Analisis Pengaruh Komunikasi Interpersonal Kepala Puskesmas terhadap Kinerja Perawat Puskesmas Moro’o Kecamatan Moro’o Kabupaten Nias Barat Tahun 2015
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk
lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi perilaku
orang lain. Stimulus atau rangsangan dapat berupa suara/bunyi atau bahasa lisan
berupa gerakan , tindakan atau simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh pihak lain.
Oleh sebab itu reaksi atau respon dalam bentuk simbol merupakan pengaruh atau
hasil proses komunikasi (Notoatmodjo, 2010). Proses komunikasi yang menggunakan
stimulus atau respon dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tulisan selanjutnya
disebut komunikasi verbal. Sedangkan apabila proses komunikasi tersebut
menggunakan simbol-simbol disebut komunikasi non-verbal.
Komunikasi merupakan proses dimana seorang individu berusaha untuk
memperoleh pengertian yang sama melalui pengiriman pesan simbolik. Komunikasi
menekankan pada tiga hal penting yaitu pertama, komunikasi melibatkan individu
dan oleh karenanya pemahaman komunikasi mencakup upaya memahami bagaimana
individu berhubungan dengan individu lain. Kedua, komunikasi melibatkan
pengertian yang sama, artinya agar dua individu atau lebih dapat berkomunikasi,
mereka harus sepakat mengenai definisi dari istilah yang digunakan sebagai alat
komunikasi. Ketiga, komunikasi bersifat simbolik, yaitu gerak isyarat, bunyi, huruf,
7
8
angka dan kata-kata hanya dapat mewakili atau mengira-ngirakan gagasan yang
hendak dikomunikasikan.
2.2 Unsur-unsur Komunikasi
Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang
diterima oleh komunikan. Dengan kata lain, komunikasi adalah proses membuat
sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan. Komunikasi akan
berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka
asuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of
experiences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan (Liliweri, 2007).
Menurut Wilbur Schramm untuk dapat berkomunikasi diperlukan paling
sedikit tiga unsur yaitu the source, the message dan the destination, yang diperinci
menjadi lima unsur komunikasi yaitu :
1. Sumber (Source)
Adalah pihak yang mensponsori atau ide yang melandasi kegiatan-kegiatan
komunikasi. Sumber dapat merupakan sebuah lembaga, atau sebuah kejadian atau
sipenyampai pesan itu sendiri.
2. Komunikator (Encoder)
Komunikator adalah pihak yang menjalankan atau yang menyampaikan pesan
dalam suatu proses komunikasi. Seorang komunikator dalam suatu proses
komunikasi terkadang dapat berubah menjadi komunikan dan sebaliknya
komunikan dapat berubah menjadi komunikator. Komunikator dalam melancarkan
9
kegiatan komunikasi dapat melakukannya dalam situasi antar personal,
komunikasi kelompok dan komunikasi massa.
3. Pesan (Message)
Pesan yaitu materi pernyataan yang disampaikan oleh komunikator kepada
komunikan. Materi pernyataan ini dapat diwujudkan secara lisan dan tulisan, juga
dalam bentuk gambar, warna, isyarat dan segala lambang yang ada di alam pikiran
manusia, asal saja lambang-lambang ini sama-sama dapat dipahami oleh
komunikator maupun komunikan.
Wilbur Schramm menampilkan apa yang ia sebut The condition of success in
communication yakni kondisi yang harus dipatuhi jika kita menginginkan agar suatu
pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki:
1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat
menarik perhatian komunikan.
2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang
sama antara komunikator dan komunikan sehingga sama-sama dimengerti.
3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikator dan menyarankan
beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang
layak bagi situasi kelompok dimana komunikan berada pada ia digerakkan
untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.
10
4. Komunikan / Sasaran (Decoder)
Komunikan atau sasaran adalah orang atau pihak yang menerima pesan dalam
suatu kegiatan komunikasi. Komunikan dalam suatu kegiatan komunikasi dapat
berbentuk : - Masyarakat umum (general public).
- Masyarakat khusus (special public).
- Individu-individu yang berasal dari suatu particular group atau
massa seperti pendengar radio, pemirsa televisi, pembaca surat
kabar dan lain-lain.
5. Tujuan (Destination)
Setiap komunikasi yang dilancarkan pasti mempunyai tujuan, yakni
bagaimana hasil dari komunikasi yang dijalankan mendapat umpan balik positif
atau dengan kata lain komunikan dapat memberikan respon/ tanggapan yang
merupakan umpan balik (feed back) yang positif (Meinanda, 1981).
Model komunikasi David K.Berlo dalam Cangara (2006) melibatkan empat
komponen komunikasi
meliputi:
komunikator/sumber, pesan, media/saluran,
komunikan/penerima. David K. Berlo menjelaskan bahwa proses komunikasi bersifat
timbal balik, berawal dari seorang sumber informasi (komunikator) yang
menciptakan dan mengirimkan pesan kepada penerima atau komunikan. Selanjutnya
komunikan memberi tanggapan, respon, umpan balik atau feed back kepada
komunikator.
11
2.3 Bentuk-bentuk Komunikasi
Secara garis besar komunikasi dibagi menjadi empat bentuk, yaitu komunikasi
intrapersonal, komunikasi interpersonal, komunikasi massa, dan komunikasi
organisasi (Liliweri, 2007). Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang
dilakukan pada diri sendiri, yang terdiri dari sensasi, persepsi, memori dan berpikir.
Komunikasi ini biasanya dilakukan oleh seseorang ketika merenung tentang dirinya
atau pada saat melakukan evaluasi diri.
