Efektivitas permainan pura-pura dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak pra sekolah - USD Repository
EFEKTIVITAS PERMAINAN PURA – PURA
DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBAHASA
PADA ANAK PRA SEKOLAH
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Oleh :
TAKE TIME
Take time to think; It is the source of power. Take time to read; It is the foundation of wisdom. Take time to play; It is the secret of staying young. Take time to be quiet; It is the opportunity to seek GOD. Take time to be aware; It is the opportunity to help others. Take time to love and to be loved; It is God’s greatest gift. Take time to laugh; It is the music of the soul. Take time to be friendly; It is the road to happiness. Take time to dreams; It is what the future is made of.
ABSTRAK EFEKTIVITAS PERMAINAN PURA-PURA DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRA SEKOLAH
Permainan pura-pura merupakan jenis permainan aktif yang dimainkan oleh anak usia pra sekolah bersama dengan anak lainnya. Permainan pura-pura melibatkan bahasa sebagai mediator untuk menjelaskan imajinasi dan khayalan anak. Permainan ini dapat melatih kemampuan berbahasa anak yang diyakini memiliki arti penting dalam proses tumbuh kembang anak. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melihat efek atau pengaruh permainan pura-pura dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak pra sekolah.
Desain eksperimen yang digunakan adalah eksperimen ulang (pretest-
posttest control group design ). Subyek penelitian adalah 24 siswa TK berusia 4 –
6 tahun, terbagi menjadi 14 anak dalam kelompok eksperimen atau yang diberi permainan pura-pura dan 10 anak kelompok kontrol yang diberi permainan soliter dan permainan pasif. Untuk mengukur kemampuan berbahasa digunakan tes Kemampuan Berbahasa Anak Pra Sekolah (KBAPS) yang diberikan kepada kedua kelompok saat pretest dan posttest.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan independent sample t- dinyatakan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan dari permainan pura-
test
pura terhadap peningkatan kemampuan berbahasa anak pra sekolah (t =4,720; p
= 0.000 ). Kemampuan berbahasa kelompok yang bermain pura-pura lebih
tinggi/baik dibandingkan dengan kelompok yang bermain aktif dan bermain pasif. Dari kelima aspek kemampuan berbahasa, permainan pura-pura terbukti memiliki pengaruh terhadap perkembangan kemampuan artikulasi (t = 2,159; p
= 0,042 ), perbendaharaan kata (t = 3,049; p = 0,006), kemampuan menyusun
kalimat (t = 4,415; p = 0,000) serta percakapan (t = 3,612; p = 0,002).Permainan pura-pura tidak memiliki dampak terhadap tingkat pemahaman anak (t
= -0,276; p = 0,785 ). Dapat kita simpulkan permainan pura-pura sebagai salah
ABSTRACT THE EFFECTIVENESS OF PRETEND PLAY TO IMPROVE LANGUAGE
COMPETENCE OF PRESCHOOL CHILDREN
Pretend play is an active game type played by children in pre school age, with their peers. In pretend play children interact with peers and use explicit language as medium to define in imagination and fantasy. Pretend play can improve children’s language competence that is believed to have an important role in the course of children’s development process. Pursuant to the mentioned, this research was aimed to see the effect or influence of pretend play in improving the language competence of preschool children.
The experimental design used was pretest-posttest control group design. Subjects of the research were 24 kindergarten students in the age of 4-6 year, divided to two groups, 14 children in experiment group or given the pretend play and 10 children in control group that given the solitary and passive play. To measure their competencies level Kemampuan Berbahasa Anak Pra Sekolah test were used, which is given in pretest and posttest session.
Based on the analysis result using independent sample and paired sample t-test showed that there was a positive influence and significant improvement of pretend play to language competence of preschool children (t =4,720; p = 0.000). The language competence of children in the group that played pretend play were higher, compared to the group of children that playing the solitary and passive play. Among five aspects of language competence, pretend play has proven to gives influence to pronunciation ability development (t = 2,159; p = 0,042), collection vocabulary (t = 3,049; p = 0,006), ability to combine words into sentences (t = 4,415; p = 0,000), and conversation skill (t = 3,612; p = 0,002). Pretend play has no effect to child comprehension (t = -0,276; p = 0,785). Thus, the conclusion of the experiment was that pretend play can push the growth of language competence.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai dan melimpahkan kasih karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas Permainan Pura-pura Dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Pra Sekolah, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Psikologi pada Program Studi Psikologi Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Keberhasilan penulis dalam penulisan skripsi ini tidak bisa lepas dari bantuan, kritik dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bpk. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
2. Bpk. Dr. A. Supratiknya selaku dosen pembimbing penulis yang selalu memberikan masukan-masukan yang berarti bagi penulis serta
5. Ibu Titik Kristiyani, S.Psi. dan Bpk. C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi. selaku dosen pembimbing akademik penulis serta dosen-dosen Fakultas Psikologi lainnya yang penulis banggakan.
6. Ibu Maria dan edukator TK Happy Holy Kids, Ms. Dyah, Ms. Anis dan teman-teman TK dari TK Ceria di Demangan dan Timoho. Terima kasih atas bantuan, dukungan dan partisipasi yang diberikan oleh penulis selama melakukan penelitian, merupakan pengalaman yang luar biasa bagi penulis.
7. Ibu A. Tanti Arini, S. Psi. dan Mas Mudji dari Laboratorium Psikologi yang bersedia meminjamkan alat perekam guna penelitian penulis.
Terima kasih pula atas kesempatan menjadi asisten praktikum yang telah diberikan kepada penulis.
