Budaya Mengajar Dalam Pembentukan Karakter Anak Autis Di Yayasan Tali Kasih Medan (Studi Etnografi)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh
manusia. Pendidikan dapat menjadi bekal bagi individu dalam menentukan arah
hidup yang lebih baik. Undang-undang (UU) No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional telah mengamanatkan dilaksanakannya pendidikan kepada
seluruh rakyat Indonesia sejak usia dini, yakni sejak anak dilahirkan. Pendidikan di
Indonesia memiliki beranekaragam pengajaran tersendir 1i meskipun memiliki konsep
dan metode yang berbeda dalam sistem pengajarannya. Tetapi setiap sekolah
memiliki budaya dalam sistem mengajari anak didik dalam penyampaiannya dengan
tepat sasaran dan mudah dimengerti anak didik sehingga menghasilkan anak didik
yang terampil.
Menurut Suparlan Suhartono dalam Burhanuddin (2011:226), bahwa
pendidikan adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman
dalam segala situasi kegiatan kehidupan. Pendidikan berlangsung disegala jenis,
bentuk dan tingkat lingkungan hidup yang kemudian mendorong pertumbuhan segala
potensi yang ada didalam diri individu. Dengan kegiatan pembelajaran seperti itu,
individu mampu mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa,
1
Secara umum pendididkan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik indidvidu, kelompok
atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.
1
Universitas Sumatera Utara
cerdas, dan matang. Sehingga pendidikan merupakan sistem proses perubahan
menuju pendewasaan, pencerdasan dan pematangan diri. Setiap individu memiliki
perbedaan karakter sehingga besarnya peran pendidikan dalam membentuk karakter
seseorang menjadi lebih baik lagi. Beda karakter maka beda pula pola pengajaran
yang diberikan seorang pendidik atau pengajar terhadap anak didiknya.
Pendidikan memiliki target yang berbeda dalam pengajarannya. Pendidikan
orang normal berbeda dengan pendidikan orang yang berkebutuhan khusus terutama
terhadap anak autis. Sistem pengajaran anak autis memiliki budaya tersendiri dalam
pengajarannya. Metode dan konsep dari setiap materi mungkin memiliki cara yang
sama pada setiap sekolah, akan tetapi memiliki cara yang berbeda dalam sistem
penyampaian dan pola dalam mengajarkan anak autis tersebut. Hal ini yang menjadi
budaya mengajar tersendiri terhadap sekolah tersebut. 2
Pendidikan anak autis termasuk dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan anak autis yang termasuk dalam anak berkebutuhan khusus juga masuk
dalam peraturan perundang-undangan, dimana keputusan Menteri pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 011/U/2002 tentang Penghapusan Evalusi
Belajar Tahap Akhir Nasional Sekolah Dasar Luar Biasa (PEBTANSDLB), yaitu:
Sekolah Luar Biasa Tingkat Dasar(SLBTD) dan Madrasah Ibtidaiyah(MI). Disini
anak
2
autis
menjadi
pengecualian
dalam
memperoleh
pendidikan
dengan
.2005.Undang-Undang Sistem Pendidikan.Jakarta:Pustaka Pelajar.
Pengecualian dalam memperoleh pendididkan terhadap anak autis untuk menciptakan keadilan dalam mendapat pendididkan
yang layak bagi seluruh umat manusia (Danauatmaja 2003:2).
2
Universitas Sumatera Utara
sistempengajaran yang berbeda terhadap pengajaran orang normal dengan
penghapusan evaluasi dalam pendidikannya.
Istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang
berarti paham
sehingga autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang
kompleks dan ditandai dengan kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, perilaku
yang berulang-ulang dan perilaku yang terbatas. Sehingga anak autis merupakan
kategori ketidakmampuan anak yang ditandai dengan adanya gangguan dalam
komunikasi, interaksi sosial, gangguan indrawi, pola bermain dan perilaku emosi. Hal
ini yang menjadi pengecualian seorang anak autisme yang mendapat perolehan dan
perhatian khusus dalam mendapatkan pendidikan yang layak(dalam Danauatmaja
2003:2-3).
Berdasarkan data dari Badan Penelitian Statistik (BPS) sejak 2010 dengan
perkiraan hingga 2016, terdapat sekitar 140 ribu anak di bawah usia 17 tahun
menyandang autisme. Perkembangan autismedi Indonesia semakin tahun semakin
meningkat. Kalau di awal 2000-an prevalensinya sekitar 1:1000 kelahiran, penelitian
pada 2008 menunjukkan peningkatan hingga 1,68:1000 kelahiran. Jumlah tersebut
kurang lebih tidak jauh berbeda dengan yang diperkirakan oleh badan penelitian dan
konsulting, SPIRE. Dari data pemetaan anak berkebutuhan khusus di Indonesia,
diperkirakan terdapat 139.000 penyandang autisme dari 400.000 anak berkebutuhan
khusus (ABK). Penyebaran paling banyak terdapat pada daerah dengan
rasiokepadatan penduduk paling tinggi. Sebagai contoh, daerah dengan perkiraan
jumlah
3
Universitas Sumatera Utara
kasus autisme tertinggi ada di Provinsi Jawa Barat, dengan total mencapai 25 ribu
anak. 3
Melihat angka statistik peningkatan anak autisme ini menunjukan perlunya
perhatian dan pendidikan khusus terhadap mereka yang menyandang autis. Hal ini
disebabakan Negara Indonesia adalah yang mendukung Hak Asasi Manusia (HAM),
Hal ini di sebabkan penyandang autis juga berhak mendapatkan hak asasinya dalam
memperoleh keadilan terutama dipendidikan. Selanjutnya, Perhatian yang penting
terhadap pembangunan sekolah autis perlu ditingkatkan, adanya sekolah-sekolah autis
dapat membantu mereka untuk memperoleh pendidikan yang layak. Maka dari pada
itu perlu adanya pola pengajaran yang berbeda terhadap anak autis agar konsep
pembelajaran dapat diterima dengan baik dan pembentukan karakter yang baik pula.
Sekolah-sekolah autis yang ada di Medan memberikan warna tersendiri dalam
mengajarkan anak autis tersebut. Pengajaran tersendiri ini yang menjadi budaya
mengajar dari sekolah tersebut mulai dari sistem pengajaran hingga sistem perilaku
guru yang mengajar.
Keberhasilan suatu lembaga pendidikan yaitu sekolah memiliki visi dan misi
dalam mewujudkan budaya pendidikan ditanah air. Dizaman sekarang ini sekolah
melakukan berbagai macam program untuk meningkatkan pendidikan. Usaha-usaha
3
Autisme di Indonesia Terus Meningkat - 1128312 ... - Okezone
lifestyle.okezone.com/read/2015/.../autisme-di-indonesia-terus-meningka...
4
Universitas Sumatera Utara
dari pemikiran manusia inilah yang menjadi suatu perencanaan dalam pembentukan
suatu karakter individu manusia melalui pendidikan. Terutama dikaum pengajaran
anak autis. Sistem pengajaran ataupun pengolahan pengajaran harus sesuai dengan
karakter setiap anak didik yang diajarkan. Guru-guru harus memiliki pendekatanpendekatan tersendiri dalam mengajarkan anak autis. Jelas berbeda ketika mengajar
anak autis dengan anak yang normal. Pendekatan pembelajaran secara langsung yang
merupakan pendekatan yang terstruktur dan berpusat pada guru yang digolongkan
berdasarkan arahan dan kontrol dari guru yang merupakan suatu pola pengajaran
yang sangat membangun karakter anak didik. Setiap guru harus memiliki harapan
tinggi dalam kemajuan anak didiknya yang berkarakter seperti apapun baik normal
maupun tidak normal agar setiap anak didik merasa dihargai dan memiliki arah dari
pendidikannya yang dapat memicu semangat dari anak yang diajarkan (Sjarkawi
2006).
Memahami jalan perkembangan dan kemajuan sangatlah penting untuk
mengajar dalam cara yang optimal untuk setiap anak yang dalam keadaan seperti
apapun (dalam Santrock 2009:15). Hal ini menunjukan peran seorang guru dalam
merubah sesuatu dari yang kurang baik menjadi lebih baik dan dari yang tidak bisa
menjadi bisa. Sehingga membuat para guru dapat membentuk pola mengajar yang
baik agar anak didik bisa menjadi lebih baik. Hal ini serupa halnya dengan
mengajarkan seorang anak autis yang memiliki pemikiran dan karakter yang tidak
normal. Seorang guru harus mampu memiliki pola pengajaran untuk membentuk
pemikiran dan karakter yang lebih baik.
5
Universitas Sumatera Utara
Menurut Hardiono S. Pusponegoro(2003:1-5), pendidikan anak autis memiliki
perbedaan tersendiri dengan anak-anak normal lainnya. Anak autis memiliki fakta
pengajaran yang unik. Pengajaran anak autis yang baikpun adalah dengan cara satu
guru mengajarkan satu murid. Hal ini dikarenakan anak autis memiliki kelainan
mental yang disebabkan sindrom, sehingga menyebabkan interaksi anak tidak dapat
berjalan dengan baik. Perilakunya yang menyendiri dan sikapnya yang sensitif
terhadap orang banyak membuat seorang anak autis memerlukan pengajaran secara
pribadi. 4
Budaya mengajar merupakan suatu sistem yang harus dibangun oleh lembaga
pendidikan yang salah satunya sekolah. Karena pola-pola pengajaran tersendiri inilah
menjadi suatu identitas sekolah yang membuat sekolah tersebut berbeda dengan
sekolah lainnya. Budaya mengajar salah satu sistem penerapan pola-pola mengajar
anak agar anak dapat mengikuti sistem dan terikat dalam sistem tersebut.Banyak
sekolah-sekolah menjadi favorit, karena membangun budaya mengajar disekolah
dengan baik. Serta penerapannya yang ketat dan terus-menerus diterapkan terhadap
anak didik sehingga menjadi suatu kebiasaan baik yang berujung pada nilai-nilai yang
positif. Kebiasaan-kebiasan yang baik inilah yang menjadi budaya sekolah yang
dibentuk dari pola-pola mengajar disekolah.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk melakukan budaya mengajar dengan
baik. Misalnya, dengan menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan
4
Menurut Hardiono S. Pusponegoro (2003:4), pendidikan anak autis memiliki sistem pengajaran tersendiri serta perlu perhatian
dan emosional yang khusus dalam mengajarkannya
6
Universitas Sumatera Utara
materi yang disampaikan dan disesuaikan kondisi siswa termasuk seperti kondisi
anak autis. Dengan adanya ketetapan dalam memilih sebuah metode pembelajaran
maka akan dengan mudah mencapai tujuan dari budaya mengajar yaitu pembelajaran.
Keberhasilan suatu pembelajaran dapat diukur dari sejauh mana peserta didik
mengalami perubahan yang lebih baik . Kalau dalam mengajar orang normal dapat
dilihat dari bagaimana sianak dapat menguasai materi. Tetapi dari segi anak autis
dapat dilihat dari perubahan karakter yang lebih baik.
Banyak anak-anak autis yang tidak mendapatkan pendidikan yang selayaknya.
Kebanyakan orang tua menggangap anaknya yang menderita autis tidak memiliki
masa depan, sehingga tidak perlu untuk sekolah seperti layaknya orang normal.
Menurut penelitian yang dilakukan para ahli, sebagian dari anak autis adalah anak
yang jenius. Hal ini yang tidak diketahui oleh banyak orang sehingga tidak
mengetahui seberapa besar potensi anak autis. Permasalahan anak autis sangatlah
tertutup dalam arti tidak terlalu dipublikasikan keberadaanya sehingga kurangnya
perhatian dan sosialisasi terhadap anak autis. Bisa dilihat dari keberadaan sekolahsekolah anak autis ditiap kota, jumlahnya yang sedikit membuat anak-anak autis
susah untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hal disebabkan kurangnya
sosialisai pemerintah terhadap anak autis di Indonesia ini.
Antropologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari manusia dan
kebudayaannya dimana manusia memiliki suatu kebiasaan-kebiasaan yang terjadi
berulang-ulang sehingga hal tersebut menjadi budaya bagi suatu kelompok-kelompok
manusia. Didalam sekolah terdapat individu dan kelompok manusia yang didalamnya
7
Universitas Sumatera Utara
terdapat banyak interaksi-interaksi sosial serta kegiatan-kegiatan sosial yang dapat
menjadi suatu obyek penelitian antropologi, dimana budaya mengajar tersebut salah
satu obyek penelitian antropologi. Ilmu antropologi pendidikan merupakan suatu
penerapan yang penting dalam membentuk budaya mengajar di dalam pendidikan.
Menurut F Boas (dalam Koentjaraningrat 1990:228), bahwa pentingnya
penelitian mengenai pendidikan sekolah dalam masa transmisi 5 dan perubahan
kebudayaan, dimana penyesuaian pendidikan terhadap individu berbeda-beda dan
penerapan pengajarannya yang berbeda pula. Dimana antropologi memiliki peran
dalam penelitian budaya mengajar karena materi-materi dan konsep-konsep yang ada
pada ilmu antropologi.