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan kepada orang
lain atau komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Komunikasi massa
adalah komunikasi yang dilakukan dengan perantara atau media komunikasi yang ada
dimasyarakat seperti radio, televis, film, pers, dan lain-lain. Komunikasi organisasi
adalah komunikasi yang terjadi antara organisasi, institusi, atau lembaga. Organisasi
juga dapat terjadi antara unit misalnya antara bagian, antarseksi atau subbagian, antar
departemen dan sebagainya.
Agar proses komunikasi tentang kesehatan efektif dan terarah dapat dilakukan
melalui bentuk komunikasi interpersonal yang merupakan salah satu bentuk
komunikasi yang paling efektif, karena antara komunikan dan komunikator dapat
langsung tatap muka, sehingga timbul stimulus yakni pesan atau informasi yang
disampaikan oleh komunikan, langsung dapat direspon atau ditanggapi pada saat itu
juga.
12
2.3.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi
antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya
menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal.
Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi diadik (dyadic
communication) melibatkan hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua
sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana, 2011).
Menurut Effendi dalam Sunarto (2003), pada hakekatnya komunikasi
interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi
jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku
seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat
langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga, pada saat
komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya
positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan
pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.
Komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa
orang dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima
pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula (Hardjana, 2003).
Sehingga
komunikasi
interpersonal
atau
komunikasi
antar
pribadi
dapat
meningkatkan hubungan insani (humans relations), menghindari dan mengatasi
konflik-konflik
pribadi,
mengurangi
ketidakpastian
sesuatu,
pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 1998).
serta
berbagi
13
Proses komunikasi interpersonal adalah suatu proses dua arah, lingkaran
interaktif dimana pihak-pihak yang berkomunikasi saling bertukar pesan. Kedua
pihak menjadi pengirim maupun penerima pesan. Dalam proses ini si penerima
menafsirkan pesan pengirim sebelumnya dan memberi tanggapan dengan pesan yang
baru. Dengan kata lain komunikasi interpersonal adalah tatap muka penyampaian
informasi dan saling pengertian antara dua orang atau lebih.
2.3.2 Bentuk Komunikasi Interpersonal
Bentuk komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
1. Komunikasi verbal (verbal communication)
Komunikasi verbal menggunakan kat-kata, mencakup komunikasi bahasa lisan.
Bahasa terbanyak dan terpenting digunakan dalam berkomunikasi. Hal ini
disebabkan karena bahasa selain dapat mewakili kenyataan konkrit dalam dunia
sekeliling, juga dapat mewakili hal-hal yang abstrak.
2. Komunikasi nonverbal (nonverbal communication).
Yakni yang menyangkut gerak-gerik, sikap, ekspresi wajah, penampilan, dan lain
sebagainya (Riswandi, 2008).
2.3.3 Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Menurut
teori
Devito
(1997),
faktor-faktor
efektifitas
komunikasi
interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu :
1. Keterbukaan (Openness)
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi
interpersonal. Komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang
14
yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera
membukakan semua riwayat hidupnya, memang ini mungkin menarik, tapi
biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk
membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan
pengungkapan diri ini patut. Kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur
terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap
pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin
orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak
mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak acuhan,
bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan. Kita memperlihatkan
keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.
2. Empati atau sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang
dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu,
melalui kacamata orang lain itu. Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi
orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan
sesuatu seperti orang yang mengalaminya. Orang yang empati mampu memahami
motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan
dan keinginan mereka untuk masa mendatang.
3. Sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan
berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empati tidak dapat
berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap
15
mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan
strategik, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.
4. Sikap Positif (Positiveness). Komunikasi interpersonal terbina jika seseorang
memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri.
5.
Kesetaraan. Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara,
artinya harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama
bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang
penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai
oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya
untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk
menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan
menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain.
Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl rogers,
kesetaraan meminta kita untuk memberikan penghargaan positif tak bersyarat
kepada orang lain.
2.4 Kinerja
2.4.1 Pengertian Kinerja
Kinerja adalah penampilan hasil karya personal, baik secara kualitas maupun
kuantitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu
maupun kelompok kerja personal. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada
16
personal yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada
keseluruhan jajaran personal di dalam organisasi (Illyas, 2001).
Menurut Mangkunegara (2002), kinerja adalah hasil kerja secara kuantitas dan
kualitas yang dicapai oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya karyawan dalam
menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui dengan melakukan
penilaian terhadap kinerja karyawannya.
Selain dari pada itu juga ada beberapa ahli yang mengatakan bahwa kinerja
atau prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya.
2.4.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja antara lain
faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis faktor
kemampuan terdiri dari kemampuan pontensial (IQ) dan kemampuan reality
(knowledge + skill) artinya seseorang yang memiliki IQ di atas rata-rata (110-120)
apalagi superior dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dalam
mengerjakan pekerjaan sehari-hari, akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal.
Faktor motivasi, motivasi merupakan suatu sikap seseorang terhadap situasi
kerja dilingkungan organisasinya, mereka yang bersikap positif terhadap situasi
kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka
bersikap negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjuk motivasi kerja yang rendah.
17
Situasi kerja yang dimaksud seperti hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja,
kebijakan dan pimpinan. Misalnya, terkait dengan kinerja perawat, khususnya dalam
menghadapi berbagai tantangan profesinya, kesiapan dan kemampuan perawat
dituntut untuk selalu ditingkatkan. Kualitas sumberdaya perawat sangat menentukan
tingkat keberhasilan pelayanan suatu organisasi pelayanan kesehatan.