8. Ibu Nanik, Mas Gandung, Pak Gi dan Mas Doni yang selalu membantu penulis ketika penulis membutuhkan sesuatu yang berhubungan dengan kesekretariatan dan ruang baca Fakultas Psikologi. bagian dari kehidupan penulis. Momen indah bersama kalian adalah karunia terbaik yang pernah penulis dapatkan.
11. Organisasi, komunitas serta pihak-pihak yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengaktualisasikan dan mengekspresikan potensi diri, baik di dalam dan luar kampus serta secara akademik maupun non akademik. Pengalaman yang sangat berharga bagi penulis.
12. Lian, Jeanne, Ina, Nanda, Eka, Evi, Ely dan Gita. Terima kasih atas kebersamaan dan kehangatan selama kita hidup bersama.
13. Ms. Memey. Terima kasih atas semangat dan perjuanganmu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan. Oleh sebab itu dengan rendah hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi pembaca dan semua pihak yang membutuhkan.
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................. v ABSTRAK ............................................................................................................. vi ABSTRACT ........................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL .................................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
B. Bahasa ..................................................................................................... 16
1. Pengertian Bahasa ............................................................................. 16
2. Komponen-komponen Bahasa .......................................................... 17
3. Kemampuan Berbahasa .................................................................... 19
C. Permainan ................................................................................................ 25
1. Pengertian Permainan ........................................................................ 25
2. Jenis-jenis Permainan ........................................................................ 27
3. Permainan Pura-pura ......................................................................... 31
D. Kerangka Penelitian ................................................................................. 36
E. Hipotesis Penelitian ................................................................................. 39
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 40 A. Desain Penelitian ..................................................................................... 40 B. Variabel Penelitian ................................................................................. 41 C. Definisi Operasional ................................................................................ 42 D. Subyek Penelitian .................................................................................... 45
1. Hasil Uji Asumsi ............................................................................... 67
a. Uji Normalitas ............................................................................. 67
b. Deskripsi Data Penelitian ............................................................ 68
2. Hasil Uji Hipotesis ............................................................................. 68
C. Pembahasan ............................................................................................. 71
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 75 A. Kesimpulan .............................................................................................. 75 B. Saran ........................................................................................................ 76
1. Bagi Peneliti Selanjutnya .................................................................. 76
2. Bagi Penelitian Selanjutnya ............................................................... 77
3. Bagi Para Pendidik dan Orang Tua ................................................... 77 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 78 LAMPIRAN ............................................................................................................ 82
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel 3.1. Komposisi tes KBAPS setelah uji coba ............................................ 58
2. Tabel 3.2. Tabel spesifikasi dan penskoran tes kemampuan berbahasa anak pra sekolah (KBAPS) ............................................. 59
3. Tabel 4.1. Hasil uji normalitas ........................................................................... 67
4. Tabel 4.2. Rerata dan standar deviasi pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol........................................................................ 68
5. Tabel 4.3. Rangkuman hasil uji t ........................................................................ 69
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Gambar 2.1. Skema efektivitas permainan pura-pura dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak pra sekolah ..................... 39
2. Gambar 3.1. Rancangan desain penelitian .......................................................... 40
3. Gambar 3.2. Rancangan analisis data ................................................................. 62
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Alat tes sebelum dan setelah uji coba ................................................................ 82
2. Seleksi item ........................................................................................................ 83
3. Foto aktivitas kelompok kontrol ......................................................................... 89
4. Foto aktivitas kelompok eksperimen .................................................................. 90
5. Uji normalitas ..................................................................................................... 93
6. Data kelompok eksperimen dan kontrol ............................................................. 96
7. Contoh verbatim aspek menyusun kalimat ......................................................... 98
8. Contoh verbatim aspek percakapan .................................................................... 100
9. Hasil Uji t ............................................................................................................ 104
10. Surat ijin penelitian ............................................................................................. 107
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak kecil individu pasti diajar untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sebelum berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, bayi hanya bisa menangis
untuk menyampaikan sesuatu dan mulai mengeluarkan suara-suara tertentu ketika menginjak usia tiga bulan. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, kebiasaan ini akan dialihkan menjadi bentuk komunikasi yang lebih baik seperti berceloteh hingga kemampuan mengucapkan kata-kata dengan benar dan sesuai dengan bahasanya. Kemajuan ini dapat dilihat pada anak usia dua tahun yang biasanya mampu menyusun kalimat yang terdiri dari tiga atau empat kata sedangkan di usia tiga tahun, menjadi enam sampai delapan kata dalam sebuah kalimat (Hurlock, 1980).
Kini tidak sedikit orang tua yang memasukkan anaknya ke dalam
) dimana anak mulai memperluas lingkup sosialnya dengan memasuki
childhood kelompok bermain (play group) dan TK.
Ciri yang menonjol pada anak pra sekolah adalah perkembangan fisik- motorik, sosial dan kepribadian, fungsi kognitif (M őnks, Knoers, dan Haditono, 1999) serta perkembangan kemampuan berbahasa (Papalia dan Olds, 1986).
Anak-anak pada usia tersebut juga memiliki cara berpikir yang berbeda dalam rangka mengembangkan kemampuan memahami konsep-konsep intelektual yang sangat luas, serta mengekspresikan pikiran dan perasaan melalui bahasa yang sesuai dengan budaya sekitarnya. Disini anak memiliki kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan para guru dan teman-teman sebaya, sehingga lingkungan sosial mereka menjadi lebih luas. Anak dapat melakukan aktivitas bersama seperti belajar dan bermain bersama guru dan anak yang lain, dengan bahasa sebagai media komunikasinya.
