Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Patriarki dari Sudut Pandang Teori Struktural-Fungsionalisme Tokoh-Tokoh Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362008064 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Film pertama kali ditemukan pada abad 19, tetapi memiliki fungsi yang sama dengan
media lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak,
dan sajian teknis lainnya pada masyarakat umum. Kehadiran film sebagian merupakan respon
terhadap “penemuan” waktu luang di luar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan
menikmati waktu senggang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga. Jadi, film
membuka kemungkinan bagi kelas pekerja untuk menikmati unsur budaya yang sebelumnya
telah dinikmati oleh orang-orang yang berbeda di “atas” mereka. Dengan demikian, jika
ditinjau dari segi perkembangan fenomenalnya, akan terbukti bahwa peran yang dimainkan
oleh film dalam memenuhi kebutuhan tersembunyi memang sangat besar (McQuail, 1987 :
13).
Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang
sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak
dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Film banyak diyakini orang sebagai
media hiburan, sebagai pelepas beban hidup sehari-hari. Tayangan film yang menyajikan
berbagai tema memang menjadi pilihan tersendiri. Film bisa menjadi media pemahaman baru
bagi yang menontonnya. Bahkan film dipercaya menjadi media pencerdas bangsa. Karena itu,
penting bagi para pembuat film untuk membuat suatu sajian yang cerdas dan tidak hanya
untuk hiburan semata. Demikian pula untuk khalayak atau pemirsa diharapkan mampu
menjadi khalayak yang aktif dan selektif, karena hal tersebut merupakan langkah maju dalam
mempercayai bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki inteligensi dan otonom dalam
menggunakan media massa. Menurut Littlejohn (1996 : 333), khalayak yang aktif dipercaya
sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence),
atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri.
Sekarang ini film Indonesia sudah semakin banyak, dengan berbagai variasi genre dan
tema. Salah satu tema yang menarik untuk diangkat adalah tentang perempuan, dan
bagaimana nasib mereka di bawah kekuasaan laki-laki. Hal ini penting mengingat perbedaan
antara laki-laki dan perempuan selalu dijadikan masalah. Berbagai film kini sudah mulai
menampilkan sosok perempuan yang tidak hanya berada di sektor domestik (mengurusi
1
rumah tangga, merawat anak, melayani suami) seperti dalam film “Berbagi Suami”, “Get
Married”, “Perempuan Punya Cerita” hingga “Mereka Bilang, Saya Monyet!”. Perempuan
juga digambarkan di sektor publik (mencari nafkah) seperti dalam film “Arisan!”,
“Mendadak Dangdut”, hingga “The Photograph”. Artinya bahwa tokoh perempuan dalam
film-film tersebut digambarkan telah memiliki hak dan peran yang sama dengan laki-laki.
Namun tidak dapat dipungkiri juga masih adanya film-film yang dianggap mengeksploitasi
kaum perempuan.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa selama ini perempuan sering menjadi korban
ketidakadilan, hingga muncul tindak kekerasan, baik fisik maupun psikis. Sekalipun sudah
berbagai macam cara untuk mencegah terjadinya kekerasan, namun tetap saja kekerasan
terhadap perempuan semakin tinggi dari tahun ke tahunnya. Hal ini menjadi fenomena
tersendiri dan mulai banyak diangkat ke dalam media massa, terutama film. Terdapat satu
terobosan baru di dunia perfilman Indonesia, yaitu film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Sebuah
karya film panjang dari seorang sutradara bernama Robby Ertanto Soediskam ini
mengisahkan tujuh tokoh perempuan dengan latar belakang kehidupan pribadi mereka
masing-masing dimana mereka pula mengalami kekecewaan bahkan penindasan baik secara
psikis maupun fisik dari perlakuan laki-laki terdekatnya.
Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” dimulai dengan menceritakan tentang kehidupan
seorang dokter kandungan bernama Kartini (diperankan oleh Jajang C. Noer) yang selalu ikut
terhanyut akan kehidupan setiap pasien yang ditanganinya. Ia menangani bermacam-macam
pasien dengan beragam alasan kedatangan dan masalahnya masing-masing. Lily (diperankan
oleh Olga Lidya) ,seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, datang
untuk memeriksa keadaan kandungannya yang sudah cukup besar. Lily memiliki seorang
suami yang mengidap kelainan seks. Ia selalu datang ke tempat praktek Kartini dalam
keadaan memar di muka dan sekujur tubuhnya. Pasien lainnya pun beragam, mulai dari
seorang PSK yang bernama Yanti (diperankan oleh Happy Salma), yang datang bersama
‘anjelo’nya (diperankan oleh Rangga Djoned), yang memeriksakan penyakit yang
berhubungan dengan organ kewanitaannya. Sampai dengan seorang murid SMP yang
bernama Rara (diperankan oleh Tamara Tyasmara) yang hendak memastikan apakah dia
hamil karena sebelumnya telah berhubungan seks dengan pacarnya, Acin (diperankan oleh
Albert Halim), seorang murid SMA. Karena penggambaran alur cerita yang menarik dan
sempurnanya peran yang dimainkan oleh para pemain di dalamnya, film ini banyak
2
mendapatkan penghargaan yaitu 6 nominasi dan 1 penghargaan dalam ajang Festival Film
Indonesia (FFI) tahun 2010 dan memenangkan 2 piala sekaligus dalam Indonesian Movie
Awards (IMA) di tahun 2011 silam. Tidak seperti tokoh perempuan pada umumnya yang
hanya menjadi pemanis dan membuat indah sebuah film, tujuh tokoh perempuan dalam film
yang diputar perdana di Melbourne, Australia ini digambarkan sebagai sosok yang tertindas
dan diperlakukan tidak adil dalam kedudukannya sebagai perempuan terutama dalam hal
percintaan. Tokoh-tokoh perempuan ini juga tertantang untuk dapat bangkit dari
keterpurukannya dalam dominasi laki-laki, dengan caranya sendiri. Tema yang diangkat
sutradara Robby dalam film ini yaitu masalah perempuan, dalam hal ini konsep gender.
Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita ini pernah diteliti sebelumnya oleh Falisianus Syamsu
Ismanto dari sudut pandang feminisme (Ismanto, 2012). Ismanto menilai bahwa film ini
banyak memperlihatkan adegan-adegan dimana posisi laki-laki selalu berada di atas
perempuan, namun tokoh-tokoh perempuan dalam film ini berusaha untuk menyetarakan
nasib dan perannya sama seperti laki-laki. Ismanto menyimpulkan film ini hendak
menggambarkan bahwa perempuan selalu tertindas dan mengalami kekerasan baik itu secara
fisik maupun psikis akibat adanya sistem patriarki. Akan tetapi, benarkah penindasan dan
kekerasan yang dialami perempuan yang digambarkan dalam film tersebut merupakan akibat
dari sistem patriarki? Penulis tidak sependapat dengan kesimpulan penelitian dari saudara
Ismanto tersebut. Menurut penulis tindakan kekerasan baik secara fisik maupun psikis adalah
suatu kejadian yang tidak selalu terkait dengan sistem patriarki.
Mirriam M. Johnson (1993), menekankan bahwa perbedaan peran perempuan dan
laki-laki merupakan tatanan struktur sosial untuk memperoleh keseimbangan. Dengan
merujuk pada teori struktural-fungsionalisme dari Talcott Parsons, Mirriam M. Johonson
mengemukakan bahwa dalam struktur sosial tersebut terdapat peran-peran yang menunjang
adanya keseimbangan yang tercipta dari keteraturan sosial. Tatanan tidak sama dengan
kesetaraan yang sering diungkapkan oleh feminisme liberal. Tatanan (equilibrium)
merupakan sebuah penempatan peran untuk mempermudah proses kehidupan sosial dan
menjaga keseimbangannya. Talcott Parsons menilai bahwa pembagian peran secara seksual
adalah suatu yang wajar (Umar, 1999: 53). Artinya bahwa konflik-konflik yang terjadi antara
perempuan dan laki-laki dalam masyarakat (seperti tergambar dalam film ini) dikarenakan
adanya kesalahan persepsi dalam pembagian peran secara seksual.