Menurut koentjaraningrat (1990:231), tanggapan yang baik dimiliki ilmu
antropologi dalam penelitian pendidikan karena antropologi memiliki pendekatan
wawancara yang dianggap sangat berguna untuk memperoleh banyak data,
pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai masalah transmisi
kebudayaan pada umumnya, pendekatan antropologi dapat menambah pengertian
mengenai cara mendidik murid-murid dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda-beda dan metode cross-cultural (lintas budaya) yang dikembangkan oleh
antropologi dianggap dapat membantu ilmu pendidikan komperatif. Sehingga
pendidikan
yang
berhubungan
erat
dengan
kebudayaan
dapat
menjadi
5
Transmisi Budaya adalah suatu upaya atau proses dalam menyampaikan sikap, keyakinan, nilai-nilai, pengetahuan
dan juga ketrampilan dari suatu generasi kepada generasi selanjutnya, sehingga budaya tersebut dapat tetap
dipertahankan nilai-nilainya. Pengertian transmisi budaya, juga mencakup bagaimana menemukan dan menciptakan
sesuatu yang baru. Fungsi transmisi budaya masyarakat kepada anak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
(1) transmisi pengetahuan dan ketrampilan, (2) transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma.
8
Universitas Sumatera Utara
topikpembahasan ilmu Antropologi. Berdasarkan uraian diatas mengenai banyak
permasalahan pendidikan yang tidak terlepas dari peran budaya, inilah yang menjadi
ketertarikan penulis untuk mengkaji bagaimana pola ajar-mengajar para guru di
Yayasan Talikasih Medan.
1.2.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan permasalahan
penelitian ini adalah bagaimana budaya proses ajar mengajar di Yayasan Tali Kasih
Medan. Dari permasalahan di atas dijabarkan pertanyaan penelitiansebagai berikut:
1. Bagaimana pola pengajaran yang dilakukan para guru di Yayasan Tali Kasih
Medan?
2. Bagaimana interaksi antara guru dengan anak autis, guru dengan guru, anak
autis dengan anak autis , guru dengan kepala sekolah, guru dengan dengan
orang tua murid dan sekolah dengan pemerintah di Yayasan Tali Kasih
Medan?
3. Bagaimana pembentukan karakter melalui pendidikan yang dilakukan guru
terhadap anak autis di Yayasan Tali Kasih Medan?
9
Universitas Sumatera Utara
1.3. TINJAUN PUSTAKA
Pendidikan tidak terlepas dari kebudayaan, karena didalam suatu pendidikan
terdapat aturan-aturan, ide-ide, nilai-nilai, gagasan dan aktifitas. Ada tiga wujud
kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1987: 186-187). Pertama wujud kebudayaan
sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas
atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk abstrak,
sehingga tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam
pikiran masyarakat. Ide atau gagasan merupakan bagian terpenting di dalam
masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan
yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Nilai-nilai yang
ditanamkan dari pendidikan merupakan suatu dasar dalam pembentukan karakter
individu. Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Didalam
pendidikan terdapat pedoman yang memberikan arah baik maupun positif terhadap
kehidupan manusia.
Manusia sangat menggantungkan harapan yang besar terhadap proses dan
interaksi yang terjadi dalam dunia pendidikan. Pendidikan dapat dijadikan sebagai
instrument peningkatan kemajuan 6masyarakat, perkembangan idiologi, budaya dan
ekonomi. Itulah sebabnya pendidikan merupakan sebuah kekuatan sosial sekaligus
6
Pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari/ menuju untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara
semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial ( Muhyi Batubara 2004: 11).
10
Universitas Sumatera Utara
dapat digunakan untuk melakukan penelitian dan kritik terhadap upaya-upaya
pencapain sesuatu dimasyarakat ( dalam Muhyi 2004: 10-11).
Menurut Fortes (dalam Koentjaraningrat 1990:230), pendidikan seringkali
berupa bimbingan yang dilakukan warga masyarakat dengan cara memberi
penerangan, persuasif, ransangan untuk hal-hal yang positif dan menghindari hal-hal
yang negatif.
Menurut John Dewy ( dalam Santrock 2003: 85), ada 3 ide yang berhubungan
dengan pendidikan, yaitu:
1. Pandangan anak sebagai pembelajar yang aktif, yakni: anak-anak harus duduk
tenang dikursi mereka dan secara pasif belajar dengan menghafal.
2. Pendidikan harus berfokus pada anak secara menyeluruh dan menekankan
adaptasi anak pada lingkungan.
3. Semua anak-anak harus mendapatkan pendidikan secara kompleks. Tidak ada
pengecualian
untuk
anak-anak
dalam
mendapatkan
pendidikan.
Bagaimanapun anaknya tetap harus mendapatkan pendidikan yang layak
walaupun memiliki penerapan pengajaran yang berbeda.
Walaupun orang telah memahami berbagai teori pendidikan, seseorang tidak
boleh menganggap bahwa manusia telah memiliki resep untuk menjalankan tugas
dalam pendidikan. Dalam pendidikan tidak dikenal suatu resep yang pasti, karena
yang paling utama dalam pendidikan adalah kepribadian dan kreativitas pendidikan,
karena dalam kepribadian dan kreativitas pendidikan terdapat berbagai macam pola-
11
Universitas Sumatera Utara
pola pemikiran dan karakter-karekter yangberbeda sehingga tidak memiliki resep
yang pasti. Hal ini dikemukakan oleh Prof. Sikun Pribadi dalam bukunya “Landasan
pendidikan”,(dalam Burhanudin 2011:3) sebagi berikut:
“Itu sebabnya mengapa suatu upaya pendidikan tidak dapat dan tidak boleh
dikemukakan dalam bentuk resep atau aturan yang tetap untuk dijalankan.
Yang penting bukan resepnya, melainkan kepribadian dan kreativitas
pendidik sendiri. Pendidikan (walaupun harus didukung oleh ilmu pendidikan
atau pedagogik) dalam pelaksanaannya lebih merupakan seni dari pada
teori.”
Oleh sebab itu setiap tindakan dalam pendidikan, tidak begitu saja dengan
sendirinya dapat menerapkan teori yang ada. Dalam prakteknya kita harus
memperhatikan anak itu sendiri, tergantung kepada kepribadian pendidik, situasi dan
kondisi lingkungan dan tujuan yang akan dicapai agar dapat menciptakan budaya
mengajar pendidik dalam mengajar.
Menciptakan budaya mengajar untuk membentuk karakter anak didik menjadi
suatu hal yang diperlukan dalam proses belajar mengajar. Budaya mengajar dapat
membangun sistem belajar yang baik karena di dalamnya terdapat materi dari suatu
kebiasaan yang baik dalam suatu proses mengajar.Budaya mengajar terbagi atas dua
kata budaya dan mengajar. dimana setiap katanya mengandung arti yang berbeda
dalam penjelasannya tetapi miliki keterkaitan yang erat dalam suatu sistem
pendidikan.
Menurut E.B Tylor (dalam Poerwanto 2000:52) kebudayaan adalah
keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hokum,
moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai
12
Universitas Sumatera Utara
anggota masyarakat. 7Kebudayaan menjadi pedoman dalam sistem pendidikan. Nilainilai pendidikan yang berjalan dalam suatu sekolah dapat memberikan warna
tersendiri bagi sekolah tersebut. Karena sistem-sistem,nila-nilai dan berbagai macam
yang dibangun dalam proses belajar-mengajar merupakan hasil pemikiran dan hasil
karya cipta manusia dimana hasil pemikiran dan karya cipta manusia merupakan
konsep dasar dari kebudayaan. Jadi kebudayaan tidak akan terlepas dari pendidikan.
Kluckhohn (dalam Poerwanto 2000: 52-59) mengatakan bahwa dalam setiap
kebudayaan makhluk manusia juga terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sifatnya
universal meliputi sistem organisai sosial, sistem mata pencaharian hidup, sistem
teknologi, sistem pengetahuan, kesenian, bahasa dan religi.
Semua unsur-unsur
tersebut erat hubungannya dalam pendidikan. Hal ini menyatakan kebudayaan tidak
terlepas dari pendidikan karena ketujuh unsur kebudayaan menurut Kluckhohn ada
didalam pendidikan dan menjadi unsur pendorong keberadaan suatu pendidikan.
Didalam budaya pendidikan, mengajar merupakan bagian dari hal tersebut.
Mengajar menjadi suatu alat dalam penyampain pokok materi terhadap anak didik.
Didalam mengajar ini terdapat pola-pola dalam memberikan ilmu pengetahuan
terhadap anak didik.
Menurut Mead (dalam Koenjaraningrat 1990:230), dalam pendidikan
masyarakat sederhana, dimana Ia membedakan antara learning cultures (budaya
7
Pengertian kebudayaan menurut Herkovists (https://id.wikipedia.org?wiki/budaya), bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu
yang diteruskan secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi lain, kebudayaan berisikan seluruh nilai, norma,
pengertian, ilmu pengetahuan, religious, struktur sosial dan nilai sebagai wujud intelektual dan rasa seni yang menjadi
indentitas atau ciri khas sautu masyarakat.
13
Universitas Sumatera Utara
belajar) dan teaching cultures (budaya mengajar). Dalam golongan yang pertama,
warga masyrakat belajar dengan cara yang tidak resmi yaitu dengan berperan serta
dalam rutin kehidupan sehari-hari, dari mana mereka memperoleh segala
pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang mereka perlukan untuk dapat hidup
dengan layak dalam masyarakat dan kebudayaan mereka sendiri. Dalam golongan
kedua, warga masyarakat mendapat pelajaran dari warga-warga lain yang dianggap
lebih tauh.
Mengajar menurut Tardif (dalam Winkel 1987: 272) adalah perbuatan yang
dilakukan seseorang (dalam hal ini guru) dengan tujuan membantu atau memudahkan
orang lain (dalam hal ini siswa) melakukan kegiatan belajar.Mengajar adalah
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh tenaga pengajar, yang menyangkut
penyajian materi pembelajaran, supaya siswa dapat mencapai tujuan intruksional
tertentu, dimana perbuatan-perbuatan dapat ditentukan dalam rangka persiapan
pengajaran seperti menyusun perencanaan pelajaran (dalam Winkel 1987:273). Di
dalam sekolah pengajar disebut guru, guru inilah yang menyampaikan materi
pembelajaran terhadap siswa.
Mengajar memiliki prosedur-prosedur pengolongan. Ada 3 pengolongan prosedurprosedur mengajar menurut Winkel, yaitu:
1. Pola narasi (pengisahan)
: materi pelajaran langsung disajikan oleh guru
dan penyajiannya dipimpin oleh guru pula.
2. Pola perundingan bersama
: materi pelajaran dibentuk oleh guru bersama
siswa. Pimpinan dapat langsung dipegang oleh guru, dapat pula tidak.
14
Universitas Sumatera Utara
3. Pola pemberian tugas
: siswa melakukan kegiatan yang menyangkut
materi pelajaran, yang ditugaskan oleh guru.
Khusus pola 2 dan 3 dapat disertai suatu bentuk pengelompokan siswa tertentu,
dimana terjadi kerja sama antara tenaga pengajar dengan kelompok siswa atau antara
kelompok siswa yang satu dengan yang lain.
Tugas pengelolaan belajar terlaksana dalam mendidik dan mengajar. Guru
lebih bertindak sebagai pengajar bilamana mendampingi siswa dalam belajar
pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan motorik. Peranan sebagai pendidik lebih
nampak, bila menuntun siswa dalam belajar sikap dan nilai. Akan tetapi, pembedaan
ini tidak bersifat mutlak, seolah-olah guru sambil mengajar tidak mendidik dan
sambil mendidik tidak mengajar. Dalam belajar sikap dan nilai terdapat unsur
pengetahuan dan pemahaman, serta dalam belajar di bidang kognitif dan motorik
kerap terdapat unsur sikap dan nilai, yang dapat sekaligus ditanamkan dan
dikembangkan. Hal inilah menunjuk pada komponen mendidik didalam mengajar.
Menurut Diaz (dalam Santrock 2009:51), oleh karena adanya bersifat
kompleks dan adanya variasi individu diantara siswa-siswa atau anak didik, maka
pengajar efektif bukanlah jadi hal yang cocok untuk semua orang atau anak didik.
Perbedaan karakter anak normal dengan anak yang tidak normal memiliki pengajaran
efektif yang tersendiri dan berbeda-beda.
Bilamana berbicara tentang pendidikan sekolah, orang biasanya berpikir
tentang pendidikan untuk anak-anak normal yang tidak mempunyai kelainan fisik
atau mental. Akan tetapi, terdapat sekelompok anak yang membutuhkan perhatian
15
Universitas Sumatera Utara
khusus dan dalam kasus-kasus tertentu tidak dapat ditampung disekolah biasa.
Mereka disebut anak-anak berkebutuhan khusus, yang ternyata tersebar di semua
golongan masyarakat.
Anak autis termasuk dalam anak berkebutuhan khusus yang mengalami
kelainan mental. Perlunya pendidikan bagi mereka untuk mendapatkan kehidupan
yang layak seperti anak normal lainnya. Anak autis memiliki kelainan mental
sehingga memerlukan pendidikan yang berbeda dengan pendidikan anak normal.
Krakter yang berbeda membuat anak autis memerlukan pengajaran yang khusus
untuk merubah karakternya menjadi lebih baik.
Menurut Hembing Wijayakusuma(2004:1-6), anak autisme adalah gangguan
perkembangan saraf anak yang kompleks yang ditandai dengan kesulitan dalam
interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas.
Ini menyatakan bahwa anak autisme memiliki makna keadaan yang menyebabkan
anak-anak hanya memiliki perhatian terhadap dunianya sendiri. Kelainan anak
autisme ini memberikan pola pengajaran yang berbeda agar pembentukan karakter
seorang anak dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Pembentukan karakter
anak autisme ini menjadi tujuan utama dari pendidikannya. Mulai dari perilakunya,
komunikasinya, interaksi dengan teman-temannya dan pola pemikiran anak.
