Peran Petugas Kesehatan dan Pengawas Menelan Obat PMO) dalam Pengobatan TB Paru dengan Strategi DOTS pada Puskesmas di Kota Langsa

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Tuberculosis
2.1.1. Pengertian
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
mycobakterium tuberculosis. Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksius

yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma
dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat
menular dari penderita kepada orang lain (Santa et al., 2009). Menurut Smeltzer &
Bare (2001), tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis.
Kemenkes RI (2011) menyatakan tuberkulosis merupakan penyakit menular
langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis).
Sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya. seperti pleura, kelenjar lymphe, tulang, dll (Aditama dkk,
2008).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tuberculosis paru adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobakterium tuberculosis suatu basil yang
tahan asam yang menyerang parenkim paru atau bagian lain dari tubuh manusia.


2.1.2. Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis
merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 2 - 4 μm dengan tebal
0,2 - 0,6 μm. Sebagian besar komponen mycobacterium tuberculosis adalah berupa
lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan
terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni
menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, mycobacterium

7
Universitas Sumatera Utara

tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya
tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis
(Somantri, 2008).
Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga
menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria
tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi dari
oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk

menggandakan diri dan pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat
dalam waktu 6-8 minggu (Putra, 2010). Suhu optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan
pH 6,4-7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit.
Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet.
Selnya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya akan
mikolat (Mycosida ) yang melindungi sel mikobakteria dari lisosom serta menahan
pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (basil tahan asam) (Herchline, 2013).
Mikobakteria cenderung lebih resisten terhadap faktor kimia daripada
bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan pertumbuhannya
yang bergerombol. Mikobakteria ini kaya akan lipid., mencakup asam mikolat
(asam lemak rantai-panjang C78-C90), lilin dan fosfatida.Dipeptida muramil (dari
peptidoglikan)

yang

membentuk

kompleks

dengan


asam

mikolat

dapat

menyebabkan pembentukan granuloma; fosfolipid merangsang nekrosis kaseosa.
Lipid dalam batas-batas tertentu bertanggung jawabterhadap sifat tahan-asam
bakteri (Brooks, et al. 1996).
2.1.3. Gejala klinis TB paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.

8
Universitas Sumatera Utara


Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung (Kemenkes RI, 2011).
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori.
1. Gejala respiratori, gejala ini sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala
yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari batuk
produktif ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada.
2. Gejala sistemik, yaitu gejala yang timbul dapat berupa demam, keringat malam,
anoreksia, berat badan menurun (PDPI, 2011).

2.1.4. Diagnostik TB Paru
Gejala utama penderita TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan.


Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada

penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,
dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka
setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang tersangka (suspek) penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Depkes, 2007). Bila hanya I spesimen yang
BTA positif (2 spesimen lainnya negatif), maka perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut misalnya foto rontgen dada atau pemeriksaan sputum diulang kembali, bila
ada fasilitas dapat dilakukan pemeriksaan kultur (Kemenkes RI, 2011). Bila ketiga
spesimen sputum hasilnya negatif, namun gejala klinisnya tetap mencurigai TB,

9
Universitas Sumatera Utara

maka tersangka diberi antibiotik spektrum luas selama 1 - 2 minggu (misalnya

kotrimoksasol atau ampisillin). Bila tidak ada perubahan maka tersangka perlu
diperiksa lebih lanjut misalnya dengan foto rontgen thorax untuk memastikan
tersangka tersebut menderita TB paru atau tidak (Kemenkes RI, 2011).
Adapun gambaran klinis TB paru adalah gejala sistemik seperti demam yang sering
timbul sore dan malam hari disertai keringat yang banyak dengan suhu tinggi 4041°C, malaise dan gejala respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak nafas serta
nyeri dada (PDPI, 2011).
Diagnosa TB paru pada anak dengan bahan pemeriksaan sputum merupakan hal
yang sulit karena anak tidak mampu mengeluarkan sputumnya, sebagian besar
diagnosa TB paru anak didasarkan adanya gambaran klinis, radiologis dan
tuberculin test (Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoriumnya penderita TB paru dapat dibagi
atas (Kemenkes R.I, 2011):

1. Penderita TB Paru BTA positif: jika sekurang - kurangnya 2 dari 3 spesimen
sputum hasil pemeriksaan BTA positif dan jika 1 spesimen sputum hasilnya
BTA positif dan adanya kelainan yang menunjukkan gambaran tuberkulosis
aktif pada foto rontgen dada.

