MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATHEMATICALVISUAL THINKING DAN SELF-EFFICACY SISWA SMP MELALUI METODE DISCOVERY LEARNING.

(1)

Scristia, 2014

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh :

SCRISTIA

1201469

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

Oleh SCRISTIA

S.Pd FKIP Universitas Sriwijaya, 2012

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Fakultas Pendidikan Matematika

© Scristia 2014

Universitas Pendidikan Indonesia Juni 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,


(3)

(4)

Melalui Metode Discovery Learning” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Juni 2014 Yang membuat pernyataan


(5)

Scristia, 2014

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Lembar Pernyataan ... iii

Abstrak ... iv

Kata Pengantar ... v

Ucapan Terima Kasih ... vi

Daftar Isi ... ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

Daftar Lampiran ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 14

1.3 Tujuan Penelitian ... 15

1.4 Manfaat Penelitian ... 15

1.5 Definisi Operasional ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 18

2.2 Self-Efficacy ... 25

2.3Metode Discovery Learning ... 32

2.4Teori Belajar yang Mendukung ... 43

2.5Kerangka Berpikir ... 47

2.6Penelitian yang Relevan ... 50

2.7Hipotesis Penelitian ... 54

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 55

3.2 Waktu, Lokasi dan Subjek Penelitian ... 55


(6)

3.4 Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 57

3.4.1 Tes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 58

3.4.2 Skala Self-Efficacy ... 65

3.4.3 Pedoman Wawancara ... 67

3.4.4 Lembar Observasi ... 67

3.5 Kelengkapan Penelitian ... 68

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 72

3.7 Teknik Analisis Data ... 73

3.8 Prosedur Penelitian ... 80

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 81

4.1.1 Data Kemampuan Awal Matematika ... 82

4.1.2 Data Hasil Observasi ... 85

4.1.3 Hasil Penelitian mengenai Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 87

4.1.4 Hasil Penelitian mengenai Self-Efficacy ... 101

4.2 Pembahasan ... 106

4.2.1 Metode Discovery Learning ... 106

4.2.2 Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 110

4.2.3 Self-Efficacy ... 125

4.3 Keterbatasan Penelitian ... 174

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 177

5.2 Implikasi ... 178

5.3 Rekomendasi ... 178

DAFTAR PUSTAKA ... 180


(7)

Scristia, 2014

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Dimensi dan Deskriptor Self-Efficacy ... 32

Tabel 2.2 Tahapan Discovery Learning ... 40

Tabel 3.1 Level KAM Siswa ... 56

Tabel 3.2 Jumlah Siswa Berdasarkan KAM ... 57

Tabel 3.3 Indikator Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 58

Tabel 3.4 Pedoman Penskoran Mathematical Visual Thinking ... 59

Tabel 3.5 Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas ... 61

Tabel 3.6 Uji Validitas Instrumen Tes ... 62

Tabel 3.7 Interpretasi Koefisien Korelasi Reliabilitas ... 62

Tabel 3.8 Klasifikasi Daya pembeda ... 63

Tabel 3.9 Daya Pembeda Butiran Soal Tes ... 63

Tabel 3.10 Kriteri Indeks Kesukaran ... 64

Tabel 3.11 Tingkat Kesukaran Instrumen Tes ... 65

Tabel 3.12 Indikator Validasi LKS ... 71

Tabel 3.13 Klasifikasi Gain Ternormalisasi ... 74

Tabel 3.14 Kriteria Pencapaian ... 78

Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Data Awal ... 82

Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Awal ... 83

Tabel 4.3 Uji Homogenitas Data Awal ... 83

Tabel 4.4 Uji Beda Rata-rata Data Awal ... 84

Tabel 4.5 Persentase Aktivitas Guru ... 85

Tabel 4.6 Persentase Aktivitas Siswa ... 86

Tabel 4.7 Statistik Deskriptif Kemampuan Mathematical Visual Thinking . 88 Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas Pretes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 90

Tabel 4.9 Hasil Uji Mann-Whitney ... 91

Tabel 4.10 Hasil Uji Normalitas Postes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 92


(8)

Tabel 4.11 Hasil Uji Homogenitas Postes Kemampuan Mathematical Visual

Thinking ... 93

Tabel 4.12 Hasil Uji Perbedaan Postes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 94

Tabel 4.13 Hasil Uji Normalitas N-gain Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 95

