Pengaturan Perlindungan Hukum Bagi Perwakilan Diplomatik di Wilayah Perang.

(1)

SKRIPSI

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG

AIRLANGGA WISNU DARMA PUTRA NIM. 1103005065

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

AIRLANGGA WISNU DARMA PUTRA NIM. 1103005065

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan izin-Nya

skripsi yang berjudul “PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG” dapat diselesaikan.

Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya dukungan secara langsung maupun tidak langsung dari pribadi-pribadi yang telah memberikan bantuan, nasihat, dan bimbingannya kepada penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH, Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas

Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

5. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH, Ketua Bagian Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak I Gde Putra Ariana, SH., M.kn, Sekretaris Bagian Hukum Internasional


(6)

7. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum., Dosen Pembimbing I yang telah memberi semangat dan dengan penuh kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini.

8. Bapak Made Mahartayasa SH., MH, Dosen pembimbing II yang telah banyak

memberikan waktunya untuk membimbing dan dengan rendah hati berdiskusi bersama demi mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini.

9. Bapak I Gusti Ngurah Dharma Laksana, SH., M.Kn., Dosen Pembimbing

Akademik yang berperan besar selama perkuliahan penulis dengan memberikan bimbingan, banyak petunjuk, serta semangat dalam mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.Bapak Dr. I Dewa Gde Palguna SH., M.Hum., dan para Dosen Bidang Hukum

Internasional beserta seluruh pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan saya ilmu serta wawasan yang lebih kepada penulis.

11.Seluruh Pegawai Administrasi, Tata Usaha, Laboratorium, dan Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

12.Orang Tua saya, Bapak Iskandar, S.P, M.Si., dan Ibu Tatiana Sri Lestari, ST.

Terima kasih atas doa, kasih sayang, dan kiriman bulanan yang selama ini diberikan. Dan juga saudara-saudara saya yang hebat; Perdro Wahyu, S.Si., MT, dan Sabrina Ummu, atas doa dan dukungannya selama ini.

13.Teman terbaik dikampus, Gayus Antara Putra, Komang Rediawan, Gus Kong,


(7)

semua teman angkatan 2011 yang berjuang bersama selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

14.Sahabat penulis, M. Iqbal Z.A, SE., Parada Ichwan, ST., Deddy Eko, Elcindra,

Andreas Manalu, S.Sas., Arzak Kherid, dan teman-teman Sosial 55 SMAN 1 Samarinda.

15.Hildawati Utami, SE., yang memberi semangat dan doa untuk penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini tidaklah sempurna dan memiliki kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Dengan segala kerendahan hati penulis menerima nasihat dan saran guna kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 17 Desember 2015


(8)

(9)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN SAMPUL DEPAN

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii

DAFTAR ISI ………. ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 5

1.4 Tujuan Penulisan ... 6

1.4.1.Tujuan Umum ... 6

1.4.2.Tujuan Khusus ... 6

1.5 Manfaat Penulisan ... 7

1.5.1.Manfaat Teoritis . ... 7

1.5.2.Manfaat Praktis ... 7

1.6 Landasan Teoritis ... 8

1.7 Metode Penelitian ... 11

1.7.1.Jenis Penelitian ... 11


(10)

1.7.3.Sumber Bahan Hukum ... 13 1.7.4.Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 14 1.7.5.Teknik Analisis Bahan Hukum ... 14 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERANG DAN

PERWAKILAN DIPLOMATIK ... 16 2.1 Konsep Perang dan Damai ... 16 2.2 Sejarah Diplomasi ... 20 2.3 Konsep Perwakilan Diplomatik dalam

Hukum Nasional dan Hukum Internasional ... 24 2.3.1 Konsep agen diplomatik ... 26 2.3.2 Konsep gedung perwakilan ... 29 2.4 Cabang-cabang Hukum Internasional yang

Membahas Tentang Perlindungan Hukum

Bagi Perwakilan Diplomatik ... 30 a. Hukum Diplomatik ... 30 b. Hukum Humaniter ... 33 BAB III PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG

MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ... 37 3.1 Pengaturan dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan

Diplomatik ... 38 3.1.1 Perlindungan Hukum Terhadap Agen Diplomatik ... 39 3.1.2 Perlindungan Hukum Terhadap Gedung

perwakilan diplomatik ... 41 3.1.3 Perlindungan Hukum Bagi Perwakilan Diplomatik

dalam Situasi Perang ... 44 3.2 Pengaturan dalam Konvensi New York 1973 ... 46


(11)

3.3 Pengaturan dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 berkaitan dengan Perlindungan Korban Konflik

Bersenjata Internasional (1977) ... 50

3.4 Tinjauan Komperhesif ... 54

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ATAS GANGGUAN TERHADAP PERWAKILAN DIPLOMATIK NEGARA PENGIRIM DI WILAYAH PERANG BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL ... 56

4.1 Pertanggungjawaban Negara Penerima atas Gangguan terhadap Perwakilan Diplomatik Negara Pengirim ... 56

4.1.1 Pertangungjawaban menurut Draf ILC 2001. ... 58

4.1.2 Pertanggungjawaban menurut Protokol Pilihan ... 61

4.2 Pertanggungjawaban Pelaku Penyerangan Perwakilan Diplomatik menurut Hukum Humaniter ... 67

4.2.1 Pertanggungjawaban Individu Pelaku Penyerangan Perwakilan Diplomatik ... 68

4.2.2 Pertanggungjawaban Negara Pelaku Penyerangan Perwakilan Diplomatik. ... 70

4.3 Tinjauan Komperhensif ... 72

BAB V PENUTUP ... 74

5.1 Kesimpulan ... 74

5.2 Saran ... 76 DAFTAR BACAAN


(12)

ABSTRAK

Dalam situasi perang, pelanggaran-pelanggaran hukum internasional sering kali terjadi. Perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik telah diatur oleh hukum internasional. Serangan terhadap perwakilan diplomatik, bahkan dalam situasi perang merupakan bentuk dari pelanggaran hukum internasional tersebut. Setiap pihak dalam permusuhan harus terikat oleh hukum perang, dan mematuhi Prinsip Pembedaan didalamnya yang membedakan para kombatan dengan golongan sipil. Oleh karena itu, perwakilan diplomatik yang menjadi bagian golongan sipil tidak boleh diserang. Adapun permasalahannya yaitu bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang menurut Hukum Internasional? Dan bagaimanakah pertanggungjawaban hukum atas gangguan terhadap perwakilan diplomatik negara pengirim di wilayah perang berdasarkan hukum internasional?

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan menggunakan beberapa pendekatan seperti pendekatan kasus, pendekatan fakta, pendekatan sejarah, dan pendekatan perundang-undangan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang telah diatur oleh hukum internasional khususnya dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi New York 1973 tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan terhadap orang yang dilindungi secara internasional termasuk agen-agen diplomatik serta Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 berkaitan dengan Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional (1977), dan pertanggungjawaban hukum atas gangguan terhadap perwakilan diplomatik negara pengirim di wilayah perang dibebankan kepada negara penerima dan pelaku penyerangan terhadap perwakilan diplomatik tersebut baik individu pelaku maupun negara dari pelaku tersebut.

Kata Kunci: Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum dan Pertanggungjawaban


(13)

ABSTRACT

In a warfare situation, breaches of international law are oftenly occurred. The legal protection of diplomatic representation has been regulated by international law. Any assaulting act on diplomatic representation, even in a warfare situation is a form of the international law violation. Each party in the conflict shall be bound by law of war and the distinctional principle under it that distinguish combatants and civilians. Therefore, a diplomatic representation which is civilian shall not be the object of attack. The problems are, how is the regulation on legal protection of diplomatic representation by international law? And how is the legal responsibility on diplomatic representation attacks by international law?

