Determinan Pemanfaatan Ulang Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2014
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Dever (1984) dalam Donabedian (2005), pemanfaatan pelayanan
kesehatan adalah interaksi antara konsumen dengan provider (penyedia pelayanan).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan erat hubungannya dengan kapan seseorang
memerlukan pelayanan kesehatan dan seberapa jauh efektifitas pelayanan tersebut.
Menurut Dever (1984) dalam Donabedian (2005), ada beberapa faktor yang dapat
memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu:
1. Faktor Sosiokultural
a. Teknologi
Kemajuan teknologi dapat memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan,
dimana kemajuan dibidang teknologi disatu sisi dapat meningkatkan pemanfaatan
pelayanan kesehatan seperti transplantasi organ, penemuan organ-organ artifisial,
serta kemajuan dibidang radiologi, sedangkan disisi lain kemajuan teknologi dapat
menurunkan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sebagai contoh dengan ditemukannya
berbagai vaksin untuk pencegahan penyakit menular akan mengurangi pemanfaatan
pelayanan kesehatan.
b. Norma dan Nilai yang Ada di Masyarakat
Norma, nilai sosial dan keyakinan yang ada dimasyarakat akan memengaruhi
seseorang dalam bertindak, termasuk dalam memilih dan memanfaatkan pelayanan
kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor Organisasional
a. Ketersediaan Sumber Daya
Suatu sumber daya tersedia apabila sumber daya itu ada atau bisa didapat,
tanpa mempertimbangkan sulit ataupun mudahnya penggunaannya. Suatu pelayanan
hanya bisa digunakan apabila jasa tersebut tersedia.
b. Akses Geografis
Akses geografis dimaksudkan pada faktor-faktor yang berhubungan dengan
tempat yang memfasilitasinya atau menghambat pemanfaatan, ini ada hubungan
antara lokasi suplai dan lokasi klien, yang dapat diukur dengan jarak waktu tempuh,
atau biaya tempuh. Hubungan antara akses geografis dan volume dari pelayanan
tergantung dari jenis pelayanan dan jenis sumber daya yang ada. Peningkatan akses
yang dipengaruhi oleh berkurangnya jarak, waktu tempuh ataupun biaya tempuh
mungkin mengakibatkan peningkatan pelayanan yng berhubungan dengan keluhankeluhan ringan. Dengan kata lain, pemakaian pelayanan preventif lebih banyak
dihubungkan dengan akses geografis daripada pemakaian pelayanan kuratif
sebagaimana pemanfaatan pelayanan umum bila dibandingkan dengan pelayanan
spesialis. Semakin hebat suatu penyakit atau keluhan, dan semakin canggih atau
semakin khusus sumber daya dari pelayanan, semakin berkurang pentingnya atau
berkurang kuatnya hubungan antara akses geografis dan volume pemanfaatan
pelayanan.
Universitas Sumatera Utara
c. Akses Sosial
Akses sosial terdiri dari dua dimensi, yaitu dapat diterima dan terjangkau.
Dapat diterima mengarah kepada faktor psikologis, sosial, dan faktor budaya,
sedangkan
terjangkau
memperhitungkan
mengarah
kepada
faktor
ekonomi.
Konsumen
dan karakteristik yang ada pada provider seperti etnis, jenis
kelamin, umur, ras, dan hubungan keagamaan.
d. Karakteristik dari Struktur Perawatan dan Proses
Praktek pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, praktek dokter tunggal,
praktek dokter bersama, grup praktek dokter spesialis atau yang lainnya membuat
pola pemanfaatan yang berbeda.
3. Faktor yang Berhubungan dengan Konsumen
Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah interaksi antara konsumen dengan
provider (penyedia pelayanan). Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan
oleh konsumen berhubungan langsung dengan penggunaan atau permintaan terhadap
pelayanan kesehatan.
Kebutuhan, terdiri atas kebutuhan yang dirasakan (perceived need) dan
diagnosa klinis (evaluated need). Kebutuhan yang dirasakan (perceived need) ini
dipengaruhi oleh:
a. Faktor sosiodemografis yang terdiri dari umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa,
status perkawinan, jumlah keluarga, dan status sosial ekonomi (pendidikan,
pekerjaan, pengasilan).
Universitas Sumatera Utara
b. Faktor sosial psikologis terdiri dari persepsi, sikap dan kepercayaan terhadap
pelayanan kesehatan.
4. Faktor yang Berhubungan dengan Produsen
Faktor yang berhubungan dengan produsen, yaitu faktor ekonomi konsumen
tidak sepenuhnya memiliki referensi yang cukup akan pelayanan yang diterima,
sehingga mereka menyerahkan hal ini sepenuhnya ketangan provider. Karakteristik
provider, yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, serta fasilitas yang dimiliki
oleh pelayanan yang bersangkutan.
2.2. Determinan yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Konsumen akan memutuskan menggunakan atau memanfaatkan sarana
pelayanan kesehatan berdasarkan perilaku dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
2.2.1. Model Pemanfaatan Sarana Kesehatan
Model pemanfaatan sarana kesehatan oleh masyarakat atau konsumen
menurut Anderson (1974) dalam Notoatmodjo (2003) Pada prinsipnya ada dua
kategori pelayanan kesehatan: (1) kategori yang berorientasi kepada publik
(masyarakat) dan (2) kategori yang berorientasi pada perorangan (pribadi). Pelayanan
kesehatan yang termasuk dalam kategori publik terdiri dari sanitasi, imunisasi,
kebersihan air, dan perlindungan kualitas udara. Pelayanan kesehatan masyarakat
lebih diarahkan langsung kearah publik dari pada kearah individu-individu yang
khusus. Di lain pihak pelayanan kesehatan pribadi adalah langsung kearah individu.
Universitas Sumatera Utara
Pelayanan kesehatan ditujukan langsung kepada pemakai pribadi (individual
costumer). Studi tentang penggunaan pelayanan kesehatan dikaitkan dengan
penggunaan pelayanan kesehatan pribadi. Karena itu, kita akan mengatasi bahasan
kita mengenai penggukuran pelayanan kesehatan ke kategori pelayanan kesehatan
pribadi.
Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) membuat suatu kerangka
kerja teoritis untuk pengukuran pemanfaatan pelayanan kesehatan pribadi. Suatu hal
yang sangat penting dari artikel mereka adalah diterimanya secara luas definisi dari
dimensi-dimensi penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan. Anderson dan
Newman dalam Notoatmodjo (2003) menyamakan 3 dimensi dari kepentingan utama
dalam pengukuran dan penentuan pelayanan kesehatan, yaitu tipe, tujuan atau
maksud, dan unit analisis.
a. Tipe Pelayanan Kesehatan
Tipe pelayanan kesehatan digunakan untuk memisahkan berbagai pelayanan
kesehatan antara satu dengan yang lainnya. Anderson dan Newman dalam
Notoatmodjo (2003) menunjukkan bahwa ada perbedaan jangka waktu (panjang dan
pendek) untuk masing-masing tipe pelayanan kesehatan (seperti pelayanan rumah
sakit, pelayanan dokter, perawatan di rumah dan lain-lain).
Faktor-faktor penentu (determinan) pada individu bervariasi dalam hal tipe
penggunaan pelayanan kesehatan. Karena perbedaan faktor penentu tersebut maka
komponen utama dalam pengaturan pelayanan kesehatan harus memehartikan tipe
pelayanan kesehatan yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
b.Tujuan Pelayanan Kesehatan
Tingkatan pelayanan kesehatan berdasarkan perawatan yang dilakukan
dibedakan menjadi: pelayanan tingkat I (primary), pelayanan tingkat II (secondary),
pelayanan tingkat III (tertiary), pelayanan tingkat dan IV (custodial). Perawatan I
dikaitkan dengan perawatan pencegahan (preventive care). Perawatan II dikaitkan
dengan perawatan perbaikan (pengembalian individu ke tingkat semula dari
fungsionalnya). Perawatan III dikaitkan dengan stabilitas dari kondisi yang
memehartikan penyakit jangka panjang. Perawatan IV dikaitkan semata-mata dengan
kebutuhan pribadi dari pasien dan tidak dihubungkan dengan perawatan penyakit.
c. Unit Analisis Pelayanan Kesehatan
Unit analisis pelayanan kesehatan merupakan dimensi ketiga (3) dalam
kerangka kerja Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) yang mendukung
3 perbedaan diantara unit-unit analisis, yaitu: kontak dengan pelayanan, volume
pelayanan, frekuensi penyakit. Alasan utama bagi perbedaan ini adalah bahwa ciriciri khas individu mungkin terkait dengan sejumlah penyakit yang diderita setiap
individu, sedangkan ciri-ciri khas dari sistem pelayanan (khususnya pada dokter)
mungkin menjadi tanggung jawab utama bagi sejumlah akibat dari kontak kunjungan
sebagai akibat dari setiap frekuensi penyakit. Karena jumlah kontak, frekuensi dan
volume pelayanan yang digunakan ditentukan oleh faktor-faktor yang berbeda, maka
pengukuran penggunaan pelayanan kesehatan akan membuat suatu perbedaan di
antara unit-unit pelayanan kesehatan yang berbeda, sebagai contoh kita ingin
mengukur pelayanan rumah sakit per 100 orang dalam 1 tahun, jumlah kunjungan
Universitas Sumatera Utara
dokter dalam tahun tertentu atau presentasi orang yang mengunjungi seorang dokter
dalam 1 tahun.
Ketiga indikator ini telah dipakai di Amerika dalam menguji kecenderungan
penggunaan pelayanan kesehatan. Untuk itu perlu menaruh perhatian pada pengertian
sifat umum pengaturan pelayanan kesehatan sebagaimana yang dicerminkan dalam
konsep Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003).
