Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Tentang Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362007022 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang menggunakan analisis framing sejauh ini telah banyak dilakukan, namun yang paling banyak diteliti dengan analisis framing adalah media cetak, dalam hal ini surat kabar. Hal itu terlihat dari penelitian terdahulu seperti uruaian dibawah ini:

Fista Novianti (2008), dengan judul Konstruksi Berita TV Lokal Atas Kasus Persengketaan Lahan (Analisis framing pemberitaan kasus pucung pada tvku Udinus dan tv Borobudur). Tujuan dari penelitian ini mau menggambarkan konstruksi (framing) yang muncul dalam pemberitaan kasus pucung pada media TVKU dan TVB, dan menggambarkan dinamika kinerja wartawan dan redaksi (TVKU dan TVB). Metode yang digunakan adalah kualitatif eksplanatoris dan deskriptif, dengan model

framing Robert N.Entman. Hasil dari penelitian didapatkan bahwa framing

(konstruksi) yang muncul dalam pemberitaan wartawan dan redaksi TVB dan TVKU cenderung berbeda meskipun membingkai dalam kasus yang sama yaitu kasus pucung. Kemudian penelitian kedua dilakukan oleh Anna Marie Happy Handayani (2009), dengan judul Analisis Framing Dalam Majalah Gadis Periode 2004-2008 (analisis rubrik versus dan rubrik kata cowok mengenai konsep kecantikan wanita). Tujuan dari penelitian ini mau menjelaskan perhubungan isi dan rubrik dalam majalah


(2)

Gadis dari 2004-2008, dan bagaimana konstruksi mengenai kecantikkan wanita yang ditampilkan dalam rubrik versus dan kata cowok. Metode yang digunakan kualitaif deskriptif, dengan model framing William A.Gamson. Hasil dari penelitian ini, diperoleh bahwa dari tahun ketahun majalah Gadis mengalami perkembangan terutama perkembangan isi rubrik dalam Majalah Gadis, serta rubrik kata cowok membentuk konstruksi bahwa kaum pria mempunyai kekuasaan terhadap wanita. Gadis mengalami ambiguitas dalam menyampaikan pesan kepada pembaca.

Penelitian yang ketiga dilakukan oleh Wika Septiani (2011), dengan judul Pencitraan Kasus Prita Mulyasari Pada Koran Kompas (analisis framing teks berita kompas edisi 4 juni-31 desember 2009). Tujuan dari penelitian ini mau mengatahui bagaimana surat kabar melakukan pencitraan terhadap kasus Prita Mulyasari. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan model framing Zhongdang Pan and Gerald M.Kosicki. Kemudian hasil dari penelitian ini diketahui bahwa, kompas dalam pemberitaanya netral, berdasarkan fakta dan membedah kasus tersebut secara kritis dan tetap pada prinsipnya sebagai media yang netral.

Selanjutnya penelitian keempat dilakukan oleh Lusi Gresita Prasela (2010), dengan judul Berita Penayangan Tarian Pendet Dalam Iklan Visit Malaysia year 2009 (analisis framing tentang berita penayangan tarian pendet pada situs berita online okezone.com dan detik.com). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembingkaian pada situs berita online tentang pemberitaan penayangan tarian pendet dalam iklan visit Malaysia year 2009 lalu pada okezone.com dan detik.com. Metode yang digunakan deskriptif kualitatif, dengan perangkat framing Robert N. Entman, dan teori


(3)

penjaga gerbang (Gatekeeper Theory). Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukkan bahwa, media okezone.com memberikan pemberitaan yang sifatnya provokatif, sedangkan detik.com memberikan pemberitaan yang bersifat solutif.