3
Konsep patriarki mula-mula digunakan oleh Max Weber yang mengacu pada
bentukan sistem sosial politik yang menggambarkan peran dominan ayah dalam lingkup
keluarga inti, keluarga luas, dan lingkup publik seperti ekonomi. Artinya, sejak seseorang
masih kecil pun konsep ini telah diperkenalkan. Sebuah keluarga tidak akan menjadi sebuah
keluarga apabila tidak ada peran ibu rumah tangga sebagai unit kasih sayang dalam suatu
kesatuan rumah tangga. Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi pada seorang anak yang
kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Telah banyak kita temui dalam masyarakat
luas, kenakalan remaja yang disebabkan oleh pecahnya sebuah keluarga. Seorang anak lebih
memilih hidup di jalanan dari pada berada di rumah yang sepi karena kedua orang tuanya
sama-sama sibuk bekerja. Banyak kita temui seorang anak terkena sindrom narkoba
dikarenakan kurangnya perhatian orang tua, dan banyaknya perceraian yang menyebabkan
anak menjadi korban. Hal ini disebabkan kedua orang tuanya menyepelekan kehidupan dalam
rumah tangga dan lebih mementingkan karir di lingkungan publik. Inilah yang telah kita
saksikan sendiri apabila tak ada pembagian peran dalam kehidupan rumah tangga. Oleh
karena itu pembagian peran laki-laki dan perempuan bukan saja penting tetapi merupakan
unsur utama dalam sistem sosial. Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak
berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan peran.
Banyak media massa terutama film dan pengamat/peneliti film melihat konflikkonflik yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dari sudut pandang yang masih sempit.
Di antara mereka melihat konflik sebagai dominasi atau penindasan dari kaum tertentu.
Padahal jika diteliti lebih lanjut akan diperoleh analisis dengan pemikiran yang lebih luas,
artinya bahwa kita tidak perlu menyalahkan satu pihak dan membenarkan pihak lainnya.
Konflik gender antara perempuan dan laki-laki sebagai suatu struktur sosial akan dapat
dihindari jika anggota dalam struktur tersebut menjalankan perannya masing-masing dengan
baik. Sehingga dalam kenyataannya, kita tidak bisa menyalahkan sistem patriarki sebagai
pemicu konflik ataupun kekerasan dengan kaum perempuan sebagai korbannya.
Dari penggambaran realitas di atas, peneliti tertarik untuk meneliti kembali
representasi tokoh-tokoh dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita dari sudut pandang yang
berbeda dari peneliti terdahulu. Penelitian ini diharapkan mampu membuka pikiran
khalayak/pemirsa serta pengamat film lainnya dalam menggunakan media massa khususnya
film secara lebih aktif dan kritis. Penelitian ini merupakan penelitian lanjut dari skripsi
Falisianus Syamsu Ismanto (mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, UKSW
4
Salatiga), yang akan berusaha memaparkan bagaimana adegan-adegan yang diperankan oleh
tokoh dalam objek penelitian yaitu film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, tidak hanya dari sudut
pandang feminisme yang selalu menekan dominasi kaum laki-laki sebagai penyebabnya,
tetapi dari sudut pandang berbeda yang lebih luas serta tidak menyalahkan satu pihak saja.
Dengan pertimbangan bahwa penelitian ini merupakan penelitian isi pesan
komunikasi suatu media, dalam hal ini yaitu film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, maka peneliti
menggunakan metode analisis isi kualitatif yang memiliki kemampuan dalam menganalisa
secara kritis dan lebih aktif terhadap subjek penelitian atau pesan dalam film. Metode analisis
isi kualitatif telah terbukti berhasil untuk meneliti dokumen (dalam hal ini film) berupa teks,
gambar, simbol, dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks sosial tertentu.
Analisis isi yang sifatnya kualitatif tidak hanya mampu mengidentifikasi pesan-pesan
manifest (tampak), melainkan juga latent messages (tidak tampak) dari sebuah dokumen yang
diteliti. Metode ini juga lebih mampu melihat kecenderungan isi media berdasarkan contextnya, process-nya, dan emergence-nya. Sehingga diharapkan peneliti mendapatkan hasil
terbaik mengenai representasi patriarki dari sudut pandang teori struktural-fungsionalisme
tokoh-tokoh dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
5
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: Bagaimana representasi patriarki dari sudut pandang teori strukturalfungsionalisme tokoh-tokoh dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ?
