Belajar dari serat dewaruci: menemukan dan memaknai guru sejati dalam terang Yesus Kristus sang guru - USD Repository
BELAJAR DARI SERAT DEWARUCI: MENEMUKAN DAN MEMAKNAI GURU SEJATI DALAM TERANG YESUS KRISTUS SANG GURU S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Oleh:
Monica Wahyuningsih NIM: 051124035
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk: Allah Sumber Kehidupan, Asal dan Tujuan Segala Sesuatu
(Sangkan Paraning Dumadi) Yesus Kristus Sang Guru Sejati, Perantara Pada Keselamatan
(Manunggaling Kawula Gusti) Guru-guru sejatiku
(Bapak dan ibuku, Adik, keluarga bapak Agustinus Karno, Kekasih dan Sahabat)
MOTTO
Jika kita mencari Allah dalam segala hal, Kita akan mendadak terhenyak menyadari Allah ternyata ada di samping kita (St. Petrus Claver, SJ)
Aku adalah apa yang aku pikirkan jadi jika aku berfikir BISA maka aku akan BISA
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 Mei 2009 Penulis Monica Wahyuningsih
ABSTRAK
Konstitusi GS membawa suatu visi baru terhadap dunia dan manusia.Terdapat sebuah penghargaan terhadap nilai-nilai yang terdapat di luar Gereja. dalam art 42 dijelaskan bahwa Gereja tidak terikat pada suatu budaya tertentu atau sistem politik, ekonomi, sosial manapun. Berdasarkan sifatnya yang universal, Gereja dapat menjadi tali pengikat antara berbagai masyarakat dan bangsa manusia, asal mereka percaya kepada Gereja. Dalam art 58 mengatakan bahwa Gereja telah memanfaatkan sumber-sumber kebudayaan untuk menyebarluaskan pewartaan Kristus kepada semua bangsa. Kekayaan budaya yang digali untuk pewartaan kabar gembira selain memberikan pengakuan otonomi budaya setempat juga membuka ruang untuk berdialog antar budaya dan nilai-nilai yang diwartakan oleh Gereja.
Skripsi ini menjadi usaha untuk memanfaatkan ruang dialog antar budaya yang dijelaskan dalam konstitusi GS. Skripsi ini mempertemukan budaya Jawa dengan kabar gembira yang dibawa oleh Yesus Kristus. Usaha tersebut ditempuh dengan merefleksikan dan menemukan makna Guru Sejati dalam serat Dewaruci yang merupakan kekayaan budaya Jawa. Serat Dewaruci mempunyai gambaran relasi guru dan murid serta ajaran-ajaran yang mengandung kedalaman refleksi dan makna.
Refleksi religius budaya Jawa dalam kisah Dewaruci akan dipertemukan dengan ajaran dan relasi guru dan murid dari Yesus Sang Guru. Yesus Sang Guru diperkenalkan dan diuraikan kisah-kisah hidupNya beserta ajaran-ajaranNya yang merupakan tokoh utama dalam pewartaan Injil. Ia disebut sebagai Guru Sejati.
Kedua kisah yang berbeda akar budaya ini dipertemukan dalam satu titik yaitu Guru Sejati yang membawa pada keselamatan sejati. Dalam serat Dewaruci, keselamatan disimbolkan dengan Tirtapawitra (air hidup) hanya akan dirasakan dan didapat oleh manusia yang mawas diri, mengenal dirinya sedalam-dalamnya dan semurni-murninya. Dengan mengenal diri, ia akan menjadi suci dan hal inilah yang menghantarkan pada Sang Ilahi. Sementara dalam ajaran Yesus, Ia juga mengajarkan pada murid-muridNya untuk mawas diri agar sampai pada keselamatan. Namun selain mawas diri, para murid harus bersatu dengan Yesus Kristus dengan meneladan cara hidup dan mengikuti ajaranNya. Kedua Guru dari dua kisah yang memiliki kekhasannya masing-masing mempunyai kesamaan ajaran tentang keselamatan dan kesatuan dengan Ilahi yang dimulai dengan mengenal diri semurni-murninya.
ABSTRACT
The Constitution of Gaudium et Spes brings a new vision to the world and human beings. There is an appreciation for the values, which are precent outside of the church. The article of 24 of the document explains that the church is not bound to any certain cultural, political, economical, or social system. Based on her universal nature, the church could be are unifier for various nations and people, as long as they believe in her. In the article of 58, it says that the church had used sources of culture to spread the Gospel of Christ to all nations. The richness of the culture, beside of giving confession on the autonomy of the local culture, but also opens space for dialog of the culture and values spread by the Church.
This thesis becomes and effort to use the space for cultural dialog, which is explained in the constitution of Gaudium et Spes. This thesis brings the Javanese culture into the contact with the Gospel brought by Jesus Christ. This effort is done by reflecting and finding the meaning of true Teacher in the Serat Dewaruci as one of the Javanese culture. Serat Dewaruci has a picture of Teacher and student’s relationship and its teaching contains deep reflections and values.
Religious reflection on Javanese culture found in the story of Dewaruci will be brought into the contact with the Jesus’ teaching and teacher-student’s relationship. Jesus, the Teacher,is introduced and explained his life stories, His Teachings as well, who is a central figure in spreading the Gospel. He is called the True Teacher.
These two stories that have different cultural background are brought into the contact with a single point, the True Teacher who brings human beings to the true salvation. In the story of Serat Dewaruci, the salvatior is symbolized by
Tirtapawitra (living water), which could be reached by people who are attention,
and know their selves as deep and clear as they can. By knowing self, he or she will be holy and it will bring him or her to The Divine. While in Jesus’ teaching, He also thought his disciples to be attention so that they could reach the salvation. Beside of being attention, the discaples have to unite themselves with Jesus Christ by following Jesus’ lifestyle and teaching. The two unique teachers of these different stories have the same teaching on salvation and unity with The Divine, starting knowing self clearly.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah yang penuh kasih atas segala kasih karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “BELAJAR DARI SERAT DEWARUCI: MENEMUKAN DAN MEMAKNAI GURU SEJATI DALAM TERANG YESUS KRISTUS SANG GURU” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana SI pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Bersama rasa syukur itu, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:
1. Rm. Dr.J.Darminta, SJ yang telah menyisihkan sebagian besar waktu, tenaga dan hati yang sangat berharga untuk membimbing penulis skripsi ini.