Tabel 4.14 Hasil Uji Homogenitas N-gain Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 95

Tabel 4.15 Hasil Uji Perbedaan N-gain Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 96

Tabel 4.16 Hasil Uji Normalitas & Homogenitas N-gain Kemampuan Mathematical Visual Thinking Berdasarkan KAM ... 97

Tabel 4.18 Uji ANOVA Satu Jalur N-gain Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 98

Tabel 4.19 Uji ANOVA Dua Jalur Peningkatan Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 99

Tabel 4.20 Hasil Perbandingan antar Pembelajaran dan KAM..………. 99

Tabel 4.21 Distribusi Proporsi Skala Self-Efficacy ……….……… 102

Tabel 4.22 Uji Beda Proporsi Peningkatan Self-Efficacy ……… 103

Tabel 4.23 Distribusi Skala Self-Efficacy untuk setiap indikator ……… 104

Tabel 4.24 Pencapaian Kemampuan Mathematical Visual Thinking Kelas Eksperimen ………..……….…… 111


(9)

Scristia, 2014

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Tiga Cara Berpikir Sword ... 3

Gambar 1.2 Kesalahan Jawaban Siswa ... 8

Gambar 2.1 Manfaat Visual Thingking dalam Pembelajaran ... 21

Gambar 2.2 Manfaat Latihan Visual Thingking ... 22

Gambar 2.3 Alur Pengujian Hipotesis Penelitian ... 79

Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian ... 81

Gambar 4.1 Persentase Keterlaksanaan Pembelajaran ... 85

Gambar 4.2 Persentase Aktivitas Siswa ... 82

Gambar 4.3 Perbandingan Rataan Postes, pretes ... 88

Gambar 4.4 Perbandingan Rataan N-Gain ... 88

Gambar 4.5 Interaksi antara Pembelajaran dan KAM terhadap Peningkatan Kemampuan Matehmatical Visual Thinking... 100

Gambar 4.4 Keantusiasan Siswa saat Pembelajaran ... ... 109

Gambar 4.7 Respon Siswa Terhadap Soal Imagining ... ... 112

Gambar 4.8 Respon Siswa Terhadap Soal Showing & Telling ... 113

Gambar 4.9 Respon Siswa Terhadap Soal Representation .... ... 115

elajaran ... 109

Lampiran A.3 Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis ... 127

Lampiran A.4 Naskah Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis ... 128

Lampiran A.5 Alternatif Jawaban ... 130

Lampiran A.6 Lembar Judgment ... 133

Lampiran A.7 Angket untuk Siswa ... 136

Lampiran A.8 Pedoman Observasi ... 137 Lampiran B


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A.1 Silabus ... 192

Lampiran A.2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 198

Lampiran A.3 Lembar Kerja Siswa Kelas Eksperimen ... 238

Lampiran A.4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 313

Lampiran A.5 Lembar Kerja Siswa Kelas Kontrol ... 336

Lampiran A.6 Pedoman Wawancara Respon Siswa ... 363

Lampiran A.7 Pedoman Wawancara Self-Efficacy... 366

Lampiran A.8 Lembar Observasi Siswa Kelas Eksperimen... 367

Lampiran A.9 Lembar Observasi Guru Kelas Eksperimen ... 369

Lampiran A.10 Lembar Observasi Siswa Kelas Kontrol ... 370

Lampiran A.11 Lembar Observasi Guru Kelas Kontrol... 371

Lampiran B.1 Nama-nama Anggota Kelompok Belajar ... 373

Lampiran B.2 Analisis Validitas Ahli terhadap Instrumen Tes Mathematical Visual Thinking ... 375

Lampiran B.3 Analisis Small Group terhadap Instrumen Tes Mathematical Visual Thinking ... 380

Lampiran B.4 Skor Uji Coba Tes Mathematical Visual Thinking ... 385

Lampiran B.5 Analisis Validitas, Reliabilitas, Daya Pembeda, dan Tingkat Kesukaran Tes Mathematical Visual Thinking ... 386

Lampiran B.6 Rekapitulasi Hasil Uji Coba Tes Mathematical Visual Thinking ... 389

Lampiran B.7 Hasil Uji Coba Perkiraan Waktu pada Self-Efficacy ... 392

Lampiran B.8 Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 393

Lampiran B.9 Alternatif Jawaban Tes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 397

