada posisinya dan juga
memberi fleksibilitas pada ruas tulang belakang ketika terjadi pergerakan atau
perubahan posisi pada tubuh.
Intervertebral disc terdiri atas dua bagian yaitu annulus fibrosus dan
nucleus pulposus. Annulus fibrosus tersusun atas lapisan konsentris dan materi
fibrosus yang menyerupai lapisan bening yang saling berseberangan. Annulus
fibrosus berfungi membantu pergerakan tulang belakang, mentransfer gaya,
peredam kejutan serta membatasi dan menstabilkan gerakan persendian di tulang
punggung. Nucleus pulposus massa semi cairan dan cenderung menyerap cairan
dari jaringan sekitarnya sehingga memiliki tekanan osmotic yang tinggi.

2.2.4. Jaringan Penghubung
Jaringan penghubung dalam sistem musculoskeletal adalah ligamen,
tendon, dan fasciae yang tersusun atas kolagen dan serabut elastis. Ligamen
19
Universitas Sumatera Utara

20

berfungsi sebagai penghubung antar tulang, sedangkan tendon berfungsi
menghubungkan otot dengan tulang. Tendon dikelilingi oleh lapisan pembungkus
yang berperan besar untuk meredam gesekan ketika bergerak. Jika produksi cairan
terhambat, maka rasa sakit dan ngilu akan dirasakan ketika melakukan gerakan
yang berulang-ulang. Ligamen dan tendon adala dua jenis jaringan yang paling
sering menderita kelainan akibat kerja dalam jangka panjang (Chaffin dkk, 2006
dalam Iridiastadi, 2014). Jaringan penghubung lainnya adalah jaringan fasciae,
yaitu jaringan yang menjadi pengumpul dan pemisah otot serta terdiri dari
sebagian besar serabut elastis yang mudah terdeformasi.

2.3

Musculoskeletal Disorders (MSDs)

2.3.1 Definisi Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Musculoskeletal disorders (MSDs) adalah keluhan pada bagian-bagian
otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan ringan sampai
sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu
yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi,
ligament dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan
dengan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskletal
(Grandjean, 1993; Lemsters, 1996 dalam Tarwaka, et al. 2004).
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua
(Tarwaka, et al. 2004) yaitu :
a. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pemberian beban dihilangkan.
20
Universitas Sumatera Utara

21

b. Keluhan menetap (irreversible), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut.
Studi tentang MSDs telah banyak dilakukan dan hasil studi tersebut
menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka yang
meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot
bagian bawah. Diantara keluhan otot rangka tersebut, yang banyak dialami
pekerja adalah otot bagian pinggang (Low Back Pain).
Keluhan otot skelet umumnya terjadi karena kontraksi otot yang
berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi
pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi
apabila kontraksi otot hanya berkisar antara 15 - 20% dari kekuatan otot
maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah
ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya
tenaga yang diperlukan. Suplai okseigen ke otot menurun, proses metabolisme
karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang
menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993;
dalam Tarwaka, 2004).
Gejala nyeri musculoskeletal tergantung pada rasa sakit yang disebabkan
oleh cedera atau kerja berlebihan dan apakah kronis atau akut. Gejala dapat
berbeda-beda dari satu orang ke orang lainnya. Gejala umum musculoskeletal
meliputi (Wise, 2014)
a. Sakit dan Nyeri
21
Universitas Sumatera Utara

22

b. Otot terasa seperti ditarik-tarik atau keram karena terlalu lama bekerja
c. Lelah
d. Gangguan tidur
e. Sensasi terbakar pada otot
Apabila mengalami lebih dari satu atau beberapa dari gejala umum
tersebut,

maka

dapat

dikatakan

bahwa

seseorang

mengalami

keluhan

musculoskeletal.
2.3.2 Tahapan Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Gejala MSDs biasanya sering disertai dengan keluhan subjektif sehingga
sulit untuk menentukan derajat keparahan tersebut. Berdasarkan beratnya
gambaran klinis, The Occupational Repetitition Strain Injuries Advisory Commite
membagi keluhan MSDs ke dalam 3 derajat (Harrianto, 2009), yaitu:
a. Derajat 1, timbulnya kumpulan gejala regional dalam bentuk rasa nyeri dan
rasa lelah yang hebat yang dirasakan selama bekerja, tetapi hilang pada saat
tidur malam atau pada saat libur. Biasanya tidak ditemukan kelainan fisik dan
tidak mempengaruhi penampilan kerja. Kondisi ini dapat timbul setelah
bekerja untuk beberapa bulan, tetapi biasanya bersifat sementara.
b. Derajat 2, gejala sering kali timbul waktu malam dan sampai mengganggu
tidur malam. Selain itu, terkadang dapat ditemukan kelainan fisik. Biasanya
penampilan kerja akan menurun, terutama untuk melakukan pekerjaan dengan
gerakan berulang-ulang, maupun bekerja dalam posisi yang janggal/kurang
nyaman secara terus menerus. Kondisi ini dapat timbul setelah bekerja
berbulan-bulan dan kadang bersifat permanen.
22
Universitas Sumatera Utara

