BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KECEMASAN MENGHADAPI MUTASI 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Mutasi - HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI MUTASI ANGGOTA POLRI - UMBY repository

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KECEMASAN MENGHADAPI MUTASI

1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Mutasi

  Kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid, Rathus, & Greene, 2014). Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya yaitu, bila bukan merupakan respons terhadap perubahan lingkungan (Nevid, Rathus, & Greene, 2014). Dalam bentuk yang ekstrem, kecemasan dapat mengganggu fungsi kita sehari-hari (Nevid, Rathus, & Greene, 2014).

  Kecemasan menurut Freud adalah suatu keadaan perasaaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang (Semium, 2006). Keadaan yang tidak menyenangkan itu sering kabur dan sulit menujuk dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan (Semium, 2006). Menurut Darajat individu yang mengalami kecemasan menunjukkan gejala yaitu adanya perasaan tidak menentu, rasa panik, adanya perasaan takut dan ketidakmampuan individu untuk memahami sumber ketakutan serta merupakan manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur aduk yang terjadi ketika individu mengalami tekanan perasaan frustasi dan pertentangan atau konflik batiniah (dalam Sutrisno, 2013).

  

Kecemasan adalah perasaan gelisah yang samar-samar atau ketakutan yang suram

mengantisipasi datangnya malapetaka atau hal buruk yang sering melibatkan

ancaman yang relatif tidak pasti atau tidak spesifik ( Sarafino, Smith, King, &

DeLongis, 2015) .

  Selain itu, menurut Sullivan kecemasan adalah ketegangan yang

  

bertentangan dengan ketegangan kebutuhan dan tindakan yang sesuai dengan

bantuannya (Fiest dan Fiest, 2008). Sedangkan Rogers mendefinisikan

kecemasan sebagai keadaan kegelisahan atau ketegangan yang penyebabnya tidak

diketahui (Fiest dan Fiest, 2008) . Kecemasan merupakan pengalaman subjektif

  yang tidak menyenangkan mengenai kekhawatiran atau ketegangan berupa perasaan cemas, tegang dan emosi yang dialami oleh seseorang (Ghufron & Risnawita, 2016). Kecemasan adalah keadaan mood negatif yang ditandai oleh

  

gejala-gejala fisik ketegangan psikologis oleh ketakutan tentang masa depan,

merasa bahwa seseorang tidak dapat memprediksi atau mengendalikan peristiwa

yang akan datang (Barlow dan Durand, 2009). Dari uraian diatas dapat

  disimpulkan bahwa Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

  Mutasi merupakan penempatan pegawai yang sering dilakukan dalam organisasi. Mutasi atau perpindahan adalah penempatan pegawai dalam suatu pekerjaan lain yang mengandung tugas-tugas, tanggung jawab, status dan upah yang hampir sama dengan tugas-tugas, tanggung jawab, status, dan upah dari pekerjaan yang sebelumnya (dalam Rahayu, 2005). Selain itu, Sastrohadiwiryo dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan fungsi ketenagakerjaan tenaga kerja ke situasi tertentu dengan tujuan agar tenaga kerja yang bersangkutan memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat memberikan hasil kerja semaksimal mungkin pada perusahaan (dalam Putri, 2015). Sedangkan berdasarkan Peraturan Kapolri No.16 tahun 2012 tentang mutasi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pemindahan pegawai negeri pada polri (alat negara berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakakan hukum, serta memberikan perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri) dari satu jabatan ke jabatan lain atau antar daerah. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa mutasi adalah kegiatan ketenagakerjaan yang berhubungan dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan fungsi ketenagakerjaan tenaga kerja ke situasi tertentu dari satu jabatan ke jabatan lain atau antar daerah.

