Skrining Mukosa Bukal Rongga Mulut Perokok Kretek Dengan Menggunakan Pewarnaan Papanicolaou Yang Dihubungkan Dengan Nilai mAgNOR

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Merokok sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian masyarakat Indonesia, hal
ini terlihat dari jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai lebih dari 66 juta orang,
sehingga Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia.5
Sebagian besar perokok aktif merupakan remaja usia produktif dan masyarakat kelas
menengah kebawah.2 Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko utama kanker
rongga mulut.7 Cancer Council Vicotoria (2012) melaporkan sebesar 85% insidensi
kanker rongga mulut terjadi akibat kebiasaan merokok.7 Kanker rongga mulut berada
pada urutan keenam kanker yang paling banyak di dunia dan merupakan penyebab
kematian kedua terbesar akibat penyakit tidak menular.9-11
2.1 Rokok
Rokok merupakan kertas berbentuk silinder yang berisi 100-800 mg daun
tembakau kering yang sudah dicacah yang memiliki panjang 74-85 mm, diameter 8
mm dengan ukuran filter 25-30 mm. Rokok dikonsumsi dengan cara dibakar pada salah
satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asap yang dihasilkan dapat dihisap dari
ujung lainnya.1
Terdapat berbagai jenis rokok yang beredar di masyarakat, diantaranya rokok

kretek, rokok putih, rokok pipa, rokok kelewung, rokok kelembak, cerutu dan lain
sebagainya. Dari sekian banyak jenis rokok, rokok putih dan rokok kretek merupakan
jenis rokok yang paling banyak diproduksi di Indonesia.2
2.1.1 Rokok Putih
Rokok putih adalah rokok dengan kandungan tembakau murni tanpa tambahan
bahan lain. Pada tahun 2010 produksi rokok putih mencapai 12% dari semua jenis
rokok yang diproduksi di Indonesia. Kandungan tar pada rokok putih sekitar 10 mg tar
per bungkus rokok. Di Indonesia persentase perokok yang mengkonsumsi rokok putih
hanya sebesar 3,7%.2

Universitas Sumatera Utara

6

2.1.2 Rokok Kretek
Rokok kretek merupakan rokok khas Indonesia dengan bahan dasar tembakau
dan cengkeh. Rokok kretek mengandung 60–70% tembakau, 30–40% cengkeh serta
bahan campuran lainnya. Sekitar 85-90% rokok yang beredar di Indonesia adalah
rokok kretek.2 Industri rokok kertek di Indonesia mampu memproduksi lebih dari 100
juta batang rokok setiap harinya.3 Kadar tar dalam sebungkus rokok kretek kategori

ringan mencapai 14 mg dengan kandungan nikotin seberat 1,0 mg. Kandungan safrol
dan methyleugenol (MEG) dalam cengkeh yang terdapat pada rokok kretek dianggap
berpotensi menyebabkan kanker.1-3

Gambar 1. Komponen rokok. 19
2.1.3 Bahan Kimia Dalam Rokok Kretek
Asap rokok mengandung lebih dari 4000 zat kimia yang berbahaya bagi tubuh
manusia, diketahui 70 diantaranya dapat menyebabkan kanker. Diantara sekian banyak
zat kimia dalam asap rokok, nikotin, tar dan karbon monoksida merupakan zat yang
paling sering menyebabkan masalah kesehatan. 1-3
Nikotin adalah senyawa kimia organik kelompok alkaloid yang dihasilkan
secara alami oleh tembakau. Di dalam darah, nikotin tidak bersifat karsinogenik namun
hasil pembakaran rokok menyebabkan nikotin teroksidasi menjadi dibensakridin,
dibensokarbasol dan nitrosamine yang merupakan karsinogen kuat sehingga
berpotensi menyebabkan kanker.4