Lampiran B.10 Naskah Soal Tes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 404


(11)

Scristia, 2014

Lampiran B.11 Kisi-Kisi Skala Self-Efficacy ... 412

Lampiran B.12 Instrumen Skala Self-Efficacy ... 413

Lampiran C.1 Analisis Data KAM ... 419

Lampiran C.2 Data Aktivitas Guru ... 422

Lampiran C.3 Data Aktivitas Siswa ... 424

Lampiran C.4 Data Hasil Kemampuan Mathematical Visual Thinking Siswa ... 426

Lampiran C.5 Data Hasil Self-Efficcay Siswa ... 435

Lampiran D.1 Foto Aktivitas Siswa ... 447

Lampiran D.2 Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian ... 450


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pendidikan dipandang memiliki peranan yang sangat penting, antara lain dapat menciptakan manusia-manusia yang berkualitas, cerdas, kreatif, terampil, produktif, bertanggung jawab dan berbudi luhur yang sangat berguna bagi pembangunan demi kemajuan bangsa dan negara. Pendidikan matematika adalah salah satu bagian dari pendidikan Nasional yang memiliki peranan yang sangat penting. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dirasakan saat ini adalah salah satu bentuk dari kontribusi matematika. Melalui matematika juga, manusia dapat mempelajari dan sekaligus mendapatkan model atas fenomena yang terjadi atau yang diamatinya. Oleh karena itu, secara sadar maupun tidak, kita telah banyak menggunakan dan memanfaatkan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar, matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Matematika juga merupakan suatu alat dalam mengembangkan cara berpikir siswa, khususnya melatih penggunaan pikirannya secara logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerjasama dalam menghadapi berbagai masalah dan mampu memanfaatkan informasi yang diterimanya. Hal ini juga sejalan dengan tujuan pembelajaran matematika yang dirumuskan National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) yaitu belajar untuk berkomunikasi; belajar untuk bernalar; belajar untuk memecahkan masalah; belajar untuk mengaitkan ide; dan belajar untuk merepresentasikan ide-ide. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki


(13)

kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.

Peran dan pentingnya matematika diberikan kepada peserta didik juga dikemukakan oleh Ebbutt dan Straker (Marsigit, 2003) mendefinisikan matematika sekolah yang selanjutnya disebut sebagai matematika yaitu kegiatan penelusuran pola dan hubungan. Implikasi dari pandangan ini terhadap pembelajaran adalah memberi kesempatan siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan; memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan percobaan dengan berbagai cara; mendorong siswa untuk menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan, pengelompokan, dsb; mendorong siswa menarik kesimpulan umum; membantu siswa memahami dan menemukan hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya.

Beberapa tujuan dan peran matematika yang dijelaskan seperti di atas terlihat bahwa matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir, beragumentasi dan memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Untuk itu matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar, membekali peserta

didik dengan kemampuan memecahkan masalah, mengaitkan dan

merepresentasikan ide-ide, serta mampu mengelola dan memanfaatkan informasi yang diterimanya, yang selanjutnya diharapkan dapat mendorong dan membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan.

Kemampuan berpikir yang baik merupakan hal yang mendasar dalam menyelesaikan permasalahan matematika, membantu dalam mengelola informasi yang diterima, serta membantu dalam kegiatan penyelidikan dan penemuan yang diharuskan dalam kegiatan matematika. Pendapat ini didukung oleh Plato (Sugilar, 2012) bahwa seseorang yang baik dalam matematika akan cenderung baik pula dalam proses berpikirnya, dan seseorang yang dilatih dalam matematika memiliki kecenderungan menjadi pemikir yang baik.


(14)

Tiga cara berpikir (Sword, 2005) seseorang yang berhubungan dengan bagaimana otak kita berproses berdasarkan indra pendengaran, penglihatan, indra badan (gerak tubuh dan perasaan yaitu auditory thinking, visual thinking, dan

kinesthetic thingking) seperti tampak pada gambar di bawah ini :

