BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Orang tua - Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Orang tua

  Orang tua atau ibu dan ayah merupakan bagian dari keluarga inti. Orang tua dalam keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah yang memberikan pengaruh keturunan dan lingkungan sebagai dimensi penting yang lain bagi anak (Gunarsa dan Gunarsa, 1993 : 26).

  Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung atau ayah dan/ibu tiriatau ayah dan/atau ibu angkat.

  2.2 Pola Asuh Orang Tua

2.2.1 Pengertian Pola Asuh

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pola berarti cara kerja, bentuk (struktur yang tetap), sistem. Selanjutnya kata asuh atau mengasuh artinya menjaga (merawat dan membimbing anak). Mengasuh juga mengandung pengertian membimbing yang meliputi membantu dan melatih supaya dapat berdiri.

  Pengasuhan menurut (Schochib,2000: 15) adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Pengasuhan yang dimaksud di sini adalah mengasuh anak. Menurut Darajat mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minum, pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian diatas dapatlah dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan, yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya.

  Pengertian pola asuh orang tua terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan yang berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan setempat dan masyarakat. Orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga, mengajar, mendidik, serta memberi contoh bimbingan kepada anak-anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pola asuh yang ditanamkan tiap keluarga berbeda dengan keluarga lainnya. Hal ini tergantung dari pandangan pada diri tiap orang tua (Gunarsa, 2002: 86).

  Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku orang tua yang paling menonjol atau paling dominan dalam menangani anaknya sehari-hari. Pola orang tua dalam mendisiplinkan anak, dalam menanamkan nilai-nilai hidup, dalam mengajarkan keterampilan hidup, dan dalam mengelola emosi. Dari beberapa cara penilaian gaya pengasuhan, yang paling sensitif adalah mengukur kesan anak tentang pola perlakuan orang tua terhadapnya. Kesan yang mendalam dari seorang anak mengenai bagaimana ia diperlakukan oleh orang tuanya, itulah gaya pengasuhan (Sunar, Dwiti, Euis, 2004: 93).

  Pada hakekatnya pengasuhan merupakan arahan kepada anak agar memiliki keterampilan hidup. Dalam padanan kata lain pengertian arahan sama dengan pengertian disiplin, yaitu bagaimana cara orang dewasa (orang tua, guru, atau masyarakat) mengajarkan tingkah laku moral kepada anak yang dapat diterima kelompoknya. Disiplin berkaitan dengan cara untuk mengoreksi, memperbaiki, mengajarkan seorang anak tinglah laku yang baik tanpa merusak harga diri anak.

  Arahan dan bimbingan yang baik membantu anak untuk dapat mengontrol dirinya sendiri, memiliki tanggung jawab, dan membantu anak dalam membuat pilihan yang bijkasana. Disiplin berperan besar dalam perkembangan anak karena dapat memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan kepastian tingkah laku. Anak mendapatkan rasa aman karena mengetahui mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Disiplin memungkinkan anak melakukan hal yang diterima lingkungannya, dan oleh karena itu mendapatkan penghargaan atau pujian. Penghargaan dan pujian merupakan kebutuhan mendasar bagi seorang individu untuk tumbuh kembang dengan sehat. Disiplin juga membantu anak dalam keputusan mengendalikan tingkah lakunya, serta membantu anak dalam mengembangkan hati nurani, sehingga peka dengan nilai kebenaran.

2.2.2 Dimensi Pola Asuh

  Baumrind (dalam Sigelman, 2002) menyatakan bahwa pola asuh terbentuk dari adanya dua dimensi pola asuh, yaitu; (1) Acceptance/Responsiveness; menggambarkan bagaimana orang tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Mengacu pada beberapa aspek, yakni; 1) sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada kebutuhan anak-anaknya, 2) sensitif terhadap emosi anak, 3) memperhatikan kesejahteraan anak, 4) bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama, 5) serta bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak mereka berprestasi atau memenuhi harapan mereka.

  Dapat menerima kondisi anak, orang tua responsif penuh kasih sayang dan sering tersenyum, memberi pujian, dan mendorong anak-anak mereka. Mereka juga membiarkan anak-anak mereka tahu ketika mereka nakal atau berbuat salah. Orang tua kurang menerima dan responsif sering kali cepat mengkritik, merendahkan, menghukum, atau mengabaikan anak-anak mereka dan jarang mengkomunikasikan kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan dihargai.

  Selanjutnya dimensi (2) Demandingness/Control; menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua. Mengacu pada beberapa aspek yakni; 1) pembatasan; orang tua membatasi tingkah laku anak menunjukkan usaha orang tua menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak dan memberikan batasan terhadap hal-hal yang ingin dilakukan anak,

  2) tuntutan; agar anak memenuhi aturan, sikap, tingkah laku dan tanggung jawab sosial sesuasi dengan standart yang berlaku sesuai keinginan orang tua, 3) sikap ketat; berkaitan dengan sikap orang tua yang ketat dan tegas dalam menjaga agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka. Orang tua tidak menghendaki anak membantah atau mengajukan keberatan terhadap peraturan yang telah ditentukan,

  4) campur tangan; tidak adanya kebebasan bertingkah laku yang diberikan orang tua kepada anaknnya. Orang tua selalu turut campur dalam keputusan, rencana dan relasi anak, orang tua tidak melibatkan anak dalam membuat keputusan tersebut, orang tua beranggapan apa yang mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik dan benar untuk anak. 5) kekuasaan sewenang-wenang; menggambarkan bahwa orang tua menerapkan kendali yang ketat, kekuasaan terletak mutlak pada orang tua.