Universitas Sumatera Utara

7


Tar merupakan substansi hidrokarbon dalam asap rokok yang merupakan sisa
dari proses pembakaran rokok. Tar digunakan untuk menggambarkan akumulasi dari
berbagai macam bahan kimia yang bersifat toksik bagi tubuh. Tar yang dihasilkan dari
pembakaran rokok merupakan partikel berbentuk gas yang dapat masuk kedalam tubuh.
Ketika mendingin tar terkondensasi menjadi padat berwarna cokelat. Salah satu
komponen yang terkandung di dalam tar adalah Polycyclic Aromatic Hydrocarbons
(PAHs) yang dapat berdifusi melalui membran seluler dan bersifat karsinogenik.
Penelitian menunjukkan bahwa PAHs dapat menginduksi DNA dan menyebabkan
hyperproliferative endothelium pada lapisan endotel.3
Karbon monoksida merupakan gas yang dihasilkan dari sisa pembakaran
karbon yang tidak sempurna. Karbon monoksida sering di jumpai pada asap kendaraan
bermotor. Karbon monoksida dapat berikatan dengan haemoglobin (Hb) darah lebih
cepat daripada oksigen, sehingga oksigen tidak dapat berikatan dengan Hb darah.
Sebatang rokok yang dibakar menghasilkan 3 – 6% gas karbon monoksida.3
2.1.4 Perokok
Menurut Conrad, dkk. (2011) perokok dibagi atas tiga kelompok yaitu perokok
aktif, perokok pasif (secondhand smoker), dan thirdhand smoker. Perokok aktif adalah
orang yang merokok secara langsung dan dapat diklasifikasikan berdasarkan
kemampuannya menghisap rokok.4 Orang yang merokok kurang dari 10 batang per
hari disebut perokok ringan, 11–20 batang per hari disebut perokok sedang dan lebih

dari 20 batang rokok per hari disebut perokok berat.20-23
Dampak dari kebiasaan merokok tidak langsung terlihat, butuh waktu 5-10
tahun hingga bahan kimia dari asap rokok terakumulasi di dalam tubuh dan pada titik
toksisitas tertentu dapat menimbulkan berbagai gejala.3 Menurut Riskesdas, (2013)
sebesar 67% perokok didominasi oleh laki-laki, hal ini dipengaruhi oleh faktor
psikologis di masyarakat dan faktor fisiologis berupa reaksi adiksi terhadap nikotin.3,6

Universitas Sumatera Utara

8

A

B

Gambar 2. Perokok. (A) Perokok aktif (B) Perokok pasif
(second hand smoker)21
Perokok pasif (secondhand smoker) adalah orang yang terpapar dan terhirup
asap rokok secara tidak langsung. Perokok pasif memiliki risiko yang lebih tinggi
terkena dampak buruk karena terhirup lebih banyak residu asap rokok. Thirdhand

smoker adalah orang yang terhirup residu rokok hasil dari endapan asap rokok yang
ada di udara dan yang menempel pada benda benda meskipun asap rokok tersebut
sudah tidak ada,3
2.2 Mukosa Rongga Mulut
Mukosa rongga mulut adalah jaringan berbentuk lapisan atau membran yang
melapisi bagian pada rongga mulut. Membran ini melapisi daerah yang terpapar
lingkungan luar seperti mukosa pipi, lidah, bawah lidah dan bagian lainnya. Mukosa
rongga mulut mempunyai fungsi utama sebagai pelindung jaringan di rongga mulut,
selain itu sebagai organ sensoris, aktifitas kelenjar, dan sekresi.24
Secara histologi mukosa mulut terdiri dari dua lapisan, yang pertama adalah
lapisan epitelium, yang melapisi di bagian permukaan luar, sel-sel ini disebut dengan
stratified squamous epithelium. Sel epitel terdiri dri sel epitel berkeratin dan tidak
berkeratin. Lapisan keratin melindungi rongga mulut terhadap kerusakaan pada saat
proses pengunyahan dan lapisan ini hanya ada pada gingiva dan palatum keras. Mukosa
bukal tidak memiliki lapisan stratum corneum sehingga lebih rentan terhadap jejas.
Lapisan kedua yaitu lamina propria, pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf rasa
sakit, raba, suhu dan perasa.25

Universitas Sumatera Utara


9

2.3 Efek Buruk Merokok Terhadap Rongga Mulut
Merokok dapat menyebabkan berbagai perubahan struktur pada mukosa rongga
mulut. Panas dari asap rokok yang dihisap terus menerus menyebabkan iritasi termal
pada mukosa mulut sehingga lama kelamaan menyebabkan kering dan kerutan pada
mukosa. Dampak buruk yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok terhadap kondisi
rongga mulut antara lain dental stain, smoker’s melanosis, leukoplakia, eritroplakia,
stomatitis nikotina hingga kanker rongga mulut.3
2.3.1 Dental Staining
Dampak yang paling sering terlihat akibat kebiasaan merokok adalah dental
stain, berupa noda kuning kecoklatan pada permukaan gigi yang disebabkan oleh
penumpukan tar. Dental stain paling sering terjadi di permukaan palatal gigi anterior.
Noda ini melekat kuat di permukaan gigi dan tidak mudah dibersihkan. Dibutuhkan
perawatan dental dan niat dari pasien untuk berhenti merokok agar dapat meningkatkan
efektifitas dalam penyingkiran noda tersebut.3,26