Dalam pembentukan karakter ada budaya mengajar tersendiri yang harus
dilakukan terhadap anak autis. Agar kepribadian anak autis dapat terbentuk dengan
baik. Peran seorang pengajar sangat dibutuhkan dalam hal ini, karena pembentukan
karakter anak merupakan proses pengajaran yang sangat sulit.
16
Universitas Sumatera Utara
Waynne (dalam Mulyasa 2011:3) mengemukakan bahwa karakter berasal dari
bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana
menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.
Berbicara karakteristik sama halnya berbicara kepribadian, Karena karakteristik
masuk dalam kepribadian.
Menurut Lickona (dalam Mulyasa 2011:4), ada 3 komponen karakter yang
baik, yaitu:
1. Moral knowing ( pengetahuan tentang moral)
2. Moral feeling ( perasaan tentang moral)
3. Moral action ( tindakan moral)
Dirjen Pendidikan Agama Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia
(dalam Mulyasa 2011:4) mengemukakan bahwa karakter dapat diartikan sebagai
totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan dapat diidentifikasi pada perilaku individu
yang bersifat unik, dalam arti secara khusus ciri-ciri ini membedakan antara satu
individu dengan yang lainnya. Karena ciri-ciri karakter tersebut dapat di identifikasi
pada perilaku individu dan bersifat unik, maka karakter sangat dekat dengan
kepribadian individu. Kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat
khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan, misalnya: keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar.
Pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun 9 pilar karakter
mulai yang selakyaknya dijadikan acuan dalam pendidikan karakter, baik disekolah
maupun diluar sekolah, yaitu sebagai berikut (dalam Mulyasa 2011:5) :
17
Universitas Sumatera Utara
1. Cinta Tuhan dan kebenaran
2. Tanggung jawab disiplin dan mandiri
3. Amanah
4. Hormat dan santun
5. Kasih sayang, peduli dan kerja sama
6. Percaya diri kreatif dan pantang menyerah
7. Adil dan berjiwa kepemimpinan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleran dan cinta damai
Hal ini yang harus dapat diciptakan dilingkungan sekolah agar dapat membentuk
karakter yang baik. Bagaimanapun sekolahnya, pilar ini tetap dijalankan baik untuk
anak didik normal maupun tidak normal hanya saja penyampaian penerpannya yang
berbeda.
Pendidikan karakter pada tingkat satuan pendidikan mengarah pada
pembentukan budaya sekolah, yaitu: nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi,
kebiasaan sehari-hari serta simbol-simbol yang dipraktekan oleh semua warga
sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah
tersebut dimata masyarakat luas.
Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan,
penciptaan lingkungan, dan pembiasaan
melalui berbagai tugas keilmuan dan
kegiatan kondusif. Dengan demikian, apa yang dilihat,didengar, dirasakan dan
dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk karakter mereka. Selain menjadikan
18
Universitas Sumatera Utara
keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim dan
budaya serta lingkungan yang kondusif juga sangat penting dan turut membentuk
karakter peserta didik.
Karakteristik dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam perubahannya.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik anak digolongkan dalam dua
faktor ( dalam Sjarkawi 2006:16), yaitu:
1. Faktor internal : faktor yang berasal dari diri orang itu sendiri. Faktor internal
ini biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan lahir, seperti anak autis.
2. Faktor ekternal : faktor yang berasal dari luar orang tersebut, seperti
pengajaran dalam perubahan karakter disekolah oleh guru yang mengajar.
Menurut Paul Gunaid (dalam Sjarkawi 2006: 11-13) pada umumnya terdapat
lima penggolongan kepribadian manusia yang sering dikenal dalam kehidupan seharihari, yaitu :
1. Tipe Sanguin
Manusia yang memiliki tipe ini memiliki ciri-ciri antara lain: memiliki
banyak kekuatan, bersemangat, mempunyai gairah hidup, dapat membuat
lingkungannya gembira dan senang. Akan tetapi memiliki kelemahan
antara lain: bertindak sesuai emosinya atau keinginannya.
2. Tipe Flegmatik
Manusia yang memiliki tipe ini memiliki ciri antara lain: cendrung tenang,
gejolak emosinya tidak tampak, menguasai dirinya dengan baik. Manusia
19
Universitas Sumatera Utara
seperti ini memiliki tipe kelemahan antara lain : tidak mau susah cendrung
mengambil sesuatu hal dengan cara muda.
3. Tipe Melamkolik
Manusia tipe ini memiliki ciri antara lain: terobsesi dengan karyanya yang
paling bagus, mengerti estetika keindahan hidup, perasaannya sangat kuat
dan sangat sensitif. Kelemahan ciri ini adalah sangat mudah dikuasi oleh
perasaan dan cendrung perasaan yang mendasari hidupnya sehari-hari
adalah perasaan yang murung.
4. Tipe Kolerik
Manusia yang termasuk tipe ini memiliki ciri antara lain : cendrung
berorientasi pada tugasnya dan memiliki disiplin sikap. Kelemahan dari
ciri ini antara lain: kurang memiliki rasa kasihan.
5. Tipe Asertif
Manusia yang temasuk tipe ini memiliki ciri antara lain: mampu
menyatakan pendapat, ide
tegas dalam bersikap, jujur ,berani dan
perasaanya yang halus. Kelemahan dari ciri tidak tampak karena termasuk
tipe yang ideal.
Dari semua tipe ini juga di miliki oleh masing-masing individu anak autis
tetapi yang diambil dari tipe ini adalah kelemahan-kelemahannya. Karena yang
dimiliki anak autis adalah kelemahan-kelemahan yang ada pada semua tipe ini.
Kepribadian adalah khas bagi setiap pribadi, sedangkan gaya kepribadiaan
bisa dimiliki oleh orang lain yang juga menununjukan kombinasi yang berulang-
20
Universitas Sumatera Utara
ulang secara khas dan dinamis dari ciri pembawaan dan pola kelakuan yang sama.
Gregory (dalam Sjarkawi 2006: 13) membagi tipe gaya kepribadian kedalam 12 tipe,
yaitu:
1. Kepribadian yang mudah menyesuaikan diri
Seseorang dengan gaya kepribadian yang mudah menyesuaikan diri dengan
orang lain memiliki ciri seperti: komunikatif, bertanggung jawab, ramah
santun dan memperhatikan perasaan orang lain.
2. Kepribadian yang berambisi
Seseorang dengan gaya kepribadian yang berambisi adalah orang yang benarbenar miliki ambisi terhadap semua hal.
3. Kepribadian yang memengaruhi
Seseorang dengan gaya kepribadian yang memengaruhi adalah orang yang
terorganisasi dan berpengetahuan cukup yang memancarkan kepercayaan,
dedikasi dan berdikari.
4. Kepribadian yang berprestasi
Seseorang dengan gaya kepribadian berprestasi adalah orang yang
menghendaki melakukan suatu hal dengan cemerlang.
5. Kepribadian yang idealistis
Seseorang dengan gaya kepribadian idealistis adalah memandang dirinya
seperti dia memandang hidup yang penuh dengan kehati-hatian dalam
memilih segala hal.
21
Universitas Sumatera Utara
6. Kepribadian yang sabar
Seseorang dengan gaya kepribadian sabar adalah orang yang memang sabar
hampir tidak pernah putus asa,ramah-tamah dan rendah hati.
7. Kepribadian yang mendahului
Seseorang dengan gaya kepribadian mendahului adalah
orang yang
menjujung tinggi kualitas dan mengerti kualitas.
8. Kepribadian yang perseptif
Seseorang dengan gaya kepribadian perseptif adalah orang yang cepat tanggap
terhadap kekurangan.
9. Kepribadian yang peka
Seseorang dengan gaya kepribadian peka adalah orang yang suka termenung,
berintropeksi, sangat peka terhadap suasana jiwa sifat-sifat sendiri, perasaan
dan pikiran.
10. Keperibadian yang berketetapan
Seseorang dengan gaya kepribadian berketetapan adalah orang yang
menekankan pada 3 hal sebagai landasan dari gaya kepribadiannya, yaitu
kebenaran, tanggung jawab dan kehormatan.
11. Kepribadian yang ulet
Seseorang dengan gaya kepribadian ulet adalah orang yang memiliki jiwa
kerja keras.
22
Universitas Sumatera Utara
12. Kepribadian yang berhati-hati
Seseorang dengan gaya kepribadian berhati-hati adalah orang yang
terorganisasi, teliti,berhati-hati, tuntas dan senantiasa mencoba menunaikan
kewajibannya.
Semua kepribadian ini memang bagian dari kepribadian orang normal tetapi
semua kepribadian ini memiliki kaitan yang erat terhadap anak autis. Kebalikan dari
semua kepribadian inilah yang menjadi keperibadian anak autis kecuali keperibadian
yang peka. Karena yang paling tetap dalam keperibadian anak autis adalah
kepribadian yang peka, karena kepribadian yang peka bersifat sering melakukan
tindakan termenung dimana anak autis sangat suka termenung.
1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji budaya ajar mengajar di Yayasan Tali Kasih Medan.
2. Untuk mengetahui interaksi-interaksi antara guru dengan guru, guru dengan
anak autis dan anak autis dengan anak autis.
3. Untuk mengetahui proses pembentukan karakter yang di lakukan oleh guru
terhadap anak autis.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah
1. Menambah wawasan tentang pendidikan anak autis yang berbeda dengan
pendidikan anak normal lainnya
23
Universitas Sumatera Utara
2. Menambah wawasan tentang prospek dari masa depan anak autis yang telah
mendapat pendidikan.
3. Menambah wawasan bagaimana mengajar anak autis sehingga dapat
membentuk kepribadian yang lebih baik.
1.5. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode penelitian
etnografi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan etnogarafi
berusaha
untuk
menemukan
sebuah
data
ataupun
informasi
yang
dapat
menggambarkan suatu keadaan kebudayaan yang diteliti secara utuh sesuai dengan
fokus masalah yang dikaji.
Menurut pendapat Spradley (blogspot.com//…/resume/arti-metode-etnografi),
etnografi adalah kegiatan menguraikan dan menjelaskan suatu kebudayaan. Etnografi
merupakan salah satu dari sekian pendekatan dalam Penelitian Kualitatif. Dalam
istilah Yunani, ethnos, berarti masyarakat, ras atau sebuah kelompok kebudayaan,
dan etnografi berarti sebuah ilmu yang menjelaskan cara hidup manusia. Pada
perkembangan selanjutnya dalam etnografi terjadi banyak perdebatan tentang cara
bagaimana manusia (baca peneliti – ‘self’) menjelaskan cara hidup manusia lainnya
(‘yang diteliti’ – ‘other’) termasuk di dalamnya tentang cara-cara bagaimana peneliti
melihat yang lainnya untuk kemudian menceritakannya kepada manusia lainnya.
Etnografi juga diartikan sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari tentang
kehidupan sosial dan budaya sebuah masyarakat, lembaga dan setting lain secara
24
Universitas Sumatera Utara
ilmiah, dengan menggunakan sejumlah metode penelitian dan teknik pengumpulan
data untuk menghindari bias dan memperoleh akurasi data yang meyakinkan.
Sekolah yang merupakan lembaga pendidikan, dimana didalamnya terdapat
manusia,norma,nilai-nilai dan kebudayaan menjadi suatu obyek yang dapat dikaji
melalui etnografi.
Pendekataan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah
manusia. Bogdan dan Taylor (Moleong, 2006:4) mendefinisikan metodologi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data gambaran berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurutnya,
pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh),
sebagaimana koentjaraningrat mengutarakan bahwa para ahli antropologi biasanya
memakai istilah holistik untuk menggambarkan metode tinjauan yang mendekati
suatu kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan yang terintegritas (1980:224).
Peneliti langsung melakukan wawancara mendalam terhadap guru dan kepala
sekolah mengenai pendidikan yang anak autis disekolah tersebut. Peneliti juga
langsung melakukan observasi dengan melihat kegiatan proses belajar menagajar
anak autis selain itu juga peneliti mengamati interaksi secara langsung disekolah
dengan berada langsung di lingkungan sekolah tersebut.
Sugiono mengatakan (2007:140-145), Ada 2 hal yang sangat penting dalam
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu : observasi dan wawancara.
25
Universitas Sumatera Utara
Adapun metode yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data-data
tentang penelitian ini yaitu:
1. Observasi
Pengamatan yang dilakukan peneliti dengan cara langsung turun
kelapangan, mengamati kegiatan guru,mengamati anak autis, mengamati ke
Yayasan Tali Kasih Medan dan mengamati semua aktifitas didalam Yayasan
Tali kasih Medan, seperti mengamati pola-pola penerapan pengajaran
terhadap anak autis dan interksi anak autis terhadap teman dan guru-guru yang
mengajar.
Peneliti mengumpulkan data melalui observasi dengan langsung
melihat guru memarapkan metode belajar di kelas serta turut mengamati
interaksi yang terjadi di Yayasan Tali Kasih terutama di ruang tunggu sebagai
tempat bertemunya orang tua dan guru.
2. Wawancara
Model wawancara yang saya lakukan adalah dengan membuat
interview guide untuk medapatkan data-data yang akurat dilapangan.