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian ini adalah untuk
menggambarkan representasi patriarki dari sudut pandang teori struktural-fungsionalisme
tokoh-tokoh dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah wawasan dan
pengetahuan bagi peneliti selaku mahasiswa konsentrasi broadcasting yang ingin
menganalisa kajian tentang perempuan, terutama mengenai konsep patriarki dalam
masyarakat modern dengan metode analisis isi. Lebih spesifik lagi, peneliti ingin mengkaji
film ini menjadi satu bentuk pembelajaran tentang maraknya masalah ketidakadilan gender di
Indonesia. Selain itu, penulis juga ingin membuktikan bahwa film jangan hanya dianggap
sebagai hiburan semata, namun dipahami sebagai suatu bentuk pendidikan dari salah satu
fungsi media massa dengan melihatnya secara lebih luas.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah supaya khalayak/masyarakat dapat
mengetahui sisi lain dari konsep patriarki yang ada, terutama tatanan antara perempuan
dengan laki-laki sebagai sebuah struktur sosial. Bagi akademik penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi referensi bagi mahasiswa yang ingin mempelajari dan meneliti lebih jauh
mengenai konsep patriarki atau perempuan, terutama di media massa. Sedangkan bagi dunia
perfilman sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi siapa saja yang ingin
membuat film supaya lebih memperhatikan dalam mengangkat isu-isu sosial dalam
masyarakat, hingga menghasilkan sebuah karya yang cerdas dan bermutu, serta menjadi
sebuah pembelajaran tersendiri bagi penikmatnya. Diharapkan penelitian ini juga dapat
menunjukkan bahwa sebuah film dapat memuat berbagai macam makna atau pesan mengenai
kondisi sosial di sekitar kita yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah isu tentang
patriarki dan pandangan yang lebih luas dan kritis dari kultur ini.
6
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Film pertama kali ditemukan pada abad 19, tetapi memiliki fungsi yang sama dengan
media lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak,
dan sajian teknis lainnya pada masyarakat umum. Kehadiran film sebagian merupakan respon
terhadap “penemuan” waktu luang di luar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan
menikmati waktu senggang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga. Jadi, film
membuka kemungkinan bagi kelas pekerja untuk menikmati unsur budaya yang sebelumnya
telah dinikmati oleh orang-orang yang berbeda di “atas” mereka. Dengan demikian, jika
ditinjau dari segi perkembangan fenomenalnya, akan terbukti bahwa peran yang dimainkan
oleh film dalam memenuhi kebutuhan tersembunyi memang sangat besar (McQuail, 1987 :
13).
Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang
sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak
dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Film banyak diyakini orang sebagai
media hiburan, sebagai pelepas beban hidup sehari-hari. Tayangan film yang menyajikan
berbagai tema memang menjadi pilihan tersendiri. Film bisa menjadi media pemahaman baru
bagi yang menontonnya. Bahkan film dipercaya menjadi media pencerdas bangsa. Karena itu,
penting bagi para pembuat film untuk membuat suatu sajian yang cerdas dan tidak hanya
untuk hiburan semata. Demikian pula untuk khalayak atau pemirsa diharapkan mampu
menjadi khalayak yang aktif dan selektif, karena hal tersebut merupakan langkah maju dalam
mempercayai bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki inteligensi dan otonom dalam
menggunakan media massa. Menurut Littlejohn (1996 : 333), khalayak yang aktif dipercaya
sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence),
atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri.