The type of research that used is a normative legal research by using some approach like the cases approach, the fact approach, historical approach and the statute approach. The conclusions of this research are the legal protection of diplomatic representation in war zone has been regulated by international law especially in Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961, New York Convention 1973 on Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons including Diplomatic Agents 1973, and Protocol additional to the Geneva Conventions 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts 1977 (Protocol I), and the legal responsibility of attacks on the sending state’s diplomatic representation in war zone shall be imposed on the receiving state and the attacker (perpetrator), both individuals and/or States


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semenjak awal kelahirannya, suatu negara tak lepas dari namanya sengketa, baik sengketa dalam negeri maupun luar negeri. Sengketa-sengketa tersebut dapat dipicu oleh masalah ekonomi, perbatasan, kerusakan lingkungan, politik hinggga pemberontakan. Tak jarang, jalan yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah dengan perang.

Perang masih menjadi hambatan terbesar dalam terciptanya perdamaian di dunia. Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah digunakan dalam praktiknya sejak lama. Bahkan perang juga telah dijadikan sebagai alat bantu kebijakan luar negeri. Contohnya, seorang Napoleon Bonaparte

menggunakan perang untuk menguasai wilayah-wilayah di Eropa di abad XIX.1

Namun perlu dicatat, dalam perang terdapat suatu prinsip pembedaan dimana ada dua golongan dalam perang yaitu golongan yang ikut berperang dan golongan yang tidak terlibat dalam perang seperti penduduk sipil, perwakilan diplomatik (baik kantor maupun utusan diplomatik), perwakilan konsuler, misi khusus dan lain-lain.

1Mohammed Bedjaoui, 1997, International Law: Achievement and Prospects, The

Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, Leiden, h. 520. Melalui URL: https://books.google.co.id/books?id=jrTsNTzcY7EC&dq=Mohammed+Bedjaoui,+1997,+Internati onal+Law:+Achievements+and+Prospects+ebook&hl=id&source=gbs_navlinks_s diakses pada tanggal 8 September 2015 pukul 15.40 WITA


(15)

2

Perwakilan diplomatik merupakan representasi dari suatu negara yang disebut dengan negara pengirim yang kemungkinan tidak ada kaitannya secara langsung dengan konflik bersenjata yang sedang terjadi di wilayah tersebut, oleh karena itu suatu perwakilan diplomatik tidak boleh tersentuh atau terkena dampak dari perang secara langsung seperti diserang, dimasuki, disandera apalagi hingga jatuh korban dari petugas diplomatik yang sedang bertugas. Hal ini juga dipertegas oleh kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki oleh perwakilan diplomatik tersebut. Namun demikian, dalam praktiknya hal tersebut tak lantas membuat perwakilan diplomatik suatu negara lolos dari serangan dalam kondisi perang. Seperti yang terjadi terhadap kedutaan besar Republik Rakyat Cina (RRC) di Yugoslavia pada tahun 1999 dan kasus terbaru yaitu serangan terhadap kedubes Republik Indonesia di Yaman.

Konflik bersenjata di Kosovo atau yang biasa disebut Perang Kosovo terjadi sejak 28 Pebruari 1998 hingga 11 Juni 1999. Perang terjadi antara pasukan pemerintah Yugoslavia melawan Kosovo Liberation Army (KLA). Salah satu yang memicu terjadinya perang ini adalah pengurangan hak-hak warga mayoritas orang

Albania oleh pemerintah Yugoslavia (Boegrad).2 Perang ini mengakibatkan 13.517

korban yang sebagian besar tewas dan sebagian kecilnya dinyatakan hilang. Dimana dari sekian banyak korban tadi, 12.181 diantaranya adalah dari sipil. Perang Kosovo semakin memanas ketika North Atlantic Treaty Organization

2http://www.dw.com/id/intervensi-nato-terhadap-serbia/g-17512855 diakses pada tanggal


(16)

3

(NATO) ikut ambil bagian dalam melawan pasukan pemerintah Yugoslavia yang dimulai semenjak 24 Maret hingga 10 Juni 1999. Ini merupakan Operasi militer yang dilakukan oleh NATO ditengarai melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum internasional. Serangan udara yang dilancarkan dengan tujuan untuk membantu pasukan Kosovo Liberation Army (KLA) tidak semua tepat mengenai sasaran. Bahkan serangan udara yang dilancarkan pada tanggal 7 Mei 1999 menyebabkan bom jatuh dua kali di kedubes Republik Rakyat Cina (RRC) untuk Yugoslavia dan atas tindakan tersebut RRC melalui duta besarnya untuk PBB meminta diadakan sidang darurat Dewan Keamanan PBB untuk membahas hal yang disebut mereka

“barbarian act”.3 Menurut harian Xinhua, tiga orang tewas dan setidaknya 20

orang luka-luka akibat dari serangan tersebut.4 Presiden Amerika Serikat pada saat

itu, Bill Clinton pun meminta maaf atas kejadian tersebut dan mengatakan bahwa serangan itu bukanlah hal yang disengaja walaupun dari keterangan saksi di tempat kejadian mengatakan bahwa serangan seperti memang ditargetkan ke kantor kedubes RRC dan dilancarkan secara bertubi-tubi.

Menanggapi campur tangan NATO dalam perang Kosovo, PBB tidak tinggal diam. Sekretaris Jendral PBB Kofi Atta Annan meminta NATO untuk tidak ikut campur dalam perang dan membiarkan Dewan Keamanan PBB yang bertindak dalam melakukan upaya-upaya menjaga perdamaian disana. Dalam wawancaranya dengan CNN, ia berpendapat bahwa Dewan Keamananlah yang memiliki

3http://edition.cnn.com/WORLD/europe/9905/07/kosovo.05/index.html diakses pada

tangal 9 September 2015 pukul 18.15 WITA

4http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/338424.stm diakses pada tanggal 9 September 2015


(17)

4

tanggung-jawab utama dalam hal perdamaian dan keamanan, dan saat diperlukan

penggunaan cara kekerasan (use of force), maka mereka harus dilibatkan.5

Salah satu contoh aktual mengenai gangguan terhadap perwakilan diplomatik di wilayah konflik bersenjata adalah serangan udara dari pesawat militer koalisi negara Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi yang berdampak pada hancurnya kantor kedubes RI di Yaman. Serangan tersebut terjadi di kota Sanaa, Yaman pada Senin, 20 April 2015 pada pukul 10.45 waktu setempat. Menanggapi hal ini, pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengecam keras tindakan tersebut. Insiden itu melukai tiga orang dan membuat kantor KBRI rusak parah dan menghancurkan semua kendaraan di

KBRI.6 Pemerintah RI langsung memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk

Indonesia, namun belum ada keterangan resmi dari Pemerintah Arab Saudi atas serangan tersebut.

Dapat diketahui bahwa dalam keadaan perang sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum internasional. Jatuhnya korban dari masyarakat sipil, serangan terhadap rumah sakit, dan seperti dua kasus diatas, serangan terhadap perwakilan diplomatik hanyalah sebagian dari pelanggaran-pelanggaran tersebut. Pihak-pihak yang menjadi kombat harusnya menaati prinsip pembedaan

5http://edition.cnn.com/WORLD/europe/9905/07/kosovo.04/ diakses pada tanggal 9

September 2015 pukul 19.00 WITA

6


(18)

5

dimana para pihak non-kombat tidak seharusnya dijadikan sasaran dalam berperang.