Motivasi merupakan interaksi antara perilaku dan lingkungan sehingga dapat
meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan perilaku. Menurut Robbins, (2006)
Kinerja merupakan ukuran hasil kerja yang mana hal ini menggunakan sejauh mana
aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan. a. Faktor kemampuan (ability) b. Faktor motivasi (motivation) kondisi
yang terarah untuk mencapai tujuan kerja. Motivasi terbentuk dari sikap karyawan
dalam menghadapi situasi kerja. Davis (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor
mempengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (Ability) dan faktor motivasi
(Motivation).
Secara psikologis kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ)
dan kemampuan reality (Knowledge+Skill). Artinya karyawan yang memiliki IQ
diatas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan
dalam mengerjakan pekerjaan, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang
diharapkan. Sedangkan Robbins (2006), menambahkan dimensi baru yang
menentukan kinerja seseorang yaitu kesempatan. Menurutnya, meskipun seseorang
bersedia (motivasi) dan mampu (kemampuan) ada rintangan yang menjadi kendala
kinerja seseorang, yaitu kesempatan yang ada, mungkin berupa lingkungan kerja
18
yang tidak mendukung, peralatan, pasokan bahan, rekan kerja yang tidak mendukung,
prosedur kerja yang tidak jelas dan sebagainya.
Mangkunegara mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja
adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Karyawan yang
memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan dalam
mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka ia lebih mudah untuk mencapai kinerja
yang diharapkan.
Menurut hasil studi Lazerb dan Wikstrom, aspek-aspek yang dinilai dalam
kinerja dapat dikelompokkan menjadi :
1.
Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode,
teknik dan peralatan yang digunakan untuk melaksnakan tugas serta
pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya.
2.
Kemampuan konseptual,yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas
tempat bekerja atau pada intinya seorang individu tersebut memahami tugas,
fungsi serta tanggung jawabnya sebagai seorang pegawai.
3.
Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan bekerja
sama dengan orang lain, memotivasi pegawai/staf, komunikasi dengan pasien,
dan lain lain.
Dalam Pedoman Peningkatan Kinerja Perawat di Puskesmas (Panduan bagi
Kabupaten/Kota) dari Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Depkes RI Tahun
2006, dalam pelaksanaan kegiatan Perawat Puskesmas diharapkan mempunyai
kompetensi minimal dalam:
19
1. Promosi kesehatan dalam rangka pemberdayaan individu, keluarga,
kelompok/masyarakat untuk hidup sehat secara mandiri.
2. Pengamatan penyakit menular dan tidak menular (surveillance) khususnya
mengidentifikasi faktor resiko terjadinya penyakit/masalah kesehatan;
menemukan kasus secara dini, mengidentifikasi, pelacakan; melaporkan
kasus.
3. Pelayanan
asuhan
keperawatan
terhadap
individu,
keluarga,
kelompok/masyarakat dengan masalah kesehatan prioritas terkait dengan
komitment global, nasional, maupun daerah (P2M, Gizi, KIA-KB, Kesling,
dan lainnya), antara lain: (a) Tindakan keperawatan langsung (direct care), (b)
Pendidikan/penyuluhan kesehatan, (c) Pengobatan dasar sesuai kewenangan
dan tata laksana standar, (d) Penanggulangan gawat darurat dasar termasuk
penanggulangan bencana alam, (e) Pencegahan infeksi.
4. Memotivasi individu, keluarga, kelompok masyarakat dalam pembentukan
pelayanan kesehatan yang bersumberdaya masyarakat (contoh Posyandu,
Posyandu Usila, Pos obat desa, dan lainnya).
5. Membina pelayanan kesehatan yang bersumber daya masyarakat, misalnya
melakukan pembinaan pelayanan Posyandu, Posyandu Usila, Pos obat desa,
dan lainnya) di wilayah kerjanya.
6. Konseling keperawatan/kesehatan terhadap individu dan keluarga untuk
membantu memecahkan masalah.
20
7. Pelatihan dan atau penyegaran kader/masyarakat untuk mengatasi masalah
kesehatan di wilayah kerja.
8. Kerjasama tim dengan tenaga kesehatan lain, baik lintas program maupun
lintas sektor.
9. Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan baik oleh Perawat dan
masyarakat.
10. Pendokumentasian kegiatan termasuk pencatatan dan pelaporan sesuai
ketentuan.
2.4.3 Kinerja Perawat dan Pelayanan Kesehatan
Kinerja menjadi tolak ukur keberhasilan pelayanan kesehatan yang
menunjukkan akuntabilitas lembaga pelayanan dalam kerangka tata pemerintahan
yang baik (good governance). Dalam pelayanan kesehatan, berbagai jenjang
pelayanan dan asuhan pasien (patient care) merupakan bisnis utama, serta pelayanan
keperawatan merupakan mainstream sepanjang kontinu asuhan. Upaya untuk
memperbaiki mutu dan kinerja pelayanan klinis pada umumnya dimulai oleh perawat
melalui berbagai bentuk kegiatan, seperti: gugus kendali mutu, penerapan standar
keperawatan,
pendekatan-pendekatan
pemecahan
masalah,
maupun
audit
keperawatan.
Menurut Depkes RI (2000), sistem Penilaian Kinerja Pegawai di Puskesmas
adalah penilaian sistematik tentang prestasi kerja, disiplin dan potensi pegawai yang
dilaksanakan oleh atasan langsung pada bawahannya. Menurut Berwick (2001), mata
rantai terdepan yang perlu diperhatikan dalam perbaikan mutu dan kinerja pelayanan
21
kesehatan adalah pengalaman pasien dan masyarakat terhadap pelayanan yang
mereka terima. Sementara menurut WHO (2002), pengembangan Manajemen Kinerja
merupakan pendekatan perbaikan proses pada sistem mikro yang mendukung dan
meningkatkan kompetensi klinis perawat dan bidan untuk bekerja secara profesional
dengan memperhatikan etika, tata nilai, dan aspek legal dalam pelayanan kesehatan.
Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja klinis perawat dan bidan melalui
kejelasan definisi peran dan fungsi perawat atau bidan, pengembangan profesi, dan
pembelajaran bersama.
Terdapat beberapa alasan penting terkait penerapan kualitas pelayan
kesehatan dalam organisasi pelayanan kesehatan, antara lain (Pohan, 2007)
1. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan dapat menjamin
organisasi pelayanan kesehatan akan selalu menghasilkan pelayanan
kesehatan yang berkualitas, sebuah pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
harapan dan kebutuhan pasien.
2. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan menjadikan
organisasi pelayanan kesehatan semakin efisien.
3. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan membuat organisasi
pelayanan kesehatan menjadi terhormat, terkenal dan selalu dicari oleh
siapapun yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, serta
menjadi tempat kerja menyenangkan bagi tenaga kesehatan.
4. Penerapan
pendekatan
kualitas
pelayanan
kesehatan
terutama
akan
memperhatikan keluaran pelayanan kesehatan, sehingga setiap pelaksanan
22
tugas harus dilakukan dengan benar agar pelayanan kesehatan benar-benar
bermanfaat bagi pasien.
5. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan menumbuhkan
kepuasan kerja, komitmen, dan peningkatan moral profesi pelayanan
kesehatan, serta akhirnya akan menimbulkan kepuasan pasien.
Sementara menurut Depkes RI (2000), beberapa hal yang penting tentang
kinerja perawat antara lain ;
1. Kinerja mencerminkan hasil akhir seseorang, yaitu perbandingan antara target
dan tingkat pencapaian
2. Kinerja berkaitan dengan seluruh tugas-tugas yang diberikan kepada
seseorang
3. Kinerja diukur dalam waktu tertentu
Menurut Sedarmayanti (2004), proses peningkatan kinerja memberi
kesempatan terbaik untuk membangun pengalaman yang terus berkembang. Jadi,
untuk membuat peningkatan yang berarti dalam kinerja harus terus berusaha
mencapai tingkat terbaik. Peningkatan tersebut memerlukan berbagai kebijakan dan
program yang dirancang untuk meningkatkan 3R (result, resources, dan ratio)
organisasi.
Kinerja mengisyaratkan adanya hubungan antara barang dan jasa yang
dihasilkan dan sumber-sumber masukan yang digunakan. Menurut Dharma (2005),
pengelolaan kinerja karyawan memiliki implikasi yang luas daripada hanya sekedar
meningkatkan kinerja individu dan menyediakan landasan bagi penentuan tingkat
23
gaji/upah berdasarkan kinerja karyawan. Pengelolaan kinerja juga berkenaan dengan
tiga masalah kunci dalam kehidupan berorganisasi yaitu manajemen sumber daya
manusia, pengembangan yang berkesinambungan dan kerjasama tim.
Pengelolaan kinerja dapat memenuhi sejumlah sasaran manajemen sumber
daya manusia yang mendasar, terutama yang terkait dengan :
1. Mencapai tingkat kinerja yang tinggi yang dapat dipertahankan dari
sumberdaya manusia suatu organ isasi
2. Mengembangkan karyawan sampai kepada kapasitas kerja serta potensinya
3. Menciptakan lingkungan di mana potensi laten dari para karyawan dapat
direalisasi
4. Memperkuat atau mengubah budaya organisasi.
Terdapat empat dimensi tolak ukur kinerja yaitu :
1. Kualitas, yaitu; tingkat kesalahan, kerusakan dan kecermatan.
2. Kuantitas, yaitu; jumlah pekerjaan yang dihasilkan.
3. Penggunaan
waktu
dalam
bekerja,
yaitu;
tingkat
ketidak
hadiran,
keterlambatan, dan waktu kerja efektif/jam kerja hilang.
4. Kerjasama dengan orang lain dalam bekerja.
Sementara Parasuraman et al. (1994), berpendapat bahwa beberapa tolak ukur
kinerja dalam dimensi kualitas pelayanan, antara lain :
1. Kehandalan (reliability), terdiri dari kemampuan karyawan memberikan
pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan segera.
24
2. Daya tanggap (responsiveness), keinginan karyawan untuk membantu
pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
3. Jaminan (assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan kejujuran yang
dimiliki karyawan, bebas dari bahaya dan resiko.
4. Empati (emphaty), meliputi kemudahan karyawan dalam melakukan
hubungan, komunikasi, dan memahami kebutuhan pelanggan.
5. Keberwujudan (tangibles), meliputi fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan
karyawan.
2.5 Landasan Teori
Menurut teori komunikasi Devito (1989) bahwa faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja perawat adalah efektivitas komunikasi interpersonal yang dimulai
dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu keterbukaan (openness),
empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness),
dan kesetaraan (equality). Berdasarkan uraian tugas pokok dan fungsi perawat
puskesmas, kinerja perawat yang ditinjau dari segi : kehandalan, daya tanggap,
jaminan, empati dan keberwujudan.
25
2.6 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel-variabel yang merupakan objek dalam penelitian ini dikumpulkan
dan dihubungkan satu dengan yang lainnya dalam bentuk bagan sesuai dengan tujuan
penelitian, sebagai kerangka konsep penelitian (Widodo, 2004: 100) sebagai berikut:
Variabel Independen
Komunikasi Interpersonal
Kepala Puskesmas
- Keterbukaan
- Empati
- Sikap Mendukung
- Sikap Positif
- Kesetaraan
Variabel Dependen
Kinerja Perawat
-
Kehandalan
-
Daya tanggap
-
Jaminan
-
Empati
-
Keberwujudan
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk
lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi perilaku
orang lain. Stimulus atau rangsangan dapat berupa suara/bunyi atau bahasa lisan
berupa gerakan , tindakan atau simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh pihak lain.