A

B


Gambar 3. Dampak kebiasaan merokok pada rongga mulut. (A) Dental
Stain (B) Gingiva Melanosis27
2.3.2 Smoker’s Melanosis
Terdapat hubungan antara pigmentasi melanin gingiva dengan kebiasaan
merokok, gingiva perokok cenderung lebih gelap akibat pigmentasi melanin karena
kebiasaan merokok. Daerah yang paling sering terjadi pigmentasi melanin adalah
gingiva labial anterior.27 Pigmentasi melanin pada gingiva cekat meningkat sebesar 2531% pada perokok. Hal ini disebabkan peningkatan produksi melanin oleh melanosit
yang terdeposit dalam lapisan basal epitel rongga mulut. Benzopyrene dalam asap

Universitas Sumatera Utara

10

rokok diduga merupakan zat yang berpotensi menstimulasi melanosit untuk terus
menghasilkan melanin.3
2.3.3 Stomatitis Nikotina
Stomatitis nikotina merupakan salah satu dampak yang terlihat pada mukosa
rongga mulut akibat dari kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama. Stomatitis
nikotina terjadi pada palatum keras, diawali dengan gejala difusi kemerahan, kemudian

menjadi keabu-abuan dan mengalami pengerutan, Pada kondisi ini terlihat banyak
papula keratotik dengan bagian tengah berwarna merah, cekung dan berhubungan
dengan duktus ekskretorius, kelenjar liur minor melebar serta terjadi peradangan.
Penyebab dari stomatitis nikotina adalah panas dari pembakaran rokok yang
mengiritasi mukosa palatum secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.3,27

Gambar 4. Stomatitis Nikotina27
2.3.4 Leukoplakia dan Eritroplakia
Leukoplakia (lesi prakanker) merupakan bercak putih pada mukosa rongga
mulut sementara eritroplakia merupakan bercak merah pada mukosa rongga mulut.
Kebiasaan merokok berkaitan erat dengan kejadian leukoplakia, dimana 80% pasien
dengan leukoplakia memiliki kebiasaan merokok.27

Universitas Sumatera Utara

11

A

B


Gambar 5. Lesi Prekanker. (A) Leukoplakia (B) Eritroplakia27
Penelitian Starzyńska, dkk. (2014) mengenai distribusi faktor predisposisi
perkembangan leukoplakia melaporkan bahwa leukoplakia terjadi akibat kebiasaan
merokok sebesar 28,92%, alkohol 24,51%, Trauma 14,22% dan protesa 11,76%, hal
ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap insidensi leukoplakia. Iritasi panas dari asap rokok yang
berlangsung terus menerus menyebabkan sel epitel mengalami reaksi berupa penebalan
yang disebut dengan hyperkeratosis. Penebalan sel epitel dapat disertai dengan
orthokeratosis (penebalan tanpa disertai sel yang masih berinti) maupun parakeratosis
(penebalan disertai sel yang masih berinti).27,28
2.3.5 Kanker Rongga Mulut
Kanker merupakan proliferasi sel yang abnormal, disebabkan oleh perubahan
struktur penyusun gen. Proliferasi sel abnormal yang terjadi terus menerus lama
kelamaan akan membentuk populasi sel abnormal selanjutnya dapat menginvasi
jaringan dan bermetastasis. Kanker rongga mulut merupakan bentuk dari pertumbuhan
sel abnormal yang tumbuh dan berkembang disetiap bagian rongga mulut.29 Kanker
rongga mulut dapat disebabkan oleh banyak faktor.12 Salah satu penyebab utama
kanker rongga mulut adalah iritasi panas dari pembakaran rokok dan zat kima
karsinogenik di dalam rokok.30 Asap rokok terdiri dari berbagai macam komponen

yang sangat kompleks. Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAHs) merupakan
karsinogen potensial, Benzopyrene merupakan PAH dalam kadar yang rendah namun
merupakan karsinogen yang paling aktif, sementara karsinogen yang paling banyak

Universitas Sumatera Utara

12

ditemui dalam asap rokok adalah TSNAs (nitrosonornicotine (NNN) dan 4(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanone

(NNK).34,35

PAHs,

TSNAs,

dan

aromatic amines lainnya diserap oleh sel dan dimetabolisme secara aktif melalui
derivat electrophilic kemudian membentuk ikatan kovalen dengan DNA sehingga

terjadi gangguan pada DNA dan proses replikasinya, kerusakan ini berlanjut sehingga
terjadi perkembangan karsinogenesis.3 Proses pembakaran rokok menghasilkan panas
yang secara kronis mengiritasi jaringan mukosa. Kerusakan jaringan epitel yang
menahun dapat menyebabkan lesi prekanker, selanjutnya berpotensi menjadi kanker
rongga mulut.31,32

A

B

Gambar 6. Kanker rongga mulut. (A) Tahap awal
pertumbuhan kanker pada lidah, (B)
Perkembangan
lebih lanjut dari kanker
27
rongga mulut
Karsinogen pada rokok dapat menghambat dan merusak gen p53. Gen p53
secara normal bekerja mengontrol regulasi pertumbuhan dan pembelahan sel dalam
siklus sel, apoptosis, adesi sel serta perbaikan DNA. Jika fungsi gen p53 terganggu
maka risiko terjadinya tumor akan semakin meningkat.33-36 Lebih dari 70% kanker
pada manusia menunjukan kerusakan pada gen p53, apabila terjadi kehilangan p53
secara homozigot maka kerusakan DNA yang terjadi tidak dapat diperbaiki dan mutasi
berkembang menuju kearah transformasi keganasan.34 Kehilangan kromosom 9p21
juga kerap ditemukan pada kanker kepala leher stadium lanjut. Kehilangan protein p16
juga ditemukan pada lesi pre-kanker. Penelitian Ram, dkk. (2009) telah
mengidentifikasikan bahwa transkripsi RNA alternatif untuk p16 dapat disebut sebagai
Alternative rating frame (ARF atau p16β). p16β atau juga bisa disebut p16 ARF pada

Universitas Sumatera Utara

13

sel kanker dapat berfungsi sebagai penekan pertumbuhan. Kehilangan kromosom 17p
sering ditemukan pada penderita kanker rongga mulut. Setidaknya 60% dari lesi invasif
kehilangan kromosom 17p. Inaktifasi p53 berkaitan erat dengan kehilangan kromosom
17p. Kehilangan kromosom lengan pendek (10q dan 13q) juga sering ditemukan pada
kondisi sel yang mengalami tumor primer.9
Nucleophosmin (NPM) merupakan fosfoprotein nuclear yang diperlukan untuk
membentuk rRNA, dimana NPM merupakan protein argyrophilic dari AgNOR. Tanpa
adanya ARF, protein nucleolar seperti NPM akan terus mensintesis rRNA sehingga
meningkatkan pertumbuhan tumor. ARF memegang peranan penting sebagai tumor
suppressive untuk menekan sintesis rRNA yang berpengaru terhadap proliferasi sel.17
Penelitian Brennan, dkk. (1995) yang menganalisis pola mutasi p53 melaporkan,
bahwa kejadian mutasi p53 jauh lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan
perokok.37
Lokasi yang paling sering mengalami insidensi kanker rongga mulut adalah
pada bibir dan lidah. Asap rokok yang menyebar ke seluruh permukaan rongga mulut
tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya kanker rongga mulut pada
bagian lainnya.28 Penelitian Nevile, dkk. (2002) menyebutkan bahwa angka kejadian
kanker rongga mulut pada mukosa bukal 16,5% dan pada lidah sebesar 24,2%.31
Perokok memiliki risiko dua hingga lima kali lebih berisiko terkena kanker rongga
mulut dari pada bukan perokok.32 The International Agency for Research on Cancer
(IARC) menyebutkan bahwa kebiasaan merokok yang diikuti dengan kebiasaan
meminum alkohol memiliki risiko mengalami kanker rongga mulut 75% lebih besar.34

Universitas Sumatera Utara

14

2.4 Siklus Sel

Gambar 7. Skema molekular dasar kanker34
Skema diatas menunjukkan proses prubahan sel normal hingga terjadinya
metastasis. Inaktifasi tumor supresor gen p53 menyebabkan proliferasi berlebih tanpa
adanya apoptosis sehingga sel mengalami metastasis. (gambar 7).34