  Mengendalikan atau menuntut aturan yang ditetapkan orang tua, mengharapkan anak-anak mereka untuk mengikuti mereka, dan memantau anak-anak mereka dengan ketat untuk memastikan bahwa aturan-aturan dipatuhi. Orang tua yang kurang dalam pengendalikan atau menuntut (sering disebut orang tua permisif) membuat tuntutan yang lebih sedikit dan memungkinkan anak-anak mereka memiliki banyak kebebasan dalam mengeksplorasi lingkungan, mengungkapkan pendapat mereka dan emosi, dan membuat keputusan tentang kegiatan mereka sendiri.

2.2.3 Jenis-jenis Pola Asuh 1.

  Pola Asuh Demokratis Gaya pengasuh dicirikan beberapa kondisi dimana orangtua senantiasa mengontrol perilaku anak, namaun control tersebut dilakukan dengan fleksibel atau tidak kaku. Orang tua meminta anak untuk menunjukkan prestasi- prestasi tertentu. Permintaan tersebut di dasari pengetahuan bahwa prestasi tersebut sesuai dengan tingkat perkembangan umurnya. Orangtua memperlakukan anak dengan hangat, membangun rasa percaya diri, dan anak diperlakukan secara unik. Orangtua berkemunikasi dalam banyak hal dengan anak. Kemampuan orang tua dalam mengetahui kebutuhan anak serta kemampuan mendengarkan aspirasi anak menjadi cirri gaya pengasuhan ini. Nilai kepatuhan anak terhadap otoritas orangtu tetap mendapat perhatian, walaupun bukan menuntut kepatuhan yang total.

  Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan demokratis akan mengembangkan percaya diri, kontrl emosi yang baik, selalu ingin tahu, menggali hal- hal yang dapat memperluas wawasan dan kematangan pribadinya. Anak mampu menemukan arah dan tujuan dari tugas- tugas perkembangannya. Anak mengembangkan sikap bertanggung jawab dan percaya terhadap kemampuan diri sendiri.

  2. Pola asuh Otoriter Gaya pengasuhan ini menenpatkan orangtua sebagai pusat dan pengendali utama dan pemegang kendali. Orangtua melakukan control yang ketat terhadap anak yang didasarkan kepada nilai- nilai yang dipercayai absolute kebenarannya. Sikap dan perilaku anak dikontrol dan dievaluasi dengan menggunakan nilai yang absolute juga.

  Nili kepatuhan menjadi dominan dan sangat penting bagi orangtua, dan dijadikan sebagai indicator keberhasilan pengasuh yang dilaksanakan orang tua. Demikian halnya dengan nilai otoritas orangtua. Orangtua sangat sensi jika anak dinilai tidak menghiraukan atau bahkan tidak menghormati orangtua lagi.

  Anak yang dibesarkan dengan pengasuhan otoriter akan mengembangkan sikap sebagai pengekor, selalu tergantung pada orang lain dalam mengambil keputusan, dan tidak memiliki kemandirian pribadi. Anak sulit untuk menangkap makna dan hakikat dari setiap fenomena hidup, kurang fokus terhadap aktifitas yang dikerjakan, dan seringkali kehilangan arah yang dituju (amless ). Anak tidak memiliki rasa percaya diri yang tinggi, dipenuhi ketakutan berbuat salah, dan cenderung sulit mempercayai orang- orang yang disekitarnya. Akumulasi dari karakteristik negative tersebut menyebabkan anak memiliki kecenderungan untuk agresif dan mempunyai tingkah lau yang menyimpang.

3. Pola Asuh Permisif

  Sesuai dengan namanya, gaya pengasuhan permisif (serba membolehkan ) dicirikan oleh perilaku orangrua yang senantiasa menyetuji keinginan anak. Orangtua bukan hanya senantiasa melibatkan anak dalam pengambilan keputusan atau kebijakan, tapi juga menjadikan pilihan anak sebagai kebijakan keluarga. Anak menjadi sumber pengambilan keputusan berbagai hal dalam keluarga. Hal tersebut bahkan berlaku untuk hal- hal dimana anak belum waktunya untuk terlibat.orang tua kurang melakukan evaluasi dan control terhapa perilaku anak. Disisi lain orang tua tidak menuntut atau meminta anak untuk menunjukkan prestasi yang seharusnya ditunjukkan sesuai usia perkembangannya.

  Anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan permisif akan tumbuh menjadi ank yang control dirinya rendah, kurang bertanggung jawab, tidak terampil dalam mengatasi masalah, dan tidak frustasi. Anak kurang mengembangkan keinginantahuan apalagi memenuhi keinginantahuan yang ada. Anak cenderung impulsive dan agresif, sehingga bermasalah dalam pergaulan sosialnya. Rendahnya keterampilan emosi sosial menyebabkan kepercayaan diri rendah. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh permisif menunjukkan tidak matangnya (mature ) tingkat perkembangan sesuai usianya.

