PENINGKATAN KADAR PROSTATIC SPECIFIC ANTIGEN LEBIH SERING TERJADI PADA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERTROPHY DENGAN INFEKSI SALURAN KEMIH DAN INFLAMASI DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH.

(1)

PENINGKATAN KADAR

PROSTATIC SPECIFIC

ANTIGEN

LEBIH SERING TERJADI PADA PASIEN

BENIGN PROSTATE HYPERTROPHY

DENGAN

PENINGKATAN USIA, INFEKSI SALURAN KEMIH,

INFLAMASI DAN OBESITAS DI RUMAH SAKIT

UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR

JIMMY CANDRA PUTRA NIM 0914028204

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

1.1 Latar Belakang Masalah

Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari

kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine dan menimbulkan

gangguan miksi. BPH ini dapat dialami oleh sekitar 70 % pria diatas usia 60

tahun. Walaupun jarang menyebabkan kematian tetapi dapat menurunkan kualitas

hidup penderita secara signifikan. Menurut data dari WHO 1995 angka prevalensi

dari penderita BPH antara 0,5-1,5/100.000 penduduk dunia, dengan angka

kematian yang sangat jarang. Di RSUP Sanglah Denpasar selama tahun 2013

terdapat 103 penderita dengan BPH yang menjalani operasi, diantara 1161 total

keseluruhan penderita urologi yang menjalani operasi.

Sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi terjadinya

hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan ada hubungan erat

dengan peningkatan hormon dihidrotestosteron dan proses ketuaan. Faktor-faktor

resiko terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa penelitian mengarah pada

predisposisi genetik atau perbedaan ras. Sekitar 50% laki-laki berusia dibawah 60

tahun yang menjalani operasi BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan

besar bersifat autosomal dominan, dimana penderita dengan orang tua yang

menderita BPH memiliki resiko 4x lipat lebih tinggi dibandingkan dengan yang


(3)

terjadinya hiperplasia prostat. Salah satu hipotesa yang banyak dibahas

akhir-akhir ini adalah teori inflamasi, di mana teori ini pertama kali dikemukakan pada

tahun 1937. Dengan adanya berbagai penyebab, sel-sel inflamasi yang terdapat

pada jaringan prostat dapat teraktivasi dan mencetuskan pengeluaran

mediator-mediator inflamasi, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan, memacu

pembentukan growth factor, peningkatan proliferasi dan diferensiasi sel, sehingga

terjadi hiperplasia kelenjar prostat (De Nunzio, dkk. 2011).

Prostate Spesific Antigen (PSA) adalah protease yang diproduksi sebagian

besar di sel epitel prostat, sehingga PSA dianggap sebagai suatu pemeriksaan

yang spesifik untuk organ prostat. Dari berbagai penelitian, didapatkan bahwa

nilai PSA serum secara konsisten dapat memprediksi risiko pembesaran prostat

yang berhubungan dengan adanya retensi urin dan tindakan operasi. Nilai normal

kadar PSA serum adalah <4 ng/ml. Pada pasien dengan PSA serum lebih dari 4

ng/ml, angka kejadian obstruksi karena prostat adalah 89%, sementara pasien

dengan PSA kurang dari 2 ng/ml, angka kejadian obstruksi karena prostat adalah

33% (Oelke dkk, 2012). Peningkatan kadar PSA serum menjadi penanda penting

dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan kanker

prostat (Carroll dkk, 2013). Pada pasien dengan BPH, 25% di antaranya memiliki

PSA serum di atas 4 ng/ml. Dikatakan bahwa pada pasien dengan PSA di antara

4,1 sampai 10 ng/ml dan dengan pemeriksaan colok dubur yang normal, 80%

adalah jinak (Ozden dkk, 2007).

Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat dapat menyebabkan lebih banyak


(4)

serum. Penyakit pada prostat yang paling umum terjadi adalah prostatitis, BPH,

dan kanker prostat, di mana penyakit-penyakit tersebut dapat dihubungkan dengan

peningkatan kadar PSA serum. Kondisi lain yang dapat meningkatkan kadar PSA

secara sekunder di antaranya adalah aktifitas fisik, infeksi, dan pemakaian

obat-obatan (Oelke dkk, 2000).

Oleh karena peningkatan serum PSA dipengaruhi oleh beberapa sebab atau

penyakit seperti yang dijelaskan diatas, maka untuk mendeteksi dan menegakkan

kanker prostat secara dini selain dengan pengukuran kadar PSA yang tinggi

diperlukan juga biopsy prostat dengan transrektal biopsi (Ornstein dkk, 2001).

Terdapat suatu dugaan bahwa PSA merupakan antigen yang menjadi salah satu

faktor penyebab terjadinya proses inflamasi pada prostat. Sebuah penelitian

menemukan bahwa PSA memberikan respon pada proliferasi dari CD4 sel T pada

pasien dengan prostatitis (Ponniah dkk, 2000).

Inflamasi pada prostat atau prostatitis seringkali tidak terdiagnosa dan cenderung

diabaikan, terutama pada pasien dengan BPH. Seringkali prostatitis ditemukan

secara tidak sengaja setelah penderita menjalani operasi dan dilakukan

pemeriksaan histopatologi pada jaringan prostat. Hal ini disebabkan karena

keluhan pasien dengan prostatitis dan BPH saling tumpang tindih, sehingga sulit

dibedakan antara keluhan saluran kemih bagian bawah yang muncul disebabkan

oleh BPH atau prostatitis. Selain itu, tidak semua prostatitis menimbulkan gejala.

Prostatitis kategori IV merupakan prostatitis asimtomatis dan hanya bisa

didiagnosa dengan biopsi jaringan prostat. Prostatitis kategori IV ditemukan pada


(5)

operasi (Yalcinkaya dkk, 2011). Terdapat kemungkinan bahwa diagnosa protatitis

lebih awal dapat mendeteksi adanya proses inflamasi pada prostat yang dapat

memperburuk keluhan dan kondisi pasien (Sauver dkk, 2008). Pasien dengan

prostatitis dilaporkan mengalami hiperplasi prostat jinak sebanyak 83%. Secara

umum, adanya prostatitis meningkatkan risiko terjadinya BPH sebesar 8 kali lipat

(Krieger dkk, 2008). Inflamasi pada jaringan prostat diklasifikasikan menurut

gambaran histologi dan menurut agresivitasnya. Menurut gambaran histologi,

tidak adanya gambaran inflamasi prostat dikategorikan menjadi derajat 0, derajat

1 adanya infiltrat sel inflamasi yang tersebar tanpa adanya nodul, derajat 2

terdapat nodul tanpa berhubungan satu sama lain, dan derajat 3 bila terdapat area

inflamasi yang luas dengan penyatuan. Sementara menurut agresivitasnya,

inflamasi prostat dibagi menjadi derajat 0 bila tidak terdapat hubungan antara sel

inflamasi dengan epitel, derajat 1 bila terdapat hubungan sel inflamasi dengan

epitel, derajat 2 bila terdapat infiltrasi interstitial dengan kerusakan glandular, dan

derajat 3 bila terjadi kerusakan glandular lebih dari 25% (De Nunzio dkk, 2011).

Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan

metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologis spesifik.

Pada obesitas terutama obesitas sentral berkaitan dengan sindroma metabolik,

sindroma metabolik merupakan suatu kelompok kelainan metabolik meliputi

obesitas, resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, dislipidemia dan

hipertensi (Sugondo dkk, 2014).