Universitas Sumatera Utara

15

Gambar 8. Siklus sel dan replikasi sel34
Siklus sel terbagi atas 4 fase yaitu G1 (Presintetik), S (DNA Sintesis), G2
(Premitosis), dan M (Mitosis). Masing-masing fase memiliki fungsi utuk mengaktivasi
dan melengkapi fase sebelumnya. Siklus sel akan terhenti jika fungsinya terganggu.
Diantara G1/S terdapat checkpoint untuk memonitor DNA sebelum replikasi dan
diantara G2/M terdapat checkpoint untuk memonitor DNA setelah replikasi. Checkpoint
dilakukan oleh Tumor Supressor Gen, salah satunya adalah gen p53. Gen p53
merupakan unsur utama dalam memelihara keseimbangan genetik. Fungsi gen p53
adalah untuk mendeteksi sintesis DNA yang salah atau yang mengalami kerusakan
kemudian memperbaikinya atau menginduksi apoptosis. Gen p53 hanya berfungsi baik
dalam keadaan normal. Pada umumnya mutasi pada gen p53 adalah point mutation.
Disfungsi gen p53 dapat terjadi akibat pengikatan gen p53 oleh onkogen.17,34

Universitas Sumatera Utara

16

DNA Damage,
Cell Stress

p53

p21

Gambar 9. Siklus Sel34
Gambar 9 menunjukkan internal kontrol (checkpoint) di dalam siklus sel.
Terdapat dua checkpoint inti, salah satu nya terdapat pada masa transisi antara G1/S
checkpoint dan G2/M checkpoint yang berfungsi untuk memeriksa kerusakan DNA.
Jika ditemukan adanya kerusakan DNA, maka sirkulasi sel akan melambat dan akan
dimanfaatkan untuk memperbaiki DNA yang rusak. Jika kerusakan DNA tidak dapat
diperbaiki maka induksi apoptosis akan diaktifkan dan DNA yang rusak akan
dihancurkan untuk menghindari tebentuknya sel yang mengalami mutasi DNA. Pada
kondisi dengan kerusakan gen p53, sel tidak dapat memperbaiki DNA yang rusak
sehingga sel yang mengalami mutasi DNA terus berproliferasi.34

Universitas Sumatera Utara

17

Gambar 10. Peran p53 pada sel normal dan sel yang mengalami mutasi34
Fungsi apoptosis yang terganggu dapat disebabkan mutasi pada gen pemicu
apoptosis p21. Kerusakan pada gen p21 akan menyebabkan kegagalan apoptosis dan
sel menjadi immortal. Pada kondisi demikian, sel tidak dapat mengaktifasi gen-gen
yang berhubungan dengan gen p53, sehingga tidak terjadi perhentian siklus sel dan
mutasi akan terus terbentuk dengan akhirnya terjadi proses keganasan.34

2.5 Deteksi Dini Kanker Rongga Mulut
Dokter gigi harus lebih peka terhadap kemungkinan terjadinya kanker rongga
mulut. Lesi kronis, lesi merah, lesi putih atau pembengkakan pada membran mukosa
serta lesi lain yang mencurigakan untuk diperiksa lebih lanjut.12,13 Ruang lingkup kerja
dokter gigi yang berada pada area rongga mulut memungkinkan dokter gigi menjadi
yang pertama kali menemukan lesi awal perkembangan kanker rongga mulut. Apabila

Universitas Sumatera Utara

18

lesi awal perkembangan kanker dapat dideteksi sedini mungkin maka perkembangan
ketahap yang lebih lanjut dapat dicegah. Karsinoma dalam ukuran kecil lebih mudah
dieksisi dan belum terjadi metastasis sehingga memiliki prognosis yang baik. Deteksi
dini kanker rongga mulut sangat memungkinkan untuk dilakukan. Kelompok yang
memiliki risiko tinggi terkena kanker rongga mulut dapat diperiksa dan segera dirujuk
untuk mendapatkan diagnosis yang lebih akurat dan penanganan lebih lanjut pada lesi
yang dicurigai.38
Metode skrining tidak didesain untuk mendapatkan hasil diagnosis yang akurat
namun metode ini dapat dilakukan dengan cepat oleh praktisi kesehatan untuk
mendiagnosis kanker rongga mulut pada kelompok dengan risiko tinggi. Deteksi dini
pada kanker rongga mulut telah berhasil diterapkan pada beberapa negara dengan
insidensi kanker rongga mulut yang tinggi.12
2.5.1 Tololinium Chloride (Toluidine Blue)
Toluidine blue adalah bahan pewarna sel yang bekerja dengan cara mengikat
asam nukleat yang dapat digunakan pada pemeriksaan lesi rongga mulut, dengan
harapan lesi karsinoma dan displasia dapat terwarnai menjadi biru. Metode ini sudah
lama digunakan dan dapat menunjukan perubahan warna pada lesi keganasan.
Penegakan diagnosis harus disertai dengan pemeriksaan klinis lebih lanjut. Jika metode
ini digunakan pada lesi ulser, maka pemeriksaan akan menunjukan false positive, hal
ini dapat mengacaukan penegakan diagnosis, sehingga teknik ini hanya cocok
digunakan pada lesi yang benar benar dicurigai. Pada pemeriksaan general skrining,
bahan ini tidak disarankan untuk digunakan karena toluidine blue bersifat
mutagenic.12,29 Pewarnaan toluidine blue 1% bermanfaat sebagai diagnosis penunjang
pada lesi prekanker serta dapat menentukan posisi biopsi dengan tepat.12
2.5.2 Eksfoliatif Sitologi dengan Cytobrush
Eksfoliatif sitologi merupakan studi mengenai sel yang diambil dari permukaan
epitel dari berbagai organ tubuh. Sel berhubungan dengan bagian luar tubuh dapat
digunakan untuk pemeriksaan sitologi. Sampel pemeriksaan diperoleh dari permukaan
epitel dengan cara mengerok, hapusan, aspirasi atau mencuci permukaannya. Sel

