UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF SERTA SELF-EFFICACY DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI DISCOVERY LEARNING.
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF SERTA SELF-EFFICACY DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
MELALUI DISCOVERY LEARNING
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Peryaratan Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika
OLEH
ADE NANDANG MUSTAFA 1201621
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG
(2)
LEMBAR PERSETUJUAN TESIS
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF SERTA SELF-EFFICACY DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA MELALUI DISCOVERY LEARNING
Oleh:
ADE NANDANG MUSTAFA 1201621
Disetujui oleh:
Pembimbing I,
Prof. Dr. H. Tatang Herman, M.Ed.
Pembimbing II,
Dr. Stanley Dewanto, M.Pd.
Mengetahui:
Ketua Program Studi Pendidikan Matematika
(3)
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF
SERTA
SELF-EFFICACY
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
MELALUI
DISCOVERY LEARNING
Oleh
Ade Nandang Mustafa S.Pd UPI Bandung, 2011
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Matematika
Sekolah Pascasarjana UPI
© Ade Nandang Mustafa 2014 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
(4)
EMBAR PERSETUJUAN TESIS ... i
PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... 1
DAFTAR TABE ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR AMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHUUAN ... 1
A. atar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 19
E. Definisi Operasional ... 20
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 22
A. Kemampuan Berpikir ... 22
B. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 26
C. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 33
D. iscovery Learning ... 38
E. Self-Efficacy dalam Pembelajaran Matematika ... 41
F. Keterkaitan antara Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis serta Self-Efficacy dengan iscovery Learning ... 46
(5)
A. Desain Penelitian ... 54
B. Populasi dan Sampel ... 54
C. Variabel Penelitian ... 55
D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 55
1. Tes Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis ... 56
2. Skala Self-Efficacy ... 60
3. Pedoman Observasi ... 62
4. Pedoman Wawancara ... 62
E. Prosedur Penelitian ... 63
F. Analisis Instrumen ... 63
1. Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis ... 63
2. Skala Self-efficacy ... 71
G. Analisis Data ... 74
1. Analisis Data Kuantitatif ... 74
2. Analisis Data Deskriptif ... 80
BAB IV HASI PENEITIAN DAN PEMBAHASAN ... 82
A. Hasil Penelitian ... 82
1. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 82
2. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 100
3. Self-Efficacy Siswa terhadap Matematika ... 118
4. Hasil Observasi ... 137
(6)
2. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematis ... 145
3. Korelasi antara Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dengan Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 146
4. Asosiasi antara Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dengan Self-Efficacy ... 147
5. Asosiasi antara Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dengan Self-Efficacy ... 148
6. Interaksi antara Faktor Pembelajaran yang Diberikan dengan Faktor Kemampuan Awal Siswa terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis ... 148
7. Interaksi antara Faktor Pembelajaran yang Diberikan dengan Faktor Kemampuan Awal Siswa terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 149
8. Pencapaian Kemampuan Self-Efficacy Siswa ... 150
BAB V KESIMPUAN DAN REKOMENDASI ... 152
A. Kesimpulan ... 152
B. Rekomendasi ... 155
(7)
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah pengaruh Discovery Learning terhadap kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis serta self-efficacy ditinjau dari keseluruhan, kemampuan awal, serta dimensi self-efficacy. Diungkap pula interaksi antara faktor pembelajaran dan kategori kemampuan siswa. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian eksperimen ini adalah kelompok kontrol pretes-postes. Instrumen yang digunakan berupa tes kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis, skala self-efficacy, pedoman observasi, dan pedoman wawancara. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Lembang dengan sampel penelitian dua kelas yang dipilih secara acak. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji-t, ANOVA dua jalur, korelasi Pearson, dan koefisien kontingensi. Analisis kualitatif dilakukan dengan menelaah hasil skala self-efficacy, pedoman observasi, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari keseluruhan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis kelompok Discovery Learning lebih baik dibandingkan kelompok konvensional. Secara keseluruhan, peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis kelompok Discovery Learning lebih baik dibandingkan kelompok konvensional. Siswa dengan kategori atas dan bawah kelompok Discovery Learning memiliki peningkatan kemampuan yang lebih baik dibandingkan kelompok konvensional, baik ditinjau dari kemampuan berpikir kritis maupun kreatif matematis. Terdapat korelasi yang kuat antara peningkatan kemampuan berpikir kritis dengan kemampuan berpikir kreatif matematis. Tidak terdapat asosiasi self-efficacy dengan peningkatan kemampuan berpikir kritis maupun kreatif matematis. Tidak ada interaksi antara faktor pembelajaran dan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis maupun kreatif matematis. Secara keseluruhan, self-efficacy kelompok Discovery Learning lebih baik daripada self-efficacy kelompok konvensional. Melalui dimensinya, self-efficacy dimensi magnitude kelompok Discovery Learning tidak lebih baik dibandingkan kelompok konvensional. Melalui kemampuan awal, self-efficacy siswa kategori atas kelompok Discovery
Learning lebih baik dibandingkan dengan kelompok konvensional.
Kata Kunci: Discovery Learning, Kemampuan Berpikir Kritis Matematis, Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis, dan Self-Efficacy
(8)
Learning".
This study aimed to examine the influence of Discovery Learning on the ability to think critically and creatively mathematical and self-efficacy in terms of overall, prior knowledge, and dimensions of self-efficacy. Also revealed the interaction between the learning factor and category of abilities of students. The research design used in this experimental study was pretest-posttest control group. The instrument used in the form of a test's ability to think critically and creatively mathematical, self-efficacy scale, observation, and interview guides. The population of this study are all seventh grade students of SMP Negeri 2 Lembang with two research samples randomly selected classes. Quantitative analysis was performed using t-test, two-way ANOVA, Pearson correlation, and contingency coefficient. Qualitative analysis was performed by examining self-efficacy scale results, observation, and interviews. The results showed that in terms of overall, the increase in critical thinking skills mathematically of Discovery Learning group is better than the conventional group. Overall, the increased ability to think creatively mathematical of Discovery Learning group is better than the conventional group. Students with top and bottom categories of Discovery Learning group has an increased ability better than conventional group, both in terms of the ability to think critically and creatively mathematical. There is a strong correlation between the increase in critical thinking skills with the increase in creative thinking mathematically. There was no association of self-efficacy with increased ability to think critically and creatively mathematical. There is no interaction between factors of learning and students' initial ability to the increase in the ability to think critically and creatively mathematically. Overall, self-efficacy group of Discovery Learning is better than the conventional self-efficacy group. Through the dimensions, dimension magnitude of Discovery Learning group was no better than the conventional group. Through the initial ability, self-efficacy of top category student of Discovery Learning group is better than the conventional group. Keywords: Discovery Learning, Critical Thinking Mathematically, Creative Thinking Mathematically, and Self-Efficacy
(9)
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia terbilang sudah sebelas kali mengubah dan menyempurnakan kurikulum pendidikan. Dimulai kurikulum tahun 1947 yang dikenal dengan nama Rencana Pelajaran, tahun 1964 dengan Rencana Pendidikan Sekolah Dasar, tahun 1968 dengan Kurikulum Sekolah Dasar, tahun 1973 dengan Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), tahun 1984 dengan Kurikulum 1984, tahun 1994 dengan Kurikulum 1994, tahun 1997 dengan Revisi Kurikulum 1994, tahun 2004 dengan Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), tahun 2006 dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan yang mutakhir adalah Kurikulum 2013 yang mulai diaplikasikan di beberapa sekolah pada pertengahan tahun 2013 (Kemendikbud, 2012).
Setiap perubahan kurikulum pasti memiliki alasan yang mendasar dan penting. Walaupun kadang terindikasi adanya muatan politis. Karena biasanya berbeda pimpinan, terjadi perubahan. Belum terlihat blue print yang menjadi garis besar haluan pendidikan di Indonesia. Memang dalam hal pendidikan, Indonesia terkesan masih mencari jati diri. Belum ditemukan formula pendidikan yang cocok untuk diterapkan di negara kepulauan yang sangat besar ini.
Dalam kacamata penulis, rancangan kurikulum 2013 merupakan salah satu rancangan kurikulum ideal, jika ditinjau dari kerangka teori yang menopangnya. Namun masih terdapat beberapa keraguan tentang hasil pengaplikasiannya. Salah satunya adalah bagaimana sumber daya guru siap untuk menerapkan sebelum kurikulum ini diaplikasikan secara menyeluruh. Karena kurikulum ini penuh dengan muatan teoritis, sedangkan sebagian besar guru terbiasa dengan hal-hal yang teknis, sehingga diperlukan pelatihan-pelatihan intensif agar pelaksanaannya dapat sesuai dengan apa yang dirumuskan. Sampai saat waktunya
(10)
diimplementasikan secara menyeluruh, masih terdapat kekurangan yang terjadi, diantaranya belum siapnya buku pegangan guru dan siswa serta durasi pelatihan guru yang dirasa masih kurang cukup.
Tabel 1.1
Alasan Pengembangan Kurikulum
Sumber: Kemendikbud (2012) Tantangan Masa Depan Globalisasi: WTO, ASEAN
Community, APEC, CAFTA
Masalah lingkungan hidup
Kemajuan teknologi informasi
Konvergensi ilmu dan teknologi
Ekonomi berbasis pengetahuan
Kebangkitan industri kreatif dan budaya
Pergeseran kekuatan ekonomi dunia
Pengaruh dan imbas teknosains
Mutu, investasi, dan transformasi pada sektor pendidikan
Hasil TIMSS dan PISA
Kompetensi Masa Depan Kemampuan berkomunikasi
Kemampuan berpikir jernih dan kritis
Kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan
Kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab
Kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda
Kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal
Memiliki minat luas dalam kehidupan
Memiliki kesiapan untuk bekerja
Memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya
Memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan
Kurikulum 2013 menekankan adanya peningkatan efektivitas belajar dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Karena dirasa kurikulum sebelumnya belum mengedepankan hal ini. Terdapat tiga aspek yang diperhatikan, yakni efektivitas interaksi, pemahaman, dan penyerapan. Untuk meningkatkan efektivitas interaksi dapat ditempuh dengan membentuk iklim akademik dan budaya sekolah yang kondusif dalam meningkatkan kompetensi siswa serta manajemen dan kepemimpinan yang sehat. Efektivitas pemahaman dapat diupayakan dengan meramu pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), bertanya, asosiasi, menyimpulkan, mengkomunikasikan, dan
(11)
penyerapan dapat ditempuh melalui pembelajaran horizontal dan vertikal yang berkesinambungan. Secara sederhana ditampilkan dalam gambar berikut.