2.2.2. Tipe Umum dari Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Sejumlah riset telah dilakukan ke dalam faktor-faktor penentu (determinan)
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kebanyakan dari riset inilah model-model adanya
penggunaan pelayanan kesehatan dikembangkan dan dilengkapi.
1. Tujuan Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa model
pemanfaatan pelayanan kesehatan ini dapat membantu atau memenuhi satu atau lebih
dari 5 tujuan sebagai berikut :
a. Untuk melukiskan hubungan kedua belah pihak antara faktor penentu dari
pemanfaatan pelayanan kesehatan.
b. Untuk meringankan peramalan kebutuhan masa depan pelayanan kesehatan.
c. Untuk menentukan ada atau tidak adanya pelayanan dari pemakaian pelayanan
kesehatan yang berat sebelah.
d. Untuk menyarankan cara-cara memanipulasi kebijaksanaan yang berhubungan
dengan
variabel-variabel
agar
memberikan
perubahan-perubahan
yang
diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
e. Untuk menilai pengaruh pembentukan program atau proyek-proyek pemeliharaan
atau perawatan kesehatan yang baru.
2. Kategori Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003), kategori dari
model-model pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah kependudukan, struktur
sosial, psikologi sosial, sumber keluarga, sumber daya masyarakat, organisasi, dan
model-model sistem kesehatan.
a. Model demografi (Kependudukan)
Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan model
demografi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan terkait dengan variabel-variabel :
umur, seks, status perkawinan, dan besarnya keluarga. Variabel-variabel yang
digunakan sebagai ukuran mutlak atau indikator fisiologis yang berbeda (umur, seks)
dan siklus hidup (status perkawinan, besarnya keluarga) dengan asumsi bahwa
perbedaan derajat kesehatan, derajat kesakitan, dan penggunaan pelayanan kesehatan
sedikit banyak akan berhubungan dengan variabel diatas. Karakteristik demografi
juga mencerminkan atau berhubungan dengan karateristik sosial (perbedaan sosial
dari jenis kelamin memengaruhi berbagai tipe dan ciri-ciri sosial).
b. Model-model struktur sosial (social structur models)
Pemanfaatan pelayanan kesehatan berdasarkan model-model struktur sosial
menurut Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) melalui variabel :
pendidikan, pekerjaan, dan kebangsaan. Variabel-variabel ini mencerminkan keadaan
sosial dari individu atau keluarga di dalam masyarakat. Pemanfaatan pelayanan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan adalah salah satu aspek dari gaya hidup ini, yang ditentukan oleh
lingkungan sosial, fisik, dan psikologis. Masalah utama dari model struktur sosial dari
pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah bahwa kita tidak mengetahui mengapa
variabel ini menyebabkan penggunaan pelayanan kesehatan.
c.
Model-model sosial psikologis (psychological models)
Dalam model ini, Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003)
menyatakan variabel yang dipakai adalah ukuran dari sikap dan keyakinan individu.
Variabel-variabel sosio-psikologis pada umumnya terdiri dari 4 kategori:
(1) Pengertian kerentanan terhadap penyakit
(2) Pengertian keseluruhan dari penyakit
(3) Keuntungan yang diharapkan dari pengambilan tindakan, dalam menghadapi
penyakit
(4) Kesiapan tindakan individu
Masalah utama dengan model ini adalah menganggap suatu mata rantai
penyebab langsung antara sikap dan prilaku yang belum dapat dijelaskan.
d. Model sumber keluarga (family resource models)
Dalam model ini variabel yang dipakai adalah pendapat keluarga, cakupan
asuransi keluarga atau sebagai anggota suatu asuransi kesehatan dan pihak yang
membiayai pelayanan kesehatan keluarga dan sebagainya. Karakteristik ini untuk
menggukur kesanggupan dari individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan
kesehatan mereka (Notoatmodjo, 2003).
Universitas Sumatera Utara
e. Model sumber daya masyarakat (community resource models)
Pada model ini tipe model yang digunakan adalah penyediaan pelayanan
kesehatan dan sumber-sumber di dalam masyarakat, dan ketercapaian dari pelayanan
kesehatan yang tersedia dan sumber-sumber di dalam masyarakat. Model sumber
daya masyarakat selanjutnya adalah suplai ekonomis yang berfokus pada ketersediaan
sumber-sumber kesehatan pada masyarakat setempat (Notoatmodjo, 2003).
f. Model-model organisasi (organization models)
Dalam model ini variabel yang dipakai adalah pencerminan perbedaan
bentuk-bentuk sistem pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Biasanya variabel
yang digunakan adalah:
1) Gaya (style) praktik pengobatan (sendiri, rekanan, atau grup)
2) Sifat (nature) dari pelayanan tersebut (membayar langsung atau tidak)
3) Letak dari pelayanan (tempat pribadi, rumah sakit, atau klinik)
4) Petugas kesehatan yang pertama kali kontak dengan pasien (dokter, perawat
asisten dokter).
g. Model sistem kesehatan
Keenam kategori model pemanfaatan fasilitas kesehatan tersebut tidak begitu
terpisah, meskipun ada perbedaan dalam sifat (nature). Model sistem kesehatan
mengintegrasikan keenam model terdahulu ke dalam model yang lebih sempurna.
Untuk itu maka demografi, ciri-ciri struktur sosial, sikap, dan keyakinan individu atau
keluarga, sumber-sumber di dalam masyarakat dan organisasi pelayanan kesehatan
yang ada, digunakan bersama dengan faktor-faktor yang berhubungan seperti
Universitas Sumatera Utara
kebijaksanaan dan struktur ekonomi pada masyarakat yang lebih luas (negara).
Dengan demikian apabila dilakukan analisis terhadap penyediaan dan penggunaan
pelayanan kesehatan oleh masyarakat maka harus diperhitungkan juga faktor-faktor
yang terlibat didalamnya (Notoatmodjo, 2003).
h. Model kepercayaan kesehatan (the health belief models)
Model
kepercayaan
adalah
suatu
bentuk
penjabaran
dari
model
sosiopsikologis seperti disebutkan di atas. Munculnya model ini didasarkan pada
kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan
orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan
penyakit yang diselenggarakan oleh provider (Notoatmodjo, 2003). Kegagalan ini
akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit
(preventive health behavior), yang dikembangkan dari teori lapangan oleh Lewin
dalam Notoatmodjo (2003) menjadi model kepercayaan kesehatan (health belief
model).
Teori Lewin menganut konsep bahwa individu hidup pada lingkup kehidupan
sosial (masyarakat). Dalam kehidupan ini individu akan bernilai, baik positif maupun
negatif di suatu daerah atau wilayah tertentu. Apabila keadaan individu dalam
keadaan sehat maka individu tersebut dianalogikan dalam kondisi positif atau berada
pada daerah positif, artinya individu tersebut bebas dari suatu penyakit atau rasa sakit
yang dianalogikan sebagai daerah negatif (Notoatmodjo, 2003).
Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada
empat variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang
Universitas Sumatera Utara
dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang di alami dalam tindakannya
melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut (Notoatmodjo,
2003).
1) Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)
Agar seorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus
merasakan bahwa ia rentan (susceptibility) terhadap penyakit tersebut. Dengan
kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila
seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarga rentan terhadap penyakit
tersebut (Notoatmodjo, 2003).
2) Keseriusan yang dirasakan (Perceived serioussness)
Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan terhadap suatu
penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu
atau masyarakat. Penyakit demam berdarah, misalnya, akan dirasakan lebih
serius dibandingkan dengan demam biasa. Oleh karena itu, tindakan pencegahan
demam berdarah akan lebih banyak dilakukan bila dibandingkan dengan
pencegahan (pengobatan) demam biasa (Notoatmodjo, 2003).
3) Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (Perceived benefit and barriers)
Apabila individu merasa dirinya rentan untuk pentakit-penyakit yang dianggap
gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini
tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan
dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan lebih
Universitas Sumatera Utara
menentukan dari pada rintangan-rintangan yang mungkin ditemukan di dalam
melakukan tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).
4) Isyarat atau tanda-tanda (cues)
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerantanan,
kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang
berupa faktor-faktor eksternal seperti : pesan-pesan dari media massa, nasihat
atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga (Notoatmodjo, 2003).
i. Model sistem kesehatan (health system model)
2.2.3. Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Ulang
Perilaku pembeli atau pengguna dapat dijadikan kiat dasar untuk
menghubungkan kualitas pelayanan dan minat. Perilaku konsumen untuk
menggunakan pelayanan yang sama apabila mereka merasa terpenuhi keinginannya
dengan pelayanan yang mereka terima. Pembeli atau pengguna yang merasa
terpenuhi keinginannya akan kualitas jasa yang mereka terima akan membeli atau
mengguna ulang produk atau jasa itu kembali. Minat perilaku konsumen untuk
membeli atau menggunakan jasa dari pemberi jasa yang sama sangat dipengaruhi
oleh pengalaman terhadap pelayanan yang diberikan sebelumnya.
Pengguna yang sudah terbiasa akan suatu produk atau jasa yang khusus
tidaklah selalu sama, dikarenakan faktor pemilihan alternatif yang unik. Faktor lain
lagi yang berhubungan dalam hal suka atau tidak suka, menolak tetapi sebenarnya
menyukai dan beberapa fanatik yang tidak pernah mempertimbangkan pilihan lain.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kotler (2000), beberapa faktor yang memengaruhi pemanfaatan barang atau
jasa, yaitu ;
1. Faktor pertama adalah marketing stimuli, faktor ini terdiri dari product, price, place
dan promotion.