  Jika pengasuhan dimensi arahan dikombinasikan dengan gaya pengasuhan dimenasi kehangatan ( The Warmth Dimension), Baumrind menambahkan satu lagi gaya pengasuhan yaitu gaya pengabaian dan penolakan. Kombinasi antara kontrol orang tua dengan perlakuan hangat orang tua dapat digambarkan sebagai berikut :

1) Gaya pengasuhan demokratis : memiliki kontrol tinggi dan kehangatan tinggi.

  2) Gaya pengasuhan permisif : memiliki kontrol rendah tapi kehangatan tinggi

  3) Gaya pengasuhan otoriter : memiliki kontrol tinggi dan kehangatan renda

  4) Gaya pengsuhan penolakan : baik kontrol maupun kehangatan rendah (Sunarti, Euis, 2004: 117).

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh .

  Darling (1999) mengatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:

  1. Jenis kelamin anak

  Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada anak dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua akan bersikap lebih ketat pada anak perempuan dan memberi kebebasan lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab yang besar diberikan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

  2. Kebudayaan Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh anak. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan peran dan tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu kebudayaan.

  3. Kelas sosial ekonomi Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas cenderung lebih permissive dibanding dengan orang tua dari kelas sosial ekonomi bawah yang cemderung autoritarian.

2.3 Perilaku

2.3.1 Pengertian Perilaku

  Perilaku adalah setiap cara reaksi atau respons manusia, makhluk hidup terhadap manusia. Perilaku adalah aksi, reaksi, terhadap perangsangan dari lingkungan. Melihat dan memperhatikan perilaku orang maka akan terlihat macam- macam. Perilaku yang over bisa dibagi lagi dalam : a. Perilaku yang disadari, dilakukan dengan kesadaran penuh, tergantung dari aksi dalam otak besar.

  b. Perilaku Reflektoris, gerakan refleks yang dalam tahap pertama berkaitan dengan sum-sum tulang belakang belum disadari. Kemudian tingkah laku refleks disadari, bila kesan sudah sampai ke pusat persyarafan. c. Perilaku di luar pengaruh kehendak, tidak disadari dan berpusat pada sumsum penyambung atau gerakan otot karena kepekaan otot.

  Perilaku yang tidak mudah terlihat, terselubungi :

  a. Kognisi : penyadaran melalui proses penginderaan terhadap rangsang dan interpretasinya. Perilaku meliputi segala hal berupa reaksi terhadap rangsang, menyadarinya dan memberi arti atau belajar dan mengingat arti yang dipelajari.

  b. Emosi : perasaan, suasana di dalam diri yang dimunculkan oleh penyadaran terhadap isi perangsangan.

  c. Konasi : pemikiran, pengambilan keputusan untuk memilih sesuatu bentuk perilaku.

  d. Penginderaan : meliputi penyampaian atau mengantar pesan ( rangsangan ). (Gunarsa, 2000:4)

  Perilaku adalah semua tindakan atau tingkah laku seorang individu, baik kecil maupun besar, yang dapat dilihat, di dengar dan dirasakan (oleh indra perasa di kulit, dan bukan yang dirasakan di hati) oleh orang lain atau diri sendiri. Jadi perilaku meliputi bicara atau suara, gerakan-gerakan atau aksi-aksi berupa gerakan yang beraturan atau tidak beraturan, tertuju ataupun tidak tertuju , sengaja ataupun tidak sengaja dan berguna atuapun tidak berguna. Semua perilaku individu pasti di dahului oleh suatu penyebab atau antecedent, baik eksternal maupun internal. Penyebab eksternal dapat diperoleh dari individu lain atau lingkungan sekitarnya. Penyebab internal dapat berasal sikap atau attitude, dan emosi yang didasari oleh watak dan kepribadian seseorang. Setiap perilaku juga akan memberikan suatu akibat atau konsekuen, baik bagi individu itu sendiri, orang lain ataupun pada lingkungannya. (Handojo, Y, 2003 : 11).

  Karakteristik Perilaku :

  a. Perilaku adalah perkataan dan perbuatan individu. Jadi apa yang dikatakan dan dilakukan oleh seseorang merupakan karakteristik dari perilakunya.

  b. Perilaku mempunyai satu atau lebih dimensi yang dapat diukur, yaitu : frekuensi, durasi, dan intensitas.

  c. Perilaku dapat diobservasi, dijelaskan, dan direkam oleh orang lain atau orang yang terlibat dalam perilaku tersebut.

  d. Perilaku mempengaruhi lingkungan, lingkungan fisik atau social

  e. Perilaku dipengaruhi lingkungan f. Perilaku bisa tampak atau tidak tampak.

2.3.2. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku dan Aspek Perkembangan Perilaku

  Perilaku atau aktivitas pada individu atau organisme tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. Perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, dan juga dapat mempengaruhi lingkungan.

  Demikian pula, lingkungan dapat mempengaruhi individu. Secara garis besar, perilaku manusia diakibatkan oleh : a. Genetika

  b. Sikap, adalah suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu

  c. Norma sosial, adalah pengaruhh tekanan social

  d. Kontrol perilaku pribadi, adalah kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya melakukan suatu perilaku.