Pada obesitas terjadi insulin resisten sehingga mengakibatkan terjadinya


(6)

terjadinya proliferasi jaringan prostat (Gokce dkk, 2010). Selain itu pada pasien

dengan obesitas terjadi peningkatan jaringan adipose yang berakibat peningkatan

sekresi hormone leptin, hormone leptin menstimulasi proliferasi sel jaringan

prostat dan kemudian terjadi BPH (Mohammed dkk, 2012).

Dari keterangan hal diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa peningkatan kadar

PSA pada pasien dengan BPH berhubungan atau dipengaruhi dengan banyak

faktor, pada penelitian ini penulis mencoba mencari apakah peningkatan kadar

PSA lebih sering terjadi pada pasien BPH dengan usia >50 tahun, infeksi saluran

kemih, inflamasi , obesitas. Dengan mengontrol faktor resiko diatas seperti infeksi

saluran kemih, inflamasi, obesitas, kita dapat menghambat progresivitas dari BPH

sehingga dapat memberikan terapi yang efektif dan meningkatkan kualitas hidup

penderita.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita

BPHdengan usia> 50 tahun?

2. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH

dengan infeksi saluran kemih ?

3. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH

dengan inflamasi prostat ?

4. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH


(7)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah peningkatan kadar PSA pada penderita BPH

lebih sering terjadi dengan bertambahnya usia (> 50 tahun), infeksi saluran

kencing, inflamasi, obesitas .

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita

BPH dengan peningkatan usia .

2. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita

BPH dengan infeksi saluran kemih.

3. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita

BPH dengan inflamasi prostat.

4. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita

BPH dengan obesitas.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Akademis Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa peningkatan

kadar PSA lebih sering terjadi pada pasien BPH dengan bertambahnya usia,

infeksi saluran kemih, inflamasi, obesitas.

1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian

Dengan mengetahui bahwa peningkatan kadar serum PSA lebih sering

terjadi pada pasien BPH dengan bertambahnya usia, infeksi saluran kemih,


(8)

menghambat progresivitas dari BPH, oleh karena peningkatan kadar PSA

berbanding lurus dengan peningkatan volume prostat pada BPH.

Dengan mengetahui bahwa peningkatan kadar serum PSA lebih sering

terjadi pada pasien BPH dengan bertambahnya usia, infeksi saluran kemih,

inflamasi, obesitas dapat disimpulkan bahwa peningkatan PSA diatas nilai normal

tidak bisa dipakai sebagai acuan satu-satunya untuk mendiagnosa ke arah kanker


(9)

2.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine dan menimbulkan gangguan miksi.

2.1.1 Insidensi & Epidemiologi

BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki, insidennya berhubungan dengan usia. Prevalensi histologis BPH meningkat dari 20% pada laki berusia 41-50 tahun, 50% pada laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90% pada laki berusia diatas 80 tahun. Meskipun bukti klinis belum muncul, namun keluhan obstruksi juga berhubungan dengan usia. Pada usia 50 tahun + 25% laki-laki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat hingga usia 75 tahun dimana 50% laki-laki mengeluh berkurangnya pancaran atau aliran pada saat berkemih (Cooperberg, 2013).


(10)

Gambar 2.1. Angka Kejadian BPH Berdasarkan Usia di Beberapa Negara ( modifikasi dari Roehrborn, 2012).

Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, selama tahun 2013 terdapat 103 pasien dengan BPH yang menjalani operasi, dari total 1161 pasien urologi yang menjalani operasi.

Faktor-faktor resiko terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa penelitian mengarah pada predisposisi genetik atau perbedaan ras. Kira-kira 50% laki-laki berusia dibawah 60 tahun yang menjalani operasi BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan besar bersifat autosomal dominan, dimana penderita yang memiliki orangtua menderita BPH memiliki resiko 4x lipat lebih besar dibandingkan dengan yang normal (Cooperberg, 2013).


(11)

2.1.2 Anatomi

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak inferior dari buli-buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Berbentuk seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan berat kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transitional, zona preprostatik dan zona anterior (Mc Neal, 1988). Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf dan jaringan interstitial yang lain. Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat. Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatis dan parasimpatis dari plexus prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatis dari corda spinalis S2-4 dan simpatis dari nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulasi parasimpatis meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatis menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat dan leher buli-buli. Pada tempat tersebut banyak terdapat reseptor adrenergic α. Rangsangan simpatis mempertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau


(12)

berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi penekanan uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Cooperberg dkk, 2013).

2.1.3 Etiologi

Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tampaknya bersifat multifaktor dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen epithelial dan stromal dimana pada salah satu atau keduanya dapat muncul nodul hiperplastik dengan gejala yang berhubungan dengan BPH.

Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:

1) Teori Dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron didalam sel prostat oleh 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth

factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2003)

2) Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : progesteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat


(13)

(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar (Purnomo, 2003)

3) Interaksi stromal-epitel

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu sendiri menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma (Purnomo, 2003)

4) Berkurangnya kematian sel prostat

Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan masa prostat (Purnomo, 2003)

5) Teori Sel Stem

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,selalu dibentuk sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ektensif. Kehidupan sel ini sangat


(14)

tergantung pada keberadaan hormon androgen sehingga jika hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2003)

Observasi dan penelitian pada laki-laki jelas mendemontrasikan bahwa BPH dikendalikan oleh sistem endokrin, di mana kastrasi mengakibatkan regresi pada BPH dan perbaikan keluhan. Pada penelitian lebih lanjut tampak korelasi positif antara kadar testosteron bebas dan estrogen dengan volume pada BPH. Hal ini berhubungan dengan peningkatan estrogen pada proses penuaan yang mengakibatkan induksi dari reseptor androgen yang menjadikan prostat lebih sensitif pada testosteron bebas. Namun belum ada penelitian yang mendemontrasikan peningkatan reseptor estrogen level pada penderita BPH (Cooperberg, 2013).

6) Teori Inflamasi

Sejak tahun 1937, terdapat hipotesa bahwa BPH merupakan peyakit inflamasi yang dimediasi oleh proses imunologi. Uji klinis terbaru juga menunjukkan adanya hubungan antara proses inflamasi pada prostat dengan LUTS. Di Silverio mendapatkan 43% gambaran inflamasi pada histopatologi dari 3942 pasien BPH (De Nunzio dkk, 2011). Sementara penelitian dari Daniels, dkk.menemukan adanya prostatitis pada 83% dari pasien dengan BPH. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH (Krieger dkk, 2008).


(15)

Data penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan inflamasi kronik pada prostat memiliki risiko lebih tinggi terhadap progresifitas BPH dan terjadinya retensi urin. Pada pasien dengan volume prostat yang kecil, hanya yang disertai dengan proses inflamasi yang mengalami gejala obstruksi. Inflamasi prostat juga dikaitkan dengan pembesaran volume prostat, semakin berat derajat inflamasi, semakin besar volume prostat dan semakin tinggi nilai IPSS. Sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan efek inflamasi terhadap LUTS (De Nunzio dkk, 2011).

2.1.4 Patologi

BPH terbentuk pada zona transisional. Merupakan proses hiperplasi akibat dari peningkatan jumlah sel. Secara mikroskopik tampak pola pertumbuhan yang berbentuk noduler yang terdiri dari jaringan stromal dan ephitelial, stroma terdiri dari jaringan kolagen dan otot polos (Cooperberg dkk, 2013).