Penggunaan bahasa yang peneliti lakukan adalah penggunaan bahasa
Indonesia dengan gaya bahasa sehari-hari agar tidak membuat informan
merasa bosan dari pertanyaan yang diajukan. Yang menjadi sasaran wancara
saya adalah kepala sekolah, guru yang mengajar, orang tua murid dan
26
Universitas Sumatera Utara
sedikitnya terhadap anak didik. Karena keterbatasan komunikasi terhadap
anak autis maka peneliti menggunakan penyesuaian bahasa dilapangan agar
terjadi interksi komunikasi yang baik antara anak autis dengan peneliti.
Wawancara peneliti langsung lakukan pada saat proses belajar mengajar dan
juga pada saat jam istirahat guru.
3. Data Sekunder
Peneliti juga memmbaca beberapa jurnal, buku-buku dan media
lainnya yang berhubungan dengan topik untuk memperkuat data-data yang
dikumpulkan dan menambah informasi dari data-data yang dikumpulkan.
Sesuai dengan buku yang dibaca data yang ada dilapangan tidak jau bedah,
jadi kebenaran data peneliti dilapangan diperkuat dengan buku-buku yang
sudah dibaca yang sudah peneliti uraikan di BAB I, misalnya seperti cicri-ciri
anak autis data dilapangan dengan data yang ada dibuka yang sudah dibaca
memiliki kesamaan.
1.6. Pengalaman Penelitian Lapangan
Penelitian dilakukan di Yayasan Tali Kasih Medan untuk mengetahui seputar
pendidikan anak autis dan pola-pola mengajar yang diterapkan terhadap anak autis.
Awal ketertarikan peneliti melakukan penelitian di sekolah ini adalah sekolah ini
merupakan sekolah pertama berdiri di Medan yang secara khusus mengajar anak
berkebutuhan khusus yaitu anak autis. Awalnya saya ingin melakukan observasi dan
27
Universitas Sumatera Utara
wawancara disekolah ini harus memerlukan izin dari pihak kepala sekolah. Pada saat
peneliti mendatangi sekolah ini untuk melakukan observasi serta untuk meminta izin
disekolah ini saya bertemu dengan pak Faisal Isnain selaku administrasi disekolah
tersebut. Peneliti dan bapak Faisal awalnya bercerita banyak tentang seputar anak
autis tentang keadaan sekolah tersebut dalam menghadapi anak autis.
Setelah pembicaraan saya tentang bertanya seputar pendidikan anak autis
disekolah tersebut, peneliti meminta izin terhadap bapak tersebut untuk dapat
melakukan penelitian di sekolah tersebut. Permintaan izin saya terhadap bapak Faisal
di tolak untuk melakukan penelitian disekolah tersebut. Beliau mengatakan di sekolah
ini sebenarnya tidak boleh dilakukan penelitian karena jika ketahuan oleh orang tua
anaknya di teliti maka pihak orang tua tidak akan menyetujui dan bisa menuntut
pihak sekolah.
Pak Faisal mengatakan memang pernah mahasiswa melakukan
penelitian disini, itupun karena saudaranya salah satu guru yang mengajar disini dan
guru tersebutpun bersedia menjaminin dan bertanggung jawab terhadap mahasisiwa
yang melakukan penelitian tersebut.
Peneliti menerangkan semua persiapan yang sudah saya lakukan untuk
melakukan penelitian disekolah tersebut. Peneliti menjelaskan saya udah membuat
proposal untuk penelitian anak autis di sekolah tersebut. Peneliti juga menceritakan
kepada pak Faisal betapa susahnya untuk ACC peroposal di jurusan antropologi. Pak
Faisal memberikan waktu kepada saya untuk berbicara langsung ke esokan harinya
kepada kepala sekolah kebetulan pada saat itu kepala sekolah tidak ada disekolah.
28
Universitas Sumatera Utara
Keesokan harinya Peneliti mendatangi sekolah tersebut, peneliti juga bertemu
dengan pak Faisal, bapak tersebut menyuruh saya untuk duduk sebentar dan
memanggil kepala sekolah. Setelah beberapa menit menunggu kepala sekolah
langsung mendatangi peneliti diruang tunggu dan peneliti langsung memberikan
salam terhadap beliau. Kepala sekolah tersebut bernama Ibu Endang, Saya langsung
menceritakan maksud tujuan peneliti atas kedatangan peneliti kesekolah terhadap Ibu
Endang. Ibu Endang memberikan respon terhap setiap percakapannnya saya, awalnya
Ibu Endang tidak memberikan izin peneliti untuk melakukan penelitian di sekolah
tersebut dengan alasan orang tua murid yang tidak suka anaknya di teliti dan di
jadikan bahan penelitian mahasiswa. Peneliti juga menceritakan kepada Ibu Endang
tentang persiapan saya dan susahnya untuk memberikan ACC judul sekripsi
dikampus.
Ibu Endang berpikir dan menghubungisalah seorang yang menurut peneliti
itu adalah penasehat sekolah tersebut. Setelah melakukan pembicaraan dengan pihak
penasehat sekolah Ibu Endang memberikan Izin dan menyuruh peneliti untuk
menyerahkan surat izin penelitian lapangan dari kampus.
Ibu Endang juga memberitahukan kepada peneliti, selama melakukan
penelitian di sekolah tersebut jangan sampai ketahuan dengan orang tua murid yang
kadang menunggu anaknya diruang tunggu. Ibu Endang juga memberitahukan tidak
boleh mengambil foto sembarangan selama berada di sekolah tanpa seizin dan
sepengetahuan guru yang ada disekolah. Karena takut ketahuan oleh orang tua murid
kalau peneliti melakukan penelitian disekolah tersebut. Ibu Endang juga
29
Universitas Sumatera Utara
memerintakan kepada peneliti jangan masuk kedalam kelas sebelum diizinkan oleh
gurunya. Selama masi belum diizinkan oleh guru untuk masuk kedalam kelas yang
sedang melakukan proses belajar mengajar saya di suruh hanya menunggu diruang
tunggu selayaknya seperti menunggu jemputan anak yang hendak pulang sekolah.
Peneliti menyetujui semua perintah yang diberikan kepala sekolah agar peneliti bisa
cepat diizinkan melakukan penelitiaan di sekolah tersebut.
Awal peneliti melakukan penelitian di sekolah tersebut pada pertengahan
bulan oktober tahun 2015. Hari pertama melakukan penelitian peneliti bingung untuk
memulai dari mana. Interview guide yang saya buat seolah tidak menjadi kunci
penyelesaian peneliti dalam mencari informasi dilapangan. Pada saat hari pertama
peneliti kebanyakan duduk diruang tunggu sambil melihat anak autis yang bermain
terhadap guru dan terhadap teman lainnya juga. Kendala terbesar peneliti adalah
ketika mengajak anak autis berbicara. Anak autis yang sangat sulit berbicara
membuat saya sulit dalam melakukan komunikasi dengan anak autis. Sehingga saya
kebanyakan melihat tingkah laku anak autis pada saat diruang tunggu tersebut.
Dengan bantuan guru yang mengizinkan peneliti melakukan pengamatan pada saat
proses mengajar membuat peneliti cukup mengetahui sedikit tentang anak autis.
Pada saat proses belajar mengajar diawal peneliti melakukan penelitian, saya
diizinkan oleh Ibu Endang untuk masuk pertama keruangan tempat beliau mengajar,
selain beliau kepala sekolah beliau juga turut mengajar disekolah tersebut layaknya
guru lain. Peneliti melihat Ibu Endang sangat susah mengajar anak autis melihat
kesusahan anak berbicara membuat Ibu Endang harus bisa bersabar dalam mengatasi
30
Universitas Sumatera Utara
anak tersebut. Pernah terlihat saya pada saat Ibu Endang menggunakan intonasi kuat
dalam memberitahukan anak autis, Ibu Endang bukan bermaksud untuk marah tapi
agar sianak bisa lebih mengerti maksud tujuan guru tanpa disadari si anak hampir
melempar guru dengan sesuatu yang ada diatas meja belajar. Ibu Endang langsung
mendinginkan suasana agar si anak tidak marah terhadap Ibu Endang.
Melihat kejadian tersebut peneliti langsung bisa mengantisipasi perlakuaan
yang harus peneliti perbuat dalam mengatasi anak autis selama melakukan penelitian
disekolah tersebut. Memang terlihat merepotkan pada saat ada mahasiswa melakukan
penelitian sekolah tersebut. Selama saya mengamati diruangan Ibu Endang
menggajar, kebanyakan anak didik Ibu Endang menoleh ke peneliti dan terkadang
membuat ibu Endang harus memerintahkan anak tersebut untuk melihat bu endang
dan mengikuti peroses belajar mengajar. melihat kejadian tersebut yang tadinya saya
berada disamping anak autis tersebut peneliti pindah ke belakang anak autis tersebut
agar tidak menggangu pandangannya.
Ketika ibu Endang keluar dari ruangan hendak menggambil sesuatu, peneliti
berusaha mengajak anak tersebut untuk berbicara dan menanyakan siapa namanya
tapi anak tersebut hanya diam dan tunduk sambil memegang pensil yang ada diatas
meja. Saya berusaha berbicara selembut mungkin tapi anak tersebut tidak mau diajak
berbicara dan hanya menunduk saja. Pada saat ibu Endang masuk beliau melihat
peneliti berbicara dengan anak autis tersebut tapi di diamin oleh anak tersebut, ibu
Endang berbicara kepada anak tersebut untuk menjawab pertanyaan peneliti. Ibu
Endang berkata kepada peneliti kalau terhadap orang baru mereka butuh waktu untuk
31
Universitas Sumatera Utara
meresponnya jadi sangat sulit untuk melakukan pendekatan terhadap anak autis ini.
Terkadang kita juga harus menggunakan intonasi suara yang lebih kuat agar mereka
kadang mau menuruti apa yang kita mau asalkan jangan sampai mereka merasa
tertekan.
Hari demi haripun terus berlanjut, informasi terbesar yang saya dapatkan
hanya dari guru-guru dan guru-guru juga yang membantu menjawab semua
pertanyaan yang ada di daftar pertanyaan selain dari pengamatan yang saya lihat
dilapangan.
Kesulitan peneliti juga terjadi pada saat menggambil foto di lokasi
penelitiaan, orang tua yang terkadang menunggu diruang tunggu membuat peneliti
sulit menggambil foto ketika anak melakukan interaksi selama diruang tunggu.
Begitu juga pada saat anak autis melakukan terapi dengan alat terapi peneliti tidak
bisa menggambil foto karena keseringan orang tua mendampingi anaknya dalam
melakukan terapi dengan alat terapi. Sehingga pengambilan foto alat terapi yang ada
disekolah tersebut saya ambil hanya pada saat ruangan terapi tidak digunakan.
Pada saat melakukan wawancara ketika guru melakukan proses mengajar guru
teteap memberi respon baik dalam menjawab setiap pertanyaan yang saya sampaikan.
Wawancara terhadap guru keseringan peneliti lakukan di dalam kelas pada saat
proses belajar maupun saat selesai belajar. Terkadang saya juga membantu proses
kegiatan belajar yang dilakukan guru terhadap anak autis seperti ketika menulis,
meronce, menggambar dan sebagainnya. Saya juga kadang membantu guru
menenangkan anak yang sangat hiperaktif bergerak. Dengan cara ini penelitimembuat
32
Universitas Sumatera Utara
pendekatan agar guru tidak bosan menjawab setiap pertanyaan peneliti. Terkadang
guru menceritakan semua masalah pendidikan anak-anak autis disekolah tersebut
tanpa ada di daftar pertanyaan saya, keterbukaan guru dalam membantu dalam
memberitahukan seputar pendidikan anak autis membuat saya mendapatkan
informasi lebih baik. Semua guru yang ada di sekolah tersebut sangat ramah dan
sangat terbuka atas setiap wawancara yang saya lakukan. Hanya saja peneliti dikasih
kesempatan oleh kepala sekolah selama 45 menit di ruangan saat proses belajar
mengajar berlangsung. Hal ini bertujuan agar tidak menggangu perhatiaan sianak
selama saya berada di dalam ruangan.
Selama peneliti disekolah duduk diruang tunggu merupakan suatu
pengamatan yang penting bagi saya untuk mendapatkan informasi. Interaksi semua
pihak seperti anak dengan guru, guru dengan orang dan sebagainya sering terjadi di
ruang tunggu. Cara berinteraksi antara orang tua dan guru peneliti bisa dapatkan di
ruang tunggu ini mulai dari pembicaraan antara guru dengan orang tua mengenai
peningkataan anaknya selama disekolah serta kedekatan antara guru dengan orang tua
bisa peneliti lihat di ruang tunggu.
Interaksi sesama orang tua juga peneliti dapatkan dari pengamatan yang
peneliti lihat selama saya duduk diruang tunggu. Pembicaraan antara sesama orang
tua yang sering terdengar saya merupakan suatu informasi bagi saya terhadap
interaksi sesama orang tua yang ada disekolah tersebut. Kedekatan sesama orang tua
mulai dari belanja bersama kadang sering mereka lakukan selama tidak ada kegiataan
lain diluar dari menungu anaknya pulang sekolah. Terkadang pembicaraan orang tua
33
Universitas Sumatera Utara
yang saling mendukung sesama anaknya sering terdengar peneliti pada saat mereka
menunggu anaknya pulang. Pengamatan observasi yang saya lakukan diruang tunggu
sangat membantu saya dalam menggumpulkan data mengenai interaksi yang terjadi
selama disekolah tersebut.