2. Rm. Dr.CB.Putranta, SJ yang telah memberikan inspirasi penulisan skripsi ini dan membimbing penulis selama belajar di kampus ini.
3. Bp.FX.Dapiyanta, SFK, MPd. yang telah berkenan membaca dan memberikan masukan guna semakin menyempurnakan skripsi ini.
4. Rm. Albertus Mardi Santosa, SJ, rm. CB. Mulyatno, Pr, rm. Yohanes Riyanto, Pr, sr. Inez, FCJ, keluarga Andreas Tumijan, keluarga Agustinus Karno, kekasihku, sahabat-sahabat. Orang-orang yang sangat luar biasa dan selalu memberikan dukungan dan cintanya sehingga penulis selalu mampu merasakan kasih Kristus Sang Guru Sejati yang tidak pernah
5. Teman-teman angkatan 2005 yang memberikan dukungan dengan caranya masing-masing.
Penulis menyadari kekurangan yang ada dalam skripsi ini. Untuk itu, atas segala masukna demi perbaikan karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih.
Akhirnya, semoga sebagai pewarta banyak katekis menyelenggarakan pewartaan dengan menggunakan nilai-nilai budaya setempat dan tidak pernah melupakan bahwa umat telah terbentuk oleh budaya masing-masing yang telah lama dihidupi dan diyakini. Terpujilah Bapa dan Yesus Kristus Sang Guru Sejati yang bersama dengan Roh Kudus hidup dalam hati semua orang beriman.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..…………….................. ii HALAMAN PENGESAHAN …………………………..…...................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………...….. iv MOTTO ………………………………………………...……………........ v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………….... vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………………...… vii ABSTRAK ……………………………………………………………….. viii
ABSTRACT …………………………………………………………........ ix
KATA PENGANTAR …………………………………………………... x DAFTAR ISI …………………………………………………..……....... xv DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………...… xvi
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………
1 A. Latar Belakang Masalah …………………………....................
1 B. Rumusan Masalah ……………………………………….........
6 C. Tujuan Penulisan .……………………………………………..
7 D. Manfaat Penulisan ....…………………………………….........
7 E. Metode Penulisan …………………………...…………...........
8 F. Sistematika Penulisan …………………………………….......
8 BAB II. POKOK-POKOK PENGERTIAN TENTANG GURU .......... 9
A. Makna, Pelayanan dan Syarat Menjadi Guru Dalam
9 Sejarah.....................................................................................
2. Tradisi India.........................................................................
10 3. Tradisi Hindu........................................................................
11 4. Tradisi Budha........................................................................
12 5. Tradisi Islam..........................................................................
13 6. Tradisi Jawa..........................................................................
14 B. Tradisi Kristiani Timur Bapa Rohani: Seorang Guru Hidup.....
15 1. Asal mula Munculnya Bapa Rohani.........................................
15 2. Sikap Seorang Murid...............................................................
16 a. Sang Murid Sebagai Orang Yang Bertanya.......................
16 b. Menyatakan Pikiran-Pikirannya Dengan Terbuka.............
17 3. Karunia, Kemampuan, dan Sikap Bapa Rohani.......................
17 a. Pembedaan Roh Atau Wiweka...........................................
18 b. Kesabaran.............................................................................
18 c. Belaskasihan.........................................................................
19 d. Karunia Kata-kata Hikmat....................................................
20 e. Teladan (Kesatuan Kata dan Karya).....................................
20 f. Sabda Allah dan Kata-kata Bapa Rohani..............................
20 g. Cinta Kasih...........................................................................
21 BAB III GURU SEJATI DALAM SERAT DEWARUCI.......................
22 A. Serat Dewaruci...............................................................................
22 1. Pengarang dan Latar Belakang Serat Dewaruci......................
22 2. Isi Buku.................................................................................
24 3. Kisah Dewaruci........................................................................
25
a. Bima Berguru Kepada Druna...............................................
25 b. Bima di Gunung Candramuka..............................................
26
c. Bima Diutus Druna ke Dasar Samudera dan Bertarung
27 Dengan Naga Nemburnawa.................................................
d. Bima Bertemu Dengan Dewaruci........................................
29 4. Tafsir Serat Dewaruci...............................................................
31 a. Bima Berguru Kepada Druna...............................................
33 b. Bima Bertarung Melawan Rukmamuka dan Rukmakala.....
34 c. Bima Pergi ke Telenging Samudera (Pusat Samudera)........
35 d. Bima Diserang Naga Nemburnawa......................................
36 e. Bima Mendapat Wejangan Dari Dewaruci...........................
37 B. Guru Sejati.....................................................................................
40 1. Tokoh Bima...........................................................................
40 2. Tokoh Druna.... .....................................................................
42 3. Tokoh Dewaruci.......................................................................
43 C. Berguru Berarti Belajar “Ngelmu” dari Sang Guru....................... 45 D.
Makna Keselamatan dan Usaha Mencapainya............................
46 BAB IV YESUS GURU SEJATI...........................................................
50 A. Kuasa Yesus Sebagai Guru............................................................ 51 1.Yesus Mewujudkan Kebenaran Dalam DiriNya.........................
52 2.Hasrat Untuk Menolong..............................................................
53 3.Yesus Yakin Akan Manfaat Dari PengajaranNya......................
55
5.Yesus Memahami Sifat Manusia................................................
56 6.Cakap mengajar.......................................................................