  Perilaku manusia sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perilaku itu sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Berikut adalah aspek perkembangan perilaku ( Syamsudin, 2003 ) ; 1.

   Perkembangan perilaku kognitif

  Secara kualitatif perkembangan perilaku kognitif diungkapkan oleh Piaget, sebagai berikut : a.

  Tahap Sensori-Motor (0-2) Inteligensi sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical

  

intelligence ), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum

  mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi fondasi tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak. Sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 - 24 bulan barulah kemampuan object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.

  b.

  Tahap Pra Operasional (2 – 7) Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang object permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor, yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode ditandai oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan anak untuk mengembangkan diferred-imitation, insight learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata-kata yang benar serta mampu mengekspresikan kalimat- kalimat pendek tetapi efektif.

  c.

  Tahap konkret-operasional (7-11) Pada periode ditandai oleh adanya tambahan kemampuan yang disebut sistem of operation (satuan langkah berfikir) yang bermanfaat untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam pemikirannya sendiri. Pada dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.

  d.

  Tahap formal-operasional (11 - dewasa) Pada periode ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu :

  1) Kapasitas menggunakan hipotesis

  Kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. 2)

  Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak Kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam.

2. Perkembangan Perilaku Afektif

  Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu : (1) rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus) (2) perubahan–perubahan fisiologis yang terjadi pada individu

  (3) pola sambutan. Yang mungkin dirubah dan dipengaruhi adalah variabel yang kesatu (stimus) dan yang ketiga (respons), sedangkan variabel yang kedua merupakan yang tidak mungkin dirubah karena terjadinya pada individu secara mekanis. Terdapat dua dimensi emosional yang sangat penting untuk dipahami yaitu:

  a. senang – tidak senang (suka-tidak suka); b. intensitasnya (kuat-lemah).

3. Perkembangan Perilaku Psikomotorik

  Perkembangan psikomotorik memerlukan adanya koordinasi fungsional antara neuronmuscular system (sistem syaraf dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, konatif).

  Dua prinsip utama dalam perkembangan psikomotorik, yaitu : bahwa perkembangan itu berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks, dan dari yang kasar dan global (gross bodily movements) kepada yang halus dan spesifik dan terkoordinasikan (finely coordinated movements).

2.3.3 Pembentukan perilaku

  Penelitian Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

  a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui setimulus (objek) terlebih dahulu b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus

  c. Evaluation (menimbang – nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru

  e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

  Pembentukan perilaku dapat diamati dari luar melalui 3 hal, yaitu : 1.

  Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah :

  a) Faktor interernal, yaitu faktor dari diri sendiri, misalnya intelegensia, minat dan kondisi fisik.

  b) Faktor eksternal, yaitu faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat dan sarana c)

  Faktor pendekaatan belajar, yaitu faktor upaya belajar misalnya strategi dan upaya dalam pembelajaran

2. Sikap ( attitude)

  Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang dari stimulus atau objek. Allport menjelaskan sikap mempunyai tiga komponen pokok, yaitu :

  a) Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap objek

  b) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek

  c) Kecenderungan untuk betinndak (tend to be have) 3.

  Praktik (tindakan) Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support). Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu : a)

  Persepsi. Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama b)

  Respon terpimpin. Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar dan dengan sesuai contoh adalah indikator praktik tingkat kedua c)

  Mekanisme. Apabila seseorang telah melakukan tindakan secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat ketiga

d) Adopsi : adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

  Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. (Handojo. Y, 2003).

2.4 Pengertian Anak

  Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 2000) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.

  Augustinus yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa.

  Menurut the Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on the rights of the Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang- undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahtaraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. (Huraerah, 2006:31)

  Jika dicermati, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Hal ini dipertegas dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan.

  Batasan umur seseorang masih dalam kategori anak, berdasarkan beberapa peraturan yang ada di Indonesia cukup beragam, yang antara lain adalah sebagai berikut: 1.

  Undang-Undang RI. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; memberi batasan yang berbeda antara anak perempuan dengan anak laki-laki, yakni anak perempuan berumur 16 tahun dan anak laki-laki berumur 19 tahun; 2. Undang-Undang RI. No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu ) tahun dan belum pernah kawin.” 3. Undang-Undang RI. No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 angka (1), menyebutkan: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

  4. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO tentang Batas Usia Minimum Anak Bekerja, adalah 15 (lima belas) tahun.

  5. Undang-Undang RI. No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1, angka (5), menyebutkan bahwa: ”Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

  6. Undang-Undang RI. No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Usia Pemilih minimal 17 (tujuh belas) tahun.

  7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memberi batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun; seperti yang dinyatakan dalam pasal 330 yang berbunyi: “ belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.

2.5 Autis

2.5.1 Pengertian Autis

  Autis berasala dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. dalam kamus psikologi umum (1982), autis berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri, dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autis sering disebut orang yang hidup di alamnya sendiri (Chaplin, 1997:17).