2. Faktor kedua adalah stimuli lain yang terdiri dari technological, political dan
cultural.
2.3. Persepsi
Persepsi adalah suatu proses seorang individu memilih, mengorganisasi, dan
menafsirkan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang bermakna. Persepsi
seorang dapat berbeda satu sama lainnya, meskipun dihadapkan pada suatu situasi
dan kondisi yang sama. Hal ini dipandang dari suatu gagasan bahwa seseorang
menerima suatu objek rangsangan melalui penginderaan, penglihatan, pendengaran,
pembauan, dan perasaan (Robbins, 2006).
Robbins (2006) menyatakan terdapat tiga faktor yang memengaruhi persepsi,
yakni pelaku persepsi, target yang dipersepsikan dan situasi. Ketika individu
memandang kepada objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya,
penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi
itu. Karakteristik pribadi yang memengaruhi persepsi adalah sikap, kepribadian,
motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan harapan.
Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi terdiri atas dua faktor, yaitu faktor
eksternal atau dari luar yakni concreteness, yaitu gagasan yang abstrak yang sulit
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan dengan yang objektif, novelty atau hal baru, biasanya lebih menarik
untuk dipersepsikan daripada hal-hal lama, velocity atau percepatan, misalnya
pemikiran atau gerakan yang lebih cepat dalam menstimulasi munculnya persepsi
lebih efektif dibanding yang lambat, conditioned stimuli yakni stimulus yang
dikondisikan, sedangkan faktor internal adalah motivasi, yaitu dorongan untuk
merespon sesuatu interest dimana hal-hal yang menarik lebih diperhatikan daripada
yang tidak menarik, need adalah kebutuhan akan hal-hal tertentu dan terakhir
asumptions yakni persepsi seseorang dipengaruhi dari pengalaman melihat,
merasakan dan lain-lain.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006), persepsi diartikan sebagai:
(a) tangapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan (b) proses seseorang mengetahui
beberapa hal melalui panca inderanya. Menurut Komarudin (2006), secara
etimologis, persepsi berasal dari bahasa Latin percipere yang mempuyai pengertian:
(a) kesadaran intuitif (berdasarkan firasat) terhadap kebenaran atau kepercayaan
langsung terhadap sesuatu, (b) proses dalam mengetahui objek-objek dan peristiwaperistiwa obyektif, (c) sesuatu proses psikologis yang memproduksi bayangan
sehingga dapat mengenal obyek melalui berfikir asosiatif dengan cara inderawi
sehingga kehadiran bayangan itu dapat disadari yang disebut juga dengan wawasan.
Persepsi seseorang dipengaruhi oleh : (a) frame of reference yaitu kerangka
pengetahuan yang dimiliki yang diperoleh dari pendidikan, pengamatan, atau bacaan ;
(b) field of experience, yaitu pengalaman yang telah dialami yang tidak terlepas dari
lingkungan sekitarnya. Pembentukan persepsi sangat dipengaruhi oleh informasi atau
Universitas Sumatera Utara
rangsangan yang pertama kali diperolehnya. Pengalaman pertama yang tidak
menyenangkan pada pelayanan rumah sakit atau informasi yang tidak benar
mengenai rumah sakit akan berpengaruh terhadap pembentukan persepsi seorang
terhadap kebutuhan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Menurut Zastrow et al. (2004) persepsi merupakan suatu proses yang timbul
akibat adanya aktifitas (pelayanan yang diterima) yang dapat dirasakan oleh suatu
objek. Mengingat bahwa persepsi setiap orang terhadap suatu objek (pelayanan) akan
berbeda-beda. Oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif yang merupakan suatu
rasa puas atau tidak oleh adanya pelayanan.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas terdapat perbedaan
namun dapat disimpulkan bahwa pengertian atau pendapat satu sama lain saling
menguatkan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan persepsi adalah suatu proses yang
muncul lewat panca indera, baik indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan
pencium, kemudian terus-menerus berproses sehingga mencapai sebuah kesimpulan
yang berhubungan erat dengan informasi yang diterima dan belum sampai kepada
kenyataan yang sebenarnya, proses ini yang dimaksud dengan persepsi.
2.4. Pengetahuan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2006) kata "tahu" berarti
mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami atau diajar). Sedangkan arti dari
pemahaman adalah hal mengetahui sesuatu, segala apa yang diketahui serta
kepandaian. Dalam hal ini, dapat dikatakan efektif bila penerima pesan dapat
Universitas Sumatera Utara
memperoleh pengetahuan yang didapatnya dari pesan yang disampaikan oleh sumber
pengetahuan dan berkenaan dengan sesuatu hal (disiplin ilmu).
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan terdiri dari 6 (enam)
tingkatan, yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah kembali (recall) terhadap suatu
yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu untuk menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
Orang yang telah paham terhadap objek atau materi dan dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai aplikasi atau penggunaan buku-buku, rumus, metode, prinsip dan sebagainya
dalam konteks atau situasi yang lain.
Universitas Sumatera Utara
d. Analisa (Analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi atau objek analisa
komponen-komponen tetapi di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih
ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesa (synthesis)
Sintesa menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru atau
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi
atau objek. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo
(2003), dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, dalam dirinya orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu:
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
b. Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.
c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya.
d. Trial, dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Sikap
Thurstone dalam Azwar (2007), mendefinisikan sikap sebagai derajat afek
positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis. Sikap atau Attitude
senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu objek. LaPierre dalam Azwar (2007)
mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif,
predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana,
sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty &
Cacioppo dalam Azwar (2007), menyatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat
manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu.
Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003), sikap
sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara
tertentu berkenaan dengan objek tertentu. Sherif dalam Dayakisni & Hudaniah (2003)
menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku seseorang
dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap
merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya
suatu perbuatan atau
tingkah laku.
Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran:
a.
Kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis
Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood dalam Azwar (2007). Menurut
mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable)
Universitas Sumatera Utara
maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek
tersebut.
b.
Kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre,
Mead dan Gordon Allport dalam Azwar (2007),. Menurut kelompok pemikiran
ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek
dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan
yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan
pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.
c.
Kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik
(triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi
komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi di dalam
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku
terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif
dan konatif.
Definisi sikap adalah mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk
pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku
individu terhadap manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu,
bahkan terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap
yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi
Universitas Sumatera Utara
juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat
sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang (Azwar, 2007).
Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif, (1) sikap positif
adalah apabila timbul persepsi yang positif terhadap stimulus yang diberikan dapat
berkembang sebaik-baiknya karena orang tersebut memiliki pandangan yang positif
terhadap stimulus yang telah diberikan. (2) sikap negatif apabila terbentuk persepsi
negatif terhadap stimulus yang telah diberikan. Struktur sikap menurut Kothandapani
(dalam Azwar, 2007) dibagi menjadi 3 komponen yang saling menunjang. Ketiga
komponen tersebut pembentukan sikap, yaitu sebagai komponen kognitif
(kepercayaan), emosional (perasaan) dan komponen konatif (tindakan).
2.6. Rumah Sakit
2.6.1. Definisi Rumah Sakit
Menurut Undang-undang No. 36 tahun 2009, rumah sakit merupakan salah
satu sarana kesehatan dan tempat penyelenggaraan upaya kesehatan serta suatu
organisasi dengan sistem terbuka dan selalu berinteraksi dengan lingkungannya untuk
mencapai suatu keseimbangan yang dinamis dan mempunyai fungsi utama melayani
masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap
kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
Universitas Sumatera Utara
(kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu
dan berkesinambungan.
World Health Organization (WHO) memberikan pengertian mengenai rumah
sakit dan peranannya sebagai berikut: “The hospital is an integral part of social and
faktoral organization, the function of which is to provide for population complete
health care both curatie and preventive, and whose out patient services reach out to
the family and its home environment; the training of health workers and for biosocial research” (Adisasmito, 2009).
2.6.2. Fungsi Rumah Sakit
Fungsi rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2009 tentang rumah sakit yaitu:
a.
Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah ;
b.
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
c.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
d.
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan
dalam
rangka
peningkatan
pelayanan
kesehatan
dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2.6.3. Jenis Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan
pengelolaannya. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit
dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum
memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah sakit
khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit
tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau
kekhususan lainnya.
Berdasarkan pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit
publik dan rumah sakit privat. Rumah sakit
dapat dikelola oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang
dikelola pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan
Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan
pemerintah daerah tidak dapat dialihkan menjadi rumah sakit privat. Rumah sakit
privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan
Terbatas atau Persero.
Rumah sakit dapat ditetapkan menjadi rumah sakit pendidikan setelah
memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan. Rumah sakit pendidikan
ditetapkan oleh menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang membidangi
urusan pendidikan. Rumah sakit pendidikan
merupakan rumah sakit yang
Universitas Sumatera Utara
menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang
pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan
tenaga kesehatan lainnya. Dalam penyelenggaraan rumah sakit pendidikan dapat
dibentuk jejaring rumah sakit pendidikan.
2.6.4. Klasifikasi Rumah Sakit Umum
Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, rumah sakit umum
berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan dapat diklasifikasikan menjadi:
A. Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah sakit umum kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima)
Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain dan
Pelayanan Medik Sub Spesialis yang tidak terbatas. Kriteria, fasilitas dan kemampuan
Rumah Sakit Umum Kelas A meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat
Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik,
Pelayanan Medik Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan
Medik Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang
Klinik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 400
(empat ratus) buah.
B. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah sakit umum kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar,
Universitas Sumatera Utara
4 (empat) PelayananSpesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik
Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Subspesialis Dasar. Kriteria, fasilitas
dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas B meliputi Pelayanan Medik Umum,
Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis
Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi
Mulut, Pelayanan Medik Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan,
Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat
tidur minimal 200 (dua ratus) buah.
C. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4
(empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik. Kriteria, fasilitas dan kemampuan
Rumah Sakit Umum Kelas C meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat
Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik,
Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan,
Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat
tidur minimal 100 (seratus) buah.
D. Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar. Kriteria,
fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas D meliputi Pelayanan Medik
Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan
Universitas Sumatera Utara
Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang
Non Klinik.
2.6.5. Organisasi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, setiap rumah sakit harus memiliki organisasi yang efektif,
efisien, dan akuntabel. Organisasi rumah sakit paling sedikit terdiri atas kepala rumah
sakit atau Direktur rumah sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur
penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi
umum dan keuangan. Kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang
mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan. Tenaga struktural
yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan Indonesia.
Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala Rumah Sakit.
2.6.6. Ketenagaan di Rumah Sakit
Pada saat ini, rumah sakit berkembang sebagai sebuah industri padat karya,
padat modal dan padat teknologi. Disebut demikian karena rumah sakit
memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) dalam jumlah yang besar dan beragam
kualifikasi. Rumah Sakit Umum Sidikalang adalah rumah sakit tipe C, berdasarkan
peraturan menteri kesehatan republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010
tentang klasifikasi rumah sakit maka ketenagaan pada rumah sakit tipe C disesuaikan
dengan jenis dan tingkat pelayanan.
Pada Pelayanan Medik Dasar minimal harus ada 9 (sembilan) orang dokter
umum dan 2 (dua) orang dokter gigi sebagai tenaga tetap. Pada Pelayanan Medik
Universitas Sumatera Utara
Spesialis Dasar harus ada masing-masing minimal 2 (dua) orang dokter spesialis
setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada
pelayanan yang berbeda. Pada setiap Pelayanan Spesialis Penunjang Medik masingmasing minimal 1 (satu) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang
dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda. Perbandingan
tenaga keperawatan dan tempat tidur adalah 2:3 dengan kualifikasi tenaga
keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah Sakit.Tenaga penunjang berdasarkan
kebutuhan Rumah Sakit. (Kemenkes RI, 2010).
2.6.7. Jenis Pelayanan di Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan sub sistem dari pelayanan kesehatan dan juga
merupakan suatu industri jasa yang berfungsi untuk memenuhi salah satu kebutuhan
primer manusia, baik sebagai individu, masyarakat atau bangsa secara keseluruhan
untuk meningkatkan hajat hidup yang utama yaitu kesehatan. Pelayanan jasa tersebut
dapat berupa usaha-usaha promotif, kuratif dan rehabilitatif.
Pelayanan jasa rumah sakit dikelompokkan atas:
1. Pelayanan Medik
Pelayanan medik memberikan pelayanan kepada pasien sesuai dengan ilmu
pengetahuan kedokteran mutakhir, kemampuan fasilitasi rumah sakit. Dapat
dilaksanakan di unit rawat jalan, unit gawat darurat, unit rawat inap, kamar bedah
dan kamar bersalin sehingga diperlukan kebijakan, prosedur kerja dan uraian
tugas di tiap-tiap unit tersebut. Pelayanan faktor di sebuah rumah sakit tergantung
Universitas Sumatera Utara
dari jenis rumah sakit (umum dan khusus), kelas rumah sakit dan jenis peralatan
faktor serta ahli yang tersedia.
2. Pelayanan Penunjang Medik
Pelayanan penunjang medik merupakan tugas pokok (jasa profesional) dari
kegiatan rumah sakit tetapi lebih bersifat structural sehingga pengontrolan oleh
pihak manajemen oleh pihak rumah sakit lebih mudah karena ada prosedurprosedur khusus yang terdiri dari pelayanan radiologi, pelayanan laboratorium,
pelayanan anestesi, pelayanan gizi, pelayanan farmasi, dan pelayanan rehabilitasi
faktor. Jenis pelayanan yang bisa diberikan kepada pasien dari tiap-tiap rumah
sakit tergantung dari kelas rumah sakit, jenis perawatan yang tersedia dan jenis
tenaga yang ada.
3. Pelayanan Penunjang
Pelayanan penunjang merupakan pemberian dukungan untuk melaksanakan jasa
professional, terdiri dari administrasi yaitu administrasi umum yang mengelola
informasi yang cepat, teliti dalam bidang ketatausahaan, keuangan, kepegawaian
sesuai dengan pelayanan yang ada dan administrasi pasien yaitu mengelola
informasi yang cepat, tepat, teliti dalam bidang asuhan pasien sesuai dengan
pelayanan yang ada.
2.7. BOR (Bed Occupancy Rate) atau Pemanfaatan Tempat Tidur
Bed Occupancy Rate merupakan angka yang menunjukkan tingkat
pemanfaatan tempat tidur pada suatu rumah sakit. Perubahan jumlah tempat tidur
Universitas Sumatera Utara
rumah sakit dapat bertambah menjadi besar atau lebih kecil. Hal ini sesuai dengan
tuntutan perubahan yang harus dijalankan oleh manajemen rumah sakit. Bila
peningkatan demand masyarakat akan pelayanan rumah sakit meningkat, akan
berefek terhadap peningkatan beban kerja personel yang selanjutnya berefek terhadap
penambahan kebutuhan tenaga (Ilyas, 2011).
Mengukur tingkat pemanfaatan rumah sakit, umumnya digunakan ukuran
jumlah tempat tidur (bed) yang terisi oleh pasien rawat inap, dibandingkan dengan
jumlah tempat tidur yang tersedia. Suatu rumah sakit dikatakan baik pemanfaatannya
apabila BOR-nya mencapai ideal. Beberapa pendekatan bisa digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi angka BOR suatu rumah sakit.
Pendekatan-pendekatan itu adalah analisis utilitas, analisis pasar (pemasaran) dan
analisis pendekatan sistem. Melihat permasalahan di rumah sakit baik pada tingkat
bagian atau secara keseluruhan maka akan lebih mudah dan representatif melalui
analisis sistem (Supranto, 2000).
2.7.1. Penghitungan BOR
Standar efisiensi BOR adalah 75 – 85 %, apabila BOR > 85 % berarti tempat
tidur yang terpakai di rumah sakit tersebut terlalu penuh. Adapun rumus
penghitungan BOR yaitu:
Jumlah Hari Rawatan
BOR
=
x 100%
Jumlah Tempat Tidur x 365 Hari
Dari rumus di atas, dapat dinyatakan bahwa BOR adalah angka penggunaan
tempat tidur rumah sakit yang dihuni penderita, yang dapat diketahui dengan cara
Universitas Sumatera Utara
menghitung rata-rata tempat tidur yang ditempati penderita per hari dibagi kapasitas
tempat tidur siap pakai dikali seratus persen.
2.8. Landasan Teori
Mengacu
kepada
konsep
pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
yang
dikemukakan oleh Dever (1984) dalam Donabedian (2005), maka landasan teori yang
digunakan seperti pada Gambar 2.1.
Sociocultural factors
1. Teknologi
2. Norma dan Nilai Keyakinan
Organizational factors
1. Ketersediaan Sumber Daya
2. Akses Geografis
3. Akses Sosial
4. Karakteristik dari Struktur Perawatan
dan Proses
Consumers factors
1. Tingkat kesakitan dan kebutuhan
yang dirasakan (Perceived need)
a. Faktor sosiodemografis
b. Faktor sosial psikologis
2. Diagnosa klinis (Evaluated need)
Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan
Provider factors
1. Sikap petugas
2. Keahlian petugas
3. Fasilitas yang dimiliki
Gambar 2.1. Landasan Teori
Sumber : Dever (1984) dalam Donabedian (2005)
Universitas Sumatera Utara
Beberapa indikator yang diabaikan dalam penelitian ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Sociocultural factors; norma dan nilai keyakinan sulit diukur dan sukar mencapai
kesepakatan tentang pengertian dari variabel tersebut. Responden yang dijadikan
sampel berasal dari masyarakat yang homogen jadi tidak terdapat nilai-nilai
tertentu yang dianggap berpengaruh terhadap pemanfaatan RSUD Sidikalang.
2. Organizational factors; karakteristik dari struktur perawatan dan proses hal ini
dapat diukur dari ketersediaan SDM rumah sakit.
3. Faktor konsumen; tingkat kesakitan dan kebutuhan yang dirasakan (Perceived
need) diukur melalui persepsi tentang penyakit dan persepsi tentang pelayanan.
4. Faktor sosiodemografis dan sosial psikologis dapat diakomodir variabel
Organizational factors, yaitu; (a) akses geografis dan (b) akses sosial.
Universitas Sumatera Utara
2.9. Kerangka Konsep
Pemanfaatan RSUD Sidikalang yang belum optimal oleh pasien rawat inap
menuntut untuk dilakukannya penelitian ini. Sebagai kerangka konsep mengacu
kepada teori Dever (1984) dalam Donabedian (2005) dengan kerangka konsep
sebagai berikut:
Variabel Independen
Variabel Dependen
Faktor Organisasional
a.Ketersediaan Sumber Daya Manusia
b.Akses Geografis
c.Akses Sosial
Faktor Konsumen
Pemanfaatan Ulang
RSUD Sidikalang
a. Pengetahuan tentang pelayanan
c. Persepsi tentang penyakit
d. Persepsi tentang pelayanan
e. Diagnosa klinis
Faktor Penyedia Jasa Pelayanan
Kesehatan
a. Sikap petugas Kesehatan
(a) Dokter
(b) Perawat
b. Ketersediaan obat
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Dever (1984) dalam Donabedian (2005), pemanfaatan pelayanan
kesehatan adalah interaksi antara konsumen dengan provider (penyedia pelayanan).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan erat hubungannya dengan kapan seseorang
memerlukan pelayanan kesehatan dan seberapa jauh efektifitas pelayanan tersebut.