Universitas Sumatera Utara

19

normal akan melekat kuat namun dapat mengalami pengelupasan ketika mencapai
maturasi. Pada kondisi inflamasi dan keganasan, pengelupasan sel terjadi secara
berlebihan dan secara mikroskopis menunjukkan morfologi yang berbeda. Sediaan
sitologi yang diambil dan diwarnai secara tepat dapat memberikan informasi yang
akurat mengenai karakteristik sel, rasio inti dan sitoplasma, ukuran dan penampakan
inti sel.15

A

B

Gambar 11. Cytomorphometry. (A) Screenshot program image
analysis system (ProgRess C3) (B) Hasil pengukuran
area inti dan sitoplasma sel epitel39
Dalam beberapa dekade terakhir, telah terjadi perubahan yang dramatis dalam
mendiagnosis suatu penyakit, dari metode histopatologi ke metode molekuler.
Eksfoliatif sitologi merupakan suatu metode yang dapat dilakukan dengan mudah,
cepat dan sederhana. Tahap awal perubahan pada sel kerap kali terjadi pada level
molekuler yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop.39 Meskipun beberapa
penelitian mempertanyakan akurasi pemeriksaan eksfoliatif sitologi, namun teknik ini
telah dikembangkan dan dimodifikasi menjadi lebih baik, diantaranya teknik cytobrush
dan metode cytomorphometry dengan Imagine Analysis System, namun metode
cytomorphometry membutuhkan program khusus dan tenaga ahli yang memadai.13-15
2.6 Processing Laboratorium
Teknik pewarnaan merupakan proses pemberian warna pada unsur-unsur sel
yang akan diperiksa sehingga dapat dilihat dan diinterpretasikan secara jelas serta dapat
dibedakan setiap bagiannya di bawah mikroskop. Terdapat banyak teknik pewarnaan

Universitas Sumatera Utara

20

yang

digunakan

diantaranya

adalah

pewarnaan Hematoxylin

Eosin

(HE),

Papanicolaou (PAP) dan pewarnaan histokimia dengan menggunakan perak nitrat
(AgNOR).15
2.6.1 Pewarnaan Hematoxylin Eosin
Hematoxylin Eosin (HE) adalah metode pewarnaan yang sering digunakan
dalam pewarnaan jaringan histologi maupun sitologi, sehingga dapat membantu dalam
menegakan diagnosis medis dan penelitian. Hematoxylin adalah bahan pewarna yang
sering digunakan pada pewarnaan histoteknik. Hematoxylin bekerja sebagai pewarna
yang mewarnai unsur basofilik jaringan. Hematoxylin bekerja mewarnai inti dan
strukutur basa lainnya di dalam sel menjadi biru. Eosin yang bersifat asam akan
mewarnai komponen asidofilik jaringan seperti mitokondria, granula sekretoris dan
kolagen. Eosin mewarnai sitoplasma dan kolagen menjadi warna merah muda sehingga
pada sediaan HE akan terlihat sediaan preparat berwarna biru dan merah muda.15
2.6.2 Pewarnaan Papanicolaou
Pewarnaan PAP merupakan metode pewarnaan rutin yang sering digunakan
dalam pewarnaan sitologi di laboratorium, teknik ini ditemukan oleh Dr George N.
Papanicolaou, bapak dari eksfoliatif sitologi. Pewarnaan PAP merupakan pewarnaan
dengan reaksi polychrome sehingga dapat menampilkan banyak variasi morfologi
seluler, derajat kematangan sel dan aktifitas metabolisme. Hasil dari pewarnaan PAP
menunjukan pewarnaan nukleus, pewarnaan sitoplasma yang berbeda dan transparansi
sitoplasma. Pewarnaan nukleus menggunakan Hematoxylin dan sitoplasma dengan
Orange G-6 (OG-6) dan EA-36. OG-6 merupakan pewarna monochrome sementara
EA-36 merupakan pewarna polychrome.15 Pewarnaan PAP dapat menunjukan derajat
perubahan sel, mulai dari sel normal, displasia hingga karsinoma.10