Sekarang ini film Indonesia sudah semakin banyak, dengan berbagai variasi genre dan
tema. Salah satu tema yang menarik untuk diangkat adalah tentang perempuan, dan
bagaimana nasib mereka di bawah kekuasaan laki-laki. Hal ini penting mengingat perbedaan
antara laki-laki dan perempuan selalu dijadikan masalah. Berbagai film kini sudah mulai
menampilkan sosok perempuan yang tidak hanya berada di sektor domestik (mengurusi
1
rumah tangga, merawat anak, melayani suami) seperti dalam film “Berbagi Suami”, “Get
Married”, “Perempuan Punya Cerita” hingga “Mereka Bilang, Saya Monyet!”. Perempuan
juga digambarkan di sektor publik (mencari nafkah) seperti dalam film “Arisan!”,
“Mendadak Dangdut”, hingga “The Photograph”. Artinya bahwa tokoh perempuan dalam
film-film tersebut digambarkan telah memiliki hak dan peran yang sama dengan laki-laki.
Namun tidak dapat dipungkiri juga masih adanya film-film yang dianggap mengeksploitasi
kaum perempuan.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa selama ini perempuan sering menjadi korban
ketidakadilan, hingga muncul tindak kekerasan, baik fisik maupun psikis. Sekalipun sudah
berbagai macam cara untuk mencegah terjadinya kekerasan, namun tetap saja kekerasan
terhadap perempuan semakin tinggi dari tahun ke tahunnya. Hal ini menjadi fenomena
tersendiri dan mulai banyak diangkat ke dalam media massa, terutama film. Terdapat satu
terobosan baru di dunia perfilman Indonesia, yaitu film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Sebuah
karya film panjang dari seorang sutradara bernama Robby Ertanto Soediskam ini
mengisahkan tujuh tokoh perempuan dengan latar belakang kehidupan pribadi mereka
masing-masing dimana mereka pula mengalami kekecewaan bahkan penindasan baik secara
psikis maupun fisik dari perlakuan laki-laki terdekatnya.
Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” dimulai dengan menceritakan tentang kehidupan
seorang dokter kandungan bernama Kartini (diperankan oleh Jajang C. Noer) yang selalu ikut
terhanyut akan kehidupan setiap pasien yang ditanganinya. Ia menangani bermacam-macam
pasien dengan beragam alasan kedatangan dan masalahnya masing-masing. Lily (diperankan
oleh Olga Lidya) ,seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, datang
untuk memeriksa keadaan kandungannya yang sudah cukup besar. Lily memiliki seorang
suami yang mengidap kelainan seks. Ia selalu datang ke tempat praktek Kartini dalam
keadaan memar di muka dan sekujur tubuhnya. Pasien lainnya pun beragam, mulai dari
seorang PSK yang bernama Yanti (diperankan oleh Happy Salma), yang datang bersama
‘anjelo’nya (diperankan oleh Rangga Djoned), yang memeriksakan penyakit yang
berhubungan dengan organ kewanitaannya. Sampai dengan seorang murid SMP yang
bernama Rara (diperankan oleh Tamara Tyasmara) yang hendak memastikan apakah dia
hamil karena sebelumnya telah berhubungan seks dengan pacarnya, Acin (diperankan oleh
Albert Halim), seorang murid SMA. Karena penggambaran alur cerita yang menarik dan
sempurnanya peran yang dimainkan oleh para pemain di dalamnya, film ini banyak
2
mendapatkan penghargaan yaitu 6 nominasi dan 1 penghargaan dalam ajang Festival Film
Indonesia (FFI) tahun 2010 dan memenangkan 2 piala sekaligus dalam Indonesian Movie
Awards (IMA) di tahun 2011 silam. Tidak seperti tokoh perempuan pada umumnya yang
hanya menjadi pemanis dan membuat indah sebuah film, tujuh tokoh perempuan dalam film
yang diputar perdana di Melbourne, Australia ini digambarkan sebagai sosok yang tertindas
dan diperlakukan tidak adil dalam kedudukannya sebagai perempuan terutama dalam hal
percintaan. Tokoh-tokoh perempuan ini juga tertantang untuk dapat bangkit dari
keterpurukannya dalam dominasi laki-laki, dengan caranya sendiri. Tema yang diangkat
sutradara Robby dalam film ini yaitu masalah perempuan, dalam hal ini konsep gender.
Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita ini pernah diteliti sebelumnya oleh Falisianus Syamsu
Ismanto dari sudut pandang feminisme (Ismanto, 2012). Ismanto menilai bahwa film ini
banyak memperlihatkan adegan-adegan dimana posisi laki-laki selalu berada di atas
perempuan, namun tokoh-tokoh perempuan dalam film ini berusaha untuk menyetarakan
nasib dan perannya sama seperti laki-laki. Ismanto menyimpulkan film ini hendak
menggambarkan bahwa perempuan selalu tertindas dan mengalami kekerasan baik itu secara
fisik maupun psikis akibat adanya sistem patriarki. Akan tetapi, benarkah penindasan dan
kekerasan yang dialami perempuan yang digambarkan dalam film tersebut merupakan akibat
dari sistem patriarki? Penulis tidak sependapat dengan kesimpulan penelitian dari saudara
Ismanto tersebut. Menurut penulis tindakan kekerasan baik secara fisik maupun psikis adalah
suatu kejadian yang tidak selalu terkait dengan sistem patriarki.
Mirriam M. Johnson (1993), menekankan bahwa perbedaan peran perempuan dan
laki-laki merupakan tatanan struktur sosial untuk memperoleh keseimbangan. Dengan
merujuk pada teori struktural-fungsionalisme dari Talcott Parsons, Mirriam M. Johonson
mengemukakan bahwa dalam struktur sosial tersebut terdapat peran-peran yang menunjang
adanya keseimbangan yang tercipta dari keteraturan sosial. Tatanan tidak sama dengan
kesetaraan yang sering diungkapkan oleh feminisme liberal. Tatanan (equilibrium)
merupakan sebuah penempatan peran untuk mempermudah proses kehidupan sosial dan
menjaga keseimbangannya. Talcott Parsons menilai bahwa pembagian peran secara seksual
adalah suatu yang wajar (Umar, 1999: 53). Artinya bahwa konflik-konflik yang terjadi antara
perempuan dan laki-laki dalam masyarakat (seperti tergambar dalam film ini) dikarenakan
adanya kesalahan persepsi dalam pembagian peran secara seksual.
3
Konsep patriarki mula-mula digunakan oleh Max Weber yang mengacu pada
bentukan sistem sosial politik yang menggambarkan peran dominan ayah dalam lingkup
keluarga inti, keluarga luas, dan lingkup publik seperti ekonomi. Artinya, sejak seseorang
masih kecil pun konsep ini telah diperkenalkan. Sebuah keluarga tidak akan menjadi sebuah
keluarga apabila tidak ada peran ibu rumah tangga sebagai unit kasih sayang dalam suatu
kesatuan rumah tangga. Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi pada seorang anak yang
kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Telah banyak kita temui dalam masyarakat
luas, kenakalan remaja yang disebabkan oleh pecahnya sebuah keluarga. Seorang anak lebih
memilih hidup di jalanan dari pada berada di rumah yang sepi karena kedua orang tuanya
sama-sama sibuk bekerja. Banyak kita temui seorang anak terkena sindrom narkoba
dikarenakan kurangnya perhatian orang tua, dan banyaknya perceraian yang menyebabkan
anak menjadi korban. Hal ini disebabkan kedua orang tuanya menyepelekan kehidupan dalam
rumah tangga dan lebih mementingkan karir di lingkungan publik. Inilah yang telah kita
saksikan sendiri apabila tak ada pembagian peran dalam kehidupan rumah tangga. Oleh
karena itu pembagian peran laki-laki dan perempuan bukan saja penting tetapi merupakan
unsur utama dalam sistem sosial. Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak
berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan peran.
Banyak media massa terutama film dan pengamat/peneliti film melihat konflikkonflik yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dari sudut pandang yang masih sempit.
Di antara mereka melihat konflik sebagai dominasi atau penindasan dari kaum tertentu.
Padahal jika diteliti lebih lanjut akan diperoleh analisis dengan pemikiran yang lebih luas,
artinya bahwa kita tidak perlu menyalahkan satu pihak dan membenarkan pihak lainnya.