Penampilan komponen-komponen BPH secara histologis yang beragam menjelaskan potensial respon terhadap pengobatan. Terapi dengan α-bloker memberikan respons yang baik pada pasien BPH dengan komponen dominan otot polos, sementara bila komponen yang dominan adalah ephitel, memberikan respons yang baik terhadap 5-α reduktase inhibitor. Penderita BPH dengan komponen dominan kolagen kurang respon terhadap medikamentosa.


(16)

Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Prostat (modifikasi dari Cooperberg, 2013)

Pembesaran nodul pada zona transitional menekan zona luar pada prostat yang mengakibatkan terbentuknya surgical capsule. Kapsul ini memisahkan zona transisional dengan zona perifer, dan juga merupakan batas dilakukannya prostatektomi terbuka.

2.1.5 Patofisiologi

Keluhan dari BPH diakibatkan oleh adanya obstruksi dan sekunder akibat dari respon kandung kemih. Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan dinamik. Pada hiperplasi prostat, obstruksi mekanik terjadi akibat penekanan terhadap lumen uretra atau leher buli, yang mengakibatkan resistensi

bladder outlet. Sebelum pembagian zona klasifikasi dari prostat, ahli urologi


(17)

pada pemeriksaan rectal toucher (RT) memiliki korelasi yang kurang terhadap timbulnya gejala, karena pada RT lobus medial kurang atau tidak teraba.

Komponen obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis keluhan penderita. Stroma prostat terdiri dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi oleh saraf adrenergik. Tonus uretra pars prostatika diatur secara autonom, sehingga penggunaan α-blocker menurunkan tonus ini dan menimbulkan disobstruksi.

Keluhan pada saat berkemih pada pasien BPH akibat dari respons sekunder kandung kemih. Obstruksi pada kandung kemih mengakibatkan hipertrofi dan hyperplasia dari otot detrusor disertai penimbunan kolagen, pada inspeksi tampak penebalan otot detrusor berbetuk sebagai trabekulasi, apabila berkelanjutan mengakibatkan terjadinya hernia mukosa diantara otot detrusor yang mengakibatkan terbentuknya divertikel (Cooperberg dkk, 2013)

2.1.6 Gejala Klinis

Tidak semua BPH menimbulkan gejala. Sebuah penelitan pada pria berusia di atas 40 tahun, sesuai dengan usianya, sekitar 50% mengalami hiperplasia kelenjar prostat secara histopatlogis. Dari jumlah tersebut, 30-50% mengalami LUTS, yang juga dapat disebabkan oleh kondisi lain (Roehrborn dkk, 2008).


(18)

Gambar 2.3. Hubungan Antara BPH, LUTS, Pembesaran Prostat , dan Obstruksi Kandung Kemih Pada Pria Berusia Lebih Dari 40 Tahun

(modifikasi dari Roehrborn, 2012).

Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih,

double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih.

Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia. Gejala-gejala tersebut disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract

Syndrome (LUTS) (Cooperberg, 2013)

LUTS dapat dibagi menjadi gejala penampungan, pengosongan, dan pascamiksi. Umumnya, LUTS dikaitkan dengan adanya obstruksi yang diakibatkan oleh pembesaran kelenjar prostat. Namun penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa LUTS tidak hanya disebabkan oleh adanya kelainan pada prostat. Adanya gangguan dari kandung kemih dapat juga menyebabkan LUTS,


(19)

penampungan, dan penurunan aktivitas otot detrusor pada fase pengosongan. Kondisi lain baik kondisi urologis maupun neurologis juga dapat berkontribusi terhadap adanya LUTS (Oelke dkk, 2012).

Gambar 2.4. Penyebab LUTS pada Pria (Modifikasi dari Oelke, 2012).

Terdapat beberapa metode kuisioner yang tersedia saat ini bagi para klinisi untuk mengukur tingkat gejala saluran kemih bagian bawah. Metode tersebut di antaranya adalah Boyarsky, Madsen–Iversen, Maine Medical Assessment

Program (MMAP), Danishsymptom score (DAN-PSS-1), AUA symptom score,

IPSS, Bolognese instrument (Donovan dkk, 1996).


(20)

digunakan. IPSS merupakan pengembangan dari AUA symptom score yang ditambah dengan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup. Telah dilaporkan bahwa IPSS merupakan metode yang dapat dipercaya dan cukup sederhana, di mana tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sosial demografi (Ozturk dkk, 2011).

IPSS dibuat sedemikian rupa sehingga pasien dapat melengkapinya sendiri, dengan hasil yang lebih baik bila disertai dengan bantuan dari petugas kesehatan. Ozturk dkk membuktikan bahwa nilai dari IPSS yang dilengkapi oleh pasien sendiri dengan nilai IPSS yang dilengkapi oleh pasien dengan bantuan petugas kesehatan tidak berbeda secara signifikan. IPSS saat ini telah divalidasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda-beda di banyak negara.

Pedoman dari American Urological Association (AUA) menyatakan bahwa IPSS merupakan kuisioner yang telah tervalidasi untuk digunakan dalam menilai tiga gejala penampungan (frekuensi, nokturia, dan urgensi), dan empat gejala pengosongan buli (rasa tidak tuntas, intermiten, mengedan, dan pancaran yang lemah). IPSS juga menilai tingkat dari gangguan yang dirasakan, dengan satu pertanyaan tambahan mengenai kualitas hidup (McVary dkk, 2010).

IPSS berisi tujuh pertanyaan mengenai gejala dan satu pertanyaan untuk menilai kualitas hidup, dimana pasien dapat menilai keluhan secara kuantitatif dalam skala 0-5.Nilai maksimal dari IPSS adalah 35. Derajat gejala saluran kemih bagian bawah dikelompokkan menjadi tiga, nilai 0-8 derajat ringan, 9-19 derajat sedang, dan 20 ke atas derajat berat. IPSS hanya digunakan untuk menilai


(21)

beratnya gejala, dan bukan merupakan faktor diagnostik untuk menegakkan adanya BPH (Oelke dkk, 2012).

Anamnesa yang lengkap dan mendalam dilakukan untuk menyingkirkan etiologi penyebab yang lain seperti ISK, neurogenik bladder, striktur uretra dan kanker prostat. Bozdar dkk melakukan penelitian mengenai outcome dari TURP dalam hubungannya dengan LUTS. Dari total 70 pasien dengan BPH yang disertai dengan keluhan LUTS, rata-rata IPSS pra operasi adalah 22,5 (rentang 20-35). IPSS pascaoperasi dievaluasi setelah 6 minggu dan 12 minggu. Pada evaluasi 6 minggu pasca TURP, 81% pasien dengan LUTS ringan, 15,7% dengan LUTS sedang, dan 2,9% dengan LUTS berat. Pada evaluasi kedua (12 minggu pasca TURP), terdapat 88,6% pasien dengan LUTS ringan, 10% dengan LUTS sedang, dan 1,5% dengan LUTS berat (Bozdar dkk, 2010). Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai IPSS pasien BPH pasca TURP di Indonesia.

Sebuah penelitian di Thailand mencoba mencari penyebab LUTS yang menetap setelah TURP. Hasil penelitian menunjukkan penyebab yang paling banyak adalah adanya hiperaktivitas detrusor (54%), residual obstruksi bladder outlet (16%), kelemahan sfingter (8%), dan hipokontraktilitas detrusor (4%) (Anutrakulchai dkk, 2005).