  Pada awalnya istilah autis diambilnya dari gangguan schizophrenia, dimana Bleur memakai autis ini untuk menggambarkan perilaku pasien skizofrenia yang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri. namun ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari autis pada penderita skizofrenia dengan penyandang autis infantile. Pada skizofrenia, autis disebabkan dampak area gangguan jiwa yang di dalamnya terkandung halusinasi dan delusi yang berlangsung minimal selama 1 bulan, sedangkan pada anak-anak dengan autis infantile terdapat kegagalan dalam perkembangan yang tergolong dalam criteria gangguan pervasif dengan kehidupan autistic yang tidak disertai dengan halusinasi dan delusi (Lainhart-DSM

  IV, 1995).

  Autis atau autis infantile (Early Infantile Autis) pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner pada tahun 1943 seorang psikiatris Amerika. Istilah autis digunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner. Cirri yang menonjol pada Sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi. Diperkirakan 75%-80% penyandang autis ini mempunyai retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu (Chaplin, 1997:15).

2.5.2 Kriteria Autis

  Pada dasarnya gangguan autis tergolong dalam gangguan perkembangan pervasive, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk dalam gangguan perkembangan pervasive (Pervasive Development Disorder) menurut DSM IV (1995). Namun dalam kenyataannya hamper keseluruhan golongan gannguan perkembangan pervasive disebut oleh para orang tua atau masyarakat sebagai autis. Padahal di dalam gangguan perkembangan pervasive meski sama-sama ditandai denga gangguan dalam beberapa area perkembangan seperti kemampuann interaksi sosial, komunikasi serta munculnya streotipe, namun terdapat beberapa perbedaan antar golongan seperti, gannguan Autistik Infantile (Infantile Autis), Sindrom Rett (Rett’s Syndrome), Gangguan Disintegrasi Masa Kanak (Childhood Disintegrative Disorder ), Sindrom Asperger (Asperger’s Syndrome) (Veskariyanti, 2008: 15-16).

1. Autistik Infantile

  Ciri yang menonjol pada autis ini antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi. Gangguan autis ini lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 5:1. Gannguan autis abnormalitas sudah muncul sejak tahun pertama kelahiran.

  Kriteria Autistik Infantile, yaitu :

  1. Kelemahan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada dua gejala-gejala di bawah ini : a.

  Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.

  b.

  Tidak bisa bermain dengan teman sebaya c. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain d.

  Kurangnya hubungan emosional yang timbale balik 2. kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi, dengan gejala-gejala sebagai berikut : a.bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang b.bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi c.sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang d.cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.

  3. pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas dan berulang 4. cara bermain yang simbolik dan imajinatif 5. hiperaktif dan hipoaktif 3.

   Sindrom Rett

  Sindrom Rett adalah gangguan neurologis (syaraf). Awalnya perkembangan anak normal. Tetapi setelah 5 bulan sampai 30 bulan perkembangannya menurun. Kemampuan untuk melaksanakan kegiatan berkurang. Ciri autis muncul, komunikasi dan sosialisasi dan perilaku streotipe kadang disertai ganggguan motorik. Kriteria Syndrom rett, yaitu : 1.

  Regresi yang menyeluruh dan berat pada anak perempuan (jarang sekali pada anak laki-laki)

  2. Menimbulkan retardasi mental yang berat 3.

  Gangguan berbahasa, bahkan sama sekali tidak dapat berbahasa 4. Gangguan pada fungsi tangan (timbul gerakan-gerakan tangan di depan seperti memeras/bertepuk tangan yang terus menerus)

  5. Deficit neurologik lainnya.

  4. Gangguan Disintegrasi Anak

  Gannguan disintegrasi anak merupakan gangguan yang melibatkan hilangnya keterampilam yang telah dikuasai anak setelah satu periode perkembangan normal pada tahun pertama. Gangguan ini biasa muncul pada anak laki-laki. Perkembangan normal anak terjadi hanya pada tahun pertama, setelah itu secara signifikan keterampilan yang telah dimiliki seperti pemahaman, penggunaan bahasa dan yang lainnya menghilang. Selain itu juga terjadi keabnormalan fungsi yang tampak pada gangguan komunikasi, serta minat dan aktifitas yang sempit. Kriteria gangguan disintegrasi anak : 1.

  Perkembangan awal biasanya normal, termasuk bicaranya 2. Terjadi regresi yang berat antara usia 2-10 tahun yang meliputi fungsi bahasa, sosialisasi, kognitif dan kemampuannya dalam keterampilan sehari-hari.

5. Sindrom Asperger

  Gangguan Asperger adalah bentuk yang lebih ringan dari gangguan perkembangan pervasive. Ditunjukkan dengan penarikan diri dari interaksi sosial serta perilaku yang streotip, namun tanpa disertai keterlambatan yang signifikan pada aspek bahasa dan kognitif. Asperger mirip dengan autis infantile dalam hal interaksi sosial yang kurang. Kriteria Sindrom Aperger yaitu : 1.

  Biasanya didiagnosis sat usia ≥ 6 tahun 2. Sulit berteman, interaksi sosial sangat kurang 3. Sulit membaca / berkomunikasi dengan cara non verbal / isyarat missal ekspresi wajah

  4. Sulit memahami bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran atau perasaan yang berbeda dari dirinya.

  5. Perilaku yang kaku dengan minat yang terbatas.

  Pada umumnya anak penderita autis bisa juga dilihat dari perilaku, stimulasi diri, suasana, dan pikiran (Handojo, 2003: 17).