Fenomena dan permasalahan hukum yang telah diuraikan tersebut sangat menarik untuk dikaji. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat masalah

ini menjadi karya tulis dengan judul “PENGATURAN PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan tadi, maka dalam penulisan karya tulis ilmiah ini penulis akan membatasi permasalahan yang akan dibahas menjadi 2 (dua) hal, yaitu :

1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan

diplomatik di wilayah perang menurut Hukum Internasional?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban hukum atas gangguan terhadap

perwakilan diplomatik negara pengirim di wilayah perang berdasarkan Hukum Internasional?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya tulis dirasa perlu ditegaskan materi yang diatur didalamnya. Tujuan dari hal ini adalah untuk menghindari menyimpangnya pembahasan materi yang disajikan dari pokok permasalahan yang telah


(19)

6

dirumuskan, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Ruang lingkup yang akan dikaji dalam karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :

1. Akan dibahas mengenai pengaturan hukum terhadap perlindungan

hukum bagi perwakilan diplomatik dalam sumber-sumbar hukum internasional, seperti perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan sumber-sumber hukum internasional lainnya.

2. Akan dibahas mengenai bentuk pertanggungjawaban hukum atas

gangguan terhadap perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang berdasarkan hukum internasional.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan-tujuan yang diharapkan bisa dicapai dari karya tulis ini antara lain :

1.4.1. Tujuan umum.

1. Melaksanakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu penelitian.

2. Sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum

3. Sebagai sumbangan pikiran penulis bagi pengetahuan di bidang Hukum

Internasional, khususnya yang berkaitan dengan Hukum Humaniter dan Hukum Diplomatik.

1.4.2. Tujuan khusus.

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap

perlindungan hukum perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang menurut Hukum Internasional.


(20)

7

2. Untuk menganalisa bentuk-bentuk pertanggungjawaban hukum

terhadap pelanggaran atas perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang menurut Hukum Internasional.

1.5 Manfaat Penulisan

1.5.1. Manfaat teoritis.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekebalan dan keistimewaan bagi perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang ditinjau dari Hukum Internasional. Selain itu, karya tulis ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan dalam pengembangan Ilmu Hukum secara umum, khususnya di bidang Hukum Internasional mengenai perlindungan terhadap perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang.

1.5.2. Manfaat praktis.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pihak negara-negara penerima maupun pihak yang sedang berperang di belahan dunia manapun agar senantiasa mencegah pelanggaran atas perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik suatu negara di wilayah perang. Untuk para mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan analisa yang akan membentuk pola pikir dinamis dan kritis dalam melihat permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan isu hukum yang dibahas ini, sekaligus mengukur sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. Berikutnya, penelitian


(21)

8

ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran kepada para golongan kombat bahwa perwakilan diplomatik di wilayah perang memiliki kedudukan dan perlindungan yang dijamin oleh hukum internasional. Sehingga, pelanggaran-pelanggaran terhadapnya yang sering dilakukan golongan kombat akan dapat diminimalisir.

1.6 Landasan Teoritis

a. Teori-teori tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik

Terdapat 3 (tiga) teori mengenai dasar pemberian hak-hak istimewa dan

kekebalan diplomatik di luar negeri.7 Berikut adalah ketiga teori tersebut :

1. Teori Eksteritorialitas. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik

dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negerinya, berada di luar wilayah akreditasi, walaupun sebenarnya ia berada di luar negeri dan melaksanakan tugas-tugasnya disana. Demikian juga halnya dengan

gedung perwakilan.8

2. Teori Representatif. Teori kedua ini mengajarkan pada kita bahwa baik

pejabat maupun perwakilan diplomatik, mewakili negara pengirim dan

kepala negaranya.9

7Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global, Edisi Kedua, PT. Alumni, Bandung, h. 547.

8ibid.

9Syahmin Ak., 2008, Hukum diplomatik dalam kerangka studi analisis, PT. Raja Grafindo


(22)

9

3. Teori Kebutuhan Fungsional. Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan

kekebalan-kekebalan diplomatik dan misi diplomatiknya hanya didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat

diplomatik itu dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar.10

b. Prinsip pembedaan (Distinction principle).

Salah satu bagian penting dari hukum perang adalah apa yang dikenal dengan prinsip pembedaan. Adapun yang dimaksud prinsip pembedaan ini adalah bahwa penduduk suatu negara yang terlibat perang dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu mereka yang secara langsung ikut serta dalam pertikaian tersebut dan mereka yang tidak turut secara aktif. Golongan pertama tadi biasa disebut kombat,

dan golongan kedua pada umumnya disebut penduduk sipil.11 Yang menjadi tujuan

utama dari prinsip pembedaan ini adalah demi melindungi warga sipil. Selain itu, prinsip pembedaan juga bertujuan untuk membedakan objek sasaran militer, atau objek sipil.

Berkaitan dengan perlindungan perwakilan diplomatik dalam suatu konflik bersenjata, prinsip pembedaan ini nantinya menjelaskan mengenai kedudukan pejabat beserta gedung-gedung perwakilan diplomatik dalam suatu konflik bersenjata yang notabene termasuk dalam golongan non-kombat yang seharusnya mendapat perlindungan.

10 Boer Mauna, op.cit, h. 548.


(23)

10

c. Ius in bello.

Ius in bello merupakan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam perang yang diatur dalam sumber-sumber Hukum Humaniter, khususnya sumber utama yaitu : 12

1) Konvensi-konvensi den Haag 1907 (Conduct of war);

2) Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Perlindungan korban perang);

3) Protokol-protokol tambahan 1977.

Ius in bello tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (kapan atau dalam keadaan bagaimana negara dibenarkan untuk berperang). Yang artinya Hukum Humaniter Internasional mengikat pihak-pihak yang berkonflik tanpa melihat alasan dari perang tersebut.

d. Teori-teori Pertanggungjawaban Negara

Pada dasarnya, ada dua teori mengenai pertanggungjawaban negara, yaitu

Teori Resiko dan Teori Kesalahan :13

1. Teori Risiko (Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung

jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung

jawab objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara

12Haryomataram, 2012, Pengantar Hukum Humaniter, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya

disingkat Haryomataram I), h. 3.

13

http://fl.unud.ac.id/blockbook/HI/course%20materials/TANGGUNG%20JAWAB%20 NEGARA.doc diakses pada tanggal 1 Pebruari 2016 pukul 12.00 WITA


(24)

11

mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan

akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of untra-hazardous

activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum.

2. Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung

jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas

dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab

negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.

1.7 Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut :

1.7.1. Jenis penelitian.

Karya tulis ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang mana penelitian akan dilakukan terhadap kaidah-kaidah yang terdapat dalam Hukum Internasional yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap perwakilan diplomatik di wilayah perang. Selain itu, hal ini selaras dengan yang dinyatakan oleh Soerjono Soekanto, bahwa penelitian hukum normatif mencakup: penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah

hukum.14


(25)

12

1.7.2. Jenis pendekatan.

Penelitian Hukum Normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni :

1) Pendekatan Kasus (The Cases Approach)

2) Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach)

3) Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

4) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual)

5) Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)

6) Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

7) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)15

Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, pendekatan sejarah, dan pendekatan kasus. Yang dimaksud dengan pendekatan perundang-undangan tersebut berupa interpretasi penulis terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang relevan digunakan dalam penulisan ini. Pendekatan fakta adalah pendekatan berdasarkan sumber-sumber dari lapangan yang telah teruji kebenarannya. Sedangkan pendekatan sejarah yang dimaksud adalah pendekatan yang pada umumnya bertujuan untuk membuat rekonstruksi secara sistematis dan objektif dari kejadian di masa lalu, dengan cara

14 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan

Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.14

15Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum


(26)

13

mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta mensintesikan data-data untuk menegakkan fakta dengan kesimpulan yang kuat. Adapun pendekatan kasus digunakan dalam menganalisis kasus-kasus gangguan terhadap perwakilan diplomatik seperti yang terjadi pada Kedubes RRC di Yugoslavia pada 7 Mei 1999 dan Kedubes Republik Indonesia di Yaman pada 20 April 2015.