(22)

Gambar 2.5. International Prostate Symptoms Score (IPSS) dalam Bahasa Indonesia (Modifikasi dari IAUI Guidelines, 2003)

2.1.7 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis dilakukan pada semua penderita. Yang dinilai pada colok dubur adalah ukuran dan konsistensi prostat. Pada pasien BPH, umumnya prostat teraba licin dan kenyal. Apabila didapatkan indurasi pada perabaan, waspada adanya proses


(23)

kadar Prostat Spesific Antigen (PSA) dan transrectal ultrasound serta biopsy (Cooperberg dkk, 2013).

Selama ini volume prostat telah digunakan sebagai dasar dan kriteria untuk diagnose BPH. Menurut Terris (2002), pengukuran volume prostat sangat berguna untuk rencana terapi pada pasien BPH (Terris dkk,2002). Roehrborn (2002) menyatakan bahwa perkiraan volume prostat menggunakan colok dubur adalah tidak akurat, sedangkan MRI dan CT dapat lebih tepat untuk mengukur volume prostat tetapi sayangnya pemeriksaan ini sangat mahal (Roehrborn dkk, 2002).

Digital rectal examination (DRE) atau colok dubur secara rutin digunakan untuk mengukur volume prostat, tetapi hasilnya underestimat dibandingkan dengan transrectal ultrasound (TRUS).

2.1.8 Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan infeksi dan hematuria. Serum kreatinin diperiksa untuk evaluasi fungsi ginjal. Insufisiensi renal didapatkan dari 10% penderita dengan prostatism dan dibutuhkan pemeriksaan saluran kemih bagian atas. Pasien dengan insufisiensi renal memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi pasca operasi. Pemeriksaan PSA serum biasanya dilakukan pada awal terapi namun hal ini masih kontroversi (Cooperberg dkk, 2013).

PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma,


(24)

menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan kadar PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll dkk, 2013).

Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk., 2013). Dikatakan tingkat inflamasi pada prostat berkorelasi positif dengan nilai PSA (Gui-zhong dkk, 2011).

Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi saluran kemih.Dalam keadaan normal, urin bersifat steril. Saluran kemih terdiri dari ginjal, sistem pengaliran (kaliks, pyelum, dan ureter), dan kandung kemih (penyimpanan urin). Pada wanita, urin keluar dari kandung kemih melalui uretra yang bermuara dekat dengan vagina. Pada pria, urin keluar dari kandung kemih ke uretra melewati jaringan prostat (Shoskes dkk, 2011).

2.1.9 Pencitraan

Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan apabila didapatkan kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi misalnya hematuria, ISK, insufisiensi renal dan riwayat batu ginjal. Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk dianostik tetapi digunakan untuk terapi invasif. Pemeriksaan tambahan berupa cystometrogram dan profil urodinamik dilakukan pada pasien yang dicurigai memiliki kelainan neurologis. Pemeriksaan flow rate dan residu post miksi merupakan pemeriksaan tambahan (Cooperberg dkk, 2013).

2.1.10 Diagnosa Banding

Obstruksi saluran kemih bagian bawah lain seperti striktur uretra, kontraktur pada leher buli, batu buli atau keganasan prostat. Riwayat instrumentasi uretra,


(25)

uretritis atau trauma harus dieksklusi untuk menyingkirkan striktur uretra atau kontraktur leher buli. Hematuria dan nyeri umumnya berhubungan dengan batu buli-buli,keganasan prostat dapat terdeteksi awal dari colok dubur dan peningkatan PSA.

Infeksi saluran kemih dapat menyerupai gejala iritatif dari BPH. Dapat diidentifikasi dari urinalisis dan kultur, walaupun infeksi saluran kemih ini dapat merupakan komplikasi dari BPH. Keluhan iritatif juga dapat berhubungan dengan keganasan kandung kemih terutama karsinoma in situ, di mana pada urinalisis didapatkan hematuria. Riwayat kelainan neurologis, stroke, DM dan cedera tulang belakang dapat mengarah ke neurogenic bladder. Umumnya didapatkan penurunan sensibilitas pada perineum dan ekstremitas inferior dan penurunan tonus sphincter ani dan reflek bulbokavernosus, mungkin didapatkan perubahan pola defekasi (Cooperberg dkk, 2013).

2.1.11 Penatalaksanaan

Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga tindakan operasi pada penderita dengan gejala berat. Indikasi absolut untuk pembedahan berupa retensi urine yang berkelanjutan, infeksi saluran kemih yang rekuren, gross hematuria rekuren, batu buli akibat BPH, insufisiensi renal dan divertikel buli.(Cooperberg, 2013).

1) Watchful waiting

Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami progresi keluhan, beberapa mengalami perbaikan spontan. Watchful waiting merupakan


(26)

penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan nilai IPSS 0-7. Penderita dengan gejala LUTS sedang juga dapat dilakukan observasi atas kehendak pasien.

2) Medikamentosa

Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa (adrenergic alfa

blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara

menurunkan kadar hormon testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase. Selain kedua cara diatas, sekarang banyak dipakai terapi menggunakan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.

Tabel 2.1. Klasifikasi Terapi Medikamentosa pada BPH (Modifikasi dari Cooperberg, 2013)

Klasifikasi Dosis Oral

Alpha-blockers Nonselective

Phenoxybenzamine 10 mg dua kali sehari Alpha-1, kerja pendek

Prazosin 2 mg dua kali sehari Alpha-1, kerja panjang

Terazosin 5 atau 10 mg per hari Doxazosin 4 atau 8 mg per hari Alpha-1a selective

Tamsulosin 0,4 atau 0,8 mg per hari Alfuzosin 10 mg per hari

5-Alpha-reductase inhibitor

Finasteride 5 mg per hari Dutasteride 0,5 mg per hari Implan Subkutan Setiap tahun Triptoreline pamoate 3,75 mg setiap bulan

3) Operatif

Tindakan operatif dilakukan apabila pasien BPH mengalami retensi urin yang menetap atau berulang, inkontinensia overflow, ISK berulang, adanya batu


(27)

saluran kemih bagian atas akibat obstruksi dengan atau tanpa insufisiensi ginjal (indikasi operasi absolut). Selain itu adanya gejala saluran kemih bagian bawah yang menetap setelah terapi konservatif atau medikamentosa merupakan indikasi operasi relatif (Oelke dkk, 2013).

a. TURP (Transurethral Resection of the Prostate)

95% terapi operatif dari penderita BPH dapat dilakukan cara endoskopi, di mana tindakan ini menggunakan pembiusan spinal dan lama perawatan yang relatif singkat. TURP menjadi baku emas tindakan operatif pada penderita BPH. Dikatakan TURP dapat mengurangi gejala saluran kemih bagian bawah dan menurunkan IPSS pada 94,7% kasus (Bozdar dkk, 2010).

Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the Prostate (TURP) masih merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH. Pada pasien dengan keluhan derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100% . Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan yang paling sering adalah perdarahan sehingga membutuhkan transfusi. Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80 tahun, ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90 menit. Sindroma TUR terjadi kurang dari 1% (IAUI Guidelines, 2003).

Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress <1% maupun inkontinensia urge 1,5%, striktura uretra 0,5-6,3%, kontraktur leher


(28)

buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang berukuran kecil 0,9-3,2%, dan disfungsi ereksi. Angka kematian akibat TURP pada 30 hari pertama adalah 0,4% pada pasien kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia 80-84 tahun. Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif (termasuk anestesi) yang lebih baik pada dekade terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan jumlah pemberian transfusi berangsur-angsur menurun (IAUI Guidelines, 2003).