  1. Perilaku : berperilaku berlebihan (Hiperaktif) dan berperilaku kekurangan (hipoaktif).

  2. Stimulasi Diri : adanya suatu perilaku stimulasi diri untuk melakukan gerakan yang diulang-ulang, seperti berjalan bolak-balik, geleng-geleng kepala dan berputar-putar.

  3. Suasana : tidak suka pada perubahan yang akan cenderung membuat anak penderita autis emosi

  4. Pikiran : adanya suatu preokupasi yang sangat tebatas pada suatu pola pikiran, seperti duduk termangu dengan tatapan kosong.

2.5.3 Faktor Penyebab Autis

  Tidak seperti penyakit lain yang mudah diketahui, autis belum diketahui pasti penyebabnya. Pada autis tidak jelas adanya kuman, parasit, protozoa, maupun virus sebagai penyebab munculnya gejala-gejala.

  Gejala autis biasanya muncul saat umur 1,5 – 2 tahun. Ketika anak bisa saja berkembang normal, tetapi kemudian perkembangannya berhenti dan mereka mengalami kemunduran. Banyak faktor yang diduga sebagai pemicu munculnya gejala autis. Berikut beberapa dugaan penyebab autis dan diagnosis medisnya :

1. Gangguan susunan saraf pusat

  Ditemukan adanya kelainan pada susunan saraf pusat pada beberapa tempat di dalam otak anak autis. Pada anak autis terdapat pengurangan jumlah sel purkinje di dalam otak. Akibatnya, produksi serotonin kurang yang menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak. Selain itu juga ditemukan ada kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu.

  2. Gangguan pada metabolisme Ada hubungan antara gangguan pencernaan dengan gejala autis.

  Suntikan sekretin dapat membantu mengurangi gangguan pencernaan.

  3. Peradangan dinding usus Pada sejumlah anak penderita gangguan autis pada umumnya memiliki pencernaan buruk dan ditemukan adanya peradangan usus. Diduga peradangan tersebut disebabkan virus.

  4. Faktor genetika Hal yang paling umum gejala autis pada anak disebabkan oleh faktor turunan. Ada beberapa gen yang terkait dengan autis. Namun gejala autis baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja autis tidak muncul meski anak membawa gen autis, jadi perlu faktor pemicu lain.

  5. Keracunan logam berat Belakangan ini banyak beredar makanan ringan dan mainan anak yang mengandung bahan logam berat. kandungan logam berat ini diduga sebagai penyebab kerusakan otak pada banyak anak autis dengan ditemukannya kandungan logam berat dan beracun pada banyak anak autis. Hal ini bisa saja terjadi karena sekresi logam berat dari tubuh terganngu secara genetik. Kemungkinan lain anak autis bisa disebabkan keracunan merkuri. Namun keracunan merkuri pada anak-anak autis masih dapat ditanggulangi dengan melakukan terapi kelasi (merkuri dikeluarkan dari otak dan tubuh mereka). (Sunar, Dwi, 2007: 228).

2.5.4 Perilaku Anak Autis

  Anak yang mengalami gangguan autis mempunyai perilaku yang berbeda dari perilaku normal. Anak autis ini bisa berperilaku yang berlebihan atau perilaku yang berkekurangan, sampai ke tingkat yang rendah atau tidak ada perilaku.

  Seorang anak bisa saja mengamuk (tantrum) karena frekuensi dan intesitasnya berlebihan. Perilaku mengamuk bisa saja terjadi karena hal-hal kecil, misalnya meminta anak berjalan atau duduk tenang, atau antri di loket. Biasanya ia menstimulus diri dengan menjerit, menendang, mencakar, menggigit, atau melukai dirinya sendiri, sehingga mengganggu orang lain juga mengganggu proses belajar.

  Anak autis yang memiliki perilaku yang berkekurangan biasanya cenderung memiliki gangguan bicara. Ada anak autis yang berbicara nonverbal, sedikit suara, sedikit kata-kata, dan ada pula yang membeo (ekolalia cepat) atau yang mengulangi perkataan setelah pembicaraan berlangsung sudah lama (ekolalia lambat).

  Banyak perilaku-perilaku aneh lainnya yang tidak sebagaimana mestinya, ada yang anak yang saat diajak bicara tidak menanggapi sama sekali padahal dia tidak mempunyai gangguan pendengaran, karena suatu saat dia dapat merespon normal. Terkadang anak juga sering menunjukkan emosi yang tidak stabil, dan ada juga yang hampir tidak menunjukkan perilaku emosional.,

  Perilaku autis digolongkan dalam dua jenis , yaitu : 1. perilaku yang eksesif (berlebihan)

  Yang termasuk perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk), di sini sering terjadi anak menyakiti diri sendiri (self abuse).

  2. perilaku yang defisit (berkekurangan). Sedangkan perilaku defisit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat.

  Tata laksana perilaku diarahkan untuk menekan kelainan perilaku ini baik yang eksesif maupun yang defisit, dan sekaligus menggantikannya dengan perilaku yang dapat diterima masyarakat umum (mainstream).

  Adapun indikator pada perilaku autis pada anak-anak adalah sebagai berikut : A.