23

c. Derajat 3, gejala tetap timbul pada waktu malam maupun istirahat/libur.
Pekerjaan yang ringan, tanpa gerakan berulang-ulang maupun posisi kerja
yang janggal dapat menimbulkan rasa nyeri yang hebat serta keluhan-keluhan
lainnya. Kelainan fisik hampir selalu dapat ditemukan dan kondisi ini timbul
setelah bekerja berbulan-bulan atau bertahun-tahun dan biasanya bersifat
memerlukan tindakan rehabilitasi.
2.3.3 Pencegahan Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Tindakan ergonomis untuk mencegah adanya sumber penyakit dengan
melalui dua cara yaitu rekayasa teknik (desain stasiun dan alat kerja) dan rekayasa
manajemen (kriteria dan organisasi kerja), (Occupational Safety and Health
Administration (OSHA) dalam Tarwaka, et al, 2004).
2.3.3.1 Rekayasa Teknik
Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa
alternatif sebagai berikut :
a. Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya akibat penggunaan
alat atau bahan yang digunakan.
b. Substitusi, yaitu menggantikan alat atau bahan yang memiliki potensi bahaya
lebih tinggi dengan alat atau bahan yang berpotensi bahaya lebih aman,
menyempurnakan

proses

produksi

dan

menyempurnakan

prosedur

penggunaan peralatan.
c. Partisi, yaitu memisahkan antara sumber bahaya dengan pekerja.
d. Ventilasi, yaitu menambahan ventilasi sebagai celah untuk pertukaran gas dan
mengurangi resiko sakit.

23
Universitas Sumatera Utara

24

2.3.3.2 Rekayasa Manajemen
Rekayasa manajemen dapat dilakukan tindakan sebagai berikut :
a. Pendidikan dan pelatihan, agar pekerja lebih memahami lingkungan dan
alat kerja sehingga diharapkan dapat menyesuaikan dan inovatif dalam
melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat kerja.
b. Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti
disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan,
sehingga dapat meminimalisir risiko terhadap sumber bahaya.
c. Pengawasan yang intensif, agar dapat dilakukan pencegahan sedini
mungkin terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja.
Selain pencegahan teknik dan manajemen, tempat kerja harus diperhatikan
sesuai aspek ergonomi. Ergonomi adalah ilmu yang penerapannya bertujuan untuk
menyesuaikan pekerjaan, peralatan dan lingkungan kerja dengan manusia atau
sebaliknya dengan tujuan agar tercapainya produktivitas dan efisiensi yang tinggi
melalui

pemanfaatan

sumber

daya

manusia

yang

seoptimal-optimalnya

(Suma’mur, 2009).
2.4

Faktor Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Paparan dari faktor risiko ergonomi di tempat kerja dapat menyebabkan

atau memberi konstribusi bagi perkembangan musculoskeletal disorders atau
disebut faktor risiko MSDs. Adapun faktor risiko yang biasanya muncul
memberikan kontribusi terhadap timbulnya MSDs (Kuntodi, 2008) dapat
dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu faktor pekerjaan, faktor individu dan
faktor lingkungan. Faktor pekerjaan meliputi; postur kerja/janggal, postur statis,
24
Universitas Sumatera Utara

25

penggunaan tenaga berlebihan, pergerakan repetitif, beban/force dan durasi.
Faktor individu meliputi; umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kesegaran
jasmani, kekuatan fisik, masa kerja, dan indeks masa tubuh (IMT). Sedangkan
faktor lingkungan meliputi; getaran dan mikroklimat (Bridger, 1995; Bernard &
Cohen 1997; Peter Vi, 2000; Kumar, 2001 dalam Bukhori, 2010).
2.4.1 Faktor Pekerjaan
1. Postur Janggal (Awkward Posture)
Postur janggal adalah postur dimana posisi tubuh (tungkai sendi dan
punggung) secara signifikan menyimpang dari posisi netral. Postur janggal
merupakan deviasi dari gerakan tubuh atau anggota gerak yang dilakukan oleh
pekerja saat melakukan aktivitas kerja secara berulang-ulang dan dalam waktu
relatif lama. Semakin lama bekerja dengan postur janggal, maka semakin banyak
energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan posisi tersebut, sehingga dampak
kerusakan otot rangka yang ditimbulkan semakin fatal. Postur janggal pada leher
(Cohen, et al, 1997 dalam Bukhori, 2010) :
a. Menunduk ke arah depan sehingga sudut yang dibentuk oleh garis vertical
dengan sumbu ruas tulang leher > 200.
b. Tengadah, setiap postur dari leher yang mendongak ke atas atau ekstensi.
c. Miring, setiap gerakan dari leher yang miring, baik ke kanan maupun ke kiri,
tanpa melihat besarnya sudut yang dibentuk oleh garis vertical dengan sumbu
dari ruas tulang leher.
d. Rotasi leher, setiap postur leher yang memutar, baik ke kanan dan atau ke kiri
tanpa melihat berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.