Gambar 1.1
Strategi Peningkatan Efektivitas Pembelajaran
Sumber: Kemendikbud: 2012
Perubahan yang signifikan terjadi pada kurikulum 2013 dibandingkan dengan KBK maupun KTSP. Beberapa diantaranya adalah perubahan kedudukan dan ruang lingkup elemen standar kompetensi lulusan, standar proses, standar isi, dan standar penilaian. Perubahan tersebut terdiri dari: a) adanya peningkatan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan; b) kompetensi yang semula diturunkan dari mata pelajaran berubah menjadi mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi; c) pendekatan pembelajaran tematik, mata pelajaran wajib dan pilihan, dan vokasi disesuaikan berdasarkan jenjang pendidikan; d) perubahan struktur kurikulum yang berkaitan dengan mata pelajaran dan alokasi waktu; e) proses pembelajaran yang terkait dengan pendekatan pembelajaran (pembelajaran saintifik); f) penilaian; g) ekstrakurikuler.
Contohnya adalah penguatan proses pembelajaran melalui penerapan pembelajaran saintifik yang menitikberatkan pada kemampuan siswa bertanya,
(12)
mengamati, menalar, mensintesis, menyimpulkan, mengevaluasi, dan mencipta (Kemendikbud: 2012). Pembelajaran saintifik merupakan proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengkonstruk konsep, hukum, atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan, dan mengkomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang “ditemukan”. Proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud: 2013b).
Prinsip-prinsip pembelajaran dengan pendekatan saintifik (Kemendikbud: 2013b): 1) pembelajaran berpusat pada siswa; 2) pembelajaran membentuk
students’ self concept; 3) pembelajaran terhindar dari verbalisme; 4) pembelajaran
memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip; 5) pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir siswa; 6) pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan motivasi mengajar guru; 7) memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan dalam komunikasi; 8) adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya
Penilaian pada pembelajaran dengan pendekatan saintifik meliputi: penilaian proses, penilaian produk, dan penilaian sikap. Penilaian proses atau keterampilan dilakukan melalui observasi saat siswa bekerja kelompok, bekerja individu, berdiskusi, dan presentasi dengan menggunakan lembar observasi kinerja. Penilaian produk berdasarkan pada hasil tes tertulis yang diberikan guru dan penilaian sikap melalui observasi saat siswa bekerja kelompok, bekerja individu, berdiskusi, dan saat presentasi dengan menggunakan lembar observasi sikap.
Salah satu alasan pengembangan kurikulum adalah rendahnya pencapaian Indonesia dalam Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Program for International Student Assessment (PISA) sampai pada asesmen mutakhir yang keduanya lakukan masing-masing pada tahun 2011 untuk TIMSS
(13)
dan tahun 2012 untuk PISA. Akan tetapi sebelum menyoroti hasil yang diperoleh Indonesia dalam kedua ajang tersebut, ada baiknya perlu diketahui aspek-aspek yang diuji oleh keduanya sehingga dapat dianalisa kesenjangan antara harapan dan fakta yang terjadi, terutama yang berkaitan langsung dengan asesmen matematika.
TIMSS adalah sebuah asesmen internasional terhadap matematika dan sains pada kelas 4 dan kelas 8 yang telah dan masih diselenggarakan setiap empat tahun sejak 1995. TIMSS adalah proyek dari IEA (International Association for the
Evaluation of Educational Achievement) yang berpusat di Amsterdam, dan IEA
mengelola langsung TIMSS & PIRLS (Progress in International Reading
Literacy Study) Center di Boston College. TIMSS melakukan asesmen terhadap
banyak negara di seluruh dunia dan mengumpulkan informasi mengenai konteks pendidikan matematika dan sains.
TIMSS masih menjadi salah satu asosiasi asesmen pendidikan terbesar dan terpercaya di dunia. Banyak negara merujuk pada hasil TIMSS dalam hal pengembangan pendidikan di negaranya. TIMSS sendiri telah mengumpulkan data matematika dan sains pada tahun 1995, 1999, 2003, 2007, dan 2011. Hasil dari TIMSS sepertinya banyak mengubah kebijakan pendidikan dari negara yang berpartisipasi di TIMSS. Contohnya perubahan kurikulum di Indonesia yang mencantumkan hasil TIMSS sebagai tantangan masa depan dalam ranah pendidikan.
Secara rutin TIMSS mengumpulkan informasi penting tentang pendidikan yang berkenaan dengan kualitas dan kuantitas pembelajaran di kelas. TIMSS memberikan informasi yang detail mengenai lingkup kurikulum matematika dan sains meliputi implementasinya, pendidikan guru, keberadaan sumber daya, dan penggunaan teknologi dalam pendidikan. hasil temuan TIMSS menjadi bahan yang penting untuk dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan di negara-negara anggotanya. Bahkan di Indonesia, temuan TIMSS menjadi salah satu alasan utama mengapa kurikulum terus dikembangkan. Terdapat kesan selama hasil pada ajang TIMSS belum memuaskan maka pendidikan di Indonesia masih
(14)
belum mencapai keberhasilan. Walaupun penulis menganggap hasil TIMSS bukanlah sesuatu yang esensi.
Penilaian TIMSS terhadap kemampuan matematika meliputi dua dimensi: 1) dimensi konten yang berkaitan dengan materi pelajaran dan 2) dimensi kognitif yang berkaitan dengan proses kognitif atau berpikir. Pada kelas 4, TIMSS menilai pengetahuan siswa dalam tiga domain konten: bilangan, bentuk dan ukuran geometri, dan menampilkan data. Pada kelas 8, TIMSS menilai pengetahuan siswa dalam empat domain konten: bilangan, aljabar, geometri, dan data dan peluang.
Tabel 1.2
Perubahan Perolehan Skor Siswa Kelas 8 Berdasarkan Sistem Pendidikan: 2007-2011 dan 1995-2007-2011
Sumber:Provasnik, S., Kastberg, D., Ferraro, D., Lemanski, N., Roey, S., dan Jenkins, F. (2012)
Rata-rata perolehan skor matematika Indonesia dalam TIMSS tahun 2011 menurun 11 poin dibandingkan dengan perolehan pada tahun 2007. Pada tahun 2007 Indonesia memperoleh skor 397, sedangkan pada 2011 memperoleh skor 386. Secara umum, dari 56 negara peserta pada tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat 38 dengan rata-rata skor 386. Rata-rata skor yang diperoleh Indonesia masih di bawah rata-rata skor acuan, di antaranya rata-rata skor TIMSS yakni 500
(15)
dan rata-rata skor United States yakni 509. Hal ini masih dianggap kurang membanggakan jika dibandingkan dengan negara yang mendapat peringkat lima teratas yang semuanya dari Asia. Perlu dianalisis faktor yang mempengaruhi rendahnya pencapaian Indonesia pada ajang ini. Beberapa ahli meragukan tingkat representasi samapel yang diambil oleh TIMSS, karena soal yang diberikan dianggap seharusnya sudah dapat dikuasai dengan baik oleh sebagian besar siswa di Indonesia. Namun, hal ini masih dalamm kerangka dugaan, sehingga diperlukan penelitian lebih mendalam tentangnya.
Tabel 1.3
Rata-Rata Skor Matematika Siswa Kelas 8: 2011
Sumber:Provasnik, S., Kastberg, D., Ferraro, D., Lemanski, N., Roey, S., dan Jenkins, F. (2012)
Melalui rata-rata skor yang diperoleh Indonesia dapat dianalisis pencapaian melalui perolehan nilai berdasarkan domain konten dan domain kognitif yang diujikan TIMSS. Berdasarkan skor perolehan pada domain konten, Indonesia memperoleh skor 375 pada konten bilangan, 392 pada konten aljabar, 377 pada konten geometri, dan 376 pada konten data dan peluang. Keempatnya masih di
(16)
bawah rata-rata skor United States yang menjadi rata-rata skor acuan yakni 514 pada konten bilangan, 512 pada konten aljabar, 485 pada konten geometri, dan 527 pada konten data dan peluang. Imlikasinya adalah kemampuan siswa Indonesia masih rendah pada keempat domain tersebut, sehingga masih diperlukan perhatian yang menyeluruh.
Dalam domain kognitif, Indonesia masih jauh dibandingkan dengan lima negara teratas dari Asia. Skor Indonesia pada domain pengetahuan 31%, domain penerapan 23%, dan yang paling rendah adalah domain penalaran yakni 17%. Bandingkan dengan negara Cina, Hongkong, Korea, Singapura, dan Jepang, negara-negara tersebut memperoleh lebih dari 50% untuk ketiga domain kognitif.
Tabel 1.4
Rata-Rata Skor Domain Konten dan Kognitif Matematika Siswa Kelas 8: 2011
Sumber:Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P., dan Arora, A. (2011) Mathematics Cognitive Domains
Knowing Applying Reasoning
Singapore 82 (0.8) 73 (1.0) 62 (1.1)
Korea, Rep. of 80 (0.5) 73 (06) 65 (0.6)
Hongkong SAR 77 (0.8) 67 (0.9) 56 (1.0)
Chinese Taipei 77 (0.6) 72 (0.6) 63 (0.7)
Japan 70 (0.6) 64 (0.6) 56 (0.7)
Indonesia 31 (0.7) 23 (0.6) 17 (0.4)
Penulis mencoba menganalisis pencapaian Indonesia pada ajang ini. Analisis dilakukan dengan mencermati contoh soal yang diberikan dan perolehan Indonesia dibandingkan dengan peserta lain. Dalam menyelesaikan soal tingkat tinggi ini, diperlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti kemampuan penalaran, pemecahan masalah, berpikir kreatif, dan berpikir kritis. Seperti yang dikemukakan dalam laporan TIMSS 2011 (Mullis, Martin, Foy, dan Arora, 2011):
“Students can reason with information, draw conclusions, make
generalizations, and solve linear equations. Students can solve a variety of fraction, proportion, and percent problems and justify their conclusions. Students can express generalizations algebraically and model situations. They can solve a variety of problems involving equations, formulas, and functions. Students can reason with geometric
(17)
figures to solve problems. Students can reason with data from several sources or unfamiliar representations to solve multi-step problems”.