Kepala sekolah yang ramah dan sangat membantu peneliti terkadang
memberikan waktunya untuk berbicara mengenai seputar anak autis diruang tunggu
maupun diruang kelas yang kosong. Pembicaraan yang saya lakukan de
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh
manusia. Pendidikan dapat menjadi bekal bagi individu dalam menentukan arah
hidup yang lebih baik. Undang-undang (UU) No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional telah mengamanatkan dilaksanakannya pendidikan kepada
seluruh rakyat Indonesia sejak usia dini, yakni sejak anak dilahirkan. Pendidikan di
Indonesia memiliki beranekaragam pengajaran tersendir 1i meskipun memiliki konsep
dan metode yang berbeda dalam sistem pengajarannya. Tetapi setiap sekolah
memiliki budaya dalam sistem mengajari anak didik dalam penyampaiannya dengan
tepat sasaran dan mudah dimengerti anak didik sehingga menghasilkan anak didik
yang terampil.
Menurut Suparlan Suhartono dalam Burhanuddin (2011:226), bahwa
pendidikan adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman
dalam segala situasi kegiatan kehidupan. Pendidikan berlangsung disegala jenis,
bentuk dan tingkat lingkungan hidup yang kemudian mendorong pertumbuhan segala
potensi yang ada didalam diri individu. Dengan kegiatan pembelajaran seperti itu,
individu mampu mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa,
1
Secara umum pendididkan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik indidvidu, kelompok
atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.
1
Universitas Sumatera Utara
cerdas, dan matang. Sehingga pendidikan merupakan sistem proses perubahan
menuju pendewasaan, pencerdasan dan pematangan diri. Setiap individu memiliki
perbedaan karakter sehingga besarnya peran pendidikan dalam membentuk karakter
seseorang menjadi lebih baik lagi. Beda karakter maka beda pula pola pengajaran
yang diberikan seorang pendidik atau pengajar terhadap anak didiknya.
Pendidikan memiliki target yang berbeda dalam pengajarannya. Pendidikan
orang normal berbeda dengan pendidikan orang yang berkebutuhan khusus terutama
terhadap anak autis. Sistem pengajaran anak autis memiliki budaya tersendiri dalam
pengajarannya. Metode dan konsep dari setiap materi mungkin memiliki cara yang
sama pada setiap sekolah, akan tetapi memiliki cara yang berbeda dalam sistem
penyampaian dan pola dalam mengajarkan anak autis tersebut. Hal ini yang menjadi
budaya mengajar tersendiri terhadap sekolah tersebut. 2
Pendidikan anak autis termasuk dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan anak autis yang termasuk dalam anak berkebutuhan khusus juga masuk
dalam peraturan perundang-undangan, dimana keputusan Menteri pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 011/U/2002 tentang Penghapusan Evalusi
Belajar Tahap Akhir Nasional Sekolah Dasar Luar Biasa (PEBTANSDLB), yaitu:
Sekolah Luar Biasa Tingkat Dasar(SLBTD) dan Madrasah Ibtidaiyah(MI). Disini
anak
2
autis
menjadi
pengecualian
dalam
memperoleh
pendidikan
dengan
.2005.Undang-Undang Sistem Pendidikan.Jakarta:Pustaka Pelajar.
Pengecualian dalam memperoleh pendididkan terhadap anak autis untuk menciptakan keadilan dalam mendapat pendididkan
yang layak bagi seluruh umat manusia (Danauatmaja 2003:2).
2
Universitas Sumatera Utara
sistempengajaran yang berbeda terhadap pengajaran orang normal dengan
penghapusan evaluasi dalam pendidikannya.
Istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang
berarti paham
sehingga autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang
kompleks dan ditandai dengan kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, perilaku
yang berulang-ulang dan perilaku yang terbatas. Sehingga anak autis merupakan
kategori ketidakmampuan anak yang ditandai dengan adanya gangguan dalam
komunikasi, interaksi sosial, gangguan indrawi, pola bermain dan perilaku emosi. Hal
ini yang menjadi pengecualian seorang anak autisme yang mendapat perolehan dan
perhatian khusus dalam mendapatkan pendidikan yang layak(dalam Danauatmaja
2003:2-3).
Berdasarkan data dari Badan Penelitian Statistik (BPS) sejak 2010 dengan
perkiraan hingga 2016, terdapat sekitar 140 ribu anak di bawah usia 17 tahun
menyandang autisme. Perkembangan autismedi Indonesia semakin tahun semakin
meningkat. Kalau di awal 2000-an prevalensinya sekitar 1:1000 kelahiran, penelitian
pada 2008 menunjukkan peningkatan hingga 1,68:1000 kelahiran. Jumlah tersebut
kurang lebih tidak jauh berbeda dengan yang diperkirakan oleh badan penelitian dan
konsulting, SPIRE. Dari data pemetaan anak berkebutuhan khusus di Indonesia,
diperkirakan terdapat 139.000 penyandang autisme dari 400.000 anak berkebutuhan
khusus (ABK). Penyebaran paling banyak terdapat pada daerah dengan
rasiokepadatan penduduk paling tinggi. Sebagai contoh, daerah dengan perkiraan
jumlah
3
Universitas Sumatera Utara
kasus autisme tertinggi ada di Provinsi Jawa Barat, dengan total mencapai 25 ribu
anak. 3
Melihat angka statistik peningkatan anak autisme ini menunjukan perlunya
perhatian dan pendidikan khusus terhadap mereka yang menyandang autis. Hal ini
disebabakan Negara Indonesia adalah yang mendukung Hak Asasi Manusia (HAM),
Hal ini di sebabkan penyandang autis juga berhak mendapatkan hak asasinya dalam
memperoleh keadilan terutama dipendidikan. Selanjutnya, Perhatian yang penting
terhadap pembangunan sekolah autis perlu ditingkatkan, adanya sekolah-sekolah autis
dapat membantu mereka untuk memperoleh pendidikan yang layak. Maka dari pada
itu perlu adanya pola pengajaran yang berbeda terhadap anak autis agar konsep
pembelajaran dapat diterima dengan baik dan pembentukan karakter yang baik pula.
Sekolah-sekolah autis yang ada di Medan memberikan warna tersendiri dalam
mengajarkan anak autis tersebut. Pengajaran tersendiri ini yang menjadi budaya
mengajar dari sekolah tersebut mulai dari sistem pengajaran hingga sistem perilaku
guru yang mengajar.
Keberhasilan suatu lembaga pendidikan yaitu sekolah memiliki visi dan misi
dalam mewujudkan budaya pendidikan ditanah air. Dizaman sekarang ini sekolah
melakukan berbagai macam program untuk meningkatkan pendidikan. Usaha-usaha
3
Autisme di Indonesia Terus Meningkat - 1128312 ... - Okezone
lifestyle.okezone.com/read/2015/.../autisme-di-indonesia-terus-meningka...
4
Universitas Sumatera Utara
dari pemikiran manusia inilah yang menjadi suatu perencanaan dalam pembentukan
suatu karakter individu manusia melalui pendidikan. Terutama dikaum pengajaran
anak autis. Sistem pengajaran ataupun pengolahan pengajaran harus sesuai dengan
karakter setiap anak didik yang diajarkan. Guru-guru harus memiliki pendekatanpendekatan tersendiri dalam mengajarkan anak autis. Jelas berbeda ketika mengajar
anak autis dengan anak yang normal. Pendekatan pembelajaran secara langsung yang
merupakan pendekatan yang terstruktur dan berpusat pada guru yang digolongkan
berdasarkan arahan dan kontrol dari guru yang merupakan suatu pola pengajaran
yang sangat membangun karakter anak didik. Setiap guru harus memiliki harapan
tinggi dalam kemajuan anak didiknya yang berkarakter seperti apapun baik normal
maupun tidak normal agar setiap anak didik merasa dihargai dan memiliki arah dari
pendidikannya yang dapat memicu semangat dari anak yang diajarkan (Sjarkawi
2006).
Memahami jalan perkembangan dan kemajuan sangatlah penting untuk
mengajar dalam cara yang optimal untuk setiap anak yang dalam keadaan seperti
apapun (dalam Santrock 2009:15). Hal ini menunjukan peran seorang guru dalam
merubah sesuatu dari yang kurang baik menjadi lebih baik dan dari yang tidak bisa
menjadi bisa. Sehingga membuat para guru dapat membentuk pola mengajar yang
baik agar anak didik bisa menjadi lebih baik. Hal ini serupa halnya dengan
mengajarkan seorang anak autis yang memiliki pemikiran dan karakter yang tidak
normal. Seorang guru harus mampu memiliki pola pengajaran untuk membentuk
pemikiran dan karakter yang lebih baik.
5
Universitas Sumatera Utara
Menurut Hardiono S. Pusponegoro(2003:1-5), pendidikan anak autis memiliki
perbedaan tersendiri dengan anak-anak normal lainnya. Anak autis memiliki fakta
pengajaran yang unik. Pengajaran anak autis yang baikpun adalah dengan cara satu
guru mengajarkan satu murid. Hal ini dikarenakan anak autis memiliki kelainan
mental yang disebabkan sindrom, sehingga menyebabkan interaksi anak tidak dapat
berjalan dengan baik. Perilakunya yang menyendiri dan sikapnya yang sensitif
terhadap orang banyak membuat seorang anak autis memerlukan pengajaran secara
pribadi. 4
Budaya mengajar merupakan suatu sistem yang harus dibangun oleh lembaga
pendidikan yang salah satunya sekolah. Karena pola-pola pengajaran tersendiri inilah
menjadi suatu identitas sekolah yang membuat sekolah tersebut berbeda dengan
sekolah lainnya. Budaya mengajar salah satu sistem penerapan pola-pola mengajar
anak agar anak dapat mengikuti sistem dan terikat dalam sistem tersebut.Banyak
sekolah-sekolah menjadi favorit, karena membangun budaya mengajar disekolah
dengan baik. Serta penerapannya yang ketat dan terus-menerus diterapkan terhadap
anak didik sehingga menjadi suatu kebiasaan baik yang berujung pada nilai-nilai yang
positif. Kebiasaan-kebiasan yang baik inilah yang menjadi budaya sekolah yang
dibentuk dari pola-pola mengajar disekolah.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk melakukan budaya mengajar dengan
baik. Misalnya, dengan menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan
4
Menurut Hardiono S. Pusponegoro (2003:4), pendidikan anak autis memiliki sistem pengajaran tersendiri serta perlu perhatian
dan emosional yang khusus dalam mengajarkannya
6
Universitas Sumatera Utara
materi yang disampaikan dan disesuaikan kondisi siswa termasuk seperti kondisi
anak autis. Dengan adanya ketetapan dalam memilih sebuah metode pembelajaran
maka akan dengan mudah mencapai tujuan dari budaya mengajar yaitu pembelajaran.
Keberhasilan suatu pembelajaran dapat diukur dari sejauh mana peserta didik
mengalami perubahan yang lebih baik . Kalau dalam mengajar orang normal dapat
dilihat dari bagaimana sianak dapat menguasai materi. Tetapi dari segi anak autis
dapat dilihat dari perubahan karakter yang lebih baik.
Banyak anak-anak autis yang tidak mendapatkan pendidikan yang selayaknya.
Kebanyakan orang tua menggangap anaknya yang menderita autis tidak memiliki
masa depan, sehingga tidak perlu untuk sekolah seperti layaknya orang normal.
Menurut penelitian yang dilakukan para ahli, sebagian dari anak autis adalah anak
yang jenius. Hal ini yang tidak diketahui oleh banyak orang sehingga tidak
mengetahui seberapa besar potensi anak autis. Permasalahan anak autis sangatlah
tertutup dalam arti tidak terlalu dipublikasikan keberadaanya sehingga kurangnya
perhatian dan sosialisasi terhadap anak autis. Bisa dilihat dari keberadaan sekolahsekolah anak autis ditiap kota, jumlahnya yang sedikit membuat anak-anak autis
susah untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hal disebabkan kurangnya
sosialisai pemerintah terhadap anak autis di Indonesia ini.
Antropologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari manusia dan
kebudayaannya dimana manusia memiliki suatu kebiasaan-kebiasaan yang terjadi
berulang-ulang sehingga hal tersebut menjadi budaya bagi suatu kelompok-kelompok
manusia. Didalam sekolah terdapat individu dan kelompok manusia yang didalamnya
7
Universitas Sumatera Utara
terdapat banyak interaksi-interaksi sosial serta kegiatan-kegiatan sosial yang dapat
menjadi suatu obyek penelitian antropologi, dimana budaya mengajar tersebut salah
satu obyek penelitian antropologi. Ilmu antropologi pendidikan merupakan suatu
penerapan yang penting dalam membentuk budaya mengajar di dalam pendidikan.
Menurut F Boas (dalam Koentjaraningrat 1990:228), bahwa pentingnya
penelitian mengenai pendidikan sekolah dalam masa transmisi 5 dan perubahan
kebudayaan, dimana penyesuaian pendidikan terhadap individu berbeda-beda dan
penerapan pengajarannya yang berbeda pula. Dimana antropologi memiliki peran
dalam penelitian budaya mengajar karena materi-materi dan konsep-konsep yang ada
pada ilmu antropologi.