  Anggota Polri yang selanjutnya disebut Anggota adalah pegawai negeri pada Polri dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi yang berdasarkan undang-undang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang kepolisian (Peraturan Kapolri 14 tahun 2011). Polri singkatan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Peraturan Kapolri 16 tahun 2012). pegawai negeri pada alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

  Berdasarkan beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Kecemasan Menghadapi Mutasi Anggota Polri adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan sesuatu yang buruk akan segera terjadi berhubungan dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan fungsi ketenagakerjaan tenaga kerja ke situasi tertentu dari satu jabatan ke jabatan lain atau antar daerah yang dialami pegawai negeri pada alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

2. Aspek Aspek Kecemasan Menghadapi Mutasi

  Menurut Nevid, Rathus, & Greene (2014) aspek aspek kecemasan terbagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut : a. Aspek fisik

  Seseorang mengalami kecemasan dapat tercermin dari kondisi fisik, seperti mengalami kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota tubuh yang bergetar (gemetar), sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi, kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dada, banyak keringat, telapak tangan berkeringat, pening atau pusing, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit kencang, suara yang bergetar, jari atau anggota tubuh menjadi dingin, merasa lemas atau mati rasa, terdapat gangguan sakit perut atau mual, seirng buang air kecil, wajah tersa memerah, merasa sensitif atau mudah marah (Nevid, Rathus, & Greene, 2014).

  b. Aspek behavioral Kecemasan yang dialami seseorang dapat terlihat dari perilakunya antara lain individu cenderung berperilaku menghindar, melekat dan dependen atau tergantung serta perilaku gelisah (Nevid, Rathus, & Greene, 2014).

  c. Aspek kognitif Kecemasan dapat ditandai dengan adanya ciri kognitif seperti

  

kekhawatiran, rasa takut atau ketakutan yang mengganggu tentang masa depan,

keasyikan dengan atau kesadaran yang tajam akan sensasi tubuh, ketakutan

kehilangan kendali, memikirkan pikiran yang mengganggu yang sama berulang

kali, campur aduk atau pikiran yang membingungkan, kesulitan berkonsentrasi

atau memfokuskan pikiran seseorang, dan berpikir bahwa segala sesuatunya tidak

terkendali (Nevid, Rathus, & Greene, 2014).

  Menurut Daradjat (1990), apek aspek kecemasan terbagi menjadi dua bentuk, yaitu a. Fisiologi : bentuk reaksi fisiologis berupa ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, pukulan jantung cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyeyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas sesak.

  b. Psikologis : berupa reaksi mental yang berupa sangat takut, merasa akan berdaya/rendah diri, hilang kepercaaan pada diri, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup.

  Menurut Shah (Ghufron & Risnawita, 2016) membagi kecemasan menjadi 3 komponen, yaitu: a. Komponen Fisik, seperti pusing, sakit perut, tangan berkeringat, perut mual, mulut kering, grogi.

  b. Emosional, seperti panik dan takut.

  c. Mental atau kognitif, seperti gangguan perhatian dan memori, kekhawatiran, ketidakteraturan dalam berfikir, dan bingung.

  Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecemasan Nevid, Rathus, & Greene (2014) meliputi aspek fisik, aspek behavioral, dan aspek kognitif. Sedangkan aspek-aspek kecemasan menurut Daradjat (1990) meliputi Fisiologis dan Psikologis. Selain itu, komponen kecemasan menurut Shah (Ghufron & Risnawita, 2016) meliputi komponen fisik, emosional dan mental atau kognitif. Pada penelitian ini, peneliti memilih aspek-aspek yang dikemukkan Nevid, Rathus, & Greene (2014) meliputi aspek fisik, aspek behavioral, dan aspek kognitif untuk mengungkapkan aspek-aspek Kecemasan Menghadapi Mutasi karena semua kecemasan memiliki gejala yang sama hanya saja yang dicemaskan berbeda. Pada penelitian ini aspek-aspek kecemasan diarahkan pada konteks kecemasan dalam menghadapi mutasi.