Menurut Dever (1984) dalam Donabedian (2005), ada beberapa faktor yang dapat
memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu:
1. Faktor Sosiokultural
a. Teknologi
Kemajuan teknologi dapat memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan,
dimana kemajuan dibidang teknologi disatu sisi dapat meningkatkan pemanfaatan
pelayanan kesehatan seperti transplantasi organ, penemuan organ-organ artifisial,
serta kemajuan dibidang radiologi, sedangkan disisi lain kemajuan teknologi dapat
menurunkan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sebagai contoh dengan ditemukannya
berbagai vaksin untuk pencegahan penyakit menular akan mengurangi pemanfaatan
pelayanan kesehatan.
b. Norma dan Nilai yang Ada di Masyarakat
Norma, nilai sosial dan keyakinan yang ada dimasyarakat akan memengaruhi
seseorang dalam bertindak, termasuk dalam memilih dan memanfaatkan pelayanan
kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor Organisasional
a. Ketersediaan Sumber Daya
Suatu sumber daya tersedia apabila sumber daya itu ada atau bisa didapat,
tanpa mempertimbangkan sulit ataupun mudahnya penggunaannya. Suatu pelayanan
hanya bisa digunakan apabila jasa tersebut tersedia.
b. Akses Geografis
Akses geografis dimaksudkan pada faktor-faktor yang berhubungan dengan
tempat yang memfasilitasinya atau menghambat pemanfaatan, ini ada hubungan
antara lokasi suplai dan lokasi klien, yang dapat diukur dengan jarak waktu tempuh,
atau biaya tempuh. Hubungan antara akses geografis dan volume dari pelayanan
tergantung dari jenis pelayanan dan jenis sumber daya yang ada. Peningkatan akses
yang dipengaruhi oleh berkurangnya jarak, waktu tempuh ataupun biaya tempuh
mungkin mengakibatkan peningkatan pelayanan yng berhubungan dengan keluhankeluhan ringan. Dengan kata lain, pemakaian pelayanan preventif lebih banyak
dihubungkan dengan akses geografis daripada pemakaian pelayanan kuratif
sebagaimana pemanfaatan pelayanan umum bila dibandingkan dengan pelayanan
spesialis. Semakin hebat suatu penyakit atau keluhan, dan semakin canggih atau
semakin khusus sumber daya dari pelayanan, semakin berkurang pentingnya atau
berkurang kuatnya hubungan antara akses geografis dan volume pemanfaatan
pelayanan.
Universitas Sumatera Utara
c. Akses Sosial
Akses sosial terdiri dari dua dimensi, yaitu dapat diterima dan terjangkau.
Dapat diterima mengarah kepada faktor psikologis, sosial, dan faktor budaya,
sedangkan
terjangkau
memperhitungkan
mengarah
kepada
faktor
ekonomi.
Konsumen
dan karakteristik yang ada pada provider seperti etnis, jenis
kelamin, umur, ras, dan hubungan keagamaan.
d. Karakteristik dari Struktur Perawatan dan Proses
Praktek pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, praktek dokter tunggal,
praktek dokter bersama, grup praktek dokter spesialis atau yang lainnya membuat
pola pemanfaatan yang berbeda.
3. Faktor yang Berhubungan dengan Konsumen
Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah interaksi antara konsumen dengan
provider (penyedia pelayanan). Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan
oleh konsumen berhubungan langsung dengan penggunaan atau permintaan terhadap
pelayanan kesehatan.
Kebutuhan, terdiri atas kebutuhan yang dirasakan (perceived need) dan
diagnosa klinis (evaluated need). Kebutuhan yang dirasakan (perceived need) ini
dipengaruhi oleh:
a. Faktor sosiodemografis yang terdiri dari umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa,
status perkawinan, jumlah keluarga, dan status sosial ekonomi (pendidikan,
pekerjaan, pengasilan).
Universitas Sumatera Utara
b. Faktor sosial psikologis terdiri dari persepsi, sikap dan kepercayaan terhadap
pelayanan kesehatan.
4. Faktor yang Berhubungan dengan Produsen
Faktor yang berhubungan dengan produsen, yaitu faktor ekonomi konsumen
tidak sepenuhnya memiliki referensi yang cukup akan pelayanan yang diterima,
sehingga mereka menyerahkan hal ini sepenuhnya ketangan provider. Karakteristik
provider, yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, serta fasilitas yang dimiliki
oleh pelayanan yang bersangkutan.
2.2. Determinan yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Konsumen akan memutuskan menggunakan atau memanfaatkan sarana
pelayanan kesehatan berdasarkan perilaku dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
2.2.1. Model Pemanfaatan Sarana Kesehatan
Model pemanfaatan sarana kesehatan oleh masyarakat atau konsumen
menurut Anderson (1974) dalam Notoatmodjo (2003) Pada prinsipnya ada dua
kategori pelayanan kesehatan: (1) kategori yang berorientasi kepada publik
(masyarakat) dan (2) kategori yang berorientasi pada perorangan (pribadi). Pelayanan
kesehatan yang termasuk dalam kategori publik terdiri dari sanitasi, imunisasi,
kebersihan air, dan perlindungan kualitas udara. Pelayanan kesehatan masyarakat
lebih diarahkan langsung kearah publik dari pada kearah individu-individu yang
khusus. Di lain pihak pelayanan kesehatan pribadi adalah langsung kearah individu.
Universitas Sumatera Utara
Pelayanan kesehatan ditujukan langsung kepada pemakai pribadi (individual
costumer). Studi tentang penggunaan pelayanan kesehatan dikaitkan dengan
penggunaan pelayanan kesehatan pribadi. Karena itu, kita akan mengatasi bahasan
kita mengenai penggukuran pelayanan kesehatan ke kategori pelayanan kesehatan
pribadi.
Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) membuat suatu kerangka
kerja teoritis untuk pengukuran pemanfaatan pelayanan kesehatan pribadi. Suatu hal
yang sangat penting dari artikel mereka adalah diterimanya secara luas definisi dari
dimensi-dimensi penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan. Anderson dan
Newman dalam Notoatmodjo (2003) menyamakan 3 dimensi dari kepentingan utama
dalam pengukuran dan penentuan pelayanan kesehatan, yaitu tipe, tujuan atau
maksud, dan unit analisis.
a. Tipe Pelayanan Kesehatan
Tipe pelayanan kesehatan digunakan untuk memisahkan berbagai pelayanan
kesehatan antara satu dengan yang lainnya. Anderson dan Newman dalam
Notoatmodjo (2003) menunjukkan bahwa ada perbedaan jangka waktu (panjang dan
pendek) untuk masing-masing tipe pelayanan kesehatan (seperti pelayanan rumah
sakit, pelayanan dokter, perawatan di rumah dan lain-lain).
Faktor-faktor penentu (determinan) pada individu bervariasi dalam hal tipe
penggunaan pelayanan kesehatan. Karena perbedaan faktor penentu tersebut maka
komponen utama dalam pengaturan pelayanan kesehatan harus memehartikan tipe
pelayanan kesehatan yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
b.Tujuan Pelayanan Kesehatan
Tingkatan pelayanan kesehatan berdasarkan perawatan yang dilakukan
dibedakan menjadi: pelayanan tingkat I (primary), pelayanan tingkat II (secondary),
pelayanan tingkat III (tertiary), pelayanan tingkat dan IV (custodial). Perawatan I
dikaitkan dengan perawatan pencegahan (preventive care). Perawatan II dikaitkan
dengan perawatan perbaikan (pengembalian individu ke tingkat semula dari
fungsionalnya). Perawatan III dikaitkan dengan stabilitas dari kondisi yang
memehartikan penyakit jangka panjang. Perawatan IV dikaitkan semata-mata dengan
kebutuhan pribadi dari pasien dan tidak dihubungkan dengan perawatan penyakit.
c. Unit Analisis Pelayanan Kesehatan
Unit analisis pelayanan kesehatan merupakan dimensi ketiga (3) dalam
kerangka kerja Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) yang mendukung
3 perbedaan diantara unit-unit analisis, yaitu: kontak dengan pelayanan, volume
pelayanan, frekuensi penyakit. Alasan utama bagi perbedaan ini adalah bahwa ciriciri khas individu mungkin terkait dengan sejumlah penyakit yang diderita setiap
individu, sedangkan ciri-ciri khas dari sistem pelayanan (khususnya pada dokter)
mungkin menjadi tanggung jawab utama bagi sejumlah akibat dari kontak kunjungan
sebagai akibat dari setiap frekuensi penyakit. Karena jumlah kontak, frekuensi dan
volume pelayanan yang digunakan ditentukan oleh faktor-faktor yang berbeda, maka
pengukuran penggunaan pelayanan kesehatan akan membuat suatu perbedaan di
antara unit-unit pelayanan kesehatan yang berbeda, sebagai contoh kita ingin
mengukur pelayanan rumah sakit per 100 orang dalam 1 tahun, jumlah kunjungan
Universitas Sumatera Utara
dokter dalam tahun tertentu atau presentasi orang yang mengunjungi seorang dokter
dalam 1 tahun.
Ketiga indikator ini telah dipakai di Amerika dalam menguji kecenderungan
penggunaan pelayanan kesehatan. Untuk itu perlu menaruh perhatian pada pengertian
sifat umum pengaturan pelayanan kesehatan sebagaimana yang dicerminkan dalam
konsep Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003).