1.7.3. Sumber bahan hukum.

Penulisan karya tulis ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan demikian data yang digunakan adalah data sekunder sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersifat autoritatif yang

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer dalam karya tulis ini terdiri atas asas dan kaidah hukum yang diwujudkan dalam :

a. Piagam PBB

b. Statuta Mahkamah Internasional

c. Statuta Roma 1998

d. Konvensi Jenewa 1949 (I) dan (IV) besertaProtokol Tambahan I tahun

1977

e. Konvensi den Haag 1907 (IV) tentang Hukum dan Kebiasaan Perang

Darat

f. Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik beserta Protokol

Pilihan

g. Konvensi New York 1973 tentang Pencegahan dan Penghukuman

Kejahatan terhadap Orang yang Secara Internasional Dilindungi termasuk Agen Diplomatik


(27)

14

h. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1999 tentang

Hubungan Luar Negeri

i. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 tahun 2003 tentang

Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri

j. Draft articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (Draf ILC 2001)

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber hukum yang sifatnya sebagai

pelengkap bagi bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dari karya tulis ini terdiri atas buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, kamus hukum, dan materi muatan internet yang berkaitan dengan rumusan masalah.

3. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber yang berupa sumber non-hukum yang

menjelaskan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier dalam karya tulis ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia.

1.7.4. Teknik pengumpulan bahan hukum.

Dalam karya tulis ini teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi dokumen, yaitu mengutip secara langsung dari literature-literatus, perundang-undangan, dan konvensi-konvensi internasional disertai dengan merumuskan intisari dari bahan-bahan pustaka terkait.

1.7.5. Teknik analisis bahan hukum.

Adapun teknik analisis yaitu setelah bahan hukum terkumpul lalu dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu teknik dimana penulis memaparkan bahan


(28)

15

hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan dibantu bahan hukum tersier.16

Bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul tadi lalu dievaluasi, kemudian dilakukan interpretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi. Argumentasi dilakukan penulis untuk memberikan penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang sepantasnya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dari hal itu nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya

membentuk satu-kesatuan yang berhubungan secara logis17

16 Roni Hanitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet.II, Ghalia Indo, Jakarta, h.93. 17Ibid


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERANG DAN PERWAKILAN DIPLOMATIK

2.1 Konsep Perang dan Damai

Eksistensi dan bahkan pengertian dari perang merupakan topik yang menjadi kontroversi hingga kini. Perang telah ada sebelum lahirnya hukum internasional, bahkan perang sudah ada sebelum munculnya negara-negara didunia ini. Perang pertama kali terjadi pada masa prasejarah yang dikenal dengan Prehistoric Warfare. Sejarah kemudian berlanjut pada Ancient Warfare seperti The Battle of Thermopylae pada 480 Sebelum Masehi yaitu perang yang terjadi antara prajurit Yunani kuno yang menurut Herodotus, seorang sejarawan yunani kuno sebanyak lima ribu dua ratus orang melawan pasukan Persia yang berjumlah dua

setengah juta orang.1 Perang Kalingga (265-264 SM) di India dan masih banyak

contoh-contoh lainnya. Berikutnya adalah peperangan di abad pertengahan yang pada era itu terjadi perang salib dan ekspansi Mongol. Setelah itu, perang masuk

pada era Early Modern Warfare seperti perang saudara Inggris (1642-1646,

1648-1649, 1649-1651), perang saat suksesi Spanyol (1701-1714), Napoleonic War

(1803-1815), dan perang saudara Amerika Serikat (1861-1865).

1http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Hdt.+8.24 diakses pada tanggal 27


(30)

18

Berlanjut ke Perang Dunia pertama dan kedua, dan hingga sekarang perang masih saja berlangsung di berbagai belahan dunia, terutama di wilayah Timur Tengah.

Salah satu definisi klasik tentang perang dikemukakan oleh Karl von Clausewitz yang mendefinisikan perang sebagai perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukkan lawannya guna memenuhi

kehendaknya.2 Dalam definisi tersebut terdapat dua aspek penting mengenai perang

yaitu, perang dilakukan dalam skala besar, dan pihak-pihak yang terlibat dalam perang memiliki tujuan untuk menundukkan dan memaksakan persyaratan-persyaratan tertentu. J.G. Starke juga berpendapat bahwa pembedaan perang dan konflik bersenjata bukan perang dapat dilihat dari dimensi konflik, maksud-maksud

para kontestan, serta sikap dan reaksi pihak ketiga yang bukan kontestan.3

Definisi lain dikemukakan oleh Oppenheim yang mengemukakan pendapat

bahwa perang adalah, ‘… a contention between two or more States through their

armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such conditions of peace as the victor pleases’.4Berpijak pada definisi Oppenheim tadi,

Dinstein berpendapat bahwa perang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:5

2 J.G. Starke, 2004, Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi Kesepuluh, cet. V, terjemahan

Bambang Iriana Djajaatmaja, Sinar Grafika, Jakarta, h.699.

3Ibid, h. 703

4Yoram Dinstein, 2004, War, Agression and Self-Defense, edisi ketiga, Cambridge

Universiti Press, Cambridge, h. 4. Melalui URL:

https://books.google.co.id/books?id=gn6gYjdBzyYC&dq=Yoram+Dinstein,+2004,+War,+Aggres sion+and+Self-Defense,&hl=id&source=gbs_navlinks_s diakses pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 19.25 WITA


(31)

19

a. ada permusuhan diantara setidaknya dua negara;

b. ada penggunaan angkatan bersenjata oleh kontestan;

c. ada tujuan untuk mengalahkan negara yang menjadi musuh;

d. tujuan mengalahkan musuh secara simetris ada pada negara-negara

yang terlibat;

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, secara umum perang lazimnya

dianggap sebagai konflik bersenjata yang terjadi diantara negara-negara.6 Jadi,

dapat dikatakan bahwa perang adalah salah satu wujud dari konflik bersenjata (armed conflict).

Secara sistematik, konflik bersenjata dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni konflik bersenjata yang bersifat internasional dan yang non-internasional (internal atau domestik). Konflik bersenjata dikatakan bersifat internasional kalau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan dengan negara. Konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik non-internasional kalau yang berhadapan dalam koflik itu adalah setidaknya salah-satunya adalah kelompok bersenjata bukan negara. Konflik bersenjata internasional dibedakan lagi menjadi perang dan bukan perang. Konflik bersenjata internasional bukan perang terjadi saat dua atau lebih negara terlibat dalam penggunaan kekerasan senjata satu sama lain, namun skala penggunaan kekerasan senjata itu tidak bersifat luas, dan

5Ibid, h. 4-5 6Ibid, h. 5.


(32)

20

tujuannya pun bukan untuk mengalahkan musuh secara total dan memaksakan syarat-syarat perdamaian.

Berbicara tentang perang, tidak dapat dipisahkan dengan kaidah-kaidah

yang mengatur hal tersebut. War, like most other field of human activity, today is

regulated and contained by a body of laws,7 demikian pernah ditulis oleh Morris

Greenspan. Hukum yang mengatur perang itu disebut Hukum Perang (laws of war,

Kriegsrecht, Ologsrecht, dan sebagainya). Lauterpacht berpendapat bahwa laws of war are the rules of the law of nations respecting warfare.8 Dengan lahirnya Hukum Perang yang kini berganti nama menjadi Hukum Humaniter maka pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan negara-negara dalam berperang harusnya dapat sedikit dikurangi.

Sementara itu, damai memiliki banyak arti, namun dalam kaitannya dengan karya ilmiah ini, maka penulis memilih definisi damai sebagai ketiadaan perang, tercapainya persetujuan untuk mengakhiri perang, atau periode dimana para pihak tidak lagi menggunakan kekuatannya untuk memerangi musuh.