3. Faktor-Faktor Kecemasan Menghadapi Mutasi

  Nevid, Rathus, & Greene (2014) menyebutkan beberapa faktor faktor a. Faktor kognitif

  a) Prediksi berlebihan terhadap rasa takut Orang dengan gangguan gangguan kecemasan sering kali memprediksi secara berlebihan tentang seberapa besar ketakutan atau kecemasan yang akan mereka alami dalam situasi-situasi pembangkit kecemasan.

  b) Keyakinan yang self defeating atau irasional Pikiran-pikiran irasional dapat meningkatkan dan mengejakjan gangguan gangguan kecemasan dan fobia. Pikiran-pikiran irasional ini menginfensifikasi keterangsangan otonomik, mengganggu rencana, memperbesar aversivitas, mendorong tingkah laku menghindar, dan menurunnya harapan untuk

  

self efficacy sehubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengendalikan

emosi.

  c) Sensitivitas berlebih terhadap ancaman Suatu sensitivitas berlebih terhadap sinyal ancaman adalah ciri utama dari gangguan-gangguan kecemasan. Orang dengan fobia atau kecemasan merasa berbahaya pada situasi-situasi yang oleh kebanyakan orang dianggap aman.

  d) Sensitivitas kecemasan Sensitifitas kecemasan didefinisikan sebagai ketakutan terhadap kecemasan dan simtom-simtom ang terkait dengan kecemasan. Orang dengan taraf kecemasan yang tinggi terhadap kecemasan mempunyai ketakutan terhaap ketakutan iu sendiri.

  e) Salah mengatribusikan sinyal sinyal tubuh

  Orang yang mudah terkena gangguan panik cenderung salah untuk mengatrubsikan sinyal-sinyal tubuh seperti palpitasi jantung, pusing tujuh keliling, atau kepala enteng sebagai tanda untuk terjadainya serangan jantung atau hal lain yang mengancam.

  f) Self efficacy yang rendah Bila seseorang percaya bahwa seseorang tidak punya kemampuan untuk menanggulangi tantangan-tantangan penuh stres yang seseorang hadapi dalam hidup, seseorang akan merasa makin cemas bila seseorang berhadapan dengan tantangan-tantangan itu. Sebaliknya orang yang mampu melakukan tugas tugasnya, seeorang itu tidak akan dihantui oleh kecemasan, atau rasa takut bila seseorang itu berusaha melakukannya. Orang dengan self efficacy yang rendah (kurang yakin pada kemampuannya untuk melakukan tugas tugas dengan sukses) cenderung untuk berfokus pada ketidakadekuatan yang dipersepsikan.

  b. Faktor biologis

  a) Faktor faktor genetis Faktor genetis tampak mempunyai peran penting dalam perkembangan gangguan-gangguan kecemasan, termasuk panik, gangguan kecemasan menyeluruhm, gangguan obsesif-kompulik dan gangguan gangguan fobia.

  b) Neurotransmiter Sejumlah neurotransmiter berpengaruh pada reaksi kecemasan, termasuk gamma-aminobutyric acid (GABA) yaitu neurotransmiter yang inhibitori yang meredakan aktifitas berlebih dari saraf dan membantu untuk meredam respons-respons stres. Bila aksi GABA tidak menyebabkan kejang-kejang. Dalam kasus-kasus yang kurang dramatis, aksi GABA yang kurang adekuat dapat meningkatkan keadaan kecemasan.

  Adler dan Rodman (Ghufron & Risnawita, 2016) menyatakan terdapat dua faktor yang dapat menimbulkan kecemasan yaitu : a. Pengalaman negatif pada masa lalu

  Sebab utama dari timbulnya rasa cemas kembali pada masa kanak-kanak, yaitu timbulnya rasa tidak menyenangkan mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa mendatang, apabila individu menghadapi situasi yang sama dan juga menimbulkan ketidaknyamanan, seperti pengalaman pernah gagal dalam mengikuti tes.

  b. Pikiran yang tidak rasional Pikiran yang tidak rasional terbagi dalam empat bentuk, yaitu :

  a) Kegagalan ketastropik, yaitu adanya asumsi dari individu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya. Individu mengalami kecemasan serta perasaan ketidakmampuan dan ketidaksanggupan dalam mengatasi permaslaahannya.