Tahap berpikir dalam matematika salah satunya adalah tahap berpikir secara visual yang merupakan tahapan dasar yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika. Berpikir visual (visual thinking) dapat menjadi salah satu alternatif untuk mempermudah siswa dalam mempelajari matematika. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Surya (2011) yang menyatakan bahwa siswa biasanya mengalami kesulitan menjembatani pengetahuan informal ke matematika sekolah, untuk mengatasi kesulitan (gap) tersebut dibutuhkan waktu (pembelajaran), pengalaman (latihan) dan bantuan dalam pembelajaran oleh guru (scaffolding). Siswa perlu bimbingan dan bantuan khusus pada bentuk representasi pemikiran visual (visual thinking) dari apa yang mereka maksud atau mereka pikirkan sehingga dapat divisualisasikan dalam bentuk struktur ide, ide tersebut bisa sebagai angka, simbol, gambar, diagram, penjelasan model, lukisan yang dapat membantu siswa dalam proses belajar dan menyelesaikan permasalahan matematika mereka, karena menurut Giaquinto (2007) kemampuan


(15)

berpikir secara visual adalah proses intelektual intuitif dan ide imajinasi visual, baik dalam gambaran mental atau melalui gambar.

Menurut Sword (2005), pemikir visual (visual thinker) berpikir lebih efisien ketika materi ditunjukkan menggunakan diagram, bagan alur, ketepatan waktu, film dan demonstrasi. Visual thinker akan cenderung spasial (keruangan) dan memperhatikan ukuran, ruang dan hubungan. Untuk mengingat informasi

visual thinker sering menggambarkannya dalam bentuk diagram dan tidak hanya

melihat dari gambaran umum, tetapi melalui sudut pandang yang lebih jelas dan kreatif dibanding pemikir lainnya serta memerlukan waktu yang lebih banyak untuk mengerti suatu informasi, tetapi pemahaman akhirnya lebih luas.

Kemampuan visual thinking pada pembelajaran matematika dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengekplorasi masalah matematis dan untuk memberi arti bagi konsep-konsep matematis dan hubungannya (Rosken & Rolka, 2007). Cunninghamm & Zimmermann (1999) dari kajian teorinya menyimpulkan bahwa

visual thinking digunakan untuk menerangkan bermacam-macam fakta dan

permasalahan matematika. Sementara itu, Arcavi (2003) mendefinisikan visual

thinking sebagai kemampuan, proses dan hasil kreasi, interpretasi, penggunaan

serta gagasan mengenai image, gambar dan diagram di dalam pikiran, di atas kertas atau menggunakan alat-alat teknologi, dengan tujuan menggambarkan dan mengkomunikasikan informasi dan gagasan, mengembangkan ide-ide sebelumnya serta meningkatkan pemahaman. Visual thinking juga didefinisikan oleh

Hershkowitz (Kania, 2013) sebagai kemampuan merepresentasikan,

mentransformasikan, menggeneralisasikan, mengkomunikasi,mendokumentasikan dan merefleksikan objek atau benda menjadi informasi visual. Lebih lanjut, Wileman (Stoke, 2001) mendeskripsikan visual thinking sebagai kemampuan untuk mengubah informasi dari semua jenis ke dalam gambar, grafik atau bentuk-bentuk lain yang dapat membantu mengkomunikasikan informasi.

Permasalahan matematika yang menuntut siswa untuk segera mendapatkan pemecahannya atau penyelesaiaannya, kemungkinan siswa dapat dengan segera menyelesaikannya jika pada masalah tersebut siswa telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik, tetapi apabila siswa mengalami kebuntuan dalam


(16)

menyelesaikan permasalahan tersebut, tentu siswa akan menyajikannya dalam bentuk gambar, grafik atau coretan-coretan lainnya sebagai perantara untuk menyampaikan maksudnya atau agar secara intuitif dapat diterima dan membantu dalam memahami masalah tersebut (Munir, 2012).

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa kemampuan visual thinking mendukung tercapainya tujuan dari pembelajaran matematika dalam Standar Isi yang di atur Permendiknas tahun 2006 yaitu siswa dapat mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Kemampuan visual thinking dalam pembelajaran matematika mempunyai hubungan positif dengan materi geometri, karena dalam geometri kemampuan visual thinking dapat mendorong kemampuan pengorganisasian dalam proses memahami, mengkomunikasikan informasi dan mengingat konsep-konsep geometri secara lebih bermakna (Kania, 2013). Hal ini didukung oleh pendapat Bishop (Saragih, 2000) bahwa kemampuan visual

thinking dalam geometri merupakan kemampuan menginterpretasikan informasi

yang melibatkan gambar-gambar yang relevan, dan kemampuan untuk memproses visual, melibatkan perhitungan transformasi visual yang relevan. Dalam bukunya, Giaquinto (2007) mengatakan bahwa imajinasi visual berperan penting dalam memperluas pengetahuan geometri. Ismi & Hidayatullloh (2012), menyatakan bahwa visual thinking berperan penting dalam keberhasilan pembelajaran geometri sebagai objek yang kajiannya bersifat abstrak, sebab siswa yang belajar tanpa mengandalkan visual thinking, rawan mengalami miskonsepsi (kesalahan konsep).