25
Universitas Sumatera Utara

26

Postur janggal pada punggung :
a. Membungkuk, postur punggung membungkukkan badan hingga membentuk
sudut 200 terhadap vertikal dan berputar.
b. Rotasi badan, berputar (twisting) adalah adanya rotasi dan torsi pada tulang
punggung (gerakan, postur, posisi badan yang berputar balik ke arah kanan,
kiri) dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan berapa
derajat besarnya rotasi yang dilakukan.
c. Miring, memiringkan badan (bending) dapat didefinisikan sebagai fleksi dari
tulang punggung, deviasi bidang median badan dan garis vertikal, tanpa
memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk, biasanya dalam arah ke
depan atau ke samping.
Postur janggal pada bahu :
a. Aduksi adalah posisi bahu menjauhi garis tengah atau vertikal tubuh.
b. Abduksi adalah posisi bahu mendekati garis tengah tubuh atau vertikal tubuh.
c. Fleksi adalah posisi tubuh bahu diangkat menuju kearah vertikal tubuh, depan
dada.
d. Ekstensi adalah posisi bahu menjauhi arah vertikal tubuh, atau lengan berada
di belakang badan.
Postur janggal pada lengan :
a. Fleksi adalah posisi lengan bawah diangkat menuju kearah vertikal tubuh,
depan dada. Fleksi penuh pada siku terkuat pada sudut 900.

26
Universitas Sumatera Utara

27

b. Ekstensi adalah posisi lengan bawah menjauhi arah vertikal tubuh, atau lengan
berada dibelakang badan. Ekstensi penuh pada siku adalah besarnya dusut
yang dibentuk oelh sumbu lengan atas dan sumbu lengan bawah >135 0.
Postur janggal pada pergelangan tangan :
a. Deviasi radial adalah postur tangan yang miring kearah ibu jari.
b. Deviasi ulnar adalah postur tangan yang miring kearah kelingking.
c. Ekstensi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang menekuk kearah
punggung tangan di ukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan
sumbu tangan sebesar > 450.
d. Fleksi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang menekuk kearah telapak,
diukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan sumbu tangan sebesar
> 450. Perputaran (rotasi) pergelangan tangan yang berisiko adalah melakukan
perputaran keluar (supinasi) daripada perpustakaan ke dalam (pronasi).
Postur janggal pada kaki :
a. Jongkok (squatting) yaitu posisi tubuh dimana perut menempel pada paha
sehingga terjadi fleksi maksimal pada daerah lutut, pangkal paha, dan tulang
lumbal.
b.

Berlutut (kneeling) yaitu posisi tubuh dimana sendi lutut menekuk,
permukaan lutut menyentuh lantai dan berat tubuh bertumpu pada lutut dan
jari-jari kaki.

c.

Berdiri pada satu kaki (stand on one leg) yaitu posisi tubuh dimana tubuh
bertumpu pada satu kaki.

27
Universitas Sumatera Utara

28

2. Postur Statis (Static Posture)
Postur statis (pembebanan statis) mengacu pada aktivitas fisik dimana
postur yang sama diadakan di seluruh tenaga. Jenis pengerahan tenaga
menempatkan beban atau meningkatkan kekuatan pada otot dan tendon, yang
memberikan kontribusi untuk kelelahan. Hal ini terjadi karena terhambatnya
aliran darah yang diperlukan untuk membawa nutrisi ke otot dan untuk
mengeluarkan produk sisa dari metabolisme. Contoh postur statis termasuk alatalat yang tidak dapat meletakkan cengkraman, melakukan tugas-tugas, atau berdiri
di satu tempat dalam waktu yang lama (Reese, 2009).
Postur statis merupakan postur kerja fisik dalam posisi yang sama dimana
pergerakan yang terjadi sangat minimal. Pada waktu diam, dimana pergerakan
yang tak berguna terlihat, pengerutan suplai darah, darah tidak mengalir baik ke
otot. Berbeda halnya, dengan kondisi yang dinamis, suplai darah segar terus
tersedia untuk menghilangkan hasil buangan melalui kontraksi dan relaksasi otot.
Pekerjaan kondisi diam yang lama mengharuskan otot untuk menyuplai oksigen
dan nutrisi sendiri, dan hasil buangan tidak dihilangkan. Penumpukan Local
hypoxia dan asam latic meningkatkan kekusutan otot, dengan dampak sakit dan
letih.
3. Penggunaan Tenaga Berlebihan
Pekerjaan yang menggunakan tenaga besar dapat membebani otot, tendon,
ligament dan sendi. Peregangan otot yang berlebihan umumnya sering dikeluhkan
oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar
seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang

28
Universitas Sumatera Utara

29

berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang
diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila peregangan otot ini sering
dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat
menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal (Tarwaka, 2004).
Dalam banyak peristiwa, tenaga akan menjadi paling besar jika sebanyakbanyaknya otot berkontraksi. Sikap tubuh yang bertalian dengan pengerahan
tenaga yang paling besar dengan pengerahan tenaga yang paling besar bagi
gerakan-gerakan tertentu adalah sebagai berikut (Suma’mur 1989):
a.

Rotasi (perputaran) tangan kearah dalam paling kuat jika dimulai dengan
telapak tangan berada pada keadaan rotasi ke luar secara penuh (supinasi
penuh).

b.

Rotasi (perputaran) tangan kearah luar paling kuat jika dimulai dengan
telapak tangan berada pada keadaan rotasi ke dalam secara penuh (rotasi
penuh).

c.

Ekstensi siku (perentangan lengan terhadap siku) paling kuat jika dimulai
pada posisi fleksi penuh.

d.

Fleksi siku (dengan tangan terbuka) terkuat pada sudut 90 0 (efek pengungkit).

e.

Pada pekerjaan mendorong dengan sambil duduk, kekuatan terbesar didapat
pada keadaan suku bersudut 150-1600 dan dengan pegangan tangan pada
jarak kira-kira 66 cm dari daratan sandaran pinggang.

f.

Sambil duduk, kekuatan mendorong lebih besar daripada menarik, apabila
sandaran pinggang dan injakan kaki disediakan dengan memadai. Kekuatan

29
Universitas Sumatera Utara

30

menarik terbesar didapat dengan lengan pada keadaan ekstensi dan pegangan
tangan diantara 18 – 23 cm di atas dataran duduk.
g.

Secara tingkatan, tenaga terbesar dalam posisi duduk diperoleh jika pegangan
tangan berada pada ketinggian diantara bahu dan siku, sedangkan pada posisi
berdiri pegangan harus setinggi bahu.

h.

Pada postur berdiri, kekuatan lebih besar pada menarik ke belakang daripada
mendorong ke depan. Gerakan-gerakan ke depan lebih kuat pada kegiatan
mendorong daripada kegiatan menarik.

i.

Sambil duduk, kekuatan terhadap pedal terbesar didapat pada fleksi lutut 1600
dan fleksi sendi kaki 1200. Sikap istirahat terbesar diperoleh dengan fleksi
lutut 105-1350.

4.

Pergerakan Repetitif
Aktifitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus

seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, kegiatan angkatmengangkat dan sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan
akibat beban kerja secara terus menerus, tanpa memperoleh kesempatan untuk
melakukan relaksasi (Peter Vi, 2000 dalam Tarwaka et al, 2004).
Postur statis (pembebanan statis) mengacu pada aktivitas fisik di mana
postur yang sama diadakan di seluruh tenaga. Jenis pengerahan tenaga
menempatkan beban atau kekuatan meningkat pada otot dan tendon, yang
memberikan kontribusi mengalami kelelahan. Hal ini terjadi karena terhambatnya
aliran darah yang diperlukan untuk membawa nutrisi ke otot dan untuk
mengeluarkan produk sisa hasil metabolisme (Reese, 2009).

30
Universitas Sumatera Utara

31

5. Force atau beban
Force adalah jumlah usaha fisik yang digunakan untuk melakukan pekerjaan
seperti mengangkat benda berat. Jumlah tenaga bergantung pada tipe pegangan
yang digunakan, berat obyek, durasi aktivitas, postur tubuh dan jenis dari
aktivitasnya. Pekerjaan yang menuntut penggunaan tenaga besar, maka akan
memberikan beban pada otot, tendon, ligamen dan sendi. Massa beban/objek
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot
rangka. Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat oleh
seseorang adalah 23-25 kg. Suma’mur (1989) menjabarkan cara menangani beban
yang baik yaitu :
a. Peregangan harus tepat. Memegang diusahakan dengan tangan penuh dan
memegang dengan hanya beberapa jari dapat menyebabkan ketegangan statis
local pada jari dan pergelangan tangan.
b. Lengan harus berada di dekat tubuh dengan posisi lurus. Fleksi pada lengan
untuk mengankat dan membawa menyebabkan ketegangan otot statis pada
lengan yang melelahkan.
c. Punggung harus diluruskan. Posisi deviasi punggung membebani tulang
belakang. Untuk menghindari punggung membungkuk, mula-mula lutut harus
bengkok (fleksi) sehingga tubuh tetap berada pada posisi dengan punggung
lurus.
d. Posisi leher tegak sehingga seluruh tulang belakang diluruskan.