  b) Kesempurnaan, individu mengharapkan kepada dirinya untuk berperilaku sempurna dan tidak memiliki cacat. Individu menjadikan ukuran kesempurnaan sebagai sebuah target dan sumber yang dapat memberikan inspirasi.

  c) Persetujuan, Persetujuan adanya kenyakinan yang salah didasarkan pada ide bahwa terdapat hal virtual yang tidak hanya diinkan, tetapi juga untuk d) Generalisasi yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang berlebihan, ini terjadi pada orang yang memiliki sedikit pengalaman.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor kecemasan menghadapi mutasi yang digunakan oleh peneliti adalah faktor faktor kecemasan menurut Nevid, Rathus, & Greene (2014) adalah faktor kognisi yang meliputi prediksi berlebih terhadapa rasa takut, keyakinan yang self defeating atau irasional, sensitivitas berlebih terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah mengatribusikan sinyal-sinyal tubuh, self efficacy yang rendah. Selain itu ada faktor biologis yang meliputi faktor faktor genetis dan neurotransmiter. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menurut Adler dan Rodman (Ghufron & Risnawita, 2014) meliputi pengalaman negatif pada masa lalu dan pikiran yang tidak rasional.

  Penanganan kecemasan yang dialami oleh individu dapat berbeda antara individu satu dengan individu lain tergantung pada penilaian individu terhadap kemampuan yang dimiliki (dalam Deviyanthi dan Widiasavitri, 2016). Bila seseorang percaya bahwa seseorang tidak punya kemampuan untuk menanggulangi tantangan-tantangan penuh stres yang seseorang hadapi dalam hidup, seseorang akan merasa makin cemas bila seseorang berhadapan dengan tantangan-tantangan itu (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Sebaliknya orang yang mampu melakukan tugas tugasnya, seeorang itu tidak akan dihantui oleh kecemasan, atau rasa takut bila seseorang itu berusaha melakukannya. Pada penelitian ini penulis memilih faktor self efficacy yang rendah. Self Efficacy individu mampu atau tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan. Orang dengan self efficacy yang rendah (kurang yakin pada kemampuannya untuk melakukan tugas tugas dengan sukses) cenderung untuk berfokus pada ketidakadekuatan yang dipersepsikan.

B. SELF EFFICACY

1. Pengertian Self Efficacy

  Bandura (Alwisol, 2009) mendefinisikan Self Efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan suatu tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan pencapaian tertentu. Menurut Baron & Byrne (2004) self efficacy merujuk pada keyakinan seseorang akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai tujuan, atau mengatasi sebuah hambatan. Sedangkan menurut Alwisol (2009)

  

Self Efficacy adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik

  atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Self efficacy berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita cita menggambarkan sesuatu yang ideal seharusnya (dapat dicapai), sedangkan self

  

efficacy menggambarkan penilaian kemampuan diri (Alwisol, 2009). Self-efficacy

  menurut Fiest dan Fiest (2008) mengacu pada keyakinan orang bahwa seseorang mampu melakukan perilaku-perilaku yang dapat menghasilkan hasil yang diinginkan secara khusus situasi. Self Efficacy didefinisikan sebagai keyakinan seseorang atas kemampuannya untuk menggerakkan motivasi, sumber kognitif, dan sumber tindakan yang diperlukan untuk menjalankan tugas dalam konteks tertentu (Luthans, 2010). Woolfolk menyebut self efficacy adalah kepercayaan mengenai kompetensi personal dalam situasi khusus (dalam Christian & Moningka, 2012)

  Berdasarkan beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa self

  

efficacy sebagai keyakinan seseorang untuk mempergunakan kontrol pribadi pada

  motivasi, kognisi, afeksi pada lingkungan sosialnya selain itu juga merupakan keyakinan bahwa seseorang mampu melaksanakan tugas, mencapai tujuan atau rintangan.