Oleh sebab itu reaksi atau respon dalam bentuk simbol merupakan pengaruh atau
hasil proses komunikasi (Notoatmodjo, 2010). Proses komunikasi yang menggunakan
stimulus atau respon dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tulisan selanjutnya
disebut komunikasi verbal. Sedangkan apabila proses komunikasi tersebut
menggunakan simbol-simbol disebut komunikasi non-verbal.
Komunikasi merupakan proses dimana seorang individu berusaha untuk
memperoleh pengertian yang sama melalui pengiriman pesan simbolik. Komunikasi
menekankan pada tiga hal penting yaitu pertama, komunikasi melibatkan individu
dan oleh karenanya pemahaman komunikasi mencakup upaya memahami bagaimana
individu berhubungan dengan individu lain. Kedua, komunikasi melibatkan
pengertian yang sama, artinya agar dua individu atau lebih dapat berkomunikasi,
mereka harus sepakat mengenai definisi dari istilah yang digunakan sebagai alat
komunikasi. Ketiga, komunikasi bersifat simbolik, yaitu gerak isyarat, bunyi, huruf,
7
8
angka dan kata-kata hanya dapat mewakili atau mengira-ngirakan gagasan yang
hendak dikomunikasikan.
2.2 Unsur-unsur Komunikasi
Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang
diterima oleh komunikan. Dengan kata lain, komunikasi adalah proses membuat
sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan. Komunikasi akan
berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka
asuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of
experiences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan (Liliweri, 2007).
Menurut Wilbur Schramm untuk dapat berkomunikasi diperlukan paling
sedikit tiga unsur yaitu the source, the message dan the destination, yang diperinci
menjadi lima unsur komunikasi yaitu :
1. Sumber (Source)
Adalah pihak yang mensponsori atau ide yang melandasi kegiatan-kegiatan
komunikasi. Sumber dapat merupakan sebuah lembaga, atau sebuah kejadian atau
sipenyampai pesan itu sendiri.
2. Komunikator (Encoder)
Komunikator adalah pihak yang menjalankan atau yang menyampaikan pesan
dalam suatu proses komunikasi. Seorang komunikator dalam suatu proses
komunikasi terkadang dapat berubah menjadi komunikan dan sebaliknya
komunikan dapat berubah menjadi komunikator. Komunikator dalam melancarkan
9
kegiatan komunikasi dapat melakukannya dalam situasi antar personal,
komunikasi kelompok dan komunikasi massa.
3. Pesan (Message)
Pesan yaitu materi pernyataan yang disampaikan oleh komunikator kepada
komunikan. Materi pernyataan ini dapat diwujudkan secara lisan dan tulisan, juga
dalam bentuk gambar, warna, isyarat dan segala lambang yang ada di alam pikiran
manusia, asal saja lambang-lambang ini sama-sama dapat dipahami oleh
komunikator maupun komunikan.
Wilbur Schramm menampilkan apa yang ia sebut The condition of success in
communication yakni kondisi yang harus dipatuhi jika kita menginginkan agar suatu
pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki:
1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat
menarik perhatian komunikan.
2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang
sama antara komunikator dan komunikan sehingga sama-sama dimengerti.
3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikator dan menyarankan
beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang
layak bagi situasi kelompok dimana komunikan berada pada ia digerakkan
untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.
10
4. Komunikan / Sasaran (Decoder)
Komunikan atau sasaran adalah orang atau pihak yang menerima pesan dalam
suatu kegiatan komunikasi. Komunikan dalam suatu kegiatan komunikasi dapat
berbentuk : - Masyarakat umum (general public).
- Masyarakat khusus (special public).
- Individu-individu yang berasal dari suatu particular group atau
massa seperti pendengar radio, pemirsa televisi, pembaca surat
kabar dan lain-lain.
5. Tujuan (Destination)
Setiap komunikasi yang dilancarkan pasti mempunyai tujuan, yakni
bagaimana hasil dari komunikasi yang dijalankan mendapat umpan balik positif
atau dengan kata lain komunikan dapat memberikan respon/ tanggapan yang
merupakan umpan balik (feed back) yang positif (Meinanda, 1981).
Model komunikasi David K.Berlo dalam Cangara (2006) melibatkan empat
komponen komunikasi
meliputi:
komunikator/sumber, pesan, media/saluran,
komunikan/penerima. David K. Berlo menjelaskan bahwa proses komunikasi bersifat
timbal balik, berawal dari seorang sumber informasi (komunikator) yang
menciptakan dan mengirimkan pesan kepada penerima atau komunikan. Selanjutnya
komunikan memberi tanggapan, respon, umpan balik atau feed back kepada
komunikator.
11
2.3 Bentuk-bentuk Komunikasi
Secara garis besar komunikasi dibagi menjadi empat bentuk, yaitu komunikasi
intrapersonal, komunikasi interpersonal, komunikasi massa, dan komunikasi
organisasi (Liliweri, 2007). Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang
dilakukan pada diri sendiri, yang terdiri dari sensasi, persepsi, memori dan berpikir.
Komunikasi ini biasanya dilakukan oleh seseorang ketika merenung tentang dirinya
atau pada saat melakukan evaluasi diri.