2. Penderita TB paru BTA negatif: bila pada pemeriksaan 3 spesimen sputum
hasilnya BTA negatif dan tidak adanya kelainan yang menggambarkan

tuberkulosis aktif pada foto rontgen dada.

10
Universitas Sumatera Utara

Skema 2.1. Alur Diagnosis TB Paru (Kemenkes RI, 2011)

2.1.5. Klasifikasi TB Paru
Berdasarkan hasil pemerikasaan sputum, TB paru dikategorikan menjadi TB
Paru BTA positif dan TB Paru BTA Negatif. TB Paru BTA positif sekurangkurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak

11
Universitas Sumatera Utara

menunjukkan BTA positif dan biakan positif. Selanjutnya, TB Paru BTA Negatif,
hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan
kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali
menunjukkan BTA negatif dan biakan menunjukkan tuberkulosis positif (PDPI,

2011).
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa
tipe pasien, yaitu: (1) Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). (2)
Kasus kambuh (Relaps), adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). (3) Kasus
setelah putus berobat (default), adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat
2 bulan atau lebih dengan BTA positif. (4) Kasus setelah gagal (Failure), adalah
pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. (5) Kasus Pindahan (Transfer In),
adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya. (6) Kasus lain, adalah semua kasus yang tidak
memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu
pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan
ulangan (Kemenkes RI, 2011).

2.1.6. Cara Penularan TB Paru
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak

(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.Daya penularan seorang

12
Universitas Sumatera Utara

penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Faktor yang kemungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
(Kemenkes RI, 2011). Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan
percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan
risiko penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko
penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu


tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB
dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative menjadi positif (Kemenkes
RI, 2011).

2.1.7. Penatalaksanaan TB paru
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011), pengobatan TB bertujuan
untuk: (1) menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan
produktivitas, (2) mencegah kematian, (3) mencegah kekambuhan, (4) mengurangi
penularan, (5) mencegah terjadinya resistensi obat.
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: (1)
obat anti tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa
jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan,
jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi), pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. (2) untuk
menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO)

(Kemenkes, 2011).
Menurut Kemenkes RI (2011), OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari

beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap, yaitu:

(1) Tahap

13
Universitas Sumatera Utara

Awal (Intensif), pada tahap ini penderita mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi

langsung

untuk

mencegah

terjadinya

resistensi

(kekebalan).Bila

pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.Sebagian besar
penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. (2)
Tahap lanjutan, pada tahap ini penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Apabila
paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu
pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat
(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment
Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Kemenkes RI, 2011).

Menurut Kemenkes RI (2011), paduan OAT disediakan dalam bentuk paket
kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk penderita dalam satu
masa

pengobatan. Program

Nasional

Penaggulangan TBC

di

Indonesia

menggunakan paduan OAT: (1) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) (2HRZE), kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R),
diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan
untuk penderita baru TB Paru BTA positif , TB Paru BTA negatif Rontgen positif
yang

sakit

berat,

dan

TBC

Ekstra

paru

berat.

(2)

Kategori

2

(2HRZE/HRZE/5H3R3E3), tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri
dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E)
dan suntikan Streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan dengan 1 bulan Isoniazid
(H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga
kali seminggu.Perlu diperhatikan bahwa suntikan Streptomisin diberikan setelah
penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps),
gagal (failure) dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

14
Universitas Sumatera Utara

Kategori selanjutnya yaitu: (3) Kategori 3 (2HRZ/4H3R3), tahap intensif
terdiri dari HRZ yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan
dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan yang diberikan 3 kali
seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan pada penderita baru BTA negatif dan
rontgen positif sakit ringan serta penderita Ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar
limfe (limfademitis), pleuritis eksudativa unilateral , TBC kulit, TBC tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. (4) OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pen gobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari
selama satu bulan.Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R),
Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat -obat tersebut diberikan setiap hari selama
2 bulan.
Tabel 2.1. Pengelompokan OAT (Kemenkes RI, 2011)

Tabel 2.2. Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama (Kemenkes RI, 2011)

15
Universitas Sumatera Utara

2.1.8. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB
2.1.8. 1. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk
memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau
kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen sebanyak dua kali (sewaktu
dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut
negatif. Bila salah satu specimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan
ulang dahak tersebut. Tindak lanjut hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis
dapat dilihat pada tabel 2.3 (Kemenkes RI, 2011).

Tabel 2.3 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak (Kemenkes RI,
2011)

16
Universitas Sumatera Utara

2.1.8.2. Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur
Penatalaksanaan pengobatan pada pasien yang berobat tidak teratur seperti yang
terlihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur (Kemenkes RI, 2011)

Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan
sebelumnya kurang dari 5 bulan: lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis
selesai dan 1 bulan sebelum akhirpengobatan harus diperiksa dahak.

17
Universitas Sumatera Utara

2.1.8.3 Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
1. Sembuh, pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan
apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan
sebelumnya
2. Pengobatan Lengkap, Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
tetapi tidak tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu
pemeriksaan sebelumnya.
3. Meninggal, adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
4. Putus berobat (Default), adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
5. Gagal, pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
6. Pindah (Transfer out), adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan
(register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
7. Keberhasilan pengobatan (treatment success), jumlah yang sembuh dan pengobatan
lengkap. Digunakan pada pasien dengan BTA+ atau biakan positif.

2.1.9. Strategi DOTS
Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) merupakan salah satu
strategi pemberantasan tuberkulosis paru yang direkomendasikan oleh badan
kesehatan dunia (WHO) yang terdiri atas lima komponen yaitu : (1) komitmen
politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi TB Paru, (2)
diagnosis penyakit TB Paru melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (3)
pengobatan TB Paru dengan paduan OAT jangka pendek dengan pencatatan dan
pelaporan dalam mengawasi penderita menelan obat secara teratur dan benar
pengawasan langsung oleh PMO, (4) kesinambungan persediaan OAT jangka
pendek untuk penderita dan (e) pencatatan dan pelaporan secara baku untuk
memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru
(Kemenkes RI, 2011)
Setelah keberhasilan uji coba di dua provinsi yaitu provinsi Jambi dan Jawa
Timur, akhirnya Kementerian Kesehatan mengadopsi strategi DOTS untuk

18
Universitas Sumatera Utara

diterapkan secara nasional pada tahun 1995. Pada fase 1995-2000, pedoman
nasional disusun dan strategi DOTS mulai diterapkan di Puskesmas. Seperti halnya
dalam implementasi sebuah strategi baru, terdapat berbagai tantangan di lapangan
dalam melaksanakan kelima strategi DOTS. DOTS adalah strategi yang
komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia,
untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB Paru.Dengan menggunakan
strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB Paru dapat berlangsung dengan
cepat.DOTS bertujuan untuk memutuskan rantai penularan di masyarakat dengan
mengobati penderita BTA positif sampai sembuh (Kemenkes RI, 2003 ).
Strategi DOTS diartikan sebagai berikut (Tety, dkk, 1999):
1. D (Directly), yaitu dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop untuk mencntukan
apakah ada kuman TB atau tidak. Agar lcasus penderita TB dapat disembuhkan, make
prioritas utama dari setiap program TB harus langsung pada sumber penyakit. Jadi,
penderita dengan pemeriksaan sputum BTA positif langsung diobati sampai sembuh.
2. O (Observed) yaitu ada observer yang mengamati pasien dalam minum obat. Yang
diamati yaitu saat minum obat dan dosis obat. Observer dapat berupa seorang tenaga
kesehatan atau kader terlatih.
3. T (Treatment), pasien disediakan pengobatan lengkap serta dimonitor. Pasien harus
diyakinkan bahwa mereka akan sembuh setelah pengobatan selesai. Alat monitor
berupa buku laporan yang merupakan bagian dari sistem dokumen kemajuan dalam
penyembuhan.
4. S (Shortcourse), pengobatan TB dengan kombinasi dan dosis yang benar. Obat anti TB
dikenal dengan Shortcourse chemotheraphy. Pengobatan harus dilakukan dalam jangka
waktu yang benar selama 6 bulan.