7 Morris Greenspan, 1959, The Modern Law of Land Warfare, University Of California

Press, tanpa tempat tebit, h. 4. Melalui URL:

https://books.google.co.id/books?id=8muPAAAAMAAJ&q=Morris+Greenspan,+1959,+The+Mo dern+Law+of+Land+Warfare&dq=Morris+Greenspan,+1959,+The+Modern+Law+of+Land+War fare&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjC_8jbnNPJAhWEGZQKHZkPCvMQ6AEIGjAA diakses pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 19.25 WITA

8 Sir Hersch Lauterpacht, 1955, International Law, vol.2, tanpa penerbit, tanpa tempat

terbit, h. 226. Melalui URL:

https://books.google.co.id/books?id=N0s9AAAAIAAJ&dq=Sir+Hersch+Lauterpacht,+1955,+Inte rnational+Law&hl=id&source=gbs_navlinks_s diakses pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 19.50 WITA


(33)

21

2.2 Sejarah Diplomasi

Secara etiomlogi, istilah diploma berasal dari bahasa Latin dan Yunani yang

dapat diartikan sebagai surat kepercayaan. Perkataan diplomasi kemudian

menjelma menjadi istilah diplomati, diplomasi, dan diplomatik.9 Herman F. Eilts

dalam bukunya, “Diplomacy-Contemporary Practice” mengatakan bahwa

diplomasi adalah seni atau ilmu yang harus dilakukan sehubungan dengan transaksi urusan-urusan antara negara-negara berdaulat dengan menggunakan sarana agen-agen terekstradisi (diakui) dan menurut hukum internasional; diplomasi merupakan

metode atau prosedur yang diterapkan dalam manajemen negosiasi internasional.10

Secara sederhana, diplomasi bisa didefinisikan sebagai proses politik yang denganya entitas politik, umumnya negara, melakukan hubungan-hubungan luar

negeri satu sama lain dalam lingkungan internasional.11

Dilacak dari asal usulnya, diplomasi dimulai pada zaman kuno. Orang Cina, India, Mesir, dan Mesopotamia pada ratusan tahun sebelum Masehi telah mengirimkan dan menerima utusan dari dan ke negara lain yang bertugas untuk

merancang perdamaian dan berusaha menyelesaikan perselisihan.12 Di Barat,

9 C.S.T Kansil, 2002, Modul Hukum Internasional, Djambatan, Jakarta, h.71.

10Elmer Plischke, 1979, Modern Diplomacy: The Art and the Artisans, American

Enterprise Institute, Washington D.C, h. 4. Melalui URL:

https://books.google.co.id/books?id=x_IlAAAAMAAJ&q=Elmer+Plischke,+1979,+Modern+Dipl omacy:+The+Art+and+the+Artisans&dq=Elmer+Plischke,+1979,+Modern+Diplomacy:+The+Art +and+the+Artisans&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiU5vLFntPJAhVBuJQKHeIIBd0Q6AEIGjAA diakses pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 20.20 WITA

11 Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rina Rusman, 2010, Hukum Humaniter

Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, h. 113.


(34)

22

diplomasi modern dimulai di abad kedua belas atau tiga belas ketika penguasa-penguasa wilayah mengirim utusan kepada penguasa-penguasa lainnya. Para utusan ini bertugas menyampaikan pandangan penguasa yang mengutusnya dan berunding dan membuat kesepakatan atas nama majikannya dengan penguasa setempat.

Perkembangan diplomasi di abad empat belas atau lima belas dimana negara-negara kecil Italia mulai mengirim utusan-utusan yang menetap di luar negeri. Praktik ini kemudian diikuti oleh negara-negara lain yang berdaulat dan dijadikan model standar di Eropa. Tujuan menetapnya utusan-utusan tersebut adalah agar mereka bisa memonitior kejadian di negara lain tersebut secara terus-menerus demi kepentingan negara asal.

Perkembangan berikutnya terjadi karena adanya kongres Wina 1815. Saat itu para negarawan sadar akan perlunya mengatur hubungan diplomatik di antara negara-negara Eropa. Lalu setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya tahun 1958 Komisi Hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa membuat rancangan konvensi

diplomatik yang mengatur tugas dan tanggung jawab korps diplomatik.13

Dalam sejarahnya, diplomasi memiliki banyak metode dalam

pelaksanaannya. Namun, terdapat dua yang paling dikenal adalah Metode Perancis (diplomasi lama/tradisional) dan Metode Amerika (diplomasi baru). Metode Perancis adalah teori dan praktik negosiasi internasional yang dicetuskan oleh Richeliu, dianalisis oleh Callieres dan dipraktikkan oleh semua negara Eropa


(35)

23

selama tiga abad sebelum perang dunia pertama.14 Ada lima hal yang menjadi

karakteristik diplomasi tradisional ini, diantaranya:

a. Eropa dianggap sebagai wilayah yang paling penting di dunia

b. Asumsi bahwa negara-negara dengan kekuatan besar lebih baik

disbanding negara-negara kecil, karena mereka memiliki kepentingan dan tanggung jawab lebih besar, memiliki lebih banyak uang dan tentunya senjata

c. Negara-negara dengan kekuatan besar memiliki tanggung jawab

bersama terhadap perilaku negara-negara kecil dan preservasi perdamaian diantara mereka.

d. Keberadaan pelayanan diplomasi professional yang seragam di

seluruh negara Eropa. Mereka mewakili pemerintahnya di ibukota negara lain dan memiliki standar pendidikan yang sama, perjalanan dan tujuan yang sama pula.

e. Aturan yang menjelaskan negosiasi harus bersifat rahasia

(confidential).

Diplomasi baru (new diplomacy) pada sisi yang lain mulai berkembang pada

perang dunia pertama, yang oleh Harold Nicolson disebut sebagai Diplomasi Metode Amerika. Karakteristik diplomasi baru ini mencakup beberapa hal, yaitu terdiri atas diplomasi parlementer yang dipraktikkan di organisasi internasional (Liga Bangsa-Bangsa), diplomasi personal para pemimpin politik, dan diplomasi


(36)

24

terbuka. Diplomasi baru ini disebut juga diplomasi demokratis yang digambarkan dengan peningkatan respons pada rakyat, berkurangnya rahasia pemerintah, dan kontrol legislatif yang lebih besar.

Perkembangan dalam metode diplomasi diatas disebabkan oleh beberapa

hal. Pertama, perubahan substansial pada komposisi negara-negara didunia. Pada

abad XIX hanya sedikit negara yang termasuk dalam komunitas diplomatik dan kebanyakan berada di Eropa, Amerika, dan Asia dimana hanya Jepang dan Cina yang lebih menonjol. Ketika memasuki abad XX banyak negara-negara yang baru

merdeka dan menjadi anggota komunitas internasional. Kedua, peningkatan

kepentingan dan perhatian antar negara dalam hal perdagangan internasional, kemajuan ilmu pengetahuan, dan interaksi antarnegara di bidang budaya, ekonomi,

sosial, dan keuangan. Ketiga, revolusi dalam bidang teknologi transportasi dan

komunikasi. Keempat, perubahan dalam proses diplomasi. Dimana setelah perang

dunia II, proses diplomasi juga dimaksudkan untuk mempromosikan ideology dan konflik sehingga para diplomat menjadi dai-dai ideology, agen spionase, dan para

subversif. Kelima, munculnya persepsi yang lebih demokratis tentang hubungan

internasional dengan partisipasi rakyat secara langsung maupun tidak langsung dalam kepentingan nasional, bukan hanya dipercayakan oleh segelintir elit tertentu. Terakhir, meningkatkan posisi Amerika Serikat dalam dunia internasional setelah

Perang Dunia II.15 Hingga kini, diplomasi baru atau model Amerika masih

dianggap yang paling relevan dalam pelaksanaannya.