Resiko atau komplikasi dari TURP antara lain ejakulasi retrograde sekitar 75%, impotensi 5-10%, inkontinensia 1%, dan komplikasi lain berupa perdarahan, striktur uretra, kontraktur leher buli, perforasi dari kapsul prostat, dan sindrom TURP (Cooperberg dkk, 2013).

b. Transurethral Incicion of the Prostate

Penderita dengan LUTS sedang atau berat dan prostat yang kecil seringkali memiliki hiperplasia dari komisura posterior (elevasi leher buli), di mana hal ini merupakan indikasi untuk insisi prostat. Keuntungannya berupa tindakan lebih cepat, morbiditas lebih rendah dengan resiko ejakulasi retrograde lebih rendah (25%) (Cooperberg dkk, 2013).

c. Prostatektomi terbuka

Diindikasikan pada prostat yang terlalu besar untuk dilakukan tindakan endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita dengan divertikulum buli atau didapatkannya batu buli. Prostatektomi terbuka dibagi menjadi 2 cara pendekatan yaitu suprapubik (Millin procedure) dan retropubik (Freyer procedure) (Cooperberg, 2013)


(29)

4) Terapi Minimal Invasive.

Dapat berupa Terapi laser (TULIP), Transurethral Electrovaporization of

the Prostat, Microwave Hypertermia, Transurethral Needle Ablation of the

Prostat, High Intencity Focused Ultrasound, Stent Intraurethral (Purnomo,

2003)

2.2 Prostate Spesific Antigen (PSA)

Pengukuran Prostate Spesific Antigen (PSA) telah digunakan secara luas untuk mendeteksi dini keganasan dan memonitor terapi pada prostat. Perlu ditekankan bahwa PSA tidaklah spesifik untuk kanker prostat, namun PSA secara spesifik diproduksi oleh jaringan prostat. Kelainan pada prostat selain keganasan juga dapat mempengaruhi kadar PSA serum, seperti misalnya BPH atau prostatitis (Amirrasouliet dkk, 2010).

PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan kadar PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll dkk, 2013).

Sejarah perkembangan dari Prostatic Specific Antigen (PSA) sebagai berikut: Hara et al menemukan gamma seminoprotein yang diisolasi dari seminal plasma pada tahun 1971, kemudian pada tahun 1973 Li dan Beling dapat memurnikan


(30)

protein dari plasma seminal. Pada tahun 1979, Wang et al dapat memurnikan protein dari jaringan prostat. Nadji et al melapaorkan bahwa ada hubungan antara PSA dan kanker prostat tahun 1981. Pada tahun 1985 Lilja et al mendeskripsikan fungsi dan karakteristik dari PSA. Myrtle menetapkan referensi range dari PSA pada tahun 1986. Pada tahun 1987, Stamey melakukan study klinis untuk mengetahui efektifitas PSA sebagai tumor marker. Setelah itu tahun 1990 ditemukan dan dipromosikan 3 alat untuk deteksi kanker prostat (DRE, PSA,TRUS) oleh Cooner . Pada tahun 1992 Carter memperkenalkan konsep dari PSA velocity dan Benson mengemukakan PSA density. Setahun kemudian Brawer et al dan Catalona et al mempublikasikan studi kegunaan PSA saja untuk mendeteksi kanker prostat. Tahun 1997, Partin memperlihatkan aplikasi klinis PSA sebagai final pathologic stage (David dkk, 2001)

2.2.1 Hubungan PSA dengan Umur

Total PSA meningkat pada pria dengan pembesaran prostat tanpa adanya kanker, beberapa penelitian menyebutkan adanya korelasi antara free PSA dengan usia, hal ini berhubungan dengan peningkatan prevalensi pembesaran prostat pada usia tua (Oesterling dkk, 1998).

Pada penelitian yang dilakukan di Jordania oleh Battikhi, dilaporkan bahwa ada hubungan linear progresif antara peningkatan total PSA dan free PSA dengan bertambahnya usia. Pada penelitiannya hanya didapatkan sekitar 26% laki-laki dengan kadar TPSA 4,1-9,9 ng/ml yang mengalami kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Peningkatan kadar TPSA dan FPSA seiring dengan


(31)

bertambahnya usia dikemukakan oleh beberapa studi yang dilakukan pada laki-laki kulit putih dan kulit hitam di Amerika dan di Japan (Battikhi, 2003).

Gambar 2.6 Korelasi kadar serum TPSA dan usia pada pasien dengan klinis bukan kanker prostat di Jordania (Modifikasi dari Battikhi, 2003)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Khezri dkk di Iran juga melaporkan bahwa PSA sebagai marker yang berguna untuk diagnose dan managemen kanker prostat, meskipun peningkatan kadar PSA tidak spesifik kanker prostat tetapi organ spesifik. Peningkatan kadar PSA ditemukan pada pasien dengan BPH dan prostatitis, dan juga PSA meningkat seiring dengan usia karena peningkatan volume prostat (Khezri dkk, 2009).


(32)

Gambar 2.7 Hubungan antara usia dan kadar PSA pada pasien di Iran (Modifikasi dari Khezri dkk, 2009)

Ornstein et al menyebutkan adanya korelasi antara free PSA dengan usia pasien, hal ini sehubungan dengan pria diatas 50 tahun didapatkan rasio volume zona transisional ke zona periferal yang meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Free PSA dilepaskan oleh zone transisional sehinggan free PSA meningkat (Ornstein,1998).

Tabel 2.2 Rata-rata serum PSA dari berbagai populasi (Modifikasi dari Khezridkk,2009)


(33)

2.2.2 Hubungan PSA dengan Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih sangat sering terjadi baik pada wanita maupun laki-laki. Faktor-faktor predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih antara lain obstruksi saluran kencing (batu ginjal,batu buli, BPH), gangguan pengosongan kandung kemih, kelemahan pada system imunitas (diabetes, kemoterapi, dan lain-lain), hubungan intim, pemasangan alat instrument pada tubuh (pemasangan kateter urine), kelainan anatomi atau trauma (striktur uretra) (DiVito, 2014).

Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Beberapa penelitian atau studi menggambarkan peningkatan level PSA pada pasien dengan keluhan dan gejala infeksi saluran kemih dengan kultur bakteri yang positif tetapi dengan pengobatan yang baik dapat menurunkan kadar PSA. Beberapa infeksi yang dekat dengan kelenjar prostat, termasuk infeksi saluran kemih dapat mengiritasi sel prostat sehingga mengakibatkan peningkatan kadar PSA (Bell dkk, 1998).

Pada beberapa studi menyebutkan bahwa kelenjar prostat dan vesika seminalis sering terjadi ko-infeksi pada laki-laki dan dapat menyebabkan acute febrile UTI.

Selama fase akut infeksi akan terjadi peningkatan konsentrasi serum PSA dengan beberapa variasi konsentrasi serum PSA untuk kembali ke level normal. Kenaikan

serum PSA tersebut sebagian besar diikuti dengan periode demam. Mekanisme patologi kenaikan serum PSA dalam darah masih belum jelas, mungkin disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh proses


(34)

infeksi dan inflamasi . Penurunan kadar PSA akan terjadi setelah proses infeksi akut tertangani dan memerlukan waktu yang berbeda-beda (Ullerryd dkk, 1999)

Tabel 2.3 Level serum PSA selama periode febrile UTI

( Modifikasi dari Ullerryd dkk, 1999)

Tabel 2.4 Level serum PSA setelah periode febrile UTI

(Modifikasi dari Ullerryd dkk, 1999)

2.2.3 Hubungan PSA dengan Inflamasi Prostat

Pada prostat terdapat sel-sel inflamasi (leukosit) yang bertambah seiring bertambahnya usia. Sel-sel ini terdiri dari limfosit B dan T, makrofag, dan sel mast. Penyebab adanya infltrasi dari sel inflamasi pada jaringan prostat masih belum jelas. Beberapa hipotesa telah dikemukakan, di antaranya adalah infeksi


(35)

bakteri, infeksi virus, refluks urin dengan inflamasi kimiawi, faktor makanan, hormone, respon autoimun, dan kombinasi dari beberapa faktor tersebut (De Nunzio dkk. 2011).