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan kepada orang
lain atau komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Komunikasi massa
adalah komunikasi yang dilakukan dengan perantara atau media komunikasi yang ada
dimasyarakat seperti radio, televis, film, pers, dan lain-lain. Komunikasi organisasi
adalah komunikasi yang terjadi antara organisasi, institusi, atau lembaga. Organisasi
juga dapat terjadi antara unit misalnya antara bagian, antarseksi atau subbagian, antar
departemen dan sebagainya.
Agar proses komunikasi tentang kesehatan efektif dan terarah dapat dilakukan
melalui bentuk komunikasi interpersonal yang merupakan salah satu bentuk
komunikasi yang paling efektif, karena antara komunikan dan komunikator dapat
langsung tatap muka, sehingga timbul stimulus yakni pesan atau informasi yang
disampaikan oleh komunikan, langsung dapat direspon atau ditanggapi pada saat itu
juga.
12
2.3.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi
antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya
menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal.
Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi diadik (dyadic
communication) melibatkan hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua
sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana, 2011).
Menurut Effendi dalam Sunarto (2003), pada hakekatnya komunikasi
interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi
jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku
seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat
langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga, pada saat
komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya
positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan
pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.
Komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa
orang dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima
pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula (Hardjana, 2003).
Sehingga
komunikasi
interpersonal
atau
komunikasi
antar
pribadi
dapat
meningkatkan hubungan insani (humans relations), menghindari dan mengatasi
konflik-konflik
pribadi,
mengurangi
ketidakpastian
sesuatu,
pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 1998).
serta
berbagi
13
Proses komunikasi interpersonal adalah suatu proses dua arah, lingkaran
interaktif dimana pihak-pihak yang berkomunikasi saling bertukar pesan. Kedua
pihak menjadi pengirim maupun penerima pesan. Dalam proses ini si penerima
menafsirkan pesan pengirim sebelumnya dan memberi tanggapan dengan pesan yang
baru. Dengan kata lain komunikasi interpersonal adalah tatap muka penyampaian
informasi dan saling pengertian antara dua orang atau lebih.
2.3.2 Bentuk Komunikasi Interpersonal
Bentuk komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
1. Komunikasi verbal (verbal communication)
Komunikasi verbal menggunakan kat-kata, mencakup komunikasi bahasa lisan.
Bahasa terbanyak dan terpenting digunakan dalam berkomunikasi. Hal ini
disebabkan karena bahasa selain dapat mewakili kenyataan konkrit dalam dunia
sekeliling, juga dapat mewakili hal-hal yang abstrak.
2. Komunikasi nonverbal (nonverbal communication).
Yakni yang menyangkut gerak-gerik, sikap, ekspresi wajah, penampilan, dan lain
sebagainya (Riswandi, 2008).
2.3.3 Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Menurut
teori
Devito
(1997),
faktor-faktor
efektifitas
komunikasi
interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu :
1. Keterbukaan (Openness)
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi
interpersonal. Komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang
14
yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera
membukakan semua riwayat hidupnya, memang ini mungkin menarik, tapi
biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk
membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan
pengungkapan diri ini patut. Kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur
terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap
pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin
orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak
mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak acuhan,
bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan. Kita memperlihatkan
keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.
2. Empati atau sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang
dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu,
melalui kacamata orang lain itu. Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi
orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan
sesuatu seperti orang yang mengalaminya. Orang yang empati mampu memahami
motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan
dan keinginan mereka untuk masa mendatang.
3. Sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan
berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empati tidak dapat
berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap
15
mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan
strategik, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.
4. Sikap Positif (Positiveness). Komunikasi interpersonal terbina jika seseorang
memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri.
5.
Kesetaraan. Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara,
artinya harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama
bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang
penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai
oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya
untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk
menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan
menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain.
Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl rogers,
kesetaraan meminta kita untuk memberikan penghargaan positif tak bersyarat
kepada orang lain.
2.4 Kinerja
2.4.1 Pengertian Kinerja
Kinerja adalah penampilan hasil karya personal, baik secara kualitas maupun
kuantitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu
maupun kelompok kerja personal. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada
16
personal yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada
keseluruhan jajaran personal di dalam organisasi (Illyas, 2001).
Menurut Mangkunegara (2002), kinerja adalah hasil kerja secara kuantitas dan
kualitas yang dicapai oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya karyawan dalam
menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui dengan melakukan
penilaian terhadap kinerja karyawannya.
Selain dari pada itu juga ada beberapa ahli yang mengatakan bahwa kinerja
atau prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya.
2.4.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja antara lain
faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis faktor
kemampuan terdiri dari kemampuan pontensial (IQ) dan kemampuan reality
(knowledge + skill) artinya seseorang yang memiliki IQ di atas rata-rata (110-120)
apalagi superior dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dalam
mengerjakan pekerjaan sehari-hari, akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal.
Faktor motivasi, motivasi merupakan suatu sikap seseorang terhadap situasi
kerja dilingkungan organisasinya, mereka yang bersikap positif terhadap situasi
kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka
bersikap negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjuk motivasi kerja yang rendah.
17
Situasi kerja yang dimaksud seperti hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja,
kebijakan dan pimpinan. Misalnya, terkait dengan kinerja perawat, khususnya dalam
menghadapi berbagai tantangan profesinya, kesiapan dan kemampuan perawat
dituntut untuk selalu ditingkatkan. Kualitas sumberdaya perawat sangat menentukan
tingkat keberhasilan pelayanan suatu organisasi pelayanan kesehatan.