Liebert, Wicks-Nelson, dan Kail (1986) mendefinisikan bahasa sebagai salah satu alat komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan maksud, ide atau ketika ibunya menyebut namanya sambil mengulurkan tangan. Ini menunjukkan adanya kemampuan untuk memaknai setiap bunyi atau gerakan tertentu. Dengan bertambahnya usia, anak memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain selain orang tuanya. Selama proses interaksi ini anak mampu mendengar dan memahami kata yang dipergunakan oleh orang lain sekaligus juga memproduksi kata-kata.
Bahasa memiliki tiga komponen, yakni sintaktik, fonologi dan semantik (Dardjowidjojo, 2003). Sintaktik merujuk pada pengertian tentang tata bahasa, atau cara yang digunakan untuk menghubungkan suatu suara dengan maknanya.
Komponen ini berkaitan dengan kata, frasa dan kalimat. Fonologi merujuk pada bunyi yang terkandung di dalam sebuah kata ataupun kalimat. Semantik adalah makna yang terkandung dan disimbolisasikan oleh bahasa. Selanjutnya Dardjowidjojo (2003) menjelaskan bahwa berkomunikasi dengan tepat dan efektif melibatkan pragmatika bahasa. Pengertian pragmatika bahasa mencakup penggunaan bahasa dalam interaksi manusia. Individu tidak sekadar mengucapkan memproduksi dua kata. Kata-kata yang dihasilkan sudah lebih banyak dan kalimat yang dihasilkan merupakan kombinasi dua kata tersebut. Tahap ketiga, mulai usia 2 – 5 tahun, disebut periode diferensiasi karena anak mulai mampu memproduksi 3 kata beserta bertambahnya diferensiasi pada kelompok kata dan kecakapan verbal.
Ingram, Christensen, Veach & Webster menyatakan bahwa kemampuan untuk mengucapkan kata-kata akan berkembang perlahan-lahan pada masa pra sekolah (dalam Liebert, Wicks-Nelson, dan Kail, 1986). Anak pra sekolah mulai sering mengajukan pertanyaan tentang segala hal serta bercerita tentang apa yang telah dilakukan dan dilihat, apa yang disukai dan tidak disukai, meminta sesuatu ataupun menuntut orang lain melakukan sesuatu. Meskipun pelafalan, kombinasi kata dan perbendaharaan kata yang digunakan oleh anak belum sama dengan apa yang digunakan oleh orang dewasa, namun situasi seperti ini tentu saja dapat memberikan landasan bagi pembentukan kemampuan berbahasa anak selanjutnya. Lindfors (1980) mengatakan bahwa kemampuan bahasa yang dimiliki oleh anak persepsi anak terhadap sekolah. Dengan mendapat kesenangan dari aktivitas bermain di TK, anak akan merasa bahwa sekolah adalah hal yang menyenangkan.
Lima tahun pertama disadari oleh ahli psikologi sebagai tahap yang penting, terlebih karena periode ini banyak digunakan oleh anak untuk bermain (Sylva dan Lunt, 1988). Bermain adalah hal yang dekat dengan anak-anak. Setiap anak merasa senang dan gembira ketika bermain. Anak yang melakukan suatu permainan, baik itu dilakukan secara individual ataupun kelompok, dapat belajar berbagai ketrampilan dengan senang hati, tanpa merasa terpaksa. Setiap permainan baru yang dimainkan berarti tambahan ketrampilan baru yang dipelajari (Tedjasaputra, 2001). Ini menunjukkan bahwa ketika mempelajari suatu ketrampilan melalui permainan, anak menjadi lebih tertarik dan tanpa merasa terpaksa.
Monty P. Satiadarma (dalam Indriarso, 2003) mengatakan bahwa proses bermain dan alat-alat permainan merupakan perangkat komunikasi bagi anak- anak. Melalui permainan anak-anak belajar berkomunikasi dengan lingkungan
Tedjasaputra (2001) membedakan kegiatan bermain menjadi tiga kategori besar. Pertama, exploratory and manipulative play atau bermain menjelajah dan manipulatif yang dapat diamati sejak masa bayi. Rasa senang anak terlihat saat anak menjelajahi atau merasakan sesuatu pada bagian tubuhnya serta menyentuh benda-benda dengan jemarinya. Kedua, destructive play atau bermain merusak yang mulai tampak pada awal masa kanak-kanak (balita). Dengan merusak sendiri bangunan balok-balok yang telah disusun sebelumnya menimbulkan kesenangan tersendiri bagi anak. Ketiga, imaginative play atau make-believe play alias bermain khayal atau pura-pura yang dimulai sejak anak berusia 3 tahunan. Kegiatan ini melibatkan unsur imajinasi dan meniru perilaku orang dewasa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya bermain ibu-ibuan, dokter-dokteran, sekolah- sekolahan dan sebagainya.
Berdasarkan kategori di atas, bentuk permainan yang biasa dilakukan oleh anak pra sekolah adalah permainan pura-pura. Rusmawati (2004) mengemukakan bahwa permainan pura-pura merupakan permainan yang khas di awal masa kanak- melakukan percakapan secara verbal dan berpura-pura menjadi dokter ataupun pasien.
Vygotsky (dalam Rubin, Fein, dan Vandenberg, 1983) menyatakan bahwa jenis permainan ini memungkinkan anak mengembangkan representasi mental yaitu anak mampu memikirkan dan menggunakan simbol untuk menggambarkan suatu peristiwa atau objek yang tidak terlihat. Pemberian simbol terhadap apa yang dilihat dan dimainkan akan disampaikan oleh anak melalui bahasa, maka di sini membutuhkan kemampuan berbahasa dari anak. Dengan pura-pura menjadi dokter yang memeriksa pasien atau pura-pura menjadi guru yang menerangkan di kelas, anak mendapatkan kesempatan untuk bereksplorasi dan berbicara tentang sesuatu yang tidak hadir secara fisik dalam suasana yang santai dan menyenangkan (Suprapti, 1999).
Dari uraian-uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa permainan pura-pura dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa anak pra sekolah. Jenis permainan ini dilakukan anak pra sekolah bersama dengan teman-teman sebayanya. Anak dapat membantu perkembangan bahasa dan kematangan sosial anak. Penelitian ini menggunakan metode observasi terhadap perkembangan bahasa anak, khususnya anak yang cenderung pendiam dan sulit berkomunikasi. Selain itu, Nurnindyah, Hartati dan Hidayati (2004) menjelaskan bahwa permainan ini dapat meningkatkan perbendaharaan kata serta mempermudah anak untuk memahami apa yang dikatakan dan menangkap maksud perkataan orang lain. Penelitian ini mengukur skor verbal anak dengan menggunakan tes Wechler Preschool Primary
Scale Of Intelligence (WPPSI). Kedua penelitian terdahulu memperlihatkan
pengaruh permainan pura-pura terhadap perkembangan bahasa. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah peneliti akan meneliti pengaruh permainan jenis ini terhadap kemampuan berbahasa anak, khususnya usia pra sekolah. Dengan kemampuan berbahasa yang baik, anak tidak hanya dapat mengucapkan kata dan kalimat yang dimengerti oleh orang lain melainkan juga memahami arti dari apa yang dikatakan oleh orang lain, mempunyai perbendaharaan kata yang cukup memadai untuk mengungkapkan kemampuan berbahasa anak pra sekolah yang mendapatkan permainan pura-pura dan tanpa permainan pura-pura.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh permainan pura-pura dalam meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan dasar untuk penelitian-penelitian lain di bidang psikologi perkembangan anak, khususnya yang berkaitan dengan permainan pura-pura serta kemampuan berbahasa anak pra sekolah.
2. Manfaat Praktis
b. Para Pendidik/edukator
Diharapkan melalui penelitian ini, dapat memberikan informasi dan masukan bagi para para pendidik/edukator ketika merancang kurikulum bagi anak didik usia pra sekolah. Dalam suasana bermain, anak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara verbal, mengembangkan perbendaharaan kata dan kemampuan berbahasa lainnya. Kemampuan ini dapat dijadikan dasar bagi perkembangan prestasi akademik lainnya.
BAB II LANDASAN TEORI A. Anak Pra Sekolah
1. Definisi Anak Pra Sekolah
Periode perkembangan individu selepas masa bayi akan dilanjutkan dengan masa awal kanak-kanak. Santrock (2002) menyatakan bahwa masa awal kanak-kanak atau early childhood adalah periode yang merentang dari akhir masa bayi hingga usia kira-kira 5 atau 6 tahun. Masa awal kanak-kanak juga disebut sebagai tahun pra sekolah. Pada rentang usia ini anak mulai meluangkan waktu untuk bermain dengan teman-teman sebaya, mengembangkan ketrampilan bersekolah serta memulai karir sekolahnya dengan memasuki Taman Kanak- kanak (TK). Dalam UU RI nomor 26 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (pasal 28 ayat 3) dikatakan bahwa TK merupakan salah satu bentuk pendidikan pra sekolah dengan jalur formal. Batasan usia peserta didik atau objek ataupun situasi tertentu. Sawitri (2005) menyatakan bahwa anak pra sekolah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, khususnya pada usia 3 – 5 tahun.
Anak senang mempelajari berbagai hal dan lebih mudah untuk menyerap apa saja yang dipelajarinya.
Ahmadi dan Sholeh (2005) menjelaskan bahwa usia pra sekolah merentang dari lahir sampai kira-kira 6 tahun. Masa ini dapat terbagi menjadi dua, yakni masa vital dan masa estetik. Masa vital berlangsung sejak lahir hingga usia 2 tahun. Disini anak menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk belajar menemukan berbagai hal dalam dunianya. Masa estetik berlangsung dari usia 3 sampai 5 tahun. Pada masa ini anak menggunakan panca indra untuk mengeksplorasi dan belajar. Disini anak mulai mengembangkan kemampuan berbahasanya untuk menghadapi dunia. Anak menemukan dirinya sebagai subjek dan mampu mengadakan pemisahan secara mendasar antara dirinya sendiri sebagai subjek dan yang lain sebagai objek.
2. Beberapa ciri Anak Pra Sekolah
sekitarnya (usia menjelajah), ingin mengetahui banyak hal mengenai sebab akibat dari suatu kejadian (usia bertanya), mulai meniru orang lain tentang berbagai hal (usia meniru) serta aktivitas bermain yang melibatkan kreativitas anak (usia kreatif).
Selain pertumbuhan fisik – motorik, sosial dan kepribadiannya anak pra sekolah mengalami perkembangan yang paling menonjol pada aspek bahasa (Papalia dan Olds, 1986; Siegler, 1991). Berkembangnya kemampuan berbahasa anak pra sekolah dilihat dari perbendaharaan kata serta penggunaan kata dan kalimat yang lebih kompleks. Di periode usia ini, anak sering mengajukan pertanyaan dan permintaan serta mampu menyusun dan merangkai kalimat sederhana untuk berkomunikasi dengan teman sebaya maupun orang dewasa di sekitarnya (Papalia dan Olds, 1986)
Pikunas (1976) menyatakan bahwa imajinasi anak akan meningkat pada usia pra sekolah. Anak pra sekolah menunjukkan ketertarikannya untuk melakukan aktivitas bermain yang melibatkan daya kreativitas dan imajinasi. operasional (the preoperational stage) dan berlangsung selama periode usia 2 sampai dengan 7 tahun. Pada tahap ini anak mengembangkan proses representasi mental, yang mencakup penguasaan bahasa, bermain pura-pura, cerita imajinatif serta menggambar.
Piaget (dalam Santrock, 2002) membagi tahap pra operasional menjadi dua. Pertama, symbolic function substage atau subtahap fungsi simbolis yang terjadi di usia 2 – 4 tahun. Pada subtahap ini, anak mampu memikirkan suatu obyek meskipun obyek itu tidak hadir di hadapannya. Anak mampu mengimitasi aktivitas yang pernah terjadi sebelumnya dengan menggunakan bayangan mental terhadap aktivitas asli. Proses representasi mental ini disebut imitasi tertunda atau defered imitation (Siegler, 1991).
Kedua, intuitive thought substage atau subtahap pemikiran intuitif yang berlangsung antara usia 4 – 7 tahun. Pada subtahap ini, anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu jawaban atas semua bentuk pertanyaan. Piaget (dalam Santrock, 2002) menyebut intuitif karena anak begitu yakin tentang
Pada tahap pra operasional, kemampuan anak untuk merepresentasikan objek dan peristiwa secara mental dapat dilihat dari kemampuan berbahasa serta keterlibatan anak dalam permainan pura-pura (McDevit dan Ormrod, 2002). Anak dapat menamai suatu objek atau peristiwa dengan menggunakan kata, meskipun objek atau peristiwa itu tidak hadir di depannya. Kata-kata yang dimiliki oleh anak mewakili pikiran simbolisnya. Selain itu, anak senang melakukan aktivitas bermain fantasi dan pura-pura. Dengan menggunakan benda dan situasi, anak memerankan perilaku orang lain yang berada di sekitarnya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka yang dimaksud dengan anak pra sekolah adalah anak dengan rentang usia 2 – 6 tahun, dimana aspek perkembangan fisik-motorik, sosial, kepribadian dan fungsi kognitifnya kian meningkat. Pada periode ini biasanya anak memasuki suatu kelompok bermain (play group) dan Taman Kanak-kanak (TK). Ciri yang menonjol dari anak pra sekolah adalah berkembangnya kapasitas kognitif anak untuk merepresentasikan dunianya secara simbolis. Anak pra sekolah mulai mengembangkan kemampuan kelompok kata. Anak juga mempunyai ketertarikan untuk meniru perilaku dan pengalaman orang lain yang dimunculkannya dalam aktivitas pura-pura. Peneliti merasa bahwa dengan kemampuan ini, anak pra sekolah mampu merangkai kalimat dalam percakapan bersama dengan temannya ketika memainkan permainan pura-pura.
B. Bahasa
1. Pengertian Bahasa
Salah satu aspek penting dalam perilaku manusia adalah kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Apabila seseorang berpikir tentang komunikasi secara umum maka aspek komunikasi yang pertama kali muncul adalah bahasa verbal (Matsumoto, 1996). Lebih lanjut Matsumoto (1996) menjelaskan bahwa bahasa dapat dianggap sebagai manifestasi dan produk dari lingkungan. Selain bahasa verbal, aspek komunikasi yang lain adalah bahasa non verbal yang dapat berupa ekspresi wajah, tekanan suara, postur tubuh, pakaian
Dardjowidjojo (2003) mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lisan
arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat untuk berkomunikasi dan
berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan lingkup budayanya. Arti sistem simbol lisan merujuk pada adanya elemen-elemen beserta hubungan satu sama lain, yang membentuk suatu konstituen dengan mengikuti aturan-aturan tertentu secara hirarkis. Simbol-simbol lisan bisa berupa bunyi-bunyi, suku kata, kata, frasa, dan sebagainya. Hubungan antara simbol-simbol dengan benda, perbuatan atau keadaan yang diwakilinya bersifat arbitrer. Tidak ada keterkaitan dan tidak ada alasan mengapa suatu benda dinamakan sendok dan suatu perbuatan dinamakan mencuci. Simbol-simbol ini semata-mata merupakan konvensi atau persetujuan di antara para pemakai bahasa yakni masyarakat yang memiliki bahasa itu.
Dari konsep-konsep diatas dapat dikatakan bahwa bahasa adalah salah satu aspek dari komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pikiran dan perasaan dan dimiliki oleh anggota masyarakat budaya tertentu. Bahasa dapat pertama yang menggunakan bunyi tertentu, seperti mama, papa, dada dan sebagainya. Berk (2005) berpendapat bahwa proses perkembangan fonologi anak berlangsung selama usia 1 – 4 tahun dan berkembang lebih sempurna di usia 5 tahun. Selama belajar berbicara, anak bereksperimen dengan sistem dan pola bunyi-bunyi tertentu, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan pengucapan (mispronounciations). Anak pra sekolah mungkin mengalami kesulitan mengucapkan huruf tertentu, seperti r. Misal, kata kereta mungkin diucapkan keleta (Suprapti, 1999). Pada rentang usia 2 – 3 tahun anak sering dilatih untuk mengucapkan kata-kata dengan baik di dalam kehidupan sehari- hari hingga akhirnya mereka mampu mengucapkannya dengan tepat (Siegler, 1991; Berk, 2005).
Komponen semantik mengarah pada makna yang terkandung dan disimbolisasikan oleh bahasa (Dardjowidjojo, 2003). Menurut Berk (2005) inti dari komponen semantik adalah penggunaan dan pemahaman makna yang terkandung dalam kata secara tepat. Sebelum menginjak usia sekolah, anak telah yang dihadapi dalam situasi yang sama. Anak bisa memahami makna kata baru melalui pengulangan kata dalam konteks yang berbeda dan umpan balik yang langsung didapatkan ketika pengucapan anak keliru.
Sintaktik merujuk pada pengertian tentang tata bahasa, atau cara yang digunakan untuk menghubungkan suatu suara dengan maknanya. Komponen ini berkaitan dengan kata, frasa dan kalimat. McDevitt dan Ormrod (2002) menjelaskan bahwa pengetahuan sintaktik mengarah pada kemampuan individu untuk merangkai kata-kata menjadi kalimat yang bermakna sekaligus juga memperlihatkan hubungan kata yang satu dengan yang lainnya. Anak usia dini tanpa disadari mulai mengembangkan seperangkat aturan sintaktik sendiri melalui pengamatan terhadap pembicaraan orang lain dan pembetulan terhadap kesalahan kalimat yang dilakukannya (McDevitt dan Ormrod, 2002).
Selanjutnya Dardjowidjojo (2003) menjelaskan bahwa berkomunikasi dengan tepat dan efektif melibatkan pragmatika bahasa. Pengertian pragmatika bahasa mencakup penggunaan bahasa dalam interaksi manusia. Pragmatika atau conversational skills (Berk, 2005). Anak bisa memulai percakapan verbal yang disertai kontak mata dan merespon penutur yang lain dengan tepat dalam suatu interaksi tatap muka secara bergantian.
3. Kemampuan Berbahasa
Pikunas (1976) dan Hadisubrata (2004) menguraikan beberapa hal yang hampir sama, yang dapat dijadikan tolok ukur kemampuan berbahasa anak, yakni: (1) artikulasi atau pengucapan kata; (2) perbendaharaan kata yang dimiliki anak; (3) kemampuan menggabungkan kata-kata dalam kalimat yang sesuai dan mengandung makna; (4) pemahaman makna/arti dari apa yang diucapkan orang lain; serta (5) kemampuan untuk membuat dan melangsungkan percakapan.
Bayi sering mengeluarkan bunyi atau ocehan yang tidak mempunyai arti sebagai kata. Baru pada usia 12 bulan, anak sudah siap menirukan apa yang diucapkan oleh orang lain dan berusaha untuk mengucapkan kata-kata yang belum pernah diucapkan sebelumnya. Banyaknya kata yang dapat diucapkan dan
Menurut Hadisubrata (2004) perbendaharaan kata anak meningkat seiring dengan banyaknya produksi bunyi/suara yang diasosiasikan dengan kata, baik kata-kata baru maupun arti baru dari kata-kata lama yang diterapkan pada situasi dan konteks yang berbeda. Perbendaharaan kata yang dikuasai oleh anak dibedakan menjadi dua tipe, yakni referensial dan ekspresif. Tipe referensial mengacu pada kata-kata yang berkaitan dengan objek, orang serta gerakan- gerakan, seperti bola, permen, mama, kakak. Sedangkan tipe ekspresif mengarah pada kata-kata yang sering dipergunakan dalam pergaulan sosial, seperti terima
kasih, aku sudah selesai, maaf (Berk, 2005). Hadisubrata (2004) menjelaskan
bahwa kata-kata yang digunakan oleh anak pertama kali sebagian besar berupa kata benda (nama orang dan objek-objek di sekitarnya). Setelah anak menguasai cukup banyak kata benda, anak mulai belajar kata kerja, kata sifat, kata keterangan hingga akhirnya mempelajari kata ganti.
Anak dituntut untuk mengucapkan kata-kata yang dapat dipahami oleh orang lain dan memiliki perbendaharaan kata yang cukup memadai supaya dapat digunakan untuk menstimulasi anak untuk mengekspresikan ide/gagasan dan pengetahuan serta memperluas penggunaan kosakata yang dimiliki dengan cara mengkombinasikan antara kata-kata/ucapan dengan perilaku.
Sebelum menginjak usia 1 tahun, anak menggunakan kalimat yang terdiri dari satu suku kata yang digabung dengan gerakan tubuh. Pada usia 2,5 tahun anak mulai dapat membentuk kalimat pendek dan membandingkan objek. Anak mulai melakukan diferensiasi pada kelompok kata serta mempergunakan anak kalimat, kata kerja, dan kata ganti ketika memasuki usia 4 tahun. Anak mulai menggunakan kalimat yang terdiri dari tiga hingga tujuh kata di dalamnya. Anak juga mampu menggunakan kausalitas atau sebab akibat. Misalnya, anak bertanya dan lain sebagainya (Pikunas, 1976; M
Mengapa? Apa sebabnya?
őnks, Knoers, dan Haditono, 1999; Hadisubrata, 2004; Stern dan Stern dalam Ahmadi dan Sholeh, 2005).
Kemampuan berbahasa anak tidak hanya dilihat dari kemampuannya berbicara/berujar namun juga dari pemahaman anak terhadap pernyataan orang Proses fast-mapping itu sendiri memungkinkan anak memperluas pemahaman terhadap objek atau peristiwa yang dialaminya dengan cara menggabungkan informasi yang sudah ada dengan ciri/karakteristik dan definisi yang baru saja diperoleh, yang kemudian diterapkan ke dalam konteks yang berbeda.
Kemampuan ini kian berkembang ketika anak berada di usia 4 tahun ke atas (Lindfors, 1980; Curtis, 1998; Hadisubrata, 2004). Semakin banyak kosakata yang dapat dipahami maupun diucapkan oleh anak melalui aktivitas berbicara dan mendengarkan berarti semakin banyak pula perbendaharaan pengetahuannya. Anak memiliki perbendaharaan pengetahuan tentang diri sendiri, keluarga, sekolah, makhluk hidup dan sebagainya sehingga mendorong mereka untuk dapat menyatakan keinginan, kebutuhan, pikiran dan perasaan kepada orang lain secara lisan.
Berkembangnya kemampuan berbahasa anak juga dapat dilihat dari kemampuannya untuk membuat dan mempertahankan percakapan. Menurut Bruner (dalam Curtis, 1998) percakapan yang berlangsung ketika anak dilakukan bersama dengan dua atau lebih temannya, anak belajar untuk bergantian berbicara (turn-taking) dan saling mendengarkan satu sama lain (Curtis, 1998; Moeslichatoen, 2004).
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat lima indikator dari kemampuan berbahasa anak pra sekolah. Pertama, menyangkut artikulasi/pengucapan yang jelas. Artikulasi yang jelas mengarah pada kemampuan anak untuk memproduksi bunyi-bunyi menjadi kata yang jelas dan berarti sesuai dengan apa yang hendak disampaikan. Kedua, kemampuan berbahasa juga dapat dilihat dari perbendaharaan kata yang dimiliki oleh anak. Perbendaharaan kata atau kosakata anak dapat dikembangkan dengan melibatkan anak dalam kegiatan atau pengalaman berbahasa layaknya dalam kehidupan sehari-hari. Anak tidak sekadar mengucapkan dan memahami kata melainkan juga mengekspresikannya lewat perilaku. Indikator ketiga mengarah pada kemampuan anak untuk merangkai kata-kata di dalam kalimat sehingga mengandung makna/arti. Kalimat yang berhasil dibuat oleh anak bukan hanya satu atau dua kata bergantian dan mereka akan memberikan umpan balik baik berupa respon verbal maupun non verbal.
Perkembangan kemampuan berbahasa itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor. Nurgiyantoro (1995) menyatakan bahwa kemampuan kognitif seperti tingkat perhatian, pemahaman, ingatan, problem solving dan sebagainya dapat mempengaruhi berkembangnya kemampuan anak untuk mengungkapkan ide/gagasan. Newport, Gleitman dan Gleitman (dalam Liebert, Wicks-Nelson dan Kail, 1986) dan Brown & Moerk (dalam Jay, 2003) mengatakan bahwa ibu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama dengan anaknya sehingga interaksi antara ibu dan anak dapat mempengaruhi kemampuan berbahasanya.
Hurlock (1995) memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan berbahasa anak, yakni: (1) inteligensi, semakin cerdas anak menunjukkan tingkat penguasaan bahasanya lebih unggul; (2) besarnya keluarga, dalam keluarga kecil (anak tunggal atau dua bersaudara) orang tua memiliki lebih banyak waktu untuk berbicara dengan anaknya dibandingkan dengan keluarga besar; dan (3) status sebagai aktivitas tubuh, pengulangan pengalaman, berfantasi, dan realisasi lingkungan. Coleman dan Skeen (dalam Landreth, 2001) menyatakan bahwa permainan merupakan kegiatan yang termotivasi secara intrinsik dan anak memperoleh kesenangan serta kegembiraan ketika melakukannya.
Permainan merupakan suatu media untuk mengaktifkan berbagai kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh anak. Bagi anak, dengan bermain bersama teman maupun orang dewasa lainnya, mereka dapat memahami diri dan sekitarnya serta menemukan hal-hal yang baru. Anak memperoleh kesempatan untuk bereksplorasi dan mengembangkan diri dengan cara yang lebih menyenangkan (Pikunas, 1976; Ismail dan Rizfyanti, 2002).
Piaget (dalam Pikunas, 1976; Tedjasaputra, 2001) menjelaskan bahwa permainan berperan penting dalam perkembangan kognisi anak. Melalui permainan, anak tidak hanya menggabungkan informasi baru yang ditemuinya dalam realitas melainkan juga mempraktekkan serta mengkonsolidasikan ketrampilan baru yang diperoleh. besar; serta (6) mempunyai kualitas pura-pura dimana anak akan memiliki kerangka tertentu yang memisahkannya dari kehidupan nyata sehari-hari.
Moeslichatoen (2004) menyatakan bahwa manfaat permainan bagi anak umumnya adalah: (1) mengembangkan koordinasi otot kasar seperti berjalan, berlari, dan melompat; (2) dapat berlatih menggunakan kemampuan kognitif untuk memecahkan masalah, misalnya kemampuan membandingkan, mengukur isi dan berat; (3) meningkatkan kreativitas, anak akan mengembangkan imajinasi dan melibatkan pemecahan masalah; (5) melatih kemampuan berbahasa dengan cara mendengar beraneka ragam bunyi, mengucapkan suku kata, kata dan kalimat; (6) meningkatkan kepekaan emosinya dengan cara mempelajari bermacam-macam perasaan, mengenalkan perubahan perasaan; dan (7) dapat mengembangkan kemampuan sosialnya seperti membina hubungan dengan anak yang lain, bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat, menyesuaikan diri dengan teman sebaya, dapat memahami tingkah lakunya sendiri dan paham bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas peneliti menyimpulkan bahwa permainan adalah aktivitas tubuh yang didasari oleh motivasi intrinsik dan bertujuan untuk memperoleh kesenangan. Permainan juga merupakan bagian dari perkembangan diri anak. Selain kesenangan yang diperoleh, permainan juga dapat membentuk landasan bagi perkembangan motorik, emosi, kognitif dan sosial anak. Melalui permainan anak memperoleh pengalaman belajar mengendalikan diri sendiri dan memahami dunianya.
2. Jenis-jenis Permainan
Rusmawati (2004) membagi permainan dalam dua bentuk yakni permainan aktif dan pasif. Permainan aktif merupakan permainan anak yang melibatkan banyak aktivitas fisik atau gerakan-gerakan tubuh, dimana kesenangan dan kepuasan diperoleh melalui aktivitas yang dilakukannya sendiri.
Kegiatan bermain aktif sering muncul pada masa awal kanak-kanak. Menurut Hurlock (1995) jenis-jenis permainan yang termasuk dalam kategori ini adalah: (1) bermain spontan dan bebas yang memberikan kesempatan kepada anak untuk yang dinikmati oleh anak ketika mereka memainkan alat musik ataupun dengan bernyanyi dan menari.
Menurut Tedjasaputra (2001) permainan pasif mengarah pada permainan yang tidak terlalu banyak melibatkan aktivitas fisik anak, serta kesenangan dan kepuasan yang diperolehnya bukan berdasarkan aktivitas yang dilakukannya sendiri. Permainan ini sering muncul pada akhir masa kanak-kanak, yaitu sekitar usia pra remaja. Contohnya, aktivitas menonton film dimana anak hanya tinggal duduk untuk menikmati film tersebut. Permainan pasif juga berperan sebagai pelengkap permainan aktif dan biasanya bersifat hiburan atau amusement. Beberapa kegiatan yang dapat digolongkan sebagai bentuk permainan pasif yaitu, membaca, melihat komik, menonton televisi, mendengarkan radio dan musik (Hurlock, 1995).
Tedjasaputra (2001) membedakan kegiatan bermain menjadi tiga kategori besar. Pertama, exploratory and manipulative play atau bermain menjelajah dan manipulatif. Anak melakukan berbagai aktivitas motorik, vokal kembali menimbulkan kesenangan tersendiri bagi anak. Aktivitas ini mulai tampak pada awal masa kanak-kanak (balita). Ketiga, imaginative play atau
make-believe play alias bermain khayal atau pura-pura merupakan permainan
yang melibatkan unsur imajinasi dan meniru perilaku orang dewasa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya bermain ibu-ibuan, dokter-dokteran, sekolah- sekolahan dan sebagainya. Kegiatan bermain ini dimulai sejak anak berusia 3 tahunan.
Parten (dalam Tedjasaputra, 2001) membagi kegiatan bermain berdasarkan interaksi sosial anak, yaitu: 1) Unoccupied Play mengarah pada kegiatan yang sebenarnya belum dapat dikatakan sebagai kegiatan bermain, melainkan anak hanya melakukan gerakan-gerakan dan mengamati kejadian sekitar yang menarik perhatiannya ataupun menyibukkan diri dengan anggota tubuhnya.
Misalnya, berkeliling, naik turun kursi, jalan-jalan serta mengikuti orang lain. dalam kegiatan bermain tersebut. Kegiatan ini umumnya tampak pada anak berusia 2 tahun.
4) Parallel Play atau bermain pararel adalah kegiatan bermain yang terjadi pada saat dua atau lebih anak yang bermain dengan jenis alat permainan yang sama dan melakukan kegiatan yang sama namun tidak ada interaksi di antara mereka. Anak melakukan kegiatan pararel bukan kerja sama.
Contohnya dua anak masing-masing bermain bermain balok dan membangun kreasinya sendiri, tidak menunjukkan adanya kerjasama untuk membangun sesuatu. 5) Assosiative Play atau bermain asosiatif yaitu kegiatan bermain yang ditandai dengan adanya interaksi, saling tukar alat permainan namun belum melibatkan kerja sama dan tidak ada pemusatan terhadap suatu tujuan. Misalnya, anak sedang menggambar, mereka saling memberi komentar terhadap gambar, berbagi pensil warna namun kegiatan menggambar tetap dilakukan sendiri-sendiri. bertingkah laku seperti dalam dunia nyata (Hurlock, 1995). Dalam permainan ini anak tidak hanya memerankan peran tertentu tapi juga melibatkan beberapa peralatan/benda yang menunjang permainan (Suminar, 1997). Permainan ini dapat menggambarkan keinginan, perasaan dan pandangan anak mengenai dunia sekelilingnya. Dalam permainan ini, anak kerap kali mengubah identitas, cara bicara dan berpakaian maupun melakukan tindakan yang sama sekali berbeda dengan perilakunya sehari-hari. Minat untuk memainkan permainan ini dimulai pada usia 1,5 – 2 tahun dan berlangsung hingga 6 – 7 tahun. Puncak permainan pura-pura terjadi di usia 4 tahunan karena anak makin senang bergaul dengan anak lain terutama yang usianya sebaya. Permainan pura-pura berkembang menjadi lebih sosial dan kooperatif seiring dengan meningkatnya minat anak untuk bermain bersama teman sebayanya (Rubin, Fein, dan Vandenberg, 1983; Tedjasaputra, 2001; Rusmawati, 2004).
Tema dalam permainan pura-pura biasanya berkaitan dengan (Moeslichatoen, 2004): (a) kehidupan keluarga, misalnya mengatur perabot bermain dokter-dokteran ada yang berperan sebagai dokter yang membawa stetoskop, sebagai pasien yang sedang sakit perut. Pasien yang tadinya sakit perut menjadi sembuh setelah diperiksa dan diberi obat oleh dokter.
Ciri yang kedua, anak mempergunakan bahasa verbal sebagai media transformasi simboliknya. Untuk menjelaskan arti dari transformasi simboliknya terhadap subyek, obyek maupun situasi tertentu, anak melakukan komunikasi verbal berupa percakapan yang berlangsung di antara pemain. Anak juga berdiskusi dengan temannya untuk menentukan peran dan alat permainan yang digunakan serta membentuk skenario atau jalan cerita yang sesuai dengan tema permainan.