  Bahasa / komunikasi Selain ekspresi wajah yang datar, anak autis juga tidak menggunakan bahasa/isyarat tubuh, jarang memulai komunikasi, tidak meniru aksi atau suara, bicara sedikit atau tak ada dan tidak mengerti arti kata dan berkomunikasi dengan intonasi/ritme vocal yang aneh.

  B.

  Hubungan dengan orang Biasanya anak autis kurang mempunyai motivasi, bukan hanya sering menarik diri dan asyik sendiri, tetapi memiliki kecenderungan tidak ingin memperluas lingkup perhatian mereka. Tak responsif, tak ada senyum sosial, tidak berkomunikasi dengan mata, tidak menggunakan permainan giliran.

  Mereka umumnya belajar paling efektif pada kondisi imbalan langsung, yang jenisnya sangat individual. Namun, respon ini berbeda untuk setiap anak autis.

  C.

  Hubungan dengan lingkungan Sangat selektif dalam menerima rangsangan, sehingga kemampuan menangkap isyarat yang berasal dari lingkungan sangat terbatas. Bermain repetitif (diulang-ulang), marah-marah atau tak menghendaki perubahan, berkembangnya rutinitas yang kaku, memperhatikan ketertarikan dan tak fleksibel. D.

  Respon terhadap rangsangan indera / sensoris Sering menghabiskan sebagian besar waktunya untuk merangsang diri sendiri, misalnya bertepuk tangan, duduk memandangi langit, mengepak- ngepakkan tangan, atau memandangi jari jemari. Semua kegiatan ini tidak produktif, sehingga tidak menambah wawasan baru.

  E.

  Kesenjangan perkembangan perilaku Perkembangan perilaku yang dialami anak autis tidak seimbang, seperti kemampuan yang sangat baik atau sangat terlambat, ketrampilan di luar urutan normal, tapi tak mengerti ari, lancer membeo tapi sulit berbicara dari diri sendiri dan lain sebagainya. (Handojo, Y, 2003 :24).

  Perilaku tidak wajar pada anak autis terdiri dari : a. Stimulasi Diri, terjadi bila anak terlalu banyak sendiri atau tidak berada dalam b. keadaan interaktif dengan orang lain.

  c.

  Mild Disruptive Behavior (MDB), timbul bila anak mencoba menolak atau menawar instruksi. Selain itu MDB juga timbul akibat frustasi dan imbalan yang tidak efektif.

  d.

  Tantrum atau Mengamuk, timbul akibat MDB yang berlangsung terus pada anak. Anak bisa mengamuk pada orang lain (agresif) dan pada diri sendiri (self- abuse).

2.5.5 Penanganan Pada Anak autis

  Anak autis mempunyai peluang untuk menjadi anak yang normal, oleh karenanya orang tua perlu bersikap optimis dan melakukan tindakan sedini mungkin.

  Orang tua dapat melakukan penanganan tersebut dengan melakukan terapi dengan tepat bagi anak. adapun jenis-jenis terapi tersbut adalah :

  1. Terapi perilaku Berbagai jenis terapi telah dikembangkan untuk mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, termasuk anak penyandang autis. Mengurangi perilaku yang tidak lazim dan menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat. Terapi perilaku ini terdiri dari : a.

  Terapi okupasi Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama autis juga mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Terapi okupasi ini untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan ototnya.

  b.

  Terapi wicara, yaitu terapi untuk membantu anak dalam berbicara dan berbahasa.

  c.

  Sosialisasi Sosialisasi ini bertujuan untuk menghilangkan perilakku yang tidak wajar secara umum dengan memberikan pengenalan konsep atau kognitif melalui bahasa reseptif dan ekspresif. Dalam terapi ini anak harus ditemani secara interaktif, dan memberikan imbalan yang efektif.

  2. Terapi biomedik Terapi yang dimaskud terapi ini adalah dengan pemberian obat, vitamin, mineral, food supplements kepada anak dengan dosis dan jenis yang pas.

  Disamping jenis terapi yang dilakukan, ada cara mengatasi perilaku tidak wajar pada anak autis. Berikut adalah beberap cara mengatasi perilaku tidak wajar yang sudah terjadi :

  1.Proses terapi lanjutan

  Memberikan imbalan dengan efektif. Sebab salah satu penyebab dari timbulnya perilaku buruk adalah kurang efektifnya imbalan yang diberikan atau mungkin anak sudah bosan.

  2. Metoda Extinction Mencueki anak dalam melakukan perilakunya tersebut. Namun bila anak tetap berperilaku yang tidak wajar tersebut, anak diberi penegasan seperti larangan dengan volume suara yang cukup keras.

  3. Metoda “Time Out” Pemberian hukuman pada anak dengan menggunakan aturan-aturan pada waktu yang sudah ditentukan. Sehingga bila anak dapat memenuhi aturan tersebut, anak akan dibebaskan.

  4. Hugging Cara ini dengan melakukan pemaksaan pada anak. Dimana anak akan dipeluk dengan keadaan terkunci. Bila anak berhenti maka anak akan diberikan pujian.

  (Handojo : 76)

2.6 Kesejahteraan Anak

  Kewajiban negara dalam memberikan hak-hak anak tertuang pada Konvensi Hak-hak Anak yang telah ratifikasi oleh pemerintah Indonesia yaitu: 1.