57 B. Yesus Mengajar dengan Jelas dan Khas.......................................
58 C. Prinsip-Prinsip Dalam Mengajar...................................................
60 D Makna Keselamatan dan Usaha Mencapainya............................
63 BAB V DIALOG ANTARA DUA GAMBARAN................................... 66
A. Ajaran Kedua Guru Dalam Memaknai Kematian, Keselamatan dan Hidup Kekal............................................................
66 B. Persamaan..................................................................................... 70 1. Makna Keselamatan dan Manunggaling Kawula Gusti..........
70
2. Menghantar Pada Keselamatan................................................ 73 3. Relasi Guru dan Murid............................................................
76
4. Gambaran Pribadi-Pribadi Yang Sempurna............................. 79 C Titik Temu.................................................................................... 80 BAB VI .
PENUTUP.................................................................................... 83
A. Kesimpulan .…………………………………………………....... 83
B. Saran .............................................................................................. 86 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
89 Lampiran Serat Dewaruci Karangan Yasadipura I
DAFTAR SINGKATAN
Art : Artikel Gal : Galatia GS : Gaudium et Spes Kej : Kejadian LG : Lumen Gentim St : Santo
VCD : Video Compact Disk Yoh : Yohanes
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perayaan Natal tahun 2005 di Gereja Santo Ignatius Danan, terdapat sebuah
drama yang terbungkus dengan nilai-nilai budaya Jawa dengan penampilannya yang diwarnai dengan tari Jawa, dialog bahasa Jawa dan pakaian adat Jawa. Nilai budaya yang digunakan tersebut dipersembahkan untuk menyambut Sang Pembawa Damai dan membawa pada sebuah kesadaran tentang makna kehadiran Kristus di tengah konteks budaya. Tokoh Buto dengan topeng yang menyeramkan dengan bahasa tubuh gagah berani dan angkuh menjadi peran yang harus dipelajari. Tokoh tersebut menggambarkan pribadi yang memandang dirinya paling kuat sehingga apapun yang ia inginkan harus didapatkan walaupun hal tersebut telah menjadi milik orang lain. Kehadiran bayi Kristus yang dibawa oleh ibu berpakaian Jawa membawa Buto yang angkuh pada sebuah kesadaran akan dirinya dan kehidupannya selama ini. Kehidupan yang penuh ambisi dan keangkuhan sehingga tidak bisa melihat kehadiran Allah dalam diri orang lain sehingga apapun akan dilakukan untuk mendapatkan apa yang diambisikannya, termasuk menghancurkan semua orang yang menghalanginya.
Pengalaman tersebut membawa pada kesadaran bahwa Gereja perlu hadir di tengah konteks budaya setempat. Kekayaan budaya setempat dijadikan sarana untuk menghadirkan Kristus pada umat, sehingga iman umat semakin kuat. Pada tertentu, dalam pola pikir, dalam pengalaman tertentu pula. Refleksi iman yang muncul dari pengalaman dan pengolahan secara nyata dalam budaya masing- masing akan mendapatkan wajah iman tersendiri dan tidak hanya memutar kembali refleksi iman yang telah ada. Katolik mempunyai arti universal begitu juga kehadiran Kristuspun bersifat universal. Hal ini mempunyai arti bahwa Kristus tidaklah datang untuk menyelamatkan bangsa Israel saja namun semua bangsa adalah murid dan umat yang hendak diselamatkanNya.
Dalam sebuh diskusi muncullah gagasan bahwa refleksi iman perlu dibarengi dengan dialog budaya. Dalam hal ini adalah budaya Jawa dengan budaya Alkitab sehingga terjadi komunikasi iman, terjadi pewartaan, terjalin pertemuan. Iman akan Kristus yang dilandaskan pada nilai-nilai budaya dalam hal ini adalah budaya Jawa akan memberi sumbangan bagi berakarnya iman kristiani di bumi dan tanah Jawa. Kita mencoba membiarkan dua budaya yaitu budaya Jawa dan budaya Alkitab bertemu dan bertumbuh dalam dialog yang kritis dan jujur. Hal ini dilandaskan pada keyakinan bahwa Allah berkarya dalam sejarah umat manusia dan keyakinan bahwa Allah yang mewahyukan diri adalah Allah yang berkarya dalam dunia, juga di kalangan orang-orang Jawa (LG art. 2; 13; 17, GS art. 53-62).
Umat akan sangat terbantu dan dihargai latarbelakang budayanya untuk menerima Kristus sebagai penyelamat dan guru dalam mencari dan memaknai hidup tanpa meninggalkan budaya yang telah membentuk kehidupannya dan yang telah ia hidupi sebelum mengenal Kristus. Seperti halnya tokoh katekese Alexandre De Rhodes yang sangat menghormati budaya orang Vietnam. Ia sangat hati-hati, membawa budaya Perancis atau Portugis untuk dipakaikan kepada umat di Vietnam. Dalam pewartaannya, De Rhodes bukan hanya menyesuaikan diri tetapi juga mencintai dan menghormati budaya setempat sejauh tidak bertentangan dengan dengan nilai-nilai Injil dan ajaran Yesus Kristus. De Rhodes memakai nilai- nilai budaya setempat yang positif dan meneguhkannya namun ia juga mengkritik unsur-unsur yang bersifat takhayul dan bertentangan dengan ajaran Kristen. Ia berusaha menamai budaya setempat dengan terminologi Kristen sehingga umat bangga dengan iman dan budaya mereka sendiri.
Aspek yang penting dalam budaya Jawa adalah pemaknaan akan paham keselamatan. Orang Jawa memandang kesatuan dengan yang Ilahi merupakan tujuan sekaligus sarana keselamatan bagi manusia. Yang Ilahi digambarkan sebagai
sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan semua ciptaan). Keharmonisan relasi
manusia dengan yang Ilahi ditempatkan dalam suatu laku (proses perjalanan kehidupan) (Yohanes Riyanto, 2007: 2).