Siswa dapat bernalar dengan informasi, membuat kesimpulan, membuat generalisasi, dan menyelesaikan persamaan linear. Siswa dapat menyelesaikan beragam macam masalah pecahan, perbandingan, dan persen dan menjustifikasi kesimpulan mereka (siswa). Siswa dapat mengkomunikasikan generalisasi secara aljabar dan model dari situasi. Mereka (siswa) dapat menyelesaikan beragam macam dari masalah yang melibatkan persamaan, rumus, dan fungsi. Siswa dapt bernalar dengan gambar geometri untuk memecahkan masalah. siswa dapt bernalar dengan data dari beberapa sumber atau representasi yang tidak familiar untuk memecahkan masalah multi langkah. Contoh item soal pertama adalah sebagai berikut:
Gambar 1.2
Contoh Soal Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi TIMSS: 2011 (Contoh 1)
Sumber:Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P., dan Arora, A. (2011)
Soal di atas mengharuskan siswa menemukan komposisi dari letak dan penempatan buku sehingga diperoleh jumlah buku terbanyak yang dapat
(18)
setiap buku dengan cara berdiri (vertikal) dalam kotak atau kombinasi penempatan secara vertikal dan horizontal. Gambar ilustrasinya dalah sebagai berikut.
Gambar 1.3 (a)
Penempatan Buku Dalam Kotak (Ilustrasi 1)
Gambar 1.3 (b)
Penempatan Buku Dalam Kotak (Ilustrasi 2)
Dengan cara yang ditampilkan pada Gambar 1.3 (a), ke dalam kotak dapat dimasukkan 12 buah buku. Di sisi lain, dengan menggunakan cara yang ditampilkan pada Gambar 1.3 (b), ke dalam kotak dapat dimasukkan 10 buah buku. Siswa dituntut untuk dapat menemukan atau mendaftar komposisi lain dari penempatan buku dalam kotak dan menentukan berapa jumlah buku terbanyak yang dapat masuk ke dalam kotak. Paling tidak, terdapat beberapa kemampuan yang harus dimiliki siswa untuk dapat menemukan jawaban yang tepat dari permasalahan tersebut. Kemampuan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kemampuan pemahaman matematis
Kemampuan pemahaman matematis yang harus dimiliki untuk dapat menyelesaikan persoalan di atas adalah kemampuan pemahaman interpolasi dan ekstrapolasi. Interpolasi digunakan untuk menafsirkan maksud dari bacaan, tidak hanya berkaitan dengan redaksi, tetapi juga berkenaan dengan pemahaman informasi dari sebuah gagasan. Ekstrapolasi mencakup estimasi yang didasarkan
(19)
pada hasil pemikiran, mencakup pembuatan kesimpulan yang sesuai dengan informasi.
2. Kemampuan penalaran matematis
Kemampuan ini dirasa terlibat karena dalam proses penyelesaian soal di atas, siswa memerlukan proses pemikiran yang logis sehingga diperoleh kesimpulan yang logis pula. Siswa harus berpikir dengan pola logika tertentu dan berpikir dengan secara analitik.
3. Kemampuan koneksi matematis
Tipe kemampuan koneksi yang paling terlibat adalah modelling connections (NCTM, 1989). Modelling connections merupakan hubungan antara situasi masalah yang muncul di dalam dunia nyata dengan representasi matematisnya. Dengan kata lain soal tersebut menuntut kemampuan koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari.
4. Kemampuan pemecahan masalah matematis
Suatu soal disebut masalah jika soal tersebut merupakan soal yang non-rutin dan menjadi tantangan bagi siswa. Dengan melihat persentase siswa yang dapat menjawab soal tersebut, ada indikasi bahwa soal merupakan soal yang non-rutin dan siswa merasa kesulitan. Paling tidak hal tersebut dialami oleh sebagian besar siswa yang menjadi sampel TIMSS. Masalah tersebut dapat digolongkan ke dalam masalah translasi dan teka-teki, karena berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan bersifat menerka.
5. Kemampuan berpikir kritis matematis
Kemampuan berpikir kritis matematis berkaitan dengan keterampilan dalam memproses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi untuk mencari solusi yang logis. Untuk dapat menyelesaikan masalah di atas dengan baik, siswa dituntut untuk dapat memberikan alasan, sudut pandang, dan prosedur yang merupakan karakteristik dari pemikir kritis.
6. Kemampuan berpikir kreatif matematis
Hal ini berhubungan dengan empat aspek dalam kemampuan berpikir kreatif matematis. Karena soal di atas menuntuk siswa untuk menghasilkan banyak
(20)
gagasan pemecahan masalah (kelancaran), mampu mengubah arah berpikir secara spontan (keluwesan), membuat kombinasi-kombinasi yang tidak biasa dari unsur-unsur permasalahan (keaslian), dan memperinci gagasan sehingga kualitas gagasan menigkat (elaborasi).
Dari nilai rata-rata internasional 25%, Indonesia memperoleh 11% untuk contoh soal di atas. Artinya hanya 25% siswa secara internasional yang dapat menjawabnya dan hanya 11% siswa Indonesia yang mampu menjawab soal tersebut dengan benar. Hal ini mengindikasikan masih jauhnya kemampuan Indonesia dibandingkan kemampuan peserta lain secara keseluruhan. Apalagi ketika dibandingkan dengan lima negara peringkat teratas yang seluruhnya memperoleh nilai lebih dari 50%. Masalah ini menjadi bahan perenungan bagi para pendidik Indonesia. Banyak aspek yang menyebabkan rendahnya pencapaian Indonesia di ajang Internasional ini, terutama kurikulum yang dapat menjadi solusi utama dari masalah ini. Walaupun memang masih banyak sikap skeptis dari para ahli pendidikan mengenai hasil TIMSS maupun PISA. Keraguan tersebut merujuk pada metode penyampelan yang digunakan, karena walaupun pencapain Indonesia di kedua ajang ini tidak memuaskan, tetapi pencapaian Indonesia pada ajang olimpiade atau sains lainnya sangat memuaskan secara internasional.
(21)
Gambar 1.4
Contoh Soal Kemampuan berpikir Tingkat Tinggi TIMSS: 2011 (Contoh 2)
Sumber:Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P., dan Arora, A. (2011)
Contoh soal kedua ini adalah termasuk dalam kategori domain konten aljabar dan domain kognitif penalaran. Soal ini menuntut siswa untuk dapat menemukan rentang berat yang paling tepat dari pelat baja. Pada soal ini, Indonesia memperoleh nilai 18%, jauh dari rata-rata internasional 47%. Jika dibandingkan dengan perolehan 5 peserta teratas: Korea selatan (79%), Jepang (76%), Singapura (75%), Finland (74%), Cina (74%), tentu perolehan Indonesia dapat dikategorikan masih rendah. Perolehan tersebut menggambarkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis dalam memecahkan masalah masih rendah. Perlu adanya perbaikan di dalam sistem pendidikan agar kemampuan berpikir seperti kemampuan kreatif, kritis matematis, dan pemecahan masalah dapat terus dikembangkan dengan baik. Karena ilmu pengetahuan membutuhkan kemampuan
(22)
berpikir tingkat tinggi seperti berpikir kritis matematis, pemecahan masalah, dan berpikir kreatif dalam rangka mengatur dan menciptakan ilmu pengetahuan (Giannakopulos dan Buckley: 2009)
Setelah mendapatkan gambaran kemampuan siswa Indonesia melalui perolehan TIMSS, diperlukan konfirmasi melalui ajang asesmen lain agar analisis yang dilakukan lebih berimbang. Diluncurkan tahun 1997 oleh Organisation for
Economic Cooperation and Development (OECD), Programme for International Student Assessment (PISA) adalah studi internasinal yang bertujuan mengevaluasi
sistem pendidikan di dunia dengan menguji kemampuan dan pengetahuan siswa usia 15 tahun. Di tahun 2012 survey berfokus pada matematika, dengan membaca, sains, dan pemecahan masalah sebagai minor areas dari asesmen. Pada tahun tersebut 34 anggota OECD dan 31 negara dan ekonomi rekanan berpartisipasi. Sekitar 510.000 siswa yang usianya berkisar antara 15 tahun 3 bulan sampai 16 tahun 2 bulan mengikuti asesmen di tahun 2012.
Terdapat tujuh kemampuan pokok yang digunakan dalam kerangka kerja asesmen PISA: 1) Komunikasi; 2) Matematisasi; 3) Representasi; 4) Penalaran dan penjelasan; 5) Merencanakan strategi dalam pemecahan masalah; 6) Penggunaan simbol; 7) Penggunaan alat matematika.
Indonesia dalam PISA 2012 memperoleh peringkat 64 dari 65 peserta. Skor rata-rata yang diperoleh adalah 375, jauh di bawah rata-rata OECD yakni 494. Hal ini bukanlah sesuatu yang cukup membanggakan. Akan tetapi hasil asesmen seyogyanya menjadi refleksi pendidikan Indonesia. Melalui hasil asesmen diharapkan pendidikan Indonesia lebih dapat berbenah diri. Sistem pendidikan yang masih belum baik menjadi salah satu penyebab pendidikan di Indonesia sulit untuk berkembang dan terkesan masih berlari di tempat. Perubahan kurikulum yang terjadi belum jelas aspek mana yang menjadi penekanan pembenahan. Hal ini diindikasikan oleh hampir samanya aspek perubahan yang diaplikasikan sehingga kesannya kurikulum baru hanya berubah nama dan dokumen saja. Sebetulnya peningkatan sumber daya manusia di lapangan yang perlu menjadi aspek yang paling dibenahi.