Telah ditemukan penyebab infeksi seperti E. coli (bakteri gram negatif), beberapa jenis virus seperti Human Papilloma Virus (HPV), virus herpes simpleks tipe 2, dan sitomegalovirus, juga organisme yang menyebar secara seksual seperti

Neisseria gonorrhoea, Chlamydia trachomatis, Treponema pallidum, and

Trichomonas vaginalis. Selain infeksi, refluks urin juga bisa menyebabkan

inflamasi dengan adanya kristal asam urat yang mengaktifkan makrofag dan mencetuskan pengeluaran sitokin. Penyebab lain yang mungkin adalah respon autoimun. Dengan adanya trauma pada prostat akibat beberapa etiologi yang telah disebutkan, lapisan epitel yang rusak akan melepaskan antigen yang mencetuskan terjadinya proses autoimun. Estrogen secara umum telah dipertimbangkan sebagai hormon proinflamasi, diperkirakan menginduksi inflamasi dengan mempengaruhi produksi Interferon-γ (IFN-γ) pada limfosit. Estrogen juga menstimulasi Interleukin 4 (IL-4) yang akan menjadi growth factor-β (TGF-β). Faktor makanan yang berpengaruh dalam proses ini adalah makanan yang tinggi lemak, di mana pada percobaan binatang terbukti meningkatkan distribusi dan aktivitas sel mast dan makrofag pada prostat (De Nunzio dkk. 2011).

Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar dkk, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat inflamasi pada jaringan prostat berkorelasi positif dengan nilai PSA. Inflamasi meningkatkan kadar PSA serum, penyebab paling memungkinkan adalah adanya kerusakan integritas dari duktus


(36)

pada prostat yang mengakibatkan keluarnya PSA dari lumen duktus dan asinus ke interstitial (Gui-zhong dkk, 2011). Salah satu penelitian awal mengenai kadar PSA dengan inflamasi histologis dilakukan oleh Brawn (1991), dengan kesimpulan bahwa inflamasi pada prostat menyebabkan kenaikan kadar PSA serum. Penelitian oleh Irani (1997) menunjukkan adanya hubungan antara agresifitas inflamasi dengan peningkatan kadar PSA. Simardi (2004) menyimpulkan bahwa luasnya inflamasi berkorelasi dengan peningkatan PSA serum. Kandirali (2007) memodifikasi metode grading dari Irani, dan menunjukkan adanya hubungan luas dan agresifitas dari inflamasi pada prostat dengan peningkatan kadar PSA dan PSA density (PSAD) serta penurunan kadar

free PSA (fPSA). Gui-zhong (2011) menggunakan klasifikasi prostatitis dari

National Institute of Health (NIH), menunjukkan perluasan dan derajat inflamasi

berhubungan dengan peningkatan kadar PSA serum (Gui-zhong dkk, 2011). Pemeriksaan PSA serum yang umum dilakukan adalah PSA serum total (tPSA). Perbandingan PSA serum total dengan volume prostat disebut sebagai

PSA density (PSAD). Sebagian besar PSA pada plasma berikatan dengan inhibitor

serine protease seperti α1-antichymotrypsin, α1-protease inhibitor, dan α 2-macroglobulin. 10%-30% dari PSA total (tPSA) tidak berikatan dengan protein serum, disebut dengan PSA bebas (free PSA/fPSA). Rasio fPSA dengan tPSA (fPSA/tPSA) disebut sebagai persentase fPSA. Beberapa penelitian menunjukkan adanya persentase fPSA yang lebih rendah pada pasien dengan kanker prostat. Hal ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan yang lebih spesifik untuk mendeteksi kanker prostat. Partin, dkk melaporkan bahwa f/tPSA pada serum dapat lebih


(37)

akurat dalam membedakan kanker prostat dengan penyakit nonmalignansi sehingga dapat menghindari adanya biopsi yang tidak perlu. Nilai normal f/tPSA yang direkomendasikan adalah 0,2-0,25 (Amirraouli dkk, 2010).

Pada penelitian yang dilakukan Goran dkk menyebutkan bahwa akurasi PSA untuk mendiagnosa kanker prostat terbatas sensitifitasnya dan spesifitasnya sampai dengan kadar PSA 10 ng/ml. Ratio free PSA terhadap total PSA sebagai alat yang berguna untuk membedakan antara kanker prostat dan BPH, rasio rendah terdapat pada kanker prostat dibandingkan dengan BPH tetapi ratio yang rendah bukan hanya didapatkan pada kanker prostat tetapi juga bias terjadi pada keadaan inflamasi subklinik (Goran dkk, 2014).

Proses inflamasi pada prostat mencetuskan pelepasan sitokin. Sitokin dan faktor pertumbuhan tidak hanya berinteraksi dengan efektor imunologi, namun juga dengan sel epitel dan stroma dari prostat. Kramer dkk, pertama kali mengkonfirmasi bahwa jaringan BPH mengandung limfosit T, limfosit B, makrofag yang teraktivasi secara kronis dan menyebabkan pelepasan sitokin, yang menyebabkan pertumbuhan fibromuskular pada BPH. Sitokin proinflamasi yang terlibat di antaranya adalah Interleukin-6 (IL-6), IL-8, dan IL-5. Pada saat sel T mencapai batas tertentu, sel-sel di sekitarnya menjadi target dan dihancurkan, meninggalkan ruang yang digantikan oleh nodul fibromuskuler (De Nunzio dkk, 2011).

Penna dkk bahwa sel stroma pada prostat dapat menjadi antigen yang mengaktivasi alloantigen CD4 untuk memproduksi IFN-γ dan IL-17. IFN-γ dan IL-17 akan mencetuskan produksi IL-6 dan IL-8, di mana IL-6 merupakan faktor


(38)

pertumbuhan autokrin dan IL-8 adalah induktor parakrin dari fibroblast growth

factor 2 (FGF-2). Keduanya merupakan kunci dari pertumbuhan sel epitel dan

stroma prostat. Selain itu, pro inflamasi TGF-β telah tebukti meregulasi proliferasi dan diferensiasi stroma pada BPH. Sumber lain dari mediator inflamasi adalah adanya hipoksia lokal yang terjadi, di mana mencetuskan adanya neovaskularisasi dan diferensiasi fibroblas menjadi myofibroblas (De Nunzio dkk, 2011).

Penelitian dari Daniels, dkk.menemukan adanya prostatitis pada 83% dari pasien dengan BPH. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH (Krieger, 2008). Penelitian dari Reduce memiliki hasil yang hampir sama, di mana disebutkan 21,6% tidak didapatkan inflamasi, 78,4% terdapat inflamasi (Nickel dkk, 2008).