(37)

25

Berkembangnya diplomasi melahirkan aturan-aturan mengenai praktik-praktik hubungan diplomatik dan hubungan internasional lainnya seperti Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan diolomatik beserta protokol-protokol pilihan, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler beserta protokol-protokol pilihan, Konvensi New York 1969 mengenai Misi Khusus beserta protokol-protokol pilihan, Konvensi New York 1973 mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap orang-orang yang menurut Hukum Internasional dilindungi, termasuk para diplomat, Konvensi Wina 1975 mengenai Keterwakilan Negara dalam Hubungannya dengan Organisasi Internasional yang bersifat Universal.

2.3 Konsep Perwakilan Diplomatik dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional.

Dalam peraturan hukum nasional, pengertian perwakilan diplomatik dapat ditemukan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang menyatakan berikut:

Pasal 1 angka 4 KEPRES RI Nomor 108 tahun 2003:

” Perwakilan Diplomatik adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia dan

Perutusan Tetap Republik Indonesia yang melakukan kegiatan diplomatik di seluruh wilayah Negara Penerima dan/atau pada Organisasi Internasional


(38)

26

untuk mewakili dan memperjuangkan kepentingan Bangsa, Negara dan

Pemerintah Republik Indonesia.”

Berdasarkan pengertian diatas dapat diketahui bahwa perwakilan diplomatik terdiri dari Kedutaan Besar Republik Indonesia yang berupa

gedung-gedung perwakilan (the premises of mission) dan Perutusan Tetap Republik

Indonesia sebagai utusan-utusan yang dikirim oleh Republik Indonesia demi menjalankan misi diplomatik di negara penerima. Pengertian inilah yang menjadi

acuan penulis dalam menggunakan istilah “perwakilan diplomatik” dalam karya

ilmiah ini.

Pengaturan hukum internasional mengenai pengertian dari perwakilan diplomatik tidak diatur secara tegas. Akan tetapi, penulis menemukan pembagian dari perwakilan diplomatik dalam Konvensi Wina 1961 khususnya dalam pasal 1

yang menjelaskan pengertian dari heads of mission, members of the mission,

members of staff of the mission, members of diplomatic staff, diplomatic agent, members of the administrative and technical staff, members of the service staff, private servant, dan premises of the mission.16

Dari penjelasan-penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa perwakilan diplomatik terdiri atas utusan diplomatik atau wakil diplomatik atau agen diplomatik, dan gedung perwakilan diplomatik.


(39)

27

2.3.1 Konsep agen diplomatik.

Menurut Konvensi Wina 1961, agen diplomatik atau disebut juga wakil diplomatik atau pejabat diplomatik adalah kepala misi atau anggota dari staf misi diplomatik. Istilah agen diplomatik yang dulu hanya dipakai untuk menyebut kepala misi, sekarang mencakup pula anggota-anggota staf diplomatik misi; anggota-anggota staf diplomatik tidak saja mencakup anggota-anggota dinas diplomatik, tetapi juga atase-atase (para ahli yang diperbantukan dalam kedutaan), penasihat, dan anggota-anggota departemen lain, dengan syarat mereka berpangkat

diplomatik.17

Istilah pangkat diplomatik tidak dirusmuskan, tetapi dalam hubungan ini dipakai untuk menyebut pada serangkaian pangkat pada misi diplomatik, yang menurut tradisi memberi hak kepada pemegang hak-hak diplomasi dan kekebalan penuh. Meskipun tidak terdapat dalam Konvensi Wina, praktik diplomasi sehari-hari telah mengembangkan klasifikasi pejabat diplomatik yang dikenal dengan

gelar/kepangkatan dengan urutan yang lengkap sebagai berikut.18

1) Duta Besar

2) Minister

3) Minister Counsellor

4) Counsellor

17 Syahmin AK, op.cit, h. 57. 18Ibid, h. 55.


(40)

28

5) Sekretaris Pertama

6) Sekretaris Kedua

7) Sekretaris Ketiga

8) Atase: teknik, militer, kebudayaan, pendidikan, perdagangan,

pertanian dan perburuhan, dan lain-lain.

Mengenai praktik di Indonesia, sesuai penjelasan Pasal 33 UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan luar negeri yang juga mengacu pada Kongres Wina 1815, Kongres Aken 1818, Konvensi Wina 1961 dan praktik internasional, jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik yang berlaku di KBRI-KBRI di luar negeri adalah:

1) Duta besar;

2) Minister;

3) Minister Counsellor

4) Counsellor

5) Sekretaris Pertama

6) Sekretaris Kedua

7) Sekretaris Ketiga

8) Atase (attache)

Jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik termasuk penggunaan gelar duta besar diatur dengan keputusan menteri.


(41)

29

Pasal 14 sampai 18 Konvensi Wina 1961 memberi klasifikasi mengenai

pimpinan perutusan diplomatik menjadi tiga kelompok:19

1) Duta Besar (Ambassador) atau utusan diplomatik Paus (nuncios)

yang diakreditasikan kepada Kepala Negara dan pimpinan perutusan lainnya yang setingkat itu.

2) Duta, Minister dan Internuncios yang diakreditasikan kepada

Kepala Negara.

3) Kuasa Usaha (Charges d’affaire) yang diakreditasikan kepada

Menteri Luar Negeri.

Kecuali dalam masalah pengutamaan dan tata cara, tidak ada perbedaan antara pada pimpinan misi karena alasan penggolongannya. Dan golongan pimpinan misi yang ditunjuk harus disepakati diantara negara-negara. Penambahan gelar Duta Besar, sebagai pembeda dari duta, kepada pimpinan misi diplomatik bergantung pada berbagai macam faktor termasuk tingkatan negara terkait.

Sesuai Pasal 7 Konvensi Wina 1961, negara pengirim bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan ini merupakan penekanan terhadap prinsip umum hukum internasional bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima. Setelah adanya kesepakatan bagi pembukaan misi diplomatik tetap, maka terserah bagi negara pengirim untuk menentukan besarnya perwakilan, yaitu jumlah pejabat dan staf


(42)

30

yang harus ditempatkan di negara penerima atas dasar volume pekerjaan dan tingkat atau intensitas hubungan kedua negara. Mengenai besarnya staf perwakilan diplomatik disuatu negara, biasanya tergantung dari kesanggupan negara pengirim

dan pentingnya negara penerima, serta tingkat hubungan antara kedua negara.20

2.3.2 Konsep gedung perwakilan.

Mengenai gedung perwakilan diplomatik, Konvensi Wina 1961 memberi batasan yang jelas tentang pengertiannya. Menurut konvensi, gedung perwakilan merupakan gedung-gedung ataupun bagian-bagiannya dan tanah tempat didirikan, tanpa memperhatikan siapa pemiliknya yang digunakan untuk keperluan misi

termasuk rumah kediaman dari kepala perwakilan (the “premises of mission” are

the buildings or parts of buildings and the land ancillary threto, irrespective of ownership, used for the purposes of the mission including the residence of the head of the mission).21

Ketentuan diatas menyatakan bahwa gedung perwakilan diplomatik bukan hanya bangunan yang menjadi kantor perwakilan beserta bagian-bagian dari

bangunan tersebut namun juga mencakup tanah tempat didirikan (ancillary threto)

dan rumah kediaman dari kepala perwakilan diplomatik. Hal ini sejalan dengan

20 Syahmin AK., op.cit, h. 62 21 Pasal 1 (i) Konvensi Wina 1961


(43)

31

pendapat Satow yang mengatakan bahwa baik gedung perwakilan maupun rumah

kediaman diplomat, keduanya menurut hukum internasional diperlakukan sama.22

2.4 Cabang-cabang Hukum Internasional yang Membahas Tentang Perlindungan Hukum Bagi Perwakilan Diplomatik.

Dalam permasalahan ini, ada dua cabang hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik dalam perang, yaitu Hukum Diplomatik dan Hukum Humaniter

a. Hukum diplomatik.