Berdasarkan penelitaian terdahulu, bisa dikatakan bahwa analisis framing bisa digunakan dalam berbagai penelitian media, dan model yang digunakan juga bisa bervariasi walaupun dalam satu objek, (surat kabar) ataupun media lainnya seperti televisi (tv) dan iklan ataupun media massa film.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Realitas Sebagai Hasil Konstruksi

Berger dan Lucman, dalam Bungin (2007:191) memisahkan kenyataan dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Pandangan Berger dan Lucman ini diperjelas oleh Eriyanto (2002:16), bahwa realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, dan tidak juga diturunkan oleh Tuhan tetapi sebaliknya dibentuk dan di konstruksi. Sebab setiap orang mempunyai pengalaman, prefrensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Eriyanto (2002:19-36) mendifinisikan media dan berita dalam paradigma konstruksionis sebagai berikut: 1. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi


(4)

Realitas itu besifat subjektif, realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi sudut pandang tertentu dari wartawan. Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal ambil dan menjadi bahan dari berita. Fakta atau realitas pada dasarnya dikonstruksi. Eriyanto dalam tahap pertama ini menekankan, bahwa fakta itu merupakan hasil dari konstruksi atas realitas, sebab kebenaran suatu fakta bersifat relatif berlaku sesuai konteks tertentu.

2. Media adalah agen konstruksi

Dalam tahap ini media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendifenisikan realitas. Lewat bahasa yang dipakai, media dalam pemberitaanya dapat membingkai peristiwa tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak dapat memilihat dan memahami peristiwa dalam kaca mata tertentu. Dalam tahap ini Eriyanto lebih menekankan kepada media sebagai agen konstuksi pesan.

3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas

Berita itu diebaratkan seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita adalah hasil konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu disajikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Dalam tahap ini Eriyanto menekankan bahwa berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas, karena berita yang terbentuk merupakan konstruksi atas realitas.


(5)

4. Berita bersifat subjektif atau konstruksi atas realitas

Berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan realitas yang berbeda pula. Kalau ada perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya, maka tidak dianggap sebagai kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas realitas. Penempatan sumber yang menonjol dibandingkan dengan sumber lain, menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain,liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain, tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok. Semuanya tidaklah dianggap sebagai kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan. Dalam tahap ini yang ditekankan adalah bahwa berita bersifat subjektif, opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan persfektif dan pertimbangan subjektif.

5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas

Wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam membentuk berita. Lagipula berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawan. Wartawan dipandang sebagai aktor atau agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendifinisikan peristiwa. Realitas dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas bersifat subjektif ,yang terbentuk lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan, yang mau ditekankan dalam tahap ini adalah


(6)

wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.

6. Etika, pilihan moral, dan keterampilan wartawan adalah bagian yang integral dalam produk berita

Aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral dalam banyak hal berarti keberpihakkan pada satu kelompok atau nilai tertentu, umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu. Bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, tetapi mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati. Penekanan dalam tahap ini adalah, nilai,etika, atau keberpihakkan wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa.

7. Etika dan pilihan moral peneliti menjadi bagian yang integral dalam penelitian Peneliti bukan subjek yang bebas nilai. Pilihan, etika, moral atau keberpihakkan peneliti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian. Peneliti adalah entitas dengan berbagai nilai dan keberpihakkan yang berbeda-beda. Yang ditekan oleh Eriyanto dalam tahap ini adalah, nilai, etika, dan pilihan moral bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian.


(7)

8. Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita

Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Sebuah foto yang sebetulnya dimaksudkan untuk mengkomunikasikan stop kekerasan dan seksual, bisa jadi dimaknai pembaca sebagai penyebaran pornografi. Dalam tahapan ini yang mau ditekankan oleh Eriyanto adalah khalayak mempunyai penafsiran sendiri yang bisa jadi berbeda dari pembuat berita.

Dalam pandangan ini jelas sekali kaitan antara analisis framing dengan konstruksionis. Framing adalah sebuah analisis teks yang berada dalam konstruksionis. Analisis framing memandang realitas dalam isu sosial tidak hadir begitu saja, melainkan hasil dari konstruksi. Eriyanto (2002:37), mengatakan bahwa konsentrasi pada paradigma konstruksionis adalah bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Sementara Ibnu (2010:22), memperjelas, dengan mengatakan bahwa pembuatan frame itu sendiri didasarkan atas berbagai kepentingan internal media baik teknis, ekonomi, politis, ataupun ideologi.