31
Universitas Sumatera Utara

32

e. Posisi kaki dibuat sedemikian rupa agar mampu mengimbangi momentum
yang terjadi dalam posisi mengangkat dan menurunkan. Kedua kaki
ditempatkan untuk membantu mendorong tubuh.
f. Beban diusahakan menekan pada otot tungkai yang kuat dan sebanyak
mungkin otot tulang belakang yang lebih lemah dibebaskan dari pembebanan.
g. Beban yang ditangani diusahakan berada sedekat mungkin terhadap garis
vertikal atau pusat gravitasi tubuh. posisi tubuh yang menahan beban
cenderung mengikuti beban sedangkan posisi tubuh yang menjauhi pusat
gravitasi tubuh lebih berisiko MSDs.
2.4.2 Faktor Individu
1. Umur
Chaffin (1979) ; Guo et al. (1995) dalam Tarwaka (2004) mengatakan
bahwa pada umumnya keluhan musculoskeletal mulai dirasakan pada usia kerja,
yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan
tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur.
Menurut penelitian Hendra S. Raharjo (2009) pekerja berusia diatas 35 tahun
beresiko 2,56 kali lebih besar untuk mengalami CTDs dibandingkan pekerja yang
berusia dibawah 35 tahun. Hal ini dikarenakan pada umur setengah baya,
kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan
otot meningkat.
Berni et al (1989) dalam Tarwaka (2004) telah melakukan studi tentang
kekuatan statik untuk pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan diatas
60 tahun. Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung, dan kaki. Hasil
32
Universitas Sumatera Utara

33

penelitian bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29
tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya usia.
Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan manusia sampai 20%. Pada
saat kekuatan otot mulai menurun maka risiko terjadi keluhan otot akan
meningkat.
2. Jenis Kelamin
Walaupun masih ada beberapa pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh
jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil
penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa jenis kelamin mempengaruhi
tingkat risiko keluhan otot. Beberapa hasil penelitian secara signifikan
menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat mepengaruhi tingkat risiko keluhan
otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang
lebih rendah dari pria.
Astrand & Rodahl (1996) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya
sekitar dau pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita. Hasil Penelitian Betti’e, et.al. (1989)
menunjukkan bahwa rerata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60%
kekuatan otot pria, khususnya untuk otot lengan, punggung, dan kaki. Penelitian
Chiang, et.al. (1993), Bernard, et.al. (1994), Hales, et.al. (1994) yang menyatakan
bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3 (Tarwaka,
2004).

33
Universitas Sumatera Utara

34

3.

Kebiasaan Merokok
Pengaruh kebiasaan merokok terhadap keluhan otot masih dalam tahap

perdebatan oleh para ahli, sama halnya dengan pengaruh jenis kelamin terhadap
keluhan otot namun demikian, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa
meningkatnya keluhan otot berkaitan dengan kebiasaan merokok. Semakin lama
dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot
yang dirasakan. Boshuizen et al. (1993) dalam Tarwaka (2004) menemukan
hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot
pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot. Hal ini
sebenarnya terkait erat dengan kondisi kesegaran tubuh seseorang.
Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga
kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan akibatnya, tingkat
kesegaran tubuh juga menurun. Apabila pekerja yang bersangkutan harus
melakukan tugas yang menuntut pengarahan tenaga, maka akan mudah lelah
karena kandungan oksigen dalam darah rendah. Pembakaran karbohidrat
terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
4.

Masa Kerja
Masa kerja adalah lama seseorang bekerja dihitung dari pertama masuk

hingga saat penelitian berlangsung. Masa kerja menunjukan lamanya seseorang
terkena paparan di tempat kerja hinggan saat penelitian. Semakain lama masa
kerja seseorang, semakin lama terkena paparan ditempat kerja sehingga semakin
tinggi risiko terjadinya penyakit akibat kerja.

34
Universitas Sumatera Utara

35

Menurut penelitian Hendra S. Rahardjo (2009) pekerja yang bekerja
selama lebih dari 4 tahun akan beresiko 2,755 kali mengalami CTDs
dibandingkan dengan pekerja yang bekerja kurang dari 4 tahun. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Cindyastira, et.al. (2014) pekerja produksi paving
block PT. Sumber Galian Makassar, distribusi responden berdasarkan masa kerja
yaitu jumlah pekerja yang telah bekerja di atas 3 tahun sebanyak 26 responden
atau sebanyak 65,0% dan jumlah pekerja yang masa kerjanya kurang dari 3 tahun
sebanyak 14 responden atau sebanyak 35,0%. Hasil analisis berdasarkan masa
kerja menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan
MSDs.
2.4.3 Faktor Lingkungan
1.