Refleksi atas perjalanan manusia untuk bersatu dengan yang Ilahi ini akan dilihat dari sisi penemuan dan pemaknaan akan Guru Sejati. Guru yang membawa sang murid kepada keselamatan. Sebagai orang Kristiani, kita menyebut sebagai pengikut atau murid Kristus. Kristus Sang Guru Sejati itulah yang akan membawa manusia pada Bapa/Allah yang memiliki keselamatan dan damai sejati. Pemahaman dan yang kita jalani saat ini adalah untuk bisa bersatu dengan yang Ilahi, berarti harus menjadi pengikutNya. Dalam ajaran Kristiani, kita harus memahami bahwa sang Ilahi atau Allahlah yang mempunyai inisiatif agar kita memanggil manusia sehingga percaya, mengikutiNya dan mendapatkan keselamatan.
Sebagai seorang Guru, Yesus sempurna dari segi Ilahi maupun insani. Ia “datang sebagai guru yang diutus Allah” (Yoh 3:2). Yesus adalah Guru yang memiliki kepribadian dengan selalu memberi teladan tidak hanya dengan kata-kata karena perbuatan seseorang lebih berpengaruh dari pada perkataannya. Ia selalu memperhatikan keperluan orang lain dan hasrat untuk menolong orang lain. Yesus selalu melihat bahwa relasiNya dengan para murid menjadi sarana untuk membina cita-cita, pandangan dan kelakuan murid-muridNya. Syarat lain untuk menjadi guru adalah pemahaman akan firman Allah, sebab firman Allahlah yang akan menjadi bahan pengajaran. Yesus sangat paham dengan sifat-sifat para muridNya “Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia” (Yoh 2:25). Gelar Yesus sebagai guru mempunyai maksud bahwa Yesus memilki otoritas llahi dan hal ini tepat. Sejak semula pribadi Yesus telah ditonjolkan dalam Injil dengan tanda anggur dan Bait Allah. Hal ini memberi gambaran bahwa Allah hadir di tengah-tegah umatNya.
Yang melihat Yesus berarti melihat Bapa. Yesus hanya mengerjakan pekerjaan- pekerjaan Bapa. Yang mendengar Yesus mendengar Allah, yang diajari Yesus diajar Allah. Allah adalah sumber keselamatan hadir dalam diri Yesus. Maka tepat jika Yesus disebut sebagi Guru.
Melihat Yesus sebagai Guru berarti kita perlu mengetahui bagaimana dan seperti apa menjadi seorang muridNya. Perlu kita pahami bahwa murid-murid tidak terbatas pada kedua belas murid tetapi kita, manusia yang percaya dan terus belajar ke masa tidak berubah yaitu bercacat. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini, kodrat manusia pada dasarnya tetap sama. Oleh karena itu kita harus terus mencari Guru Sejati dan “berguru” kepadaNya.
Pencarian dan pemaknaan Guru Sejati nampak dalam Serat Dewaruci. Kisah Dewaruci menggambarkan perjalanan Bima untuk mendapatkan
Tirtapawitra , air yang bukan air dalam pengertian harafiah. Bima adalah tokoh
utama dalam serat Dewaruci. Ia seorang ksatria dari keluarga Pandawa yang mempunyai keyakinan kuat akan mendapatkan air suci (Tirtapawitra). Ia mendapat petunjuk dari gurunya pendeta Druna untuk mendapatkan air suci tersebut. Perjalanannya untuk mendapatkan Tirtapawitra sangat berat. Ia harus meninggalkan keluarga Pandawa yang selalu berduka saat ditinggalkannya karena begitu sayangnya keluarga Pandawa kepada Bima. Keluarga Pandawa tidak pernah memberikan ijin kepada Bima untuk mencari Tirtapawitra karena guru Bima yaitu pendeta Druna adalah musuh keluarga Pandawa. Ancaman kematian karena banyaknya bahaya selalu berjalan bersama dengan Bima. Ia tidak mendengarkan dan teguran dari keluarga Pandawa mengenai pandangan tentang rencana jahat guru Druna. Bima menganggap pendapat dan tuntunan sang guru selalu benar. Ia selalu menghormati dan menjalankan perintah guru tanpa mempunyai dugaan sedikitpun bahwa perintah guru Druna tersebut akan membahayakannya. Inilah gambaran dimana dari masa ke masa manusia memang tidak pernah bisa sempurna. Bima sang kesatria gagah berani dan cerdas tidak bisa bersikap kritis akan perintah gurunya. Dalam pencarian Tirtapawitra Bima bertemu dengan seorang dewa yang bersifat keagamaan dan kefilsafatan. Bima merasa puas karena telah mendapatkan cita-citanya, telah menemukan Tirtapawitra yang pada hakekatnya adalah sesuatu ilmu gaib, ilmu keagamaan dan filsafat. Menyadari bahwa Druna bukanlah Guru Sejati, Bima membayangkan Dewaruci sebagai orang yang telah mencapai taraf hidup lahir batin yang tinggi sehingga Bima berguru kepadanya. Maka Dewaruci digambarkan sebagai manusia yang telah mencapai taraf hidup lahir batin yang amat tinggi.
Gambaran Guru Sejati dalam serat Dewaruci merupakan titik pijak pembahasan pada keselamatan sejati. Penemuan dan pemaknaan akan Guru Sejati dalam serat Dewaruci tetap harus dikomunikasikan dengan ajaran dalam Alkitab dan ajaran Kristus sendiri sehingga penulis mengambil judul ”BELAJAR DARI SERAT DEWARUCI: MENEMUKAN DAN MEMAKNAI GURU SEJATI DALAM TERANG YESUS KRISTUS SANG GURU ” B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, permasalahan yang yang menjadi perhatian penulis adalah:
1. Sejauh mana serat Dewaruci menjadi gambaran untuk menemukan dan memaknai Guru Sejati yang akan membawa pada keselamatan?
2. Nilai-nilai apa yang dapat diambil dari serat Dewaruci untuk memaknai dan memahami Yesus sang Guru Sejati?
C. Tujuan Penulisan 1.
Menjadi usaha untuk menggali dan melestarikan warisan budaya setempat yang semakin langka. Simbol-simbol budaya yang kaya makna semakin tersingkir di tengah arus globalisasi. Oleh karena itu penulis ingin mencoba melestarikan warisan budaya yang mulai tersingkir tersebut.