2.2.2. Tipe Umum dari Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Sejumlah riset telah dilakukan ke dalam faktor-faktor penentu (determinan)
pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kebanyakan dari riset inilah model-model adanya
penggunaan pelayanan kesehatan dikembangkan dan dilengkapi.
1. Tujuan Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa model
pemanfaatan pelayanan kesehatan ini dapat membantu atau memenuhi satu atau lebih
dari 5 tujuan sebagai berikut :
a. Untuk melukiskan hubungan kedua belah pihak antara faktor penentu dari
pemanfaatan pelayanan kesehatan.
b. Untuk meringankan peramalan kebutuhan masa depan pelayanan kesehatan.
c. Untuk menentukan ada atau tidak adanya pelayanan dari pemakaian pelayanan
kesehatan yang berat sebelah.
d. Untuk menyarankan cara-cara memanipulasi kebijaksanaan yang berhubungan
dengan
variabel-variabel
agar
memberikan
perubahan-perubahan
yang
diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
e. Untuk menilai pengaruh pembentukan program atau proyek-proyek pemeliharaan
atau perawatan kesehatan yang baru.
2. Kategori Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003), kategori dari
model-model pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah kependudukan, struktur
sosial, psikologi sosial, sumber keluarga, sumber daya masyarakat, organisasi, dan
model-model sistem kesehatan.
a. Model demografi (Kependudukan)
Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan model
demografi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan terkait dengan variabel-variabel :
umur, seks, status perkawinan, dan besarnya keluarga. Variabel-variabel yang
digunakan sebagai ukuran mutlak atau indikator fisiologis yang berbeda (umur, seks)
dan siklus hidup (status perkawinan, besarnya keluarga) dengan asumsi bahwa
perbedaan derajat kesehatan, derajat kesakitan, dan penggunaan pelayanan kesehatan
sedikit banyak akan berhubungan dengan variabel diatas. Karakteristik demografi
juga mencerminkan atau berhubungan dengan karateristik sosial (perbedaan sosial
dari jenis kelamin memengaruhi berbagai tipe dan ciri-ciri sosial).
b. Model-model struktur sosial (social structur models)
Pemanfaatan pelayanan kesehatan berdasarkan model-model struktur sosial
menurut Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) melalui variabel :
pendidikan, pekerjaan, dan kebangsaan. Variabel-variabel ini mencerminkan keadaan
sosial dari individu atau keluarga di dalam masyarakat. Pemanfaatan pelayanan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan adalah salah satu aspek dari gaya hidup ini, yang ditentukan oleh
lingkungan sosial, fisik, dan psikologis. Masalah utama dari model struktur sosial dari
pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah bahwa kita tidak mengetahui mengapa
variabel ini menyebabkan penggunaan pelayanan kesehatan.
c.
Model-model sosial psikologis (psychological models)
Dalam model ini, Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003)
menyatakan variabel yang dipakai adalah ukuran dari sikap dan keyakinan individu.
Variabel-variabel sosio-psikologis pada umumnya terdiri dari 4 kategori:
(1) Pengertian kerentanan terhadap penyakit
(2) Pengertian keseluruhan dari penyakit
(3) Keuntungan yang diharapkan dari pengambilan tindakan, dalam menghadapi
penyakit
(4) Kesiapan tindakan individu
Masalah utama dengan model ini adalah menganggap suatu mata rantai
penyebab langsung antara sikap dan prilaku yang belum dapat dijelaskan.
d. Model sumber keluarga (family resource models)
Dalam model ini variabel yang dipakai adalah pendapat keluarga, cakupan
asuransi keluarga atau sebagai anggota suatu asuransi kesehatan dan pihak yang
membiayai pelayanan kesehatan keluarga dan sebagainya. Karakteristik ini untuk
menggukur kesanggupan dari individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan
kesehatan mereka (Notoatmodjo, 2003).
Universitas Sumatera Utara
e. Model sumber daya masyarakat (community resource models)
Pada model ini tipe model yang digunakan adalah penyediaan pelayanan
kesehatan dan sumber-sumber di dalam masyarakat, dan ketercapaian dari pelayanan
kesehatan yang tersedia dan sumber-sumber di dalam masyarakat. Model sumber
daya masyarakat selanjutnya adalah suplai ekonomis yang berfokus pada ketersediaan
sumber-sumber kesehatan pada masyarakat setempat (Notoatmodjo, 2003).
f. Model-model organisasi (organization models)
Dalam model ini variabel yang dipakai adalah pencerminan perbedaan
bentuk-bentuk sistem pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Biasanya variabel
yang digunakan adalah:
1) Gaya (style) praktik pengobatan (sendiri, rekanan, atau grup)
2) Sifat (nature) dari pelayanan tersebut (membayar langsung atau tidak)
3) Letak dari pelayanan (tempat pribadi, rumah sakit, atau klinik)
4) Petugas kesehatan yang pertama kali kontak dengan pasien (dokter, perawat
asisten dokter).
g. Model sistem kesehatan
Keenam kategori model pemanfaatan fasilitas kesehatan tersebut tidak begitu
terpisah, meskipun ada perbedaan dalam sifat (nature). Model sistem kesehatan
mengintegrasikan keenam model terdahulu ke dalam model yang lebih sempurna.
Untuk itu maka demografi, ciri-ciri struktur sosial, sikap, dan keyakinan individu atau
keluarga, sumber-sumber di dalam masyarakat dan organisasi pelayanan kesehatan
yang ada, digunakan bersama dengan faktor-faktor yang berhubungan seperti
Universitas Sumatera Utara
kebijaksanaan dan struktur ekonomi pada masyarakat yang lebih luas (negara).
Dengan demikian apabila dilakukan analisis terhadap penyediaan dan penggunaan
pelayanan kesehatan oleh masyarakat maka harus diperhitungkan juga faktor-faktor
yang terlibat didalamnya (Notoatmodjo, 2003).
h. Model kepercayaan kesehatan (the health belief models)
Model
kepercayaan
adalah
suatu
bentuk
penjabaran
dari
model
sosiopsikologis seperti disebutkan di atas. Munculnya model ini didasarkan pada
kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan
orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan
penyakit yang diselenggarakan oleh provider (Notoatmodjo, 2003). Kegagalan ini
akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit
(preventive health behavior), yang dikembangkan dari teori lapangan oleh Lewin
dalam Notoatmodjo (2003) menjadi model kepercayaan kesehatan (health belief
model).
Teori Lewin menganut konsep bahwa individu hidup pada lingkup kehidupan
sosial (masyarakat). Dalam kehidupan ini individu akan bernilai, baik positif maupun
negatif di suatu daerah atau wilayah tertentu. Apabila keadaan individu dalam
keadaan sehat maka individu tersebut dianalogikan dalam kondisi positif atau berada
pada daerah positif, artinya individu tersebut bebas dari suatu penyakit atau rasa sakit
yang dianalogikan sebagai daerah negatif (Notoatmodjo, 2003).
Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada
empat variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang
Universitas Sumatera Utara
dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang di alami dalam tindakannya
melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut (Notoatmodjo,
2003).
1) Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)
Agar seorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus
merasakan bahwa ia rentan (susceptibility) terhadap penyakit tersebut. Dengan
kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila
seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarga rentan terhadap penyakit
tersebut (Notoatmodjo, 2003).
2) Keseriusan yang dirasakan (Perceived serioussness)
Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan terhadap suatu
penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu
atau masyarakat. Penyakit demam berdarah, misalnya, akan dirasakan lebih
serius dibandingkan dengan demam biasa. Oleh karena itu, tindakan pencegahan
demam berdarah akan lebih banyak dilakukan bila dibandingkan dengan
pencegahan (pengobatan) demam biasa (Notoatmodjo, 2003).
3) Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (Perceived benefit and barriers)
Apabila individu merasa dirinya rentan untuk pentakit-penyakit yang dianggap
gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini
tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan
dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan lebih
Universitas Sumatera Utara
menentukan dari pada rintangan-rintangan yang mungkin ditemukan di dalam
melakukan tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).
4) Isyarat atau tanda-tanda (cues)
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerantanan,
kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang
berupa faktor-faktor eksternal seperti : pesan-pesan dari media massa, nasihat
atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga (Notoatmodjo, 2003).
i. Model sistem kesehatan (health system model)
2.2.3. Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Ulang
Perilaku pembeli atau pengguna dapat dijadikan kiat dasar untuk
menghubungkan kualitas pelayanan dan minat. Perilaku konsumen untuk
menggunakan pelayanan yang sama apabila mereka merasa terpenuhi keinginannya
dengan pelayanan yang mereka terima. Pembeli atau pengguna yang merasa
terpenuhi keinginannya akan kualitas jasa yang mereka terima akan membeli atau
mengguna ulang produk atau jasa itu kembali. Minat perilaku konsumen untuk
membeli atau menggunakan jasa dari pemberi jasa yang sama sangat dipengaruhi
oleh pengalaman terhadap pelayanan yang diberikan sebelumnya.
Pengguna yang sudah terbiasa akan suatu produk atau jasa yang khusus
tidaklah selalu sama, dikarenakan faktor pemilihan alternatif yang unik. Faktor lain
lagi yang berhubungan dalam hal suka atau tidak suka, menolak tetapi sebenarnya
menyukai dan beberapa fanatik yang tidak pernah mempertimbangkan pilihan lain.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kotler (2000), beberapa faktor yang memengaruhi pemanfaatan barang atau
jasa, yaitu ;
1. Faktor pertama adalah marketing stimuli, faktor ini terdiri dari product, price, place
dan promotion.