Menurut koentjaraningrat (1990:231), tanggapan yang baik dimiliki ilmu
antropologi dalam penelitian pendidikan karena antropologi memiliki pendekatan
wawancara yang dianggap sangat berguna untuk memperoleh banyak data,
pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai masalah transmisi
kebudayaan pada umumnya, pendekatan antropologi dapat menambah pengertian
mengenai cara mendidik murid-murid dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda-beda dan metode cross-cultural (lintas budaya) yang dikembangkan oleh
antropologi dianggap dapat membantu ilmu pendidikan komperatif. Sehingga
pendidikan
yang
berhubungan
erat
dengan
kebudayaan
dapat
menjadi
5
Transmisi Budaya adalah suatu upaya atau proses dalam menyampaikan sikap, keyakinan, nilai-nilai, pengetahuan
dan juga ketrampilan dari suatu generasi kepada generasi selanjutnya, sehingga budaya tersebut dapat tetap
dipertahankan nilai-nilainya. Pengertian transmisi budaya, juga mencakup bagaimana menemukan dan menciptakan
sesuatu yang baru. Fungsi transmisi budaya masyarakat kepada anak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
(1) transmisi pengetahuan dan ketrampilan, (2) transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma.
8
Universitas Sumatera Utara
topikpembahasan ilmu Antropologi. Berdasarkan uraian diatas mengenai banyak
permasalahan pendidikan yang tidak terlepas dari peran budaya, inilah yang menjadi
ketertarikan penulis untuk mengkaji bagaimana pola ajar-mengajar para guru di
Yayasan Talikasih Medan.
1.2.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan permasalahan
penelitian ini adalah bagaimana budaya proses ajar mengajar di Yayasan Tali Kasih
Medan. Dari permasalahan di atas dijabarkan pertanyaan penelitiansebagai berikut:
1. Bagaimana pola pengajaran yang dilakukan para guru di Yayasan Tali Kasih
Medan?
2. Bagaimana interaksi antara guru dengan anak autis, guru dengan guru, anak
autis dengan anak autis , guru dengan kepala sekolah, guru dengan dengan
orang tua murid dan sekolah dengan pemerintah di Yayasan Tali Kasih
Medan?
3. Bagaimana pembentukan karakter melalui pendidikan yang dilakukan guru
terhadap anak autis di Yayasan Tali Kasih Medan?
9
Universitas Sumatera Utara
1.3. TINJAUN PUSTAKA
Pendidikan tidak terlepas dari kebudayaan, karena didalam suatu pendidikan
terdapat aturan-aturan, ide-ide, nilai-nilai, gagasan dan aktifitas. Ada tiga wujud
kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1987: 186-187). Pertama wujud kebudayaan
sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas
atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk abstrak,
sehingga tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam
pikiran masyarakat. Ide atau gagasan merupakan bagian terpenting di dalam
masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan
yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Nilai-nilai yang
ditanamkan dari pendidikan merupakan suatu dasar dalam pembentukan karakter
individu. Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Didalam
pendidikan terdapat pedoman yang memberikan arah baik maupun positif terhadap
kehidupan manusia.
Manusia sangat menggantungkan harapan yang besar terhadap proses dan
interaksi yang terjadi dalam dunia pendidikan. Pendidikan dapat dijadikan sebagai
instrument peningkatan kemajuan 6masyarakat, perkembangan idiologi, budaya dan
ekonomi. Itulah sebabnya pendidikan merupakan sebuah kekuatan sosial sekaligus
6
Pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari/ menuju untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara
semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial ( Muhyi Batubara 2004: 11).
10
Universitas Sumatera Utara
dapat digunakan untuk melakukan penelitian dan kritik terhadap upaya-upaya
pencapain sesuatu dimasyarakat ( dalam Muhyi 2004: 10-11).
Menurut Fortes (dalam Koentjaraningrat 1990:230), pendidikan seringkali
berupa bimbingan yang dilakukan warga masyarakat dengan cara memberi
penerangan, persuasif, ransangan untuk hal-hal yang positif dan menghindari hal-hal
yang negatif.
Menurut John Dewy ( dalam Santrock 2003: 85), ada 3 ide yang berhubungan
dengan pendidikan, yaitu:
1. Pandangan anak sebagai pembelajar yang aktif, yakni: anak-anak harus duduk
tenang dikursi mereka dan secara pasif belajar dengan menghafal.
2. Pendidikan harus berfokus pada anak secara menyeluruh dan menekankan
adaptasi anak pada lingkungan.
3. Semua anak-anak harus mendapatkan pendidikan secara kompleks. Tidak ada
pengecualian
untuk
anak-anak
dalam
mendapatkan
pendidikan.
Bagaimanapun anaknya tetap harus mendapatkan pendidikan yang layak
walaupun memiliki penerapan pengajaran yang berbeda.
Walaupun orang telah memahami berbagai teori pendidikan, seseorang tidak
boleh menganggap bahwa manusia telah memiliki resep untuk menjalankan tugas
dalam pendidikan. Dalam pendidikan tidak dikenal suatu resep yang pasti, karena
yang paling utama dalam pendidikan adalah kepribadian dan kreativitas pendidikan,
karena dalam kepribadian dan kreativitas pendidikan terdapat berbagai macam pola-
11
Universitas Sumatera Utara
pola pemikiran dan karakter-karekter yangberbeda sehingga tidak memiliki resep
yang pasti. Hal ini dikemukakan oleh Prof. Sikun Pribadi dalam bukunya “Landasan
pendidikan”,(dalam Burhanudin 2011:3) sebagi berikut:
“Itu sebabnya mengapa suatu upaya pendidikan tidak dapat dan tidak boleh
dikemukakan dalam bentuk resep atau aturan yang tetap untuk dijalankan.
Yang penting bukan resepnya, melainkan kepribadian dan kreativitas
pendidik sendiri. Pendidikan (walaupun harus didukung oleh ilmu pendidikan
atau pedagogik) dalam pelaksanaannya lebih merupakan seni dari pada
teori.”
Oleh sebab itu setiap tindakan dalam pendidikan, tidak begitu saja dengan
sendirinya dapat menerapkan teori yang ada. Dalam prakteknya kita harus
memperhatikan anak itu sendiri, tergantung kepada kepribadian pendidik, situasi dan
kondisi lingkungan dan tujuan yang akan dicapai agar dapat menciptakan budaya
mengajar pendidik dalam mengajar.
Menciptakan budaya mengajar untuk membentuk karakter anak didik menjadi
suatu hal yang diperlukan dalam proses belajar mengajar. Budaya mengajar dapat
membangun sistem belajar yang baik karena di dalamnya terdapat materi dari suatu
kebiasaan yang baik dalam suatu proses mengajar.Budaya mengajar terbagi atas dua
kata budaya dan mengajar. dimana setiap katanya mengandung arti yang berbeda
dalam penjelasannya tetapi miliki keterkaitan yang erat dalam suatu sistem
pendidikan.
Menurut E.B Tylor (dalam Poerwanto 2000:52) kebudayaan adalah
keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hokum,
moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai
12
Universitas Sumatera Utara
anggota masyarakat. 7Kebudayaan menjadi pedoman dalam sistem pendidikan. Nilainilai pendidikan yang berjalan dalam suatu sekolah dapat memberikan warna
tersendiri bagi sekolah tersebut. Karena sistem-sistem,nila-nilai dan berbagai macam
yang dibangun dalam proses belajar-mengajar merupakan hasil pemikiran dan hasil
karya cipta manusia dimana hasil pemikiran dan karya cipta manusia merupakan
konsep dasar dari kebudayaan. Jadi kebudayaan tidak akan terlepas dari pendidikan.
Kluckhohn (dalam Poerwanto 2000: 52-59) mengatakan bahwa dalam setiap
kebudayaan makhluk manusia juga terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sifatnya
universal meliputi sistem organisai sosial, sistem mata pencaharian hidup, sistem
teknologi, sistem pengetahuan, kesenian, bahasa dan religi.
Semua unsur-unsur
tersebut erat hubungannya dalam pendidikan. Hal ini menyatakan kebudayaan tidak
terlepas dari pendidikan karena ketujuh unsur kebudayaan menurut Kluckhohn ada
didalam pendidikan dan menjadi unsur pendorong keberadaan suatu pendidikan.
Didalam budaya pendidikan, mengajar merupakan bagian dari hal tersebut.
Mengajar menjadi suatu alat dalam penyampain pokok materi terhadap anak didik.
Didalam mengajar ini terdapat pola-pola dalam memberikan ilmu pengetahuan
terhadap anak didik.
Menurut Mead (dalam Koenjaraningrat 1990:230), dalam pendidikan
masyarakat sederhana, dimana Ia membedakan antara learning cultures (budaya
7
Pengertian kebudayaan menurut Herkovists (https://id.wikipedia.org?wiki/budaya), bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu
yang diteruskan secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi lain, kebudayaan berisikan seluruh nilai, norma,
pengertian, ilmu pengetahuan, religious, struktur sosial dan nilai sebagai wujud intelektual dan rasa seni yang menjadi
indentitas atau ciri khas sautu masyarakat.
13
Universitas Sumatera Utara
belajar) dan teaching cultures (budaya mengajar). Dalam golongan yang pertama,
warga masyrakat belajar dengan cara yang tidak resmi yaitu dengan berperan serta
dalam rutin kehidupan sehari-hari, dari mana mereka memperoleh segala
pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang mereka perlukan untuk dapat hidup
dengan layak dalam masyarakat dan kebudayaan mereka sendiri. Dalam golongan
kedua, warga masyarakat mendapat pelajaran dari warga-warga lain yang dianggap
lebih tauh.
Mengajar menurut Tardif (dalam Winkel 1987: 272) adalah perbuatan yang
dilakukan seseorang (dalam hal ini guru) dengan tujuan membantu atau memudahkan
orang lain (dalam hal ini siswa) melakukan kegiatan belajar.Mengajar adalah
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh tenaga pengajar, yang menyangkut
penyajian materi pembelajaran, supaya siswa dapat mencapai tujuan intruksional
tertentu, dimana perbuatan-perbuatan dapat ditentukan dalam rangka persiapan
pengajaran seperti menyusun perencanaan pelajaran (dalam Winkel 1987:273). Di
dalam sekolah pengajar disebut guru, guru inilah yang menyampaikan materi
pembelajaran terhadap siswa.
Mengajar memiliki prosedur-prosedur pengolongan. Ada 3 pengolongan prosedurprosedur mengajar menurut Winkel, yaitu:
1. Pola narasi (pengisahan)
: materi pelajaran langsung disajikan oleh guru
dan penyajiannya dipimpin oleh guru pula.
2. Pola perundingan bersama
: materi pelajaran dibentuk oleh guru bersama
siswa. Pimpinan dapat langsung dipegang oleh guru, dapat pula tidak.
14
Universitas Sumatera Utara
3. Pola pemberian tugas
: siswa melakukan kegiatan yang menyangkut
materi pelajaran, yang ditugaskan oleh guru.
Khusus pola 2 dan 3 dapat disertai suatu bentuk pengelompokan siswa tertentu,
dimana terjadi kerja sama antara tenaga pengajar dengan kelompok siswa atau antara
kelompok siswa yang satu dengan yang lain.
Tugas pengelolaan belajar terlaksana dalam mendidik dan mengajar. Guru
lebih bertindak sebagai pengajar bilamana mendampingi siswa dalam belajar
pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan motorik. Peranan sebagai pendidik lebih
nampak, bila menuntun siswa dalam belajar sikap dan nilai. Akan tetapi, pembedaan
ini tidak bersifat mutlak, seolah-olah guru sambil mengajar tidak mendidik dan
sambil mendidik tidak mengajar. Dalam belajar sikap dan nilai terdapat unsur
pengetahuan dan pemahaman, serta dalam belajar di bidang kognitif dan motorik
kerap terdapat unsur sikap dan nilai, yang dapat sekaligus ditanamkan dan
dikembangkan. Hal inilah menunjuk pada komponen mendidik didalam mengajar.
Menurut Diaz (dalam Santrock 2009:51), oleh karena adanya bersifat
kompleks dan adanya variasi individu diantara siswa-siswa atau anak didik, maka
pengajar efektif bukanlah jadi hal yang cocok untuk semua orang atau anak didik.
Perbedaan karakter anak normal dengan anak yang tidak normal memiliki pengajaran
efektif yang tersendiri dan berbeda-beda.
Bilamana berbicara tentang pendidikan sekolah, orang biasanya berpikir
tentang pendidikan untuk anak-anak normal yang tidak mempunyai kelainan fisik
atau mental. Akan tetapi, terdapat sekelompok anak yang membutuhkan perhatian
15
Universitas Sumatera Utara
khusus dan dalam kasus-kasus tertentu tidak dapat ditampung disekolah biasa.
Mereka disebut anak-anak berkebutuhan khusus, yang ternyata tersebar di semua
golongan masyarakat.
Anak autis termasuk dalam anak berkebutuhan khusus yang mengalami
kelainan mental. Perlunya pendidikan bagi mereka untuk mendapatkan kehidupan
yang layak seperti anak normal lainnya. Anak autis memiliki kelainan mental
sehingga memerlukan pendidikan yang berbeda dengan pendidikan anak normal.
Krakter yang berbeda membuat anak autis memerlukan pengajaran yang khusus
untuk merubah karakternya menjadi lebih baik.
Menurut Hembing Wijayakusuma(2004:1-6), anak autisme adalah gangguan
perkembangan saraf anak yang kompleks yang ditandai dengan kesulitan dalam
interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas.
Ini menyatakan bahwa anak autisme memiliki makna keadaan yang menyebabkan
anak-anak hanya memiliki perhatian terhadap dunianya sendiri. Kelainan anak
autisme ini memberikan pola pengajaran yang berbeda agar pembentukan karakter
seorang anak dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Pembentukan karakter
anak autisme ini menjadi tujuan utama dari pendidikannya. Mulai dari perilakunya,
komunikasinya, interaksi dengan teman-temannya dan pola pemikiran anak.
