BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) - Hubungan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

  2.1.1. Definisi BPH adalah gangguan yang makroskopiknya ditandai dengan pembesaran dari kelenjar prostat dan histologisnya disebabkan oleh hiperplasia stroma yang progresif dan hiperplasia kelenjar prostat. Jaringan prostat yang terus berkembang ini pada akhirnya dapat mengakibatkan penyempitan dari pembukaan uretra.

  Akibatnya, klinis BPH sering dikaitkan dengan lower urinary tract symptoms (LUTS). Bahkan, BPH merupakan penyebab utama LUTS pada pria tua (Speakman , 2008).

  2.1.2. Epidemiologi Prevalensi histologis BPH dalam studi otopsi meningkat dari sekitar 20% pada pria berusia 41-50 tahun, 50% pada pria berusia 51-60 tahun, dan >90% pada pria yang berusia lebih dari 80 tahun. Gejala obstruksi prostat juga terkait dengan usia meskipun bukti klinisnya lebih jarang terjadi. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria dilaporkan mengalami obstruktif gejala voiding. Pada usia 75 tahun, 50% dari pria mengeluhkan terjadinya penurunan dalam kekuatan dan kaliber pancaran urin (Presti , et al., 2008).

  2.1.3. Etiologi Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya

  BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah : a.

  Teori dihidrotestosteron (DHT) DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5alfa-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growht factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2011).

  NADPH NADP 5 α-reduktase Testosteron Dihidrotestosteron

Gambar 2.1. Perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron oleh enzim 5 α-reduktase

  Sumber : Dasar-dasar Urologi (Purnomo, 2011) b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

  Pada pria dengan usia yang semakin tua, kadar estrogen dalam serum relatif meningkat dibandingkan kadar testosteron. Pasien dengan BPH cenderung memiliki kadar estradiol yang lebih tinggi dalam sirkulasi perifer. Dalam the Olmsted County cohort, tingkat estradiol serum berkorelasi positif dengan volum prostat. Estrogen di dalam prostat berperan pada proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis) (Roehborn et al., 2007).

  c.

  Interaksi stroma-epitel Interaksi stroma-epitel berperan penting dalam regulasi hormonal, seluler, dan molekuler pada perkembangan prostat normal dan neoplastik. Proses peningkatan usia menyebabkan akumulasi bertahap dari massa prostat. Sebuah studi yang dilakukan oleh Cunha et al. menunjukkan bahwa sel stroma memiliki kemampuan untuk memodulasi diferensiasi sel epitel prostat normal. Penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh sel epitel dan stroma dapat meregulasi sel-sel prostat baru. Penyimpangan dari faktor pertumbuhan peptida atau reseptornya dapat langsung memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan prostat yang tidak terkendali yang menyebabkan BPH (Jie, et al., 2009).

  d.

  Berkurangnya kematian sel prostat

Gambar 2.2. Keseimbangan Proliferasi sel dan Apoptosis pada Prostat

  Androgen (DHT) Agonis antagonis

  EGF Kematian sel

  KGF TGF- β

  Proliferasi sel (apoptosis)

  IGFs prostat Seimbang

  Sumber : Campbell-Walsh Urology 9th Edition (Roehborn et al., 2007) Homeostasis pada kelenjar yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara inhibitor pertumbuhan dan mitogens, yang masing- masing menghambat atau menginduksi proliferasi sel tetapi juga mencegah atau memodulasi kematian sel (apoptosis). Pada pasien BPH, terjadi pertumbuhan abnormal (hiperplasia) pada prostat yang mungkin disebabkan oleh faktor pertumbuhan lokal atau reseptor faktor pertumbuhan yang abnormal, yang menyebabkan meningkatnya proliferasi atau menurunnya kematian sel (apoptosis) (Roehborn et al., 2007).

  e.

  Teori sel stem Ukuran prostat dapat menggambarkan adanya jumlah absolut sel stem pada kelenjar prostat. Lonjakan hormon androgen postnatal akan membentuk jaringan prostat sehingga menginduksi pertumbuhan prostat berikutnya. Sama seperti regulasi hormon jaringan prostat pada dewasa, hormon seks steroid dapat memberikan efek pembentukan jaringan prostat secara langsung atau tidak langsung melalui serangkaian jalur yang kompleks (Roehborn et al., 2007).