Getaran
Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot

bertambah. Kontraksi ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan
asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri pada otot (Suma’mur 1995
dalam Tarwaka, 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cindyastira, et.al. (2014)
pekerja produksi paving block PT.Sumber Galian Makassar, tidak ada pengaruh
atau hubungan antara getaran dengan kejadian MSDs pada pekerja.
2.

Mikroklimat
Mikroklimat di tempat kerja terdiri dari unsur suhu udara, kelembaban,

panas radiasi dan kecepatan gerak udara (Tarwaka, 2004). Suhu nikmat dalam
melakukan kerja berada antara 240C – 260C. Paparan suhu dingin yang berlebihan
35
Universitas Sumatera Utara

36

dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan
pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya
kekuatan otot (Astrand & Rodhl, 1972; Pulat, 1992; Wilson & Corlet, 1992;
dalam Tarwaka, 2004). Demikian juga dengan paparan suhu panas. Beda suhu
lingkungan dengan suhut tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian
energi yang ada dalam tubuh akan dimanfaatkan tubuh untuk beradaptasi dengan
lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang
cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot menurun, proses
metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang
dapat menibulkan rasa nyeri (Suma’mur, 1982; Grandjen, 1993; dalam Tarwaka,
2004).
2.5

Metode Penilaian Risiko Ergonomi

2.5.1

Risiko Faktor Pekerjaan dengan Metode REBA (Rapid Entire Body
Assessment)
Rapid Entire Body Assissment (REBA) adalah suatu metode dalam bidang

ergonomi yang digunakan secara cepat untuk menilai postur leher, punggung,
lengan, pergelangan tangan dan kaki seorang pekerja. Penilaian dengan
menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melengkapi dan
melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu
adanya pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Mc Atamney,
2000). Data yang dikumpulkan terdiri dari data postur badan, kekuatan yang
digunakan, tipe dari pergerakan, gerakan berulang, dan gerakan berangkai. Skor

36
Universitas Sumatera Utara

37

akhir REBA diberikan untuk memberi sebuah indikasi pada tingkat risiko mana
dan pada bagian mana yang harus dilakukan tindakan penanggulangan.
Apabila postur bergerak dari posisi netral maka nilai risiko akan meningkat.
Tabel tersedia untuk 144 kombinasi perubahan postur yang dimasukan kedalam
skor tunggal yang mewakili tingkat risiko muskuloskeletal. Skor ini kemudian
dimasukan kedalam lima tingkat tindakan apakah penting untuk dicegah atau
dikurangi. Perubahan nilai-nilai disediakan untuk setiap bagian tubuh yang
dimaksudkan untuk memodifikasi nilai dasar jika terjadi perubahan atau
penambahan faktor risiko dari setiap pergerakan yang dilakukan. Kelebihan dari
metode REBA adalah :
a. Metode ini dapat menganalisa pekerjaan berasarkan posisi tubuh dengan
cepat.
b. Menganalisa faktor-faktor risiko yang ada dalam melakukan pekerjaan.
c. Metode ini cukup peka untuk menganalisa pekerjaan dan beban kerja
berdasarkan posisi tubuh ketika bekerja.
d. Teknik penilaian membagi tubuh kedalam bagian-bagian tertentu yang
kemudian diberi kode-kode secara individual berdasarkan bidang-bidang
geraknya untuk kemudian diberikan nilai.
e. Hasil akhir dari penilaian REBA dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah, untuk menentukan prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu
dilakukan.
f. Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapat dilakukan ditinjau dari
analisa yang telah dilakukan.

37
Universitas Sumatera Utara

38

Metode ini juga memiliki kelemahan yaitu (Staton et al, 2005) :
a. Hanya menilai aspek postur dari pekerja.
b. Tidak mempertimbangkan kondisi yang dialami oleh pekerja terutama yang
berkaitan dengan faktor psikososial.
c. Tidak menilai kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan
vibrasi, temperatur, dan jarak pandang.
Prosedur Penilaian Metode REBA:
a.

Observasi Pekerjaan
Mengobservasi pekerjaan untuk mendapatkan formula yang tepat dalam

pengkajian faktor ergonomi ditempat kerja, termasuk dampak dari desain tempat
kerja dan lingkungan kerja, penggunaan peralatan, dan perilaku pekerja yang
mengabaikan risiko. Jika memungkinkan, data disimpan dalam bentuk foto atau
video. Hal ini dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara
detail (valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data
akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya.
b.

Menentukan Postur yang akan Dinilai
Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja

dilakukan perhitungan besar sudut dari masing – masing segmen tubuh yang
meliputi punggung (batang tubuh), leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan
tangan dan kaki. Postur yang akan dinilai ditentukan berdasarkan observasi
dengan mempertimbangkan kriteria antara lain seperti postur berulang yang paling
sering dilakukan, postur statis dalam jangka waktu paling lama, postur tidak

38
Universitas Sumatera Utara

39

alamiah/janggal, postur ekstrim atau tidak stabil jika bekerja dengan tenaga lebih,
dan postur yang dapat diperbaiki dengan mengadakan tindakan pengendalian.
c.