  Menghormati dan menjamin hak-hak anak 2. Mempertimbangkan kepentingan utama anak 3. Menjamin adanya perlindungan anak 4. Menghormati hak anak dan mempertahankan identitasnya 5. Jaminan anak tidak dipisahkan dengan orang tuanya 6. Jaminan hak pribadi anak (Prinst, 1997: 103-109)

  Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Hal ini diatur dalam undang-undang No.4 tahun 1974 tentang kesejahteraan anak. Dasar ini dari undang-undang yang mengacu kepada pasal 34 UUD 1945, yang menyatakan: fakir miskin dan anak- anak terlantar dipelihara oleh Negara. Apabila ketentuan Pasal 34 UUD 1945 ini diberlakukan secara konsekuen, maka kehidupan fakir miskin anak terlantar akan terjamin.

  Usaha kesejahetraan anak adalah suatu usaha kesejahteraan sosial yang ditunjukkan umtuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan anak (Pasal 1 angka1 huruf b PP No.2 Tahun 1988). Adapun usaha- usaha itu meliputi: pembinaan, pencegahan dan rehabilitasi. Pelaksananya adalah pemerintah atau masyarakat baik didalam maupun diluar panti (Pasal 11 ayat 3 PP No.2 Tahun 1988). Pemerintah dalam hal ini memberikan pengarahan, binbingan, bantuan dan pengawas terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan masyarakat (Prinst, 1997: 83).

2.6.1 Kesejahteraan Anak Penyandang Cacat

  Penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masysarakat Indonesia lainnya. Peranan penyandang cacat memerlukan sarana dan upaya yang memadai, terpadu dan berkesinambungan yang pada akhirnya menciptakan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat.

  Undang-Undang RI No. 43 tahun 1998 menyatakan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu, rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak yang terdiri dari :

1. Penyandang cacat fisik 2.

  Penyandang cacat mental 3. Penyandang cacat fisik dan mental.

  Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat melalui kesamaan, rehabilitasi, bantuan sosial, pemeliharaaan taraf kesejahteraan sosial. Maka untuk mencapai kemandirian itu pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama kepada tenaga kerja penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Sesuai dengan Undang-undang RI No. 43 pasal 30 persyaratan jabatn dan penyandang cacat dengan memperhatikan factor :

  1) Jenis dan derajat kecacatan

  2) Pendidikan

  3) Ketrampilan/keahlian

  4) Informasi yang tersedia

  5) Jenis dan bidang usaha

2.7 Kerangka Pemikiran

  Keluarga merupakan suatu kelompok terkecil dalam suatu tatanan kehidupan sosial. Keluarga sebagai kelompok dari dua atau lebih individu yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi dan tinggal bersama serta berbagi fungsi sosial lainnya satu dengan yang lain. Keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga menjadi kebanggan tersendiri bagi orang tua, namun kelahiran anak tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Sebab ada anak yang lahir secara normal, dan ada juga yang abnormal seperti autis.

  Salah satu karakteristik anak autis adalah keterlambatan anak dalam perkembangan baik dalam komunikasi, interaksi serta kognitif. Hal ini sangat berkaitan dengan perilaku anak, yang menjadikan pola perilaku anak terbatas. Perilaku anak tersebut dapat diamati dari luar melalui 3 hal, yaitu : a.

  Pengetahuan b.

  Sikap c. Tindakan atau practice Perilaku anak yang normal secara umum berbeda dengan perilaku anak autis.

  Perilaku tersebut dapat dibedakan melalui : 1.

  Bahasa/komunikasi 2. Hubungan dengan orang 3. Hubungan dengan lingkungan 4. Respon terhadap rangsangan indera/sensoris 5. Kesenjangan perkembangan perilaku

  Secara garis besar perilaku anak autis dikelompokkan menjadi dua jenis perilaku, yaitu perilaku eksesif (berlebihan) dan perilaku defisit (berkekurangan).

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan

27 195 126

Pengetahuan Orang Tua Tentang Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi di Yayasan Tali Kasih dan Kidz Smile Medan

7 58 78

Hubungan Pola Asuh Orang Tua terhadap Perilaku Seksual Remaja di Kelurahan Simalingkar B Kecamatan Medan Tuntungan

22 131 71

Kemampuan Empati Orang Tua dan Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan)

1 79 134

Pola Asuh Orang Tua Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan

5 82 101

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh - Gambaran Pola Asuh Orang Tua Pada Remaja di Desa Lidah Tanah Kecamatan Perbaungan

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Respon Orang Tua Anak Binaan 2.1.1 Respon - Respon Orang Tua Terhadap Program Kids Club Yayasan Fondasi Hidup Indonesia Di Desa Baru Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Anak 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua - Pola Asuh Orang Tua Anak Korban Perceraian Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID-SU)

0 0 34

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Pola Asuh Orang Tua 1.1 Pengertian pola asuh orang tua - Hubungan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perkembangan Sosial Pada Remaja Di Sma Dharma Pancasila Medan

0 0 27

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Keluarga 2.1.1 Definisi Pola Asuh Keluarga - Pola Asuh Keluarga yag Memiliki Anak Tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

0 0 16