Salah satu permasalahan dalam Program Penanggulangan TBC adalah lamanya
jangka waktu pengobatan yang harus dijalani penderita selama 6 sampai 8 bulan.
Kegagalan proses pengobatan akibat ketidaktaatan penderita pada instruksi dan
aturan minum obat yang meliputi dosis, cara, waktu minum obat dan periode, akan
mengakibatkan terjadinya kekebalan terhadap semua obat Multiple Drugs
Resistance dan mengakibatkan terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2011).

19
Universitas Sumatera Utara

2.2. Peran Petugas Kesehatan.
Undang – undang

Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang dimaksud

petugas atau tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan,memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan
di bidangkesehatan yang memerlukan kewenangan dalam menjalankan pelayanan
kesehatan. Peran adalah suatu yang diharapkan dari seseorang dalam situasi sosial
tertentu agar memenuhi harapan (Setiadi, 2008). Peran petugas kesehatan adalah
suatu kegiatan yang diharapkan dari seorang petugas kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Petugas kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah petugas
kesehatan yang menjadi petugas pengelola program pemberantasan TB paru di
Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan di Puskesmas.
Penerapan strategi DOTS, petugas kesehatan diperlukan untuk memberi
pelayanan kesehatan terutama pengobatan TB Paru, pencegahan dan promosi
kesehatan serta pendidikan kesehatan terhadap penderita TB paru mengenai
pentingnya keteraturan dan kepatuhan berobat. Penyediaan informasi, pendidikan
kesehatan dan komunikasi adalah strategi yang penting dalam mengendalikan
Tuberkulosis. Informasi, pendidikan kesehatan dan komunikasi memerlukan media
massa dan pendekatan interpersonal. Komunikasi melalui pendekatan interpersonal
dapat memberikan respon yang lebih baik terhadap pesan pendidikan kesehatan
(Mar’ah Has, 2014)
Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan Puskesmas merupakan bagian dari
struktur organisasi Program Pengendalian TB Nasional (Kemenkes RI, 2011).
Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan tulang punggung dalam
program pengendalian TB. Setiap kabupaten/kota memiliki sejumlah FPK primer
berbentuk Puskesmas, terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM),
Puskesmas Satelit (PS) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM). Pada saat ini
Indonesia memiliki 1.649 PRM, 4.140 PS dan 1.632 PPM. Selain Puskesmas,
terdapat pula fasilitas pelayanan rumah sakit, rutan/lapas, balai pengobatan dan
fasilitas lainnya yang telah menerapkan strategi DOTS. Tenaga yang telah dilatih

20
Universitas Sumatera Utara

strategi DOTS berjumlah 5.735 dokter Puskesmas, 7.019 petugas TB dan 4.065
petugas laboratorium (Kemenkes RI, 2011).
Pada tingkat Kabupaten/kota, Kepala Dinas Kesehatan bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan program kesehatan, termasuk perencanaan, pembiayaan dan
pemantauan pelayanannya. Di seksi P2M Wakil supervisor (wasor) TB
bertanggung jawab atas pemantauan program, register dan ketersediaan obat.
Pemantauan pengobatan di bawah tanggung jawab tenaga di FPK dan pada
umumnya peran Pengawasan Minum Obat (PMO) dilakukan oleh anggota keluarga.
Di tingkat Provinsi, telah dibentuk tim inti DOTS yang terdiri dari Provincial
Project Officer (PPO) serta staf Dinas Kesehatan, khususnya di provinsi dengan