Memberikan Penilaian pada Postur
Pada metode REBA segmen – segmen tubuh tersebut dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu :
1. Grup A : punggung, leher, kaki
2. Grup B : Lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan. Postur grup B dinilai
terpisah untuk sisi kiri dan kanan. Sebagai catatan poin tambahan dapat
dimasukan atau dikurangi, tergantung dari posisinya. Contoh, dalam grup B,
lengan atas dapat disangga dalam posisi tersebut (terdapat sandaran lengan),
sehingga 1 nilai dikurangi dari poinnya. Skor load/force score, coupling score,
dan activity score disediakan pada tahapan ini. Proses ini dapat diulangi pada
setiap sisi tubuh dan untuk postur lainnya.
d.

Proses Penilaian
Proses penilaian risiko pekerjaan dengan menggunakan metode REBA

dilakukan dengan menggabungkan antara nilai dari table A dengan nilai dari table
B. Gunakan tabel A untuk menghasilkan skor tunggal dari badan, leher, dan kaki.
Kemudian dicatat dalam table dan dimasukan ke dalam load/force score untuk
menghasilkan skor A. Sama seperti sebelumnya penilaian lengan atas, lengan
bawah dan pergelangan tangan digunakan untuk menghasilkan nilai tunggal yang
menggunakan tabel B. Penilaian ini akan kembali dilakukan apabila risiko
terhadap muskuloskeletal berbeda. Penilaian kemudian dimasukan kedalam nilai
gabungan untuk menghasilkan nilai B. Nilai A dan B dimasukan kedalam Tabel C

39
Universitas Sumatera Utara

40

dan kemudian nilai tunggal didapatkan. Nilai tunggal ini adalah skor C atau skor
keseluruhan.

Gambar 2.2 Tabel Score A

Gambar 2.3 Tabel Score B

40
Universitas Sumatera Utara

41

Gambar 2.4 Tabel Score C
e.

Menetapkan Tingkatan Tindakan
Nilai REBA yang sudah ada kemudian di cocokan dengan table tingkat

aktivitas. Tabel ini merupakan kumpulan dari beberapa tingkatan nilai yang
mengindikasikan apakah posisi tersebut harus dirubah atau tidak.
Hasil Perhitungan akhir REBA dari penilaian adalah REBA Decision yaitu
tingkat risiko berupa skoring dengan kriteria:
1) Skor 1 masih dapat diterima
2) Skor 2 – 3 mempunyai tingkat risiko MSDs rendah
3) Skor 4 – 7 mempunyai tingkat risiko MSDs sedang
4) Skor 8 – 10 mempunyai tingkat risiko MSDs tinggi
5) Skor 11 – 15 mempunyai tingkat risiko MSDs sangat tinggi

41
Universitas Sumatera Utara

42

2.5.2

Risiko Faktor Pekerjaan dengan Metode RULA (Rapid Upper Limb
Assessment)
Metode ini dapat digunakan untuk menilai kegiatan dimana pekerja

banyak menggunakan upper limb. Khususnya, pekerja duduk atau berdiri tanpa
banyak pergerakan. Contoh kegiatan yang cocok menggunakan RULA seperti
aktivitas yang memakai komputer, manufaktur dan aktivitas kasir.
Metode RULA fokus terhadap pengukuran biomekanik dan beban postur
pada masing-masing individu sehingga faktor risiko yang diukur dan dianalisis
dengan menggunakan metode ini adalah postur, beban, penggunaan otot, durasi
dan frekuensi. RULA memberikan sebuah kemudahan dalam menghitungkan skor
dari beban kerja otot dalam bekerja dimana orang mempunyai risiko pada bagian
leher dan beban kerja pada anggota tubuh bagian atas seperti postur dari
bahu/lengan atas, siku/lengan bawah, pergelangan tangan, leher, dan pinggang
yang biasanya pada pekerjaan yang dilakuka n dalam posisi duduk atau berdiri
tanpa adanya perpindahan. Selain itu, RULA juga mempertimbangkan adanya
beban dan perpindahan yang dilakukan dalam penilaiannya serta menilai posisi
kaki stabil atau tidak.
Pengukuraan dengan metode RULA dilakukan dengan cara observasi
secara langsung pekerja atau operator saat bekerja selama beberapa siklus tugas
untuk memilih tugas (task) dan postur untuk pengukuran. Alat ini memasukan
skor tunggal sebagai gambaran foto dari sebuah pekerjaan, yang mana rating dari
postur, besarnya gaya atau beban dan pergerakan yang diharapkan. Risiko adalah
hasil perhitungan menjadi suatu nilai atau skor 1 (rendah) sampai skor tinggi (7),

