MODEL KURIKULUM KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN GURU : Studi Desain dan Implementasi Kurikulum Budaya dan Literatur Gayo Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon.

(1)

MODEL KURIKULUM KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN GURU

(Studi Desain dan Implementasi Kurikulum Budaya dan Literatur Gayo Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

dalam Bidang Pengembangan Kurikulum

Al Musanna

NIM. 0800831

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2014


(2)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI:

Promotor Merangkap Ketua,

Prof. Dr. Hj. Hansiswany Kamarga, M.Pd

Kopromotor Merangkap Sekretaris

Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd.

Anggota,

Dr. H. Azis Mahfudin, M.Pd.

Mengetahui

Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “MODEL KURIKULUM KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN GURU (Studi Desain dan Implementasi Kurikulum Budaya dan Literatur Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon)” dan seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan tersebut, saya siap menanggung risiko yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap karya saya.

Bandung, Maret 2013 Yang membuat pernyataan,

Al Musanna NIM. 0800831


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah atas rahmat dan inayah-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam disampaikan kepada Rasulullah Muhammad Saw., yang telah membimbing manusia menemukan jalan kebenaran. Penyelesaian disertasi ini telah melalui perjalanan yang panjang dan melibatkan banyak orang. Dalam kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberi kontribusi, khususnya kepada:

1. Bapak Rektor, Bapak Direktur Sekolah Pascasarjana dan Bapak Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menempuh studi S-3 di Universitas Pendidikan Indonesia.

2. (Almarhumah) Ibu Prof. Dr. Hj. Hansiswany Kamarga, M.Pd., Bapak Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd., dan Bapak Dr. H. Azis Mahfudin, M.Pd., sebagai tim pembimbing yang telah membaca, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, memberi saran dan memotivasi saya untuk menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd., dan Bapak Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si., selaku penguji yang telah mengajukan pertanyaan dan masukan untuk perbaikan disertasi ini.

3. Bapak Rektor IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh yang telah memberi ijin menempuh studi pada Program Pascasarjana Pengembangan Kurikulum Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

4. Bapak Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon dan para dosen Studi Budaya dan Literatur Gayo yang telah mengijinkan penelitian ini dilakukan. 5. Rekan-rekan di Program Studi Pengembangan Kurikulum Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia angkatan tahun akademik 2008/2009. Pengalaman berbagi suka dan duka selama menjalani perkuliahan telah memperkaya wawasan saya dalam menekuni disiplin ilmu kurikulum.


(5)

6. Bapak Tengku H. Djemadil dan Ibu Hj. Remiah yang senantiasa mendo’akan dengan tulus dan memotivasi saya untuk menyelesaikan studi. Terhatur ungkapan terima kasih kepada: Abang Kul Tgk. Dahlian sekeluarga; kakanda Zuraidah, A.Md., sekeluarga; kakanda Wajnah, S.Ag. sekeluarga; abang Al Hukama, S.Ag, S.H., MA. sekeluarga; adinda Al Amri, S.P., sekeluarga; serta adinda Islahiyah, S.H.I sekeluarga yang dengan do’a dan pertanyaan kapan pengembaraan intelektual di bumi Parahiyangan selesai telah menyegarkan tekadku untuk menyelesaikan studi ini.

7. Istriku Novia Rahmah, S.Pd. yang dengan ketulusan dan pengorbanannya telah memberi inspirasi dan motivasi dalam menghadapi berbagai masalah. Terima kasih kepada anakku Hilma Az-Zahra dan Sophia Althafunnisa yang dengan pertanyaannya kapan Abi pulang dari Bandung telah melecut semangat saya untuk segera mengakhiri penantian mereka.

8. Kanda Dr. Zulkarnain, M.Ag., Kanda Drs. Khairus Shadiqi, M.Pd., Bapak Drs. Mulawarman, M.Pd, Bapak Dr. Niswanto, M.Pd., Saudara Dr. Mohammad Thohri, M.Pd., dan Kang Yogi Mustafa Kamil, S.Pd., yang dengan caranya masing-masing telah memberi kontribusi dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. 9. Pihak-pihak yang tidak disebutkan namanya, tetapi sumbangsihnya tidak dilupakan. Semoga Allah memberi pahala terbaik atas sumbangsih semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini.

Bandung, Maret 2013

Al Musanna NIM. 0800831


(6)

(7)

ABSTRAK

MODEL KURIKULUM KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN GURU

(Studi Desain dan Implementasi Kurikulum Budaya dan Literatur Gayo Pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon)

Indonesia adalah negara dengan khazanah kearifan lokal yang sangat beragam (terdiri atas 726 suku bangsa dan memiliki 577 bahasa daerah). Idealnya kearifan lokal diberdayakan dalam pengembangan pendidikan, namun kebhinekaan budaya lokal belum mendapat perhatian memadai dalam pengembangan praksis pendidikan di tanah air (Alwasilah, 2012; Tilaar, 2012; Gopinathan, 2006). Di tengah minimnya perhatian lembaga pendidikan guru terhadap kearifan lokal, Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon telah mengembangkan kurikulum kearifan lokal. Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana model pengembangan kurikulum kearifan lokal pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon? Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan menganalisa desain, implementasi, serta tantangan dan peluang pengembangan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode penelitian studi kasus. Temuan penelitian menunjukkan: (1) desain kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo telah mendapat perhatian dan dikembangkan namun belum terdokumentasi secara sistematis; (2) Implementasi kurikulum dilakukan melalui pengembangan fondasi keingintahuan, kontekstualisasi, pembelajaran berbasis pengalaman, pembelajaran reflektif, keteladanan, dan institusionalisasi kearifan lokal; (3) Pengembangan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo dihadapkan pada tantangan keterbatasan bahan ajar, terjadinya kesenjangan pemahaman dan aplikasi kearifan lokal, minimnya perhatian pemerintah terhadap revitalisasi kearifan lokal dan dampak globalisasi yang menyebabkan terjadinya diskontinuitas kesadaran masyarakat terhadap kearifan lokalnya. Meskipun demikian, pengembangan kurikulum kearifan lokal memberi harapan dengan adanya reorientasi pendidikan yang lebih desentralistik, menguatnya aspirasi untuk kebangkitan hak-hak-hak masyarakat lokal dan pemanfaatan teknologi dalam sosialisasi terhadap signifikansi kearifan lokal, serta dukungan sivitas akademika dalam institusionalisi kearifan lokal masyarakat Gayo. Dari hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa kurikulum kearifan lokal dalam pendidikan guru diperlukan untuk mengembangkan kompetensi budaya guru sehingga mampu mentransmisikan dan mentransformasikan kearifan lokal. Peneliti merekomendasikan kepada pimpinan Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih untuk memberi dukungan kepada dosen untuk meningkatkan kompetensi dalam mendesain dan mengimplementasikan kurikulum. Penelitian lanjutan untuk pengembangan model kurikulum kearifan lokal pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan sangat diperlukan.


(8)

ABSTRACT

LOCAL WISDOM CURRICULUM MODEL IN TEACHER EDUCATION

(The Study of Design and Implementation of Curriculum Budaya and Literatur Gayo at Tarbiyah Departmen of Gajah Putih Takengon Higher Institute for Islamic Studies)

Indonesia is a country with a wealth of local wisdom (comprising 726 ethnic groups and has 577 local languages). Ideally local wisdom used as a based in the developing national education, but the reality is that diversity has not got a proper place in the praxis of education in Indonesia (Alwasilah, 2012; Tilaar, 2012; Gopinathan, 2006). Amid the lack of attention to local wisdom in educational institution, Gajah Putih Takengon Higher Institute for Islamic Studies has developing teacher education curriculum on Gayonese local wisdom. The main problem of this research is how the local wisdom curriculum at Tarbiyah Departmen of Gajah Putih Takengon Higher Institute for Islamic Studies? This research was conducted to describe and analyze the design, implementation, as well as challenges and opportunities for curriculum development on Gayonese local wisdom. This study used a qualitative approach and case study method. The study found: (1) curriculum design based on Gayonese local wisdom at Tarbiyah Departmen of Gajah Putih Takengon Higher Institute for Islamic Studies has been developed, but has not been systematically written that shows the synergy between its components; (2) implementation of curriculum based on local wisdom do through contextualization, experience-based learning, reflective learning, modeling, and developing academic atmosphere that supports internalization and institutionalization of local wisdom; (3) curriculum development challenge lies in the limitations of materials, homogenization of culture, the gap of understanding and application of local wisdom in community, the lack of government attention the preservation and development of Gayonese local wisdom. Local wisdom curriculum opportunities are: the reorientation of education, the emergence of glocalization, use of communication and information technology to widespread of awareness about local wisdom, and support from accademic community at Gajah Putih Takengon Higher Institute for Islamic Studies. Researchers recommend to the head of Gajah Putih Takengon Higher Institute for Islamic Studies to provide more systematic and ongoing support to teacher educator to develop their competence, especially in terms of designing and implementing curriculum. In addition, further research needs to be done to develop models of local wisdom based curriculum on various types and levels of education (design, implementation and evaluation of the curriculum).


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Model Implementasi Kurikulum 30 Tabel 3.1 Jurusan dan Program Studi pada Sekolah Tinggi

Agama Islam Gajah Putih Takengon

62

Tabel 4.1 Pengorganisasian Materi Kearifan Lokal 134

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Desain Kurikulum Rasional 18

Gambar 2.2 Model Desain Kurikulum Sistem 21

Gambar 2.3 Paradigma Konseptual Penelitian 55

Gambar 4.1 Konseptualisasi Materi Kearifan Lokal Masyarakat Gayo 98

Gambar 4.2 Sistem Budaya Gayo 107

Gambar 4.3 Model Desain Kurikulum Kearifan Lokal pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon

137

Gambar 4.4 Model Implementasi Kurikulum Kearifan Lokal pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon


(10)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ii

UCAPAN TERIMA KASIH ABSTRAK iii v DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii ix

DAFTAR GAMBAR x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Penelitian 8

C. Tujuan Penelitian 9

D. Manfaat Penelitian 10

E. Struktur Organisasi Disertasi 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Model Kurikulum 1. Hakikat Kurikulum 2. Desain Kurikulum 3. Implementasi Kurikulum

12 13 16 26 B. Kearifan Lokal

1. Hakikat Kearifan Lokal 2. Karakteristik Kearifan Lokal 3. Ruang Lingkup Kearifan Lokal 4. Model Revitalisasi Kearifan Lokal

32 38 49 41 C. Pendidikan Guru dan Kearifan Lokal

1. Praksis Pendidikan Guru

2. Landasan Filosofi Pendidikan Guru Berbasis Budaya 3. Teori Pendidikan Guru Tanggap Budaya

43 44 46 D. Penelitian Terdahulu yang Relevan

E. Paradigma Konseptual Penelitian

50 55

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian 56

B. Metode Penelitian 58

C. Tahapan Penelitian 59

D. Setting dan Partisipan Penelitian 61

E. Teknik Pengumpulan Data 65

F. Analisis Data Penelitian 67

G. Teknik Penjaminan Keabsahan Penelitian 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian

1. Desain Kurikulum Kearifan Lokal Masyarakat Gayo 72 2. Implementasi Kurikulum Kearifan Lokal Masyarakat Gayo 138 3. Tantangan dan Peluang Kurikulum Kearifan Lokal Masyarakat Gayo 157


(11)

B.Pembahasan

1. Desain Kurikulum Kearifan Lokal dalam Pendidikan Guru 170 2. Implementasi Kurikulum Kearifan Lokal dalam Pendidikan Guru 189 3. Tantangan dan Peluang Pengembangan Kurikulum Kearifan Lokal

dalam Pendidikan Guru

206

C. Keterbatasan Penelitian 222

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN

A. Simpulan 223

B. Rekomendasi 226

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN BIOGRAFI PENELITI

228 245 249


(12)

BAB I PENDAHULUAN

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis model kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Dalam bab ini dikemukakan latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi disertasi.

A.Latar Belakang Penelitian

Pendidikan merupakan salah satu manifestasi kebudayaan. Sejumlah pakar menyatakan bahwa lembaga pendidikan dengan berbagai jenis dan jenjangnya berperan sebagai pusat pembudayaan (Alwasilah, Suryadi dan Karyono, 2009: 53; Soedjatmoko, 2010: 99). Pembudayaan adalah proses untuk menempatkan budaya sebagai isi dan misi proses pendidikan sehingga potensi seseorang untuk belajar dan menyesuaikan pikiran dan sikap terhadap adat, serta sistem norma budayanya berkembang dengan baik (Koentjaraningrat, 2011: 146). Pendidikan mengemban tugas luhur untuk mengembangkan kepribadian peserta didik seutuhnya dalam konteks lingkungan alamiah dan kebudayaan yang berkeadaban (Tilaar, 2012: 1136). Melalui proses tersebut diharapkan peserta didik mempunyai seperangkat keterampilan bertahan hidup dan sikap atau karakter yang sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan lokal, nasional dan global.

Secara filosofis, pendidikan bertujuan memenuhi tiga aspirasi: pragmatis, nasionalistik dan kulturalistik (Abduhzein dalam Indratno, Ed., 2013: 11). Aspirasi pragmatis dimanifestasikan dalam konsep pendidikan untuk mempersiapkan seseorang bertahan hidup (survival). Aspek terpentingnya adalah membekali seseorang dengan kemampuan mencukupi kebutuhan hidup dan terlibat aktif dalam mobilitas sosial. Aspirasi nasionalistik berkaitan dengan peran pendidikan membangun kesadaran bersama melalui pengembangan identitas kebangsaan. Pendidikan berfungsi sebagai bagian dari pembentukan watak atau karakter warga negara yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa yang


(13)

bersangkutan (Saefuddin dan Karim, Ed., 2008). Sementara itu, aspirasi kulturalistik menempatkan lembaga pendidikan sebagai pranata sosial yang berfungsi mentransmisi dan mentransformasikan budaya. Aspirasi kulturalistik menghendaki terintegrasinya budaya lokal, nasional dan global secara sinergis dalam pembentukan karakter peserta didik.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, salah seorang tokoh yang mempunyai perhatian besar untuk mengembangkan pendidikan yang berakar pada kebudayaan lokal dan nasional adalah Ki Hadjar Dewantara (Tilaar, 2013: 22; Wangsalegawa, 2009: 145). Menurut beliau, identifikasi dan revitalisasi puncak-puncak tradisi lokal diperlukan dalam pengembangan pendidikan nasional. Keyakinannya mengenai pentingnya menempatkan budaya lokal sebagai fondasi pendidikan tercermin dalam pidatonya ketika menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957. Pada kesempatan tersebut beliau mengungkapkan sebagai berikut:

Seperti berulang-ulang telah saya nyatakan sendiri, pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Di samping itu pelajarilah hidup kejiwaan rakyat kita, dengan adat istiadatnya yang dalam hal ini bukannya untuk kita tiru secara mentah-mentah, namun karena bagi kita adat istiadat itu merupakan petunjuk-petunjuk yang berharga (Dewantara, 2009: 202-3).

Pernyataaan tersebut menggambarkan visi pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengenai pentingnya nilai-nilai luhur suku bangsa (lokal) dijadikan fondasi pendidikan. Nilai-nilai lokal yang terbentuk dari hasil serangkaian pengalaman berinteraksi dengan lingkungan seyogianya dipertimbangkan untuk memperkaya praksis pendidikan. Kebhinekaan budaya (lokal) perlu diungkap dan diseleksi untuk diadaptasi sebagai kebudayaan nasional. Ki Hadjar Dewantara (2009: 79) menyatakan, “Apalah artinya kemerdekaan, kalau rakyat terus mengekor pada kebudayaan bangsa-bangsa lain. Kita harus ingat, bahwa imperialisme tidak saja ada dalam bidang kenegaraan, tetapi juga dalam bidang kebudayaan.”

Konsep pendidikan sebagai proses pembudayaan dan berakar pada nilai budaya Indonesia dapat pula ditemukan dalam sejumlah peraturan. Pasal 1 (2)


(14)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Penegasan yang sama terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan, “Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah..., yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.” Selain itu, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010 menegaskan bahwa prioritas pendidikan diarahkan pada “penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.”

Idealitas untuk mewujudkan pendidikan nasional yang berakar pada diversitas kearifan lokal belum mendapat perhatian memadai. Prioritas kebijakan pendidikan untuk melayani persaingan global dan memenuhi kebutuhan lapangan kerja mengakibatkan diskursus pengembangan pendidikan berbasis budaya tidak terlalu menarik perhatian (Tilaar, 2000: 297; Salim, [Ed.], 2007: 248). Akademisi dan praktisi pendidikan lebih tertarik menggunakan jalan pintas mengadopsi model pendidikan dari luar (Barat) tanpa melalui proses adaptasi kritis (Gopinathan, 2006: 265). Mengenai kecenderungan tersebut, Rektor Unversitas Pendidikan Indonesia dalam kata pengantar untuk buku Etnopedagogy: Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru menyatakan:

Di antara kita ada miskonsepsi seolah-olah pendidikan yang terbaik itu adalah sistem pendidikan yang dikembangkan di dunia Barat, sehingga seringkali kita menelan mentah-mentah konsep Barat tanpa sikap kritis. Di antara kita selama ini silau dengan sistem pendidikan Barat sehingga buta terhadap keunggulan lokal yang lama terpendam dalam bumi kebudayaan Indonesia.

Sejak akhir tahun 1980-an sejumlah tokoh pendidikan menggagas pengintegrasian pendidikan dan kebudayaan melalui muatan lokal. Kurikulum muatan lokal bertujuan mengembangkan pemahaman peserta didik mengenai


(15)

keragaman budaya lokal dan lingkungannya (Arikunto dan Said, 2002; Puskur, 2007). Pelaksanaan kurikulum muatan lokal yang tujuan awalnya diorientasikan untuk meningkatkan relevansi pendidikan, melestarikan dan mengembangkan diversitas budaya lokal tidak berjalan sesuai harapan (Bjork, 2005: 253). Keberadaan kurikulum muatan lokal bahkan mengalami disorientasi dengan berkembangnya praktik yang cenderung mengabaikan realitas sosial budaya di mana pendidikan tersebut berlangsung. Alwasilah (2012: 117) mengungkapkan:

Dalam kurikulum SD tercantum muatan lokal (local content) yang harus diisi oleh penanaman kearifan lokal. Kenyataannya hampir sebagian besar sekolah menjadikan bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Bahasa Inggris sudah menjadi kearifan lokal, atau bangsa Indonesia tidak mampu mengenal kearifan lokalnya sendiri.

Terdapat beberapa faktor terkendalanya pencapaian idealitas muatan lokal untuk meningkatkan relevansi pendidikan dan mengembangkan pemahaman peserta didik terhadap keberagaman budaya. Salah satunya karena persiapan dan peningkatan kompetensi guru yang menjalankan kurikulum muatan lokal belum mendapat perhatian semestinya (Bjork dalam Jazda, Ed., 2006: 142). Rendahnya kompetensi guru mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum muatan lokal di sekolah terkait langsung dengan kurangnya perhatian lembaga pendidikan guru dalam mempersiapkan guru yang mampu mengejawantahkan kearifan lokal (Bjork, 2005). Sehubungan dengan hal tersebut, Tilaar (2007: 296) menyatakan:

Relevansi dari isi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat setempat memerlukan keahlian yang tinggi dari para pengelola pendidikan (guru). Para guru perlu disiapkan bagaimana penyusunan serta pelaksanaan kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat lokal. Masalah ini malahan telah menghilang di dalam program pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) di Indonesia dewasa ini.

Minimnya perhatian lembaga pendidikan guru dalam mengeksplorasi dan menginternalisasikan kearifan lokal kepada mahasiswa calon guru berimplikasi pada berkembangnya persepsi lulusan lembaga pendidikan guru yang tidak simpatik terhadap warisan tradisinya (Trunbull dan Pacheco, 2005: 26). Harapan untuk tumbuhnya apresiasi dan penyikapan yang positif dari mahasiswa calon


(16)

guru terhadap berbagai manifestasi kearifan lokal menuntut adanya perhatian dan tindakan nyata dari lembaga pendidikan guru untuk memutus mata rantai kesalahpahaman terhadap budaya lokal (Alwasilah, 2012: 80). Keragaman budaya menuntut dikembangkannya kurikulum pendidikan guru yang tidak hanya berorientasi pada pengembangan kompetensi akademis mahasiswa calon guru, tetapi juga mengembangkan kemampuan mereka untuk mengetahui, mengapresiasi, dan mengintegrasikan diversitas nilai budaya lokal tersebut dalam pembelajaran (Banks dan Banks, [Ed.], 2010; Taylor dan Soeber, 2012: 41).

Degradasi fungsi kearifan lokal juga telah menimbulkan keprihatinan di kalangan suku atau etnis Gayo yang merupakan penduduk asli dataran tinggi Gayo yang mendiami wilayah tengah Provinsi Aceh. Tergerusnya kearifan lokal masyarakat Gayo disebabkan oleh faktor internal dan eksternal (Syukri, 2007: 35; Algayoni, 2012). Faktor internal yang dimaksudkan adalah tidak terinternalisasinya nilai-nilai tradisi secara baik dalam keluarga dan masyarakat sehingga menyebabkan nilai-nilai yang sebelumnya menjadi rujukan mengalami degradasi fungsi dan makna (Pinan, 2001; Melalatoa dalam Kusumo, et al., Ed., 2005). Pada sisi lain, modernisasi dan globalisasi menyebabkan budaya lokal dihadapkan dengan nilai-nilai atau budaya populer yang disajikan secara massif dan lebih menarik. Persentuhan antar budaya tersebut menyebabkan terjadinya perubahan sikap sebagian masyarakat yang ditandai dengan kecenderungan berlebihan untuk meniru budaya populer sehingga berdampak pada terjadinya diskontinuitas kesadaran masyarakat Gayo terhadap identitas lokalnya. Yusra Habib Abdul Gani, seorang intelektual Gayo dan Direktur Institute for Ethnics Civilization Research dalam artikelnya di Lintas Gayo mengemukakan:

Budaya dan tradisi kita sedang berada di persimpangan jalan, tidak bisa mengelak dari arus globalisasi informasi dan budaya yang berlangsung lewat interaksi dan asimilasi budaya yang terus-menerus merapatkan antara kelompok budaya dengan kelompok budaya lain, bahkan interaksi budaya antara suatu bangsa dengan bangsa lain. Silang budaya tadi bisa saja saling memajukan, menghidupkan, menguasai atau dikuasai, merubah bentuk –rusak atau indah– melengkapi atau mematikan salah satu daripadanya. Pengaruh dari interaksi budaya tadi bisa dirasakan dari ’trend’ masyarakat yang


(17)

gandrung meniru budaya dan bahasa asing, sebaliknya merendahkan prestige [prestise] budaya, tradisi dan bahasa asli (Gani, 2010: 2).

Kutipan tersebut mengungkapkan realitas perkembangan budaya masyarakat Gayo dalam beberapa dekade terakhir. Nilai-nilai, tradisi, ungkapan-ungkapan bijak (perimustike) yang merupakan kristalisasi pemahaman terhadap fenomena alam dan sosial semakin memudar dari ingatan kolektif masyarakat Gayo berganti dengan nilai-nilai baru yang datang dari luar tanpa proses seleksi yang berarti (Melalatoa dalam Kusumo, et al., [Ed.], 2005). Sehubungan dengan kenyataan tersebut, sejak diberlakukannya kurikulum muatan lokal, Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Tengah telah mengupayakan agar sosialisasi budaya lokal masyarakat Gayo dapat berlangsung melalui lembaga pendidikan formal (sekolah). Pengenalan kembali khazanah tradisi masyarakat Gayo ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan dan apresiasi peserta didik terhadap kearifan lokalnya (komunikasi personal dengan 2 orang guru Sekolah Dasar dan 3 orang guru Madrasah Ibtidaiyah di Takengon, Januari 2011). Untuk merealisasikan tujuan tersebut, pemerintah daerah mengeluarkan himbauan agar sekolah menempatkan bahasa dan budaya Gayo sebagai materi muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dalam pelaksanaannya, materi muatan lokal yang diterapkan di sekolah terdiri atas: bahasa dan budaya Gayo; kesenian Gayo, cerita rakyat atau legenda (folklor) masyarakat Gayo, dan lain-lain (meskipun ada pula beberapa sekolah yang menempatkan bahasa Inggris sebagai muatan lokal).

Pelaksanaan kurikulum muatan lokal di dataran tinggi Gayo dihadapkan pada sejumlah tantangan, terutama berkaitan dengan rendahnya kemampuan guru mentransmisikan kearifan lokal. Pengembangan isi dan metode pembelajaran kearifan lokal lebih berorientasi pada pengalaman personal guru yang mengasuh muatan lokal (komunikasi personal dengan dua orang Kepala Madrasah Ibtidaiyah dan dua orang Kepala Sekolah Dasar di Takengon, Januari 2011). Kondisi tersebut tidak terlepas dari belum adanya pembekalan atau pelatihan guru muatan


(18)

lokal secara sistematis dan berkelanjutan. Pendampingan dan peningkatan profesionalisme guru muatan lokal tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan (komunikasi personal dengan dua orang guru Madrasah Ibtidaiyah di Takengon, Januari 2011).

Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon yang merupakan lembaga pendidikan guru yang pertama didirikan di dataran tinggi Gayo telah melakukan inisiatif terkait pelestarian dan pengembangan budaya lokal. Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon merupakan transformasi dari Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Gajah Putih Takengon yang didirikan pada tahun 1986. Dalam upaya melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal masyarakat Gayo, lembaga pendidikan guru ini telah melakukan sebuah langkah penting dengan memberlakukan kurikulum budaya dan literatur Gayo sejak tahun akademik 2000/2001. Menurut pimpinan perguruan tinggi ini, perkuliahan Budaya dan Literatur Gayo berorientasi pada pengembangan sikap dan kemampuan mahasiswa mentransmisikan dan menginternalisasikan kearifan lokal. Pengenalan terhadap budaya lokal diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran mahasiswa calon guru bahwa nilai-nilai kearifan lokal masih perlu dilestarikan dan dikembangkan. Selain itu, perkuliahan budaya dan literatur Gayo diharapkan dapat menggugah minat mahasiswa untuk mempelajari kearifan lokal dan mampu membiasakan tindakan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur tersebut (komunikasi personal dengan Ketua Sekolah Tinggi, Januari 2011).

Kebijakan lembaga pendidikan guru ini menjadi kasus yang unik di tengah minimnya perhatian lembaga pendidikan guru di tanah air terhadap kearifan lokal (Tilaar, 2007: 296; Alwasilah, Suryadi dan Karyono, 2009: 24). Terobosan sivitas akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon ini menarik untuk dikaji lebih lanjut untuk menghasilkan potret yang lebih komprehensif mengenai dinamika dan kompleksitas revitalisasi kearifan lokal melalui kurikulum pendidikan guru. Pengungkapan dan deskripsi yang sistematis terhadap proses identifikasi, seleksi, transmisi dan transformasi kearifan lokal masyarakat Gayo yang dilakukan di lembaga pendidikan guru ini diharapkan dapat memberi


(19)

informasi ilmiah mengenai isu revitalisasi kearifan lokal yang telah menjadi wacana akademis dalam beberapa waktu terakhir.

B.Identifikasi dan Rumusan Masalah Penelitian

Pendidikan guru masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan, baik terkait input, proses dan outputnya. Ditinjau dari input atau mahasiswa calon guru, lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) belum menjadi pilihan utama lulusan pendidikan menengah yang mempunyai prestasi akademik yang tinggi. Hal tersebut berimplikasi pada kompleksnya upaya untuk mempersiapkan guru yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi profesional, akademis, pedagogis dan sosial, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Problem yang juga menjadi perbincangan para ahli terkait dengan berjaraknya praksis kurikulum pendidikan guru dari realitas sosial budayanya. Upaya mewujudkan pendidikan guru yang memiliki kurikulum yang berpijak pada kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia masih kurang mendapat perhatian. Padahal, keberadaan kurikulum kearifan lokal di lembaga pendidikan guru merupakan hal yang menentukan dalam pengembangan kompetensi budaya calon guru sehingga mereka mempunyai pengetahuan mengenai realitas kearifan lokal dan mampu mengartikulasikannya ketika menjalankan profesinya.

Pengembangan kurikulum mencakup aktivitas merencanakan, meng-implementasikan, dan mengevaluasi pengalaman belajar. Pengembangan kurikulum yang demikian kompleks tidak mungkin diteliti secara menyeluruh. Diperlukan pembatasan atau penetapan fokus penelitian sehingga hasilnya memberi kontribusi pada pengembangan praksis kurikulum pendidikan guru. Sejalan dengan hal tersebut, perhatian penelitian ini diarahkan untuk mengungkap persepsi dan aktivitas dosen budaya dan literatur Gayo ketika mengorganisasikan komponen-komponen kurikulum (desain) dan mengaktualisasikan (implementasi) kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon.


(20)

Berdasarkan paparan tersebut, masalah utama penelitian ini adalah bagaimana model pengembangan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah di Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon? Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana desain kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon?

2. Bagaimana implementasi kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon? 3. Tantangan dan peluang apa saja yang dihadapi dosen dalam pengembangan

kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan model pengembangan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Secara khusus, tujuan penelitian adalah:

1. Mendeskripsikan dan merumuskan model desain kurikulum kearifan lokal pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon; 2. Mendeskripsikan model implementasi kurikulum kearifan lokal pada

Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon; 3. Mengidentifikasi perspektif partisipan terkait tantangan dan peluang

pengembangan kurikulum kearifan pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon.

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara umum hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah teori pendidikan berbasis kearifan lokal. Secara lebih spesifik, penelitian ini dapat memberi kontribusi pada pengembangan teori kurikulum kearifan lokal dalam


(21)

pendidikan guru yang keberadaannya masih belum mendapat perhatian memadai dalam diskursus pendidikan di tanah air.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini menjadi informasi ilmiah yang disampaikan kepada pimpinan dan dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Penelitian ini juga bermanfaat bagi praktisi pendidikan mengenai signifikansi kearifan lokal dalam pengembangan kompetensi budaya guru yang diperlukan untuk menjalankan pembelajaran yang kontekstual dan bermakna. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memantik dilakukannya penelitian lebih lanjut terkait dengan keragaman kearifan lokal yang terdapat pada berbagai etnis di tanah air untuk kemudian diupayakan pengintegrasisannya melalui pendidikan pada berbagai jenis dan jenjangnya.

E.Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini terdiri dari lima Bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang dilakukannya penelitian ini, identifikasi dan perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta struktur organisasi disertasi. Bab II berisi kajian pustaka mengenai kurikulum (mencakup pembahasan mengenai model kurikulum, desain kurikulum dan implementasi kurikulum), kearifan lokal, pendidikan guru, penelitian terdahulu yang relevan dan kerangka konseptual penelitian.

Bab III menyajikan metode penelitian. Pada bab ini dikemukakan justifikasi pemilihan pendekatan, desain, seting dan partisipan penelitian, teknik pengumpulan dan analisa data, serta teknik penjaminan keabsahan penelitian.

Pada Bab IV menampilkan hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab ini dikemukakan hasil penelitian dan pembahasan terkait desain, implementasi, tantangan dan peluang pengembangan kurikulum kearifan lokal pada Jurusan


(22)

Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Bagian akhir bab ini menyajikan keterbatasan penelitian.


(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis model kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Dalam hal ini fokus perhatian diarahkan untuk mengungkap pandangan partisipan mengenai desain, implementasi, tantangan dan peluang pengembangan kurikulum kearifan lokal. Berikut dikemukakan justifikasi pendekatan, metode, tahap penelitian, setting dan partisipan penelitian, teknik pengumpulan data, analisa data, dan teknik penjaminan keabsahan penelitian.

A.Pendekatan Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk mendeskripsikan dan merumuskan model kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan pendekatan kualitatif. Hal ini sejalan dengan pandangan sejumlah pakar (Stake, 2010: 8; Yin, 2011: 7; Creswell, 2007: 38) yang menyatakan bahwa desain dan analisis data penelitian kualitatif yang fleksibel memungkinkan peneliti mengumpulkan data untuk memperoleh pemahaman mendalam mengenai dinamika fenomena sosial. Karakteristik pendekatan kualitatif yang mengutamakan proses, berfokus pada situasi alami, analisis data yang bersipat induktif, desain penelitian yang fleksibel (emergen), serta memposisikan peneliti sebagai instrumen kunci (Cresswell, 2007: 38; Stake, 2010: 14) menguatkan keyakinan peneliti untuk memilih pendekatan kualitatif dalam melaksanakan penelitian ini.


(24)

Secara lebih spesifik, berikut dikemukakan rasionalitas pendekatan kualitatif dalam penelitian ini. Pertama, pengembangan kurikulum, pendidikan guru dan kearifan lokal merupakan fenomena sosial budaya yang multi-dimensional. Ruang tafsir yang beragam dalam memaknai kurikulum dan kearifan lokal menuntut pendekatan penelitian yang fleksibel dan toleran terhadap keragaman perspektif. Penelitian kualitatif dipandang relevan digunakan untuk memenuhi harapan-harapan tersebut. Endrsawara (2006: 14) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti memahami dan menganalisis peristiwa, program atau pengalaman partisipan dengan menggunakan sudut pandang yang fleksibel dan multi-dimensional. Kedua, pengembangan kurikulum kearifan lokal merupakan fenomena yang tidak terbatas pada pertimbangan yang objektif. Keyakinan dan kecenderungan Partisipan mengenai kearifan lokal tidak seluruhnya merupakan hasil pilihan rasional (obyektif) yang dapat diungkap melalui pendekatan positivistik. Dimensi rasional dan emosional (subyektif) partisipan ketika merumuskan tujuan, memilih dan menentukan (konseptualisasi) materi, serta menerapkan pembelajaran memerlukan instrumen penelitian yang adaptif. Terkait hal tersebut, pendekatan kualitatif yang menempatkan peneliti sebagai instumen utama penelitian dipandang tepat digunakan untuk „menangkap‟ dan menyikapi kontroversi dan ambiguitas pandangan partisipan selama berlangsungnya penelitian (Yin, 2011: 14; Stake, 2010: 2). Keberadaan peneliti sebagai instrumen utama penelitian diyakini dapat mengemban tugas tersebut, hal ini sejalan dengan pandangan Nasution (2003: 9) yang menyatakan,

“hanya manusia sebagai instrumen yang dapat memahami makna interaksi antar-manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung

dalam ucapan dan perbuatan responden.” Keterlibatan dan hubungan akrab (rapport) yang dijalin antara partisipan dan peneliti diharapkan mampu mengungkap dimensi etik dan emik fenomena sosial secara lebih komprehensif (Endraswara, 2006: 34; Yin, 2011: 11).


(25)

B.Metode Penelitian

Pengungkap kompleksitas dan dinamika pengembangan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah menghantarkan peneliti untuk memilih menggunakan studi kasus. Melalui studi kasus, peneliti mempunyai keyakinan bahwa fenomena pengembangan kurikulum kearifan lokal pada institusi pendidikan guru ini dapat diungkap keunikannya. Keyakinan tersebut sejalan dengan pendapat sejumlah pakar (Yin, 2003: 10; Bassey, 1999: 26; Mills, Eurepos dan Wiebe, Ed., 2010: 102; Endraswara, 2007: 77) yang menyatakan bahwa studi kasus sangat relavan diterapkan untuk mengungkap program, fenomena atau suatu peristiwa dalam konteksnya yang spesifik. Melalui studi kasus, peneliti berupaya mendeskripsikan dan melakukan analisis secara mendalam terhadap fenomena pengembangan kurikulum kearifan lokal sehingga dapat ditampilkan dalam format yang menarik dan memberi kontribusi dalam merumuskan kebijakan di masa-masa yang akan datang. Senada dengan hal tersebut, Bassey (1999: 57) mengungkapkan bahwa studi kasus berkontribusi penting sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan dan meningkatkan kualitas praktik pendidikan.

Pada sisi lain, studi kasus menarik digunakan dalam penelitian kebudayaan. Melalui studi kasus permasalahan budaya atau kearifan lokal yang sebelumnya kurang mendapat perhatian akan terangkat ke permukaan sehingga diketahui oleh khalayak (publik) yang lebih luas. Pendapat senada dikemukakan Endraswara (2006: 77) yang menyatakan bahwa aspek yang menarik dari studi kasus terletak pada celah-celah budaya yang menjadi fokus kajiannya seringkali kurang disadari keberadaannya. Dengan menggunakan metode penelitian studi kasus, keunikan fenomena pengembangan kurikulum kearifan lokal dalam pendidikan guru yang sebelumnya hanya menjadi konsumsi para pemangku budaya Gayo dan sivitas akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon diharpkan dapat


(26)

diungkap lebih mendalam dan memberikan wawasan baru kepada para pembaca hasil penelitian.

C.Tahap-Tahap Penelitian

Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini menyebabkan tahapan penelitian bersipat ancangan yang fleksibel. Bassey (1999: 65) menyatakan bahwa tahap dalam penelitian studi kasus menuntut penyesuaian berkesinambungan dan bersipat adaptif terhadap realitas. Selama berlangsungnya penelitiai berupaya menyesuaikan tahapan penelitian sesuai dengan konteks yang melingkupinya. Meskipun demikian, secara garis besar penelitian ini berlangsung dalam tiga tahap: orientasi, eksplorasi dan member-check (Nasution, 2003: 33). Berikut dikemukakan operasionalisasi masing-masing tahapan penelitian tersebut:

1. Orientasi

Pada tahap pendahuluan atau orientasi, peneliti melakukan penelusuran literatur terkait konsep kurikulum, kearifan lokal dan pendidikan guru. Penelusuran literatur bertujuan membantu memperluas wawasan peneliti dalam menentukan fokus studi, memilih dan menentukan kasus yang akan diteliti (Stake, 2010: 104). Hasil penelusuran literatur ditindaklanjuti dengan pemilihan kasus yang unik, misalnya program inovatif atau tidak biasa (Endraswara, 2007: 78). Dalam konteks penelitian ini, kasus yang dipandang unik dan inovatif adalah kurikulum budaya dan literatur Gayo yang diberlakukan di Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon.

Secara operasional, pada tahap orientasi peneliti melakukan komunikasi dengan pimpinan Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon untuk bersilaturrahmi dan mendiskusikan hal-hal yang terkait pelaksanaan penelitian. Berikutnya peneliti melakukan komunikas dengan partisipan sehingga dapat terbangun sikap saling memahami dan terwujudnya perasaan yang akrab. Hal ini dimaksudkan untuk


(27)

memperoleh data dan makna yang bersumber dari pemahaman intersubjektif yang melibatkan partisipan dan peneliti dalam suasana kesetaraan.

2. Eksplorasi

Tahap kedua berlangsung ketika peneliti berada di lapangan untuk mengumpulkan data. Setelah diperoleh fokus penelitian terkait kurikulum kearifan lokal (desain, implementasi dan tantangan serta peluangnya), peneliti memulai aktivitas pengumpulan data untuk mengungkap keunikan kasus dengan melakukan wawancara mendalam (depth interview) dengan partisipan. Keberadaan peneliti di lapangan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang (selama dua semester). Rentang waktu yang panjang tersebut diharapkan memberi kesempatan yang cukup kepada peneliti untuk mengumpulan data yang komprehensif terkait persepsi dan aspirasi partisipan mengenai kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo yang diterapkan pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Pada tahap eksplorasi, peneliti melakukan penelusuran dokumen dan observasi iklim akademis institusi pendidikan dan ketika partisipan mengimplementasikan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo melalui aktivitas pembelajaran. Data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara ditranskripsikan untuk memudahkan proses analisa dan pengujian keabsahan hasil penelitian.

3. Member-check

Hasil penelusuran dokuman, transkrip wawancara dan catatan lapangan (field note) diperbanyak dan diserahkan kepada partisipan untuk dibaca dan dimintai komentar. Apabila terdapat data yang belum menggambarkan informasi yang disampaikan partisipan dilakukan sinkronisasi dan perbaikan sebelum dituangkan dalam laporan penelitian (Nasution, 2003: 34). Draft laporan penelitian dikomunikasikan dengan partisipan, hal ini ditempuh sebagai bagian dari


(28)

pertanggungjawaban peneliti kepada partisipan dan memastikan bahwa penyajian data dilakukan dengan benar dan tidak merugikan partisipan. Selain itu, peneliti mengupayakan diskusi mengenai temuan penelitian dan format akhir laporan dengan kolega atau teman sejawat yang mempunyai perhatian terhadap penelitian ini.

D.Setting dan Partisipan Penelitian 1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon pada tahun akademik 2011/2012. Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon pada mulanya bernama Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Gajah Putih yang berdiri sejak tahun 1986. Pendiriannya ditandai dengan pembukaan program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Bahasa Arab (PBA). Pada tahun 2002, Yayasan Gajah Putih mengajukan proposal perubahaan status Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI). Diterbitkannya izin operasional Jurusan Syari‟ah dan Dakwah pada tahun 2004 menandai perubahan nomenklatur lembaga pendidikan tinggi di dataran tinggi Gayo ini menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Pada tahun 2003 Departemen Agama Republik Indonesia telah menerbitkan izin program studi Tadris Bahasa Inggris (TEN); pembukaan program studi Pendidikan Matematika (PMA) pada tahun 2007; dan program studi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA) pada tahun 2008.

Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon telah berkontribusi penting mempersiapkan dan menghasilkan guru dalam jumlah yang besar di dataran tinggi Gayo. Alumni jurusan Tarbiyah sampai tahun akademik 2010/2011 berjumlah 1.965 orang: 712 di antaranya memiliki kaulifikasi diploma (D-2) dan sisanya berjumlah 1.253 dengan kualifikasi akademik sarjana (S-1). Selain itu, penelusuran awal menunjukkan bahwa Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon adalah satu-satunya lembaga pendidikan tinggi di Aceh


(29)

yang menempatkan kearifan lokal dalam mengembangkan kompetensi mahasiswa calon guru. Adapun program studi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon adalah:

Tabel 3.1

Jurusan dan Program Studi pada STAI Gajah Putih Takengon

Jurusan Program Studi Keterangan

Tarbiyah Pendidikan Agama Islam (PAI) Terakreditasi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Terakreditasi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Terakreditasi Pendidikan Guru Matematika (PMA) Terakreditasi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA) Terakreditasi

Syari‟ah Syari‟ah Muamalah wa al-Iqtishad (SMI) Terakreditasi Dakwah Komunikasi dan Penyiaran Islam (DKPI) Terakreditasi

2. Partisipan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah kurikulum budaya dan literatur Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Dengan kata lain, kasus yang menjadi unit analisis adalah kurikulum, baik dalam konsepsi idealnya (desain) dan realitasnya ketika dilaksanakan (implementasi). Sumber data untuk mengungkap desain dan implementasi kurikulum adalah lima orang Partisipan yang berperan sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum budaya dan literatur Gayo.

Peneliti menggunakan kriteria penentuan sampel berdasarkan pertimbangan sejauhmana sampel mampu memberi informasi yang diperlukan untuk menjawab


(30)

masalah penelitian. Penentuan sampel yang demikian sering disebut dengan istilah sampel purposif (Cresswell, 2007: 125). Sampel purposif berpijak pada asumsi bahwa kepentingan untuk menemukan, memahami dan memperoleh wawasan mendalam mempersyaratkan adanya sumber data yang mempunyai kualifikasi mengenai data yang diperlukan. Sampel purposif dalam penelitian ini terdiri atas lima dosen pengasuh Budaya dan Literatur Gayo. Berikut profil singkat Partisipan:

2.1 Bapak M (Usia 82 tahun)

Partisipan ini merupakan salah seorang pendiri Yayasan Gajah Putih yang menaungi Perguruan Tinggi Gajah Putih dengan tiga Sekolah Tinggi (Ilmu Tarbiyah, Ilmu Pertanian dan Ilmu Ekonomi). Karir Partisipan sebagai birokrat berawal di kantor Gubernur Aceh (pernah menduduki jabatan kepala bidang hukum) dan pada pertengahan tahun 70-an kembali ke Takengon untuk menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Aceh Tengah. Sejak menjalani pensiun tahun 1986, beliau berkecimpung sebagai dosen dan mengelola sejumlah yayasan yang berkonsentrasi dalam aktivitas pendidikan dan keagamaan. Keterlibatannya mengasuh mata kuliah budaya dan literatur Gayo dimulai sejak tahun akademik 2000/2001. Dalam usia 81 tahun, beliau mendaftar sebagai salah seorang peserta Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry konsentrasi Pendidikan Islam di Banda Aceh dan sedang menyelesaikan penelitian akhir mengenai nilai-nilai pendidikan dalam Utang Opat.

2.2.Bapak Y (usia 60 tahun)

Partisipan ini dikenal sebagai tokoh budaya Gayo dan pada saat penelitian dilakukan menjabat sebagai ketua lembaga kebudayaan Gayo Kabupaten Aceh Tengah. Ketertarikannya dalam mendalami budaya Gayo telah dimulai sejak tahun 1976 ketika beliau menyelesaikan pendidikan menengah dan aktif dalam pertunjukan kesenian tradisional Gayo, Didong. Minatnya terhadap budaya Gayo semakin mantap


(31)

ketika beliau menjadi mahasiswa di sebuah universitas di Banda Aceh pada penghujung tahun 70-an. Ketertarikannya untuk mendalami kebudayaan masyarakat Gayo diwujudkannya melalui keterlibatan aktif sebagai pegiat budaya. Dalam 10 tahun terakhir, Bapak Y berulangkali diundang menyampaikan makalah dan menjadi narasumber seminar mengenai kebudayaan Gayo tingkat kabupaten dan provinsi.

2.3.Bapak H (usia 50 tahun)

Partisipan ketiga adalah dosen dan menjabat sebagai Ketua program studi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Selain tugas pokoknya sebagai penyuluh agama Islam, beliau dikenal sebagai pembicara dalam berbagai kegiatan keagamaan di Aceh Tengah. Keterlibatannya sebagai dosen dimulai pada tahun 2006 ketika beliau diberi amanah untuk mengampu mata kuliah budaya dan literatur Gayo. Perhatiannya terhadap budaya Gayo telah dimulai sejak tahun 1987 ketika menyelesaikan pendidikan sarjana (ketika penelitian berlangsung, beliau sedang dalam proses penyelesaian akhir penelitian program pascasarjana di IAIN Sumatera Utara).

2.4.Bapak J (43 tahun)

Partisipan ini menyelesaikan pendidikan sarjana bahasa Inggris dari perguruan tinggi di Sumatera Utara dan mulai mengasuh mata kuliah budaya dan literatur Gayo di program studi bahas Inggris. Ketertarikannya mengkaji budaya Gayo sudah dimulai sejak menyelesaikan studi sarjana pada tahun 1998, hal ini dibuktikan dengan publikasi sejumlah buku dan tulisan lepas di media online. Tahun 2007 beliau melanjutkan pendidikan magister di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Tesisnya yang dibimbing Prof. Dr. Noeng Muhadjir berkaitan dengan pengembangan model pembelajaran bahasa Inggris yang diperkaya dengan materi budaya Gayo


(32)

untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (TEN) di Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Saat penelitian berlangsung, selain menjalankan tugasnya sebagai pengasuh mata kuliah budaya dan literatur Gayo, beliau alam penjajakan penelitian untuk penulisan disertasi di Universitas Negeri Surakarta (UNS). Fokus penelitiannya tentang Perimustike Gayo (ungkapan-ungkapan adat dalam pepatah, peribahasa, dan pidato adat) ditinjau menurut ilmu pragmatik.

2.5.Bapak K (usia 38 tahun)

Partisipan ini mengasuh mata kuliah budaya dan literatur Gayo sejak tahun 2006. Keterlibatannya dalam memahami budaya Gayo dimulai ketika yang bersangkutan mengikuti pendidikan sarjana di fakultas Dakwah di Banda Aceh. Dalam kesempatan tersebut, beliau melakukan penelitian untuk penulisan skripsi mengenai pidato adat pernikahan masyarakat Gayo (melengkan). Pada saat penelitian ini berlangsung, beliau bertugas pula sebagai salah seorang pengawas pelaksanaan syari‟at Islam di Aceh Tengah yang dalam implementasinya mempunyai kaitan dengan revitalisasi adat Gayo. Salah satu program utama lembaga tersebut adalah melakukan sosialisasi

mengenai keterpaduan syari‟at dan adat-istiadat masyarakat Gayo (khususnya dalam pemberantasan sumang opat).

E.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Ketiga teknik tersebut digunakan secara berkesinambungan untuk memperoleh data yang terpercaya. Melalui ketiga teknik tersebut diharapkan dapat terungkap situasi, interaksi yang terjadi, pengalaman partisipan, dan dokumen atau rekaman yang terkait (Yin, 2003: 85). Berikut dikemukakan operasionalisasi teknik pengumpulan data penelitian ini:


(33)

1. Studi dokumen

Dokumen merupakan hal yang sangat penting dalam mengungkap sebuah kasus. Keberadaan dokumen tidak dapat dikesampingkan dalam penelitian kualitatif, meskipun dalam aplikasinya perlu dilengkapi dengan teknik pengumpulan data lain, (Yin, 2003: 85). Dalam penelitian ini dokumen yang menjadi perhatian peneliti terdiri atas: (1) transkrip wawancara; (2) catatan lapangan (field-notes); (3) catatan reflektif peneliti. Selama penelitian, peneliti menyediakan dua buah buku tulis (satu buah berukuran saku yang praktis dan satu buku lain yang berukuran besar) yang memuat catatan reflektif dan situasi kebatinan peneliti selama penelitian; (4) jurnal reflektif partisipan. Peneliti menyediakan lembaran reflektif yang diserahkan kepada partisipan untuk menulis refleksinya; (5) silabus atau Satuan Acara Perkuliahn (SAP); dan (6) bahan ajar budaya dan literatur Gayo dan referensi lain yang memiliki relevansi dengan penelitian fokus penelitian. Dengan keragaman dokumen yang ada, peneliti mengklasifikasikan dokumen tersebut dalam wadah yang berbeda sehingga memudahkan pencarian pada saat dilakukan analisis data.

2. Wawancara

Wawancara dipilih sebagai teknik pengumpulan data karena peneliti dapat melakukan uji silang (cross-check) data sehingga kesimpang-siuran pertanyaan atau jawaban dapat dikonfirmasi secara langsung. Pemilihan wawancara juga didasarkan pada kebiasaan masyarakat Gayo yang lebih suka mengemukakan pandangan secara lisan dibanding melalui tulisan. Pelaksanaan wawancara dilakukan berdasarkan kesepakatan antara partisipan dan peneliti. Secara umum, waktu pelaksanaan wawancara berlangsung antara 45-60 menit, bertempat di kampus atau di kediaman partisipan (sesuai perjanjian dengan partisipan). Untuk menjaga fokus wawancara, sebelum wawancara peneliti menyusun protokol wawancara. Protokol wawancara,


(34)

sebagaimana dikemukakan Yin (2012: 139), berisi kerangka umum dalam benak (mental framework) mengenai hal-hal yang menjadi fokus wawancara. Untuk memudahkan transkripsi wawancara, peneliti menggunakan alat perekam. Pemakaian alat perekam dilakukan setelah memperoleh izin dari partisipan sehingga tidak menimbulkan dampak yang tidak diharapkan. Hasil rekaman ditranskripsi setelah wawancara, dicetak dan disampaikan kembali kepada partisipan untuk mendapat masukan, tambahan atau perbaikan sekiranya terdapat hal-hal yang menurut partisipan tidak perlu dimasukkan dalam laporan penelitian.

3. Observasi

Pengumpulan data melalui observasi bertujuan memperoleh data yang berkaitan dengan proses implementasi kurikulum dan untuk mengungkap situasi aktual kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Dalam observasi, perhatian peneliti ditujukan untuk melihat dan merasakan iklim akademis, khususnya ketika dosen menyampaikan materi, interaksi antara dosen dan mahasiswa, dan respon mahasiswa (ekspresi verbal maupun non-verbal) selama pembelajaran. Ketika melakukan observasi di kelas, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada partisipan sehingga tidak menimbulkan dampak yang tidak diharapkan selama berlangsunnya proses pembelajaran. Posisi peneliti selama berlangsungnya observasi bersipat tidak terlibat (non-participant observation).

F. Analisis Data Penelitian

Analisis data dalam penelitain kualitatif dan juga mendasari pelaksanaan penelitian ini tidak memiliki batasan yang tegas dengan tahap pengumpulan data. Peneliti sudah mulai menganalisis data sejak ketertarikan terhadap sesuatu dimulai, hal ini sejalan dengan pendapat Stake (2010: 137) yang menyatakan bahwa proses


(35)

analisis data dalam penelitian kualitatif berlangsung secara berkesinambungan dan telah dimulai sejak seorang peneliti tertarik untuk meneliti dan baru berhenti ketika laporan akhir penelitian tuntas dikerjakan.

Strategi analisis data dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (2009: 16) yang mengklasifikasikan tiga rangkaian proses analisis: reduksi data (reduction); penyajian data (display); dan verifikasi data. Secara singkat, berikut dikemukakan operasionalisasi analisis data yang berlangsung dalam penelitian ini:

1. Reduksi Data

Data yang telah diperoleh dalam observasi, wawancara dan penelusuran dokumen yang jumlahnya sangat banyak perlu diorganisir secara seksama. Reduksi data merupakan bagian dari pilihan-pilihan yang diambil peneliti sejak awal. Peneliti melakukan seleksi, penetapan fokus, dan penyederhanaan terhadap transkrip wawancara, pengamatan lapangan dan dokumentasi. Reduksi data dilakukan dengan meringkas catatan lapangan, transkrip wawancara, hasil penelusuran dokumen yang terkait dengan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Pada tahap ini, peneliti melakukan pengklasifikasian terhadap data yang akan dan telah terkumpul. Dengan kata lain, peneliti berupaya menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data.

2. Penyajian Data

Data yang telah direduksi menyisakan data yang relevan dengan pengungkapan dan pemahaman terhadap kasus yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti melakukan sistematisasi data dalam bentuk narasi, tabel, dan gambar. Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan menampilkan kutipan-kutipan pernyataan


(36)

partisipan, mengelompokkan hasil temuan (baik yang diperoleh melalui wawancara, penelusuran dokumen, maupun hasil pengamatan) ke dalam bentuk gambar, tabel, skema dan lain-lain. Dengan kata lain, hasil reduksi data ditransformasikan ke dalam tabel atau diagram, serta narasi sehingga mudah dipahami dan membantu dalam menghasilkan kesimpulan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks naratif. Penyajian katagori data disusun dan dideskripsikan secara berurutan sehingga strukturnya dapat dipahami.

3. Verifikasi dan penyimpulan

Pada tahap verifikasi, awalnya peneliti mengajukan kesimpulan tentatif terkait model kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Kesimpulan tersebut diverifikasi selama penelitian berlangsung sehingga nantinya dapat dirumuskan kesimpulan akhir (Miles dan Huberman, 2009: 18). Verifikasi data merupakan bagian tidak terpisahkan dari analisis data. Verifikasi dilakukan melalui pengujian pemahaman dan makna-makna yang muncul terkait desain kurikulum, implementasi kurikulum, serta tantangan dan peluang pengembangan kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo dengan membandingkannya dengan catatan lapangan, tukar pikiran dengan teman sejawat dan sekaligus memperkayanya dengan kajian literatur. Melalui tahapan-tahapan tersebut, simpulan akhir yang dikemukakan pada bagian akhir penelitian diharapkan dapat dipertanggungjawabkan.

G. Teknik Penjaminan Keabsahan Penelitian

Persoalan yang sering menjadi perdebatan dalam penelitian kualitatif berkenaan dengan keabsahan penelitian atau dalam tradisi penelitian kuantitatif disebut validitas


(37)

dan reabilitas. Untuk menjamin keabsahan penelitian, peneliti mengikuti saran sejumlah pakar penelitian kualitatif untuk menerapkan beberapa strategi dalam menjamin keabsahan penelitian. Adapun langkah-langkah yang peneliti lakukan adalah dengan menerapkan trianggulasi, pelibatan partisipan dalam pemeriksaan laporan, penggunaan teori untuk penelitian studi kasus tunggal, dan perumusan atau penyusunan protokol penelitian (Yin, 2003: 34). Berikut dikemukakan operasionalisasi teknik-teknik penjaminan keabsahan penelitian dalam penelitian ini.

1. Trianggulasi

Untuk meningkatkan keabsahan data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan trianggulasi atau menggunakan berbagai sumber untuk memperoleh data yang meyakinkan. Nasution (2002: 15) mengungkapkan bahwa pada mulanya istilah trianggulasi dikembangkan dalam praktik navigasi dan survey tanah ketika membuat peta. Trianggulasi dilakukan untuk memastikan lokasi suatu titik dengan menyepadankannya posisinya terhadap dua titik lain. Senada dengan hal tersebut, Stake (2010: 113) mengungkapkan bahwa aktivitas trianggulasi mencakup kegiatan, “look again and again, several times” dan “Stop!, Look!, and Listen!.”

Operasionalisasi trianggulasi dalam penelitian ini dilakukan melalui penerapan strategi trianggulasi sumber dan metode (Yin, 2011: 81; Mills, Eurepos dan Wiebe, [Ed.], 2010: 945-7). Dalam penelitian ini, trianggulasi dilakukan untuk menemukan makna kearifan lokal masyarakat Gayo berdasarkan penjelasan partisipan, membandingkan penjelasan tersebut dengan penjelasan partisipan lainnya, membandingkan penjelasan partisipan dengan dokumen yang terkait, serta


(38)

menerapkan ketekunan observasi dan memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam mengumpulkan data.

2. Pelibatan Partisipan

Untuk meningkatkan keabsahan penelitian, peneliti melibatkan partisipan dalam pemeriksaan data penelitian. Kegiatan ini dilakukan agar data dan hasil penelitian tidak menimbulkan dampak yang tidak diharapkan terhadap partisipan. Prosesnya dilakukan dengan melakukan transkripsi hasil wawancara dan catatan observasi untuk kemudian dikonfirmasikan kepada partisipan. Peneliti menunjukkan data yang telah dikumpulkan sehingga partisipan dapat menyampaikan masukan, koreksi dan tambahan data yang dipandangnya masih kurang merepresentasikan hal-hal yang dipandangnya penting.

3. Penyusunan protokol penelitian

Protokol penelitian berfungsi sebagai ancang-ancang mental agar peneliti terfokus. Penyusunan protokol penelitian yang berisi kisi-kisi wawancara yang digunakan peneliti sejalan dengan anjuran Yin (dalam Mills, Eurepos dan Wiebe, Ed., 2010: 84-6) yang mengungkapkan bahwa protokol penelitian studi kasus berisi agenda mental (mental agenda) yang berisi teknik pengumpulan data, rencana interaksi dengan partisipan, langkah-langkah untuk menjaga agar etika penelitian dapat diterapkan dengan baik. Protokol penelitian berisi kisi-kisi wawancara sehingga peneliti tidak keluar dari topik pembahasan (Terlampir). Dalam hal ini, Peneliti mempersiapkan langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan penelitian sehingga aktivitas penelitian tidak kehilangan fokus.

4. Diskusi sejawat (peer-briefing)

Peneliti melakukan diskusi dan pembahasan data dengan kolega (dalam hal ini rekan peneliti di program studi Pengembangan Kurikulum SPs Universitas


(39)

pendidikan Indonesia; dan dua orang dosen yang tidak mengampu perkuliahan Budaya dan Literatur Gayo di Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon) yang mempunyai minat terhadap kurikulum dan kearifan lokal. Melalui upaya ini, Peneliti memperoleh perspektif pembanding terhadap data yang dikumpulkan, analisis dan simpulan-simpulan tentatif yang diajukan. Perspektif alternatif tersebut berguna untuk memperkaya pemahaman peneliti terhadap hasil dan pembahasan penelitian.


(40)

BAB V

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pada bab sebelumnya telah dikemukakan hasil penelitian dan pembahasan desain, implementasi, tantangan dan peluang pengembangan kurikulum kearifan lokal pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon. Berikut disampaikan simpulan dan rekomendasi penelitian.

A.Simpulan

1. Desain kurikulum kearifan lokal pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon menunjukkan pola yang dinamis. Pengembang kurikulum kearifan lokal melakukan upaya yang berkelanjutan dalam menyusun dan mengadaptasi berbagai komponen kurikulum (analisis kebutuhan, formulasi tujuan, pengembangan bahan ajar, konseptualisasi materi, pengorganisasian pembelajaran dan penyusunan rencana penilaian). Keberadaan kurikulum kearifan lokal pada lembaga pendidikan guru ini bertitik tolak dari keyakinan pimpinan dan pengembang kurikulum bahwa kearifan lokal diperlukan untuk mengembangkan kompetensi budaya mahasiswa calon guru sehingga mempunyai pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk mengartikulasikan kearifan lokal masyarakat Gayo, baik pada saat studi maupun ketika mereka menjalankan perannya sebagai anggota masyarakat dan pendidik di sekolah. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengembang kurikulum melakukan konseptualisasi materi yang mencakup empat hal pokok: sejarah lokal, agama (Islam) dan kearifan lokal; sistem nilai budaya Gayo, dan pranata sosial masyarakat Gayo. Pengembangan bahan ajar dilakukan melalui pengembangan buku daras, diktat, dan handout. Rencana penilaian disusun dengan memberi perhatian pada penilaian berbasis kinerja mahasiswa, baik melalui tes (midterm dan final) dan non-tes (pengamatan perkembangan sikap mahasiswa calon guru dalam mengartikulasikan kearifan lokalnya).


(41)

2. Implementasi kurikulum kearifan lokal pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon dilakukan melalui penerapan berbagai model pembelajaran. Fase awal perkuliahan dioptimalkan untuk mengembangkan minat mahasiswa calon guru untuk mengetahui dan menumbuhkan perasaan tanggung jawab melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal masyarakat Gayo. Untuk memperkuat minat tersebut dilakukan kontekstualisasi materi kearifan lokal. Implementasi kurikulum kearifan lokal juga dilakukan melalui penugasan kepada mahasiswa calon guru untuk berinteraksi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang dipandang kompeten menjelaskan kearifan lokal masyarakat Gayo. Melalui aktivitas tersebut mahasiwa calon guru terlibat dalam mengidentifikasi, mensosialisasikan dan menginternalisasikan kearifan lokal. Partisipan juga menerapkan pembelajaran reflektif yang bertujuan untuk melatih dan membiasakan mahasiswa calon guru untuk menilai dan memaknai kearifan lokal secara arif sehingga kecenderungan mengidealkan (romantisme), menempatkan kearifan lokal sebagai produk yang abadi (esensialisme), atau pandangan yang menafikan fungsi kearifan lokal (apatisme) dapat diminimalkan. Pengembangan iklim institusi yang mendukung internalisasi dan eksternalisasi kearifan lokal masyarakat Gayo juga menjadi perhatian pengembang kurikulum. Komitmen dan keteladanan pengembang kurikulum menjadi perekat berbagai model pembelajaran kearifan lokal sehingga meninggalkan kesan mendalam pada mahasiswa dalam proses menemukan ulang (reinventing), memahami kembali (reinterpretasi), memberdayakan (revitalisasi) dan membiasakan (habituasi) kearifan lokal.


(42)

3. Pengembangan kurikulum kearifan lokal dalam pendidikan guru pada Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon dihadapkan pada sejumlah tantangan: minimnya literatur kearifan lokal masyarakat Gayo; tersisihnya kearifan lokal karena konflik berkepanjangan di Aceh; kebijakan pendidikan pada masa lalu yang mengarah pada homogenisasi budaya; terjadinya kesenjangan antara nilai-nilai ideal kearifan lokal dan praktiknya dalam masyarakat; dampak modernisasi dan globalisasi yang menyebabkan munculnya pandangan yang tidak simpatik terhadap kearifan lokal; dan sukarnya menemukan model atau teladan (uluni tawar) yang mampu mengartikulasikan pengamalan kearifan lokal.

Meskipun demikian, perkembangan yang terjadi satu dekade terakhir dalam bidang pendidikan, politik, sosial-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuka peluang revitalisasi kearifan lokal secara umum dan pengembangan kurikulum kearifan lokal dalam pendidikan guru secara lebih spesifik. Kebijakan pendidikan yang lebih demokratis dan berorientasi pada pengembangan budaya dan karakter bangsa membuka kembali kesempatan pemangku kearifan lokal untuk mengidentifikasi dan mensosialisasikan warisan tradisinya. Terjadinya krisis identitas dan karakter telah mendorong berbagai pihak untuk kembali melihat kearifan lokal sebagai salah satu alternatif dalam membangun karakter luhur di tengah kompleksitas permasalahan kontemporer. Selain itu, mengemukanya kecenderungan global yang mengarah pada pemberdayaan kearifan lokal (ditandai gerakan glokalisasi dan pembangunan berkelanjutan) dan perkembangan teknologi informasi telah membuka peluang bagi pengembang kurikulum kearifan lokal untuk menjalin kerjasama berbagai lembaga yang peduli terhadap kearifan lokal. Komitmen dan tindakan nyata pimpinan perguruan tinggi dalam revitalisasi kearifan lokal masyarakat Gayo memberi peluang pengembangan kurikulum kearifan lokal di Jurusan Tarbiyah pada masa-masa mendatang.


(43)

B.Rekomendasi

Berikut disampaikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait yang dianggap berkepentingan dengan hasil penelitian ini. Rekomendasi ini ditujukan:

Pertama, kepada dosen. Terbatasnya bahan ajar dan literatur mengenai kearifan lokal masyarakat Gayo perlu disikapi dengan pengembangan kompetensi pengampu kurikulum untuk menuangkan gagasannya secara tertulis. Pada sisi lain, pengembangan kompetensi budaya mahasiswa calon guru di masa-masa mendatang dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang semakin lama bertambah kompleks sehingga membutuhkan adanya strategi pembelajaran yang mampu meningkatkan kebermaknaan kurikulum kearifan lokal. Untuk itu, direkomendasikan kepada pengembang kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo agar meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mentransmisikan dan mentransformasikan kearifan lokalnya sehingga hasilnya dapat lebih maksimal. Komitmen dan dedikasi dosen untuk menempatkan dirinya sebagai model atau teladan (uluni tawar) dalam mengartikulasikan kearifan lokal masyarakat Gayo perlu ditingkatkan sehingga internalisasi kearifan lokal dapat lebih optimal pada masa-masa mendatang.

Kedua, kepada pimpinan Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon agar melakukan peninjauan secara berkala terhadap kurikulum kearifan lokal pada Jurusan Tarbiyah sehingga efektivitas dan relevansi kurikulum ini dalam pembentukan kompetensi budaya mahasiswa calon guru dapat lebih bermakna. Pengembangan kompetensi dosen dalam mendesain, mengimplementasikan dan mengevaluasi kurikulum kearifan lokal masyarakat Gayo perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Pimpinan perguruan tinggi ini direkomendasikan untuk menggagas pembentukan pusat kajian kearifan lokal atau memberdayakan lembaga penelitian sehingga dapat mengkonsentrasikan perhatiannya pada inventarisasi, pelestarian,


(44)

pengembangan dan desiminasi kearifan lokal masyarakat Gayo melalui berbagai program penelitian.

Ketiga, kepada pemerintah daerah (provinsi, kota atau kabupaten). Kenyataan bahwa dokumentasi dan publikasi kearifan lokal masih sangat terbatas menuntut adanya langkah-langkah yang konkrit dari pengambil kebijakan. Pemerintah daerah direkomendasikan untuk melakukan langkah-langkah yang berkelanjutan untuk mengidentifikasi, mengklasifikasikan, dan mendukung revitalisasi kearifan lokal yang terdapat di Aceh. Pemerintah daerah perlu melakukan sinergi dengan Perguruan Tinggi, Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO), Lembaga Swadaya Masyarakat, dan komunitas pencinta/pelestari kebudayaan daerah dengan menyelenggarakan seminar, diskusi, sarasehan, lokakarya yang berkaitan dengan kondisi terkini kearifan lokal dan menyusun cetak biru (blue-print) pengembangan kearifan lokal. Pemerintah daerah direkomendasikan menindaklanjuti berbagai regulasi yang telah dihasilkannya terkait pelestarian dan pengembangan kearifan lokal sehingga dapat mengurangi apatisme masyarakat yang telah terlanjur berharap terlalu banyak.

Keempat, kepada para pengambil kebijakan pendidikan pada tingkat nasional. Kebhinekaan masyarakat Indonesia dengan kearifan lokal yang menyertainya memerlukan pendidikan guru yang tanggap terhadap kenyataan tersebut. Oleh karena itu, penyusunan panduan dan penyelenggaraan pelatihan guru untuk mengembangkan kompetensi budaya guru sangat diperlukan. Regulasi mengenai empat kompetensi guru (pedagogi, profesional, sosial dan personal) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru perlu dikembangkan indikator-indikator yang lebih akomodatif dan mengapresiasi keragaman kearifan lokal yang tersebar di berbagai daerah. Melalui langkah-langkah tersebut, prioritas pendidikan nasional untuk


(45)

mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang telah dicanangkan sejak tahun 2010 diharapkan dapat dimaksimalkan pencapaiannya.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Abduhzein, M. 2013. Substansi Pendidikan, dalam Indratno, A.F.T. (Ed.). Menyambut Kurikulum 2013. Jakarta: Penerbit Kompas.

Adimihardja, K. 2008. Dinamika Budaya Lokal. Bandung: Pusat Kajian Lintas Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan.

Ahimsa-Putra, S. 2007. Etnosains, Etnotek dan Etnoart: Paradigma Fenomenologis untuk Revitalisasi Kearifan Lokal, dalam Jumina dan Parikesit, D. (Ed.) Laporan Terkini Riset Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: LPPM-UGM. _____. 2008. Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal: Tantangan Teoretis

dan Metodologis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Alwasilah, C., Suryadi, K., Karyono, T. 2009. Etnopedagogi: Landasan Praktek

Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat.

Alwasilah, C. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Cet. I. Bandung: Kiblat.

Aoki, T.T. 2005. Curriculum Implementation as Instrumental Action and Situational Praxis, dalam Pinar, W.F., (Ed.) Curriculum in a New Key: The Collected Works of Ted T. Aoki. New Jersey: Lawrence-Erlbaum.

Apple, M.W. 2004. Ideology and Curriculum. Third Edition. New York: Routledge. Arenas, A., Reyes, I., Wyman, L. 2010. When Indigenous and Modern Education

Collide in the Global Culture, dalam Zajda, J. (Ed.) Global Pedagogies: Schooling for Future. Netherland: Springer.

Arikunto, S. Said. 2002. Kurikulum Muatan Lokal. Jakarta: Universitas Terbuka. Asmani, J.M. 2012. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Jogjakarta: Diva. Ayatrohaedy. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka. Baldwin, J., et al., (Ed.) 2008. Redefining Culture: Perspectives Across the

Disciplines. New Jersey: Lawrence-Erlbaum.

Banks, J.A. 1997. Educating Citizens in a Multicultural Society. New York: Teacher College Press.


(1)

Reynar, R. 2002. Indigenous People’s Knowledge and Education: A Tool for Development? Dalam Semali, L.M., Kinchelo, J., (Ed.). What Indigenous

Knowledge? Voices from Academy. New York: Falmer Press.

Richardson, V. [Ed]. 2005. Constructivist Teacher Education: Building a World of

New Understandings. New York: RoutledgeFalmer.

Rogers, C. A. and Jaime, A.M. 2010. Listening to the Community: Guidance from Native Community Members for Emerging Culturally Responsive Educators, dalam Equity and Excellence in Education. Vol. 43 (2), 188-201

Rosental, F. 2007. Knowledge Thriumphant: The Concept of Knowledge in Medieval

Islam. Leiden dan Boston: Brill.

Rosidi. A. 1995. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Ke-Indonesiaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

______. 2011. Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung: Kiblat. Saha, L.J., Dworkin, A.G. (Ed.). 2009. International Handbook of Research on

Teachers and Teaching. Netherland: Spreanger.

Saifuddin, A.F., dan Karim, M., [Penyt.]. 2008. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Kemenpora, Alumni Universitas Indonesia dan FKAI.

Salim, A. 2007. Indigenisasi Ilmu Pendidikan di Indonesia, dalam Salim, A., (Ed.).

Indonesia Belajarlah: Membangun Pendidikan Indonesia. Semarang: Tiara

Wacana

Sanjaya, W. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Kencana

Sautman, B. (Ed.). 2006. Cultural Genocide and Asian State Peripheries. New York: Palgrave Macmilan.

Schiro, M.S. 2013. Curriculum Theory: Conflicting Visions and Enduring Concerns. Second Edition. Boston: SAGE Publications.

Semali, L.M., Kinchelo, J.L. (Ed.). 2002. What is Indigenous Knowledge? Voices

from Academy. New York: Falmer Press.

Shihab, Q. 2006. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.


(2)

Silitoe, P., Bicker, A., Potter, J., (Ed.) 2004. Development and Local Knowledge:

New Approaches to Issue in Natural Resources Management, Conservation and Agriculture. New York: Routledge

Silverman, H., Ruggles, D.F., (Ed.) 2007. Cultural Heritage and Human Rights. Netherland: Springer

Slattery, P. 2006. Curriculum Development in Postmodern Era. Second Edition. New York: Routledge.

Snyder, C.R., Lopez, S.J. (Ed.). 2007. Positive Psychology: The Scientific and

Practical Exploration of Human Strengths. Thousand Oaks: SAGE.

Soedjatmoko. 1996. Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang Agama,

Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

______. 2010. Menjadi Bangsa Yang Cerdas. Jakarta: Gramedia.

STAI. 2010. Panduan Program Sarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih

Takengon Tahun Akademik 2010/2011. Takengon: STAI Gajah Putih Press.

Stake, R.E. 2010. Qualitative Research: Studying How Things Work. New York: Guillford.

Staudinger, U.M., Leipold, B. 2007. The Assessment of Wisdom-Related Performance, dalam Lopez, S.J. Snyder, C.R. (Ed.) Positive Psychological

Assessment: A Handbook of Models and Measures. Washington, D.C.:

American Psychological Association.

Sternberg., R.J. (Ed.) 1995. Wisdom: Its Nature, Origin, and Development. New York: Cambridge University Press.

_____. 2003. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synteshiz(Ed.) New York: Oxford University Press

Sternberg, R.J., Jarvin, L., Reznitskaya, A. 2008. Teaching for Wisdom Through History: Infusing Wise Thinking Skills in School Curriculum, dalam Ferrari, M., Potworowski, G., (Ed.). Teaching for Wisdom: Cross-Cultural Perspectives

on Fostering Wisdom. Netherland: Springer.

Sternberg, R. J., Preiss, D.D. (Ed.) 2010. Innovations in Psychology: Perspective on


(3)

Sudjana, N., Ibrahim. R. 2010. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sugono, D, et al. 2008. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Sukatman. 2009. Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia: Pengantar Teori dan

Pembelajarannya. Yogyakarta: Leksbang Pressindo.

Sue, D.W. 2001. Multidimensional Facets of Cultural Competency, dalam The

Counseling Psichologist, 26 (2), 790-821

Sukmadinata, N., Syaodih, E. 2010. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. [tersedia] http://hipkin.or.id/implementasi-kurikulum-satuan-pendidikan/ [di akses 27 Juli 2012].

Syukri. 2007. Sarakopat: Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya

terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Bandung: Citapustaka Media.

Taylor, S.V., Sobel, D.M. 2011. Culturally Responsive Pedagogy: Teaching Like Our

Students Lives Matter. United Kingdom: Emerald Publisher.

Taba, H. 1962. Developing Curiculum: Theory and Practice. New York: Harcourt. Tatto, M.T. 1996. Examing Values and Beliefs About Teaching Diverse Student:

Understanding the Challenges for Teacher Education, dalam Educational

Evaluation and Policy Analysis, 18 (2), 155-180.

Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. _____. 2007. Meng-Indonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan

dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

_____. 2012. Kaleidoskop Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia.

Toha-Sarumpaet, R. (Ed.). 2011. Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung

Jawabnya: Analekta Pemikiran Guru Besar Universitas Indonesia. Jakarta: UI.

Townsend, T., Bates, R. (Ed.) 2007. Handbook of Teacher Education: Globalization,

Standards and Profesionalism in Times of Change. Netherland: Springer.

Trunbull, E., Pacheco, M. 2005. Leading With Diversity: Cultural Competencies for


(4)

Tyler, R.W. 1949. The Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: University of Chicago Press.

Unesco. 2005. Curriculum Themes: Indegenous Knowledge and Sustainability. [online] Tersedia: http. www.unesco.org. [27 Januari 2009]

United Nations/UN. 2007. United Nations Declaration on the Rights of Indigenous

Peoples. Penerjemah Sem Karoba. Yogyakarta: GalangPress.

Villegas, A.M., Lucas, T. 2002. Preparing Culturally Responsive Teachers: Rethinking Curriculum, dalam Journal of Teacher Education, 53(1), 20-32. Wagiran. 2012. Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu

Hayuning Bawana, dalam Jurnal Pendidikan Karakter. Tahun II (2), 329-339.

Walker, D.F. 2003. Fundamentals of Curriculum: Passion and Professionalism. 2nd Edition. New Jersey: Lawrence Erlbaum.

Wangsalegawa. 2009. Origins of Indonesian Curriculum Theory and Practice: Possibilities for the Future. Disertasi. Illinois: University of Illinois.

Wehmeier, S. 2000. Oxford Advanced Learners Dictionary. Sixth Edition. Oxford: Oxford University Press.

Williams, S. 2007. Indigenous Values Informing Curriculum and Pedagogical Praxis.

Disertasi. Deakin: Deakin University.

Yin, R.K. 2003. Case Study Research: Design and Methods. 3rd Edition. California: SAGE Publication.

_____. 2011. Qualitative Research from Start to Finish. New York: The Guilford Yoga, S. 2002. Adat Budaya Gayo dalam Lintasan Sejarah. Takengon: Sekolah

Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon.

Young, M. 2011. Curriculum Policies for a Knowledge Society?, dalam Yates, Y dan Grummet, M., (Ed.) Curriculum in Todays’s World: Configuring Knowledge,


(5)

BIOGRAFI PENELITI

Al Musanna lahir pada tanggal 03 Maret 1978 di Uning Bertih, Kampung Pante Raya, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Putra dari Tengku H. Djemadil dan Hj. Remiah ini menjalani Sekolah Dasar di Uning Bertih (1985-1990); Madrasah Tsnawiyah Swasta di Simpang Balik (1990-1993); Madrasah Aliah Negeri I Takengon (1993-1996); Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (1996-2001); Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry konsentrasi Pendidikan Islam (2001-2003); dan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Program Studi Pengembangan Kurikulum (2008-2013).

Pengalaman sebagai dosen dimulai ketika bertugas menjadi dosen luar biasa di Fakultas Tarbiyah IAIN ar-Raniry, Darussalam-Banda Aceh (2003-2006), Fakultas Agama Islam Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh (2005-2006); Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh (2004-2006); Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an/PTIQ, Banda Aceh (2005-2006); Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hilal, Sigli (2005-2006). Pada bulan April 2006 diangkat sebagai salah seorang dosen Pegawai Negeri Sipil di lingkungan IAIN Ar-Raniry diperbantukan (DPK) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon.

Penelitian yang telah dilakukan: Peran Imam Mukim dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Yayasan Al-Madani dan Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, 2005); Inventarisasi Kesenian Tradisional Masyarakat Gayo (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NIAS, 2005); Kompetensi Guru Bahasa Inggris dan Matematika di Kabupaten Gayo Lues (Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NIAS, 2006); Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Gayo (Hibah Penelitian IAIN Ar-Raniry, 2012).


(6)

Gagasan seputar pendidikan, kurikulum dan kearifan lokal telah dituangkan dalam buku dan jurnal. Buku yang telah dipublikasikan adalah: Artikulasi Kurikulum

dan Pembelajaran di Madrasah (Yogyakarta: BaSan, 2010) dan Menyiapkan Guru Berkarakter: Fondasi, Model dan Pendekatan Penyelenggaraan Jurusan Tarbiyah

(Yogyakarta: BaSan, 2011). Adapun tulisan-tulisan yang telah dimuat dalam jurnal diantaranya: Model Pembaharuan Pendidikan Islam: Telaah Sejarah dan Pendekatannya [Jurnal Gema Gajah Putih Vol. 2 (3) tahun 2006]; Tinjauan Sejarah Pendidikan pada Masa Nabi [Jurnal Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Vol. 7 (1) tahun 2007]; Penguatan Kurikulum Muatan Lokal [Jurnal Lektur, STAIN Cirebon tahun 2009]; Impelementasi Kurikulum Muatan Lokal dalam Konteks Otonomi Khusus Aceh [Jurnal Lembaga Penelitian, Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2009); Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal melalui Evaluasi Responsif [Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan Vol 16 (5) Oktober 2010, Badan Penelitian dan

Pengembangan Kemendiknas]; Model Pendidikan Guru Berbasis Ke-Bhinekaan Budaya di Indonesia [Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 17 (4) Juli 2011, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional]; Rasionalitas dan Aktualitas Kearifan Lokal sebagai Basis Pendidikan Karakter [Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 17 (5) September 2011, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional]; Quo-Vadis Evaluasi Kurikulum [Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 18 (1) Maret 2012, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan]; Artikulasi Pendidikan Guru Berbasis Kearifan Lokal untuk Mempersiapkan Guru yang Memiliki Kompetensi Budaya [Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 18 (3) September 2012, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan].

Penulis menikah dengan Novia Rahmah, S.Pd. pada tanggal 20 Maret 2007 dan telah dikaruniai dua orang puteri: Hilma Az-Zahra (6 tahun 1 bulan) dan Sophia Althafunnisa (2 tahun 11 bulan).