Konflik gender antara perempuan dan laki-laki sebagai suatu struktur sosial akan dapat
dihindari jika anggota dalam struktur tersebut menjalankan perannya masing-masing dengan
baik. Sehingga dalam kenyataannya, kita tidak bisa menyalahkan sistem patriarki sebagai
pemicu konflik ataupun kekerasan dengan kaum perempuan sebagai korbannya.
Dari penggambaran realitas di atas, peneliti tertarik untuk meneliti kembali
representasi tokoh-tokoh dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita dari sudut pandang yang
berbeda dari peneliti terdahulu. Penelitian ini diharapkan mampu membuka pikiran
khalayak/pemirsa serta pengamat film lainnya dalam menggunakan media massa khususnya
film secara lebih aktif dan kritis. Penelitian ini merupakan penelitian lanjut dari skripsi
Falisianus Syamsu Ismanto (mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, UKSW
4
Salatiga), yang akan berusaha memaparkan bagaimana adegan-adegan yang diperankan oleh
tokoh dalam objek penelitian yaitu film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, tidak hanya dari sudut
pandang feminisme yang selalu menekan dominasi kaum laki-laki sebagai penyebabnya,
tetapi dari sudut pandang berbeda yang lebih luas serta tidak menyalahkan satu pihak saja.
Dengan pertimbangan bahwa penelitian ini merupakan penelitian isi pesan
komunikasi suatu media, dalam hal ini yaitu film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, maka peneliti
menggunakan metode analisis isi kualitatif yang memiliki kemampuan dalam menganalisa
secara kritis dan lebih aktif terhadap subjek penelitian atau pesan dalam film. Metode analisis
isi kualitatif telah terbukti berhasil untuk meneliti dokumen (dalam hal ini film) berupa teks,
gambar, simbol, dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks sosial tertentu.
Analisis isi yang sifatnya kualitatif tidak hanya mampu mengidentifikasi pesan-pesan
manifest (tampak), melainkan juga latent messages (tidak tampak) dari sebuah dokumen yang
diteliti. Metode ini juga lebih mampu melihat kecenderungan isi media berdasarkan contextnya, process-nya, dan emergence-nya. Sehingga diharapkan peneliti mendapatkan hasil
terbaik mengenai representasi patriarki dari sudut pandang teori struktural-fungsionalisme
tokoh-tokoh dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
5
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: Bagaimana representasi patriarki dari sudut pandang teori strukturalfungsionalisme tokoh-tokoh dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ?
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian ini adalah untuk
menggambarkan representasi patriarki dari sudut pandang teori struktural-fungsionalisme
tokoh-tokoh dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah wawasan dan
pengetahuan bagi peneliti selaku mahasiswa konsentrasi broadcasting yang ingin
menganalisa kajian tentang perempuan, terutama mengenai konsep patriarki dalam
masyarakat modern dengan metode analisis isi. Lebih spesifik lagi, peneliti ingin mengkaji
film ini menjadi satu bentuk pembelajaran tentang maraknya masalah ketidakadilan gender di
Indonesia. Selain itu, penulis juga ingin membuktikan bahwa film jangan hanya dianggap
sebagai hiburan semata, namun dipahami sebagai suatu bentuk pendidikan dari salah satu
fungsi media massa dengan melihatnya secara lebih luas.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah supaya khalayak/masyarakat dapat
mengetahui sisi lain dari konsep patriarki yang ada, terutama tatanan antara perempuan
dengan laki-laki sebagai sebuah struktur sosial. Bagi akademik penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi referensi bagi mahasiswa yang ingin mempelajari dan meneliti lebih jauh
mengenai konsep patriarki atau perempuan, terutama di media massa. Sedangkan bagi dunia
perfilman sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi siapa saja yang ingin
membuat film supaya lebih memperhatikan dalam mengangkat isu-isu sosial dalam
masyarakat, hingga menghasilkan sebuah karya yang cerdas dan bermutu, serta menjadi
sebuah pembelajaran tersendiri bagi penikmatnya. Diharapkan penelitian ini juga dapat
menunjukkan bahwa sebuah film dapat memuat berbagai macam makna atau pesan mengenai
kondisi sosial di sekitar kita yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah isu tentang
patriarki dan pandangan yang lebih luas dan kritis dari kultur ini.
6