beban TB yang tinggi. Beberapa provinsi dengan wilayah geografis yang luas dan
jumlah FPK yang besar, telah mulai dikembangkan sistem klaster kabupaten/kota
yang bertujuan utama untuk meningkatkan mutu implementasi strategi DOTS di
rumah sakit. Rutan, lapas serta tempat kerja telah terlibat pula dalam program
pengendalian TB melalui jejaring dengan Kabupaten/kota dan Puskesmas
(Kemenkes RI, 2011).
Pencapaian angka kesembuhan TB paru ditentukan oleh keberhasilan
pengobatan. Angka kesembuhan menunjukkan persentase pasien baru TB Paru
BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan diantara pasien baru TB
Paru BTA positif yang tercatat. Adapun mengenai indikator angka kesembuhan,
WHO menetapkan target global angka kesembuhan sebesar 85% (Depkes RI,
2007). Untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi, pengobatan TB
membutuhkan peran dan kinerja yang baik dari tenaga kesehatan. Oleh karena itu,
pencapaian angka kesembuhan sebesar 85% menunjukkan kinerja baik dari Petugas
P2 TB (Kemenkes, 2012).
Kinerja Petugas P2 TB sangat penting diperhatikan dalam rangka
pencapaian angka kesembuhan TB Paru. Peran petugas kesehatan yang bagus dapat
meningkatkan keberhasilan pengobatan yakni kesembuhan TB Paru. Penyebab
utama rendahnya angka kesembuhan adalah faktor pengobatan (Xianqin et. al,
2010). Peran petugas P2 TB dalam melakukan pengobatan TB Paru tidak terlepas

21
Universitas Sumatera Utara

dari faktor yang berhubungan dengan kinerja petugas itu sendiri. Menurut teori
kinerja yang dikemukakan oleh Gibson bahwa tiga faktor yang mempengaruhi
perilaku kerja dan kinerja individu yaitu; faktor individu (pengetahuan), faktor
organisasi (kompensasi) dan faktor psikologis (sikap dan motivasi) (Gari, 2009).
Puskesmas merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan pemberantasan
penyakit menular seperti TB paru. Peran tenaga kesehatan pengelola program TB
paru di Puskesmas sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan pengobatan TB paru.
Setiap puskesmas memiliki petugas pengelola program TB paru dengan tugas
pokok dan fungsi (tupoksi) sebagai berikut (Maryun, 2007):
1. Menemukan Penderita
a) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
b) Menjaring suspek baru (tersangka penderita) TBC
c) Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek Form Tb 06
d) Membuat sediaan hapus dahak
e) Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium dengan form TB 05
f)

Menegakkan diagnosis TB sesuai protap

g) Membuat klasifikasi penderita
h) Mengisi kartu penderita (TB 01) dan kartu identitas penderita (B 02)
i)

Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TBC BTA (+)

j)

Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang
ditemukan.

2. Memberikan Pengobatan
a) Menetapkan jenis paduan obat
b) Memberi obat tahap intensif dan tahap lanjutan
c) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (form TB 01)
d) Menentukan PMO (bersama penderita)
e) Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO
f)