  2.1.4. Faktor Risiko Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah : 1.

  Kadar Hormon Menurut Guess (1995) dalam Amelia (2007) kadar testosteron yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih poten yaitu DHT oleh enzim 5

  α-reduktase, yang berperan penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat.

  2. Usia Proses penuaan akan menginduksi penghambatan proses maturasi sel sehingga perkembangan sel-sel yang berdiferensiasi berkurang dan mengurangi tingkat kematian sel (Roehborn et al., 2007).

  3. Ras Menurut Roehborn (2002) dalam Amelia (2007) orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar menderita BPH dibanding ras lain.

  Orang-orang Asia memiliki insidensi BPH paling rendah.

  4. Genetik Salah satu analisis kasus-kontrol, di mana subjek penelitiannya adalah pria berusia dibawah 64 tahun yang menjalani operasi BPH, diperkirakan lebih dari 50% pria menderita penyakit BPH secara genetik. Penelitian lain telah menyebutkan bahwa penyakit ini diwariskan secara autosomal dominan (Parsons, 2010).

  5. Obesitas Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat (Bain, 2006).

  6. Penyakit Diabetes Mellitus Dalam beberapa studi kohort yang berbeda yang dilakukan secara kumulatif yang menggabungkan puluhan ribu orang menunjukkan bahwa peningkatan kadar glukosa puasa plasma berhubungan dengan peningkatan ukuran prostat dan peningkatan risiko pembesaran prostat, klinis BPH, operasi BPH, dan LUTS (Parsons, 2010). 2.1.5 . Patofisiologi

  Pembesaran prostat tergantung pada potensi androgen dihidrotestosteron (DHT). Dalam kelenjar prostat, 5-alfa-reduktase tipe II merubah testosteron menjadi DHT, yang bekerja secara lokal, namun tidak secara sistemik. DHT mengikat reseptor androgen pada inti sel, yang berpotensi menyebabkan BPH (Deters, 2013).

  BPH akan meningkatkan resistensi uretra, sehingga sebagai kompensasinya menyebabkan perubahan pada fungsi kandung kemih. Selain itu juga terjadi peningkatan tekanan detrusor untuk mempertahankan aliran urin. Obstruksi yang disebabkan oleh perubahan fungsi detrusor, diperberat oleh peningkatan usia yang menyebabkan perubahan pada fungsi kandung kemih dan fungsi sistem saraf, yang menyebabkan frekuensi yang sering untuk mengeluarkan urin, urgensi, dan nokturia (Roehborn et al., 2007).

  2.1.6. Manifestasi Klinis

Tabel 2.1. LUTS pada BPH

  Storage urin Voiding Setelah Miksi

  Hesistensi

  Urgency Postvoid dribble

  Frekuensi sering Aliran melemah Rasa tidak lampias

  Urgency incontinence Intermitten (miksi terputus)

  Nokturia Distensi abdomen Sumber : The Canadian Journal of Urology (Kapoor, 2012)

  Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian sebelah bawah, beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO) adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score ) (AUA, 2006).

Tabel 2.2. International Prostatic Symptom Score (IPSS)

  Gejala Tidak <20% <50% =50% >50% Hampir Perna Selalu h

  1. tidak

  1

  2

  3

  4

  5 Berkemih lampias Dalam sebulan ini berapa sering anda merasakan sensasi tidak lampias saat berkemih (terasa belum habis)

  2.

  1

  2

  3

  4

  5 Sering berkemih Dalam sebulan ini berapa sering anda ingin berkemih lagi dalam 2 jam setelah anda berkemih

  3. terputus-

  1

  2

  3

  4

  5 Berkemih putus Dalam sebulan ini berapa sering anda pada saat berkemih terhenti sejenak, lalu mulai lagi (terputus- putus)

  4.

  1

  2

  3

  4

  5 Tidak dapat menunda untuk berkemih Dalam sebulan ini berapa sering anda merasa kesulitan untuk menunda berkemih

  5.

  1

  2

  3

  4

  5 Pancaran berkemih yang lemah Dalam sebulan ini berapa sering anda mengalami pancaran berkemih yang lemah

  6.

  1

  2

  3

  4

  5 Mengedan saat berkemih Dalam sebulan ini berapa sering anda mengedan sebelum mulai berkemih

  Tidak 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali 5 kali

7. Berkemih di malam hari

  Dalam bulan ini berapa perna = 1 = 2 = 3 = 4 = 5 sering anda harus h= 0 bangun tidur di malam hari untuk berkemih

  Sumber: Smith’s General Urology 17th Edition (Presti et al, 2008) Catatan : 0-7 : Gejala ringan 8-19 : Gejala sedang 20-35 : Gejala berat (Presti et al, 2008)

  2.1.7. Diagnosis a.

  Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa di daerah simfisis akibat retensi urin. Pada DRE diperhatikan :

  • Tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan
adanya kelainan buli-buli neurogenik

  • Mukosa rektum
  • Keadaan prostat, antara lain : kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.

  DRE pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul (Purnomo, 2011).

  b.

  Laboratorium Urinalisis dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau hematuria dan kreatinin serum diperiksa untuk menilai faal ginjal.

  Penanda tumor prostate specific antigen (PSA) bisa diperiksa apabila dicurigai adanya kanker prostat ( Presti et al, 2008).

  c.

  Pencitraan Pemeriksaan USG dapat dilakukan melalui trans abdominal

ultrasonography (TAUS) dan trans urethral ultrasonography (TRUS).

  Dari TAUS diharapkan mendapatkan informasi mengenai perkiraan volum (besar) prostat; menghitung sisa (residu) urin paska miksi; panjang protusi prostat ke buli-buli. Pada pemeriksaan TRUS dicari kemungkinan adanya keganasan prostat berupa area hipoekoik dan sebagai penunjuk dalam melakukan biopsi prostat (Purnomo, 2011).

  d.

  Sistoskopi Sistoskopi tidak dianjurkan untuk menentukan pengobatan tetapi dapat membantu dalam memilih tindakan bedah pada pasien yang memilih terapi invasif ( Presti et al, 2008).

  e.

  Residual volum urin postvoid (RVP) adalah volume urin yang tersisa di kandung kemih setelah berkemih. RVP umumya berkisar 20-30 cc (Berges

  et al , 2011). Pengukuran RVP dapat dilakukan secara invasif yaitu

  kateterisasi maupun non-invasif yaitu USG. Teknik invasif akurat jika dilakukan dengan benar namun menimbulkan risiko seperti cedera uretra,

  ISK, dan bakteremia yang bersifat sementara (Roehborn et al., 2007).

  f.

  Uroflometri merupakan rekaman elektronik dari pancaran aliran urin selama berkemih. Apabila hasil uroflometri menunjukkan pancaran aliran urin lemah, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya obstruksi (misalnya: hiperplasia prostat) (Roehborn et al., 2007).

  2.1.8. Komplikasi Hiperplasia prostat

  Penyempitan lumen uretra posterior Peningkatan tekanan intravesikal

  Buli-buli Ginjal dan Ureter a. Hipertrofi otot detrusor

  a. Refluks vesiko-ureter b. Trabekulasi b Hidroureter c.

  Selula

  c. Hidronefrosis d. Divertikel buli-buli

  d. Pionefrosis

  e. Gagal ginjal

Gambar 2.3. Bagan pengaruh hiperplasia prostat pada saluran kemih

  Sumber : Dasar-dasar Urologi (Purnomo, 2011)

2.2. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

  2.2.1. Definisi

  ISK merupakan respon inflamasi dari urotelium terhadap invasi bakteri yang biasanya berhubungan dengan bakteriuria dan piuria (Roehborn et al., 2007).

  2.2.2. Epidemiologi Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita ISK dibandingkan laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus) (Sukandar, 2009).

  Prevalensi ISK meningkat secara signifikan pada manula (manusia usia lanjut). Bakteriuria meningkat dari 5-10% pada usia 70 tahun menjadi 20% pada usia 80 tahun. Dikatakan bahwa ISK adalah penyebab bakterinemia pada manula (Purnomo, 2011).

  2.2.3. Klasifikasi dan Etiologi

  • Klasifikasi a.

  ISK uncomplicated (sederhana) adalah infeksi saluran kemih pada pasien tanpa disertai kelainan anatomi maupun kelainan struktur saluran kemih b.

  ISK complicated (rumit) adalah infeksi saluran kemih yang terjadi pada pasien yang menderita kelainan anatomik/struktur saluran kemih, atau adanya penyakit sistemik. Kelainan ini akan menyulitkan pemberantasan kuman oleh antibiotika c.

  First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection adalah infeksi saluran kemih yang baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapat setelah sekurang-kurangnya 6 bulan telah bebas dari ISK d. Unresolved bakteriuria adalah infeksi yang tidak mempan dengan pemberian antibiotika. Kegagalan ini biasanya terjadi karena mikroorganisme penyebab infeksi telah resisten (kebal) terhadap pemberian antibiotika yang dipilih e.

  Infeksi berulang adalah timbulnya kembali bakteriuria setelah sebelumnya dapat dibasmi dengan terapi antibiotika pada infeksi yang pertama. Timbulnya infeksi berulang ini dapat berasal dari re-infeksi atau bakteriuria persisten. Pada re-infeksi, kuman berasal dari luar saluran kemih, sedangkan bakteriuria persisten bakteri penyebabnya berasal dari dalam saluran kemih (Purnomo, 2011).

  • Etiologi Pada umumnya ISK disebabkan mikroorganisme (MO) tunggal : a.

  Escherichia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan infeksi simtomatik maupun asimtomatik b.

  Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus

  spp (33% anak laki-laki berusia 5 tahun) c.

  Infeksi yang disebabkan Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang dijumpai, kecuali pasca kateterisasi (Sukandar,2009)

  2.2.4. Faktor Predisposisi

Tabel 2.3. Faktor Predisposisi (Pencetus) ISK

  • Litiasis • Obstruksi saluran kemih
  • Penyakit ginjal polikistik
  • Nekrosis papilar
  • Diabetes mellitus pasca transplantasi ginjal
  • Nefropati analgesik
  • Senggama • Kehamilan • Kateterisasi Sumber : Sumber: Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid II (Sukandar, 2009)

  2.2.5. Patogenesis

  a. Masuknya bakteri Ada 4 cara bakteri masuk ke saluran genitourinaria, yaitu :

  • Ascending Sebagian besar bakteri periuretral naik ke saluran kemih yang menyebabkan ISK
  • Hematogen Dapat terjadi pada pasien immunocompromised dan pada neonatus.

  Staphylococcus aureus, Candida spesies, dan Mycobacterium tuberculosis adalah patogen yang paling sering menginfeksi saluran kemih secara hematogen

  • Limfatogen Saat ini hanya sedikit data yang menunjukkan bahwa penyebaran bakteri melalui saluran limfa berperan dalam patogenesis ISK
  • Infeksi langsung bakteri dari organ-organ yang berdekatan

  Dapat terjadi pada pasien dengan intraperitoneal abses atau fistula vesikovaginal atau vesicointestinal (Nguyen, 2008).

  b. Faktor dari host Kemampuan host untuk menahan mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah pertahanan lokal dari host dan peranan dari sistem kekebalan tubuh yang terdiri atas imunitas humoral dan imunitas selular (Purnomo, 2011).

Tabel 2.4. Pertahanan Lokal Tubuh terhadap Infeksi

  Pertahanan lokal tubuh terhadap infeksi

  • Mekanisme pengosongan urin yang teratur dari buli-buli dan gerakan peristaltik ureter (wash out mechanism)
  • Derajat keasaman (pH) urin yang rendah
  • Adanya ureum dalam urin
  • Osmolalitas urin yang cukup tinggi
  • Estrogen pada wanita pada usia produktif
  • Panjang uretra pada pria
  • Adanya zat antibakteria pada kelenjar prostat atau PAF (prostatic

  antibacterial factor ) yang terdiri atas unsur Zn

  • Uromukoid (protein Tamm-Horsfall) yang menghambat penempelan bakteri pada urotelium

  Sumber : Dasar-dasar Urologi edisi ketiga (Purnomo, 2011)

  Kuman E. coli yang menyebabkan ISK mudah berbiak dalam urin, di sisi lain urin bersifat bakterisidal terhadap hampir sebagian besar kuman dan spesies E. coli. Derajat keasaman urin, osmolalitas, kandungan urea dan asam organik, serta protein-protein yang ada di dalam urin bersifat bakterisidal. Protein di dalam urin yang bertindak sebagai bakterisidal adalah uromukoid atau protein Tamm-Horsfall (THP). Protein ini disintesis sel epitel tubuli pars ascenden loop of henle dan epitel tubulus distal. Sebenarnya pertahanan sistem saluran kemih yang paling baik adalah mekanisme wash out urine, yaitu aliran urin yang mampu membersihkan kuman yang ada di dalam urin. Gangguan dari mekanisme itu menyebabkan kuman mudah sekali mengadakan replikasi dan menempel pada urotelium. Supaya aliran urin adekuat dan mampu menjamin mekanisme wash out, maka harus dalam kondisi jumlah urin cukup dan tidak ada hambatan di dalam saluran kemih. Oleh karena itu, kebiasaan jarang minum dan pada gagal ginjal menghasilkan jumlah urin yang tidak adekuat, sehingga memudahkan terjadinya ISK (Purnomo,2011).

  c. Faktor dari mikroorganisme Tidak semua bakteri bisa menempel dan menginfeksi saluran kemih. Dari sekian banyak golongan Escherichia coli, yang uropatogen adalah serogrup O, K, dan H. Bakteri ini telah meningkatkan sifat penempelannya pada sel uroepitel, kebal terhadap bakterisidal serum manusia, menghasilkan hemolisin (untuk menginvasi jaringan), dan meningkatnya antigen K (melindungi bakteri dari fagositosis neutrofil). Kemampuan E.

  

coli untuk menempel pada sel epitel dimediasi oleh ligan yang terletak di

  ujung fimbria (pili) bakteri. Ligan ini mengikat reseptor glikolipid atau glikoprotein pada membran permukaan sel uroepitel. Pili diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya untuk menggumpalkan darah. P pili dapat menggumpalkan darah manusia, mengikat reseptor glikolipid pada sel uroepitel, eritrosit, dan sel-sel tubulus ginjal. Tipe pili 1, yang dapat menggumpalkan darah marmut, mengikat residu manosida pada sel uroepitel (Nguyen, 2008).

  2.2.6. Manifestasi Klinis/Gambaran Klinis Gambaran klinis ISK sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala hingga menunjukkan gejala yang sangat berat akibat kerusakan pada organ lain. Pada umumnya infeksi akut yang mengenai organ padat (ginjal, prostat, epididimis, dan testis) memberikan keluhan yang hebat sedangkan infeksi pada organ berongga (buli-buli, ureter, pielum) memberikan keluhan yang lebih ringan (Purnomo, 2011).

  2.2.7. Diagnosis Diagnosis ISK kadang-kadang sulit untuk ditegakkan dan bergantung pada urinalisis dan kultur urin. Kadang-kadang, penelusuran lokalisasi mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi sumber infeksi (Nguyen, 2008).

  a.

  Urinalisis Untuk pasien dengan gejala sistem saluran kemih, harus dilakukan urinalisis mikroskopis apabila terdapat bakteriuria, piuria, dan hematuria.

  Urinalisis dapat mengidentifikasi bakteri dan leukosit dengan cepat dan dapat mendiagnosis ISK. Biasanya, sedimen yang akan dianalisis diperoleh dari sekitar 5-10 mL spesimen dengan melakukan sentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 2000 rpm (Roehborn et al., 2007).

  b.

  Kultur urin Baku emas untuk mengidentifikasi ISK adalah jumlah bakteri tertentu pada kultur urin . Urin harus dikumpulkan dalam wadah steril dan dikultur segera setelah dikumpulkan. Bila hal ini tidak mungkin, urin dapat disimpan dalam lemari es sampai 24 jam. Sampel tersebut kemudian diencerkan dan menyebar di wadah kultur. Setiap bakteri akan membentuk koloni tunggal di wadah. Jumlah koloni dihitung dan disesuaikan per mililiter urin (CFU / mL) (Nguyen, 2008). c.

  Pencitraan Pada ISK uncomplicated (sederhana) tidak diperlukan pemeriksaan pencitraan, tetapi pada ISK complicated (rumit) perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan untuk mencari penyebab/sumber terjadinya infeksi (Purnomo, 2011).

  2.2.8. Komplikasi Infeksi saluran kemih dapat menimbulkan beberapa komplikasi (penyulit), diantaranya : a.

  Gagal ginjal akut Edema yang terjadi akibat inflamasi akut pada ginjal akan mendesak sistem pelvikalises sehingga menimbulkan gangguan aliran urin. Pada pemeriksaan urogram terlihat spastisitas sistem pelvikalises atau pada pemeriksaan radionuklir, asupan (uptake) zat radioaktif tampak menurun b.

  Batu saluran kemih Adanya papila yang terkelupas akibat infeksi saluran kemih serta debris dari bakteri merupakan nidus pembentukan batu saluran kemih. Selain itu, beberapa kuman yang dapat memecah urea mampu merubah suasana pH urin menjadi basa. Suasana basa ini memungkinkan berbagai unsur pembentuk batu mengendap di dalam urin dan untuk selanjutnya membentuk batu pada saluran kemih c.

  Supurasi atau pembentukan abses Infeksi saluran kemih yang mengenai ginjal dapat menimbulkan abses pada ginjal yang meluas kerongga perirenal dan bahkan ke pararenal, demikian pula yang mengenai prostat dan testis dapat menimbulkan abses pada prostat dan abses pada testis d.

  Urosepsis Urosepsis adalah sepsis yang disebabkan oleh mikrobakteria yang berasal dari mikrobakteria yang berasal dari urogenitalia. Bakteri lebih mudah masuk ke dalam peredaran darah terutama jika pasien mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh, diantaranya adalah pasien : diabetes mellitus, usia tua, pasien yang menderita penyakit keganasan, dan pasien yang menderita gangguan imunitas tubuh yang lain (Purnomo, 2011).

2.3. Hubungan BPH dengan Infeksi Saluran Kemih

  Tingkat infeksi yang diterbitkan UTIs in the institutionalized geriatric

  population range pada populasi berkisar dari 12% sampai 30%. Perubahan

  anatomis dan fungsional yang terjadi pada populasi ini biasanya complicated (rumit) oleh karena adanya penyakit yang mendasari atau kronis (Cohen, et.al., 2011).

  BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria dan tergantung pada hormon testosteron dan produksi dihidrotestosteron (DHT). Diperkirakan 50% pria menunjukkan histopatologi BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini meningkat menjadi 90% pada usia 85 tahun (Deters, 2013).

  Pembesaran prostat pada pasien BPH akan menyebabkan obstruksi pada saluran kemih . Selain itu pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli (otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua dan adanya obstruksi akibat BPH akan menyebabkan menurunnya kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi (Amelia, 2007). Aliran urin mampu membersihkan kuman yang ada di dalam urin. Gangguan dari mekanisme aliran urin ini akan menyebabkan kuman mudah sekali mengadakan replikasi dan menempel pada urotelium (Purnomo, 2011).

  Selain itu, terdapat berbagai perubahan daya tahan tubuh dan perubahan anatomi maupun fungsi pada sistem organ tubuh seorang usia lanjut yang dapat menjadi alasan kenapa seorang yang berusia lanjut lebih muda terkena infeksi dibandingkan usia muda. Perubahan yang terjadi tersebut salah satunya pada saluran kemih (Nguyen, 2008).

  Pada usia lanjut ginjal kurang mampu mengekskresikan asam dan urea dan gagal untuk mempertahankan osmolalitas normal (Cohen, et.al., 2011). Padahal, derajat keasaman urin, osmolalitas, kandungan urea dan asam organik, serta protein-protein didalam urin bersifat bakterisidal (Purnomo, 2011).

Dokumen yang terkait

Pola Kuman dan Sensitivitas pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia dengan Infeksi Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan

3 130 66

Hubungan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

16 180 62

Karakteristik Pasien Benign Prostate Hyperlasia (BPH) yang Menjalani Transurethral Resection of Prostate (TURP) di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada Periode Januari 2012-Desember 2013

9 79 79

Karakteristik Pasien Penderita Batu Saluran Kemih Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

3 66 78

Profil Pasien Benign Prostate Hyperplasia yang Dilakukan Ultrasonografi di Rumah Sakit Umum Dr.Pirngadi Periode Bulan Juli 2012 Hingga Desember 2012

4 48 49

Perbedaan Nilai PSA pada Kejadian Benign Prostat e Hyperplasia (BPH) dengan Nilai PSA pada Kejadian Adenokarsinoma Prostat

1 45 64

Gambaran Histopatologi Penyakit Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dan Kanker Prostat di Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum pusat Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, periode 2008-2009

2 33 78

Ekspresi Cyclooxygenase-2 pada Adenokarsinoma Asinar Prostat, High-Grade Prostatic Intraepithelial Neoplasia dan Benign Prostatic Hyperplasia

0 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prostat - Pola Kuman dan Sensitivitas pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia dengan Infeksi Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 22

Pola Kuman dan Sensitivitas pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia dengan Infeksi Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 17