Namun fakta dari hasil survey Trends International Mathematics Science

Study (TIMSS) tahun 2007 (Wardhani & Rumiati, 2011) dalam domain konten

geometri kemampuan visual thinking atau berpikir secara visual serta visualisasi terhadap informasi yang diberikan belum dikatakan tinggi, terlihat dari jawaban siswa pada soal TIMSS berikut ini, hanya 19% siswa Indonesia menjawab dengan benar.


(17)

Soal tersebut berada dalam domain konten geometri dan domain kognitif penerapan. Kemampuan yang dibutuhkan untuk menjawab soal tersebut telah dipelajari siswa di kelas VII SMP yaitu “menentukan hubungan antara dua garis, serta besar dan jenis sudut” (KD 5.1).

Siswa diminta untuk menghitung besar sudut yang belum diketahui ukurannya, yaitu E atau x jika beberapa sudut diketahui besarnya. Untuk menjawab soal tersebut siswa perlu memahami bahwa besar sudut siku-siku adalah 900, jumlah sudut dalam suatu segitiga adalah 1800, dua sudut yang bertolak belakang besarnya sama dan dua sudut alas pada segitiga samakaki besarnya sama. Dalam hal ini untuk mendapatkan jawaban benar siswa perlu

memahami bahwa besar B = 900, ACB = DCE (bertolak belakang) dan E =

D = x (sudut alas pada ABC yang sama kaki). Selanjutnya ACB ditentukan dengan memperhatikan jumlah sudut dalam ABC, yaitu A + B + ACB = 1800 atau 500 + 900 + ACB = 1800 atau ACB = 400. Karena ACB = DCE, berarti DCE = 400, sehingga x + x + DCE =1800 atau 2x + 400 = 1800 atau 2x = 1400 atau x = 700.

Hasil TIMSS menunjukkan bahwa secara internasional, 32% siswa menjawab benar dan hanya 19% siswa Indonesia menjawab benar. Soal ini masih cukup sulit bagi siswa Indonesia. Ada banyak kemungkinan penyebabnya sehingga siswa belum berhasil menjawab dengan benar, antara lain siswa kurang memahami pengetahuan terkait sudut, besarnya jumlah sudut dalam segitiga, dan hubungan antar sudut. Kemungkinan penyebab lain adalah siswa kurang memahami bagian unsur-unsur dalam masalah yang berhubungan satu sama lain, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa siswa tidak menggunakan kemampuan


(18)

berpikir secara visualnya. Selanjutnya pada tahun 2011 menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa Indonesia kelas delapan SMP untuk TIMSS-Matematika dengan skor 386 poin berada di peringkat 38 dari 45 negara, skor ini menurun dari tahun 2007 yaitu 397. Topik soal yang diujikan adalah domain konten geometri mengenai bentuk-bentuk geometri, pengukuran, letak dan perpindahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa Indonesia, khususnya di jenjang SMP belum optimal.

Rendahnya kemampuan matematika siswa pada topik geometri berdasarkan beberapa penelitian yang juga dilakukan di Indonesia, yaitu Sunardi (2001) menyatakan bahwa di SMP ditemukan bahwa masih banyak siswa yang belum memahami konsep-konsep geometri. Sementara Madja (Abdussakir, 2010) mengemukakan bahwa hasil tes geometri siswa SMU kurang memuaskan jika dibandingkan dengan materi matematika lainnya.