42
Universitas Sumatera Utara

43

skor tersebut adalah dengan menggolongkan menjadi 4 level gerakan atau aksi itu
memberikan sebuah indikasi dari kerangka waktu yang mana layak untuk
mengekspektasi pengendalian risiko yang akan diajukan.
Proses penilaian risiko pekerjaan dengan menggunakan metode RULA
dilakukan dengan menggabungkan antara nilai dari table A dengan nilai dari table
B. Gunakan tabel A untuk menghasilkan skor tunggal dari lengan atas, lengan
bawah dan pergelangan tangan. Kemudian dicatat dalam table dan dimasukan ke
dalam skor penggunaan tenaga dan skor beban untuk menghasilkan skor A. Sama
seperti sebelumnya penilaian punggung, leher dan kaki digunakan untuk
menghasilkan nilai tunggal yang menggunakan tabel B. Penilaian ini akan
kembali dilakukan apabila risiko terhadap muskuloskeletal berbeda. Penilaian
kemudian ditambahkan dengan skor penggunaan tenaga dan skor beban untuk
menghasilkan nilai B. Nilai A dan B dimasukan kedalam Tabel C dan kemudian
nilai tunggal didapatkan. Nilai tunggal ini adalah skor C atau skor keseluruhan.
Hasil ukur dengan metode RULA dapat dikategorikan menjadi :
1. Risiko rendah (skor 1-2)
2. Risiko Sedang (skor 3-4)
3. Risiko Tinggi (skor 5-6)
4. Risiko Sangat Tinggi (skor 7)
(Stanton, 2005)
2.5.3

Penilaian Musculoskeletal Disorders (MSDs) dengan Nordic Body Map
Nordic Body Map (NBM) merupakan salah satu metode pengukuran

subyektif untuk mengukur rasa sakit pada otot pekerja. Nordic Body Map paling

43
Universitas Sumatera Utara

44

sering digunakan untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja karena
sudah terstandarisasi dan tersusun rapi. Pengisian Nordic Body Map ini bertujuan
untuk mengetahui bagian tubuh dari pekerja yang terasa sakit sebelum dan
sesudah melakukan pekerjaan.
Kuesioner ini menggunakan gambar tubuh manusia yang dibagi menjadi 9
bagian utama yaitu; leher, bahu, punggung bagian atas, siku, punggung bagian
bawah, pergelangan tangan/tangan, pinggang/pantat, lutut dan tumit/kaki.
Responden yang mengisi kuesioner diminta untuk menunjukkan ada atau tidaknya
gangguan pada bagian-bagian tubuh tersebut.

44
Universitas Sumatera Utara

45

Keterangan:
0. Leher Bagian Atas
1. Leher Bagian Bawah
2. Bahu Kiri
3. Bahu Kanan
4. Lengan Atas Kiri
5. Punggung
6. Lengan Atas Kanan
7. Pinggang Belakang
8. Pinggul Belakang
9. Pantat
10. Siku kiri
11. Siku kanan
12. Lengan bawah kiri
13. Lengan bawah kanan
14. Pergelangan tangan
kiri
15. Pergelangan tangan
kanan
16. Telapak tangan kiri
17. Telapak tangan kanan
18. Paha kiri
19. Paha kanan
20. Lutut kiri
21. Lutut kanan
22. Betis kiri
23. Betis kanan
24. Pergelangan kaki kiri
25. Pergelangan kaki
kanan
26. Telapak kaki kiri
27. Telapak kaki kanan

Gambar 2.5 Nordic Body Map

45
Universitas Sumatera Utara

46

2.6

Kerangka Konsep

Faktor Individu
-umur
-jenis kelamin
-masa kerja
-lama kerja
Musculoskeletal Disorders
(MSDs)

-kebiasaan merokok

Faktor Pekerjaan
Sikap Kerja

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian

46
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Sales Promotion Girl (SPG) Pengguna Sepatu Hak Tinggi di Suzuya Medan Plaza pada Tahun 2015

33 205 129

Faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan musculosletal disorders pada welder di bagian fabrikasi PT. Caterpillar Indonesia

2 14 120

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders pada Pekerja di Bagian Polishing PT. Surya Toto Indonesia. Tbk Tangerang Tahun 2011

0 15 205

Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Pengrajin Sepatu di Perkampungan Industri Kecil (PIK) Penggilingan Kecamatan Cakung Tahun 2013

2 28 147

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Pembuatan Dodol di Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2016

0 15 199

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Pembuatan Dodol di Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2016

1 1 20

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Pembuatan Dodol di Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2016

0 0 2

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Pembuatan Dodol di Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2016

0 0 10

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Pembuatan Dodol di Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2016

1 2 3

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Pembuatan Dodol di Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2016

0 0 60