(8)

2.2.2. Film Sebagai Realitas Tanda

Secara umum film adalah medium merupakan bentuk jamak dari media. Berasal dari bahasa latin medius yang berarti, ditengah-tengah atau diantara. Media dalam hal ini film, bisa diartikan sebagai sistem tanda atau lambang tertentu yang berada ditengah khalayak, yang diekspresikan sebagai seni dan karya sastra kemudian ditungkan dalam isi pesan pada sebuah film.

Sebagai realitas tanda, isi pesan film banyak dipandang sebagai gambaran simbolik (symbolic representation), dari suatu budaya dan latar belakang di masyarakat. Sehingga isi pesan dalam film yang disampaikan oleh sutradara (komunikator), merupakan cerminan dari realitas sosial yang berupa nilai-nilai, aturan, dan tatanan normatif, yang diangkat dari simbol-simbol realitas menjadi tontonan yang dipadukan antara berita dan hiburan. Tanda dalam realitas tersebut diangkat dari persepsi sutradara (komunikator) sendiri, yang dimaknai dari pengalaman yang didapat atau dilihat dari lingkungan sosial budaya. Sehingga film tidak semata membentuk realitas tapi memberikan penekanan persepsi di depan kamera. Hal ini diperkuat oleh pandangan Sobur (2003), bahwa film bukan semata-mata memproduksi realitas tetapi juga mendefinisikan realitas.

Danesi (2010), membagi film kedalam tiga kategori yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi yang biasa disebut dengan film kartun.

1. Film fitur, merupakan karya fiksi yang stukturnya berupa narasi yang dibuat dengan tiga tahap. Tahap praproduksi merupakan tahap ketika skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, cerita pendek atau


(9)

karya cetakan lainya. Bisa juga dibuat secara khusus untuk dibuat filmnya. Tahap produksi yaitu masa berlangsunganya pembuatan film berdasarkan skenario itu. Tahap terakahir, adalah pos-produksi (editing), ketika semua bagian film dalam pengambilan gambar tidak sesuai urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu.

2. Film dokumenter, merupakan film yang nonfiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata, dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamanya dalam situasi apa adanya. Tanpa persiapan, langsung pada kamera dan pewawancara. Film dokumenter sering kali diambil tanpa skrip dan jarang ditampilkan di gedung bioskop seperti film fitur. Film jenis ini biasanya ditampilkan di televisi.

3. Film animasi, merupakan film yang menggunakan teknik ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan peyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohya.

Selain berbagai jenis film tersebut di atas, Ardianto (2004), mengelompokkan film menjadi 4 jenis salah satunya adalah film cerita (story film): Film cerita adalah film yang mengandung suatu cerita, dan biasanya cerita yang diangkat untuk membuat sebuah film jenis ini, bisa fiksi dan bisa juga berdasarkan kisah nyata yang sudah dimodifikasi oleh sutradara, supaya lebih terlihat menarik baik dari segi cerita maupun


(10)

dari segi gambarnya. Film yang penulis teliti merupakan film yang termasuk ke dalam jenis film cerita seperti yang telah disebutkan oleh Ardianto, karena isi pesan dalam film ini merupakan kisah nyata atau realitas sesungguhnya yang diangkat oleh sutradara menjadi sebuah film cerita.

2.2.3. Film Sebagai Media Massa

Film adalah gambar yang bergerak yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukan di gedung-gedung pertunjukan (bioskop), film ini jenisnya teatrikal. Hal ini diperkuat dengan pendapat atau pandangan undang-undang nomor 8 tahun 1992, yang mengatakan bahwa film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan / atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan / atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan / atau lainnya.

Media massa (film) merupakan perpanjangan tangan dari masyarakat, sehingga apa yang terkandung dalam media tersebut merupakan gambaran realitas sosial di masyarakat, yang mempunyai kekuatan dalam menyampaikan suatu makna, tentunya dengan ide yang dituangkan oleh komunikator lewat berita dan hiburan yang dikemas dalam isi pesan media. McQuail (1987) mendefinisikan pandangannya tentang media sebagai berikut:


(11)

1. Media massa sebagai penterjemah yang menolong kita, menjadikan pengalaman diri menjadi suatu yang masuk akal.

2. Media adalah angkutan yang menyampaikan informasi.

3. Media merupakan sarana komunikasi interaktif yang memberikan kesempatan kepada khalayak atau masyarakat untuk memberikan tanggapan atau umpan balik.`

4. Media merupakan tanda yang memberikan intruksi dan menunjukkan arah.

5. Media merupakan filter yang memfokuskan kita pada beberapa bagian dari pengalaman pribadi dan mengalihkannya dari beberapa bagian yang lain.