Surya (2011) juga menemukan kasus kesalahan pekerjaan siswa pada permasalahan lingkaran :

Pada bangun sebuah lingkaran

 Luas Lingkaran = (benar)

 Keliling Lingkaran = 2 (benar)

Tetapi hasil pekerjaan siswa untuk bangun tigaperempat lingkaran

 Luas ¾ Lingkaran = ¾ ( ) (benar)

 Keliling ¾ Lingkaran = ¾ (2. ) ? (Salah, siswa berpikir rutin sehingga siswa dan guru terjebak dalam berpikir rutin, seharusnya ( ¾ . 2 ) + 2r Selanjutnya Surya (2011) juga memperoleh kasus masalah aplikasi matematika, berikut soal yang diberikan :

Sebuah kolam renang diketahui panjang kolam 60 meter, lebar kolam 20 meter, dalam kolam yang dangkal 1 meter dan kolam yang ujung satu lagi 5 meter. Dasar kolam renang landai dari yang dangkal hingga yang dalam. Jika kolam diisi penuh air. Permasalahan yang diberikan kepada siswa: a. Gambarlah situasi kolam renang tersebut. b. Tentukan volume air kolam renang tersebut.

(b)


(19)

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan Surya ini, hasil yang diperoleh pada kasus di atas adalah siswa dan guru tidak dapat berpikir secara visual atau mempresentasikan kasus tersebut dan memecahkan masalah kolam renang tersebut, sebanyak 75% guru SMP dari 40 guru yang diteliti kesulitan menggambarkan masalah kolam renang dan salah dalam memecahkan permasalahan kasus itu. Hampir seluruh siswa (60 siswa) juga keliru dalam menggambarkan kasus kolam renang tersebut.

Hal ini pula dialami oleh beberapa siswa di MTsN Kasomalang Bandung. Berdasarkan hasil observasi awal peneliti kepada 13 orang siswa, kemampuan siswa dalam melukis dan menggambar yang merupakan representasi visual dari informasi yang masih abstrak masih belum dikatakan baik, berikut soal yang diberikan peneliti:

Sebuah bola plastik dimasukkan ke dalam tabung, sehingga bola menyinggung sisi alas, sisi atas dan selimut tabung, jika jari-jari bola adalah 7 cm. Gambarkanlah kondisi tersebut ! (Sumber: Kania, 2013)

Jawaban siswa untuk soal di atas adalah :

7 cm

1

4

c

m

Jawaban Siswa A

Gambar yang tepat

Jawaban Siswa C Jawaban Siswa B


(20)

Berdasarkan jawaban siswa di atas, terlihat bahwa siswa belum tepat memvisualkan informasi yang masih abstrak ke bentuk visual dalam hal ini melukis ataupun menggambar. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa belum mampu membayangkan dengan baik untuk mampu menghasilkan gambar dengan tepat. Padahal, kemampuan untuk menggambarkan atau memvisualkan informasi yang abstrak merupakan bagian penting bagi kita untuk dapat menyelesaikan persoalan matematika, dan menjadikannya sebagai jembatan untuk sampai pada penyelesaian. Dengan kata lain, kemampuan siswa dalam mengubah informasi yang ada menjadi informasi visual berupa gambar, grafik, diagram ataupun dengan kata-kata yang dapat membantu menghubungkan dan mengkomunikasikan informasi untuk menyelesaikan masalah perlu ditingkatkan, kemampuan yang sering disebut dengan kemampuan representasi inilah yang harus ada dalam kemampuan visual thinking siswa, agar siswa dapat menggunakan bantuan variabel visual seperti menggunakan bantuan gambar atau coretan-coretan yang dapat membantu mengingat informasi yang pernah dipelajari sebelumnya, selain itu juga digunakan untuk mengecek solusi yang dikerjakan.

Hasil temuan di lapangan juga menunjukkan bahwa beberapa siswa merasa kurang mampu dan tidak percaya diri dalam menyelesaikan suatu permasalahan matematika yang diberikan guru sehingga kurang bersemangat dan fokus dalam proses belajar mengajar di kelas, ada beberapa dari mereka yang meniru hasil pekerjaan teman tetapi tidak sedikit juga siswa yang mengosongkan lembar jawabannya. Siswa tampaknya tidak berusaha terlebih dahulu sebelum mencoba menyelesaikan soal tersebut, baik dengan membuat coretan, ataupun membuat gambar yang dapat membantu mempermudah menyelesaikan masalah matematika.