Universitas Sumatera Utara

21

A

B

C

Gambar 12. Pewarnaan PAP. (A) Sel epitel normal menunjukan n/c ratio < 50%. (B)
Sel epitel displasia menunjukan n/c ratio sekitar 50% (C). Karsinoma sel
epitel skuamosa menunjukan perbandingan n/c ratio > 50%40
2.6.3 Pewarnaan AgNOR
Nukleus merupakan bagian di dalam sel yang berperan penting dalam
mengendalikan proliferasi dan sintesis protein. Di dalam nukleus terdapat nukleolus
yang dibentuk dari ribosal DNA (rDNA). Bagian kromosomal dari nukleolus disebut
Nucleolar organizer regions (NORs) dan terletak pada lengan pendek kromosom
akrosentrik 13, 14, 15, 21 dan 22 16,41,42 NORs mengandung gen ribosomal, zat asam,
dan protein non-histon yang dapat mengikat ion perak (Agryrophilic) dan dapat dilihat
secara selektif dengan metode pewarnaan perak nitrat (AgNOR).16 Pewarnaan AgNOR
merupakan pewarnaan histokomia, di bawah mikroskop cahaya AgNOR terlihat
sebagai titik-titik hitam yang terletak di dalam nukleus.42 Secara kuantitatif jumlah
AgNORs pada nukleus menjadi penanda dari aktivitas proliferasi sel, secara kualitatif
(berdasarkan bentuk, ukuran dan pola distribusi) AgNOR berperan sebagai penanda
perubahan kearah premalignan ataupun malignant. Frekuensi AgNOR lebih banyak
muncul pada sel ganas daripada sel normal, reaktif atau sel neoplastik jinak.10,43

Universitas Sumatera Utara

22

A

B

C

Gambar 13. Pewarnaan AgNOR. (A) Sel epitel normal menunjukkan
jumlah titik 1-2 (B) Sel epitel displasia menunjukkan
jumlah titik >3 (C). Karsinoma sel epitel skuamosa
menunjukkan jumlah titik >3 dengan kualitas yang
buruk dan ukuran titik yang besar44
Penelitian menunjukkan bahwa AgNOR dapat digunakan untuk melihat adanya
perubahan aktifitas biologis pada karsinoma sel skuamosa. Hasil observasi
menunjukan bahwa sel ganas memiliki jumlah AgNOR yang lebih banyak
dibandingkan dengan sel yang jinak dan normal. Pada sel ganas jumlah AgNOR terlihat
banyak dengan bentuk blebs tidak beraturan dan ukuran yang relatif besar. Pada sel
jinak jumlah AgNOR terlihat lebih sedikit dengan bentuk dots teratur berukuran
kecil.18,43-7 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kemungkinan awal
ditemukanya tanda keganasan dari titik-titik AgNOR. Pewarnaan AgNOR cukup mudah,
murah, cepat dan menghasilkan informasi yang cukup akurat mengenai tingkat
keganasan pada sel. Kombinasi penggunaan pewarnaan PAP dan AgNOR dapat
meningkatkan keakuratan hasil pemeriksaan sitologi dalam mendiagnosis lesi
keganasan pada rongga mulut.16-18,45-47

Universitas Sumatera Utara

23

2.7 Landasan Teori
Merokok sudah menjadi gaya hidup bagi 36,3% masyarakat Indonesia.6
Laporan kasus menunjukan bahwa rokok menjadi sumber utama berbagai macam
penyakit, baik penyakit kronis hingga keganasan. Proses pembakaran sebatang rokok
menghasilkan berbagai zat kimia berbahaya, diantaranya TSNAs, PAHs, yang
berpotensi menimbulkan kanker.3 Angka kejadian kanker rongga mulut sekitar 85%
terjadi akibat konsumsi tembakau, khususnya pada penggunaanya di dalam rokok.12
Iritasi kimia (nitrosamine, tar dan bahan karsinogenik lain) serta panas dari
pembakaran rokok secara terus menerus dapat mengakibatkan iritasi kronis pada
mukosa rongga mulut.4
Proses transformasi keganasan pada rongga mulut membutuhkan waktu yang
relatif lama, diawali dengan iritasi kronis pada sel normal sehingga menyebabkan sel
mengalami metaplasia sebagai respon adaptasi sel, lalu mengarah ke displasia dan
secara berkelanjutan akan menjadi anaplasia (karsinoma).34 Perkembangan sel kearah
keganasan dapat dicegah apabila perkembangannya dapat diketahui sedini mungkin.
Pemeriksaan sitologi dapat digunakan untuk mengetahui perubahan sel kearah
keganasan, meskipun hasil yang diperoleh tidak dapat dijadikan dasar suatu diagnosis,
metode ini dapat dilakukan secara cepat dan mudah untuk kebutuhan deteksi dini atau
skrining.29
Teknik pewarnaan Papanicolaou dapat digunakan untuk mendiagnosis
spesimen sitologi yang dapat diklasifikasikan menjadi normal, displasia dan
anaplasia.13 Pewarnaan AgNOR dapat menjadi penanda spesifik untuk melihat aktifitas
proliferasi sel yang tampak sebagai titik-titik hitam di dalam nukleus.43 Diagnosis
sitologi dengan pewarnaan Papanicolaou yang dihubungkan dengan analisa titik hitam
AgNOR dapat memberikan hasil yang akurat karena gambaran yang di dapat mencakup
bagian sel secara keseluruhan dan aktifitas proliferasi sel di dalam nukleus.
Pemeriksaan eksfoliatif sitologi dengan pewarnaan Papanicolaou yang dihubungkan
dengan nilai mAgNOR merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk deteksi
dini keganasan pada rongga mulut.18

Universitas Sumatera Utara

24

2.8 Kerangka Teori

Perokok
Rokok Kretek
Iritasi kimia :
- TSNAs
: NNN,NNK
- Tar
: PAHs
- Eugenol
: Safrol, MEG

Perbaikan DNA
berhasil

Sel Epitel
Rongga Mulut
Normal

Apopotosis

Kerusakan DNA

Iritasi termal :
- Panas asap rokok

G1
terhenti

Metaplasia
Deteksi dini

Perbaikan
DNA
Gagal

p21

Displasia

GADD45

BAX

p53 aktif

Pengaktifan
onkogen pendorong
pertumbuhan

Perubahan gen
pengendali
pertumbuhan

Penonaktifan gen
supresor kanker
(p53)

Expresi gen yang mengalami perubahan, gen regularotrik (hilang)
Ekspansi klonal
Mutasi tambahan (progresi)
Diagnosa sitologi
pewarnaan
Papanicolaou
Sitologi :
N/C ratio (++)
Jumlah inti (++)
Chromatisasi (++)

Diagnosis
Histokimia
Pewarnaan AgNOR

Heterogenitas
Karsinoma

Histokimia :
- ARF terhambat masuk ke nukleoplasma
- Expresi Nucleophosmin (++)
- Agregasi NOR (-)
- Titik Hitam AgNOR (++)

Universitas Sumatera Utara

25

2.9 Kerangka Konsep
Perokok
Rokok Kretek
- Iritasi kimia
- Iritasi termal
Sel Epitel Rongga
Mulut Normal
Kerusakan DNA
Metaplasia

Diagnosa sitologi :
Pewarnaan
Papanicolaou

Displasia

Kerusakan
DNA (++)

Karsinoma

Deteksi Dini

Perbaikan
DNA
berhasil

Diagnosis Histokima :
Pewarnaan AgNOR

n/c ratio:
Normal (< 50%)
Displasia (+ 50%)
Karsinoma (> 50%)

Jumlah titik :
Kelompok 1 = 1-2 titik (Normal)
Kelompok 2 = 2-3 titik (Displasia)
Kelompok 3 = >3 titik (Karsinoma)
Kualitas titik :
dots : Bintik beraturan/halus (Normal/Displasia)
blebs : Bintik menumpuk /tidak berarturan /
kasar (Karsinoma)

Data didapatkan berupa distribusi frekuensi pewarnaan AgNOR & PAP pada
mukosa bukal perokok dan bukan perokok di kecamatan padang bulan

Universitas Sumatera Utara