6. Media merupakan cermin yang merefleksikan diri kita.

7. Media merupakan pagar pembatas yang memblokir suatu kebenaran.

Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi Cangara (1998). Media massa juga mempunyai kemampuan yang kuat dalam mengubah perilaku khalayak (komunikan) melalui proses imitasi (belajar sosial). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya stasiun televisi, radio, perusahaan media cetak, baik itu surat kabar, majalah, dan media cetak lainnya, sebab masyarakat selalu haus akan informasi, hiburan dan lain sebagainya yang disediakan oleh media massa.

Hal ini dipertegas oleh McQuil (1987), yang mengatakan” Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan


(12)

tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma”. Sementara menurut Liliweri (2001), jenis media massa berorientasi pada 3 aspek penting. Pertama mengenai penglihatan (visual dan verbal) dalam hal ini media cetak, kedua mengenai pendengaran (audio) semata-mata (radio, tape recorder), verbal vokal dan yang ketiga mengenai pendengaran dan penglihatan (televisi, film, video) yang bersifat verbal visual vokal. Bahkan menurut Nurudin (2007), media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas. Selain itu media massa juga mempunyai fungsi. Menurut Bungin (2007: 78-81) fungsi Komunikasi massa adalah fungsi pengawasan, fungsi social learning, fungsi penyampaian informasi, fungsi tranformasi budaya, dan fungsi hiburan.

1. Fungsi pengawasan, media massa merupakan sebuah medium dimana dapat digunakan untuk pengawasan aktivitas masyarakat pada umumnya. Fungsi pengawan ini bisa berupa peringatan dan kontrol sosial maupun kegiatan persuasif.

2. Fungsi social learning, fungsi utama dari komunikasi media massa adalah melakukan guiding dan pendidikan sosial kepada seluruh masyarakat. Media massa bertugas untuk memberikan pencerahan-pencerahan kepada masyarakat dimana komunikasi massa itu berlangsung.

3. Fungsi penyampaian informasi, komunikasi massa mengandalkan media massa, sebagai alat dalam proses penyampaian informasi kepada masyarakat luas. Komunikasi massa memungkinkan informasi dari institusi publik tersampaikan kepada masyarakat secara luas dalam waktu yang cepat dan singkat.


(13)

4. Fungsi transformasi budaya, merupakan fungsi yang yang bersifat dinamis. Komunikasi massa sebagaimana sifat-sifat budaya massa, maka yang terpenting adalah komunikasi massa menjadi proses transformasi budaya yang dilakukan bersama-sama oleh semua komponen komunikasi massa, terutama yang didukung oleh media massa.

5. Fungsi hiburan, komunikasi massa juga digunakan sebagai medium hiburan, terutama karena komunikasi massa menggunakan media massa. Jadi fungsi hiburan yang ada pada media massa, juga merupakan bagian dari fungsi komunikasi massa. Dengan demikian, maka fungsi hiburan dari komunikasi massa saling mendukung fungsi-fungsi lainnya dalam proses komunikasi massa.

2.3. Framing

2.3.1. Pengertian Framing

Framing merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian

kualitatif, gunanya untuk melihat media mengkonstruksi (tonjolkan/dibangun) mengenai suatu realitas dan realitas lain dikonstruksi (dikaburkan). Pada akhirnya akan diketahui mana yang lebih dominan dari setiap realitas yang diinterpretasi oleh media tersebut. Analisis framing pada dasarnya adalah metode yang digunakan untuk melihat gaya bercerita atau mengemas media tentang suatu peristiwa atau realitas. Eriyanto (2002:3) mendefinisikan bahwa analisis framing dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor,kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkai tersebut tentu saja melalui proses konstruksi.


(14)

Sementara menurut pandangan Sobur (2006), framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Ada beberapa definisi tentang framing oleh para ahli, seperti di bawah ini:

Robert N. Entman

Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyatakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.

William A. Gamson dan Andre

Modigliani

Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam sekema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.

Todd Gitlin

Strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.

David E.Snow and Robert Benford

Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu,


(15)

anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu.

Amy Binder

Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan, mengedentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks kedalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa.

Zhongdang Pan and Gerald M.Kosicki

Stategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.

Sumber: Eriyanto (2002: 67:68)

Menurut Eriyanto (2002: 69-70), ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta / realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam pemilihan fakta ini terkandung dua kemungkinan, apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (exluded). Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya.


(16)

Ada beberapa model framing yang sering digunakan oleh para peneliti, dan salah satunya model yang paling populir digunakan adalah model Pan dan Kosicki. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide. Ide tersebut dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita. Model ini mempunyai empat struktur : pertama, sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun fakta dalam sebuah berita. Kedua, skrip berhubungan bagaimana wartawan mengisahkan peristiwa kedalam bentuk berita. Ketiga, tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan menulis suatu peristiwa kedalam bentuk berita. Keempat, retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan suatu peristiwa kedalam sebuah berita.

Model Gamson dan Modigliani adalah model yang mendasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media berupa realitas sosial, yang terdiri atas sejumlah kemasan (package) yang mengandung makna tertentu. Menurut Eriyanto (2002:224) Kemasan (package) adalah serangkaian ide-ide yang menunjukan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu-individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima. Dalam kemasan (package) terdapat dua strukstur, yaitu struktur core frame yaitu merupakan gagasan sentral, dan condensing symbol yaitu merupakan hasil pencermatan intraksi perangkat simbolik.


(17)

Menurut Gamson dan Modigliani (dalam Eriyanto 2002: 226), framing dalam model ini mereka pahami sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ide sentral ini akan didukung oleh perangkat wacana lain, sehingga antara satu bagian wacana dengan bagian lain saling kohensif, dan saling mendukung. Jelas perbedaan kedua model ini. Model Pan dan Kosicki lebih menekankan kepada pemberitaan media massa cetak (wartawan), sementara model William A. Gamson dan Andre Modigliani lebih bersifat umum, artinya bisa dipakai pada media cetak, maupun elektonik dan dalam model ini, sebagian besar berbicara tentang simbol yang terdapat dalam sebuah teks atau dialog yang ditekankan melalui perangkat penalaran.

2.3.2. Proses Framing

Proses framing pada umumnya didefinisikan sebagai proses atau cara pengangkatan sebuah isu yang berkaitan dengan realitas sosial oleh pekerja media, sehingga disisi lain realitas tersebut ditonjolkan dan disisi lain lagi dikaburkan bahkan dihilangkan informasi tentang realitasnya. Ada 3 proses framing dalam kritisme media.

1. Proses framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibalikan secara halus dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu dengan bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi lainnya.


(18)

2. Proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja dibagian keredaksian media cetak redaktur, dengan atau tanpa konsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah laporan reporter akan dimuat ataukah tidak serta menentukan judul yang akan diberikan.

3. Proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers tetapi juga pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi informasi yang ingin ditonjolkan, sambil menyembunyikan sisi lain. Sumber : www. AG. eka wenatas w.com.

2.3.3. Model William A. Gamson dan Andre Modigliani Framing

Perangkat Framing (framing devices) Perangkat penalaran (reasoning devices)

1. Methapors

(Perumpamaan atau pengadaian)

1. Root

(Analisis kausal atau sebab akibat)

2. Catchphrases

(Frase berupa jargon-jargon atau slogan)

2. Appeals to principle

(Merupakan premis dasar, klaim-kalim moral)

3. Exemplaar

(Uraian yang mengaitkan bingkai dengan contoh,bisa berupa perbandingan untuk memperjelas dan menguatkan persfiktif bingkai).

3. Consequences

(Efek atau konsekuensi yang didapat dari bingkai)

4. Depiction

(Menggambarkan suatu isu yang bersifat konotatif, berupa kosakata, leksikon, untuk melabeli sesuatu).

5. Visual Image

(Perangkat yang mendukung bingkai dalam bentuk gambar, grafis,citra, untuk menekankan pesan yang ingin disampaikan.


(19)

Dalam pendekatan model Gamson dan Modigliani ada dua aspek penting yang mendukung ide sentral atau gagasan sentral bisa diterjemahkan kedalam sebuah realitas. Pertama framing devices (perangkat framing), yang terdiri dari methapors, catcphrase, exemplar, depiction, dan visual image. Perangkat ini berhubungan langsung pada penekanan bingkai dalam sebuah realitas dalam teks yang berkaitan dengan isu tertentu. Kedua adalah Perangkat penalaran (reasoning devices), yang terdiri dari root, appeals to principle dan consequence. Perangkat penalaran ini berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari realitas dalam teks suatu isu tertentu.

Methapors adalah sebuah cara memindahkan makna dengan menghubungkan (merelasikan) dua fakta analogi, atau menggunakan kiasan dengan memakai kata-kata (ibarat,bak, sebagai,perumpamaan, dan laksana). Methapors mempunyai arti atau peran yang ganda, yaitu sebagai perangkat diskursif, dan ekspresi mental. Serta berasosiasi dengan penilaian dan memaksa realitas dalam teks dan dialog untuk membuat sense tertentu.

Catchphrases adalah bentuk kata atau istilah (frase) yang mencerminkan sebuah fakta yang merujuk pada pemikiran atau semangat sosial demi mendukung kekuasan tertentu. Dalam sebuah teks atau dialog, wujudnya berupa slogan, jargon, atau semboyan yang ditonjolkan.


(20)

Exemplaar adalah cara mengemas atau menguraikan sebuah fakta tertentu secara mendalam, supaya memiliki makna yang lebih untuk dijadikan rujukkan. Dalam exemplaar posisinya sebagai pelengkap dalam kesatuan wacana atau bingkai pada sebuah teks atau dialog mengenai isu tertentu. Tujuannya untuk memperoleh pembenaran isu sosial yang sedang diangkat, bisa berupa contoh, uraian, teori, dan perbandingan yang bisa memperjelas bingkai.

Depictions adalah cara menggambarkan sebuah fakta atau isu tertentu yang berupa kalimat konotatif, istilah, kata, leksikon, untuk melabeli sesuatu supaya khalayak terarah ke citra tertentu. Dengan tujuan menguatkan harapan, ketakutan, posisi moral, dan perubahan. Serta pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, sehingga mampu menempatkan seseorang atau pihak tertentu pada posisi tidak berdaya karena kekuatan konotasinya mampu melakukan kekerasan simbolik.

Visual image adalah perangkat yang dalam bentuk gambar, grafik, diagram, tabel, dan kartun dan sejenisnya juga citra tententu untuk mendukung dan menekankan pesan yang ingin ditojolkan atau disampaikan bingkai secara keseluruhan. Misalnya perhatian, penegasan, atau penolakan terhadap isu tertentu. Sifatnya natural, sangat mewakili realitas atau isu tertentu dan erat dengan ideologi pesan terhadap khalayak.


(21)

Root adalah pemberatan isu tertentu dengan menghubungkan suatu objek yang dianggap menjadi penyebab timbulnya hal yang lain. Tujuannya untuk memberikan alasan pembenaran dalam penyimpulan fakta berdasarkan hubungan kausal atau sebab-akibat yang digambarkan atau dijabarkan.

Appeals to principle adalah upaya memberikan alasan tentang kebenaran suatu isu dengan menggunakan logika dan klaim moral, pemikiran,dan prinsip untuk mengkonstruksi suatu realitas. Berupa pepatah, mitos, doktrin, cerita rakyat, ajaran dan sejenisnya. Tujuannya manipulasi emosi supaya khalayak mengarah kepada waktu,tempat, sifat, dan cara tertentu.

Consequences adalah konsekuensi yang didapat pada akhir pembingkaian tentang suatu isu tertentu dalam teks atau dialog dalam media yang sudah terangkum pada efek atau konsekuensi dalam bingkai.