Inflamasi pada jaringan prostat diklasifikasikan menurut gambaran histologi dan menurut agresivitasnya. Menurut gambaran histologi, tidak adanya gambaran inflamasi prostat dikategorikan menjadi derajat 0, derajat 1 adanya infiltrat sel inflamasi yang tersebar tanpa adanya nodul, derajat 2 terdapat nodul tanpa berhubungan satu sama lain, dan derajat 3 bila terdapat area inflamasi yang luas dengan penyatuan. Sementara menurut agresivitasnya, inflamasi prostat dibagi menjadi derajat 0 bila tidak terdapat hubungan antara sel inflamasi dengan epitel, derajat 1 bila terdapat hubungan sel inflamasi dengan epitel, derajat 2 bila terdapat infiltrasi interstitial dengan kerusakan glandular, dan derajat 3 bila terjadi kerusakan glandular lebih dari 25% (De Nunzio dkk, 2011).


(39)

Tabel 2.5. Derajat Histologis dan Agresivitas pada Inflamasi Prostat (Modifikasi dari De Nunzio dkk, 2011)

Derajat histologi :

0: Tidak ada inflamasi

1: Infiltrasi sel inflamasi yang menyebar tanpa nodul 2: Nodul limfoid tanpa penyatuan

3: Area inflamasi yang besar dengan penyatuan nodul Agresivitas histologi :

0: Tidak ada kontak antara sel inflamasi dengan epitel kelenjar

1: Terdapat kontak antara sel inflamasi dengan epitel

2: Infiltrasi ke interstitial dengan kerusakan struktur kelenjar 3: Kerusakan struktur kelenjar >25%

Akhir-akhir ini terdapat dugaan bahwa PSA merupakan suatu antigen yang menjadi salah satu pencetus terjadinya proses inflamasi pada jaringan prostat. Sebuah penelitian pada pasien dengan prostatitis, ditemukan adanya reaksi CD4 sel T dengan plasma seminal, di mana antigen yang dikenali berasal dari postat.CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis memberikan respon proliferatif terhadap PSA (Ponniah dkk, 2000).

Sampai saat ini, penyebab prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis masih belum diketahui. Sejak lama, infeksi telah digambarkan sebagai penyebabnya. Namun pada kenyataannya, banyak pasien dengan kronik prostatitis gagal diterapi dengan obat antibakterial. Hipotesa bahwa prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis merupakan sebuah penyakit autoimun didukung oleh beberapa hasil observasi. Pertama, sifatnya yang kronis, berulang dan episodik konsisten dengan penyebab autoimun. Kedua, umumnya pada jaringan prostat ditemukan infiltrat dari sel-sel inflamasi. Penyebab adanya infiltrat tersebut, dan


(40)

implikasi dari keberadaannya masih belum diketahui dengan pasti. Yang ketiga, telah dibuktikan bahwa CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis kronis atau dengan sindrom nyeri pelvis kronis memberikan respon proliferatif terhadap plasma seminal. Terakhir, didapatkan bahwa sitokin proinflamasi TNF-α dan IL-1β meningkat pada cairan semen pada pria dengan prostatitis kronis bila dibandingkan dengan pria normal (Ponniah, 2000).

Gambar 2.8 (A). Jaringan normal prostat tanpa inflamasi, (B) Inflamasi prostat derajat 1, (C) Inflamasi prostat derajat 2, (C) Inflamasi prostat derajat 3 dengan pewarnaan H&E 200x (Modifikasi dari Stimac dkk, 2014)

2.2.4 Hubungan PSA dan Obesitas

Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik.


(41)

sindroma metabolik merupakan suatu kelompok kelainan metabolik meliputi obesitas, resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, dislipidemia dan hipertensi (Sugondo dkk, 2014).

Sebagian besar laki-laki diatas usia 50 tahun mempunyai keluhan yang berhubungan dengan pertumbuhan dari prostat dan benign prostate hypertrophy

(BPH). Prevalensi dari obesitas dan penumpukan lemak abdominal juga meningkat sejalan dengan usia dan perubahan metabolism hormon steroid, regulasi insulin, dan pembesaran prostat yang diakselerasi oleh obesitas. Namun hasil dari investigaasi beberapa penelitian hubungan antara BMI atau estimasi

visceral adiposity dan klinis BPH masih inkonsisten (Fowke dkk, 2007).

Sampai saat ini, banyak laporan yang membahas hubungan terbalik antara PSA dan Body Mass Index (BMI) pada pasien dengan kanker prostat. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar PSA lebih rendah pada pria dengan obesitas (Hekal dkk, 2010). PSA diregulasi oleh androgen, beberapa peneliti mempunyai hipotesis bahwa konsentrasi PSA yang rendah dapat menyebabkan penurunan dari aktivitas androgenik pada pasien dengan obesitas. Namun pasien dengan BMI yang tinggi juga memiliki volume plasma yang lebih besar, yang dapat menurunkan konsentrasi solubel tumor marker, fenomena ini disebut hemodilusi (Vollmer dkk, 2003).

Bannes dkk (2007) juga menyebutkan bahwa laki-laki dengan BMI yang tinggi juga menpunyai volume plasma yang besar dan volume vaskular , dimana hal tersebut dapat menurunkan konsentrasi serum PSA karena efek dilusi.


(42)

Huterer dkk (2007) dan Thompson dkk (2004) mengemukakan bahwa tidak ditemukannya hubungan statistik yang signifikan antara BMI dan kadar serum PSA, sedangkan beberapa penelitian lain mengatakan adanya hubungan terbalik antara BMI dan PSA. Chia dkk (2009) menyebutkan adanya hubungan terbalik antara BMI dan PSA level, khususnya laki-laki China usia 70-79 tahun dengan BMI > 25, setiap 1 kg/m2 per tahun terjadi penurunan kadar PSA sekitar 0,011 ng/mL.

Tab 2.6 Hubungan antara BMI dan PSA pada laki-laki Japanese (Modifikasi dari Naito dkk,2012)

Pada penelitian yang dilakukan Naito dkk (2012) menyebutkan bahwa kadar serum PSA lebih rendah terdapat pada laki-laki dengan obesitas dibandingkan dengan yang non obesitas, dan pada penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa kadar serum PSA juga lebih rendah pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan yang non diabetes (Naito dkk, 2012)

Kim dkk menemukan hubungan korelasi antara PSA dan BMI, berdasarkan stratifikasi usia 60 tahun, ada hubungan terbalik yang signifikan pada


(43)

Pada beberapa kasus pasien dengan obesitas mempunyai ukuran prostat relatif lebih besar daripada yang non obesitas, dari beberapa data menyebutkan bahwa obesitas berhubungan dengan pembesaran ukuran prostat (Hekal dkk, 2010).

Baltimore Longitudinal Study of Aging mengatakan tidak ada hubungan

antara BMI dan volume prostat , walaupun visceral adiposity dan berat badan berhubungan dengan klinis BPH, sedikit pengetahuan mengenai hubungannya dengan volume prostat. Lebih jauh lagi, beberapa study terbaru meyakini bahwa ada beberapa efek obesitas terhadap volume prostat dan juga dapat digunakan untuk deteksi kanker prostat. Pada penelitian yang dilakukan Fowke dkk mempunyai kesimpulan bahwa obesitas dan berat badan berhubungan dengan peningkatan volume prostat (Fowke dkk, 2007).

Pada obesitas terjadi insulin resisten sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar insulin yang diproduksi oleh pankreas, insulin menginduksi terjadinya proliferasi jaringan prostat (Gokce dkk, 2010). Selain itu pada pasien dengan obesitas terjadi peningkatan jaringan adipose yang berakibat peningkatan sekresi hormon leptin, hormon leptin menstimulasi proliferasi sel jaringan prostat dan kemudian terjadi BPH (Mohammed dkk, 2012). Hiperinsulinemia terjadi peningkatan aktivitas simpatis dengan peningkatan metabolism glukosa pada ventromedial hipothalamic neuron yang berkontribusi peningkatan aktivitas alfa-adrenergik pathway, sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot polos pada struktur genitourinary termasuk prostat, leher buli, uretra dan akan terjadi LUTS (McVary dkk, 2006). Insulin juga bisa menyebabkan terjadinya BPH via IGF axis,


(44)

dimana IGF axis berperan dalam regulasi pertumbuhan epitel prostat (Stattin dkk, 2001).