Dalam pembentukan karakter ada budaya mengajar tersendiri yang harus
dilakukan terhadap anak autis. Agar kepribadian anak autis dapat terbentuk dengan
baik. Peran seorang pengajar sangat dibutuhkan dalam hal ini, karena pembentukan
karakter anak merupakan proses pengajaran yang sangat sulit.
16
Universitas Sumatera Utara
Waynne (dalam Mulyasa 2011:3) mengemukakan bahwa karakter berasal dari
bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana
menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.
Berbicara karakteristik sama halnya berbicara kepribadian, Karena karakteristik
masuk dalam kepribadian.
Menurut Lickona (dalam Mulyasa 2011:4), ada 3 komponen karakter yang
baik, yaitu:
1. Moral knowing ( pengetahuan tentang moral)
2. Moral feeling ( perasaan tentang moral)
3. Moral action ( tindakan moral)
Dirjen Pendidikan Agama Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia
(dalam Mulyasa 2011:4) mengemukakan bahwa karakter dapat diartikan sebagai
totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan dapat diidentifikasi pada perilaku individu
yang bersifat unik, dalam arti secara khusus ciri-ciri ini membedakan antara satu
individu dengan yang lainnya. Karena ciri-ciri karakter tersebut dapat di identifikasi
pada perilaku individu dan bersifat unik, maka karakter sangat dekat dengan
kepribadian individu. Kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat
khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan, misalnya: keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar.
Pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun 9 pilar karakter
mulai yang selakyaknya dijadikan acuan dalam pendidikan karakter, baik disekolah
maupun diluar sekolah, yaitu sebagai berikut (dalam Mulyasa 2011:5) :
17
Universitas Sumatera Utara
1. Cinta Tuhan dan kebenaran
2. Tanggung jawab disiplin dan mandiri
3. Amanah
4. Hormat dan santun
5. Kasih sayang, peduli dan kerja sama
6. Percaya diri kreatif dan pantang menyerah
7. Adil dan berjiwa kepemimpinan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleran dan cinta damai
Hal ini yang harus dapat diciptakan dilingkungan sekolah agar dapat membentuk
karakter yang baik. Bagaimanapun sekolahnya, pilar ini tetap dijalankan baik untuk
anak didik normal maupun tidak normal hanya saja penyampaian penerpannya yang
berbeda.
Pendidikan karakter pada tingkat satuan pendidikan mengarah pada
pembentukan budaya sekolah, yaitu: nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi,
kebiasaan sehari-hari serta simbol-simbol yang dipraktekan oleh semua warga
sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah
tersebut dimata masyarakat luas.
Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan,
penciptaan lingkungan, dan pembiasaan
melalui berbagai tugas keilmuan dan
kegiatan kondusif. Dengan demikian, apa yang dilihat,didengar, dirasakan dan
dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk karakter mereka. Selain menjadikan
18
Universitas Sumatera Utara
keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim dan
budaya serta lingkungan yang kondusif juga sangat penting dan turut membentuk
karakter peserta didik.
Karakteristik dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam perubahannya.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik anak digolongkan dalam dua
faktor ( dalam Sjarkawi 2006:16), yaitu:
1. Faktor internal : faktor yang berasal dari diri orang itu sendiri. Faktor internal
ini biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan lahir, seperti anak autis.
2. Faktor ekternal : faktor yang berasal dari luar orang tersebut, seperti
pengajaran dalam perubahan karakter disekolah oleh guru yang mengajar.
Menurut Paul Gunaid (dalam Sjarkawi 2006: 11-13) pada umumnya terdapat
lima penggolongan kepribadian manusia yang sering dikenal dalam kehidupan seharihari, yaitu :
1. Tipe Sanguin
Manusia yang memiliki tipe ini memiliki ciri-ciri antara lain: memiliki
banyak kekuatan, bersemangat, mempunyai gairah hidup, dapat membuat
lingkungannya gembira dan senang. Akan tetapi memiliki kelemahan
antara lain: bertindak sesuai emosinya atau keinginannya.
2. Tipe Flegmatik
Manusia yang memiliki tipe ini memiliki ciri antara lain: cendrung tenang,
gejolak emosinya tidak tampak, menguasai dirinya dengan baik. Manusia
19
Universitas Sumatera Utara
seperti ini memiliki tipe kelemahan antara lain : tidak mau susah cendrung
mengambil sesuatu hal dengan cara muda.
3. Tipe Melamkolik
Manusia tipe ini memiliki ciri antara lain: terobsesi dengan karyanya yang
paling bagus, mengerti estetika keindahan hidup, perasaannya sangat kuat
dan sangat sensitif. Kelemahan ciri ini adalah sangat mudah dikuasi oleh
perasaan dan cendrung perasaan yang mendasari hidupnya sehari-hari
adalah perasaan yang murung.
4. Tipe Kolerik
Manusia yang termasuk tipe ini memiliki ciri antara lain : cendrung
berorientasi pada tugasnya dan memiliki disiplin sikap. Kelemahan dari
ciri ini antara lain: kurang memiliki rasa kasihan.
5. Tipe Asertif
Manusia yang temasuk tipe ini memiliki ciri antara lain: mampu
menyatakan pendapat, ide
tegas dalam bersikap, jujur ,berani dan
perasaanya yang halus. Kelemahan dari ciri tidak tampak karena termasuk
tipe yang ideal.
Dari semua tipe ini juga di miliki oleh masing-masing individu anak autis
tetapi yang diambil dari tipe ini adalah kelemahan-kelemahannya. Karena yang
dimiliki anak autis adalah kelemahan-kelemahan yang ada pada semua tipe ini.
Kepribadian adalah khas bagi setiap pribadi, sedangkan gaya kepribadiaan
bisa dimiliki oleh orang lain yang juga menununjukan kombinasi yang berulang-
20
Universitas Sumatera Utara
ulang secara khas dan dinamis dari ciri pembawaan dan pola kelakuan yang sama.
Gregory (dalam Sjarkawi 2006: 13) membagi tipe gaya kepribadian kedalam 12 tipe,
yaitu:
1. Kepribadian yang mudah menyesuaikan diri
Seseorang dengan gaya kepribadian yang mudah menyesuaikan diri dengan
orang lain memiliki ciri seperti: komunikatif, bertanggung jawab, ramah
santun dan memperhatikan perasaan orang lain.
2. Kepribadian yang berambisi
Seseorang dengan gaya kepribadian yang berambisi adalah orang yang benarbenar miliki ambisi terhadap semua hal.
3. Kepribadian yang memengaruhi
Seseorang dengan gaya kepribadian yang memengaruhi adalah orang yang
terorganisasi dan berpengetahuan cukup yang memancarkan kepercayaan,
dedikasi dan berdikari.
4. Kepribadian yang berprestasi
Seseorang dengan gaya kepribadian berprestasi adalah orang yang
menghendaki melakukan suatu hal dengan cemerlang.
5. Kepribadian yang idealistis
Seseorang dengan gaya kepribadian idealistis adalah memandang dirinya
seperti dia memandang hidup yang penuh dengan kehati-hatian dalam
memilih segala hal.
21
Universitas Sumatera Utara
6. Kepribadian yang sabar
Seseorang dengan gaya kepribadian sabar adalah orang yang memang sabar
hampir tidak pernah putus asa,ramah-tamah dan rendah hati.
7. Kepribadian yang mendahului
Seseorang dengan gaya kepribadian mendahului adalah
orang yang
menjujung tinggi kualitas dan mengerti kualitas.
8. Kepribadian yang perseptif
Seseorang dengan gaya kepribadian perseptif adalah orang yang cepat tanggap
terhadap kekurangan.
9. Kepribadian yang peka
Seseorang dengan gaya kepribadian peka adalah orang yang suka termenung,
berintropeksi, sangat peka terhadap suasana jiwa sifat-sifat sendiri, perasaan
dan pikiran.
10. Keperibadian yang berketetapan
Seseorang dengan gaya kepribadian berketetapan adalah orang yang
menekankan pada 3 hal sebagai landasan dari gaya kepribadiannya, yaitu
kebenaran, tanggung jawab dan kehormatan.
11. Kepribadian yang ulet
Seseorang dengan gaya kepribadian ulet adalah orang yang memiliki jiwa
kerja keras.
22
Universitas Sumatera Utara
12. Kepribadian yang berhati-hati
Seseorang dengan gaya kepribadian berhati-hati adalah orang yang
terorganisasi, teliti,berhati-hati, tuntas dan senantiasa mencoba menunaikan
kewajibannya.
Semua kepribadian ini memang bagian dari kepribadian orang normal tetapi
semua kepribadian ini memiliki kaitan yang erat terhadap anak autis. Kebalikan dari
semua kepribadian inilah yang menjadi keperibadian anak autis kecuali keperibadian
yang peka. Karena yang paling tetap dalam keperibadian anak autis adalah
kepribadian yang peka, karena kepribadian yang peka bersifat sering melakukan
tindakan termenung dimana anak autis sangat suka termenung.
1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji budaya ajar mengajar di Yayasan Tali Kasih Medan.
2. Untuk mengetahui interaksi-interaksi antara guru dengan guru, guru dengan
anak autis dan anak autis dengan anak autis.
3. Untuk mengetahui proses pembentukan karakter yang di lakukan oleh guru
terhadap anak autis.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah
1. Menambah wawasan tentang pendidikan anak autis yang berbeda dengan
pendidikan anak normal lainnya
23
Universitas Sumatera Utara
2. Menambah wawasan tentang prospek dari masa depan anak autis yang telah
mendapat pendidikan.
3. Menambah wawasan bagaimana mengajar anak autis sehingga dapat
membentuk kepribadian yang lebih baik.
1.5. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode penelitian
etnografi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan etnogarafi
berusaha
untuk
menemukan
sebuah
data
ataupun
informasi
yang
dapat
menggambarkan suatu keadaan kebudayaan yang diteliti secara utuh sesuai dengan
fokus masalah yang dikaji.
Menurut pendapat Spradley (blogspot.com//…/resume/arti-metode-etnografi),
etnografi adalah kegiatan menguraikan dan menjelaskan suatu kebudayaan. Etnografi
merupakan salah satu dari sekian pendekatan dalam Penelitian Kualitatif. Dalam
istilah Yunani, ethnos, berarti masyarakat, ras atau sebuah kelompok kebudayaan,
dan etnografi berarti sebuah ilmu yang menjelaskan cara hidup manusia. Pada
perkembangan selanjutnya dalam etnografi terjadi banyak perdebatan tentang cara
bagaimana manusia (baca peneliti – ‘self’) menjelaskan cara hidup manusia lainnya
(‘yang diteliti’ – ‘other’) termasuk di dalamnya tentang cara-cara bagaimana peneliti
melihat yang lainnya untuk kemudian menceritakannya kepada manusia lainnya.
Etnografi juga diartikan sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari tentang
kehidupan sosial dan budaya sebuah masyarakat, lembaga dan setting lain secara
24
Universitas Sumatera Utara
ilmiah, dengan menggunakan sejumlah metode penelitian dan teknik pengumpulan
data untuk menghindari bias dan memperoleh akurasi data yang meyakinkan.
Sekolah yang merupakan lembaga pendidikan, dimana didalamnya terdapat
manusia,norma,nilai-nilai dan kebudayaan menjadi suatu obyek yang dapat dikaji
melalui etnografi.
Pendekataan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah
manusia. Bogdan dan Taylor (Moleong, 2006:4) mendefinisikan metodologi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data gambaran berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurutnya,
pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh),
sebagaimana koentjaraningrat mengutarakan bahwa para ahli antropologi biasanya
memakai istilah holistik untuk menggambarkan metode tinjauan yang mendekati
suatu kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan yang terintegritas (1980:224).
Peneliti langsung melakukan wawancara mendalam terhadap guru dan kepala
sekolah mengenai pendidikan yang anak autis disekolah tersebut. Peneliti juga
langsung melakukan observasi dengan melihat kegiatan proses belajar menagajar
anak autis selain itu juga peneliti mengamati interaksi secara langsung disekolah
dengan berada langsung di lingkungan sekolah tersebut.
Sugiono mengatakan (2007:140-145), Ada 2 hal yang sangat penting dalam
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu : observasi dan wawancara.
25
Universitas Sumatera Utara
Adapun metode yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data-data
tentang penelitian ini yaitu:
1. Observasi
Pengamatan yang dilakukan peneliti dengan cara langsung turun
kelapangan, mengamati kegiatan guru,mengamati anak autis, mengamati ke
Yayasan Tali Kasih Medan dan mengamati semua aktifitas didalam Yayasan
Tali kasih Medan, seperti mengamati pola-pola penerapan pengajaran
terhadap anak autis dan interksi anak autis terhadap teman dan guru-guru yang
mengajar.
Peneliti mengumpulkan data melalui observasi dengan langsung
melihat guru memarapkan metode belajar di kelas serta turut mengamati
interaksi yang terjadi di Yayasan Tali Kasih terutama di ruang tunggu sebagai
tempat bertemunya orang tua dan guru.
2. Wawancara
Model wawancara yang saya lakukan adalah dengan membuat
interview guide untuk medapatkan data-data yang akurat dilapangan.