(1)

Ada beberapa model framing yang sering digunakan oleh para peneliti, dan salah satunya model yang paling populir digunakan adalah model Pan dan Kosicki. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide. Ide tersebut dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita. Model ini mempunyai empat struktur : pertama, sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun fakta dalam sebuah berita. Kedua, skrip berhubungan bagaimana wartawan mengisahkan peristiwa kedalam bentuk berita. Ketiga, tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan menulis suatu peristiwa kedalam bentuk berita. Keempat, retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan suatu peristiwa kedalam sebuah berita.

Model Gamson dan Modigliani adalah model yang mendasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media berupa realitas sosial, yang terdiri atas sejumlah kemasan (package) yang mengandung makna tertentu. Menurut Eriyanto (2002:224) Kemasan (package) adalah serangkaian ide-ide yang menunjukan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu-individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima. Dalam kemasan (package) terdapat dua strukstur, yaitu struktur core frame yaitu merupakan gagasan sentral, dan condensing symbol yaitu merupakan hasil pencermatan intraksi perangkat simbolik.


(2)

Menurut Gamson dan Modigliani (dalam Eriyanto 2002: 226), framing dalam model ini mereka pahami sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ide sentral ini akan didukung oleh perangkat wacana lain, sehingga antara satu bagian wacana dengan bagian lain saling kohensif, dan saling mendukung. Jelas perbedaan kedua model ini. Model Pan dan Kosicki lebih menekankan kepada pemberitaan media massa cetak (wartawan), sementara model William A. Gamson dan Andre Modigliani lebih bersifat umum, artinya bisa dipakai pada media cetak, maupun elektonik dan dalam model ini, sebagian besar berbicara tentang simbol yang terdapat dalam sebuah teks atau dialog yang ditekankan melalui perangkat penalaran.

2.3.2. Proses Framing

Proses framing pada umumnya didefinisikan sebagai proses atau cara pengangkatan sebuah isu yang berkaitan dengan realitas sosial oleh pekerja media, sehingga disisi lain realitas tersebut ditonjolkan dan disisi lain lagi dikaburkan bahkan dihilangkan informasi tentang realitasnya. Ada 3 proses framing dalam kritisme media.

1. Proses framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibalikan secara halus dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu dengan bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi lainnya.


(3)

2. Proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja dibagian keredaksian media cetak redaktur, dengan atau tanpa konsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah laporan reporter akan dimuat ataukah tidak serta menentukan judul yang akan diberikan.

3. Proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers tetapi juga pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi informasi yang ingin ditonjolkan, sambil menyembunyikan sisi lain. Sumber : www. AG. eka wenatas w.com.

2.3.3. Model William A. Gamson dan Andre Modigliani Framing

Perangkat Framing (framing devices) Perangkat penalaran (reasoning devices)

1. Methapors

(Perumpamaan atau pengadaian)

1. Root

(Analisis kausal atau sebab akibat)

2. Catchphrases

(Frase berupa jargon-jargon atau slogan)

2. Appeals to principle

(Merupakan premis dasar, klaim-kalim moral)

3. Exemplaar

(Uraian yang mengaitkan bingkai dengan contoh,bisa berupa perbandingan untuk memperjelas dan menguatkan persfiktif bingkai).

3. Consequences

(Efek atau konsekuensi yang didapat dari bingkai)

4. Depiction

(Menggambarkan suatu isu yang bersifat konotatif, berupa kosakata, leksikon, untuk melabeli sesuatu).

5. Visual Image

(Perangkat yang mendukung bingkai dalam bentuk gambar, grafis,citra, untuk menekankan pesan yang ingin disampaikan.


(4)

Dalam pendekatan model Gamson dan Modigliani ada dua aspek penting yang mendukung ide sentral atau gagasan sentral bisa diterjemahkan kedalam sebuah realitas. Pertama framing devices (perangkat framing), yang terdiri dari methapors, catcphrase, exemplar, depiction, dan visual image. Perangkat ini berhubungan langsung pada penekanan bingkai dalam sebuah realitas dalam teks yang berkaitan dengan isu tertentu. Kedua adalah Perangkat penalaran (reasoning devices), yang terdiri dari root, appeals to principle dan consequence. Perangkat penalaran ini berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari realitas dalam teks suatu isu tertentu.

Methapors adalah sebuah cara memindahkan makna dengan menghubungkan (merelasikan) dua fakta analogi, atau menggunakan kiasan dengan memakai kata-kata (ibarat,bak, sebagai,perumpamaan, dan laksana). Methapors mempunyai arti atau peran yang ganda, yaitu sebagai perangkat diskursif, dan ekspresi mental. Serta berasosiasi dengan penilaian dan memaksa realitas dalam teks dan dialog untuk membuat sense tertentu.

Catchphrases adalah bentuk kata atau istilah (frase) yang mencerminkan sebuah fakta yang merujuk pada pemikiran atau semangat sosial demi mendukung kekuasan tertentu. Dalam sebuah teks atau dialog, wujudnya berupa slogan, jargon, atau semboyan yang ditonjolkan.


(5)

Exemplaar adalah cara mengemas atau menguraikan sebuah fakta tertentu secara mendalam, supaya memiliki makna yang lebih untuk dijadikan rujukkan. Dalam exemplaar posisinya sebagai pelengkap dalam kesatuan wacana atau bingkai pada sebuah teks atau dialog mengenai isu tertentu. Tujuannya untuk memperoleh pembenaran isu sosial yang sedang diangkat, bisa berupa contoh, uraian, teori, dan perbandingan yang bisa memperjelas bingkai.

Depictions adalah cara menggambarkan sebuah fakta atau isu tertentu yang berupa kalimat konotatif, istilah, kata, leksikon, untuk melabeli sesuatu supaya khalayak terarah ke citra tertentu. Dengan tujuan menguatkan harapan, ketakutan, posisi moral, dan perubahan. Serta pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, sehingga mampu menempatkan seseorang atau pihak tertentu pada posisi tidak berdaya karena kekuatan konotasinya mampu melakukan kekerasan simbolik.

Visual image adalah perangkat yang dalam bentuk gambar, grafik, diagram, tabel, dan kartun dan sejenisnya juga citra tententu untuk mendukung dan menekankan pesan yang ingin ditojolkan atau disampaikan bingkai secara keseluruhan. Misalnya perhatian, penegasan, atau penolakan terhadap isu tertentu. Sifatnya natural, sangat mewakili realitas atau isu tertentu dan erat dengan ideologi pesan terhadap khalayak.


(6)

Root adalah pemberatan isu tertentu dengan menghubungkan suatu objek yang dianggap menjadi penyebab timbulnya hal yang lain. Tujuannya untuk memberikan alasan pembenaran dalam penyimpulan fakta berdasarkan hubungan kausal atau sebab-akibat yang digambarkan atau dijabarkan.

Appeals to principle adalah upaya memberikan alasan tentang kebenaran suatu isu dengan menggunakan logika dan klaim moral, pemikiran,dan prinsip untuk mengkonstruksi suatu realitas. Berupa pepatah, mitos, doktrin, cerita rakyat, ajaran dan sejenisnya. Tujuannya manipulasi emosi supaya khalayak mengarah kepada waktu,tempat, sifat, dan cara tertentu.

Consequences adalah konsekuensi yang didapat pada akhir pembingkaian tentang suatu isu tertentu dalam teks atau dialog dalam media yang sudah terangkum pada efek atau konsekuensi dalam bingkai.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Patriarki dari Sudut Pandang Teori Struktural-Fungsionalisme Tokoh-Tokoh Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362008064 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Patriarki dari Sudut Pandang Teori Struktural-Fungsionalisme Tokoh-Tokoh Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362008064 BAB II

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Patriarki dari Sudut Pandang Teori Struktural-Fungsionalisme Tokoh-Tokoh Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362008064 BAB IV

0 2 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Patriarki dari Sudut Pandang Teori Struktural-Fungsionalisme Tokoh-Tokoh Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362008064 BAB V

0 0 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Tentang Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Tentang Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362007022 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Tentang Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362007022 BAB IV

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Tentang Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362007022 BAB V

0 1 39

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Tentang Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362007022 BAB VI

0 0 3

MULTIKULTURALISME GENDER PADA FILM 7 HATI 7 CINTA 7 WANITA KARYA ROBBY ERTANTO

0 4 14