2. Penggalian kekayaan budaya merupakan salah satu cara untuk mewartakan
Firman secara kontekstual. Pemahaman terhadap kebudayaan menjadi wahana berdialog dengan umat dan menjadi sarana untuk memaknai hidup yang sedang mencari Guru Sejati. Umat akan semakin bangga dengan iman dan budayanya.
3. Mendapatkan pengetahuan dan pemahaman baru akan penemuan dan pemaknaan Guru Sejati bertolak dari budaya yang tertulis dalam serat Dewaruci.
D. Manfaat Penulisan
Menambah pengetahuan, wawasan dan pemahaman lebih dalam akan Guru Sejati bercermin dari perjalanan Bima yang dituntun oleh pendeta Druna dalam mencari Tirtapawitra dan perjumpaannya dengan Dewaruci Sang Guru Sejati dalam serat Dewaruci. Selain itu memberi gambaran kepada kaum muda akan nilai- nilai warisan budaya yang tetap relevan untuk dikaji dan dipelajari. Mencoba untuk memberi inspirasi kepada para katekis muda dan tua untuk tetap menggali nilai- nilai budaya dan mengadopsinya dalam rangka pewartaan sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Kristus dan Injil.
E. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif dengan memanfaatkan studi pustaka untuk memperoleh gambaran Guru Sejati bertolak dari serat Dewaruci dan terang Yesus Sang Guru Sejati.
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis ingin memaparkan hal-hal berikut: Dalam Bab I yaitu bagian pendahuluan yang meliputi: Latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II penulis akan menguraikan pokok-pokok pengertian umum tentang guru hidup dalam sejarah, proses berguru dan perkembangan makna guru. Bab III memaparkan serat Dewaruci, dimulai dari sejarah serat Dewaruci, memaparkan kisah dan menganalisisnya sehingga dapat menemukan makna guru, nilai-nilai ajaran dan peran guru dalam perkembangan hidup pengikutnya.
Dalam Bab IV Memberi gambaran Yesus sebagai Guru Sejati berdasarkan kisah-kisah dalam Kitab Suci yang bertolak dari ajaran-ajaranNya, kotbah, perumpamaan dan kisah hidupNya sendiri
Bab V mencoba mempertemukan dua tokoh guru yang telah diuraikan pada
bab III dan IV, mendialogkan serat Dewaruci dengan kisah Yesus sebagai Guru Sejati, menemukan perbedaan, kesamaan dan titik temunya.
BAB II POKOK-POKOK PENGERTIAN TENTANG GURU A. Makna, Pelayanan Dan Syarat Menjadi Guru Dalam Sejarah 1. Zaman Purba Peradaban belum berkembang, namun masyarakat telah mengenal guru
yang mengajarkan kehidupan. Ayah, ibu, kakek, nenek, tetangga dan orang yang lebih dewasa adalah guru kehidupan bagi mereka. Orang-orang tersebut disebut guru karena memiliki umur yang lebih tua dan dianggap mempunyai pengalaman hidup lebih mendalam.
Makna guru masih sangat luas dan khas. Orang-orang yang ahli dalam pandai besi dan dukun juga disebut sebagai guru. Mereka bukan orang-orang istimewa namun mereka mempunyai panggilan atau sebutan khusus yaitu empu (engku, teuku) artinya tuan (Banawiratma, 1977: 19).
Selain pandai besi dan dukun, terdapat petugas agama semacam imam yang mengajar umat: Tomina (Toraja), Pamangku (Bali, disamping pedanda), Marapu (Sumba), Dinati (bugis), Sikerei (Mentawai), Empu (Jawa Kuno). Mereka memberikan petuah-petuah dan nasehat-nasehat kepada orang-orang. Empu dalam hidup agama mengajarkan tentang kehidupan. Selain empu, ayah dan ibu menjadi guru hidup pada masa ini karena tidak ada sesuatu apapun yang dirahasiakan dari mereka. Mereka memberi pengajaran berdasar pengalaman dan pergulatan dalam hidupnya. Sejauh ini memang belum terlihat adanya syarat khusus untuk menjadi seorang guru. Guru pada masa itu hanyalah orang yang dewasa dari segi usia (Mohamad Ali, 1961:221-224).
2. Tradisi India
Perubahan sosial dan struktur kehidupan telah membawa empu-empu masa purba sebagai guru yang istimewa. Mereka bekerja dan mengabdi pada keluarga besar keraton. Para empu mendapat pengajaran dari para Berahmana yang didatangkan dari India. Para empu akan menjadi guru baru dengan keahlian baru: berbahasa sansekerta, menulis tata negara India, kesenian membuat gedung-gedung secara baru, arca-arca dan perhiasan menurut dasar-dasar baru. Empu-empu itupun memiliki agama baru. Mereka digunakan oleh pihak keraton untuk mengembangkan cita-cita dalam keluarga keraton: cita-cita berkuasa, dihormati, bertuah, mewah (Banawiratma, 1977: 20).
Para empu merupakan gudang ilmu. Siapa saja yang ingin memiliki kemampuan, kecakapan atau ilmu mereka harus berguru (maguru) kepada empu, sang berahmana, sang guru. Namun seringkali mereka harus bersabar karna sang guru hanya akan memberi jika ia berkehendak memberi. Pelajaran bergantung dari kemurahan hati guru. Apabila guru tidak mengajar, maka murid hanya akan menjadi pelayan di rumah sang guru. Cara belajar ini disebut sebagai sistem ”guru- kula”, murid termasuk keluarga guru (Singgih Wibisono, 1996: 33).