2. Aspek Aspek Self Efficacy

  Menurut Bandura (Alwisol, 2009) aspek aspek self efficacy meliputi :

  a. Level (Magnitude) Aspek ini berkaitan dengan penilaian individu terhadap tingkat kesulitan tugas yang sedang dihadapinya. Individu menilai dirinya merasa mampu atau tidak untuk melakukan tugas tersebut, sebab kemampuan diri individu berbeda- beda pada tingkat kesulitan tugas yang dihadapinya. Individu akan melakukan tugas yang menurutnya mudah untuk dikerjakan, kemudian akan berkembang untuk mengerjakan tugas tugas yang dianggapnya sulit (dalam Nurlaila, 2011).

  b. Strength Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan diri keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuanya untuk menyelesaikan tugas atau masalahnya, akan terus bertahan dan terus berjuang dalam berusaha, meskipun tersebut. Pengharapan yang kuat dan mantap pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan, walaupun mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang menunjang. Sebaliknya pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan kemampuan diri akan mudah digoyahkan oleh pengalaman- pengalaman yang tidak menunjang (dalam Christian & Moningka, 2012).

  c. Generality Aspek ini berkaitan dengan keyakinan individu akan kemampuannya melaksanakan tugas di berbagai aktivitas. Banyak aktivitas menuntut individu yakin akan kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan aktivitas tersebut. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, tergantung pada pemahaman kemampuan dirinya yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi (dalam Christian & Moningka, 2012).

  Aspek-aspek self efficacy menurut Luthans (2010) meliputi :

  a. Pengalaman penugasan atau pencapaian kinerja Pengalaman penugasan atau pencapaian kinerja inilah yang paling kuat dalam membentuk keyakinan efficacy karena merupakan informasi langsung mengenai kesuksesan. Proses situasi maupun kognitif (misal persepsi kemampuan seseorang) berkaitan dengan kinerja akan mempengaruhi penilaian dan keyakianan self efficacy. Bandura menunjukkan bahwa pengalaman yang diperoleh melalui usaha terus menerus dan kemampuan untuk belajar membuat

  

efficacy yang kuat dan fleksibel. Akan tetapi, efficacy yang dibangun dari kesuksesan yang datang dengan mudah tidak akan bertahan ketika muncul berbagai kesulitan.

  b. Pengalaman pribadi dan pemodelan Individu yang tidak mengalami secara langsung perilaku personal yang memperkuat pembelajaran (belajar sendiri dengan melihat dan mengamati orang lainyang relevan), hal yang sama juga terjadi pada pencapaian efficacy. Bandura menyatakan bahwa jika orang melihat orang lain seperti dirinya, yang berhasil karena usaha keras, mereka yakin bahwa mereka juga punya kapasitas untuk sukses.

  c. Persuasi sosial Keyakinan seseorang atas efficacy dapat diperkuat melalui pengaruh orang lainyang kompeten dan dihormati sehingga mereka mendapatkan apa yang diperlukan dan memberikan umpan balik positif pada perkembangan yang terjadi dalam tugas.

  d. Peningkatan fisik dan psikologis Orang sering mengandalkan perasaan mereka, secara fisik dan emosi, untuk menilai kapabilitas mereka. Jika individu berada dalam kondisi mental dan fisik yang sehat maka hai ini merupakan titik awal yang baik untuk membangun efficacy, kondisi tersebut juga meningkatkan efficacy seseorang pada tugas yang menuntut kondisi fisik dan atau psikologis yang baik. Aspek-aspek self efficacy menurut Baron & Byrne (2004) meliputi : a. Aspek akademik Berhubungan dengan keyakian akan kemampuanya melakukan tugas tugas, mengatur kegiatan mereka sendiri, dan hidul dengan harapan mereka sendiri dan orang lain.

  b. Aspek sosial Berhubungan dengan keyakian mereka akan kemampuannya membentuk dan mempertahankan hubungan, asertif, dan melakukan kegiatan di waktu senggang.

  c. Aspek Self Regulatory Berhubungan dengan kemampuan menolak tekanan teman sebaya dan mencegah kegiatan beresiko tinggi.

  Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek aspek Self

  

Efficacy menurut Bandura (Alwisol, 2009) meliputi Level (magnitude),

Generality, dan Strength. Selain itu aspek-aspek self efficacy menurut Luthans

  (2010) meliputi pengalaman penugasan atau pencapaian kinerja, pengalaman pribadi dan pemodelan, persuasi sosial dan peningkatan fisik dan psikologis.

  Sedangkan menurut Baron & Byrne (2004) aspek-aspek self efficacy meliputi aspek akademik. Aspek sosial dan aspek Self Regulatory. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan aspek-aspek dari Bandura (Alwisol, 2009) meliputi Level (magnitude), Generality, dan Strength karena sesuai dengan subyek penelitan.

C. HUBUNGAN SELF EFICACY DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI MUTASI

  Menurut Bandura self efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan atas kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan (Baron & Byrne, 2004). Keyakinan efficacy dikatakan dapat mempengaruhi individu menginterpretasikan suatu kejadian. Individu yang memiliki self efficacy yang rendah dengan mudah akan yakin bahwa usaha yang mereka lakukan dalam menghadapi tantangan yang sulit akan sia-sia, sehingga mereka cenderung untuk mengalami gejala negatif yang datang. Sedangkan individu yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung untuk melihat tantangan sebagai suatu yang dapat diatasi yang diberikan oleh kompetensi dan upaya yang cukup (dalam Christian & Moningka, 2012). Ketika individu menghadapi suatu tekanan yaitu kecemasan, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka (self efficacy) akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Baron & Byrne, 2004). Efikasi diri bervariasi dari situasi ke situasi tergantung pada kompetensi yang dibutuhkan untuk kegiatan yang berbeda, ada atau tidaknya orang lain, itu kompetensi yang dirasakan dari orang lain ini, terutama jika mereka adalah pesaing; itu predisposisi orang untuk menghadiri kegagalan kinerja daripada kesuksesan; dan keadaan fisiologis yang menyertainya, terutama adanya kelelahan, kecemasan, apati, atau putus asa (Fiest dan Fiest, 2008) .

  Bandura mengindikasi bahwa self efficacy berhubungan dengan kondisi berkaitan dengan penilaian individu terhadap tingkat kesulitan dalam menjalankan suatu tugas yang sedang dihadapinya (dalam Nurlaila, 2011).

  Seseorang yang gagal dalam menjalankan tugas atau mentukan keadaan yang terlalu menuntutnya cenderung akan lebih mengalami simptom fisiologis seperti jantung berdebar, wajah memerah, tangan berkeringat, pusing dan lain-lain (Alwisol, 2009). Nevid, Rathus, & Greene (2014) menjelaskan reaksi fisik yang dialami ketika individu merasa cemas, seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, wajah memerah, pusing. Feist & Feist (2008) mengemukakan bahwa ketika seseorang mengalami kecemasan yang tinggi maka mereka biasanya memiliki self efficacy yang rendah, sementara mereka yang memiliki self efficacy tinggi merasa mampu mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.

  Sumber sumber self efficacy adalah pengalaman penguasaan, pengalaman pribadi atau pemodelan, persuasi sosial, dan peningkatan fisik dan psikoloisi (Luthans, 2010). Orang sering mengandalakan perasaan mereka, secara fisik dan emosi, untuk menilai kapabilitas mereka. Jika ada hal-hal negatif ( misal orang sangat lelah dan atau tidak sehat secara fisik atau cemas/depresi dan atau merasa tertekan), maka hal tersebut akan sangat mengurangi efikasi (Luthans, 2010). Jika keadaan fisik dan mental dalam keadaan baik, maka kondisi tersebut tidak memberikan kontribusi pada efikasi individu. Jika individu berada dalam kondisi mental dan fisik yang sehat maka hai ini merupakan titik awal yang baik untuk membangun efikasi. Kondisi tersebut juga meningkatkan efikasi seseorang pada tuga yang menuntut kondisi fisik ataupun psikologis yang baik (Luthans, 2010).

  Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkah laku adalah resiprokal antara lingkungan, tingkah laku, dan pribadi. Self efficacy merupakan variabel pribadi yang penting, yang kalau di gabung dengan tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu tingkahlaku mendatang yang penting (Alwisol, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mu’arifah (2005), menyebutkan bahwa kecemasan yang tidak teratasi dapat menimbulkan gangguan perilaku, berupa perilaku menghindar. Perilaku menghindar merupakan salah satu gejala kecemasan berdasarkan aspek behavioral yaitu individu cenderung berperilaku menghindar, melekat dan dependen atau tergantung serta perilaku gelisah (Nevid, Rathus, & Greene, 2014). Self efficacy berdasarkan aspek Strength berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinan atas kemampuanya. Orang yang yakin dirinya mampu dalam menghadapi lingkunganya, maka ketika situasi dan lingkungan yang sedang dihadapi menekan individu tersebut, individu akan merasa tenang dan tidak khawatir, serta dapat berfikir jernih (Baron & Byrne, 2004). Sedangkan individu akan menghindari tugas atau situasi yang diyakini diluar kemampuan individu, sebaliknya individu akan mengerjakan aktivitas yang diyakini mampu untuk diatasi (dalam Nurlaila, 2011). Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan cenderung memilih tugas yang lebih sukar dan mengandung tantangan dari pada individu yang memiliki self efficacy rendah. Self efficacy yang tinggi sulit. Sebaliknya, orang yang meragukan kemampuan dirinya, mereka bisa percaya bahwa sesuatu itu lebih sulit daripada sebenarnya (dalam Mukhid, 2009).

  Aspek Generality berkaitan dengan keyakinan individu akan kemampuannya melaksanakan tugas di berbagai aktivitas. Banyak aktivitas menuntut individu yakin akan kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan aktivitas tersebut. Menurut Bandura (Lhuthans, 2010) penilaian individu akan kemampuannya juga mempengaruhi pola pemikiran. Individu yang merasa tidak yakin akan kemampuannya mengatasi tuntutan lingkungan akan mempersepsikan kesukaran lebih hebat daripada yang sesungguhnya. Individu yang memiliki self

  

efficacy yang kuat akan kemampuannya melakukan usaha untuk memenuhi

  tuntutan lingkungan, sekalipun mengahadapi hambatan. Self efficacy juga membentuk pemikiran tentang sebab-akibat. Ketika mencari penyelesaian masalah, individu dengan self eficacy lebih tinggi cenderung mengatribusikan kegagalannya pada kurangnya usaha, sementara individu dengan kemampuan yang sama tetapi self efficacy lebih rendah menganggap kegagalan tersebut berasal dari kurangnya kemampuan. Individu yang memiliki self efficacy tinggi memiliki suasana hati yang lebih baik, seperti rendahnya tingkat kecemasan atau depresi ketika mengerjakan tugas daripada individu yang self efficacy nya rendah (Lhuthans, 2006).

  Mutasi merupakan fenomena yang biasa terjadi di Instansi Kepolisian. Mutasi adalah pemindahan pegawai negeri pada Polri dari suatu jabatan ke jabatan lain atau antar daerah (Peraturan Kapolri No. 16 tahun 2012). mutasi kepentingan organisasi. Selain itu mutasi bagi anggota Polri selalu ada kapan saja dan dimana saja. Anggota Polri tidak akan pernah mengetahui kapan akan dimutasi dan dimana akan dimutasikan namun mutasi merupakan ketetapan wajib bagi setiap Anggota Polri di Instansi Kepolisian. Sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 5 tahun 2006 tentang penerimaan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia setiap anggota Polri harus bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bersedia ditempatkan pada semua bidang tugas pokok Polri. Dari hasil wawancara pertama dari 6 anggota Polri Polres Gunungkidul dapat disimpulkan bahwa terdapat gejala gejala kecemasan yang di alami dalam menghadapi mutasi anggota Polri di Polres Gunungkidul.

