Karakteristik Pasien Benign Prostate Hyperlasia (BPH) yang Menjalani Transurethral Resection of Prostate (TURP) di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada Periode Januari 2012-Desember 2013

(1)

KARAKTERISTIK PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) YANG MENJALANI TRANSURETHRAL RESECTION OF PROSTATE (TURP) DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK PADA

PERIODE JANUARI 2012 – DESEMBER 2013

Oleh :

JASPREET KAUR ROAR 110100430

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

KARAKTERISTIK PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) YANG MENJALANI TRANSURETHRAL RESECTION OF PROSTATE (TURP) DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK PADA

PERIODE JANUARI 2012 – DESEMBER 2013 KARYA TULIS ILMIAH

“ Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran ”

Oleh :

JASPREET KAUR ROAR 110100430

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

KARAKTERISTIK PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) YANG MENJALANI TRANSURETHRAL RESECTION OF PROSTATE (TURP) DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK PADA

PERIODE JANUARI 2012 – DESEMBER 2013

NAMA: JASPREET KAUR ROAR NIM: 110100430

Pembimbing Penguji l

(dr. Bungaran Sihombing, SpU) (dr. Margaretha Damanik, Sp.A)

NIP. 195510081983031013 NIP. 195407251981122001

Penguji ll

(dr.Cut Aria Arina, Sp.S) NIP. 197710202002122001

Medan, 10 Januari 2015 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof Dr Gontar A.Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP: 195402201980111001


(4)

ABSTRAK

BPH merupakan gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) dari sedang sampai berat yang terjadi pada laki-laki dengan umur tua. Penderita BPH dilakukan tindakan operasi Transurethral Resection of the Prostate (TURP) untuk mengurangi ukuran prostat. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karateristik pasien Beningn Prostate Hyperplasia (BPH) yang menjalani tindakan operasi Transurethral Resection of the Prostate (TURP).

Jenis penelitian adalah deskriptif. Lokasi penelitian di Divisi Urologi, Departmen Bedah, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam MalikMedan pada bulan Oktober-November 2014. Populasi adalah penderita benign prostate hyperplasia (BPH) mulai tanggal 01 Januari 2012 hingga 31 Desember 2013 yaitu 104 kasus dan jumlah sampel yang memenuhi kriteria yaitu 65 kasus. Penggumpulan data menggunakan data sekunder. Data dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi.

Hasil penelitian diperoleh bahwa penderita BPH menjalani TURP lebih banyak berumur 73-77 tahun (24,6%), berpendidikan Dasar/tidak sekolah (44,6%), dan mempunyai status tidak bekerja (pensiunan) yaitu 40% serta berstatus menikah atau mempunyai pasangan hidup (83,1%). Penderita BPH yang menjalani TURP mengalami indikasi bedah retensi urine yang berulang (90,8%), gross hematuria berulang (35,4%), dan insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli (26,2%). Penderita BPH yang mengalami indikasi absoulut intervensi bedah cenderung pada kelompok umur 73-77 tahun, berpendidikan sekolah dasar atau tidak sekolah dan tidak bekerja lagi (pensiunan).

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah penderita BPH yang menjalani TURP mengalami indikasi bedah retensi urine yang berulang pada kelompok umur 73-77 tahun, berpendidikan Tidak sekolah dan tidak bekerja lagi (pensiunan). Disarankan bagi penderita menambah informasi dan pemahaman tentang indikasi yang terjadi pada panderita BPH yang menjalani TURP.


(5)

ABSTRACT

BPH is a Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) of moderate to severe symptoms occurring in men with old age. BPH patients undergo Transurethral Resection of the Prostate (TURP) surgery to reduce the size of the prostate. The purpose of this research is to determine the characteristics of patients Beningn Prostate Hyperplasia (BPH) who underwent Transurethral Resection of the Prostate (TURP) surgery.

The type of study is descriptive. The location of research is in the Urology Division of the, Department of Surgery, General Hospital Haji Adam Malik Medan in periode of October-November 2014. The population is benign prostate hyperplasia (BPH) patients that are admitted on 1st of January, 2012 until 31st of December, 2013 which are 104 cases and the number of samples that meet the criteria are 65 cases. Collection of data was done by using secondary data. Data was analyzed using frequency distribution tables.

The results showed that patients with BPH underwent TURP more are aged 73-77 years (24.6%), Basic educated / uneducated (44.6%), and those with the status of not working (retired) at 40% and are married or have spouses (83.1%). BPH patients who underwent TURP have surgical indications such as recurrent urinary retention (90.8%), recurrent gross hematuria (35.4%), and renal insufficiency due to obstruction of the bladder urinary tract (26.2%). BPH patients who undergo surgical intervention with absolute indications are in the age group of 73-77 years, with primary education or are uneducated as well as are not working anymore (retired).

The conclusion of this study is BPH patients who undergo TURP with the abosolute surgical indications is recurrent urinary retention in the age group of 73-77 years, with primary education or are uneducated as well as are not working anymore (retired). It is to add information and understanding of the absolute surgical indications that occur in panderita BPH who undergo TURP.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis hasil penelitian ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memaparkan landasan pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan

dilaksanakan. Penelitian yang akan dilaksanakan ini berjudul ” Kemampuan Sitologi Biopsi Jarum Halus pada Cervical Adenopati yang Diduga Metastasis Karsinoma Nasofaring dalam Menentukan Kejadian Karsinoma Nasofaring di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada Periode Januari – Desember 2012”.

Dalam penyelesaian karya tulis hasil penelitian ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), Sp.A(K), selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak dr. Bungaran Sihombing, Sp.U, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi banyak arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Ibu dr. Margaretha Damanaik, Sp.A, selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.


(7)

5. Ibu dr. Datten Bangun, MSc, Sp.FK, selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

6. Yang terhomat Bapak dan Ibu orang tua serta keluarga besar yang telah memberikan dorongan dan doa restu, baik moral maupun material selama menuntu ilmu dan menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.

7. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesaian studi dan juga penulisan karya tulis ilmiah ini.

8.Pihak-pihak lain yang ikut mendukung proses pembuatan karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis hasil penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis hasil penelitian ini.

Medan, 10 Desember 2014

Jaspreet Kaur Roar 110100430


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. ... Latar Belakang ... 1

1.2. ... Rumusan Masalah ... 3

1.3. ... Tujuan Penelitian ... 3

1.4. ... Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Anatomi Prostat ... 5

2.2. Definisi BPH ... 6

2.2. Etiologi BPH ... 7

2.2.1. Teori Hormonal ... 7

2.3.2. Teori Growth factor... 8

2.3.3. TeoriPeningkatan Lama Hidup Sel Prostat ... 9


(9)

2.3.4. Teori Reawakening ... 9

2.3. Patofisiologi BPH ... 10

2.4. Gejala Klinis BPH ... 11

2.5. Diagnosa BPH ... 13

2.5.1. Anamnesis BPH ... 13

2.5.2. Pemeriksaan Fisik BPH ... 13

2.5.3. Pemeriksaan Laboratorium BPH... 15

2.5.4. Pemeriksaan Pencitraan BPH ... 16

2.6. Diagnosis Banding BPH ... 17

2.7. Komplikasi BPH ... 17

2.8. Penatalaksanaan BPH... 17

2.9. Pengawasan Berkala BPH ... 26

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 27

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 27

3.2. Defenisi Operasional ... 27

BAB 4 METODE PENELITIAN... 31

4.1. Jenis Penelitian ... 31

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 31

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 31

4.3.1. Populasi Penelitian ... 31

4.3.2. Sampel Penelitian ... 31

4.4. Teknik Pengumpulan Data... 32

4.5. Pengelolahan dan Analisis Data ... 32

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 33

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 33

5.1.2. Gambaran Umum Responden ... 33

5.2. Pembahasan ... 42

5.2.1. Karakteristik Penderita BPH ... 42


(10)

5.2.3. Karakteristik Penderita BPH dengan Indikasi Absolut

Intervensi Bedah... 43

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

6.1. Kesimpulan ... 45

6.2. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.0. International Prostate Symptom Score ... 13

Tabel 5.1. Distribusi Penderita BPH Berdasarkan Umur di Divisi Urologi

Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan ... 34

Tabel 5.2. Distribusi Penderita BPH Berdasarkan Pendidikan di Divisi Urologi

Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan ... 34

Tabel 5.3. Distribusi Penderita BPH Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Divisi

Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan ... 35

Tabel 5.4. Distribusi Penderita BPH Berdasarkan Status Perkawinan di Divisi

Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan ... 35

Tabel 5.5. Distribusi Penderita BPH Berdasarkan Indikasi Absolut Pembedahan

di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan ... 36

Tabel 5.6. Tabulasi Umur Responden dengan Indikasi Absolut Pembedahan di

Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan ... 36

Tabel 5.7. Tabulasi Pendidikan Responden dengan Indikasi Absolut Pembedahan

di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan ... 38

Tabel 5.8. Tabulasi Jenis Pekerjaan Responden dengan Indikasi Absolut Pembedahan

di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan ... 39

Tabel 5.9. Tabulasi Status Perkawinan Responden dengan Indikasi Absolut

Pembedahan di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan ... 41


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi Prostat ... 5

Gambar 2.2. Anatomi dari zona kelenjar prostat ... 6

Gambar 2.3. Gambaran pemeriksaan colok dubur ... 14

Gambar 2.4. Transurethral resection of prostate (TURP) ... 23

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Surat Izin Penelitian

LAMPIRAN 2 Surat Persetujuan Komisi Etik


(13)

ABSTRAK

BPH merupakan gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) dari sedang sampai berat yang terjadi pada laki-laki dengan umur tua. Penderita BPH dilakukan tindakan operasi Transurethral Resection of the Prostate (TURP) untuk mengurangi ukuran prostat. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karateristik pasien Beningn Prostate Hyperplasia (BPH) yang menjalani tindakan operasi Transurethral Resection of the Prostate (TURP).

Jenis penelitian adalah deskriptif. Lokasi penelitian di Divisi Urologi, Departmen Bedah, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam MalikMedan pada bulan Oktober-November 2014. Populasi adalah penderita benign prostate hyperplasia (BPH) mulai tanggal 01 Januari 2012 hingga 31 Desember 2013 yaitu 104 kasus dan jumlah sampel yang memenuhi kriteria yaitu 65 kasus. Penggumpulan data menggunakan data sekunder. Data dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi.

Hasil penelitian diperoleh bahwa penderita BPH menjalani TURP lebih banyak berumur 73-77 tahun (24,6%), berpendidikan Dasar/tidak sekolah (44,6%), dan mempunyai status tidak bekerja (pensiunan) yaitu 40% serta berstatus menikah atau mempunyai pasangan hidup (83,1%). Penderita BPH yang menjalani TURP mengalami indikasi bedah retensi urine yang berulang (90,8%), gross hematuria berulang (35,4%), dan insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli (26,2%). Penderita BPH yang mengalami indikasi absoulut intervensi bedah cenderung pada kelompok umur 73-77 tahun, berpendidikan sekolah dasar atau tidak sekolah dan tidak bekerja lagi (pensiunan).

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah penderita BPH yang menjalani TURP mengalami indikasi bedah retensi urine yang berulang pada kelompok umur 73-77 tahun, berpendidikan Tidak sekolah dan tidak bekerja lagi (pensiunan). Disarankan bagi penderita menambah informasi dan pemahaman tentang indikasi yang terjadi pada panderita BPH yang menjalani TURP.


(14)

ABSTRACT

BPH is a Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) of moderate to severe symptoms occurring in men with old age. BPH patients undergo Transurethral Resection of the Prostate (TURP) surgery to reduce the size of the prostate. The purpose of this research is to determine the characteristics of patients Beningn Prostate Hyperplasia (BPH) who underwent Transurethral Resection of the Prostate (TURP) surgery.

The type of study is descriptive. The location of research is in the Urology Division of the, Department of Surgery, General Hospital Haji Adam Malik Medan in periode of October-November 2014. The population is benign prostate hyperplasia (BPH) patients that are admitted on 1st of January, 2012 until 31st of December, 2013 which are 104 cases and the number of samples that meet the criteria are 65 cases. Collection of data was done by using secondary data. Data was analyzed using frequency distribution tables.

The results showed that patients with BPH underwent TURP more are aged 73-77 years (24.6%), Basic educated / uneducated (44.6%), and those with the status of not working (retired) at 40% and are married or have spouses (83.1%). BPH patients who underwent TURP have surgical indications such as recurrent urinary retention (90.8%), recurrent gross hematuria (35.4%), and renal insufficiency due to obstruction of the bladder urinary tract (26.2%). BPH patients who undergo surgical intervention with absolute indications are in the age group of 73-77 years, with primary education or are uneducated as well as are not working anymore (retired).

The conclusion of this study is BPH patients who undergo TURP with the abosolute surgical indications is recurrent urinary retention in the age group of 73-77 years, with primary education or are uneducated as well as are not working anymore (retired). It is to add information and understanding of the absolute surgical indications that occur in panderita BPH who undergo TURP.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior, bila mengalami pembesaran, organ ini dapat menjepit uretra pars prostatika dari bagian luar dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram (Basuki, 2011).

Kondisi ini dikenal sebagai Beningn Prostate Hyperplasia atau hiperplasia prostat jinak (BPH), pembesaran atau hipertrofi prostat. BPH adalah kondisi patalogis yang paling umum pada pria lanjut usia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria (Rahardjo et al., 1999). Pada tahun 2000 atau millennium tiga angka harapan hidup penduduk dunia baik dari negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia menjadi 80 tahun, oleh karena itu pria yang hidup pada usia tersebut diperkirakan kurang lebih 80% secara histologi akan mengalami BPH dan diperkirakan 50% nya mempunyai kesempatan untuk terjadinya BPH bergejala. Prevalensi dari BPH bergejala meningkat dengan bertambahnya umur, usia diantara 40 - 49 tahun sebesar 14%, usia diantara 50 - 59 tahun sebesar 24% dan pada usia lebih dari 60 tahun prevalensinya lebih 45% (Singodimedjo, 2000).

BPH secara klinis menyebabkan gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) dari sedang sampai berat yang terjadi pada kira-kira seperempat dari laki-laki berusia 50 tahun, sepertiga dari laki-laki berusia 60 tahun dan sekitar setengah dari semua laki-laki berusia 80 tahun ke atas. LUTS pada BPH dapat ditentukan dengan sistem skoring International Prostate Symptoms Score (IPSS) yang termasuk rasa kencing yang tidak puas, frekuensi, intermitensi, urgensi, pancaran urin lemah, hesitansi dan nokturia.


(16)

Menurut IPSS keparahan LUTS dibagi dalam derajat ringan, sedang dan berat (Bozdar, Memon, & Paryani, 2010). Pengobatan BPH bervariasi dari watchful waiting sampai intervensi bedah hal ini tergantung pada hasil IPSS (International Prostate Symptom Score). Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan pada umumnya tidak ada terapi hanya watchful& waiting dan dilakukan kontrol sahaja. Nilai IPSS diantara 8 – 18 derajat sedang dilakukan terapi medikamentosa, sedangkan nilai 19 – 35 termasuk derajat berat diperlukan operasi prostatektomi terbuka (Open Prostatectomy) atau operasi reseksi transuretral (Transurethral Resection of the Prostate) (Singodimedjo, 2000). Intervensi bedah diindikasikan setelah terapi medis gagal atau terdapat BPH dengan komplikasi, seperti retensi urin rekuren, gross hematuria berulang, batu vesika urinaria berulang, infeksi saluran kemih yang rekuren dan insufisiensi renal rekuren (Bozdar, Memon, & Paryani, 2010).

Pada umumnya para spesialis urologi sependapat bahwa apabila perkiraan berat kelenjar prostate 60 gram ke bawah dilakukan operasi tertutup sedangkan apabila perkiraan berat kelenjar prostat lebih dari 60 gram dilakukan operasi terbuka. Seperti telah diterangkan di atas operasi pasien BPH bergejala baik tertutup maupun terbuka adalah berdasarkan dari perkiraan berat kelenjar prostat baik yang diperkirakan diperiksa melalui pemeriksaan colok dubur atau dengan pemeriksaan ultrasonografi (Singodimedjo, 2000).

Reseksi transuretral prostat atau Transurethral Resection of the Prostate (TURP) adalah gold standard dalam perawatan bedah untuk BPH dengan LUTS yang tidak berespon pada pengobatan konservatif. TURP mengurangi LUTS juga mengurangi skor IPSS dalam 94,7% kasus-kasus klinis BPH dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan BPH. (Bozdar, Memon, & Paryani, 2010).


(17)

Menurut American Urological association (AUA) guidelines 2010, indikasi absolut pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut:

1. Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli.

2. Infeksi saluran kemih atau Urinary Tract Infection (UTI) berulang.

3. Calculi baldder.

4. Gross hematuria berulang.

5. Retensi urine yang berulang.

Perkembangan teknologi membuat seorang urologis mampu mencapai seluruh area sistem urinarius dengan menggunakan endoskopi yang meminimalkan trauma pada pasien. Prosedur endoskopi pada sistem urinarius memerlukan penggunaan cairan irigasi untuk mendilatasi ruang mukosa secara halus, membersihkan darah, dan memotong jaringan atau debris untuk membersihkan lapangan operasi. (Bozdar, Memon, & Paryani, 2010).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian ini adalah “Apakah Karakteristik pasien Beningn Prostate Hyperplasia (BPH) yang menjalani Transurethral Resection of the Prostate (TURP) di Divisi Urologi, Department Bedah, RSUP Haji

Adam Malik, Medan?” 1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui karateristik pasien Beningn Prostate Hyperplasia (BPH) yang menjalani tindakan operasi Transurethral Resection of the Prostate (TURP).


(18)

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik penderita penyakit benign prostate hyperplasia (BPH).

2. Mengidentifikfasi indikasi absolut pembedahan TURP pada penderita BPH

3. Mengetahui dan memahami karakteristik pasien benign prostate hyperplasia (BPH) yang menjalani tindakan operasi transurethral resection of the prostate (TURP) berdasarkan indikasi absolut pembedahan BPH.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat diharap menjadikan sebagai pengetahuan peneliti mengenai karakteristik pasien Beningn Prostate Hyperplasia (BPH) yang menjalani Transurethral Resection of the Prostate (TURP) dan menjadi suatu pengalaman yang nyata dalam mengembangkan kemampuan peneliti di bidang penelitian kesehatan.

1.4.2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat jadikan sebagai informasi dan masukan kepada masyarakat malah menambah pengetahuan terhadap karakteristik pasien Beningn Prostate Hyperplasia (BPH) yang menjalani tindakan operasi Transurethral Resection of the Prostate (TURP).


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Prostat

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum (Drake et. al.,2007). Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 18 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2 cm. Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus, yaitu, lobus medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus anterior, dan lobus posterior.Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja (Basuki, 2011).

2.1 Anatomi prostat, Lewis (1918)

Prostat didapatkan membentuk 70% dari unsur kelenjar dan 30% dari stroma fibromuskular. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, dan zona transisional. Zona perifer membentuk 70% dari jaringan kelenjar prostat dan mencakupi bagian posterior dan lateral kelenjar tersebut. Zona transisional mencakupi 5% hingga 10% daripada jaringan kelenjar prostat. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proximal dari spincter externus di


(20)

kedua sisi dari verumontanum. Zona sentral mencakupi 25% dari jaringan kelenjar prostat dan membentuk konus sekitar duktus ejakulatorius sehingga ke basis kandung kemih.

2.2 Anatomi zona dari kelenjar prostat, McNeal (1981, 1988)

Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal. BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar. (Roehrborn, 2012).

2.2Definisi BPH

Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker (Basuki, 2000). Istilah benign prostatic hiperplasia (BPH) menjelaskan proses


(21)

proliferasi elemen seluler pada prostat, suatu pembesaran prostat, atau disfungsi berkemih akibat pembesaran prostat dan bladder outlet obstruction (BOO) (Lepor, 2005).

BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra (Burnicardi, 2010).

2.3Etiologi BPH

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan (Roehrborn, 2013). Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:

2.3.1 Teori Hormonal

Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosterone diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat (Roehrborn, 2013).

Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler


(22)

(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen.

Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormone estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen (Roehrborn, 2013). Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi hormone receptor complex. Kemudian hormone receptor complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat (Roehrborn, 2013).

2.3.2 Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)

Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Pada berbagai penelitian, didapatkan ternyata ada hubungan antara pertumbuhan sel epitel dan sel stroma prostat. Differensiasi dan perkembangan sel epitel prostat dikontrol secara tidak langsung oleh androgen dependent mediator yang dihasilkan oleh stroma. Androgen dependent mediator mempunyai nama lain Stromal Growth Faktor. Growth Faktor ini akan berikatan dengan GF reseptor pada sel stroma dan epitel. Selanjutnya terjadi pertumbuhan sel prostat. Growth Faktor yang diketahui adalah, Epitelial GF (EGF), Insulin GF (IGF), Fibroblast GF (FGF), Keratinosit GF (KGF), Transforming GF β (TGF-β). EGF, IGF, FGF dan KGF diketahui memiliki aktivitas merangsang terjadinya mitosis pada sel epitel. Sedangkan TGF-β memiliki aktivitas menghambat


(23)

aktivitas mitosis. Pada BPH diduga aktivitas EGF, IGF, FGF dan KGF lebih tinggi daripada TGF-β(Roehrborn, 2013).

2.3.3 Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel yang Mati

Beberapa penelitian lainnya, mendapatkan bahwa BPH terjadi bukan karena proliferasi sel yang lebih dominan, tapi terjadi karena aktivitas kematian sel atau apoptosis yang berkurang.

2.3.4 Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada

seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara

pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.

2.3.5 Teori Reawakening

Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme

“glandular budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini,

menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic stroma during adult hood (Roehrborn, 2013).


(24)

Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkantentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zinc yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya (Roehrborn, 2013).

2.4 Patofisiologi BPH

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu (Presti et al, 2013).

Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin (Lepor,2004). Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesicoureter.Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Presti et al, 2013).

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan


(25)

kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik (Presti et al, 2013; Lepor, 2004).

2.5 Gejala Klinis BPH

Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Beberapa gejala obstruktif adalah:

a. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency) b. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)

c. Miksi terputus (Intermittency)

d. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)

e. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying). Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu, volume kelenjar periuretral, elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat dan kekuatan kontraksi otot detrusor.Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis (Presti et al, 2013).

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot


(26)

detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh, gejalanya ialah: a. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)

b. Nokturia

c. Miksi sulit ditahan (Urgency) d. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)

Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra .

Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (overflow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretradan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi (Roehrborn, 2013).

Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica


(27)

maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis (Roehrborn, 2013).

2.6 Diagnosa BPH 2.6.1 Anamnesis

Anamnesis dilakukan untuk gejala LUTS pada BPH dapat ditentukan dengan sistem skoring International Prostate Symptoms Score (IPSS) yang termasuk di dalamnya rasa kencing yang tidak puas, frekuensi, intermitensi, urgensi, pancaran urin lemah, hesitansi dan nokturia (Longo et al, 2012). Menurut IPSS keparahan LUTS dibagi dalam derajat ringan, sedang dan berat. Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan, diantara 8 – 19 derajat sedang, sedangkan nilai 20


(28)

Table 2.0 Interternational Prostate Symptom Score

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan (Homma et al,2011):

a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal) b. Adakah asimetris

c. Adakah nodul pada prostate d. Apakah batas atas dapat diraba e. Sulcus medianus prostate f. Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.

2.3 Gambaran pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi


(29)

pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia (Andriole, 2011). Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis (Andriole, 2011).

2.6.3 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang biasanya dilakukan adalah uroflowmetri dan tes prostate-specific antigen (PSA). Uroflowmetri merupakan teknik urodinamik untuk menilai uropati obstruktif dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi. Apabila Flow rate < 15 mL/sec, ini menandakan obstruksi, dan apabila postvoid residual volume > 100 mL, ini menandakan retensi. Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan (Roehrborn, 2013).

Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) dapat dilihat dengan pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur (Homma et al,2011).

Tes Prostate-Specific Antigen menghitung PSA di dalam darah pasien. Tes ini digunakan untuk mendiagnosa BPH dan carcinoma prostat. Direkomendasikan untuk laki-laki diantara 40 - 50 tahun yang punya risiko tinggi. Stamey, adalah


(30)

pertama untuk mengaitkan kadar serum PSA dengan volume jaringan prostate. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 1980-an didapatkan kadar serum PSA daripada BPH adalah 0.30 ng/mL per gram jaringan dan 3.5 ng/mL per cm3 dari jaringan kanker. Vesely, mendapatkan bahawa volume prostat dan kadar serum serum PSA mempunyai korelasi signifikan dan meningkat dengan pertambahan usia. Kadar PSA meningkat secara moderate dalam 30 hingga 50% pasien BPH, tergentung besarnya prostat dan derajat obstruksi, dan PSA juga meningkat bagi 25 hingga 92% pasien dengan carcinoma prostat, tergantung volume tumor tersebut (Roehrborn, 2013).

Pemeriksaan Volume Residu Urin dapat dilihat dengan volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG (Homma et al,2011).

2.6.4 Pemeriksaan Pencitraan (Imaging)

a. Foto polos abdomen (BNO)

Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat (Burnicardi, 2010).

b. Pielografi Intravena (IVP)

Pemeriksaan ini untuk melihat adanya obstruksi pada traktus urinarius.Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). Mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanyatrabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin (Burnicardi, 2010).


(31)

Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

d. Ultrasonografi / Transrektal Ultrasonografi (TRUS)

Dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal ultrasonografi (TRUS). Selain untuk mengetahui pembesaran prostate, pemeriksaan ini dapat pula menentukan volume kandung kemih, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal dapat diukur besar prostate untuk menentukan jenis terapi yang tepat (Andriole, 2011).

2.7 Diagnosis Banding BPH

Kondisi obstruksi saluran kemih bawah, yang menyebabkan resistensi uretra meningkat disebabkan oleh penyakit seperti hyperplasia prostat jinak atau ganas, atau kelainan yang menyumbatkan uretra seperti uretralitiasis, urethritis akut atau kronik, striktur urethra, atau kekakuan leher kandung kemih yang mengalami fibrosis, batu saluran kemih, prostatitis akut atau kronis dan carcinoma prostat merupakan antara diagnosa banding apabila mendiagnosa pasien BPH. Kandung kemih neuropati, yang disebabkan oleh kelainan neurologik, neuropati perifer, diabetes mellitus, dan alkoholisme menjadi antara diagnose banding BPH. Obstruksi fungsional seperti disenergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor dengan relaksasi sfingter juga merupakan diagnose banding BPH (Deters, 2014).

2.8 Komplikasi BPH

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut (Deters, 2014; Andriole,2011):

a. Inkontinensia

b. Batu Kandung Kemih c. Hematuria

d. Sistitis e. Pielonefritis


(32)

g. Refluks Vesiko-Ureter h. Gagal Ginjal

2.9 Penatalaksanaan BPH

Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan penderita datang kepada dokter. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut International Prostate Symptom Score (IPSS). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi.

Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan pada umumnya tidak ada terapi hanya watchful & waiting dan dilakukan kontrol sahaja. Nilai IPSS diantara 8 – 18 derajat sedang dilakukan terapi medikamentosa, sedangkan nilai 19 – 35 termasuk derajat berat diperlukan operasi prostatektomi terbuka (Open Prostatectomy) atau operasi reseksi transuretral (Transurethral Resection of the Prostate) (Singodimedjo, 2000). Intervensi bedah diindikasikan setelah terapi medis gagal atau terdapat BPH dengan komplikasi, seperti retensi urin rekuren, gross hematuria rekuren, batu vesika urinaria rekuren, infeksi saluran kemih yang rekuren dan insufisiensi renal rekuren (Bozdar, Memon, & Paryani, 2010).

Reseksi transuretral prostat atau Transurethral Resection of the Prostate (TURP) adalah gold standard dalam perawatan bedah untuk BPH dengan LUTS yang tidak berespon pada pengobatan konservatif. TURP mengurangi LUTS juga mengurangi skor IPSS dalam 94,7% kasus-kasus klinis BPH dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan BPH. (Bozdar, Memon, & Paryani, 2010).

Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu observasi (watchful & waiting), medikamentosa, tindakan operatif dan tindakan invasif minimal.

1. Observasi (Watchful waiting)

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) ringan dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan


(33)

terapi apapun. Tetapi diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah (Presti et al, 2013).

2. Medikamentosa

a. Antagonis reseptor adrenergik-α

Pengobatan dengan antagonis adrenergik α bertujuan menghambat

kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra.

Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α non selektif yang pertama kali diketahui mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak disenangi oleh pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan penyulit lain pada sistem kardiovaskuler (Presti et al, 2013).

Diketemukannya obat antagonis adrenergik α1 dapat mengurangi penyulit

sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada-α2 dari fenoksibenzamin.

Beberapa golongan obat antagonis adrenergik α1 yang selektif mempunyai durasi

obat yang pendek (short acting) di antaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long acting yaitu, terazosin, doksazosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari. Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik-a terbukti dapat memperbaiki gejala BPH, menurunkan keluhan BPH yang mengganggu, meningkatkan kualitas hidup atau quality of life (Qol), dan meningkatkan pancaran urine. Perbaikan gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudah dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan obat ini dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti terjadinya intoleransi sampai pemberian 6- 12 bulan (Marks, 2007).

Dibandingkan dengan inhibitor 5α reduktase, golongan antagonis

adrenergik-α lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine. Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-α dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian antagonis adrenergik-α saja. Sebelum pemberian antagonis adrenergik-α tidak perlu memperhatikan ukuran prostat serta


(34)

memperhatikan kadar PSA; lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5-α reductase (Marks, 2007).

Berbagai jenis antagonis adrenergik a menunjukkan efek yang hampir sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai efektifitas yang hampir sama, namun masing-masing mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda. Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi postural, dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan (Presti et al, 2013).

Doksazosin dan terazosin yang pada mulanya adalah suatu obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20% pasien mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupun terazosin, < 5% setelah pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian plasebo. Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah pemberian doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian tamsulosin atau plasebo (Lepor, 2007).

Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap sistem kardiovaskuler tidak tampak nyata pada tamsulosin karena obat ini merupakan antagonis adrenergik α yang superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor adrenergik-α1A. Penyulit lain yang dapat timbul adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan banyak terjadi setelah pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 0-1%13,32.

Lepor (2007) menyebutkan bahwa efektifitas obat golongan antagonis adrenergik-α tergantung pada dosis yang diberikan, yaitu makin tinggi dosis, efek yang diinginkan makin nyata, namun disamping itu komplikasi yang timbul pada sistem kardiovaskuler semakin besar. Untuk itu sebelum dilakukan terapi jangka panjang, dosis obat yang akan diberikan harus disesuaikan dahulu dengan cara meningkat-kannya secara perlahan-lahan (titrasi) sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif. Dikatakan bahwa salah satu kelebihan dari golongan antagonis adrenergik-α1A (tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti golongan obat yang lain. Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun.


(35)

b. Inhibitor 5 a-redukstase

Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang dipakai untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan

dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 α -redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan pancaan urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh McConnell et al (1998) tentang efek finasteride terhadap pasien BPH bergejala, didapatkan bahwa pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata mampu menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urine, menurunkan kejadian retensi urine akut, dan menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%35.

Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Bila respon dari pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator untuk

masuk kedalam tahap perawatan “Watch and wait”.

c. Fitoterapi

Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi farmakokinetik dan farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal. Kelompok obat ini juga disebut dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan kemoterapi ini. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau alternatif. Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi dan disebut demikian karena berasal dari tumbuhan (Presti et al, 2013).

Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan penelitian yang panjang.Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui.Diantara sekian banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah Serenoa repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin


(36)

seeds yang digunakan untuk pengobatan BPH. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prosatisme BPH dalam kontek “watchfull waiting strategy” (Presti et al, 2013).

Saw Palmetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu obat tradisional India..Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase an memblokir reseptor androgen atau bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitas enzim cycloxygenase dan 5 lipoxygenase.

Pumpkin seeds atau disebut juga Cucurbitae peponis semen mempunyai testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan Austria

sejak abad 16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini ekstraknya dipakai

untuk mengatasi gejala yang berhubungan dengan BPH didalam konteks farmakoterapi maupun uji klinis kombinasi dengan ekstraks Serenoa repens. Penelitian di Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung komponen utama beta-sitosterol dengan sedikit campuran campesterot dan stigmasterol untuk mengobati hiperplasia prostat. Hasilnya, terjadi perbaikan seperti halnya terapi menggunakan penghambat reseptor alpha dan 5-alpha reduktase, tetapi dengan efek samping yang lebih minimal. Walaupun mekanisme kerja dari preparat campuran fitosterol ini belum dapat dibuktikan, penelitian terus dikembangkan untuk keperluan di masa depan.

3. Tindakan operatif

Tindakan opertaif terbagi kepada dua iaitu, prostatektomi terbuka, contohnya seperti Retropubic infravesica (Terence Millin), Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer), dan Transperineal dan prostatektomi endourologi seperti Transurethral resection (TURP), Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP), dan Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy). Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli.

a. Transurethral resection (TURP)

Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hamper seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi


(37)

ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien nonobstruksi (Rahardjo, 1999).

2.4 Transurethral resection of prostate (TURP), Loughlin et al (2011)

Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TURP. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TURP meningkat dari 72% menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada penilaian pra-bedah dari 152 pasien. Mortalitas TURP sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Saat ini tindakan TURP merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades) (Rahardjo, 1999; Presti et al, 2013).

b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)

Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yang dipakai pada TURP tetapi memakai alat pemotong


(38)

yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat (Presti et al, 2013).

c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)

Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TURP) untuk mengangkat prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan. Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh Sander (1984). Untuk mengobati carcinoma prostat yang masih lokal dengan memakai Nd YAG (Neodymium, Yttrium Aluminium Garnet) (Roehrborn, 2013).

Solid state Nd YAG ini pertamakali diperkenalkan tahun 1964 tapi baru tahun 1975 baru dicoba dibidang urologi untuk mengablasi tumor buli superficial (Hoffstetter). PcPhee menulis mengenai penggunaan YAG laser untuk photo irradiasisegmental pada mukosa buli (Roehrborn, 2013)

Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini tidak banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat divergensi tetapi masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd YAG ini mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang dapat menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan mempunyai efek laser maksimal pada kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek termal dapat mencapai 100°C sehingga pada kekuatan 40 – 60 watts akan menyebabkan koagulasi pada kedalaman 3mm sehingga akan terjadi letusan kecil

yang disebut “pop corn effect” (Roehrborn, 2013).

Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang


(39)

hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai rongga yang terjadi sehabis TURP.

4. Tindakan Invasif Minimal

a. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)

Cara memanaskan prostat sampai 44,5°C – 47°C ini mulai diperkenalkan dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar periuretral yang membesar ini dengan gelombang mikro (microwave) yaitu dengan gelombang ultarasonik atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra menurun sehingga obstruksi berkurang.

Prinsip cara ini ialah memasang kateter semacam Foley dimana proximal dari balon dipasang antene pemanas yang baru dipanaskan dengan gelombang mikro melalui kabel kecil yang berada didalam kateter. Pemanasan dilakukan antara 1-3 jam. Dengan cara pengobatan ini dengan mempergunakan alat THERMEX II diperoleh hasil perbaikan kira-kira 70-80% pada symptom obyektif dan kira-kira 50-60% perbaikan pada flow rate maksimal. Mekanisme yang pasti mengenai efek pemanasan prostat ini belum semuanya jelas, salah satu teori yang masih harus dibuktikan ialah bahwa dengan pemanasan akan terjadi perusakan pada reseptor alpha yang berada pada leher vesika dan prostat.Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter dapat memancarkan microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperature pada antene akan tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar tidak merusak mucosa ureter. Dengan proses pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi penetrasi juga berkurang (Loughlin et al,2011).

b. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)

Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan melalui operasi terbuka (transvesikal). Konsep dilatasi dengan balon ini ialah mengusahakan agar uretra pars prostatika menjadi lebar melalui mekanisme prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar, kapsul prostat


(40)

diregangkan, tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut dan reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak (Presti et al,2013; Loughlin et al,2011).

c. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)

Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan (Muruve et al, 2012)

d. Stent Urethra

Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang spiral dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter (Prostacath). Stents ini digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang uretra pars prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif, yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif. Bentuk lain ialah adanya mesh dari logam yang juga dipasang di uretra pars prostatika dengan kateter pendorong dan kemudian didilatasi dengan balon

sampai mesh logam tersebut melekat pada dinding uretra (Presti et al,2013)

2.9 Pengawasan Berkala BPH

Semua pasien BPH setelah mendapatkan terapi atau petunjuk watchful waiting perlu mendapatkan pengawasan berkala (follow up) untuk mengetahui hasil terapi serta perjalanan penyakitnya sehingga mungkin perlu dilakukan pemilihan terapi lain atau dilakukan terapi ulang jika dijumpai adanya kegagalan


(41)

dari terapi itu. Secara rutin dilakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, atau pengukuran volume residu urine pasca miksi. Pasien yang menjalani tindakan intervensi perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine untuk melihat kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih akibat tindakan itu (Homma et al,2011).


(42)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian tentang karakteristik pasien Benign Prostate Hiperplasia yang menjalani Transurethral Resection of Prostate (TURP) di Divisi Urologi, Departemen Bedah, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Kota Medan adalah:

3.2.Definisi Operasional

3.2.1. BPH adalah kondisi patalogis yang mengalami pembesaran, organ ini dapat menjepit uretra pars prostatika dari bagian luar dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Pasien Benign Prostate Hiperplasia adalah pasien yang datanya terdapat dari Divisi Urologi dan didiagnosis menderita Benign Prostate Hiperplasia berdasarkan pemeriksaan DRE dan PSA.

Karakteristik Pasien Benign Prostate Hyperplasia Yang Menjalani Transurethral Resection of Prostate

Sosiodemografi

 Umur

 Pendidikan

 Pekerjaan

 Status perkawinan

Indikasi Absolut

 Retensi urine yang berulang.  Infeksi saluran kemih rekuren

akibat pembesaran prostat.  Gross hematuria berulang.  Insufisiensi ginjal akibat

obstruksi saluran kemih pada buli.


(43)

3.2.2 Sosiodemografi

a) Umur adalah lamanya hidup pasien BPH yang dihitung berdasarkan tahun sejak pasien itu lahir sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, yang dikelompokan berdasarkan rumus Sturges. Kemudian untuk analisa statisk, umur dikelompokkan atas:

1. 53 - 57 tahun 2. 58 - 62 tahun 3. 63 - 67 tahun 4. 68 - 72 tahun 5. 73 - 77 tahun 6. 78 - 82 tahun 7. 83 - 87 tahun 8. 88 - 92 tahun Skala pengukuran : Skala Rasio

b) Pendidikan adalah pendidikan formal tertinggi dari pasien BPH sesuai dengan tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

1. SD 2. SLTP 3. SLTA

4. Akademi / PT Skala pengukuran : Skala Ordinal

c) Pekerjaan adalah kegiatan utama yang dilakukana oleh pasien BPH sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

1. Pegawai Negeri 2. Pegawai Swasta 3. Wiraswasta 4. Pensiunan


(44)

5. Petani

Skala pengukuran : Skala Nominal

d) Status perkawinan adalah status pasien BPH berdasarkan riwayat pernikahan, sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

1. Menikah

2. Belum Menikah 3. Duda

Skala pengukuran : Skala Nominal

3.2.3 Terdapat beberapa indikasi absolut intervensi bedah pada BPH, yang tercatat pada rekam medis, yang merangkumi :

1. Retensi urine yang berulang

2. Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat.

3. Gross hematuria berulang

4. Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli

5. Calculi bladder

Skala pengukuran : Nominal

3.2.4 Transurethral Resection of Prostate adalah tindakan reseksi endoskopik melalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar prostat, yang tercatat pada rekam medis. Skala pengkuruan: Nominal

3.3 Pengukuran

3.3.1 Cara Ukur

Observasi data di Divisi Urologi, Departemen Ilmu Bedah, RSUP. H. Adam Malik


(45)

3.3.2 Alat Ukur

Karakteristik yang diteliti, diambil dari rekam medis pasien.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif statistik dengan pendekatan cross sectional untuk melihat karakteristik pasien benign prostate hyperplasia (BPH) yang menjalani tindakan operatif transurethral resection of prostate (TURP). Penelitian ini dilakukan dengan mengumpul data yaitu karakteristik pasien BPH yang menjalani TURP.

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu: Penelitian dilakukan dari Oktober 2014 - November 2014

Lokasi: Divisi Urologi, Departmen Bedah, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Kota Medan.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua data penderita benign prostate hyperplasia (BPH) di Divisi Urologi, Departmen Ilmu Bedah RSUP. Haji Adam Malik, Kota Medan

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah semua data penderita benign prostate hyperplasia (BPH) yang datang untuk mendapatkan rawatan di RSUP. Haji Adam Malik, Kota Medan yang merangkumi 104 orang. Kriteria inklusi adalah semua penderita yang memiliki indikasi absolut benign prostate hyperplasia (BPH) yaitu sebanyak 104 orang.


(46)

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Data pada penelitian ini dikumpulkan secara Total Sampling yaitu dengan mengambil keseluruhan, 104 orang penderita benign prostate hyperplasia (BPH) sebagai sampel. Pengumpulan data penelitian in dilakukan dengan mendapatkan rekam medis daripada Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik, Kota Medan. Data pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu fakta yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti dari catatan rekam medis.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperlukan dikumpulkan setelah melihat rekam medis pasien benign prostate hyperplasia (BPH). Data yang dikumpul kemudian diolah dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS)


(47)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik merupakan Rumah Sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/IX/1991. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik juga sebagai pusat rujukan untuk wilayah Pembangunan A yang meliputi provinsi Sumatera Utara, nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan Rawat Jalan sedangkan untuk pelayanan rawat Inap baru dimulai tanggal 2 Mei 1992. Pada tanggal 11 Januari 1993 secara resmi Pusat Pendidikan Fakultas Kedokteran USU Medan dipindah ke Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik sebagai tanda dimulainya soft opening. Kemudian diresmikan oleh Bapak Presiden RI pada tanggal 21 Juli 1993.

RSUP H. Adam Malik Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri dari pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, gawat darurat, bedah pusat, hemodialisis), pelayanan penunjang medis (instalasi diagnostic terpatu, patologi klinik, patologi anatomi, radiologi, rehabilitasi medic, kardiovaskular, mikrobiologi), pelayanan penunjang non medis (instalasi gizi, farmasi, Central Sterilization Supply Depart (CSSD), bioelektronik medik, Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) dan pelayanan non medis (instalasi tata usaha pasien, teknik sipil pemulasaran jenazah).

5.1.2 Gambaran Umum Responden

Responden dalam penelitian ini adalah penderita benign prostate hyperplasia (BPH) di Divisi Urologi, Departmen Ilmu Bedah RSUP. Haji Adam


(48)

Malik, Kota Medan periode 2012 sampai dengan 2013. Proses pengambilan data untuk penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2014 sampai 12 November 2014 di Instalasi Rekam Medis RSUP H. Adam Malik Medan berjumlah 65 orang dari jumlah populasi 104 orang.

Berdasarkan data-data rekam medis yang telah dikumpulkan dan dianalisa, maka dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan di bawah ini.

I. Deskripsi Umur Responden

Dalam penelitian ini, responden adalah penderita BPH di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan. Dari keseluruhan responden, gambaran karakteristik berdasarkan kelompok umur terbanyak dengan interval 73-77 tahun yaitu 16 orang (24,6%).

Umur (Tahun) Frekuensi %

53-57 7 10,8

58-62 7 10,8

63-67 9 13,8

68-72 13 20,0

73-77 16 24,6

78-82 8 12,3

83-87 1 1,5

88-92 4 6,2

Total 65 100,0

Tabel 5.1. Distribusi Penderita BPH Berdasarkan Umur di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan

II. Deskripsi Pendidikan Responden

Pada umumnya responden mempunyai riwayat pendidikan rendah (Sekolah Dasar/tidak sekolah) yaitu 29 orang (44,6%) dan hanya 3 orang (4,6%) berpendidikan sarjana (Akademi/PT) di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan.

Pendidikan Frekuensi %

SD/Tidak sekolah 29 44.6

SLTP 10 15.4

SLTA 23 35.4

Akademi / PT 3 4.6


(49)

Tabel 5.2. Distribusi Penderita BPH Berdasarkan Umur di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan

III. Deskripsi Jenis Pekerjaan Responden

Responden penderita BPH pada umumnya tidak mempunyai pekerjaan (pensiunan) yaitu 26 orang (40%), wiraswasta yaitu 22 orang (33,9%), bekerja sebagai petani yaitu 14 orang (21,5%) dan 3 orang (4,6%) bekerja sebagai pegawai negeri di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan.

Jenis Pekerjaan Frekuensi %

Pegawai Negeri 3 4.6

Wiraswasta 22 33.9

Pensiunan 26 40.0

Petani 14 21.5

Total 65 100,0

Tabel 5.3. Distribusi Penderita BPH Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan

IV. Deskripsi Status Perkawinan Responden

Responden penderita BPH pada umumnya masih berstatus menikah atau mempunyai pasangan hidup yaitu 54 orang (83,1%) dan 11 orang (16,9%) tidak mempunyai pasangan (duda) yaitu 11 orang (16,9%) di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan.

Status Perkawinan Frekuensi %

Menikah 54 83.1

Duda 11 16.9

Total 65 100,0

Tabel 5.4. Distribusi Penderita BPH Berdasarkan Status Perkawinan di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan

V. Deskripsi Indikasi AbsolutPenderitaBPH

Responden penderita BPH yang menjalani Transurethral Resection of Prostate pada umumnya mengalami indikasi bedah retensi urine yang berulang yaitu 59 orang (90,8%), kemudian menyusul indikasi Gross hematuria berulang


(50)

yaitu 23 orang (35,4%), selanjutnya 17 orang (26,2%) mengalami insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli. Responden tidak mengalami Indikasi infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat setelah selesai dilakukan intervensi bedah yaitu 63 orang (96,9%).

Indikasi AbsolutIntervensi Bedah

Tidak Ada

Indikasi Ada Indikasi

f % f %

Retensi urine yang berulang 6 9.2 59 90.8

Infeksi saluran kemih rekuren

akibat pembesaran prostat 63 96.9 2 3.1

Gross hematuria berulang 42 64.6 23 35.4

Insufisiensi ginjal akibat obstruksi

saluran kemih pada buli 48 73.8 17 26.2

Calculi bladder 61 93.8 4 6.2

Tabel 5.5. Distribusi Penderita BPH Berdasarkan Indikasi Absolut di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan

I. Tabulasi Silang Umur Responden dengan Indikasi Absolut Pembedahan BPH

Tabulasi silang umur penderita BPH dengan indikasi absolut pembedahan seperti terlihat pada tabel berikut.

Indikasi Absolut Intervensi Bedah

Umur (Tahun)

53-57 58-62 63-67 68-72

f % f % f % f %

Retensi urine yang berulang

a. Tidak ada

indikasi 1 1,5 0 0,0 1 1,5 1 1,5

b. Ada indikasi 6 9,2 7 10,8 8 13,6 12 20,3

Infeksi saluran kemih rekuren

a. Tidak ada

indikasi 6 9,2 6 9,2 9 13,8 13 20,0

b. Ada indikasi 1 1,5 1 1,5 0 0,0 0 0,0

Gross hematuria berulang

a. Tidak ada

indikasi 6 9,2 5 7,7 4 6,2 8 12,3

b. Ada indikasi 1 1,5 2 3,1 5 7,7 6 9,2

Insufisiensi ginjal a. Tidak ada


(51)

b. Ada indikasi 1 1,5 3 4,6 2 3,1 4 6,2 Calculi bladder

a. Tidak ada

indikasi 7 10,8 5 7,7 9 13,8 12 18,5

b. Ada indikasi 0 0,0 2 3,1 0 0,0 1 1,5

Umur (Tahun)

73-77 78-82 83-87 88-92

f % f % f % f %

Retensi urine yang berulang

a. Tidak ada

indikasi 2 3,1 0 0,0 0 0,0 1 1,5

b. Ada indikasi 14 21,5 8 12,3 1 1,5 3 4,6

Infeksi saluran kemih rekuren akibat

pembesaran prostat

a. Tidak ada indikasi 16 24,6 8 12,3 1 1,5 4 6,2

b. Ada indikasi 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Gross hematuria berulang

a. Tidak ada indikasi 10 15,4 7 10,8 0 0,0 2 3,1

b. Ada indikasi 6 9,2 1 1,5 1 1,5 2 3,1

Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli

a. Tidak ada indikasi 12 18,5 7 10,8 0 0,0 3 4,6

b. Ada indikasi 4 6,2 1 1,5 1 1,5 0 0,0

Calculi bladder

a. Tidak ada indikasi 15 23,1 8 12,3 1 1,5 4 6,2

b. Ada indikasi 1 1,5 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Tabel 5.6. Tabulasi Umur Responden dengan Indikasi Absolut Pembedahan BPH di Divisi Urologi Department Bedah RSUP Haji Adam Malik Medan

Pada tabel 5.6 dapat dilihat bahwa penderita BPH yang mengalami indikasi absoulut intervensi bedah cenderung pada kelompok umur 73-77 tahun. Indikasi retensi urine yang berulang lebih banyak berumur 73-77 tahun tahun yaitu 21,5%. Demikian juga pasien BPH mengalami indikasi gross hematuria berulang lebih banyak berumur 68-72 tahun dan 73-77 tahun yaitu 6,2% dan indikasi insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli juga lebih banyak berumur 68-72 tahun dan 73-77 tahun yaitu 6,2%.


(1)

Gross hematuria berulang * Umur Crosstabulation

Umur

Tota l 53-57

tahun 58-62 tahun

63-67 tahun

68-72 tahun

73-77 tahun

78-82 tahun

83-87 tahun

88-92 tahun

Gross hematuria berulang

Tidak ada indikasi

Count 6 5 4 8 10 7 0 2 42

% within Gross hematuria berulang

14,3

% 11,9% 9,5% 19,0% 23,8% 16,7% 0,0% 4,8% 100,

0%

% of Total

9,2% 7,7% 6,2% 12,3% 15,4% 10,8% 0,0% 3,1% 64,6 %

Ada Indikasi

Count 1 2 5 5 6 1 1 2 23

% within Gross hematuria berulang

4,3% 8,7% 21,7% 21,7% 26,1% 4,3% 4,3% 8,7% 100, 0%

% of Total

1,5% 3,1% 7,7% 7,7% 9,2% 1,5% 1,5% 3,1% 35,4

%

Total Count 7 7 9 13 16 8 1 4 65

% within Gross hematuria berulang

10,8

% 10,8% 13,8% 20,0% 24,6% 12,3% 1,5% 6,2% 100,

0%

% of Total 10,8

% 10,8% 13,8% 20,0% 24,6% 12,3% 1,5% 6,2% 100,

0%

Gross hematuria berulang * Jenis pekerjaan Crosstabulation

Jenis pekerjaan

Total Pegawai

Negeri

Wiraswast

a Pensiunan Petani

Gross hematuria berulang

Tidak ada indikasi

Count 1 11 19 11 42

% of

Total 1,5% 16,9% 29,2% 16,9% 64,6%


(2)

% of

Total 3,1% 16,9% 10,8% 4,6% 35,4%

Total Count 3 22 26 14 65

% of

Total 4,6% 33,8% 40,0% 21,5% 100,0%

Gross hematuria berulang * Status Perkawinan Crosstabulation

Status Perkawinan

Total

Menikah Duda

Gross hematuria berulang Tidak ada indikasi Count 34 8 42

% of Total 52,3% 12,3% 64,6%

Ada Indikasi Count 20 3 23

% of Total 30,8% 4,6% 35,4%

Total Count 54 11 65

% of Total 83,1% 16,9% 100,0%

Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli * Umur Crosstabulation

Umur

Total < 50 tahun >= 50 tahun

Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli

Tidak ada indikasi Count 2 46 48

% of Total 3,1% 70,8% 73,8%

Ada Indikasi Count 0 17 17

% of Total 0,0% 26,2% 26,2%

Total Count 2 63 65


(3)

Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli * Umur Crosstabulation

Umur

Tota l 53-57

tahun

58-62 tahun

63-67 tahun

68-72 tahun

73-77 tahun

78-82 tahun

83-87 tahun

88-92 tahun

Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli

Tidak ada indikasi

Count 6 4 7 9 12 7 0 3 48

% within Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli

12,5% 8,3% 14,6% 18,8% 25,0% 14,6% 0,0% 6,3% 100, 0%

% of Total

9,2% 6,2% 10,8% 13,8% 18,5% 10,8% 0,0% 4,6% 73,8 %

Ada Indikasi

Count 1 3 2 4 4 1 1 1 17

% within Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli

5,9% 17,6% 11,8% 23,5% 23,5% 5,9% 5,9% 5,9% 100, 0%

% of Total

1,5% 4,6% 3,1% 6,2% 6,2% 1,5% 1,5% 1,5% 26,2

%

Total Count 7 7 9 13 16 8 1 4 65

% within Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli

10,8% 10,8% 13,8% 20,0% 24,6% 12,3% 1,5% 6,2% 100, 0%

% of Total

10,8% 10,8% 13,8% 20,0% 24,6% 12,3% 1,5% 6,2% 100, 0%


(4)

Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli * Jenis pekerjaan Crosstabulation

Jenis pekerjaan

Total Pegawai

Negeri Wiraswasta

Pensiuna

n Petani

Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli

Tidak ada indikasi

Count

3 19 16 10 48

% of

Total 4,6% 29,2% 24,6% 15,4% 73,8%

Ada Indikasi Count 0 3 10 4 17

% of

Total 0,0% 4,6% 15,4% 6,2% 26,2%

Total Count

3 22 26 14 65

% of

Total 4,6% 33,8% 40,0% 21,5% 100,0%

Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli * Status Perkawinan Crosstabulation

Status Perkawinan

Total

Menikah Duda

Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli

Tidak ada indikasi Count 41 7 48

% of Total 63,1% 10,8% 73,8%

Ada Indikasi Count 13 4 17

% of Total 20,0% 6,2% 26,2%

Total Count 54 11 65

% of Total 83,1% 16,9% 100,0%

Calculi bladder * Umur Crosstabulation

Umur

Tot al

53-57 tahu n

58-62 tahun

63-67 tahun

68-72 tahun

73-77 tahun

78-82 tahun

83-87 tahun

88-92 tahun


(5)

bladder ada indikasi % within Calculi bladder 11,5 % 8,2%

14,8 % 19,7 % 24,6 % 13,1

% 1,6% 6,6% 100 ,0%

% of Total 10,8 % 7,7%

13,8 % 18,5 % 23,1 % 12,3

% 1,5% 6,2% 93, 8%

Ada Indikasi

Count 0 2 0 1 1 0 0 0 4

% within Calculi bladder

0,0% 50,0 % 0,0%

25,0 %

25,0

% 0,0% 0,0% 0,0% 100 ,0%

% of Total

0,0% 3,1% 0,0% 1,5% 1,5% 0,0% 0,0% 0,0% 6,2 %

Total Count 7 7 9 13 16 8 1 4 65

% within Calculi bladder 10,8 % 10,8 % 13,8 % 20,0 % 24,6 % 12,3

% 1,5% 6,2% 100 ,0%

% of Total 10,8 % 10,8 % 13,8 % 20,0 % 24,6 % 12,3

% 1,5% 6,2% 100 ,0%

Calculi bladder * Pddkan Crosstabulation

Pddkan Total SD/Tid ak sekolah SLT P SLT A Akade mi / PT Calculi

bladder

Tidak ada indikasi Count 25 10 23 3 61

% of

Total 38,5%

15,4 %

35,4

% 4,6% 93,8%

Ada Indikasi Count 4 0 0 0 4

% of

Total 6,2% 0,0% 0,0% 0,0% 6,2%

Total Count 29 10 23 3 65

% of

Total 44,6%

15,4 %

35,4

% 4,6% 100,0%

Calculi bladder * Jenis pekerjaan Crosstabulation

Jenis pekerjaan Total Pegawai Negeri Wiraswas ta Pensiuna

n Petani

Calculi bladder Tidak ada indikasi

Count 3 20 25 13 61

% of

Total 4,6% 30,8% 38,5% 20,0% 93,8%

Ada Indikasi Count 0 2 1 1 4

% of

Total 0,0% 3,1% 1,5% 1,5% 6,2%


(6)

% of

Total 4,6% 33,8% 40,0% 21,5% 100,0%

Calculi bladder * Status Perkawinan Crosstabulation

Status Perkawinan

Total

Menikah Duda

Calculi bladder Tidak ada indikasi Count 50 11 61

% of Total 76,9% 16,9% 93,8%

Ada Indikasi Count 4 0 4

% of Total 6,2% 0,0% 6,2%

Total Count 54 11 65