Para ahli yang disebut sebagai berahmana atau guru memiliki ideologi keraton dan cita-cita keraton tercantum dalam agama, segala sesuatu berasal dari haji (lain dengan ”haji” dalam bahasa arab; haji = aji = raja dalam bahasa kuno), berahmana, puruhita, guru kepada mereka. Para guru tersebut seolah menjadi kunci surga. Berguru berarti menghaji artinya mengabdi sambil belajar. Ajar, berahmana, puruhita adalah orang-orang penting setelah raja. Kedudukannya yang istimewa dalam struktur keraton memberikan julukan kepada mereka sebagai ”ayah raja” karena menjadi penasehat raja (Harun Hadiwijono, 1971: 179).
3. Tradisi Hindu
Pada akhir abad ke-V muncullah dalam hinduisme suatu pemuka religius yang istimewa yaitu guru. Guru dalam masyarakat Hindu dibedakan dari acharya yang pada umumnya lebih menunjuk pada seorang pengajar tinggi dan ahli. Guru sebagai pemuka religius memiliki otoritas religius. Guru merupakan hukum yang hidup. Guru adalah Wisnu, guru adalah Siwa, guru adalah berahmana sendiri, tidak ada dewa yang lebih tinggi dari pada guru (Shankara, 788-826). Demikianlah guru diidentifikasikan dengan yang Ilahi hingga perkataan, pemikiran, dan ”tindak- tanduk” guru menjadi sumber pembaharuan tanpa minta alasan. Guru mempunyai kuasa yang begitu besar, dia sendirilah hukum yang hidup (Banawiratma, 1977: 21).
Guru adalah orang yang memberikan kelahiran baru dalam Brahmana yaitu kelahiran dalam ilmu pengetahuan. Guru menjadi ”yang Ilahi menampak”, menjadi pembebas yang hidup. Istilah tersebut menjadi latar belakang pemahaman bahwa manusia bukanlah pribadi yang sempurna dan sejati. Oleh karena itu ia harus sebagai hukum yang hidup, pembebas yang hidup. Sebagai pembebas yang hidup, guru menggantikan obyek ibadat yang transenden. Karena guru adalah hukum yang hidup atau malah pembebas yang hidup maka dengan memusatkan perhatian kepada guru, siswa mengguasai tubuh, suara, organ-organ inderawi maupun jiwanya. Murid menggantungkan dirinya kepada guru (Banawiratma, 1977: 23) 4.
Tradisi Budha
Guru adalah sang Budha sendiri. Guru dipandang sebagai orang yang sakti, maha tahu, orang yang utama. Guru atau berahmana menjadi orang bertuah yang amat besar kuasanya. Selain berahmana atau empu diluar keraton terdapat guru yang disebut resi atau pertapa. Mereka meninggalkan hidup ramai, mengejar hidup sempurna dan mati sempurna: kesempurnaan itu disebut wairagya. Wairagya dari vi-raga berarti tanpa raga, tanpa hawa nafsu, merdeka batin, bebas dari hasrat duniawi (Harun Hadiwijono, 1971: 15).
Mohamad Ali mengatakan bahwa guru pertapa adalah orang yang sama sekali tidak boleh mementingkan diri sediri. Orang tidak boleh lagi mementingkan hidup di duniawi. Ia hidup di dalam dunia ramai, tetapi ia seolah-olah sudah mati, sebab ia tak boleh ikut serta dalam urusan dunia. Ia seperti orang mati. Wairagya berarti juga bahwa orang tidak boleh mempunyai keinginan apa-apa. Ia tak ingin dipuji, tak ingin menjadi kaya, tak ingin mendapat sesuatu. Bila ia mengerjakan sesuatu pekerjaan ia tak ingin memetik hasil pekerjaannya itu. Ia berbuat karena itu memang kewibawaannya. Wairagya ialah: selalu berkurban untuk semua makhluk seterusnya: tak memiliki sesuatu apa! Tak menginginkan apapun juga. Acuh tak acuh terhadap duka-sengsara dan bersikap acuh pula terhadap suka-bahagia. Ia mati dalam hidup, hidup dalam maut! Tetapi ia hidup juga. Ia hanya mementingkan Tuhan. Setiap detik jiwanya menuju kepadaNya. Bila mati sempurnalah ia.
Tentulah ia mendapat moksha atau kebahagiaan yang tidak terhingga. Bebas dari kesengsaraan, terlepas dari penderitaan, itulah kesempurnaan. (Banawiratma, 1977: 24).
5. Tradisi Islam
Dalam tradisi Islam, Guru keraton dan guru pertapa memiliki kekhasannya masing-masing. Jika kita telah melihat bahwa guru keraton, para empu atau guru atau Berahmana menjadi milik dari keraton dan mengajar bagi orang-orang yang berada di keraton beserta keluarga besarnya. Guru pertapa memiliki kekhasannya sendiri yaitu lebih sebagai guru rakyat, pengaruhnya dalam kehidupan rakyat sangat besar. Ia menjadi pusat kehidupan rakyat. Para wali masa itu merantau untuk menjumpai guru-guru pertapa dan mengajak mereka untuk bertukar fikiran dan pengetahuan (Woro Aryandini, 1996: 35).
Guru keraton telah menjadi pujangga biasa, hanya guru pertapalah yang dipandang sakti dan bertuah. Kesaktian dan ilmu yang dimiliki telah menguasai rakyat. Rakyat tunduk dan selalu mendengar dan mengikuti petuah sang guru. Suluk Sech Samsi Tabarit mengatakan ”apakah arti buku-buku dan kitab-kitab? Betapa banyak juga kitab-kitab yang dapat kau baca, tak ada gunanya. Carilah adalah jalan kesempurnaan. Dalam hal ini, guru mempunyai ajaran yang tidak berhenti pada sebuah teori namun lebih praksis dalam kehidupan. Para guru akan memberikan ajaran untuk kehidupan dan kesempurnaan dalam menjalani kehidupan ini.