  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahyu (2005) di Lingkungan Pegawai UNY menyatakan bahwa perasaan khawatir serta kecemasan menjadi salah satu dampak psikologis yang dialami oleh pegawai yang mengalami Mutasi (pemindahan). Mutasi merupakan penempatan pegawai yang sering dilakukan dalam organisasi. Mutasi atau perpindahan adalah penempatan pegawai dalam suatu pekerjaan lain yang mengandung tugas-tugas, tanggung jawab, status dan upah yang hampir sama dengan tugas-tugas, tanggung jawab, status, dan upah dari pekerjaan yang sebelumnya. Pelaksanaan mutasi dapat didasari oleh prakarsa pimpinan dengan pertimbangan pembinaan karir pegawai dan atau untuk kepentingan organisasi (lembaga), tetapi dapat pula terjadi karena keingian pegawai yang bersangkutan (dalam Rahayu, 2005). dampak kebijakan mutasi PNS dalam lingkungan dinas pendidikan Kabupaten Sintang menunjukkan bahwa salah satu evaluasi dampak mutasi PNS yang dirasakan adalah perasaan resah akan pekerjaannya setelah mutasi terjadi.

  Perasaan resah merupakan salah satu gejala kecemasan, kecemasan bisa jadi berupa perasaan gelisah yang bersifat subjektif, sejumlah perilaku (tampak khawatir dan gelisah atau resah), maupun respon fisiologis tertentu (Barlow dan Durand, 2009). Kecemasan bersifat kompleks dan merupakan keadaan suasana hati yang berorientasi pada masa yang akan datang dengan ditandai adanya kekhawatiran karena tidak dapat memprediksi atau mengontrol kejadian yang akan datang (Barlow dan Durand, 2009).

  Pada penelitian Were dan Ilyas (2016) tentang analisis Kebijakan Mutasi Jabatan dan Implikasinya terhadap Kinerja PNS di Pemerintahan Kabupaten Soppeng menjelaskan bahwa mutasi pegawai yang baik adalah salah satu sendi lembaga yang baik karena dengan sistem mutasi pegawai yang tepat dan dilaksanakan dengan baik akan menimbulkan kinerja yang tinggi, rasa tanggung jawab dari sesuatu organisasi dan seluruh pegawai begitu pula sebaliknya apabila tidak ada sistem mutasi pegawai yang baik secara formil akan menyebabkan frustasi yang dapat menimbukan bahaya bagi organisasi. Kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan (dalam Sutrisno, 2013). Dari beberapa penelitan terdahulu yang telah dilakukan tentang Mutasi bagi karyawan maupun anggota PNS didapatkan hasil bahwa Mutasi dapat menyebabkan kecemasan pada individu yang bekerja baik di instansi pemerintahan maupun karyawan swasta.

  Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang membuktikan adanya hubungan antara self efficacy dengan kecemasan. Seperti penelitan eksperimen yang dilakukan oleh Nurlaila (2011) yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan bahwa pelatihan self efficacy menurunkan kecemasan siswa yang sedang menghadapi Ujian Akhir Nasional. Selain itu, penelitian kuantitatif dari Riani dan Rozali (2014) di Jakarta ditemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara self efficacy dengan kecemasan. Penelitan berikutnya yang dilakukan oleh Deviyanthi dan Widiasavitri (2016) di Bali menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara self efficacy dengan kecemasan komunikasi dalam presentasikan tugas di depan kelas. Berdasarkan hasil penelitian sebelumya dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan negatif antara self efficacy dengan kecemasan.

  Berdasarkan paparan di atas, peneliti mengasumsikan bahwa terdapat pengaruh self efficacy terhadap kecemasan menghadapi mutasi anggota Polri.

D. HIPOTESIS

  Pada penelitian ini, peneliti mengajukan sebuah hipotesis yaitu ada hubungan negatif antara self efficacy dengan kecemasan menghadapi mutasi anggota Polri. Semakin tinggi self efficacy maka semakin rendah kecemasan menghadapi mutasi anggota Polri. Begitu pula sebaliknya, apabila self efficacy rendah, maka semakin tinggi pula kecemasan menghadapi mutasi anggota Polri.