Memantau keteraturan berobat

g) Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan

22
Universitas Sumatera Utara

h) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
i) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita
3. Penanganan Logistik
a) Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
b) Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formulir, reagens, dll)
4. Menjaga mutu pelayanan semua kegiatan dalam pengelolaan TB paru.
2.3. Pengawas Menelan Obat (PMO)
2.3.1. Pengertian
Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah orang yang mengawasi secara
langsung terhadap penderita tuberkulosis paru pada saat minum obat setiap harinya
dengan menggunakan panduan obat jangka pendek (Kemenkes RI, 2011). PMO
bisa berasal dari keluarga, tetangga, kader atau tokoh masyarakat atau petugas
kesehatan. Pengawas Menelan Obat merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin kepatuhan penderita untuk minum obat sesuai dengan dosis dan jadwal
seperti yang telah ditetapkan.
2.3.2. Tujuan Penggunaan Pengawas Menelan Obat (PMO)
Menurut Ditjen PPM dan PLP (1997) bahwa tujuan penggunaan Pengawas
Menelan Obat (PMO) pada penderita tuberkulosis paru adalah : 1) untuk menjamin
ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai jadwal yang ditentukan pada awal
pengobatan, 2) untuk menghindari penderita dari putus berobat sebelum waktunya,
dan 3) untuk mengurangi kemungkinan pengaobatan dan kekebalan terhadap
O7AT. Selain itu, sebagai salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan
OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh PMO. Untuk menjamin
kesembuhan dan keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

2.3.3. Persyaratan Pengawas Menelan Obat (PMO).
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang PMO adalah (Kemenkes RI,
2011):

23
Universitas Sumatera Utara

1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan desa, perawat, pekarya
kesehatan, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI,
PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
2.3.4. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)
Menurut Kemenkes RI (2011), seseorang yang telah ditunjuk menjadi PMO
mempunyai kewajiban sebagai berikut: (1) Mengikuti pelatihan singkat dari
petugas kesehatan mengenai penyakit atau bahayanya tuberkulosis, mengenai
perlunya minum obat dengan teratur dan penyelesaian pengobatan sesuai jadwal,
perlunya evaluasi dahak dan efek samping obat serta kapan harus meminta
pertolongan. (2) Mengawasi minum obat harian di rumah. (3) Mencatat obat yang
telah diminum dan mencatat keluhan yang dialami penderita. (4) Ikut serta dalam
pengambilan obat berikutnya sebelum obat habis dan ikut dalam pemeriksaan
dahak penderita. (5) Memberi motivasi ke penderita supaya tidak terjadi kegagalan
berobat serta menjadi penyuluh kesehatan.
Seorang PMO memiliki peran untuk mengawasi penderita TB agar menelan
obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada penderita
agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada
waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita
TB yang mempunyai gejala-gejala yang dicurigai TB untuk segera memeriksakan
diri ke Unit Pelayanan Kesehatan, dan tugas seorang PMO bukanlah untuk
mengganti kewajiban penderita mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.
Petugas kesehatan harus memberikan informasi penting yang perlu dipahami PMO
untuk disampaikan kepada penderita dan keluarganya bahwa TB disebabkan kuman
bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat disembuhkan dengan berobat

24
Universitas Sumatera Utara

teratur, cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya, cara pemberian pengobatan penderita (tahap intensif dan lanjutan),
pentingnya pengawasan supaya penderita berobat secara teratur, kemungkinan
terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK
(Kemenkes RI, 2011).
Penelitian yang dilakukan

Sumarman dan Krisnawati (2012) yang

menemukan bahwa peran PMO yang kurang baik berisiko sebesar 3.013 kali untuk
menyebabkan pasien tidak patuh periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan
dibandingkan dengan pasien yang memiliki peran PMO yang baik. Sama halnya
yang ditemukan oleh Sumange (2010) menemukan bahwa ada hubungan antara
peran PMO dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru16. Dukungan sosial oleh
PMO berupa dukungan emosional meningkatkan motivasi kepada pencderita TB
Paru untuk sembuh.
Pare, Amiruddin & Leida (2013) dalam penelitiannya juga mendapatkan
hasil bahwa metode DOTS sangat berpengaruh terhadap sikap pasien terhadap
keteraturan minum obat. Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan
paduan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) jangka pendek dengan pengawasan
langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO
(Pengawas Menelan Obat). Namun dalam penelitian mereka menemukan bahwa
peran PMO tidak berjalan dengan seharusnya.

25
Universitas Sumatera Utara