(45)

           


(1)

implikasi dari keberadaannya masih belum diketahui dengan pasti. Yang ketiga, telah dibuktikan bahwa CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis kronis atau dengan sindrom nyeri pelvis kronis memberikan respon proliferatif terhadap plasma seminal. Terakhir, didapatkan bahwa sitokin proinflamasi TNF-α dan IL-1β meningkat pada cairan semen pada pria dengan prostatitis kronis bila dibandingkan dengan pria normal (Ponniah, 2000).

Gambar 2.8 (A). Jaringan normal prostat tanpa inflamasi, (B) Inflamasi prostat derajat 1, (C) Inflamasi prostat derajat 2, (C) Inflamasi prostat derajat 3 dengan pewarnaan H&E 200x (Modifikasi dari Stimac dkk, 2014)

2.2.4 Hubungan PSA dan Obesitas


(2)

sindroma metabolik merupakan suatu kelompok kelainan metabolik meliputi obesitas, resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, dislipidemia dan hipertensi (Sugondo dkk, 2014).

Sebagian besar laki-laki diatas usia 50 tahun mempunyai keluhan yang berhubungan dengan pertumbuhan dari prostat dan benign prostate hypertrophy

(BPH). Prevalensi dari obesitas dan penumpukan lemak abdominal juga meningkat sejalan dengan usia dan perubahan metabolism hormon steroid, regulasi insulin, dan pembesaran prostat yang diakselerasi oleh obesitas. Namun hasil dari investigaasi beberapa penelitian hubungan antara BMI atau estimasi

visceral adiposity dan klinis BPH masih inkonsisten (Fowke dkk, 2007).

Sampai saat ini, banyak laporan yang membahas hubungan terbalik antara PSA dan Body Mass Index (BMI) pada pasien dengan kanker prostat. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar PSA lebih rendah pada pria dengan obesitas (Hekal dkk, 2010). PSA diregulasi oleh androgen, beberapa peneliti mempunyai hipotesis bahwa konsentrasi PSA yang rendah dapat menyebabkan penurunan dari aktivitas androgenik pada pasien dengan obesitas. Namun pasien dengan BMI yang tinggi juga memiliki volume plasma yang lebih besar, yang dapat menurunkan konsentrasi solubel tumor marker, fenomena ini disebut hemodilusi (Vollmer dkk, 2003).

Bannes dkk (2007) juga menyebutkan bahwa laki-laki dengan BMI yang tinggi juga menpunyai volume plasma yang besar dan volume vaskular , dimana hal tersebut dapat menurunkan konsentrasi serum PSA karena efek dilusi.


(3)

Huterer dkk (2007) dan Thompson dkk (2004) mengemukakan bahwa tidak ditemukannya hubungan statistik yang signifikan antara BMI dan kadar serum PSA, sedangkan beberapa penelitian lain mengatakan adanya hubungan terbalik antara BMI dan PSA. Chia dkk (2009) menyebutkan adanya hubungan terbalik antara BMI dan PSA level, khususnya laki-laki China usia 70-79 tahun dengan BMI > 25, setiap 1 kg/m2 per tahun terjadi penurunan kadar PSA sekitar 0,011 ng/mL.

Tab 2.6 Hubungan antara BMI dan PSA pada laki-laki Japanese (Modifikasi dari Naito dkk,2012)

Pada penelitian yang dilakukan Naito dkk (2012) menyebutkan bahwa kadar serum PSA lebih rendah terdapat pada laki-laki dengan obesitas dibandingkan dengan yang non obesitas, dan pada penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa kadar serum PSA juga lebih rendah pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan yang non diabetes (Naito dkk, 2012)

Kim dkk menemukan hubungan korelasi antara PSA dan BMI, berdasarkan stratifikasi usia 60 tahun, ada hubungan terbalik yang signifikan pada


(4)

Pada beberapa kasus pasien dengan obesitas mempunyai ukuran prostat relatif lebih besar daripada yang non obesitas, dari beberapa data menyebutkan bahwa obesitas berhubungan dengan pembesaran ukuran prostat (Hekal dkk, 2010).

Baltimore Longitudinal Study of Aging mengatakan tidak ada hubungan

antara BMI dan volume prostat , walaupun visceral adiposity dan berat badan berhubungan dengan klinis BPH, sedikit pengetahuan mengenai hubungannya dengan volume prostat. Lebih jauh lagi, beberapa study terbaru meyakini bahwa ada beberapa efek obesitas terhadap volume prostat dan juga dapat digunakan untuk deteksi kanker prostat. Pada penelitian yang dilakukan Fowke dkk mempunyai kesimpulan bahwa obesitas dan berat badan berhubungan dengan peningkatan volume prostat (Fowke dkk, 2007).

Pada obesitas terjadi insulin resisten sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar insulin yang diproduksi oleh pankreas, insulin menginduksi terjadinya proliferasi jaringan prostat (Gokce dkk, 2010). Selain itu pada pasien dengan obesitas terjadi peningkatan jaringan adipose yang berakibat peningkatan sekresi hormon leptin, hormon leptin menstimulasi proliferasi sel jaringan prostat dan kemudian terjadi BPH (Mohammed dkk, 2012). Hiperinsulinemia terjadi peningkatan aktivitas simpatis dengan peningkatan metabolism glukosa pada ventromedial hipothalamic neuron yang berkontribusi peningkatan aktivitas alfa-adrenergik pathway, sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot polos pada struktur genitourinary termasuk prostat, leher buli, uretra dan akan terjadi LUTS (McVary dkk, 2006). Insulin juga bisa menyebabkan terjadinya BPH via IGF axis,


(5)

dimana IGF axis berperan dalam regulasi pertumbuhan epitel prostat (Stattin dkk, 2001).


(6)

           


Dokumen yang terkait

Hubungan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

16 180 62

Karakteristik Pasien Benign Prostate Hyperlasia (BPH) yang Menjalani Transurethral Resection of Prostate (TURP) di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada Periode Januari 2012-Desember 2013

9 79 79

Karakteristik Pasien Penderita Batu Saluran Kemih Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

3 66 78

Profil Pasien Benign Prostate Hyperplasia yang Dilakukan Ultrasonografi di Rumah Sakit Umum Dr.Pirngadi Periode Bulan Juli 2012 Hingga Desember 2012

4 48 49

Karakteristik Penderita Batu Saluran Kemih Rawat Inap di Rumah Sakit Tembakau Deli PTP Nusantara II Medan Tahun 2006-2010

2 30 113

Correlation between prostate volume, prostate specific antigen level, prostate specific antigen density and age in the benign prostate hyperplasia patients

0 4 4

Possible factors influencing high serum Prostate-specific Antigen (PSA) in Indonesian patients with Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

1 4 7

PENINGKATAN KADAR PROSTATIC SPECIFIC ANTIGEN LEBIH SERING TERJADI PADA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERTROPHY DENGAN INFEKSI SALURAN KEMIH DAN INFLAMASI DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH.

1 5 45

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) - Hubungan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 16

Hubungan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

0 0 15