Guru pertapa dicari oleh para murid yang menginginkan kesempurnaan hidup, ilmu rahasia yang membuka pintu surga; guru pertapa adalah pintu surga. Ia disebut arif karena mengetahui segala sesuatu, lahir maupun batin. Ia arif bijaksana karena rahasia alam terbuka baginya. Ia disebut sang ”mardikeng budi” yang bebas dan merdeka jiwanya. Ia tak terikat pada penghidupan di dunia. Ia tidak tunduk dan taat kepada punggawa maupun raja. Ialah wujud ilmu gaib yang dapat membawa ke alam baka dengan sempurna. (Banawiratma, 1977: 26) 6.
Tradisi Jawa
Dalam usaha manusia mencapai kesempurnaan hidup, guru merupakan orang yang menyampaikan petunjuk jalan kehidupan. Guru menunjukkan apa yang baik dan buruk, bagaimana orang harus mencapai kebaikan. Guru menerangi hati, menunjukkan jalan kemuliaan. Karena keunggulan ”ilmunya” guru mempunyai kuasa karismatis. Guru dihormati dan ditaati, sering disebut Bapa. Apa yang dikatakan guru penuh kuasa. Tapa mempunyai peranan dalam kedudukan guru.
Dalam tradisi Jawa, dalang selaku pewarta lakon hidup manusia atau lebih luas pergelaran wayang mempunyai fungsi yang serupa dengan fungsi guru tersebut(Singgih Wibisono, 1996: 32).
Guru memberikan petunjuk sekaligus kritik, karena baik dan buruk ditunjuk oleh guru. Tanpa dipungkiri kritik dapat menyentuh segi-segi kehidupan yang lebih luas atau menjadi gerakan sosial kemasyarakatan. Terlihat bahwa guru mempunyai peranan yang cukup pluriform sesuai situasi murid atau masyarakat (Banawiratma, 1977: 55).
B. Tradisi Kristiani Timur Bapa Rohani: Seorang Guru Hidup 1. Asal Mula Munculnya Bapa Rohani
Para rahib hidup bersama menurut semangat Injil dengan melaksanakan cinta kasih persaudaraan dan menyediakan banyak waktu untuk berdoa dan bekerja.
Satu-satunya peraturan hidup bersama adalah cinta tanpa syarat dan tanpa batas seperti Yesus Kristus yang memberikan diri yang diwujudkan dalam kurban di salib.
Ke”bapa”an rohani sangat penting sepanjang abad. Nama atau sebutan untuk para rabi, guru ataupun rahib bisa saja berubah namun inti dan tujuan pokok keberadaannya tidaklah berubah. Bapa padang gurun mengatakan “Barang siapa hidup dalam ketundukan terhadap seorang bapa rohani mendapat pahala lebih besar dari pada orang yang hidup menyendiri di padang gurun” (Sugino, 1991: 411).
Bimbingan rohani merupakan suatu kebutuhan yang berakar dalam setiap diri manusia sepanjang jaman yang ingin berkembang dalam hubungan dengan Yang Rohani, Yang Ilahi, Allah (J. Darminta, 2006: 33). Sejak dulu orang-orang dalam menghadapi berbagai macam kesulitan hidup pergi kepada orang-orang yang
“pembimbing rohani” untuk meminta nasehat. Para filsuf adalah pembimbing rohani sebelum muncul kristianisme. Mereka menjadi tempat penasehat ahli dan guru dalam hidup moral (Sugino, 1991: 412).
Lingkungan orang-orang Kristen timur tumbuh para bapa padang gurun atau bapa rohani. Relasi mereka adalah hubungan antara murid dan guru: seorang guru yang sudah sungguh berpengalaman hidup menurut jalan roh dan seorang murid yang begitu ingin menimba ilmu dari pengalaman mereka. Santo Antonius Abbas mengingatkan ”Ikatkanlah dirimu pada dengan seorang yang takut akan Allah dan, dengan berada dekat dengannya, engkau akan belajar juga takut akan Allah, Ikatkanlah perahumu pada perahu bapa-bapamu; mereka akan membimbingmu kepada Yesus”. Hal itupun mengingatkan pada kitab Ulangan 32:7 ”Tanyakanlah kepada ayahmu, maka ia akan memberitahukannya kepadamu, kepada para tua- tuamu, maka mereka mengatakannya kepadamu”
2. Sikap Seorang Murid
Seorang murid yang datang kepada bapa rohani perlulah memiliki sikap- sikap tertentu yang mengandaikan hubungan yang erat antara guru dan murid:
a. Sang Murid Sebagai Orang Yang Bertanya
Pertanyaan-pertanyaan berasal dari hati yang murni disampaikan dengan keinginan untuk taat. Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi simbol sikap hidup Kristen: mengenai kemiskinan, ketaatan, matiraga, doa sunyi, percobaan, kasih, pengampunan, pelayanan dan belaskasih. Pertanyaan yang diajukan menunjukkan Ada kesadaran bapa rohani adalah orang yang menyatukan diri dengan Kristus. Bapa Rohani menyampaikan kata-kata murni dan transparan. Hal itu menunjukkan mutu kesatuannya dengan Kristus (Sugino, 1991: 413).
b. Menyatakan Pikiran-Pikirannya Dengan Terbuka
Murid tidak menyembunyikan apa-apa dari bapa rohani. Maksudnya supaya ia mampu mengungkapkan pikiran-pikirannya, selain itu menghindari kompleks- kompleks, luka-luka psikologis, penyimpangan-penyimpangan yang sulit disembuhkan. Sebagai murid perlulah menanamkan kepercayaan tanpa syarat.
Sebagai murid harus merasa bahwa dirinya dicintai (J. Darminta, 2006: 43). Namun tetap terdapat kekurangan bapa rohani sebagai sebuah kesadaran bahwa Allah mengunakannya sebagai ”pengantara”. Ia berbicara atas dorongan Roh Kudus. Kepercayaan murid sama dengan iman dan spiritualitas bapa rohani adalah Roh Kudus yang berkarya di dalam dirinya (Sugino, 1991: 413).
3. Karunia, Kemampuan, dan Sikap Bapa Rohani
Dalam spiritualitas timur, menjadi bapa rohani adalah karunia yang berdasarkan pilihan Allah dan anugerah. Menjadi bapa rohani tidak bergantung pada umur, namun lebih pada kemampuan dan kualitas hidup rohaninya (Sugino, 1991: 414).
Kemampuan dan kualitas tersebut adalah:
a. Pembedaan Roh atau wiweka
Kemampuan agar bapa rohani mampu menangkap misteri Allah dan rahasia-rahasia hati manusia. Pembedaan roh lebih untuk membedakan yang nyata dan maya, penting dan tidak penting, berdaya guna dengan tanpa guna, yang benar dan palsu, mementingkan diri sendiri atau menanggalkan kepentingan pribadi. Raga manusia ada dua. Raga sering kali tidak sama dengan MANUSIA (jiwa). Pembedaan roh merupakan ”batu sendi” dari setiap bimbingan. Hal itu memungkinkan untuk menemukan pemecahan masalah sesuai situasi batin murid.
Pembedaan roh menjadi tanda kejernihan roh, rendah hati, melupakan diri sendiri, menaruh perhatian besar untuk bersatu dengan Allah. Dengan mengikuti teladan guru, sang murid mampu menjalankan pembedaan roh. Sebagai murid hendaknya meletakkan pikiran-pikiran di samping sang guru. Murid adalah satu dengan gurunya jika murid hanya memalingkan pikirannya ke dalam alam pikir sang guru untuk mengetahui apakah ada kesesuaian. Manakala tidak ada kesesuaian berarti hal itu salah dan ia harus segera merubahnya sebab pikiran sang guru itu sempurna dan ia tahu segala-galanya (Alcyone, 1990: 35).
b. Kesabaran Bapa rohani selalu meletakkan atau menempatkan diri pada situasi murid.
Hal ini dilakukan untuk semakin memahami pergulatan para murid (J. Darminta, 2006: 48). Ia masuk dalam hidup sang murid. Hal ini tidak menutup kemungkinan bapa rohani mencobai muridnya. Namun pencobaan yang diberikan tetap lah untuk
Perhatian bapa rohani yang bertindak dan bersikap sabar sesuai dengan sikap Allah yang mengutamakan keselamatan manusia (Sugino, 1991: 415).
Usaha untuk menempatkan diri pada kehidupan murid akan memampukan guru untuk mendapatkan materi dan cara ajar yang sesuai dengan situasi murid.
Metode tersebut sungguh membutuhkan kesabaran dan kerendahan hati karena harus mempelajari kehidupan orang lain yang status mereka hanyalah seorang murid.
c. Belaskasihan
Sikap sabar dan tegas sang bapa rohani diresapi oleh belas kasihan dan ditandai oleh harapan. Ia mempunyai pengertian mendalam mengenai keterbatasan- keterbatasan, kelemahan-kelemahan dan kerapuhan manusiawi. Sikap belaskasihan dinyatakan dalam kelemahlembutan (J. Darminta, 2006: 43). Hal ini mengundang murid untuk mempunyai belas kasih terhadap semua orang. Mereka menyadari bahwa belaskasihan merupakan jalan untuk bertemu dengan Allah (Sugino, 1991: 416).
Allah dapat dirasakan kehadiranNya dalam pribadi sesama manusia. Usaha merasakan kehadiran Allah dimulai dengan menjalin relasi baik dengan sesama manusia. Hal ini membutuhkan belas kasih yang sama terhadap Allah dan sesama. Yesus mengungkapkan bahwa apa yang manusia perbuat untuk orang lain itu diperbuat juga untukNya.
d. Karunia Kata-Kata Hikmat
Penyampaian kata-kata yang efektif dan berdaya guna didapat dari kedalaman rohani dan intensitas persatuan dengan Kristus. Hal ini adalah karunia untuk berkata-kata dengan hikmat (1 Kor 12:8). Kata-kata bapa rohani menggerakkan para murid untuk semakin berkembang dalam cinta kasih, untuk tidak bersikap malas. Kata-kata tersebut mempunyai daya untuk transformasi diri sang murid dan ini berkat kedalaman hidup rohaninya dan persatuannya yang begitu erat dengan Kristus (Sugino, 1991: 416).
e. Teladan (Kesatuan Kata dan Karya)
Hidup bapa rohani menjadi teladan hidup. Bapa rohani mendapat dan mengalami kedamaian yang mendalam sehingga ia memberikan rasa damai yang mendalam bagi murid-muridnya. Bapa rohani menyambut, meneguhkan dan mendalami pengalaman para murid secara mendalam (Sugino, 1991: 417). Contoh teladan selalu meyakinkan dari pada kata-kata. Kata-kata tanpa perbuatan adalah kosong. Orang yang mengajar namun tidak melakukan apa-apa dalam hidupnya seperti sumber mata air, ia memberi minum dan membersihkan semua tetapi ia tidak mampu membersihkan diri sendiri.
f. Sabda Allah dan Kata-Kata Bapa Rohani
Ciri khas menjadi bapa rohani adalah kesatuannya yang sangat total dengan sabda Allah. Sabda tersebut telah membentuk pikiran mereka. Bapa rohani adalah Taat kepada bapa rohani sama dengan taat pada Allah karena bapa rohani ”mewakili” Allah. Seorang murid tidak akan salah dihadapan Allah jika ia percaya kepada bapa rohani dan menyerahkan seluruh kehendak kepadanya (Sugino, 1991: 418).
g. Cinta Kasih
Cinta kasih mendorong murid pada kebebasan roh yang membuat mereka dewasa, bertanggung jawab. Ia membimbing kepada kebebasan roh. Hubungan bapa-murid ditandai oleh cinta kasih. Cinta kasih diungkapkan dalam seluruh hidupnya dalam kelembutan, kehangatan, ketegasan yang berciri rohani dan manusiawi. Seperti Kristus dalam hidup-Nya, cinta kasih mengandung persatuan yang mendalam (Sugino, 1991: 418).