Pada hakikatnya hukum diplomatik ini tidak lebih hanya merupakan bagian dari hukum internasional publik, dan mempunyai sebagian sumber yang sama, seperti kebiasaan-kebiasaan internasional, dan konvensi-konvensi internasional (baik bilateral maupun multilateral) yang ada. Sementara itu, menurut Jan

Osmanczyk:23

“Hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan internasional yang

terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan

22 Ernest Mason Satow, 1979, Guide to Diplomatic Practice, 5th edition, Longman Group

Ltd., London, h. 213. Melalui URL:

https://books.google.co.id/books?id=KWAUAAAAIAAJ&dq=Ernest%20Mason%20Satow%2C% 201979%2C%20Guide%20to%20Diplomatic%20Practice&hl=id&source=gbs_book_other_versio ns diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 18.50 WITA

23 Edmund Jan Osmanczyk, 1995, Encyclopedia of the United Nations and International

Agreement, Taylor and Francis, London. Melalui URL:

https://books.google.co.id/books?id=QqlFx7xHiSUC&dq=Edmund+Jan+Osmanczyk,+1995,+Enc yclopedia+of+the+United+Nations+and+International+Agreement&hl=id&source=gbs_navlinks_ s diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 19.43 WITA


(44)

32

kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dari

dinas diplomatik.”

Pada dasarnya, pengertian hukum diplomatik merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antarnegara, tugas-tugas dari perwakilan diplomatik, kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik, dan hal-hal lain yang diatur dalam konvensi-konvensi yang berkaitan dengan diplomasi. Hal ini diperkuat dengan apa yang telah ditulis oleh

Eileen Denza mengenai Diplomatic Law, pada hakikatnya hanya menyangkut

komentar terhadap Konvensi Wina 1961.24

Hukum diplomatik mengatur dengan tegas mengenai kekebalan dan kesitimewaan perwakilan diplomatik. Kekebalan dan keistimewaan ini

dikategorikan menjadi dua pengertian, yaitu Inviolability dan immunity.

Inviolability hanya diperuntukkan kekebalan terhadap organ-organ pemerintah atau alat-alat kekuasaan negara penerima, dan kekebalan terhadap segala gangguan yang merugikan serta hak untuk mendapatkan perlindungan dari aparat pemerintah

negara penerima. Sementara Immunity dimaksudkan sebagai kekebalan terhadap

yurisdiksi pengadilan negara pernerima baik dalam bidang hukum pidana maupun

bidang keperdataan.25

24 Syahmin AK., op.cit, h. 8 25Ibid, h. 119


(45)

33

Adanya pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi perwakilan diplomatik pada dasarnya merupakan hasil sejarah dunia diplomasi yang sudah lama, dimana pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan hukum

internasional.26 Dan sehubungan dengan hal tersebut, terdapat tiga teori mengenai

landasan hukum pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik di luar negeri,

yaitu sebagai berikut:27

a. Teori Eksteritorialitas. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik

dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negerinya, berada di luar wilayah akreditasi, walaupun sebenarnya ia berada di luar negeri dan melaksanakan

tugas-tugasnya disana. Demikian juga halnya dengan gedung perwakilan.28

b. Teori Representatif. Teori ini mengajarkan kita bahwa perwakilan

diplomatik mewakili negara pengirim dan kepala negaranya.29

c. Teori Kebutuhan Fungsional. Teori ini menyatakan bahwa keistimewaan

dan kekebalan diplomatik dan misi diplomatik hanya didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar. Teori inilah yang

diadopsi dalam mukadimah Konvensi Wina 1961.30

26Ibid, h. 116

27 William W. Bishop Jr., 1971, International Law, Cases and Materials, Little, 3rd Edition,

Little, Brown and Company, Boston and Toronto, h. 710. Melalui URL:

https://books.google.co.id/books?id=iuWTjgEACAAJ&dq=William+W.+Bishop+Jr.,+1971,+Inter national+Law,+Cases+and+Materials&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj8486XodPJAhWHVZQKH ToeA6UQ6AEIKDAC diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 22.43 WITA

28 Boer Mauna, op.cit, h. 547 29 Syahmin AK., op.cit, h. 117


(46)

34

Dalam konteks pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang, Hukum diplomatik tentunya mempunyai peran yang

besar. Khususnya ketentuan mengenai kekebalan dan keistimewaan (Immunity &

Inviolability) bagi perwakilan diplomatik yang tidak hanya diatur dalam Konvensi Wina 1961, tetapi juga terdapat dalam Konvensi New York 1973.

b. Hukum humaniter.

International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict atau biasa

disebut hukum humaniter berawal dari Hukum Perang (laws of war), yang

kemudian berkembang menjadi Hukum Sengketa Bersenjata (laws of armed

conflict).

Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut:31

1) Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, yaitu hukum yang mengatur dalam hal bagaimana Negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata.

2) Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi dua yaitu:

 Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of

war), atau Hague Laws

30Ibid


(47)

35

 Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi

korban perang, atau Geneva Laws

Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok,

yaitu:32

1) Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang dapat dipakai untuk

berperang (Hukum den Haag)

2) Hukum yang mengenai perlindungan terhadap golongan kombat dan

penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa)

Dalam hukum perang, dikenal suatu prinsip yang membagi penduduk (warga negara) negara yang sedang berperang atau yang sedang terlibat dalam suatu

pertikaian senjata (armed conflict) dalam dua kategori, yaitu golongan kombat dan

golongan yang harus dilindungi, dalam hal ini penduduk sipil (civilians). Golongan

kombat inilah yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities). Prinsip

membagi penduduk dalam dua golongan ini lazim disebut prinsip pembedaan atau distinction principle.33

Prinsip pembedaan ini tercermin dari Konvensi Jenewa IV tahun 1949 yang mengatur tentang orang-orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut, khususnya paragraf 1 dari Pasal 4 yang menyatakan bahwa orang-orang yang dilindungi dalam

32 Haryomataram, 1994, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University

Press, Surakarta, (selanjutnya disebut Haryomataram II), h. 1


(48)

36

konvensi ini adalah ‘Orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi adalah mereka

yang dalam suatu sengketa bersenjata atau peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga, ada dalam tangan suatu pihak dalam

sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan negara mereka.’

Sayangnya konvensi ini juga memberikan batasan terhadap orang-orang yang dilindungi, tepatnya di paragraf kedua pada pasal yang sama yang berbunyi:

“Warga negara suatu negara yang tidak terikat oleh konvensi tidak

dilindungi oleh konvensi. Warga negara suatu negara netral yang ada di wilayah yang berperang, serta warga negara dari suatu negara yang turut berperang, tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang dilindungi, selama negara mereka mempunyai perwakilan diplomatik biasa di negara

dalam tangan mana mereka berada.”

Pada tahun 1977 lahir protokol tambahan dari Konvensi Jenewa 1949 yang memuat beberapa ketentuan penting baru khususnya mengenai pengertian kombat, penduduk sipil, sasaran militer, dan sasaran sipil. Selain hal-hal tersebut masih ada beberapa ketentuan penting baru lainnya.

Dalam konteks pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang, prinsip pembedaan sangat diperlukan untuk mengetahui siapa dan objek apa saja yang dapat diserang dan siapa yang harus dilindungi dalam situasi konflik bersenjata atau perang.


(49)

37

Hubungan antara kedua cabang hukum internasional tersebut diatas dengan pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang dapat diuraikan sebagai berikut. Dalam hukum diplomatik, kepatuhan terhadap prinsip kekebalan dan keistimewaan diplomatik harus benar-benar dilakukan. Perwakilan diplomatik merupakan representasi dari negara pengirim beserta kepala negaranya, oleh karenanya perlakuan-perlakuan khusus terhadap mereka harus dijalankan dan tidak boleh dilanggar.

Salah satu prinsip fundamental dalam hukum humaniter adalah prinsip pembedaan. Golongan kombat tidak boleh menjadikan golongan nonkombat sebagai sasaran serangan. Terjadinya penyerangan terhadap golongan nonkombat sedah jelas menjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter.

Uraian pada sub-bab ini akan memberikan suatu landasan konseptual mengenai pembahasan masalah pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan

diplomatik di wilayah perang menurut hukum internasional dan

pertanggungjawaban hukum atas gangguan terhadap perwakilan diplomatik negara pengirim di wilayah perang berdasarkan hukum internasional.


(1)

kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dari dinas diplomatik.”

Pada dasarnya, pengertian hukum diplomatik merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antarnegara, tugas-tugas dari perwakilan diplomatik, kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik, dan hal-hal lain yang diatur dalam konvensi-konvensi yang berkaitan dengan diplomasi. Hal ini diperkuat dengan apa yang telah ditulis oleh Eileen Denza mengenai Diplomatic Law, pada hakikatnya hanya menyangkut komentar terhadap Konvensi Wina 1961.24

Hukum diplomatik mengatur dengan tegas mengenai kekebalan dan kesitimewaan perwakilan diplomatik. Kekebalan dan keistimewaan ini dikategorikan menjadi dua pengertian, yaitu Inviolability dan immunity. Inviolability hanya diperuntukkan kekebalan terhadap organ-organ pemerintah atau alat-alat kekuasaan negara penerima, dan kekebalan terhadap segala gangguan yang merugikan serta hak untuk mendapatkan perlindungan dari aparat pemerintah negara penerima. Sementara Immunity dimaksudkan sebagai kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan negara pernerima baik dalam bidang hukum pidana maupun bidang keperdataan.25

24 Syahmin AK., op.cit, h. 8 25Ibid, h. 119


(2)

Adanya pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi perwakilan diplomatik pada dasarnya merupakan hasil sejarah dunia diplomasi yang sudah lama, dimana pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan hukum internasional.26 Dan sehubungan dengan hal tersebut, terdapat tiga teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik di luar negeri, yaitu sebagai berikut:27

a. Teori Eksteritorialitas. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negerinya, berada di luar wilayah akreditasi, walaupun sebenarnya ia berada di luar negeri dan melaksanakan tugas-tugasnya disana. Demikian juga halnya dengan gedung perwakilan.28 b. Teori Representatif. Teori ini mengajarkan kita bahwa perwakilan

diplomatik mewakili negara pengirim dan kepala negaranya.29

c. Teori Kebutuhan Fungsional. Teori ini menyatakan bahwa keistimewaan dan kekebalan diplomatik dan misi diplomatik hanya didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar. Teori inilah yang diadopsi dalam mukadimah Konvensi Wina 1961.30

26Ibid, h. 116

27 William W. Bishop Jr., 1971, International Law, Cases and Materials, Little, 3rd Edition,

Little, Brown and Company, Boston and Toronto, h. 710. Melalui URL:

https://books.google.co.id/books?id=iuWTjgEACAAJ&dq=William+W.+Bishop+Jr.,+1971,+Inter national+Law,+Cases+and+Materials&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj8486XodPJAhWHVZQKH ToeA6UQ6AEIKDAC diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 22.43 WITA

28 Boer Mauna, op.cit, h. 547 29 Syahmin AK., op.cit, h. 117


(3)

Dalam konteks pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang, Hukum diplomatik tentunya mempunyai peran yang besar. Khususnya ketentuan mengenai kekebalan dan keistimewaan (Immunity & Inviolability) bagi perwakilan diplomatik yang tidak hanya diatur dalam Konvensi Wina 1961, tetapi juga terdapat dalam Konvensi New York 1973.

b. Hukum humaniter.

International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict atau biasa disebut hukum humaniter berawal dari Hukum Perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi Hukum Sengketa Bersenjata (laws of armed conflict).

Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut:31

1) Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, yaitu hukum yang mengatur dalam hal bagaimana Negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata.

2) Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi dua yaitu:

 Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war), atau Hague Laws

30Ibid


(4)

 Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang, atau Geneva Laws

Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu:32

1) Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang dapat dipakai untuk berperang (Hukum den Haag)

2) Hukum yang mengenai perlindungan terhadap golongan kombat dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa)

Dalam hukum perang, dikenal suatu prinsip yang membagi penduduk (warga negara) negara yang sedang berperang atau yang sedang terlibat dalam suatu pertikaian senjata (armed conflict) dalam dua kategori, yaitu golongan kombat dan golongan yang harus dilindungi, dalam hal ini penduduk sipil (civilians). Golongan kombat inilah yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities). Prinsip membagi penduduk dalam dua golongan ini lazim disebut prinsip pembedaan atau distinction principle.33

Prinsip pembedaan ini tercermin dari Konvensi Jenewa IV tahun 1949 yang mengatur tentang orang-orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut, khususnya paragraf 1 dari Pasal 4 yang menyatakan bahwa orang-orang yang dilindungi dalam

32 Haryomataram, 1994, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University

Press, Surakarta, (selanjutnya disebut Haryomataram II), h. 1


(5)

konvensi ini adalah ‘Orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi adalah mereka yang dalam suatu sengketa bersenjata atau peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga, ada dalam tangan suatu pihak dalam sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan negara mereka.’

Sayangnya konvensi ini juga memberikan batasan terhadap orang-orang yang dilindungi, tepatnya di paragraf kedua pada pasal yang sama yang berbunyi:

“Warga negara suatu negara yang tidak terikat oleh konvensi tidak dilindungi oleh konvensi. Warga negara suatu negara netral yang ada di wilayah yang berperang, serta warga negara dari suatu negara yang turut berperang, tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang dilindungi, selama negara mereka mempunyai perwakilan diplomatik biasa di negara dalam tangan mana mereka berada.”

Pada tahun 1977 lahir protokol tambahan dari Konvensi Jenewa 1949 yang memuat beberapa ketentuan penting baru khususnya mengenai pengertian kombat, penduduk sipil, sasaran militer, dan sasaran sipil. Selain hal-hal tersebut masih ada beberapa ketentuan penting baru lainnya.

Dalam konteks pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang, prinsip pembedaan sangat diperlukan untuk mengetahui siapa dan objek apa saja yang dapat diserang dan siapa yang harus dilindungi dalam situasi konflik bersenjata atau perang.


(6)

Hubungan antara kedua cabang hukum internasional tersebut diatas dengan pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang dapat diuraikan sebagai berikut. Dalam hukum diplomatik, kepatuhan terhadap prinsip kekebalan dan keistimewaan diplomatik harus benar-benar dilakukan. Perwakilan diplomatik merupakan representasi dari negara pengirim beserta kepala negaranya, oleh karenanya perlakuan-perlakuan khusus terhadap mereka harus dijalankan dan tidak boleh dilanggar.

Salah satu prinsip fundamental dalam hukum humaniter adalah prinsip pembedaan. Golongan kombat tidak boleh menjadikan golongan nonkombat sebagai sasaran serangan. Terjadinya penyerangan terhadap golongan nonkombat sedah jelas menjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter.

Uraian pada sub-bab ini akan memberikan suatu landasan konseptual mengenai pembahasan masalah pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang menurut hukum internasional dan pertanggungjawaban hukum atas gangguan terhadap perwakilan diplomatik negara pengirim di wilayah perang berdasarkan hukum internasional.