Penggunaan bahasa yang peneliti lakukan adalah penggunaan bahasa
Indonesia dengan gaya bahasa sehari-hari agar tidak membuat informan
merasa bosan dari pertanyaan yang diajukan. Yang menjadi sasaran wancara
saya adalah kepala sekolah, guru yang mengajar, orang tua murid dan
26
Universitas Sumatera Utara
sedikitnya terhadap anak didik. Karena keterbatasan komunikasi terhadap
anak autis maka peneliti menggunakan penyesuaian bahasa dilapangan agar
terjadi interksi komunikasi yang baik antara anak autis dengan peneliti.
Wawancara peneliti langsung lakukan pada saat proses belajar mengajar dan
juga pada saat jam istirahat guru.
3. Data Sekunder
Peneliti juga memmbaca beberapa jurnal, buku-buku dan media
lainnya yang berhubungan dengan topik untuk memperkuat data-data yang
dikumpulkan dan menambah informasi dari data-data yang dikumpulkan.
Sesuai dengan buku yang dibaca data yang ada dilapangan tidak jau bedah,
jadi kebenaran data peneliti dilapangan diperkuat dengan buku-buku yang
sudah dibaca yang sudah peneliti uraikan di BAB I, misalnya seperti cicri-ciri
anak autis data dilapangan dengan data yang ada dibuka yang sudah dibaca
memiliki kesamaan.
1.6. Pengalaman Penelitian Lapangan
Penelitian dilakukan di Yayasan Tali Kasih Medan untuk mengetahui seputar
pendidikan anak autis dan pola-pola mengajar yang diterapkan terhadap anak autis.
Awal ketertarikan peneliti melakukan penelitian di sekolah ini adalah sekolah ini
merupakan sekolah pertama berdiri di Medan yang secara khusus mengajar anak
berkebutuhan khusus yaitu anak autis. Awalnya saya ingin melakukan observasi dan
27
Universitas Sumatera Utara
wawancara disekolah ini harus memerlukan izin dari pihak kepala sekolah. Pada saat
peneliti mendatangi sekolah ini untuk melakukan observasi serta untuk meminta izin
disekolah ini saya bertemu dengan pak Faisal Isnain selaku administrasi disekolah
tersebut. Peneliti dan bapak Faisal awalnya bercerita banyak tentang seputar anak
autis tentang keadaan sekolah tersebut dalam menghadapi anak autis.
Setelah pembicaraan saya tentang bertanya seputar pendidikan anak autis
disekolah tersebut, peneliti meminta izin terhadap bapak tersebut untuk dapat
melakukan penelitian di sekolah tersebut. Permintaan izin saya terhadap bapak Faisal
di tolak untuk melakukan penelitian disekolah tersebut. Beliau mengatakan di sekolah
ini sebenarnya tidak boleh dilakukan penelitian karena jika ketahuan oleh orang tua
anaknya di teliti maka pihak orang tua tidak akan menyetujui dan bisa menuntut
pihak sekolah.
Pak Faisal mengatakan memang pernah mahasiswa melakukan
penelitian disini, itupun karena saudaranya salah satu guru yang mengajar disini dan
guru tersebutpun bersedia menjaminin dan bertanggung jawab terhadap mahasisiwa
yang melakukan penelitian tersebut.
Peneliti menerangkan semua persiapan yang sudah saya lakukan untuk
melakukan penelitian disekolah tersebut. Peneliti menjelaskan saya udah membuat
proposal untuk penelitian anak autis di sekolah tersebut. Peneliti juga menceritakan
kepada pak Faisal betapa susahnya untuk ACC peroposal di jurusan antropologi. Pak
Faisal memberikan waktu kepada saya untuk berbicara langsung ke esokan harinya
kepada kepala sekolah kebetulan pada saat itu kepala sekolah tidak ada disekolah.
28
Universitas Sumatera Utara
Keesokan harinya Peneliti mendatangi sekolah tersebut, peneliti juga bertemu
dengan pak Faisal, bapak tersebut menyuruh saya untuk duduk sebentar dan
memanggil kepala sekolah. Setelah beberapa menit menunggu kepala sekolah
langsung mendatangi peneliti diruang tunggu dan peneliti langsung memberikan
salam terhadap beliau. Kepala sekolah tersebut bernama Ibu Endang, Saya langsung
menceritakan maksud tujuan peneliti atas kedatangan peneliti kesekolah terhadap Ibu
Endang. Ibu Endang memberikan respon terhap setiap percakapannnya saya, awalnya
Ibu Endang tidak memberikan izin peneliti untuk melakukan penelitian di sekolah
tersebut dengan alasan orang tua murid yang tidak suka anaknya di teliti dan di
jadikan bahan penelitian mahasiswa. Peneliti juga menceritakan kepada Ibu Endang
tentang persiapan saya dan susahnya untuk memberikan ACC judul sekripsi
dikampus.
Ibu Endang berpikir dan menghubungisalah seorang yang menurut peneliti
itu adalah penasehat sekolah tersebut. Setelah melakukan pembicaraan dengan pihak
penasehat sekolah Ibu Endang memberikan Izin dan menyuruh peneliti untuk
menyerahkan surat izin penelitian lapangan dari kampus.
Ibu Endang juga memberitahukan kepada peneliti, selama melakukan
penelitian di sekolah tersebut jangan sampai ketahuan dengan orang tua murid yang
kadang menunggu anaknya diruang tunggu. Ibu Endang juga memberitahukan tidak
boleh mengambil foto sembarangan selama berada di sekolah tanpa seizin dan
sepengetahuan guru yang ada disekolah. Karena takut ketahuan oleh orang tua murid
kalau peneliti melakukan penelitian disekolah tersebut. Ibu Endang juga
29
Universitas Sumatera Utara
memerintakan kepada peneliti jangan masuk kedalam kelas sebelum diizinkan oleh
gurunya. Selama masi belum diizinkan oleh guru untuk masuk kedalam kelas yang
sedang melakukan proses belajar mengajar saya di suruh hanya menunggu diruang
tunggu selayaknya seperti menunggu jemputan anak yang hendak pulang sekolah.
Peneliti menyetujui semua perintah yang diberikan kepala sekolah agar peneliti bisa
cepat diizinkan melakukan penelitiaan di sekolah tersebut.
Awal peneliti melakukan penelitian di sekolah tersebut pada pertengahan
bulan oktober tahun 2015. Hari pertama melakukan penelitian peneliti bingung untuk
memulai dari mana. Interview guide yang saya buat seolah tidak menjadi kunci
penyelesaian peneliti dalam mencari informasi dilapangan. Pada saat hari pertama
peneliti kebanyakan duduk diruang tunggu sambil melihat anak autis yang bermain
terhadap guru dan terhadap teman lainnya juga. Kendala terbesar peneliti adalah
ketika mengajak anak autis berbicara. Anak autis yang sangat sulit berbicara
membuat saya sulit dalam melakukan komunikasi dengan anak autis. Sehingga saya
kebanyakan melihat tingkah laku anak autis pada saat diruang tunggu tersebut.
Dengan bantuan guru yang mengizinkan peneliti melakukan pengamatan pada saat
proses mengajar membuat peneliti cukup mengetahui sedikit tentang anak autis.
Pada saat proses belajar mengajar diawal peneliti melakukan penelitian, saya
diizinkan oleh Ibu Endang untuk masuk pertama keruangan tempat beliau mengajar,
selain beliau kepala sekolah beliau juga turut mengajar disekolah tersebut layaknya
guru lain. Peneliti melihat Ibu Endang sangat susah mengajar anak autis melihat
kesusahan anak berbicara membuat Ibu Endang harus bisa bersabar dalam mengatasi
30
Universitas Sumatera Utara
anak tersebut. Pernah terlihat saya pada saat Ibu Endang menggunakan intonasi kuat
dalam memberitahukan anak autis, Ibu Endang bukan bermaksud untuk marah tapi
agar sianak bisa lebih mengerti maksud tujuan guru tanpa disadari si anak hampir
melempar guru dengan sesuatu yang ada diatas meja belajar. Ibu Endang langsung
mendinginkan suasana agar si anak tidak marah terhadap Ibu Endang.
Melihat kejadian tersebut peneliti langsung bisa mengantisipasi perlakuaan
yang harus peneliti perbuat dalam mengatasi anak autis selama melakukan penelitian
disekolah tersebut. Memang terlihat merepotkan pada saat ada mahasiswa melakukan
penelitian sekolah tersebut. Selama saya mengamati diruangan Ibu Endang
menggajar, kebanyakan anak didik Ibu Endang menoleh ke peneliti dan terkadang
membuat ibu Endang harus memerintahkan anak tersebut untuk melihat bu endang
dan mengikuti peroses belajar mengajar. melihat kejadian tersebut yang tadinya saya
berada disamping anak autis tersebut peneliti pindah ke belakang anak autis tersebut
agar tidak menggangu pandangannya.
Ketika ibu Endang keluar dari ruangan hendak menggambil sesuatu, peneliti
berusaha mengajak anak tersebut untuk berbicara dan menanyakan siapa namanya
tapi anak tersebut hanya diam dan tunduk sambil memegang pensil yang ada diatas
meja. Saya berusaha berbicara selembut mungkin tapi anak tersebut tidak mau diajak
berbicara dan hanya menunduk saja. Pada saat ibu Endang masuk beliau melihat
peneliti berbicara dengan anak autis tersebut tapi di diamin oleh anak tersebut, ibu
Endang berbicara kepada anak tersebut untuk menjawab pertanyaan peneliti. Ibu
Endang berkata kepada peneliti kalau terhadap orang baru mereka butuh waktu untuk
31
Universitas Sumatera Utara
meresponnya jadi sangat sulit untuk melakukan pendekatan terhadap anak autis ini.
Terkadang kita juga harus menggunakan intonasi suara yang lebih kuat agar mereka
kadang mau menuruti apa yang kita mau asalkan jangan sampai mereka merasa
tertekan.
Hari demi haripun terus berlanjut, informasi terbesar yang saya dapatkan
hanya dari guru-guru dan guru-guru juga yang membantu menjawab semua
pertanyaan yang ada di daftar pertanyaan selain dari pengamatan yang saya lihat
dilapangan.
Kesulitan peneliti juga terjadi pada saat menggambil foto di lokasi
penelitiaan, orang tua yang terkadang menunggu diruang tunggu membuat peneliti
sulit menggambil foto ketika anak melakukan interaksi selama diruang tunggu.
Begitu juga pada saat anak autis melakukan terapi dengan alat terapi peneliti tidak
bisa menggambil foto karena keseringan orang tua mendampingi anaknya dalam
melakukan terapi dengan alat terapi. Sehingga pengambilan foto alat terapi yang ada
disekolah tersebut saya ambil hanya pada saat ruangan terapi tidak digunakan.
Pada saat melakukan wawancara ketika guru melakukan proses mengajar guru
teteap memberi respon baik dalam menjawab setiap pertanyaan yang saya sampaikan.
Wawancara terhadap guru keseringan peneliti lakukan di dalam kelas pada saat
proses belajar maupun saat selesai belajar. Terkadang saya juga membantu proses
kegiatan belajar yang dilakukan guru terhadap anak autis seperti ketika menulis,
meronce, menggambar dan sebagainnya. Saya juga kadang membantu guru
menenangkan anak yang sangat hiperaktif bergerak. Dengan cara ini penelitimembuat
32
Universitas Sumatera Utara
pendekatan agar guru tidak bosan menjawab setiap pertanyaan peneliti. Terkadang
guru menceritakan semua masalah pendidikan anak-anak autis disekolah tersebut
tanpa ada di daftar pertanyaan saya, keterbukaan guru dalam membantu dalam
memberitahukan seputar pendidikan anak autis membuat saya mendapatkan
informasi lebih baik. Semua guru yang ada di sekolah tersebut sangat ramah dan
sangat terbuka atas setiap wawancara yang saya lakukan. Hanya saja peneliti dikasih
kesempatan oleh kepala sekolah selama 45 menit di ruangan saat proses belajar
mengajar berlangsung. Hal ini bertujuan agar tidak menggangu perhatiaan sianak
selama saya berada di dalam ruangan.
Selama peneliti disekolah duduk diruang tunggu merupakan suatu
pengamatan yang penting bagi saya untuk mendapatkan informasi. Interaksi semua
pihak seperti anak dengan guru, guru dengan orang dan sebagainya sering terjadi di
ruang tunggu. Cara berinteraksi antara orang tua dan guru peneliti bisa dapatkan di
ruang tunggu ini mulai dari pembicaraan antara guru dengan orang tua mengenai
peningkataan anaknya selama disekolah serta kedekatan antara guru dengan orang tua
bisa peneliti lihat di ruang tunggu.
Interaksi sesama orang tua juga peneliti dapatkan dari pengamatan yang
peneliti lihat selama saya duduk diruang tunggu. Pembicaraan antara sesama orang
tua yang sering terdengar saya merupakan suatu informasi bagi saya terhadap
interaksi sesama orang tua yang ada disekolah tersebut. Kedekatan sesama orang tua
mulai dari belanja bersama kadang sering mereka lakukan selama tidak ada kegiataan
lain diluar dari menungu anaknya pulang sekolah. Terkadang pembicaraan orang tua
33
Universitas Sumatera Utara
yang saling mendukung sesama anaknya sering terdengar peneliti pada saat mereka
menunggu anaknya pulang. Pengamatan observasi yang saya lakukan diruang tunggu
sangat membantu saya dalam menggumpulkan data mengenai interaksi yang terjadi
selama disekolah tersebut.
Kepala sekolah yang ramah dan sangat membantu peneliti terkadang
memberikan waktunya untuk berbicara mengenai seputar anak autis diruang tunggu
maupun diruang kelas yang kosong. Pembicaraan yang saya lakukan de