Motivasi merupakan interaksi antara perilaku dan lingkungan sehingga dapat
meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan perilaku. Menurut Robbins, (2006)
Kinerja merupakan ukuran hasil kerja yang mana hal ini menggunakan sejauh mana
aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan. a. Faktor kemampuan (ability) b. Faktor motivasi (motivation) kondisi
yang terarah untuk mencapai tujuan kerja. Motivasi terbentuk dari sikap karyawan
dalam menghadapi situasi kerja. Davis (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor
mempengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (Ability) dan faktor motivasi
(Motivation).
Secara psikologis kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ)
dan kemampuan reality (Knowledge+Skill). Artinya karyawan yang memiliki IQ
diatas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan
dalam mengerjakan pekerjaan, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang
diharapkan. Sedangkan Robbins (2006), menambahkan dimensi baru yang
menentukan kinerja seseorang yaitu kesempatan. Menurutnya, meskipun seseorang
bersedia (motivasi) dan mampu (kemampuan) ada rintangan yang menjadi kendala
kinerja seseorang, yaitu kesempatan yang ada, mungkin berupa lingkungan kerja
18
yang tidak mendukung, peralatan, pasokan bahan, rekan kerja yang tidak mendukung,
prosedur kerja yang tidak jelas dan sebagainya.
Mangkunegara mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja
adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Karyawan yang
memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan dalam
mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka ia lebih mudah untuk mencapai kinerja
yang diharapkan.
Menurut hasil studi Lazerb dan Wikstrom, aspek-aspek yang dinilai dalam
kinerja dapat dikelompokkan menjadi :
1.
Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode,
teknik dan peralatan yang digunakan untuk melaksnakan tugas serta
pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya.
2.
Kemampuan konseptual,yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas
tempat bekerja atau pada intinya seorang individu tersebut memahami tugas,
fungsi serta tanggung jawabnya sebagai seorang pegawai.
3.
Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan bekerja
sama dengan orang lain, memotivasi pegawai/staf, komunikasi dengan pasien,
dan lain lain.
Dalam Pedoman Peningkatan Kinerja Perawat di Puskesmas (Panduan bagi
Kabupaten/Kota) dari Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Depkes RI Tahun
2006, dalam pelaksanaan kegiatan Perawat Puskesmas diharapkan mempunyai
kompetensi minimal dalam:
19
1. Promosi kesehatan dalam rangka pemberdayaan individu, keluarga,
kelompok/masyarakat untuk hidup sehat secara mandiri.
2. Pengamatan penyakit menular dan tidak menular (surveillance) khususnya
mengidentifikasi faktor resiko terjadinya penyakit/masalah kesehatan;
menemukan kasus secara dini, mengidentifikasi, pelacakan; melaporkan
kasus.
3. Pelayanan
asuhan
keperawatan
terhadap
individu,
keluarga,
kelompok/masyarakat dengan masalah kesehatan prioritas terkait dengan
komitment global, nasional, maupun daerah (P2M, Gizi, KIA-KB, Kesling,
dan lainnya), antara lain: (a) Tindakan keperawatan langsung (direct care), (b)
Pendidikan/penyuluhan kesehatan, (c) Pengobatan dasar sesuai kewenangan
dan tata laksana standar, (d) Penanggulangan gawat darurat dasar termasuk
penanggulangan bencana alam, (e) Pencegahan infeksi.
4. Memotivasi individu, keluarga, kelompok masyarakat dalam pembentukan
pelayanan kesehatan yang bersumberdaya masyarakat (contoh Posyandu,
Posyandu Usila, Pos obat desa, dan lainnya).
5. Membina pelayanan kesehatan yang bersumber daya masyarakat, misalnya
melakukan pembinaan pelayanan Posyandu, Posyandu Usila, Pos obat desa,
dan lainnya) di wilayah kerjanya.
6. Konseling keperawatan/kesehatan terhadap individu dan keluarga untuk
membantu memecahkan masalah.
20
7. Pelatihan dan atau penyegaran kader/masyarakat untuk mengatasi masalah
kesehatan di wilayah kerja.
8. Kerjasama tim dengan tenaga kesehatan lain, baik lintas program maupun
lintas sektor.
9. Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan baik oleh Perawat dan
masyarakat.
10. Pendokumentasian kegiatan termasuk pencatatan dan pelaporan sesuai
ketentuan.
2.4.3 Kinerja Perawat dan Pelayanan Kesehatan
Kinerja menjadi tolak ukur keberhasilan pelayanan kesehatan yang
menunjukkan akuntabilitas lembaga pelayanan dalam kerangka tata pemerintahan
yang baik (good governance). Dalam pelayanan kesehatan, berbagai jenjang
pelayanan dan asuhan pasien (patient care) merupakan bisnis utama, serta pelayanan
keperawatan merupakan mainstream sepanjang kontinu asuhan. Upaya untuk
memperbaiki mutu dan kinerja pelayanan klinis pada umumnya dimulai oleh perawat
melalui berbagai bentuk kegiatan, seperti: gugus kendali mutu, penerapan standar
keperawatan,
pendekatan-pendekatan
pemecahan
masalah,
maupun
audit
keperawatan.
Menurut Depkes RI (2000), sistem Penilaian Kinerja Pegawai di Puskesmas
adalah penilaian sistematik tentang prestasi kerja, disiplin dan potensi pegawai yang
dilaksanakan oleh atasan langsung pada bawahannya. Menurut Berwick (2001), mata
rantai terdepan yang perlu diperhatikan dalam perbaikan mutu dan kinerja pelayanan
21
kesehatan adalah pengalaman pasien dan masyarakat terhadap pelayanan yang
mereka terima. Sementara menurut WHO (2002), pengembangan Manajemen Kinerja
merupakan pendekatan perbaikan proses pada sistem mikro yang mendukung dan
meningkatkan kompetensi klinis perawat dan bidan untuk bekerja secara profesional
dengan memperhatikan etika, tata nilai, dan aspek legal dalam pelayanan kesehatan.
Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja klinis perawat dan bidan melalui
kejelasan definisi peran dan fungsi perawat atau bidan, pengembangan profesi, dan
pembelajaran bersama.
Terdapat beberapa alasan penting terkait penerapan kualitas pelayan
kesehatan dalam organisasi pelayanan kesehatan, antara lain (Pohan, 2007)
1. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan dapat menjamin
organisasi pelayanan kesehatan akan selalu menghasilkan pelayanan
kesehatan yang berkualitas, sebuah pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
harapan dan kebutuhan pasien.
2. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan menjadikan
organisasi pelayanan kesehatan semakin efisien.
3. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan membuat organisasi
pelayanan kesehatan menjadi terhormat, terkenal dan selalu dicari oleh
siapapun yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, serta
menjadi tempat kerja menyenangkan bagi tenaga kesehatan.
4. Penerapan
pendekatan
kualitas
pelayanan
kesehatan
terutama
akan
memperhatikan keluaran pelayanan kesehatan, sehingga setiap pelaksanan
22
tugas harus dilakukan dengan benar agar pelayanan kesehatan benar-benar
bermanfaat bagi pasien.
5. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan menumbuhkan
kepuasan kerja, komitmen, dan peningkatan moral profesi pelayanan
kesehatan, serta akhirnya akan menimbulkan kepuasan pasien.
Sementara menurut Depkes RI (2000), beberapa hal yang penting tentang
kinerja perawat antara lain ;
1. Kinerja mencerminkan hasil akhir seseorang, yaitu perbandingan antara target
dan tingkat pencapaian
2. Kinerja berkaitan dengan seluruh tugas-tugas yang diberikan kepada
seseorang
3. Kinerja diukur dalam waktu tertentu
Menurut Sedarmayanti (2004), proses peningkatan kinerja memberi
kesempatan terbaik untuk membangun pengalaman yang terus berkembang. Jadi,
untuk membuat peningkatan yang berarti dalam kinerja harus terus berusaha
mencapai tingkat terbaik. Peningkatan tersebut memerlukan berbagai kebijakan dan
program yang dirancang untuk meningkatkan 3R (result, resources, dan ratio)
organisasi.
Kinerja mengisyaratkan adanya hubungan antara barang dan jasa yang
dihasilkan dan sumber-sumber masukan yang digunakan. Menurut Dharma (2005),
pengelolaan kinerja karyawan memiliki implikasi yang luas daripada hanya sekedar
meningkatkan kinerja individu dan menyediakan landasan bagi penentuan tingkat
23
gaji/upah berdasarkan kinerja karyawan. Pengelolaan kinerja juga berkenaan dengan
tiga masalah kunci dalam kehidupan berorganisasi yaitu manajemen sumber daya
manusia, pengembangan yang berkesinambungan dan kerjasama tim.
Pengelolaan kinerja dapat memenuhi sejumlah sasaran manajemen sumber
daya manusia yang mendasar, terutama yang terkait dengan :
1. Mencapai tingkat kinerja yang tinggi yang dapat dipertahankan dari
sumberdaya manusia suatu organ isasi
2. Mengembangkan karyawan sampai kepada kapasitas kerja serta potensinya
3. Menciptakan lingkungan di mana potensi laten dari para karyawan dapat
direalisasi
4. Memperkuat atau mengubah budaya organisasi.
Terdapat empat dimensi tolak ukur kinerja yaitu :
1. Kualitas, yaitu; tingkat kesalahan, kerusakan dan kecermatan.
2. Kuantitas, yaitu; jumlah pekerjaan yang dihasilkan.
3. Penggunaan
waktu
dalam
bekerja,
yaitu;
tingkat
ketidak
hadiran,
keterlambatan, dan waktu kerja efektif/jam kerja hilang.
4. Kerjasama dengan orang lain dalam bekerja.
Sementara Parasuraman et al. (1994), berpendapat bahwa beberapa tolak ukur
kinerja dalam dimensi kualitas pelayanan, antara lain :
1. Kehandalan (reliability), terdiri dari kemampuan karyawan memberikan
pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan segera.
24
2. Daya tanggap (responsiveness), keinginan karyawan untuk membantu
pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
3. Jaminan (assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan kejujuran yang
dimiliki karyawan, bebas dari bahaya dan resiko.
4. Empati (emphaty), meliputi kemudahan karyawan dalam melakukan
hubungan, komunikasi, dan memahami kebutuhan pelanggan.
5. Keberwujudan (tangibles), meliputi fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan
karyawan.
2.5 Landasan Teori
Menurut teori komunikasi Devito (1989) bahwa faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja perawat adalah efektivitas komunikasi interpersonal yang dimulai
dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu keterbukaan (openness),
empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness),
dan kesetaraan (equality). Berdasarkan uraian tugas pokok dan fungsi perawat
puskesmas, kinerja perawat yang ditinjau dari segi : kehandalan, daya tanggap,
jaminan, empati dan keberwujudan.
25
2.6 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel-variabel yang merupakan objek dalam penelitian ini dikumpulkan
dan dihubungkan satu dengan yang lainnya dalam bentuk bagan sesuai dengan tujuan
penelitian, sebagai kerangka konsep penelitian (Widodo, 2004: 100) sebagai berikut:
Variabel Independen
Komunikasi Interpersonal
Kepala Puskesmas
- Keterbukaan
- Empati
- Sikap Mendukung
- Sikap Positif
- Kesetaraan
Variabel Dependen
Kinerja Perawat
-
Kehandalan
-
Daya tanggap
-
Jaminan
-
Empati
-
Keberwujudan
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian