KONSEP DIRI SEORANG REMAJA YANG BERASAL DARI KELUARGA BROKEN HOME SUATU STUDI KASUS Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

  KONSEP DIRI SEORANG REMAJA YANG BERASAL DARI KELUARGA BROKEN HOME SUATU STUDI KASUS Skripsi

  Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Bimbingan dan Konseling Oleh:

  Siprianus Lita Lalu NIM: 011114052

  PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008

  

MOTO

Cahaya Terang Kekalahan

“Tidak sedikit manusia yang di bawah ketempat hidup yang

mengagumkan bernama rendah hati, justru karena kalah berulang-ulang,

  

Kesempurnaan juga sama, tidak ada satupun kesempurnaan yang tidak

melalui tahap salah, gagal, kalah, salah, gagal, kalah,

dan bahkan sekali lagi kalah”

(Gede Prama)

  

PERSEMBAHAN

Dengan Nama Tuhanku Jesus Kristus Sahabat semua orang, yang setia mendengar setiap jeritan hatiku disaat ku terjatuh, menemaniku dikala sendiri tiada siapa pun, salalu mengubah dukaku menjadi suka, membuat hari -hariku penuh senyum dan canda tawa, serta menjadikan banyak nujizat dalam hidupku, Bunda Maria “mater micaeri cordiae” setia menamaniku dalam doa Maka kupersembahkan skripsi ini untuk yang Tercinta: 1. Papa Victor Djuani dan Mama Yulita Dhili 2. Kakakku, kedua adaikku serta Keponakanku 3. Sahabat-sahabatku yang selalu menemaniku

  Segala Yang Ter j adi Dalam Hidupku I ni

  

  Adalah Sebuah Mist er i I llahi Per ihnya Cobaan Hanya Uj ian Kehidupan”

  (Ar i Laso)

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Siprianus Lita Lalu Nomor Mahasiswa : 011114052

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

  

KONSEP DIRI SEORANG REMAJA YANG BERASAL DARI

KELUARGA BROKEN HOME SUATU STUDI KASUS

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupaun memberikan royalty kepada saya selamA tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyatan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 1 April Maret 2008 Yang menyatakan (Siprianus Lita Lalu)

PERNYATAAN HASIL KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini, tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, selayaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 19 Maret 2008 Penulis

  (Siprianus Lita Lalu)

  

ABSTRAK

Konsep Diri Seorang Remaja Yang Berasal Dari Keluarga Broken Home

Suatu Studi Kasus

Siprianus Lita Lalu

  

011114052

  Penelitian ini mengenai konsep diri dari seorang remaja perempuan yang berasal dari keluarga broken home. Subjek penelitian adalah seorang remaja perempuan yang berusia 20 tahun. Saat ini tecatat sebagai mahasiswi semester 5 pada salah satu universitas swasta di Yogyakarta.

  Jenis penelitian adalah deskriptif-kualitatif, dengan desain penelitian studi kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi, metode wawancara informasi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada perbedaan konsep diri subjek, yaitu antara diri nyata dan diri ideal. Subjek menggambarkan diri nyatanya sebagai remaja yang tidak berguna, tidak berharga, anak haram, remaja yang malas, yang tidak memiliki kemampuan, remaja yang tidak memiliki masa depan, remaja yang bodoh, yang cepat putus asa. Diri idealnya digambarkan dirinya sebagai remaja yang berharga, pribadi berguna bagi keluarga, memiliki kemampuan atau potensi sehingga dapat menyelesaikan studi dan dapat gelar sarjana, dapat menjadi contoh bagi adik-adiknya. Secara fisik subjek merasa dirinya cantik. Adanya perbedaaan konsep diri nyata dan konsep diri ideal menyebabkan subjek mengalami tekanan emosional, seperti merasa kecewa, sedih, takut, cemas, membenci diri sendiri, mudah tersinggung, menjadi orang yang pasif, pesimis akan masa depan.

  Pendekatan konseling Person Centered Therapy tepat untuk membantu klien karena konsep pokoknya mengenai teori diri atau konsep diri. Pelaksanaan konseling sebagai upaya untuk membantu subjek menyadari adanya perbedaan antara konsep diri ideal dengan diri nyata, dan membantu subjek untuk mencapai konsep diri ideal, sehingga mampu menjalani hidup dan mengaktualisasikan diri. Setelah melakukan proses wawancara konseling secara mendalam akhirnya subjek dapat mencapai konsep diri ideal yang diharapkan.

  Konsep diri ideal yang tercapai dapat terlihat dari sikap yang ditunjukkan subjek, yaitu sudah tidak terlihat sedih, dapat menerima keadaan keluarganya, sudah bergaul dan berkumpul dengan teman-teman baik di kampus maupun di kos, tidak terlihat menyendiri, berani berbicara dengan lawan jenis atau teman pria di kampus, berani bertanya hal yang dirinya belum tahu, menyibukan diri dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah, mengatur jam belajar, mengisi waktu luangnya dengan membaca. Setalah subjek mencapai konsep diri yang ideal maka proses konseling diakhiri.

  

ABSTRACT

The Self Concept Of Teenager Who Come From A Broken Home Family

A Case Study

Siprianus Lita Lalu

  

011114052

  This research was on the self concept of teenager who comes from a broken home family. The subject in this research was a teenager by the age 20 years old. Nowadays, he is listed as university student in 5 semesters in one of private universities in Yogyakarta.

  The type of this research was descriptive-qualitative, by research design of case study. The method of data collection used was observation method, information interview method. From the result of this research, it was known that there was a difference on self concept of subject, i.e. actual self concept and ideal self concept. Actual self, the subject describes herself as an idle teenager, unmeaning, bastard, lazy teenager, who has no capability, a teenager who has no future, stupid teenager, who easily discouraged. Meanwhile ideal self is subject describe herself as a meaningful teenager, meaningful personality toward her family, and has capability or potential in order de could achieve master degree. The existence of emotional depression, such as feeling broken- hearted, sad, afraid, worry, hate herself, sensitive, become passive character, and become pessimist about her future.

  Counseling approach of Pearson Centered Therapy is appropriate to help the counselee because the primary concepts is concerning on self theory or self concept. The implementation of counseling as an effort to help the subject to realize the existence of difference between the ideal self concept, thus she becomes able to lives her life and actualis herself. After conducting a process of interview, finally the counseling could routinely achieve ideal self concept she used to hope.

  The ideal self concept which is displayed by the subject, i.e.she hasn’t been seen sad because she could accept her familiy condition for this time, she begun to associate and collect with her best friends in campus or in boarding house, she seems to begin to make conversation intimately, doesn’t have to drawing back of herself, she begun more brave to talk with opposite sex or male classmates in campus, she greets her friend, gives smile and brave to ask about something she never knew before, begun to makes busy of herself by doing subject tasks, and she regularly rules her studying time, she begun to fulfilling or her leisure time by reading. After the subject achieve ideal self concept, thus the counseling process was ended.

KATA PENGANTAR

  Puji Syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, atas rahmat-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak, yang telah mendukung dan membantu dalam proses penulisan skripsi ini:

  1. Dr. M.M Sri Hastuti, M.Si., Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling dan pembimbing II, yang membimbing dan memeriksa skripsi ini serta memberi saran kepada penulis.

  2. Drs. TA. Prapancha Hary, M.Si., pembimbing I, yang membimbing, dan memeriksa skripsi ini serta memberi saran kepada penulis.

  3. YM, subjek penelitian ini, dengan niat, motivasi dari dirinya, secara terbuka mengungkapkan persoalan hidupnya, serta mau berproses keluar dari persoalan yang menghambat dirinya.

  4. Sr Monika PBHK, Sr Natalia (Almarhum Kak Date Gana), Sr Cipry CB, Sr Gaby dan Sr Agus SCMM, Br Tony SVD, Br Triantoro SCJ, Br Yos MSC, Sr Gabby OP, terimakasih senua perhatian, ketika saya mengalami kesulitan dan kebersamaan kita selama studi.

  5. Arny, Mala, Okta, Maya, Deny, Anas Juwita, Carly Golfried, Bety, Page, Siwi, Tina, Erawati, Erika, Ola, Nancy, Humam, Romo Emil, Fr Frans, Nida, Faustin, Dedy, Titut, Lia, Hans Lamen, Novy, Noer, Endera, Harry, Mega, Uningtias, Supardi, Terima kasih kalian sudah menjadi teman dan sahabatku.

6. Danang, Endar, Azis, Sugeng FIP UNY, Topan Kimia UPN, Anan TI

  SADHAR, Fian FISIP UGM, dan Santo Ananias, terimakasih untuk sharing pengalaman serta perjuangan kita di UPJP Community.

  7. Ikatan Keluarga Aesesa Yogyakarta (IKAYO), yang telah percayakan saya menjadi Ketua, terimakasih untuk Azi, Kae, Weta, moko doalami buat kasih, kekeluargaan yang sudah kita lalui bersama baik suka maupun duka.

  8. Adik-adikku di Paduan Suara SABANA VOICE Yogyakarta, terimakasih untuk persaudaraan, selama kita nyanyi bersama-sama, tempat kita berbagi canda dan tawa, “KATONG SEMUA BERSAUDARA.. E…..”.

  9. Semua kekasih hati yang pernah singgah datang dan pergi mengukir cinta dalam hatiku selama ini, Cinta… beta cinta se… Sayang… beta sayang se… Penulis berha rap skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca skripsi ini.

  Yogyakarta, 19 Maret 2008 Penulis

  (Siprianus Lita Lalu)

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL………………………………………………………………i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………..ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………iii HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………...iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………..…………………v ABSTRAK………………………………………………………………...……...vi

  

ABSTRACT ..…………………………………………………..………………….vii

  KATA PENGANTAR…………………………………..………………………viii DAFTAR ISI………………………………………………………………………x

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...1 B. Rumusan Masalah…………………..……………………………………10 C. Tujuan Penelitian………………..……………………………………….11 D. Manfaat Penelitian……………………………………………………….11 E. Definisi Operasional………...……………………………………………11 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Masa Remaja…………..…………………………………………………13 1. Pengertian……………………………………………………………13 2. Ciri-ciri Masa Remaja…………………………………...…………..14 3. Tugas Perkembangan Masa Remaja………………………...………17

  B.

  Konsep Diri………………………………………………………………22 1.

  Pengertian……………………………………………………………22 2. Perkembangan Terbentuknya Konsep Diri………………………….23 3. Fakto-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Remaja…………….25 4. Penggolongan Konsep Diri……………………………………….....27 C. Keluarga Broken Home…………………………………………………..32 1.

  Pengertian Keluarga………………………………………...……….32 2. Pengertian Keluarga Broken Home………………………………….34 3. Penyebab Timbulnya Keluarga Broken Home……………………....35 4. Dampak Keluarga Broken Home…………………………………….42 D.

   Person Centered Therapy (Konseling Berpusat pada Klien)..…………...46

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian…………………………………...………………………57 B. Subjek Penelitian…………………………………………………………58 C. Sumber Data……………………………………………………………...58 D. Metode Pengumpulan Data……………………………………...……….58 1. Observasi………………………...…………………………………..58 2. Wawancara Informasi…………………...…………………………..59 E. Prosedur Tahap Persiapan Dan Pelaksanaan……………………………..59 F. Analisis Data……………………………………………………...……...59 1. Deskripsi Umum Kasus……………………………………………...59

  3. Sintesis………………………………………………………………60 G.

   Pembahasan………………………………………………………………60 1.

   Diagnosis…………………………………………………………….60 2. Prognosis…………………………………………………………….60 3. Treatment (dengan konseling)……………………………………….61 H.

  Evaluasi Tindak Lanjut………………………………………...………...61

  BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum Kasus…………………………………………………..62 B. Analisis…………………………………………………...………………64 1. Lingkungan Keluarga………………………………………………..64 2. Lingkungan Sosial, Ekonomi, Budaya, Tempat Tinggal……………73 3. Pertumbuhan Jasmani dan Kesehatan Subyek………………………73 4. Perkembangan Kognitif Subyek……………………………………..73 5. Lingkungan Sosial…………………………………………………...74 C. Sintesis…...…………………………………………………………….....77 D. Pembahasan………………………………………………………………78 1. Diagnosis…………………………………………………………….78 2. Prognosis…………………………………………………………….79 E. Treatment (dengan konseling)….……………………………..………….81 F. Skema Konseling Person Centered Therapy…………………………….82 G. Evaluasi Tindak Lanjut…………………………………………………..95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.……………………………………….…………………….97 B. Saran…………………………………………………………………….98 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..100 LAMPIRAN…………………………………………………………………….103

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga terbentuk karena adanya ikatan perkawinan, yang lazim

  disebut dengan pernikahan antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang kemudian menjadi suami- istri. Ikatan perkawinan tersebut merupakan suatu ikatan yang paling erat, lembut, sakral dan suci. Dalam perkawinan banyak mengandung resiko dan tanggung jawab berat yang harus dilaksanakan oleh suami dan istri. Perkawinan dikatakan banyak resiko, karena perkawinan itu bukan semata- mata merupakan cara manusia menumpahkan kepuasan nafsu biologisnya saja, melainkan sebagai pemenuhan dari fungsi kemanusiaan terhadap kebutuhan untuk saling mencintai.

  Dari suatu ikatan perkawinan setiap pasangan suami- istri mendambakan keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal. Ini sejalan dengan Undang-Undang yang ditetapkan oleh Pemerintah Tentang Pernikahan, No: 1 Tahun 1974, Bab I, pasal 1 (dalam Manurung dan Hetty, 1995:59) yang berbunyi :

  Pernikahan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami- istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  Selanjutnya dalam Undang-Undang tentang Pernikahan tersebut dijelaskan bahwa, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri harus saling membantu dan untuk mencapai kesejahteraan spritual dan material. Perlunya pengertian dan tujuan yang jelas yang hendak dicapai dalam perkawinan itu, guna menghindari terjadinya konflik dalam rumah tangga, sehingga, percekcokan atau pertengkaran yang mengakibatkan perceraian dalam keluarga dapat dihindari. Lebih dari itu jika konflik yang merebak di dalam keluarga itu dapat dihindari maka bukan saja peluang bagi terjadinya perceraian dapat diperkecil, melainkan bisa jadi pembentukan keluarga yang bahagia, sejahtera kekal dapat terealisir dengan baik.

  Keluarga adalah lingkungan sosial, anak mulai tumbuh dan berkembang. Anak mulai belajar bersosialisasi dengan anggota keluarganya.

  Dalam keluarga orang tua berperan besar dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Melalui keluarga anak dilahirkan, dididik dalam rangka proses sosialisasi sehingga memiliki jiwa sosial. Hal ini menunjukan bahwa ayah dan ibu memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kehidupan anak, ketika masih kanak-kanak, remaja hingga perjalanan menuju kedewasaan, baik kedewasaan secara fisik, mental emosional, sosial, maupun spiritual.

  Keberhasilan orang tua dalam menjalankan tugasnya akan menjadikan anak merasa aman, terlindung. Perkembangan remaja akan optimal apabila remaja bersama keluarganya, karena kontak dengan keluarga dalam rumahnya dapat membentuk watak, rasa percaya diri, dan kemandiriannya. Sobur (1987:3) mengatakan bahwa, apabila orang tua memenuhi kebutuhan remaja, baik kebutuhan psikologi seperti makanan, dan kebutuhan psikis, seperti dikasihi, dan rasa aman melalui perawatan, asuhan, yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan remaja ke arah gambaran kepribadian yang harmonis dan matang.

  Perubahan ekonomi, sosial, budaya dewasa ini telah banyak memberi hasil yang menggembirakan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun tidak sedikit perubahan-perubahan tersebut membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi sebagian keluarga, karena ada gejala perubahan cara hidup dan hubungan dalam keluarga yang menyebabkan berpisahnya suami dan istri dengan anak dalam jangka waktu yang lama. Ini disebabkan oleh adanya kecenderungan ambisi karier dan materi yang tidak terkendali dari para orang tua, yang lebih menyibukkan diri dengan kerjanya di luar rumah. Kondisi inilah yang menyebabkan komunikasi dan interaksi antar sesama anggota keluarga menjadi kurang intens. Suasana keluarga menjadi kurang kondusif bagi perkembangan fisik dan kejiwaan anak secara normal. Bahkan hubungan keluarga yang semula kuat dan erat cenderung longgar dan rapuh, sehingga perselisihan dan percekcokan tidak dapat dihindari akibatnya semua anggota keluarga berada dalam suasana yang menegangkan dan tidak harmonis. Suasana ini akan mempengaruhi perasaan dan pikiran semua anggota keluarga menjadi sedih dan tertekan akhirnya mencari kompensasi. Kadang-kadang ketidakharmonisan inilah yang membawa suami dan istri ke jurang perceraian. Perceraian ini akan membawa korban anak-anak yang tidak bersalah. Perceraian adalah suatu tindakan yang rukun, saling mengasihi, dan saling menyayangi serta penuh kedamaian. Ini tentu hal yang paling di butuhkan anak-anak dalam keluarga. Belakangan ini perceraian bukan menjadi barang baru di lingkungan masyarakat. Perceraian dianggap sebagai solusi seperti yang kita lihat pada media tulis maupun elektronik setiap hari. Padahal hal ini tentu saja memberikan pengaruh buruk pada anak-anak, khususnya efek psikologis dan lingkungan sosialnya.

  Masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri. Remaja sangat mengharapkan penerimaan dari orang tua dan orang-orang dewasa disekitarnya. Penerimaan yang mereka alami akan membantu pemahaman dan pengertian mereka terhadap dirinya sendiri. Mereka akan belajar menerima perubahan dalam dirinya, bersikap solider dengan perasaan yang sedang dialaminya sehingga akan membantu remaja semakin mengenal dan memahami dirinya sendiri. Sebaliknya bila dalam masa transisi ini orang- orang disekitarnya tidak menerima remaja, maka remaja akan merasa bingung, kesepian, tidak nyaman dengan dirinya sendiri, merasa berbeda dengan orang sekitarnya, sehingga membuat dirinya tidak menerima perubahan itu dan berusaha untuk menolak pengalaman-pengalaman dan perasaan yang sedang dialami, dengan demikian dapat mengganggu perkembangan dan pemahaman tentang dirinya.

  Hidup dalam kondisi keluarga yang tidak harmonis, membuat remaja tidak mendapatkan arahan untuk bertindak yang sewajarnya. Di dalam keluarga yang tidak harmonis perhatian dan kasih sayang terhadap anak-anak memerlukan lingkungan keluarga yang baik, yaitu keluarga yang utuh serta harmonis yang di dalamnya dapat dilakukan upaya pengembangan kepribadian remaja secara lebih dewasa (Sudarman, 1984:135).

  Selanjutnya Sudarman (1984:136) menambahkan kondisi remaja yang berasal dari keluarga broken home menjadi sosok yang tidak berharga, dan kurang percaya diri. Ia tidak dapat menemukan kebahagiaan, perlindungan dan ketenteraman jiwa. Bagi remaja hal ini dapat menimbulkan tekanan psikologis seperti ketegangan, kecemasan, dan kekecewaan. Keadaan ini yang memberi pengaruh negatif bagi perkembangan sosial dan jiwa remaja. Hal ini dapat mengarahkan remaja berperilaku negatif yang dapat merugikan diri remaja sendiri maupun mengganggu kehidupan masyarakat. Bahkan pelampiasannya bisa dalam bentuk tindakan-tindakan kenakalan remaja seperti perkelahian, perampasan, penganiayaan, bahkan penggunaan obat-obat terlarang minum- minuman keras, merokok, menyontek, bolos sekolah, sebagai pelarian.

  Coopersmith (dalam Pudjijogyanti, 1985:17) berpendapat bahwa kondisi keluarga yang buruk dapat menyebabkan konsep diri yang rendah pada remaja. Yang dimaksud dengan kondisi keluarga yang buruk adalah tidak adanya pengertian antara orangtua dan anak, tidak adanya keserasian hubungan ayah dan ibu, orangtua yang menikah lagi, sikap ibu yang tidak puas dengan hubungan ayah-anak, dan kurangnya sikap menerima dari orangtua terhadap anak mereka.

  Keutuhan keluarga merupakan kondisi lingkungan yang Menurut Sudarman, (1984:155) karena dalam keluarga yang utuh akan memiliki kebulatan perilaku dan kebulatan perhatian orang tua untuk membimbing dan mengarahkan remaja. Keutuhan keluarga merupakan lingkungan positif yang mempercepat perkembangan yang dicapai seorang remaja, dan sumber utama pembentukan identitas dan konsep diri remaja Remaja biasanya mengembangkan identitas personalnya melalui hubungan dan interaksi mereka dengan orang tuanya, dan anggota keluarga yang lain.

  Bersamaan dengan hal tersebut, muncul perkembangan perasaan-perasaan pada remaja. Tingkat perasaan yang dimiliki remaja seperti merasa percaya diri, sukses, berguna dan diinginkan, biasa tergantung pada banyaknya waktu dan perhatian yang diberikan keluarga terhadap mareka, sehingga memiliki konsep diri yang positif (Reiss dan Haistead, 2004:227).

  Lingkungan keluarga broken home akan mempengaruhi pembentukan dan pengembangan konsep diri remaja. Pudjijogyanti, (1985:18) menyatakan bahwa konsep diri yang tinggi pada anak dapat tercipta apabila kondisi keluarga ditandai dengan adanya integritas dan tenggang rasa yang tinggi antara anggota keluarga. Hurlock, (1978:261) menambahkan hubungan keluarga yang memburuk ikut memperburuk konsep diri remaja. Remaja yang merasa dirinya berharga akan mengembangkan konsep diri ke arah positif tetapi apabila menganggap dirinya tidak berharga maka akan mengembangkan konsep diri ke arah yang negatif. Padahal perkembangan konsep diri memegang peranan penting dalam menentukan berhasil atau tidak hidupnya. keluarga. Konsep diri bukan sesuatu yang alamiah, tetapi merupakan hasil pengalaman belajar seseorang. Konsep diri terbentuk dari pengalaman individu dalam berinteraksi dengan individu lain. Tanggapan yang diterima dari individu lain dijadikan cermin bagi individu dalam memandang dan menilai dirinya sendiri (Pudjijogyanti, 1985:8).

  Konsep diri adalah keseluruhan pandangan, gambaran, keyakinan dan penilaian orang tentang dirinya. Konsep diri merupakan inti salah satu pola kepribadian remaja yang harus dikembangkan. Menurut Jersild (1975: 172), konsep diri remaja perlu dikembangkan karena konsep diri menentukan kemampuan seseorang untuk melakukan interaksi sosial, penyesuaian diri dengan lingkungan. Interaksi sosial, dan penyesuaian diri yang baik menyebabkan remaja merasa bahagia dan makin berani mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya. Konsep diri merupakan inti kepribadian yang memengaruhi tingkah laku remaja dan cara-cara remaja untuk menyesuaikan diri dengan situasi hidup (Sinurat, 1993:3).

  Slameto (1993:187) berpendapat bahwa konsep diri yang positif merupakan dasar terbentuknya kepribadian yang sehat. Individu yang memiliki konsep diri yang positif lebih mudah mengembangkan diri dan memiliki aspirasi yang realistis serta dapat melakukan sosialisasi secara wajar.

  Remaja yang memiliki konsep diri yang positif mampu berperilaku positif terhadap segala permasalahan yang dihadapinya dan akan mampu mengendalikan dorongan agresif bahkan akan terhindar dari kecemasan, orang lain. Remaja yang menpunyai konsep diri yang negatif cenderung memunyai pengetahuan yang negatif tentang dirinya, menpunyai pengharapan yang tidak realistis dan menilai dirinya dengan rendah, bahkan dapat meremehkan dan menolak dirinya.

  Karena konsep diri memiliki peranan penting dalam kehidupan, maka peneliti merasa penting untuk membantu remaja dari keluarga broken home untuk mengembangkan konsep dirinya. Peneliti menggunakan studi kasus dengan melakukan konseling pendekatan Person Centered Therapy, sehingga remaja mampu mengembangkan konsep diri dan seluruh potensi yang dimiliki untuk meraih keberhasilan dalam hidupnya. Peneliti menggunakan studi kasus karena dalam studi kasus peneliti dapat mempelajari secara keseluruhan fakta- fakta yang berpengaruh dalam kehidupan seorang remaja dari keluarga broken yang mendukung dalam pembentukan konsep dirinya melalui langkah-

  home

  langkah dalam prosedur studi kasus, yang pada akhirnya dilakukan pelaksanaan konseling.

  Peneliti menggunakan pendekatan Person Centered Therapy atau konseling teori diri (self theory). Konsep pokok yang mendasari pendekatan ini adalah mengenai konsep-konsep diri (self), aktualisasi diri. Menurut Rogers (dalam Surya, 2003:51) inti konseling yang berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri. Hal itu terdiri atas unsur-unsur persepsi terhadap karakteristik dan kecakapan seseorang, pengamatan dan konsep diri dalam hubungan dengan dengan pengalaman dan objek, tujuan, cita-cita, yang dipandang mempunyai kekuatan positif dan negatif. Diri merupakan atribut yang dipelajari yang membentuk gambaran individu sendiri.

  Roger (dalam McLeod, 2006:187) konep diri dengan teori Person

  

Centered menyatakan bahwa seseorang tidak hanya memiliki konsep atau

  definisi diri sebagaimana saya sekarang” tetapi juga sebagai bentuk ideal yang saya inginkan, dan tujuan Person Centered Tehrapy adalah untuk memungkinkan seseorang bergerak ke arah definisi diri idealnya. Melalui konseling dengan menggunakan pendekatan Person Centered Therapy, konselor diharapkan dapat membantu remaja untuk menghantarkan ke refleksi diri menjadi pribadi yang berfungsi secara utuh secara sempurna (fully

  

functioning person). Hal ini ditandai oleh keterbukaan terhadap pengalaman,

  percaya kepada organisme sendiri, dapat mengekspresikan perasaan- perasaannya secara bebas, dan bertindak secara mandiri. Pemahaman fully

  

functioning ini merupakan tujuan kehidupan manusia, yang pada akhinya

  menjadikan remaja lebih menerima dirinya sendiri dan dapat menentukan arah hidupnya sendiri ketika memasuki kehidupan di masyarakat.

  Winkel dan Hastuti, (2004:401) berpendapat bahwa untuk memudahkan dan memperlancar proses yang berlangsung dalam diri konseli pada saat konseling, konselor menciptakan kondisi yang mendukung akan berlangsung suatu proses dalam diri konseli yang akan menghasilkan perubahan dalam konsep diri dan dalam tingkah laku. Kond isi-kondisi itu

  

positive regard) ; pemahaman terhadap apa yang diungkap oleh konseli sesuai

  dengan kerangka acuan konseli sendiri (phenomenal field); seolah-olah konselor mengenakan kepribadian konseli (emphatic understanding); penerimaan, penghargaan, dan pemahaman itu dapat dikomunikasikan kepada konseli dalam suasana interaksi pribadi yang mendalam, sehingga konseli merasakan semua itu sungguh-sungguh ada; kejujuran, keikhlasan, dan keterbukaan mengenai apa yang dihayati oleh konselor sendiri tentang konseli

  Kondisi-kondisi ini diperlukan dan sekaligus (counselor congruence). menjamin keberhasilan proses konseling.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang penelitian maka penulis mengajukan masalah penelitian, yaitu: 1) Bagimanakah keadaan lingkungan keluarga broken home dalam pembentukan konsep diri seorang remaja? 2) Bagaimanakah efektifitas pendekatan konseling Person Centered Therapy dalam pengembangan konsep diri seorang remaja yang berasal dari keluarga broken home?

C. Tujuan Penelitian

  Sesuai dengan rumusan masalah maka tujuan penelitian, yaitu: 1)

  Untuk mengetahui keadaan lingkungan keluarga broken home dalam pembentukan konsep diri seorang remaja.

2) Menerapkan teori pendekatan konseling Person Centered Therapy.

D. Manfaat Penelitian

  Ada beberapa manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu: 1. Manfaat teoretik:

  Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai keadaan keluarga broken home, dalam pemebntukan konsep diri seorang remaja, sehingga pembaca dapat mengetahui bagaimana memerlakukan dan bersikap terhadap remaja yang berasal dari keluarga broken home.

2. Manfaat praktis:

  Mampu menggunakan teori konseling Person Centered Therapy yang dan mengaktualisasi kemampuan yang dimiliki secara efektif .

E. Definisi Operasional

  1) Studi kasus adalah suatu metode untuk mempelajari keadaan dan perkembangan seseorang individu secara utuh dan mendalam dengan tujuan memahami keberadaan dirinya dengan lebih baik dan membantunya dalam perkembangan selanjutnya.

  2) Konsep diri adalah keseluruhan gambaran/ pandangan/ keyakinan/ dan penghargaan/ perasaan seseorang tentang dirinya sendiri. Diri ideal adalah persepsi individu tentang dirinya seperti yang dicita-citakan. Diri nyata adalah persepsi individu tentang dirinya yang dialaminya

  3) Remaja adalah individu yang telah melewati masa anak dan akan menuju masa dewasa, yang diikuti dengan perubahan-perubahan yang cukup mencolok dalm bidang fisik, psikis, dan sosial

  4) Keluarga adalah kesatuan dari sejumlah orang yang saling berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka menjalankan peranan sosial mereka sebagi suami- istri, ibu, bapak, anak-anak, anak perempuan, anak laki- laki, dan saudara perempuan, saudara laki- laki. Peranan ini ditentukan oleh masyarakat, tetapi peranan dalam tiap keluarga diperkuat oleh perasaan- perasaan. Perasaan-perasaan sebagian berkembang berdasarkan tradisi dan sebagian berdasarkan pengalaman dari masing- masing anggota keluarga.

  5) Keluarga broken home adalah keluarga yang disebabkan oleh perceraian diantara bapak dan ibu, hidup terpisah, poligami, ayah mempunyai simpanan perempuan lain, keluarga yang diliputi konflik keras.

  6) Person Centered Therapy adalah corak konseling yang menekankan peranan konseli sendiri dalam proses konseling, dan individualitas konseli yang setaraf dengan individualitas konselor.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Masa Remaja 1. Pengertian Masa remaja sering disebut sebagai masa adolesen, yang berasal dari kata adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Kedewasaan atau kematangan ini mencakupi kematangan fisik, mental, emosional, dan sosial (Suadirman, 1995:121). Sarlito (1989:14) menjelaskan bahwa untuk masyrakat Indonesia, masa

  remaja berlangsung usia antara 11-14 tahun, sedangkan menurut WHO tahun 1974 (dalam Sarlito, 1989:9) remaja adalah suatu masa di mana:

  1. Individu berkembang dari saat pertama ia menunjukan tanda-tanda seksual sekunder sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

  2. Individu mengalami perkembangan psikologik pola identifikasi dari kanak-kank menjadi dewasa.

  3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

  Sumardi dkk, (1975:5) masa remaja adalah suatu masa yang paling banyak mengalami perkembangan, sehingga membawa anak pindah dari masa anak-anak menjadi manusia yang dewasa. Perkembangan-perkembangan yang terjadi pada masa ini meliputi segala segi kehidupan manusia, yaitu jasmani, rohani, pikiran dan sosial.

2. Ciri-Ciri Masa Remaja

  Adapun ciri-ciri masa remaja menurut Hurlock, (1980:207): a. Masa remaja sebagai periode yang penting.

  Bagi sebagian besar anak muda usia antara 12-16 tahun, merupakan tahun yang penuh kejadian yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan fisik merupakan hal yang penting karena perkembangan fisik yang cepat disertai dengan cepatnya perkembangan mental terutama pada awal masa remaja. Perkembangan fisik pada remaja mengakibatkan seorang remaja perlu melakukan penyesuaian mental dan membentuk sikap, nilai dan minat yang baru dalam melakukan kegiatannya.

  b.

  Masa remaja sebagai periode peralihan. Peralihan tidak berarti lepas dari kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelumnya, melainkan berkembang dari satu tahap perkembangan ketahap perkembangan berikutnya. Artinya yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada masa sekarang dan yang akan datang. Kadang perlu disadari bahwa apa yang telah terjadi pada masa anak akan meninggalkan bekas dan mempengaruhi masa remaja.

  c.

  Masa remaja sebagai periode perubahan. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ada tiga perubahan yang sama yang hampir bersifat universal, yaitu:

  1) Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.

  2) Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, menimbulkan masalah baru.

  3) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

  d.

  Masa remaja sebagai usia bermasalah.

  Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit di atasi, baik oleh anak laki- laki maupun anak perempuan karena: 1)

  Sepanjang masa kanak-kanak masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. 2)

  Para remaja merasa diri mandiri sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru- guru.

  e.

  Masa remaja sebagi masa mencari identitas.

  Seperti dijelaskan Erikson (dalam Hurlock, 1980:207) identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, dan apa peranannya dalam masyarakat. Remaja memertanyakan apakah ia seorang anak atau seorang dewasa; apakah ia mampu percaya diri; apakah ia akan berhasil atau gagal. f.

  Anggapan stereotip budaya.

  Bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja. Keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan buruk tentang remaja membuat peralihan remaja ke masa dewasa menjadi sulit. Hal diatas menimbulkan pertentangan antara remaja dengan orang tua, sehingga antara orang tua dan remaja terjadi jarak yang menghalangi anak untuk meminta bantuan orang tua apabila menemui masalah.

  g.

  Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal cita-cita.

  Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, dan menyebabkan meningginya emosi remaja. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

  h.

  Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum- minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa apabila melakukan kegiatan seperti yang dilakukan oleh orang dewasa, remaja akan dianggap dewasa dan dapat diterima oleh lingkungan tempat tinggalnya.

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja

  Pada setiap tahap perkembangan dalam kehidupan manusia ada sejumlah tugas perkembangan yang harus dilalui. Dan tugas perkembangan pada masa remaja itu menuntut adanya perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku. Havighurts (dalam Willis, 1981:8) mendefenisikan tugas perkembangan adalah suatu tugas yang timbul pada periode tertentu dalam kehidupan individu, jika tugas perkembangan itu berhasil akan menimbulkan kebahagiaan individu, sebaliknya jika tugas itu gagal akan menimbulkan kesulitan baginya pada masa mendatang.

  Tugas perkembangan remaja menurut Wattenberg (dalam Mappiare, 1982:106) sebagai berikut: a.

  Memiliki kemampuan mengontrol diri sendiri seperti orang dewasa.

  Ketika memasuki masa remaja seorang remaja diharapkan dapat mengontrol dirinya sendiri. Tugas perkembangan ini timbul karena remaja sudah dianggap seperti orang dewasa yang umumnya mampu mengontrol dirinya. Kemampuan dalam mengontrol dirinya membuat dia diterima oleh lingkungannya.

  b.

  Memperoleh kebebasan.

  Memperoleh kebebasan termasuk salah satu diantaranya tugas dan berlatih membuat rencana, bebas membuat alternatif pilihan, dan bebas melaksanakan pilihan-pilihannya itu dengan bertanggung jawab.

  Remaja diharapkan dapat melepaskan diri dari ketergantungannya pada orang tua atau orang dewasa lainnya secara berangsur-angsur.

  c.

  Bergaul dengan teman lawan jenis.

  Di dalam hati remaja mulai muncul rasa tertarik dengan lawan jenisnya. Pada mulanya mereka merasa ragu dan malu untuk bergaul lebih dekat dengan lawan jenisnya, tetapi lama-kelamaan mereka terbiasa bahkan ada yang lebih banyak bergaul dengan lawan jenisnya.

  d.

  Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan baru.

  Remaja diharapkan mulai belajar mengembangkan ketrampilan- ketrampilan baru yang sesuai dengan tuntutan hidup dan pergaulannya dalam masa dewasa kelak. Ketrampilan-ketrampilan baru itu tidak saja menyangkut apa yang dituntut pada bidang pekerjaan, melainkan juga bersangkutan dengan ketrampilan dalam kehidupan berkeluarga. Remaja perempuan misalnya dapat melakukan latihan mengatur meja makan, memasak, mencuci dan sebagainya. Remaja lelaki dapat membantu membersihkan halaman, mengepel lantai dan sebagainya.

  e.

  Memiliki citra diri yang realistis.