(23)
Tabel 1.5
Gambaran Kemampuan Matematika dalam PISA 2012
Sumber: http://www.oecd.org/pisa/
Struktur matematika berubah sejalan dengan perkembangan zaman. Dibutuhkan kurikulum yang mampu meningkatkan kemampuan matematis siswa. Begitu pun yang diuji oleh PISA. Salah satu kemampuan yang diuji adalah bagaimana siswa dapat melihat kemungkinan-kemungkinan membawa kemampuan matematisnya secara kreatif dalam menghadapi suatu situasi dan melakukan matematisasi. Dalam memecahkan masalah, kemampuan yang diperlukan lebih tinggi daripada pengetahuan mendasar. Diperlukan mobilisasi dari kemampuan kognitif dan praktis, kemampuan kreatif dan sumber daya psikologis lain seperti sikap, motivasi, dan nilai (OECD: 2003a).
PISA selain mengases kemampuan kognitif, kemampuan afektif seperti self
efficacy juga tidak luput dalam pantauan. Self-efficacy merupakan tingkat
keyakinan siswa akan kemampuannya. Indeks self efficacy yang dimiliki siswa Indonesia masih di bawah rata-rata OECD. Beberapa peserta dari Asia yang memperoleh indeks self efficacy di atas rata-rata OECD diantaranya: Shanghai-Cina, Singapura, Hogkong-Shanghai-Cina, Cinai Taipei, dan Macau-Cina. Implikasinya adalah tingkat keyakinan siswa Indonesia dalam menyelesaikan persoalan
(24)
matematika masih tergolong rendah secara keseluruhan dibandingkan negara-negara tersebut.
Tabel 1.6
Gambaran Self Efficacy Siswa
Sumber: modifikasi dari OECD (2003a)
Ket:
T : Negara dengan nilai di atas rata-rata OECD
S : Negara dengan nilai yang secara statistik tidak berbeda dengan rata-rata OECD R : Negara dengan nilai di bawah rata-rata OECD
Hasil TIMSS dan PISA mencerminkan masih jauhnya pencapaian pendidikan Indonesia dengan tujuan pendidikan yang sedari dulu dirumuskan. Tujuan pendidikan Indonesia adalah untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 Tahun 2003).
(25)
Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, terdeteksi adanya kesenjangan antara harapan dan tuntutan kurikulum 2013 dengan fakta keadaan yang ada. Secara khusus kurikulum 2013 bertujuan untuk membentuk pribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret (Kemendiknas, 2012). Diperlukan generasi muda yang mampu merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu masyarakat. Secara umum tujuan kurikulum adalah mempersiapkan insan Indonesia untuk memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warganegara yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia.
Di lain pihak, banyak yang beranggapan bahwa matematika adalah ilmu pasti, sehingga bagaimana siswa memahami dan memecahkan masalah matematis juga dianggap memiliki satu jalan yang sama (Leeuw, 1998). Padahal berdasarkan pengalaman penulis selama ini, siswa sering memperlihatkan pola pikir yang berbeda dengan yang diberikan guru dan yang ditampilkan siswa lain. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan atau strategi pembelajaran yang dapat mendorong kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa.
Dari sekian banyak model, metode, dan strategi pembelajaran yang penulis pahami, Discovery Learning merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat menjadi jembatan antara kesenjangan yang dirumuskan sebelumnya. Dalam
Discovery Learning dibuat suatu situasi dengan konten utama dari pembelajaran
tidak diberikan secara langsung tapi harus secara mandiri ditemukan oleh siswa. Situasi ini dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam bernalar, memecahkan masalah, dan berpikir kreatif. Discovery Learning memberikan siswa ruang untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan kritis matematis.
Treffinger (1980) mengemukakan bahwa kreativitas berhubungan dengan proses discovery. Treffinger (1980) menyatakan bahwa pengalaman melalui
Discovery Learning meningkatkan kemampuan kreatif dengan mendorong siswa
(26)
Treffinger (1980) juga melaporkan bahwa proses kreatif dari kelancaran, keluwesan, elaborasi, dan keaslian tergabung dalam pendekatan mengajar
Inquiry-Discovery. Melalui pembelajaran ini siswa diajak untuk menemukan konsep
penting yang tidak diberikan langsung, diharapkan siswa dapat menemukan sendiri konsep tujuan melalui proses pembelajaran yang diberikan oleh guru.
Discovery Learning memiliki karakteristik yang sejalan dengan pembelajaran
saintifik. Discovery Learning dan pembelajaran saintifik berusaha membelajarkan siswa untuk mengenal dan merumuskan masalah, menguji hipotesis atas suatu masalah dengan melakukan penyelidikan, pada akhirnya dapat menarik kesimpulan dan menyajikannya. Lebih mendalam, berikut adalah pengalaman belajar yang harus diperhatikan dalam Discovery Learning (Fasco: 2001): 1) Memberikan pengalaman awal untuk minat siswa dalam bertanya tentang masalah, konsep, situasi, atau ide; 2) Memberikan siswa situasi manipulatif dan materi untuk memulai jalan eksplorasi; 3) Menyediakan sumber informasi untuk pertanyaan siswa; 4) Menyediakan materi dan perangkat yang memicu dan mendorong Discovery Learning dan hasil siswa; 5) Memberikan waktu bagi siswa untuk memanipulasi, mendiskusikan, mencoba, gagal, dan berhasil; 6) Memberikan bimbingan, jaminan, dan penguatan untuk gagasan-gagasan siswa dan hipotesis; 7) Menghargai dan mendorong strategi solusi yang dapat diterima. Iklim positif yang menunjang hasil terbaik.
Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2013)
Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
penentuan, dan inferensi. Pembelajaran ini mengandung tiga sifat (Bicknell-Holmes dan Hoffman, 2000): 1) Melalui kegiatan eksplorasi dan memecahkan masalah siswa mencipta, mengintegrasi, dan menggeneralisasi pengetahuan; 2) dikendalikan siswa, kegiatan berbasis aktivitas dengan siswa menentukan urutan dan frekuensi pembelajaran; 3) Aktivitas bertujuan mendorong integrasi dari pengetahuan baru ke dasar pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
(27)
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan Discovery Learning lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional, ditinjau dari: a) keseluruhan; dan b) kemampuan awal siswa (atas, tengah, bawah)?
2. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapatkan Discovery Learning lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional, ditinjau dari: a) keseluruhan; dan b) kemampuan awal siswa (atas, tengah, bawah)?
3. Apakah terdapat korelasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dengan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa?
4. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dengan
self efficacy siswa?
5. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan berpikir kreatif matematis dengan self-efficacy siswa?
6. Apakah terdapat interaksi antara faktor pembelajaran yang diberikan dengan faktor kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa?
7. Apakah terdapat interaksi antara faktor pembelajaran yang diberikan dengan faktor kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa?
8. Apakah self-efficacy siswa yang mendapatkan Discovery Learning lebih tinggi daripada self-efficay siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional, ditinjau dari: a) keseluruhan; b) dimensi self-efficacy; dan c) kemampuan awal siswa (atas, tengah, bawah)?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, secara umum penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif
(28)
matematis serta self-efficacy siswa. Hal tersebut diharapkan terjadi karena perlakuan yang diberikan yakni Discovery Learning dan pembelajaran konvensional. Rinciannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui secara mendalam kemampuan berpikir kritis matematis siswa antara yang mendapatkan Discovery Learning dan pembelajaran konvensional, ditinjau dari: a) keseluruhan; dan b) kemampuan awal siswa (atas, tengah, bawah).
2. Untuk mengetahui secara mendalam kemampuan berpikir kreatif matematis siswa antara yang mendapatkan Discovery Learning dan pembelajaran konvensional, ditinjau dari: a) keseluruhan; dan b) kemampuan awal siswa (atas, tengah, bawah).
3. Untuk menelaah korelasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dengan kemampuan berpikir kreatif matematis siwa.
4. Untuk menelaah asosiasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dengan
self-efficacy siswa.
5. Untuk menelaah asosiasi antara kemampuan berpikir kreatif matematis dengan self-efficacy siswa.
6. Untuk menelaah interaksi antara faktor pembelajaran yang diberikan dengan faktor kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.
7. Untuk menelaah interaksi antara faktor pembelajaran yang diberikan dengan faktor kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
8. Untuk mengetahui secara mendalam self-efficacy siswa antara yang mendapatkan Discovery Learning dan pembelajaran konvensional, ditinjau dari: a) keseluruhan; b) dimensi self-efficacy; dan c) kategori kemampuan awal siswa (atas, tengah, bawah).
D. Manfaat Penelitian
(29)
1. Bagi siswa, sebagai wawasan tambahan dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis serta self-efficacy siswa. 2. Bagi guru, sebagai informasi bahwa Discovery Learning merupakan salah
satu alternatif pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis serta self-efficacy siswa.
3. Bagi sekolah, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka perbaikan mutu pendidikan.
4. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pijakan untuk penelitian tindak lanjut dengan ruang lingkup yang lebih luas.
E. Definisi Operasional
Untuk meminimalisir perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagi berikut:
1. Discovery Learning adalah kegiatan pembelajaran dengan konten utama
materi tidak diberikan langsung kepada siswa, diharapkan siswa dapat secara mandiri membangun pengetahuannya. Discovery Learning meliputi model dan strategi yang fokus pada kesempatan siswa untuk belajar aktif dan
hands-on. Discovery Learning melibatkan peserta didik dalam pemecahan masalah
untuk melakukan penemuan, seperti yang dijelaskan oleh Mayer (2004). Peran guru adalah untuk menciptakan kondisi bagi penemuan bukan memberikan pengetahuan siap pakai. Discovery Learning bekerja pada asumsi bahwa siswa lebih mungkin untuk mempertahankan pengetahuannya jika mereka menemukannya sendiri. Dalam Discovery Learning guru tidak secara penuh memandu siswa dalam menyelesaikan masalah.
2. Kemampuan berpikir kritis matematis adalah kemampuan dalam menganalisis informasi dan menata gagasan-gagasan secara reflektif menuju pemecahan masalah. Indikator kemampuan berpikir kritis matematis yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari empat aspek yang diajukan oleh Ennis (dalam Innabi: 2003) yakni: 1) mengidentifikasi dan
(30)
menjustifikasi konsep; 2) menggeneralisasi; 3) menganalisis algoritma; dan 4) mengintegrasi gagasan, informasi, dan teori.
3. Kemampuan berpikir kreatif matematis adalah pendekatan baru dalam melihat atau melakukan sesuatu yang memiliki empat karakteristik: fluency,
flexibility, originality, dan elaboration.
4. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa diterapkan oleh guru ketika proses belajar mengajar.
5. Self-efficacy adalah tingkat atau kekuatan keyakinan seseorang terhadap
kemampuannya sendiri untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan.
Efficacy dipengaruhi oleh empat faktor: mastery experience, vicarious experience, verbal persuasion, dan somatic and emotional state. Tiga dimensi self-efficacy adalah: magnitude, strength, dan generality.
6. Kategori kemampuan awal siswa adalah pengelompokan siswa ke dalam tiga kategori: atas, tengah, dan bawah. Hal ini berdasarkan kemampuan matematis siswa sebelumnya. Terdapat dua jalan dalam mengkategorikan siswa berdasarkan kemampuan matematisnya. Yang pertama yaitu dengan menggunakan tes kemampuan awal matematis. Kedua dengan melihat rekapitulasi nilai sebelumnya dan pertimbangan guru pamong, dan cara kedua
(31)
(32)
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelompok kontrol non-ekuivalen. Pada desain ini ada pretes, perlakuan, dan postes. Pretes dan postes diberikan kepada kedua kelompok (Eksperimen dan kontrol) sedangkan perlakuan hanya diberikan kepada kelompok Eksperimen.
Desain penelitian yang digunakan termasuk ke dalam jenis desain eksperimen. Pada penelitian ini, subyek dipilih berdasarkan kelompok-kelompok yang sudah terbentuk secara alamiah. Kemudian dari seluruh kelompok kelas di kelas VII diambil dua kelompok secara acak, satu sebagai kelas eksperimen dan satu sebagai kelas kontrol (random assignment) (Borg dan Gall, 1989).
Desain eksperimen dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
R : O O
R : O O
(Borg dan Gall, 1989:663) Keterangan:
: Perlakuan berupa penerapan Discovery Learning O : Pemberian pretes dan postes
R : Random assignment
B. Populasi dan Sampel
Yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas VII dari SMP Negeri 2 Lembang, Bandung, Jawa Barat. Dengan sampel penelitian terdiri dari dua kelas, satu kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas yang lainnya sebagai kelas kontrol. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil dua kelas dari
(33)
seluruh kelas VII secara acak. Hal ini dimungkinkan karena di SMP Negeri 2 Lembang tidak ada kelas unggulan, pembagian kelas dibuat sehomogen mungkin berdasarkan kepada nilai UNAS sekolah dasar.
C. Variabel Penelitian
Penelitian ini menelaah tentang pembelajaran matematika di kelas VII SMP melalui Discovery Learning untuk melihat pengaruhnya terhadap kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis serta self-efficacy terhadap matematika. Perbandingan antara penerapan Discovery Learning dengan pembelajaran konvensional juga dilakukan dalam penelitian ini.
Variabel kontrol yang juga diperhatikan dalam penelitian ini adalah kategori kemampuan awal siswa (atas, tengah, bawah). Kelompok kategori kemampuan awal siswa adalah tingkat kedudukan siswa didasarkan pada nilai rata-rata harian siswa sebelumnya. Peneliti tidak menggunakan nilai rapor karena dikhawatirkan
sudah terjadi “katrol” pada nilai uang diperoleh siswa. Selanjutnya juga
pengelompokan ini dikonsultasikan kepada guru pamong sebagai bahan konfirmasi agar pengelompokan lebih valid.
Dari uraian di atas, variabel pada penelitian ini meliputi variabel bebas yakni
Discovery Learning dan Pembelajaran konvensional, variabel terikatnya adalah
kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis serta self-efficacy, sedangkan variabel kontrolnya adalah kelompok kategori kemampuan awal siswa (atas, tengah, dan bawah).
D. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya
Pada penelitian ini menggunakan lima jenis instrumen, yaitu tes kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis, skala self-efficacy, pedoman observasi untuk mengetahui aktivitas guru dan siswa, serta pedoman wawancara untuk menelaah proses dan tingkat berpikir kritis dan kreatif matematis serta tingkat keyakinan siswa terhadap matematika.
Prosedur awal yang dilakukan adalah membuat kisi-kisi dan merancang instrumen tersebut, kemudian dilakukan penilaian oleh orang-orang yang
(34)
dianggap ahli. Ahli dalam hal ini adalah penimbang yang berkompeten memvalidasi instrumen penelitian dan memberikan masukan atau saran yang dapat digunakan untuk menyempurnakan instrumen yang telah disusun.
1. Tes Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis diukur melalui tes berbentuk uraian yang dibuat berdasarkan indikator-indikator kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis. Penyusunan tes didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam kurikulum 2006 matematika kelas VII Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tes ini diberikan sebelum (pretes) dan sesudah (postes) pembelajaran. Sebelum digunakan, tes ini terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas.
Tabel 3.1
Pedoman Penskoran Respon Siswa pada Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Apek yang
Diukur Respon Siswa Skor
Mengidentifikasi dan
Menjustifikasi Konsep
Tidak menjawab 0
Memberikan jawaban yang kurang jelas atau salah 1 Hanya menjelaskan konsep-konsep yang digunakan tetapi benar 2 Menjelaskan konsep-konsep yang digunakan kurang lengkap tetapi benar dan memberikan alasan yang salah 3 Menjelaskan konsep-konsep yang digunakan kurang lengkap tetapi benar dan memberikan alasan yang benar 4 Menjelaskan konsep-konsep yang digunakan dengan lengkap dan benar tetapi memberikan alasan yang kurang lengkap 5 Menjelaskan konsep-konsep yang digunakan dengan lengkap dan benar serta memberikan alasan yang lengkap 6
Menggeneralisasi Tidak menjawab 0
Memberikan jawaban yang kurang jelas atau salah 1 Hanya melengkapi data pendukung saja tetapi lengkap dan benar 2 Melengkapi data pendukung dengan lengkap dan benar tetapi salah dalam menentukan aturan umum 3 Melengkapi data pendukung dan menentukan aturan umum dengan lengkap dan benar tetapi tidak disertai penjelasan cara memperolehnya
4
Melengkapi data pendukung dan menentukan aturan umum dengan lengkap dan benar disertai penjelasan yang salah tentang cara memperolehnya
5
Melengkapi data pendukung dan menentukan aturan umum dengan lengkap dan benar tetapi penjelasan cara memperolehnya kurang lengkap
6
Melengkapi data pendukung dan menentukan aturan umum 7
(35)
Apek yang
Diukur Respon Siswa Skor
benar tentang cara memperolehnya Menganalisis
Algoritma
Tidak menjawab 0
Memberikan jawaban yang kurang jelas atau salah 1 Hanya memeriksa algoritma pemecahan masalah saja tetapi benar 2 Memeriksa algoritma pemecahan masalah dengan benar tetapi memberikan penjelasan yang tidak dapat dipahami dan tidak memperbaiki kekeliruan
3
Memeriksa algoritma pemecahan masalah dengan benar dan memperbaiki kekeliruan tetapi memberikan penjelasan yang tidak dapat dipahami
4
Memeriksa, memperbaiki, dan memberikan penjelasan setiap langkah algoritma pemecahan masalah lengkap dan benar 5 Mengintegrasi
gagasan, informasi, dan teori
Tidak menjawab 0
Memberikan jawaban yang kurang jelas atau salah 1 Hanya menidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan
unsur) tetapi benar 2
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan unsur) dengan benar tetapi model matematika yang dibuat dan penyelesaiannya salah; atau memberikan jawaban yang benar tetapi tidak disertai penjelasan
3
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan unsur) dengan benar tetapi terdapat kesalahan dalam model matematika yang dibuat sehingga terdapat kesalahan dalam proses perhitungan sehingga penyelesaian dan hasilnya salah; atau memberikan jawaban yang benar namun penjelasannya salah
4
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan unsur) dengan benar tetapi terdapat kesalahan dalam model matematika yang dibuat sehingga terdapat kesalahan dalam proses perhitungan sehingga penyelesaian dan hasilnya salah; atau memberikan jawaban yang benar namun penjelasannya terdapat kekeliruan
5
Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan unsur) dengan benar, serta membuat model matematika dan kemudian meyelesaikannya dengan benar; atau memberikan jawaban dan penjelasan yang kedua-duanya benar
6
Aspek yang dinilai dalam kemampuan berpikir kritis matematis adalah: 1) mengidentifikasi dan menjustifikasi konsep; 2) menggeneralisasi; 3) menganalisis algoritma; serta 4) mengintegrasi gagasan, informasi, dan teori. Untuk mendapatkan data kemampuan berpikir kritis matematis siswa, dilakukan penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal. Kriteria penskoran menggunakan rubrik yang dimodifikasi dari Facione (dalam Ratnaningsih: 2013).
Penyusunan soal tes kemampuan berpikir kreatif matematis bertujuan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis siswa sebelum dan setelah
(36)
proses pembelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk dapat menganalisis peningkatan kemampauan berpikir kreatif yang dialami olah siswa. Aspek yang dinilai dalam kemampuan berpikir kreatif matematis adalah kelancaran, keluwesan, elaborasi, dan keaslian. Untuk mendapatkan data kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, dilakukan penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal. Kriteria penskoran menggunakan rubrik yang dikembangkan oleh Brookhart (2001).
Tabel 3.2
Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa
Aspek yang
Diukur Respon Siswa Skor
Fluency Tidak menjawab 0
Mengajukan gagasan yang tidak relevan 1 Mengajukankan sebuah gagasan yang relevan dengan penyelesaian masalah namun pengungkapannya kurang jelas 2 Mengajukan sebuah gagasan yang relevan dan mengungkapnya
dengan jelas 3
Mengajukan lebih dari satu gagasan yang relevan dengan penyelesaian masalah namun pengungkapannya kurang jelas 4 Mengajukan lebih dari satu gagasan yang relevan dengan penyelesaian masalah dan pengungkapannya jelas 5
Flexibility Tidak menjawab 0
Mengajukan jawaban dengan satu atau lebih cara penyelesaian yang
semuanya salah 1
Mengajukan jawaban dengan satu cara dan terdapat kekeliruan dalam prosesnya sehingga hasilnya salah 2 Mengajukan jawaban dengan satu cara dan prosesnya benar serta
jawabannya tepat 3
Mengajukan jawaban lebih dari satu cara tetapi terdapat kekeliruan dalam prosesnya sehingga hasilnya salah 4 Memberikan jawaban melalui cara yang beragam dan prosesnya benar dan hasilnya tepat 5
Originality Tidak memberikan jawaban 0
Memberikan Jawaban yang salah 1 Memberikan caranya dengan caranya sendiri tetapi kurang jelas 2 Memberikan jawaban melalui cara penyelesaian sendiri, prosesnya sudah terarah namun tidak selesai 3 Memberikan jawaban melalui cara penyelesaian sendiri, namun terdapat kekeliruan dalam prosesnya sehingga hasilnya tidak tepat 4 Memberikan jawaban melalui cara penyelesaian sendiri, proses penyelesaian dan hasilnya benar 5
Elaboration Tidak menjawab 0
(37)
Aspek yang
Diukur Respon Siswa Skor
perincian
Terdapat kekeliruan dalam memperluas dan disertai perincian yang
kurang detail 3
Memperluas situasi dengan benar dan merincinya kurang detail 4 Memperluas situasi dengan benar dan merincinya secara detail 5
Sebelum digunakan, soal tes kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis terlebih dahulu divalidasi untuk melihat validitas isi dan validitas muka, kemudian diujicobakan secara empiris. Ujicoba secara empiris bertujuan untuk mengetahui tingkat reliabilitas soal dan validitas butir soal.
Uji validitas isi dan validitas muka dilakukan oleh para penimbang yang dianggap ahli dan punya pengalaman mengajar dalam bidang pendidikan matematika. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menguji validitas isi adalah: kebenaran konsep atau materi yang terkandung dalam soal; kesesuaian soal dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator kemampuan siswa, sedangkan hal-hal yang dipertimbangkan dalam menguji validitas muka adalah kejelasan susunan bahasa dan kalimat dalam soal, akurasi gambar atau ilustrasi, dan aspek psikologi yang terkandung dalam soal.
Hasil pertimbangan validitas isi dan validitas muka dianalisis dengan menggunakan statistik C-Cochran. Untuk melihat apakah para penimbang melakukan pertimbangan terhadap tiap butir soal kemampuan berpikir kritis matematis dari segi validitas isi dan validitas muka secara sama atau seragam.
Hasil pertimbangan para ahli dikonsultasikan kembali dengan pembimbing penelitian. Langkah selanjutnya adalah merevisi atau menggunakan soal tanpa perubahan sesuai dengan hasil pertimbangan validator dan pembimbing penelitian.
Selanjutnya setelah instrumen dinyatakan sudah memenuhi validitas isi dan validitas muka, kemudian diujicobakan secara terbatas kepada beberapa orang siswa di luar sampel penelitian tetapi telah menerima materi yang diteskan. Tujuan dari ujicoba terbatas ini, untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa
(38)
sekaligus memperoleh gambaran apakah butir-butir soal yang akan diujikan dapat dipahami dengan baik oleh siswa.
Setelah dinyatakan memenuhi validitas isi dan validitas muka serta memadai untuk dicobakan, kemudian tes berpikir kritis matematis ini diujicobakan terhadap siswa kelas dengan jumlah siswa sekitar 30 orang (Sugiyono; 2011). Data hasil uji coba soal tes dianalisis untuk memperoleh tingkat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan derajat kesukaran. Kriteria validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan derajat kesukaran berdasarkan Suherman dan Sukjaya (1990).
Untuk mencari koefisien korelasi dapat digunakan 3 macam (Suherman dan Sukjaya: 1990), yaitu menggunakan rumus: 1) korelasi produk moment memakai simpangan, 2) korelasi produk momen memakai angka kasar (raw score), dan 3) korelasi metode rank. Dalam penelitian ini, untuk menghitung koefisien validitas tes menggunakan rumus korelasi produk momen memakai angka kasar (raw
score), sedangkan rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien reliabilitas
soal uraian dikenal dengan nama rumus Alpha (Suherman dan Sukjaya: 1990).
2. Skala Self-Efficacy
Skala self-efficacy digunakan untuk mengukur tingkat keyakinan siswa terhadap kemampuannya dalam melakukan prosedur atau teknik kreatif yang diperlukan ketika dihadapkan dengan persoalan matematis. Pengukuran
self-efficacy meliputi tiga dimensi, yaitu dimensi magnitude untuk mengukur taraf
keyakinan dan kemampuan dalam menentukan tingkat kesulitan soal yang dihadapi, dimensi strength merujuk pada tingkat keyakinan terhadap kemampuan dalam mengatasi kesulitan yang muncul, dan dimensi generality untuk mengukur tingkat keyakinan terhadap kemampuan dalam menggeneralisasikan tugas dan pengalaman sebelumnya. Dari ketiga dimensi tersebut diturunkanlah indikator-indikator self-efficacy dan kemudian dibuat pernyataan-pernyataan dari indikator-indikator yang telah dirumuskan tersebut. Dimensi dan indikator yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi dari dimensi dan indikator yang dikembangkan oleh Sudrajat (2008), sedangkan perumusan dan penyusunan pernyataan dalam skala
(39)
Item pernyataan harus secara akurat merefleksikan gagasan. Self-efficacy berfokus pada keyakinan akan kemampuan. Oleh karenanya item pernyataan
harus memakai istilah “dapat melakukan” dibandingkan dengan “akan melakukan”.
Skala Self-efficacy adalah unipolar, berkisar antara 0 sampai keyakinan maksimum
Dalam metode standar untuk mengukur taraf self-efficacy, siswa disajikan item-item pernyataan yang menggambarkan berbagai tuntutan tugas, dan siswa menilai tingkat keyakinan mereka terhadap kemampuannya dalam melakukan kegiatan yang diperlukan. Skala yang hanya menggunakan sedikit kriteria sebaiknya dihindari karena kurang sensitif dalam mengukur kemampuan yang diinginkan. Pada skala dengan sedikit kategori, siswa yang memilih kategori yang sama kemungkinan memiliki keyakinan yang berbeda jika diantara kategori tersebut disisipi kategori yang lebih sensitif. Oleh karenanya skala yang digunakan adalah skala 100, dimulai dengan 0 (tidak dapat melakukan), 50 (cukup yakin dapat melakukan), sampai 100 (sangat yakin dapat melakukan). Skala
self-efficacy dengan format respon 0-100 merupakan prediktor yang lebih kuat
dibandingkan dengan skala dengan 5 interval (Brookhart, 2001) seperti skala Likert. Contoh formatnya adalah sebagai berikut.
Item pernyataan yang disajikan berisi beragam kegiatan tugas. Pada kolom keyakinan, tolong lingkari bilangan 0 sampai 100 yang mewakili tingkat keyakinan kamu.
“Jika diberikan soal tentang trigonometri, saya mampu menggunakan rumus yang tepat untuk menyelesaikan soal yang diberikan”
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Tidak yakin
Cukup yakin
Sangat yakin
Sebelum digunakan, skala self-efficacy terlebih dahulu dilakukan pengujian validitas isi dan validitas konstruknya. Pengujian validitas dapat dilakukan oleh para ahli. Beberapa pertimbangan dalam menguji validitas skala self-efficacy adalah kesesuaian format angket dengan panduan yang mendasarinya, keseuaian antara dimensi dan indikator yang hendak diukur, redaksi setiap butir pernyataan,
(40)
Setelah instrumen self-efficacy dinyatakan valid oleh para ahli, dilakukan uji terbatas terhadap beberapa siswa sebagai uji keterbacaan. Uji terbatas ini bertujuan untuk mengetahui apakah susunan kalimat dan redaksi yang ada dalam instrumen dapat dipahami oleh siswa, dan apakah sudah menggambarkan tentang apa yang dirasakan dan dialami oleh siswa.
Selanjutnya dilakukan uji coba terhadap siswa dengan jumlah sampel besar. Data hasil uji coba digunakan untuk mempeoleh tingkat validitas dan reliabilitas instrumen. Teknik statistik yang digunakan untuk menghitung tingkat validitas adalah korelasi produk momem memakai angka kasar, sedangkan tingkat reliabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha.
3. Pedoman Observasi
Pedoman observasi digunakan untuk mengetahui kesesuaian antara aktivitas guru dan siswa dengan indikator Discovery Learning. Dalam penelitian ini, pihak yang menjadi observer adalah pengamat yang telah mendapatkan pengetahuan tentang Discovery Learning maupun guru pamong yang dianggap lebih mengerti karakteristik siswa.
Pedoman observasi terbagi menjadi dua yaitu pedoman observasi untuk aktivitas guru dan pedoman observasi untuk aktivitas siswa. Pedoman observasi untuk aktivitas guru disusun berdasarkan indikator-indikator yang harus muncul dalam Discovery Learning, sedangkan pedoman observasi untuk aktivitas siswa disusun berdasarkan keaktifan siswa dalam melakukan proses penyelidikan, berdiskusi, dan keterlibatan siswa dalam proses pemecahan masalah. Data hasil pedoman observasi digunakan sebagai bahan penunjang dari instrumen penelitian lainnya.
4. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar informasi yang dikumpulkan tidak melenceng dari tujuan penelitian ini. Pedoman ini bermanfaat untuk mengetahui respon, sikap, dan motivasi siswa terhadap Discovery Learning, serta untuk mengetahui perubahan tingkat keyakinan siswa terhadap soal-soal kemampuan
(41)
kritis dan kreatif matematis yang disebabkan oleh Discovery Learning. Pedoman wawancara menjadi panduan guru untuk merumuskan pertanyaan yang dapat diberikan kepada siswa. Terkadang pertanyaan yang diberikan diperbolehkan untuk keluar dari pedoman yang ada, yang terpenting adalah data yang diperoleh relevan dengan tujuan penelitian. Data hasil wawancara menjadi bahan konfirmasi bagi temuan yang diperoleh dari instrumen lain, atau bahkan menjadi bahan yang dapat menyangkal temuan bila memang ditemukan hasil yang kontradiktif dengan data instrumen penelitian yang lain.
E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan observasi ke sekolah. Menyusun dan menetapkan materi yang digunakan dalam penelitian.
2. Menyusun perangkat pembelajaran. Menyusun instrumen penelitian. 3. Judgement instrumen penelitian dengan dosen pembimbing.
4. Melakukan uji coba instrumen penelitian.
5. Melaksanakan penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Memilih sampel sebanyak dua kelas. Satu kelas dijadikan sebagai kelas
Discovery Learning (kelas eksperimen) dan satu kelas lainnya dijadikan
sebagai kelas konvensional (kelas kontrol).
b. Melaksanakan pretes di kelas Discovery Learning dan kelas konvensional.
c. Melaksanakan kegiatan pembelajaran pada kedua kelas.
d. Memberikan angket skala self-efficacy kepada kelas Discovery Learning maupun kelas konvensioal untuk mengetahui tingkat keyakinan siswa. e. Melaksanakan postes pada kedua kelas tersebut.
6. Mengolah data hasil penelitian.
7. Menganalisis dan membuat kesimpulan hasil penelitian berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskan.
(42)
1. Instrumen Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis
Suatu alat evaluasi disebut valid (absah atau sahih) apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi (Suherman dan Sukjaya, 1990). Oleh karena itu keabsahannya tergantung pada sejauh mana ketepatan alat evaluasi itu dapat melaksanakan fungsinya. Fungsinya yaitu memberikan ukuran kemampuan sesuai dengan yang dimiliki siswa. Alat evaluasi yang tidak valid akan memberikan hasil pengukuran yang cenderung tidak tepat dan tidak dapat dijadikan acuan dalam melakukan penelitian.
Selanjutnya perlu dihitung validitas, tingkat reliabilitas, daya pembeda, dan derajat kesukaran. Berikut uraian singkat mengenai unsur-unsur tersebut.
a. Validitas
Berdasarkan pelaksanaanya validitas dibagi menjadi dua, yaitu validitas logis (teoritis) dan validitas empiris (Suherman dan Sukjaya, 1990). Validitas teoritis adalah validitas alat evaluasi yang dilakukan berdasarkan pertimbangan teoritis atau logika. Cara menguji validitasnya adalah dengan cara meminta pertimbangan ahli atau melalui teori yang telah dikaji. Ahli dalam hal ini adalah orang yang dianggap kompeten mengevaluasi alat evaluasi atau berpengalaman dalam bidangnya.
Validitas logik dibagi menjadi validitas isi dan validitas muka. Validitas isi berkaitan dengan ketepatan alat evaluasi dilihat dari segi materi yang digunakan, atau dengan kalimat lain materi yang digunakan sebagai alat evaluasi merupakan sampel representatif dari pengetahuan yang harus dikuasai siswa (Suherman dan Sukjaya: 1990), sedangkan validitas muka berkaitan dengan keabsahan susunan kalimat, sehingga tidak menimbulkan tafsiran lain (Suherman dan Sukjaya: 1990). Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menguji validitas isi adalah: 1) kebenaran konsep atau materi yang terkandung dalam soal; 2) kesesuaian soal dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator kemampuan siswa; 3) aspek kemampuan berpikir kritis dan kreatif yang diukur; 4) tingkat kesukaran untuk SMP kelas VII.
(43)
Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menguji validitas muka adalah: 1) kejelasan susunan bahasa dan kalimat dalam soal; 2) akurasi gambar atau ilustrasi; 3) aspek psikologi yang terkandung dalam soal.
Penilaian validitas isi dan validitas muka dilakukan oleh rekan mahasiswa Pendidikan Matematika Pascasarjana UPI dan guru matematika dari SMPN 4 Lembang serta guru matematika SMPN 2 Lembang yang hasilnya dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.
Validitas butir soal digunakan untuk setiap butir soal terhadap skor total. Dukungan setiap butir soal dinyatakan dalam bentuk korelasi. Dalam penelitian ini, untuk menghitung koefisien validitas tes menggunakan rumus korelasi produk momen memakai angka kasar (raw score) (Suherman dan Sukjaya, 1990:154) adalah sebagai berikut:
∑ ∑ ∑
√ ∑ ∑ ∑ ∑
Keterangan:
: Koefisien korelasi antara variabel dan variabel : Banyak subjek (testi)
: Skor yang diperoleh dari tes : Skor total
Untuk mengetahui tingkat validitas digunakan kriteria (Suherman dan Sukjaya, 1990: 147) yang disajikan pada Tabel 3.3 berikut ini:
Tabel 3.3
Interpretasi Koefisien Validitas
Nilai Interpretasi
Validitas sangat tinggi
Valitidas tinggi
Validitas sedang
Validitas rendah
Validitas sangat rendah
Tidak valid
(44)
korelasi masing-masing butir soal dengan skor total secara keseluruhan. Hasil perhitungan validitas butir dapat dilihat pada Tabel 3.4 berikut ini:
Tabel 3.4
Hasil Perhitungan Validitas Butir
No Butir Soal Korelasi Derajat Validitas
1 1 0,893 Sangat Tinggi (Sangat Baik)
2 2a 0,503 Sedang (Cukup)
3 2b 0,614 Tinggi (Baik)
4 3a 0,641 Tinggi (Baik)
5 3b 0,610 Tinggi (Baik)
6 4a 0,876 Sangat Tinggi (Sangat Baik)
7 4b 0,604 Tinggi (Baik)
8 4c 0,635 Tinggi (Baik)
9 5a 0,831 Sangat Tinggi (Sangat Baik)
10 5b 0,512 Sedang (Cukup)
11 6a 0,845 Sangat Tinggi (Sangat Baik)
12 6b 0,908 Sangat Tinggi (Sangat Baik)
Berdasarkan Tabel 3.4 diketahui bahwa koefisien korelasi butir-butir soal dengan skor total secara keseluruhan berada pada rentang 0.503 sampai 0.908. dari 12 butir soal tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis, berdasarkan derajat validitasnya diperoleh 5 butir soal mempunyai validitas sangat tinggi, 5 butir soal mempunyai validitas tinggi, dan 2 butir soal mempunyai validitas sedang.
b. Reliabilitas
Reliabilitas suatu alat ukur atau alat evaluasi dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang tetap sama (Suherman dan Sukjaya, 2003:131) atau dengan kata lain suatu alat evaluasi dikatakan reliabel apabila hasil evalusi tersebut tidak berubah ketika digunakan untuk subjek yang berbeda.
Koefisien reliabilitas menyatakan derajat keterandalan alat mengevaluasi, dinotasikan dengan . Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk uraian dikenal dengan rumus Alpha (Suherman dan Sukjaya, 2003:154).
(45)
∑ Keterangan:
: banyak butir soal
∑ : jumlah varians skor setiap soal : varians skor total
Tolok ukur untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas alat mengevaluasi menurut Guilford (Suherman dan Sukjaya, 2003: 139) disajikan pada Tabel 3.5 berikut ini:
Tabel 3.5
Interpretasi Derajat Reliabilitas
Nilai Interpretasi
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Berdasarkan hasil uji coba, reliabilitas butir soal secara keseluruhan diperoleh nilai reliabilitas 0,89. Instrumen dengan nilai reliabilitas 0,89 dapat dikategorikan memiliki reliabilitas yang tinggi, sehingga instrumen kemampuan berpiki kritis dan kreatif matematis tersebut reliabel untuk digunakan sebagai alat evaluasi atau alat ukur.
c. Daya Pembeda
Daya pembeda dari suatu butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut membedakan antara peserta didik yang mengetahui jawabannya dengan benar dengan peserta didik yang tidak dapat menjawab soal (atau peserta didik yang menjawab salah). Daya pembeda soal dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Suherman dan Sukjaya, 2003:160) sebagai berikut:
(1)
Kemendikbud. (2013c). Strategi Discovery Learning. Slide Presentasi dalam Pelatihan Pendampingan Kurikulum 2013. Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan.
Kirschner, P., Sweller, J., & Clark, R. E. (2004). Why Unguided Learning Does Not Work: An Analysis of the Failure of Discovery Learning, Problem-Based Learning, Experiential Learning and Inquiry-Problem-Based Learning.
Educational Psychologist, May 8.
Klahr, D., & Nigam, M. (2004). The Equivalence of Learning Paths in Early Science Instruction: Effects of Direct Instruction and Discovery Learning.
Psychological science. 15 (10).
Krismiati, A. (2009). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan
Berpikir Kreatif Geometri Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Program Cabry Geometry II.
Disertasi Doktor Jurusan Pendidikan Matematika pada SPS-UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Lai, E. R. (2011). Critical Thinking: A Literatur Review. Pearson. [online] tersedia: http://www.pearsonassessments.com.
Leeuw, K. V. D. (1998). Creative Thinking in Mathetmatics. Reviu buku Selter, C., & Spiegel, H. (1997). Wie Kinder rechnen [how children calculate] Leipzig etc.: Ernst Klett Grundschulverlag, 1997. 160 p. Paperback qto. ISBN 3 12 199098 5. The Journal Philosophy for Children. (1998). Vol 2, 48-49.
Lewis, A., & Smith, D. (1993). Defining High Order Thinking. Teory Into
Practice, 32(3), 131-137.
Liang, P. S. (1977). Discovery Learning VS Reception Learning, Paradigm: Impilcation for the Classroom Teacher and The Researcher. Singapore
Mathematical Society Medley. Volume 5 Issue 2.
Lipman, M. (1988). Critical Thinking—What Can It Be?. Educational
Leadership, 46(1), 38–43.
Machmud, T. (2013) Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Pemecahan Masalah
Matematis dan Self-efficacy Siswa SMP melalui Pendekatan Problem-Centered Learning dengan Strategi Scaffolding. Disertasi UPI Bandung.
Tidak diterbitkan.
Maman, U. (2012). Apa Itu Berpikir?. [online] tersedia: http://waetuo.word press. com/2012/03/10/apa-itu-berfikir/.
(2)
Maslow A. H. (1987). Motivation and Personality (3rd ed.). New York: Harper & Row.
Matlin, M, W. (1994). Cognition 3rd Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Mayer, R. (2004). Should There Be A Three-Strikes Rule Against Pure Discovery Learning? The Case For Guided Methods Of Instruction. American
Psychologist, 59(1), 14–19.
McPeck, J. E. (1990). Critical Thinking And Subject Specificity: A Reply To Ennis. Educational Researcher, 19(4), 10–12.
Minium, E. W., King, B. M., & Bear, G. (1993). Statistical Reasoning In
Psychology And Education, Third Edition. New York: John Wiley & Sons,
Inc.
Mitchell, W. E., & Kowalik, T.F. (1999). Creative Problem Solving. NUCEA: Genigraphict Inc.
Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P., & Arora, A. (2011). TIMSS 2011
International Result in Mathematics. Lynch School of Education, Boston
College: International Study Center.
Mulyana, T.(2008). Kemampuan berpikir Kritis dan Kreatif. [online], tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/19510 1061976031-TATANG_MULYANA/File_24_Kemampuan_Berpikir_Kritis _dan_Kreatif_Mate matik.pdf.
Nickerson, R. S. (1986). Reasoning. Dalam R. F. Dillon & R. J. Sternberg, Cognition and Instruction pp. 343-373. Orlando, FL: Academic Press. Norris, S. P., & Ennis, R. H. (1989). Evaluating Critical Thinking. Pacific Grove,
CA: Critical Thinking Press & Software.
Nuraeni, S. N. (2011). Penggunaan Model Connected Mathematics Task (CMT)
untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA. Skripsi Pada FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
OECD. (2003a). The PISA 2003 Assessment Framework: Mathematics, Reading,
Science and Problem Solving Knowledge and Skills. PISA, OECD
Publishing.
OECD. (2003b). The definition and selection of competencies (DeSeCo):
Executive summary of the final report. OECD Publishing. [online] Tersedia:
(3)
OECD. (2012a). Excellence through Equity: Giving Every Student the Chance to
Succeed (Volume II). (2012). PISA 2012 Results in Focus What
15-year-olds know and what they can do with what they know. Organisation for Economic Co-operation and Development.
OECD. (2012b). Ready to Learn: Students' Engagement, Drive and Self-Beliefs
(Volume III). (2012). PISA 2012 Results in Focus What 15-year-olds know
and what they can do with what they know. Organisation for Economic Co-operation and Development.
OECD. (2012c). What Makes Schools Successful? Resources, Policies and
Practices (Volume IV). (2012). PISA 2012 Results in Focus What
15-year-olds know and what they can do with what they know. Organisation for Economic Co-operation and Development.
OECD. (2012d). What Students Know and Can Do: Student Performance in
Mathematics, Reading and Science (Volume I). (2012). PISA 2012 Results
in Focus What 15-year-olds know and what they can do with what they know. Organisation for Economic Co-operation and Development.
Papert, S. (2000). What’s The Big Idea?: Toward A Pedagogy Of Idea Power.
IBM Systems Journal. 39(3/4), 720-729.
Patrick, J. H. (1986). Critical Thinking In The Social Studies. ERIC Digest No. 30. [online]. Tersedia: http://ericae.net/db/digs/ed272432.htm.
Paul, R. W. (1992). Critical thinking: What, Why, and How?. New Directions for
Community Colleges, 1992(77), 3–24.
Paul, R. W., & Elder, L. (2006). Critical Thinking: The Nature Of Critical And Creative Thought. Journal of Developmental Education, 30(2), 34–35. Piaget, J. (1954). Construction of Reality in the Child. New York: Basic Book. Piaget, J. (1973). To Understand is to Invent. New York: Grossman.
Poincaré, H. (1913). The Foundations of Science. New York: The Science Press. Polya, G. (1957). How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method.
Garden City, NY: Doubleday.
Polya, G. (1962). Mathematical Discover: On Understanding, Learning and
Teaching Problem Solving (Vol. 1). Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
(4)
Pendekatan Metacognitive Scaffolding. Disertasi UPI Bandung. Tidak diterbitkan.
Provasnik, S., Kastberg, D., Ferraro, D., Lemanski, N., Roey, S., & Jenkins, F. (2012). Highlights From TIMSS 2011: Mathematics and Science Achievement of U.S. Fourth- and Eighth-Grade Students in an International Context (NCES 2013-009). National Center for Education Statistiks, Institute of Education Sciences, U.S. Department of Education. Washington, DC.
Rahman, M. N. A. (2011). Various Types of Thinking Skills. [online] tersedia: http://www.scribd.com/document_downloads/direct/53239297?extension=p pt&ft=1405762529<=1405766139&user_id=150071934&uahk=k6LXlD YYHKO4ldX/K2cK5kxLRTY.
Ratnaningsih, N. (2013). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi Sekolah Pascasarjana UPI: Bandung. Tidak diterbitkan.
Rice, M. L. & Wilson E. K. (1999). How Technology Aids Constuctivism in the Social Studies Classroom. Social Studies. 90(1), 28—33.
Risnanosanti. (2010). Kemampuan Berpikir Kreatif dan Self-efficacy terhadap
Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Pembelajaran Inkuiri. Disertasi Pascasarjana UPI: Bandung. Tidak diterbitkan.
Rosnow, R. L., & Rosenthal, R. (1996). Computing Contrast, Effect Sizes, and Counternulls on Other People’s Published Data: General Procedures for Research Consumers. Psychological Method, 1, 331-340.
Runco, M. A. (1993). Creativity as An Educational Objective for Disadvantaged
Students (RBDM 9306). Storrs: University of Connecticut. The National
Research Center on the Gifted and Talented.
Ruseffendi, E. T. (1984). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensi dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: TARSITO.
Ruseffendi, E. T. (1991). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer Untuk
Guru. Bandung: TARSITO.
Siegel, H. (2010). Critical Thinking. International Encyclopedia of Education, Vol. 6, 141-145.
(5)
Slamet P. H. (2001). Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsep Dasar. Editorial
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi 36.
Snyder, L. G., & Snyder, M. J. (2008). Teaching Critical Thinking and Problem Solving Skill. The Delta Phi Epsilon Journal. Volume L, No. 2, Spring/ Summer.
Sternberg, R. J. (1986). Critical Thinking: Its Nature, Measurement, And
Improvement. National Institute of Education. [online] tersedia: http://eric.ed.gov/PDFS/ED272882.pdf.
Sudrajat, D. (2008). Program Pengembangan Self-efficacy Bagi Konselor di SMA
Negeri Se-Kota Bandung. Tesis. UPI: Tidak diterbitkan.
Sugiyono. (2011). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suherman, E., & Sukjaya, Y. K. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan
Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Suriasumantri, J, S. (2007). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suryadi, D. (2011a). Landasan Teoritik Pembelajaran Berpikir Matematik. [online] tersedia: http://didi-suryadi.staf.upi.edu/files/2011/06/Bab-2-Landasan-Teori tik-Pembelajaran-Berpikir-Matematik.pdf.
Suryadi, D. (2011b). Strategi Pengembangan Kemampuan Berpikir Matematik. [online] tersedia: http://didi-suryadi.staf.upi.edu/files/2011/06/Bab-3-Strate-gi-Pengembangan-Kemampuan-Berpikir-Matematik.pdf.
Swaak, J., Jong, T. D., & Joolingen, W. R. V. (2004). The Effects Of Discovery Learning And Expository Instruction On The Acquisition Of Definitional And Intuitive Knowledge. Journal of Computer Assisted Learning. Volume 20, issue 4, pp. 225-234.
Thorsett, P. (2002). Discovery Learning Theory: A Primer for Discussion.
[online] tersedia:
http://beceneslp.edu.mx/PLANES2012/3er%20Sem/Ingl%E9s%20A1/Ma terial/2/F)%20bruner_discovery_learning.pdf.
Tilus, G. (2012). 6 Critical Thinking Skills You Need to Master Now. [online] tersedia: http://www.rasmussen.edu /student-life/blogs/career-services/criti cal-thinking-skills-you-need-to-master-now/.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. (1996). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
(6)
Treffinger, D. J. (1980). Encouraging Creative Learning For The Gifted And
Talented. Ventura, CA: Ventura County Schools/LTI.
Treffinger, D. J., & Isaksen, S. G. (1992). Creative Problem Solving: An
Introduction. Sarasota, FL: Center for Creative Learning.
Treffinger, D. J., Renzulli, J. S., & Feldhusen, J. F. (1971). Problems In The Assessment Of Creative Thinking. The Journal of creative Behavior, 5, 104-112.
Uno, Hamzah B. (2007). Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar
Mengajar yang Kreatif dan Aktif. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Wahyudin. (2003). Bernalar Statistik. Program Pascasarjana UPI Bandung. Wallas, G. (1926). The Art of Thought. New York: Franklin Watts.
Walter, D., & Lou C. (1994). The Systematic Design of Instruction. New York: Harper Collins Publishers.
Wardhani, P. P. (2011). Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two
Stray terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematika Siswa.
Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Pasundan.
Widyastuti. (2010). Pengaruh Pembelajaran Model-Elicting Activities terhadap
Kemampuan Representasi Matematis dan Self-efficacy. Tesis Sekolah
Pascasarjana UPI: Bandung. Tidak diterbitkan.
Willingham, D. T. (2007). Critical thinking: Why is it so hard to teach? American
Educator, 8–19.
Wilson, S., & Janes, D. P. (2008). Mathematical Self-efficacy: How Constructivist
Philosophies Improve Self-efficacy. [online]. Tersedia: http:// www.des.emo