2. Faktor kedua adalah stimuli lain yang terdiri dari technological, political dan
cultural.
2.3. Persepsi
Persepsi adalah suatu proses seorang individu memilih, mengorganisasi, dan
menafsirkan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang bermakna. Persepsi
seorang dapat berbeda satu sama lainnya, meskipun dihadapkan pada suatu situasi
dan kondisi yang sama. Hal ini dipandang dari suatu gagasan bahwa seseorang
menerima suatu objek rangsangan melalui penginderaan, penglihatan, pendengaran,
pembauan, dan perasaan (Robbins, 2006).
Robbins (2006) menyatakan terdapat tiga faktor yang memengaruhi persepsi,
yakni pelaku persepsi, target yang dipersepsikan dan situasi. Ketika individu
memandang kepada objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya,
penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi
itu. Karakteristik pribadi yang memengaruhi persepsi adalah sikap, kepribadian,
motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan harapan.
Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi terdiri atas dua faktor, yaitu faktor
eksternal atau dari luar yakni concreteness, yaitu gagasan yang abstrak yang sulit
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan dengan yang objektif, novelty atau hal baru, biasanya lebih menarik
untuk dipersepsikan daripada hal-hal lama, velocity atau percepatan, misalnya
pemikiran atau gerakan yang lebih cepat dalam menstimulasi munculnya persepsi
lebih efektif dibanding yang lambat, conditioned stimuli yakni stimulus yang
dikondisikan, sedangkan faktor internal adalah motivasi, yaitu dorongan untuk
merespon sesuatu interest dimana hal-hal yang menarik lebih diperhatikan daripada
yang tidak menarik, need adalah kebutuhan akan hal-hal tertentu dan terakhir
asumptions yakni persepsi seseorang dipengaruhi dari pengalaman melihat,
merasakan dan lain-lain.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006), persepsi diartikan sebagai:
(a) tangapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan (b) proses seseorang mengetahui
beberapa hal melalui panca inderanya. Menurut Komarudin (2006), secara
etimologis, persepsi berasal dari bahasa Latin percipere yang mempuyai pengertian:
(a) kesadaran intuitif (berdasarkan firasat) terhadap kebenaran atau kepercayaan
langsung terhadap sesuatu, (b) proses dalam mengetahui objek-objek dan peristiwaperistiwa obyektif, (c) sesuatu proses psikologis yang memproduksi bayangan
sehingga dapat mengenal obyek melalui berfikir asosiatif dengan cara inderawi
sehingga kehadiran bayangan itu dapat disadari yang disebut juga dengan wawasan.
Persepsi seseorang dipengaruhi oleh : (a) frame of reference yaitu kerangka
pengetahuan yang dimiliki yang diperoleh dari pendidikan, pengamatan, atau bacaan ;
(b) field of experience, yaitu pengalaman yang telah dialami yang tidak terlepas dari
lingkungan sekitarnya. Pembentukan persepsi sangat dipengaruhi oleh informasi atau
Universitas Sumatera Utara
rangsangan yang pertama kali diperolehnya. Pengalaman pertama yang tidak
menyenangkan pada pelayanan rumah sakit atau informasi yang tidak benar
mengenai rumah sakit akan berpengaruh terhadap pembentukan persepsi seorang
terhadap kebutuhan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Menurut Zastrow et al. (2004) persepsi merupakan suatu proses yang timbul
akibat adanya aktifitas (pelayanan yang diterima) yang dapat dirasakan oleh suatu
objek. Mengingat bahwa persepsi setiap orang terhadap suatu objek (pelayanan) akan
berbeda-beda. Oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif yang merupakan suatu
rasa puas atau tidak oleh adanya pelayanan.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas terdapat perbedaan
namun dapat disimpulkan bahwa pengertian atau pendapat satu sama lain saling
menguatkan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan persepsi adalah suatu proses yang
muncul lewat panca indera, baik indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan
pencium, kemudian terus-menerus berproses sehingga mencapai sebuah kesimpulan
yang berhubungan erat dengan informasi yang diterima dan belum sampai kepada
kenyataan yang sebenarnya, proses ini yang dimaksud dengan persepsi.
2.4. Pengetahuan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2006) kata "tahu" berarti
mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami atau diajar). Sedangkan arti dari
pemahaman adalah hal mengetahui sesuatu, segala apa yang diketahui serta
kepandaian. Dalam hal ini, dapat dikatakan efektif bila penerima pesan dapat
Universitas Sumatera Utara
memperoleh pengetahuan yang didapatnya dari pesan yang disampaikan oleh sumber
pengetahuan dan berkenaan dengan sesuatu hal (disiplin ilmu).
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan terdiri dari 6 (enam)
tingkatan, yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah kembali (recall) terhadap suatu
yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu untuk menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
Orang yang telah paham terhadap objek atau materi dan dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai aplikasi atau penggunaan buku-buku, rumus, metode, prinsip dan sebagainya
dalam konteks atau situasi yang lain.
Universitas Sumatera Utara
d. Analisa (Analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi atau objek analisa
komponen-komponen tetapi di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih
ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesa (synthesis)
Sintesa menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru atau
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi
atau objek. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo
(2003), dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, dalam dirinya orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu:
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
b. Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.
c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya.
d. Trial, dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Sikap
Thurstone dalam Azwar (2007), mendefinisikan sikap sebagai derajat afek
positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis. Sikap atau Attitude
senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu objek. LaPierre dalam Azwar (2007)
mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif,
predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana,
sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty &
Cacioppo dalam Azwar (2007), menyatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat
manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu.
Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003), sikap
sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara
tertentu berkenaan dengan objek tertentu. Sherif dalam Dayakisni & Hudaniah (2003)
menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku seseorang
dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap
merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya
suatu perbuatan atau
tingkah laku.
Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran:
a.
Kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis
Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood dalam Azwar (2007). Menurut
mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable)
Universitas Sumatera Utara
maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek
tersebut.
b.
Kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre,
Mead dan Gordon Allport dalam Azwar (2007),. Menurut kelompok pemikiran
ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek
dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan
yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan
pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.
c.
Kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik
(triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi
komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi di dalam
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku
terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif
dan konatif.
Definisi sikap adalah mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk
pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku
individu terhadap manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu,
bahkan terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap
yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi
Universitas Sumatera Utara
juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat
sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang (Azwar, 2007).
Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif, (1) sikap positif
adalah apabila timbul persepsi yang positif terhadap stimulus yang diberikan dapat
berkembang sebaik-baiknya karena orang tersebut memiliki pandangan yang positif
terhadap stimulus yang telah diberikan. (2) sikap negatif apabila terbentuk persepsi
negatif terhadap stimulus yang telah diberikan. Struktur sikap menurut Kothandapani
(dalam Azwar, 2007) dibagi menjadi 3 komponen yang saling menunjang. Ketiga
komponen tersebut pembentukan sikap, yaitu sebagai komponen kognitif
(kepercayaan), emosional (perasaan) dan komponen konatif (tindakan).
2.6. Rumah Sakit
2.6.1. Definisi Rumah Sakit
Menurut Undang-undang No. 36 tahun 2009, rumah sakit merupakan salah
satu sarana kesehatan dan tempat penyelenggaraan upaya kesehatan serta suatu
organisasi dengan sistem terbuka dan selalu berinteraksi dengan lingkungannya untuk
mencapai suatu keseimbangan yang dinamis dan mempunyai fungsi utama melayani
masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap
kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
Universitas Sumatera Utara
(kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu
dan berkesinambungan.
World Health Organization (WHO) memberikan pengertian mengenai rumah
sakit dan peranannya sebagai berikut: “The hospital is an integral part of social and
faktoral organization, the function of which is to provide for population complete
health care both curatie and preventive, and whose out patient services reach out to
the family and its home environment; the training of health workers and for biosocial research” (Adisasmito, 2009).
2.6.2. Fungsi Rumah Sakit
Fungsi rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2009 tentang rumah sakit yaitu:
a.
Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah ;
b.
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
c.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
d.
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan
dalam
rangka
peningkatan
pelayanan
kesehatan
dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2.6.3. Jenis Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan
pengelolaannya. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit
dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum
memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah sakit
khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit
tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau
kekhususan lainnya.
Berdasarkan pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit
publik dan rumah sakit privat. Rumah sakit
dapat dikelola oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang
dikelola pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan
Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan
pemerintah daerah tidak dapat dialihkan menjadi rumah sakit privat. Rumah sakit
privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan
Terbatas atau Persero.
Rumah sakit dapat ditetapkan menjadi rumah sakit pendidikan setelah
memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan. Rumah sakit pendidikan
ditetapkan oleh menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang membidangi
urusan pendidikan. Rumah sakit pendidikan
merupakan rumah sakit yang
Universitas Sumatera Utara
menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang
pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan
tenaga kesehatan lainnya. Dalam penyelenggaraan rumah sakit pendidikan dapat
dibentuk jejaring rumah sakit pendidikan.
2.6.4. Klasifikasi Rumah Sakit Umum
Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, rumah sakit umum
berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan dapat diklasifikasikan menjadi:
A. Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah sakit umum kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima)
Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain dan
Pelayanan Medik Sub Spesialis yang tidak terbatas. Kriteria, fasilitas dan kemampuan
Rumah Sakit Umum Kelas A meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat
Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik,
Pelayanan Medik Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan
Medik Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang
Klinik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 400
(empat ratus) buah.
B. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah sakit umum kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar,
Universitas Sumatera Utara
4 (empat) PelayananSpesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik
Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Subspesialis Dasar. Kriteria, fasilitas
dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas B meliputi Pelayanan Medik Umum,
Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis
Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi
Mulut, Pelayanan Medik Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan,
Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat
tidur minimal 200 (dua ratus) buah.
C. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4
(empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik. Kriteria, fasilitas dan kemampuan
Rumah Sakit Umum Kelas C meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat
Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik,
Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan,
Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat
tidur minimal 100 (seratus) buah.
D. Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar. Kriteria,
fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas D meliputi Pelayanan Medik
Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan
Universitas Sumatera Utara
Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang
Non Klinik.
2.6.5. Organisasi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, setiap rumah sakit harus memiliki organisasi yang efektif,
efisien, dan akuntabel. Organisasi rumah sakit paling sedikit terdiri atas kepala rumah
sakit atau Direktur rumah sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur
penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi
umum dan keuangan. Kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang
mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan. Tenaga struktural
yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan Indonesia.
Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala Rumah Sakit.
2.6.6. Ketenagaan di Rumah Sakit
Pada saat ini, rumah sakit berkembang sebagai sebuah industri padat karya,
padat modal dan padat teknologi. Disebut demikian karena rumah sakit
memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) dalam jumlah yang besar dan beragam
kualifikasi. Rumah Sakit Umum Sidikalang adalah rumah sakit tipe C, berdasarkan
peraturan menteri kesehatan republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010
tentang klasifikasi rumah sakit maka ketenagaan pada rumah sakit tipe C disesuaikan
dengan jenis dan tingkat pelayanan.
Pada Pelayanan Medik Dasar minimal harus ada 9 (sembilan) orang dokter
umum dan 2 (dua) orang dokter gigi sebagai tenaga tetap. Pada Pelayanan Medik
Universitas Sumatera Utara
Spesialis Dasar harus ada masing-masing minimal 2 (dua) orang dokter spesialis
setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada
pelayanan yang berbeda. Pada setiap Pelayanan Spesialis Penunjang Medik masingmasing minimal 1 (satu) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang
dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda. Perbandingan
tenaga keperawatan dan tempat tidur adalah 2:3 dengan kualifikasi tenaga
keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah Sakit.Tenaga penunjang berdasarkan
kebutuhan Rumah Sakit. (Kemenkes RI, 2010).
2.6.7. Jenis Pelayanan di Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan sub sistem dari pelayanan kesehatan dan juga
merupakan suatu industri jasa yang berfungsi untuk memenuhi salah satu kebutuhan
primer manusia, baik sebagai individu, masyarakat atau bangsa secara keseluruhan
untuk meningkatkan hajat hidup yang utama yaitu kesehatan. Pelayanan jasa tersebut
dapat berupa usaha-usaha promotif, kuratif dan rehabilitatif.
Pelayanan jasa rumah sakit dikelompokkan atas:
1. Pelayanan Medik
Pelayanan medik memberikan pelayanan kepada pasien sesuai dengan ilmu
pengetahuan kedokteran mutakhir, kemampuan fasilitasi rumah sakit. Dapat
dilaksanakan di unit rawat jalan, unit gawat darurat, unit rawat inap, kamar bedah
dan kamar bersalin sehingga diperlukan kebijakan, prosedur kerja dan uraian
tugas di tiap-tiap unit tersebut. Pelayanan faktor di sebuah rumah sakit tergantung
Universitas Sumatera Utara
dari jenis rumah sakit (umum dan khusus), kelas rumah sakit dan jenis peralatan
faktor serta ahli yang tersedia.
2. Pelayanan Penunjang Medik
Pelayanan penunjang medik merupakan tugas pokok (jasa profesional) dari
kegiatan rumah sakit tetapi lebih bersifat structural sehingga pengontrolan oleh
pihak manajemen oleh pihak rumah sakit lebih mudah karena ada prosedurprosedur khusus yang terdiri dari pelayanan radiologi, pelayanan laboratorium,
pelayanan anestesi, pelayanan gizi, pelayanan farmasi, dan pelayanan rehabilitasi
faktor. Jenis pelayanan yang bisa diberikan kepada pasien dari tiap-tiap rumah
sakit tergantung dari kelas rumah sakit, jenis perawatan yang tersedia dan jenis
tenaga yang ada.
3. Pelayanan Penunjang
Pelayanan penunjang merupakan pemberian dukungan untuk melaksanakan jasa
professional, terdiri dari administrasi yaitu administrasi umum yang mengelola
informasi yang cepat, teliti dalam bidang ketatausahaan, keuangan, kepegawaian
sesuai dengan pelayanan yang ada dan administrasi pasien yaitu mengelola
informasi yang cepat, tepat, teliti dalam bidang asuhan pasien sesuai dengan
pelayanan yang ada.
2.7. BOR (Bed Occupancy Rate) atau Pemanfaatan Tempat Tidur
Bed Occupancy Rate merupakan angka yang menunjukkan tingkat
pemanfaatan tempat tidur pada suatu rumah sakit. Perubahan jumlah tempat tidur
Universitas Sumatera Utara
rumah sakit dapat bertambah menjadi besar atau lebih kecil. Hal ini sesuai dengan
tuntutan perubahan yang harus dijalankan oleh manajemen rumah sakit. Bila
peningkatan demand masyarakat akan pelayanan rumah sakit meningkat, akan
berefek terhadap peningkatan beban kerja personel yang selanjutnya berefek terhadap
penambahan kebutuhan tenaga (Ilyas, 2011).
Mengukur tingkat pemanfaatan rumah sakit, umumnya digunakan ukuran
jumlah tempat tidur (bed) yang terisi oleh pasien rawat inap, dibandingkan dengan
jumlah tempat tidur yang tersedia. Suatu rumah sakit dikatakan baik pemanfaatannya
apabila BOR-nya mencapai ideal. Beberapa pendekatan bisa digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi angka BOR suatu rumah sakit.
Pendekatan-pendekatan itu adalah analisis utilitas, analisis pasar (pemasaran) dan
analisis pendekatan sistem. Melihat permasalahan di rumah sakit baik pada tingkat
bagian atau secara keseluruhan maka akan lebih mudah dan representatif melalui
analisis sistem (Supranto, 2000).
2.7.1. Penghitungan BOR
Standar efisiensi BOR adalah 75 – 85 %, apabila BOR > 85 % berarti tempat
tidur yang terpakai di rumah sakit tersebut terlalu penuh. Adapun rumus
penghitungan BOR yaitu:
Jumlah Hari Rawatan
BOR
=
x 100%
Jumlah Tempat Tidur x 365 Hari
Dari rumus di atas, dapat dinyatakan bahwa BOR adalah angka penggunaan
tempat tidur rumah sakit yang dihuni penderita, yang dapat diketahui dengan cara
Universitas Sumatera Utara
menghitung rata-rata tempat tidur yang ditempati penderita per hari dibagi kapasitas
tempat tidur siap pakai dikali seratus persen.
2.8. Landasan Teori
Mengacu
kepada
konsep
pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
yang
dikemukakan oleh Dever (1984) dalam Donabedian (2005), maka landasan teori yang
digunakan seperti pada Gambar 2.1.
Sociocultural factors
1. Teknologi
2. Norma dan Nilai Keyakinan
Organizational factors
1. Ketersediaan Sumber Daya
2. Akses Geografis
3. Akses Sosial
4. Karakteristik dari Struktur Perawatan
dan Proses
Consumers factors
1. Tingkat kesakitan dan kebutuhan
yang dirasakan (Perceived need)
a. Faktor sosiodemografis
b. Faktor sosial psikologis
2. Diagnosa klinis (Evaluated need)
Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan
Provider factors
1. Sikap petugas
2. Keahlian petugas
3. Fasilitas yang dimiliki
Gambar 2.1. Landasan Teori
Sumber : Dever (1984) dalam Donabedian (2005)
Universitas Sumatera Utara
Beberapa indikator yang diabaikan dalam penelitian ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Sociocultural factors; norma dan nilai keyakinan sulit diukur dan sukar mencapai
kesepakatan tentang pengertian dari variabel tersebut. Responden yang dijadikan
sampel berasal dari masyarakat yang homogen jadi tidak terdapat nilai-nilai
tertentu yang dianggap berpengaruh terhadap pemanfaatan RSUD Sidikalang.
2. Organizational factors; karakteristik dari struktur perawatan dan proses hal ini
dapat diukur dari ketersediaan SDM rumah sakit.
3. Faktor konsumen; tingkat kesakitan dan kebutuhan yang dirasakan (Perceived
need) diukur melalui persepsi tentang penyakit dan persepsi tentang pelayanan.
4. Faktor sosiodemografis dan sosial psikologis dapat diakomodir variabel
Organizational factors, yaitu; (a) akses geografis dan (b) akses sosial.
Universitas Sumatera Utara
2.9. Kerangka Konsep
Pemanfaatan RSUD Sidikalang yang belum optimal oleh pasien rawat inap
menuntut untuk dilakukannya penelitian ini. Sebagai kerangka konsep mengacu
kepada teori Dever (1984) dalam Donabedian (2005) dengan kerangka konsep
sebagai berikut:
Variabel Independen
Variabel Dependen
Faktor Organisasional
a.Ketersediaan Sumber Daya Manusia
b.Akses Geografis
c.Akses Sosial
Faktor Konsumen
Pemanfaatan Ulang
RSUD Sidikalang
a. Pengetahuan tentang pelayanan
c. Persepsi tentang penyakit
d. Persepsi tentang pelayanan
e. Diagnosa klinis
Faktor Penyedia Jasa Pelayanan
Kesehatan
a. Sikap petugas Kesehatan
(a) Dokter
(b) Perawat
b. Ketersediaan obat
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara