BAB II TINJAUAN TEORI A. Kejang Demam - Andrian Catur Kristianto BAB II

BAB II TINJAUAN TEORI A. Kejang Demam 1. Pengertian Menurut Widjaja (2003) panas tinggi atau demam adalah suatu

  kondisi saat suhu badan lebih tinggi daripada biasanya atau di atas suhu normal. Demam menurut El-Radhi, Carroll, dan Klein (2009) adalah temperatur 1

  °C (1,8 °F) atau lebih tinggi rata-rata dari suhu normal tiap suhu normal bagian pengukuran. Misalnya suhu normal ketiak ialah 34,7- 37,4 °C diambil rata-ratanya 36,5 °C, maka demam ialah 37,5 °C.

2. Penyebab demam

  Ada banyak sekali faktor yang dapat menyebabkan anak balita mengalami demam. Biasanya setiap penyebab demam menimbulkan gejala yang berbeda-beda. Namun, pada umumnya demam yang diderita oleh anak balita diikuti dengan perubahan sifat atau sikap, misalnya menurunnya gairah bermain, lesu, pandangan mata meredup, rewel, cengeng atau sering menangis, dan cenderung bermalas-malasan.

  Secara garis besar, ada dua kategori demam yang seringkali diderita oleh anak balita (dan manusia pada umumnya), yaitu demam noninfeksi dan demam infeksi (Widjaja, 2003).

  a.

  Demam Noninfeksi Demam noninfeksi adalah demam yang bukan disebabkan oleh masuknya bibit penyakit kedalam tubuh. Demam noninfeksi jarang terjadi dan diderita oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.

  11 Demam ini timbul karena adanya kelainan pada tubuh yang dibawa sejak lahir, dan tidak ditangani dengan baik. contoh demam noninfeksi antara lain demam yang disebabkan adanya kelainan degeneratif atau kelainan bawaan pada jantung, demam karena stres, atau demam yang disebabkan oleh adanya penyakit-penyakit berat, misalnya leukemia atau kanker darah.

  b.

  Demam Infeksi Demam infeksi adalah demam yang disebabkan masuknya patogen, misalnya kuman, bakteri, viral atau virus, atau binatang kecil lainnya ke dalam tubuh. Demam infeksi paling sering terjadi dan diderita ileh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Bakteri, kuman atau virus dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, misalnya melalui makanan, udara, atau persentuhan tubuh. Imunisasi juga termasuk pada kategori ini sebab imunisasi adalah tindakan yang secara sengaja memasukan kuman, bakteri, atau virus yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh balita dengan tujuan membuat anak balita menjadi kebal terhadap penyakit tertentu.

  Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan infeksi dan akhirnya mengakibatkan demam pada anak balita antara lain : 1)

  Tetanus 2)

  Mumps atau parotitis epidemic 3)

  Morbilli atau measles atau rubella 4)

  Demam berdarah

3. Kejang Demam

  Kejang merupakan hal yang menakutkan bagi keluarga dan orangtua sering berpikir bahwa anaknya sedang sekarat. Oleh karena itu banyak orangtua yang menghubungi nomor darurat atau tergopoh-gopoh membawa anaknya ke rumah sakit terdekat (Meadow dan Newell, 2002).

  Kejang-kejang karena demam, biasa disebut dengan kejang demam atau

  stuip atau step, adalah suatu kondisi saat tubuh anak balita sudah tidak

  dapat menahan serangan demam pada suhu tertentu. Naiknya suhu badan pada balita dapat saja merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan, sehingga jaringan otak tidak dapat lagi mengoordinasikan persyaratan-persyaratan pada anggota gerak tubuh, antara lain lengan dan kaki. Akibatnya, terjadilah kejang-kejang antara lain pada lengan dan kaki balita (Widjaja, 2003)

  Kejang demam adalah kejang yang dihubungkan dengan suatu penyakit yang dicirikan dengan demam tinggi (suhu 38,9-40,0 °C).

  Kejang demam berlangsung kurang dari 15 menit, generalisata, dan terjadi pada anak-anak tanpa kecacatan neurologik. Jenis kejang ini memberi dampak 3-5% pada anak biasanya terjadi setelah usia 6 bulan dan sebelum usia 3 tahun, kejang demam tidak lazim terjadi pada anak setelah usia 5 tahun (Muscari, 2005).

  a.

  Etiologi Penyebab kejang demam belum diketahui. Kejang demam biasanya dikaitkan dengan infeksi saluran pernapasan atas, infeksi saluran kemih, dan roseola (Muscari, 2005). b.

  Patofisiologi (Muscari, 2005)

1) Umumnya, kejang dicirikan dengan pola tonik-klonik aktif.

  Biasanya berlangsung tidak lebih dari 1 menit dan dikaitkan dengan kondisi akut penyakit demam yang tidak berbahaya.

  2) Kejang biasanya terjadi sebagai akibat peningkatan suhu yang cepat, diawali dengan demam.

  3) Kejang demam dianggap tidak berbahaya apabila masalah fisik dan neurologik yang mendasarinya telah diatasi.

  c.

  Prognosis (Garna, 2005) 1)

  Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.

  2) Kemungkinan mengalami kematian

  Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan 3)

  Kemungkinan berulangnya kejang demam Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.

  Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah :

  a) Riwayat kejang demam dalam keluarga

  b) Usia kurang dari 12 bulan c) Temperatur yang rendah saat kejang

  d) Cepatnya kejang setelah demam

  Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kajang demam hanya 10% - 15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

  4) Faktor resiko terjadinya epilepsi dikemudian hari

  Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :

  a) Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.

  b) Kejang demam kompleks

  c) Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

  Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4% - 6%, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10% - 49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.

  d.

  Pengkajian (Muscari, 2005) 1)

  Manifestasi Klinis

  a) Sebagian besar aktivitas kejang berhenti pada anak mendapatkan pertolongan medis, tetapi anak mungkin dalam keadaan tidak sadar. b) Orang tua atau pemberi asuhan akan menggambarkan manifestasi kejang tonik-klonik (tonik-kontraksi otot, ekstensi ekstremitas, kehilangan kontrol defekasi dan kandung kemih, sianosis, dan hilang kesadaran, klonik- kontraksi dan relaksasi ekstremitas yang teratur (ritmik); fase postikal dikarakteristikan dengan ketidaksadaran persisten).

  c) Sering ditemukan adanya riwayat keluarga dengan kejang demam.

  2) Pemeriksaan diagnostik dan laboratorium

  a) Gambaran elektroencephalografi (EEG) biasanya normal, kemungkinan menunjukan hasil seperti gangguan kejang.

  b) Fungsi lumbal dapat dilakukan untuk menyingkirkan meningitis.

  c) CT (computed topography) dan MRI (magnetic resonance

  imaging ) dapat dilakukan untuk mengetahui adanya abnormalitas.

  Penatalaksanaan jangka panjang termasuk menjelaskan kedua orangtua ciri-ciri serangan yang relatif tidak berbahaya pada kejang demam dan mengajarkan mereka bagaimana mengenali dan menangani serangan yang terjadi di kemudian hari; bagaimana menggunakan obat antipiretik secara aman dan efektif; pertolongan pertama pada serangan; serta saat dan bagaimana mendapatkan bantuan darurat. Terapi antikonvulsan profilatik kadang-kadang digunakan pada anak-anak tertentu yang mengalami kejang demam berulang.

  e.

  Tatalaksana kejang demam (Meadow & Newell, 2002) 1)

  Posisi tenang : posisikan anak miring (semipronasi) dengan leher ekstensi sehingga sekresi dapat keluar melalui mulut.

  2) Jika pernapasan sulit : buka saluran pernapasan dengan ekstensi leher secara hati-hati, angkat rahang ke depan. Jangan letakan apapun ke dalam mulut. Berikan O2 jika tersedia.

  3) Jika kejang berlanjut berikan diazepam : IV atau IM atau rektal

  4) Periksa gula darah

  5) Lakukan penilaian dan pemeriksaan penunjang. Jika ada kecurigaan meningitis, harus dilakukan pungsi lumbal.

  Jika anak di bawah 5 tahun dan mengalami demam 1)

  Pendinginan. Pakaian dan selimut yang terlalu tebal harus dibuka. Kompres sesekali dengan air hangat (yang tidak menyebabkan vasokontriksi kulit). Parasetamol dapat membantu.

2) Antibiotika, jika ada infeksi seperti otitis media.

B. Kecemasan 1.

  Pengertian Kecemasan adalah suatu keadaan tidak tenteram dimana pasien merasakan adanya bahaya yang datang (Swartz, 1995). Ansietas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi (Videbeck, 2008).

  Freud (1993) membagi kecemasan menjadi 3 macam. Kecemasan meliputi kecemasan realitas, neurotik, dan moral atau perasaan-perasaan bersalah. Pokok tipe dari kecemasan tersebut ialah kecemasan realitas atau rasa takut akan bahaya-bahaya nyata dari luar, karena Freud menuliskan bahwa kedua tipe kecemasan yang lain berasal dari kecemasan realitas. Kecemasan neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-insting akan lepas dari kendali dan menyebabkan sang pribadi berbuat sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika suatu instingg dipuaskan. Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap suara hati. Orang-orang yang superegonya berkembang dengan baik cenderung merasa bersalah jika mereka melakukan atau bahkan berpikir untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma moral mereka dibesarkan (Hall, dkk, 1993).

  Fungsi kecemasan adalah memperingatkan sang pribadi akan adanya bahaya, ia merupakan isyarat bagi ego bahwa kalau tidak dilakukan tindakan-tindakan tepat, maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Kecemasan adalah suatu keadaan tegangan, ia merupakan suatu dorongan seperti lapar dan seks, hanya saja ia tidak timbul dari kondisi-kondisi jaringan di dalam tubuh melainkan aslinya ditimbulkan oleh sebab-sebab dari luar. Apabila timbul kecemasan maka ia akan memotivasikan sang pribadi untuk melakukan sesuatu. Sang pribadi bisa lari dari daerah yang mengancam, menghalangi impuls yang membahayakan atau menuruti suara hati (Hall, dkk, 1993).

  Suliswati (2005) mengemukakan kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif dari individu dan tidak dapat diobservasi secara langsung serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa objek yang spesifik. Kecemasan pada individu dapat memberikan motivasi untuk mencapai sesuatu dan merupakan sumber penting dalam usaha memelihara keseimbangan hidup.

  Kecemasan berbeda dengan rasa takut, karakteristik rasa takut adalah adanya objek atau sumber yang spesifik dan dapat diidentifikasi serta dapat dijelaskan oleh individu. Rasa takut terbentuk dari proses kognitif yang melibatkan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam. Ketakutkan disebabkan oleh hal yang bersifat fisik dan psikologis ketika individu dapat mengidentifikasi dan menggambarkannya.

  Kecemasan terjadi sebagai akibat dari ancaman terhadap harga diri atau identitas diri yang sangat mendasar bagi keberadaan individu.

  Kecemasan dikomunikasikan secara interpersonal dan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, menghasilkan peringatan yang berharga dan penting untuk upaya memelihara keseimbangan diri dan melindungi diri.

  Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal.

  Kecemasan adalah kebingungan, kehkhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya.

  Kecemasan tidak dapat dihindarkan dari kehidupan individu dalam memelihara keseimbangan. Pengalaman cemas seseorang tidak sama pada beberapa situasi dan hubungan interpersonal. Hal yang dapat menimbulkan kecemasan biasanya bersumber dari Suliswati (2005) : a.

  Ancaman integritas biologi meliputi gangguan terhadap kebutuhan dasar makan, minum, kehangatan, dan seks.

  b.

  Ancaman terhadap keselamatan diri : 1)

  Tidak menemukan integritas diri 2)

  Tidak menemukan status dan prestise 3)

  Tidak memperoleh pengakuan dari orang lain 4)

  Ketidak sesuaian pandangan diri dengan lingkungan nyata

2. Teori Kecemasan a.

  Teori Psikoanalitik Menurut Freud dalam Suliswati (2005), terjadi reaksi psikologis individu sebagai akibat munculnya kecemasan pada seseorang dikarenakan dalam hubungan seksualnya tubuh tidak mampu mencapai orgasme. Rasa cemas dapat terjadi akibat energi seksual yang tidak terekspresikan. Secara otomatis, kecemasan akan muncul akibat stimulus internal dan eksternal yang berlebihan. Akibat stimulus yang berlebihan sehingga melampaui kemampuan individu untuk menanganinya. Ada dua tipe kecemasan yaitu kecemasan primer dan kecemasan subsekuen. 1)

  Kecemasan primer Kejadian traumatik yang diawali saat bayi akibat adanya stimulasi tiba-tiba dan trauma pada saat persalinan, kemudian berlanjut dengan kemungkinan tidak tercapainya rasa puas akibat kelaparan atau kehausan. Penyebab kecemasan primer adalah keadaan ketegangan atau dorongan yang diakibatkan oleh faktor eksternal.

  2) Kecemasan subsekuen

  Sejalan dengan peningkatan ego dan usia, Freud melihat ada jenis kecemasan lain akibat konflik emosi diantara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Freud menjelaskan bila terjadi kecemasan maka posisi ego sebagai pengembang id dan superego berada pada kondisi bahaya. b.

  Teori Interpersonal Menurut Sulivan dalam Suliswati (2005) mengemukakan bahwa timbulnya kecemasan adalah akibat ketidakmampuan individu untuk berinteraksi dengan interpersonal dan sebagai akibat penolakan. Kecemasan bisa dirasakan bila individu mempunyai kepekaan lingkungan. Pertama kali kecemasan terjadi ditentukan oleh hubungan ibu dengan bayinya pada awal kehidupannya, bayi berespon seolah-olah ia dan ibunya adalah satu unit. Dengan bertambahnya usia, anak melihat ketidaknyamanan yang timbul akibat tindakannya sendiri dan diyakini bahwa ibunya setuju atau tidak setuju dengan perilaku itu.

  c.

  Teori Perilaku Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan hasil frustasi akibat berbagai hal yang mempengaruhi individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan, misalnya mendapatkan ranking pertama dikelasnya, menjadi juara perlombaan, kesuksesan dalam karier. Perilaku merupakan hasil belajar dari pengalaman yang pernah dialami. Kecemasan dapat juga muncul melalui konflik antara dua pilihan yang saling berlawanan dan individu harus memilih salah satu. Kecemasan ditimbulkan oleh konflik dan kecemasan itu sendiri akan mengakibatkan pandangan terhadap konflik dengan timbulnya perasaan ketidakberdayaan. Konflik muncul dari dua kecenderungan yaitu approach dan avoidance.

  Approach merupakan kecenderungan untuk melakukan atau menggerakkan sesuatu. Avoidance adalah kebalikannya yaitu tidak melakukan atau menggerakkan sesuatu melalui sesuatu.

  d.

  Teori Keluarga Menurut Suliswati (2005), studi yang dilakukan pada keluarga dan epidemiologi memperlihatkan bahwa kecemasan selalu ada pada setiap keluarga dalam berbagai bentuk dan bersifat heterogen.

  e.

  Teori Biologik Reseptor khusus yang dimiliki otak terhadap benzodiazepin, fungsi reseptor tersebut adalah membantu regulasi kecemasan.

  Regulasi tersebut berhubungan dengan aktivitas neurotransmitter

  

gamma amino butyric acid (GABA) dimana fungsi neurotransmitter

  ini adalah mengontrol aktivitas neuron di bagian otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan. Bila GABA bersentuhan dengan sinaps dan berikatan dengan reseptor GABA pada membran post-sinaps akan membuka saluan pintu reseptor sehingga terjadi perpindahan ion. Perubahan ini akan mengkibatkan

  eksitasi sel dan memperlambat aktivitas sel. Teori ini menjelaskan

  bahwa masalah proses neurotransmitter ini dapat menjadi indikator bahwa individu sering mengalami kecemasan. Mekanisme koping juga dapat terganggu akibat pengaruh toksik, kekurangan nutrisi, suplai darah menurun, hormon mengalami perubahan dan penyebab fisik lainnya. Kelelahan juga dapat meningkatkan iritabilitas dan perasaan cemas.

3. Faktor Predisposisi

  Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005).

  tersebut

  Ketegangan dalam kehidupan dapat berupa: a.

  Peristiwa traumatik, yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional.

  b.

  Konflik emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.

  c.

  Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.

  d.

  Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang berdampak terhadap ego.

  e.

  Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu.

  f.

  Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress akan mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik yang dialami karena pola mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga.

  g.

  Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respons individu dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya. h.

  Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang mengandung benzodizepine, karena benzodiazepine dapat menekan neurotransmiter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

4. Faktor Presipitasi

  Stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat mencetuskan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Stressor presipitasi kecemasan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : a.

  Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas fisik yang meliputi : 1)

  Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya : hamil). 2)

  Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal.

  b.

  Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.

  1) Sumber internal : kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru.

  Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri.

  2) Sumber eksternal : kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.

  Faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Namun demikian pencetus ansietas dapat dikelompokan ke dalam dua kategori menurut Asmadi (2008) yaitu : a.

  Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari guna pemenuhan terhadap kebutuhan dasarnya.

  b.

  Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status atau peran diri, dan hubungan interpersonal.

5. Mekanisme Koping Terhadap Ansietas

  Setiap ada stresor penyebab individu mengalami ansietas, maka secara otomatis muncul upaya untuk mengatasinya dengan berbagai mekanisme koping. Penggunaan mekanisme koping menjadi efektif bila didukung oleh kekuatan lain dan adanya keyakinan pada individu yang bersangkutan bahwa mekanisme koping yang digunakan dapat mengatasi ansietasnya. Sumber koping merupakan modal kemampuan yang dimiliki individu guna mengatasi ansietas. Ansietas perlu diatasi untuk mencapai homeostatis dalam diri individu, baik secara fisiologis maupun psikologis.

  Menurut Asmadi (2008) secara umum, mekanisme koping terhadap ansietas diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu strstegi pemecahan masalah (problem solving strategic) dan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism). a.

  Strategi Pemecahan Masalah (problem solving strategic) Strategi pemecahan masalah bertujuan untuk mengatasi atau menanggulangi masalah atau ancaman yang ada dengan kemampuan pengamatan secara realistis.

  Beberapa contoh strategi pemecahan masalah yang dapat digunakan antara lain : 1) Meminta bantuan kepada orang lain. 2)

  Secara besar hati, mampu mengungkapkan perasaan sesuai dengan situasi yang ada.

  3) Mencari lebih banyak informasi yang terkait dengan masalah yang dihadapi, sehingga masalah tersebut dapat diatasi secara realistis.

  4) Menyusun beberapa rencana untuk memecahkan masalah. 5) Meluruskan pikiran atau persepsi terhadap masalah.

  Sesungguhnya bayangan pikiran yang dimiliki setiap orang memberkan pengaruh yang besar dalam kehidupan pribadi.

  Pikiran tersebut mengenai diri sendiri maupun bayangan pikiran mengenai apa yang dilakukan. Sebab, segala sesuatu yang dilakukan seseorang adalah reaksi langsung dari apa yang ada dalam pikirannya.

  Strategi pemecahan masalah ini scara ringkas dapat digunakan dengan metode STOP (Source, Trial and error, Other, serta Pray

  

and patient ). Source berarti mencari dan mengidentifikasi apa yang

  menjadi sumber masalah. Trial and error berarti mencoba berbagai rencana pemecahan masalah yang telah disusun. Bila satu metode tidak berhasil, maka mencoba lagi dengan metode lain. Begitu selanjutnya. Hal yang perlu dihindari adalah adanya rasa keputusasaan terhadap kegagalan yang dialami. Other berarti minta bantuan orang lain bila diri sendiri tidak mampu. Pray and patient yaitu berdoa kepada Tuhan sebab Dia adalah Zat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada di dunia ini. Dia pula yang memberikan jalan yang terbaik buat manusia sebab manusia memiliki banyak keterbatasan. Dengan berdoa, maka hati, jiwa, dan pikiran seseorang akan menjadi tenteram dan tenang. Juga harus sabar dengan berlapang dada menerima kenyataan yang ada pada dirinya. Penerimaan terhadap apa yang ada pada diri akan membuat sesorang menjadi lebih menikmati hidup dan ringan beban psikologinya, walaupun dalam pandangan orang lain orang tersebut berada dalam kehinaan.

  b.

  Mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) Menurut Asmadi (2008) mekanisme pertahanan diri merupakan mekanisme penyesuaian ego yaitu usaha untuk melindungi diri dari perasaan tidak adekuat. Beberapa ciri mekanisme pertahanan diri antara lain : 1)

  Bersifat hanya sementara karena berfungsi hanya untuk melindungi atau bertahan dari hal-hal yang tidak menyenangkan dan secara tidak langsung mengatasi masalah.

  2) Mekanisme pertahanan diri terjadi di luar kesadaran. Individu tidak menyadari bahwa mekanisme perahanan diri tersebut sedang terjadi.

3) Seringkali tidak berorientasi pada kenyataan.

  Tabel berikut ini merupakan makanisme pertahanan diri yang sering digunakan.

Tabel 2.1 Kebutuhan Rasa Aman yang Bebas Dari Cemas

  (Asmadi, 2008)

  Jenis Uraian 1.

  Displacement Memindahkan perasaan yang tidak menyenangkan dari seseorang atau objek lain yang biasanya lebih kurang berbahaya daripada semula.

  Misalnya, tidak lulus ujian langsung membanting dan membuang buku-bukunya. tidak menyelsaikan masalah. Bahkan dapat menciptakan

  Displacement masalah baru, misalnya seorang pegawai yang melampiaskan emosinya ke istrinya lantaran waktu di kantor dimarahi pimpinannya.

  2. Tindakan atau komunikasi tertentu yang bertujuan menghapuskan atau Undoing meniadakan tindakan sebelumnya. Misalnya, meminta maaf.

  3. Mengembangkan pola sikap dan perilaku tertentu yang disadari, tetapi Reaction berlawanan dengan perasaan dan keinginannya. Misalnya, seorang formation lelaki yang mencintai seorang perempuan. Lalu ditanya oleh temannya, ia menjawab : “Saya benci dengan gadis itu.”

  4. Menutupi kekurangan dengan meningkatkan kelebihan yang ada pada Kompensasi dirinya. Misalnya, yang kemempian belajarnya kurang lalu menekuni musik karena musik merupakan kelebihannya.

  5. Penyaluran rangsangan yang tidak tercapai ke dalam kegiatan lain yang Sublimasi bisa diterima oleh masyarakat. Misalnya, seseorang yang senang berkelahi lalu disalurkan dalam bentuk olahraga tinju.

6. Tingkat Kecemasan

  Peplau dalam Suliswati (2005) menggolongkan tingkat kecemasan menjadi empat tingkatan yang dialami oleh individu, yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat dan panik.

  a.

  Kecemasan Ringan (mild anxiety) Kecemasan ringan, erat hubunganya dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Seseorang masih waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan indera. Hal ini, dapat mendorong individu tersebut untuk belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan timbal baliknya menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas, contohnya ketika mahasiswa akan mempresentasikan hasil kerja individunya di depan para dosen dan teman sekelasnya.

  b.

  Kecemasan Sedang (moderat anxiety) Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya, lapangan persepsi terjadi penyempitan, individu masih mampu melakukan sesuatu sesuai arahan orang lain. Contohnya, seserorang yang mengetahui bahwa dirinya terdiagnosa terkena penyakit kronis.

  c.

  Kecemasan Berat (severe anxiety) Persepsi individu sangat sempit. Perhatiannya berpusat pada hal- hal kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir tentang hal-hal lain.

  Berusaha keras untuk mengurangi kecemasan dan memerlukan banyak arahan untuk terfokus pada area lain. Contohnya, seseorang yang mengalami putus hubungan kerja (PHK) dengan perusahaannya, dimana dirinya sebagai tulang punggung keluarga.

  d.

  Panik (disorganisasi personality) Individu tidak dapat mengendalikan dirinya dan perhatian pada hal-hal yang detail hilang. Karena hilangnya kontrol, maka meskipun dengan arahan tidak mampu melakukan apapun. Aktivitas motorik meningkat, kemampuan berhubungan dengan orang lain berkurang, terjadi penyimpangan persepsi dan pikiran rasional seseorang akan menghilang, tidak mampu berfungsi secara efektif. Biasanya disertai dengan disorganisasi kepribadian. Contohnya : individu dengan kepribadian pecah.

7. Reaksi Kecemasan

  Reaksi kecemasan adalah suatu respon dari individu yang muncul akibat adanya kecemasan. Reaksi kecemasan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu reaksi konstruktif maupun destruktif. Reaksi konstruktif adalah individu termotivasi untuk belajar mengadakan perubahan terutama perubahan terhadap perasaan yang tidak nyaman dan terfokus pada kelangsungan hidup. Contohnya : anak SD akan belajar lebih giat lagi karena apabila mendapatkan ranking pertama akan diberikan hadiah. Reaksi destruktif adalah maladaptif dan disfungsional sebagai indikator tingkah laku individu. Contohnya: individu tidak mau berinteraksi dengan orang lain atau mengisolasi diri di dalam kamarnya.

  Rentang Respon Ansietas Respon adaptif Respon maladaptif Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Gambar 2.1 Rentang Respon Ansietas

  (Stuart & Sundeen, 1998 dalam Asmadi, 2008) 8. Intervensi Keperawatan Klien Dengan Ansietas

  Pada klien ansietas ringan, tidak perlu ada intervensi khusus sebab pada ansietas ringan ini klien masih mampu mengontrol dirinya dan mampu membuat keputusan yang tepat dalam penyelesaian masalah. Sedangkan pada ansietas sedang, intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan pola mekanisme koping yang positif seperti penjelasan di atas.

  Pada ansietas berat dan panik, terdapat strategi khusus yang perlu diperhatikan oleh perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Prinsip intervensi keperawatan pada klien tersebut adalah melindungi klien dari bahaya fisik dan memberikan rasa aman pada klien karena klien tidak dapat mengendalikan perilakunya.

  Setelah tingkat ansietas klien menurun sampai tingkat sedang atau ringan, prinsip intervensi keperawatan yang diberikan adalah re-edukatif atau berorientasi pada kognitif. Tujuannya adalah menolong klien dalam mengembangkan kemampian menoleransi ansietas dengan mekanisme koping dan strategi pemecahan masalah yang konstruktif. Intervensi utama yang harus dilakukan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien ansietas adalah menyadari untuk mengenali perasaannya dan juga mampu mengendalikannya.

  Intervensi keperawatan menurut NIC dan NOC, Wilkinson (2006) dengan diagnosa ansietas berhubungan dengan keterkaitan dengan keluarga yang sakit.

  a.

  Tujuan dan kriteria evaluasi : 1)

  Kecemasan berkurang, dibuktikan dengan menunjukkan kontrol agresi, kontrol kecemasan, koping, kontrol impuls, penahanan mutilasi diri secara konsisten, dan secara substansial menunjukkan keterampilan interaksi sosial yang efektif.

  2) Menunjukkan kontrol kecemasan, dibuktikan dengan indikator pendemonstrasian sebagai berikut (dengan ketentuan 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau secara konsisten) :

  a) Merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi stress.

  b) Mempertahankan penampilan peran

  c) Melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori

  d) Melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik

  e) Manifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada.

  b.

  Intervensi Prioritas NIC Pengurangan Ansietas: Meminimalkan kekhawatiran, ketakutan, berprasangka atau rasa gelisah yang dikaitkan dengan sumber bahaya yang tidak dapat diidentifikasi dari bahaya yang dapat diantisipasi. Aktivitas Keperawatan Pendidikan untuk Pasien atau Keluarga 1)

  Kembangkan rencana pengajarana dengan tujuan yang realistis, termasuk kebutuhan utuk pengulangan, dukungan, dan pujian dari tugas-tugas yang dipelajari. 2)

  Pengurangan Ansietas (NIC) :

  a) Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis, perawatan, dan prognosis; b)

  Instruksikan pasien tentang penggunaan teknik relaksasi;

  c) Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya dirasakan selama prosedur.

C. Pendidikan Kesehatan 1.

  Pengertian Pendidikan kesehatan merupakan komponen esensial dalam bagian asuhan keperawatan dan diarahkan pada kegiatan interaksi antara perawat dan individu atau kelompok untuk meningkatkan, mempertahankan, dan memulihkan status kesehatan; mencegah penyakit; dan membantu individu untuk mengatasi efek sisa penyakit menurut Smeltzer & Bare (2002). Pendidikan kesehatan merupakan upaya-upaya terencana untuk mengubah perilaku individu, kelompok, keluarga, dan masyarakat (Maulana, 2009).

  Banyak teori belajar yang dapat digunakan sebagai pendidikan kesehatan, yang lebih penting prinsipnya adalah situasi sesuai dengan individu, keluarga, dan kelompok terutama yang berhubungan dengan perilakunya (Glanz K. et al, 1990). Perawat sebagai pendidik harus memiliki kemampuan untuk mengkaji kekuatan dan dampak yang ditimbulkan oleh intervensi keperawatan terhadap perilaku subjek yang dapat memperkaya, memberikan informasi, dan melengkapi perilaku subjek yang diinginkan. Model pendidikan kesehatan yang dapat digunakan oleh perawat adalah sebagai berikut (Nursalam & Efendy, 2008).

  a.

  Model Perilaku Individu Ada dua model yang sering digunakan untuk menjelaskan faktor penentu dari perilaku preventif, yaitu model nilai kesehatan dan model promosi kesehatan. Secara mendasar model nilai kesehatan ditujukan untuk promosi peningkatan perilaku sehat daripada menanggulangi faktor penyebab. Model ini berfokus pada orientasi mencegah penyakit yang spesifik. Dimensi yang digunakan pada model nilai kesehatan meliputi kepekaan, keparahan, penghalang yang dirasakan, variabel struktural, serta sosio-psikologi lainnya. Sedangkan model promosi kesehatan oleh Pender (1987) merupakan modifikasi dari model nilai kesehatan dan lebih memfokuskan pada prediksi perubahan perilaku akibat dari promosi kesehatan.

  b.

  Model Pemberdayaan Masyarakat Perubahan perilaku yang terjadi pada individu belum membawa dampak yang berarti pada perubajan perilaku di masyarakatnya.

  Sehingga perawat perlu membantu individu dan keluaga yang telah berubah perilakunya untuk ditampilkan pada komunitas.

  Fokus proses pemberdayaan masyarakat adalah komunikasi, informasi, dan pendidikan kesehatan (WHO). Di Indonesia sering disebut dengan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) yang ditujukan kepada individu, keluarga, dan kelompok. Strategi yang dapat digunakan oleh perawat dalam rangka KIE adalah pembelajaran pemecahan masalah (problem solving), memperluas jaringan kerja (networking), bernegosiasi dengan pihak yang bersangkutan (negotiating), pendekatan untuk mempengaruhi orang lain (lobbying), dan pencarian informasi (information seeking) untuk meningkatkan derajat kesehatan kliennya (Nursalam & Efendy, 2008).

  2. Peran Perawat dalam Pendidikan Kesehatan (Swanson & Nies, 1997 dalam Nursalam & Effendy, 2008) a.

  Advokat b.

  Pemberi perawatan (caregiver) c. Manager kasus d.

  Konsultan e. Culture broker f. Pendidik :

  1) Mengenali dimensi dari pilihan-pilihan kesehatan

  2) Mempromosikan perawatan kesehatan

  3) Mengetahui sumber daya yang tersedia

  4) Memfasiltasi perilaku sehat g.

  Perantara informasi h. Innovator i. Mediator j. Negosiator k.

  Analisa kebijakan, change agent l. Promoter atau collaborative partnership m.

  Tokoh panutan (role model) n. Sensitizer o. Aktivis sosial 3. Tujuan Pendidikan Kesehatan

  Menurut Nursalam (2008) terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku individu, keluarga, kelompok khusus, dan masyarakat dalam membina serta mamelihara perilaku hidup sehat serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Secara umum, tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku individu atau masyarakat di bidang kesehatan (WHO). Akan tetapi, perilaku mencakup hal yang luas sehingga perilaku perlu dikategorikan secara mendasar sehingga rumusan tujuan pendidikan kesehatan dirinci sebagai berikut (Maulana, 2009) : 1.

  Menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai di masyarakat.

  Oleh sebab itu, pendidik kesehatan bertanggung jawab mengarahkan cara-cara hidup sehat menjadi kebiasaan hidup masyarakat hidup sehari-hari.

2. Menolong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat.

  3. Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan kesehatan yang ada. Adakalanya, pemanfaatan sarana pelayanan yang ada dilakukan secara berlebihan atau justru sebaliknya, kondisi sakit, tetapi tidak menggunakan saranan kesehatan yang ada dengan semestinya.

D. Kerangka Teori Tingkatan Kecemasan 1.

  Tidak cemas 2. Kecemasan ringan

  Peran Perawat Dalam Pendidikan 3.

  Kecemasan sedang

  Kesehatan 4.

  Kecemasan berat 5. Kecemasan sangat berat atau panik a.

  Advokat b. Pemberi perawatan (caregiver) c. Manager kasus

  Pendidikan d.

  Konsultan

  Kesehatan e.

  Culture broker f. Pendidik : g.

  Perantara informasi h.

  Kecemasan Ibu Innovator i.

  Mediator j. Negosiator, dll

  Faktor-Faktor Terjadinya Kecemasan 1.

  Faktor predisposisi a.

  Peristiwa traumatik b.

  Konflik emosional, c. Konsep diri terganggu d.

  Frustasi e. Gangguan fisik 2. Faktor presipitasi a.

  Ancaman terhadap integritas fisik.

  b.

  Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal

Gambar 2.2 Kerangka teori Penelitian

  Modifikasi dari Suliswati (2005) dan Nursalam & Effendy, 2008 E.

   Kerangka Konsep

  Kecemasan Ibu pada Kecemasan anak kejang demam

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

F. Hipotesis

  Hipotesis merupakan jawaban sementara penelitian yang akan dilakukan dimana akan dibuktikan kebenarannya tersebut disaat penelitian (Notoatmodjo, 2010). Hipotesis penelitian ini, yaitu : Ha = Ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat kecemasan orangtua pada anak kejang demam.