Rendahnya kemampuan dalam mengkonstruksi konsep dalam geometri dari hasil penelitian dan studi awal yang dipaparkan di atas disebabkan karena siswa belum begitu terbiasa dalam memvisualisasikan suatu masalah matematika dari penggunaan operasi konkret ke penerapan operasi formal dalam bernalar. Kelemahan siswa dalam menyelesaikan masalah geometri antara lain disebabkan


(21)

verbal, menggambar, logika dan terapan. Untuk itulah perlu ditingkatkannya kemampuan visual thinking siswa dalam matematika, demi tercapainya keberhasilan suatu program matematika.

Menurut Wahyudin (2008) keberhasilan suatu program matematika ditentukan oleh guru, hal pokok bukanlah matematika baru versus matematika tradisional, hal sesungguhnya adalah bagaimana guru mengajarkan matematika. Banyak peneliti pendidikan matematika (Midwest Consortium for Mathematics

and Science Education dalam Wahyudin, 2008) mendukung pandangan bahwa

terlalu banyak penekanan yang diberikan pada matematika mekanik dan matematika prosedural, yang menghambat belajar bermakna.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas dapat dikatakan bahwa apabila siswa diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam proses belajar dan penemuan, mereka menjadi lebih mampu dan percaya diri untuk membangun makna-makna mereka sendiri tentang berbagai gagasan dan konsep matematika. Selain kemampuan visual thinking yang berperan dalam keberhasilan pembelajaran matematika khusunya geometri, terdapat aspek afektif yang turut memberikan kontribusi yaitu self-efficacy. Wilson & Janes (2008) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan prestasi matematika seseorang.

Self-efficacy juga dituntut dalam kurikulum matematika sekolah menengah

pertama. Tuntutan pengembangan Self-efficacy yang tertulis dalam kurikulum metematika antara lain menyebutkan bahwa pelajaran matematika harus menanamkan sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri, dan pemecahan masalah. Bandura (2006) menyatakan bahwa self-efficacy berkaitan dengan penilaian seseorang terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Bandura juga memandang self-efficacy sebagai kemampuan untuk mengatasi situasi spesifik. Konsep self-efficacy bagi Bandura, berhubungan dengan pertimbangan yang dibuat individu mengenai kemampuannya untuk melaksanakan perilaku yang sesuai dengan suatu situasi atau tugas tertentu.


(22)

Hasil OECD’s Teaching and Learning International Survey (TALIS) bahwa self-efficacy telah menunjukkan hubungan pengaruh tindakan terhadap

produktivitas seseorang dalam pekerjaan. Lane & Lane (2001) juga menunjukkan prediksi self-efficacy mengatasi tuntutan intelektual dari program akademik sebesar 11,5%, penelitian ini menyarankan bahwa self-efficacy memiliki beberapa manfaat dalam setting akademik. Bandura (Wilson & Janes, 2008) menyatakan bahwa perasaan positif yang tepat tentang self-efficacy dapat mempertinggi prestasi, meyakini kemampuan, mengembangkan motivasi internal, dan memungkinkan siswa untuk meraih tujuan yang menantang. Perasaan negatif tentang self-efficacy dapat menyebabkan siswa menghindari tantangan, melakukan sesuatu dengan lemah, fokus pada defisiensi dan hambatan, dan mempersiapkan diri untuk outcomes yang kurang baik. Seseorang yang salah menilai kemampuannya akan bertindak dalam suatu cara tertentu yang akan merugikan dirinya. Seseorang yang terlalu menilai tinggi kemampuannya akan melakukan kegiatan yang tidak dapat diraih, akibatnya ia mengalami kesulitan dan juga kegagalan, sebaliknya individu yang menilai rendah kemampuannya akan membatasi diri dari pengalaman yang menguntungkan. Selanjutnya individu yang mempunyai efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai kurangnya usaha, sedangkan individu yang memiliki efficacy rendah menganggap kegagalan berasal dari kurangnya kemampuan (Widyastuti, 2010).

Penelitian yang dilakukan Widyastuti (2010), untuk kategori self-efficacy siswa SMP baik pada kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen, dengan kelas eksperimen mendapatkan pembelajaran MEas masih belum dapat dikatakan bagus mengingat self-efficacy merupakan keyakinan peserta didik terhadap kemampuannya untuk dapat melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas/masalah tertentu dengan berhasil, sehingga terbuka peluang dalam penelitian selanjutnya untuk dapat meningkatkan self-efficacy yang dimiliki peserta didik melalui metode pembelajaran lainnya. Menurut Nurfauziah (2013) agar pembelajaran yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan, dan terjadinya keseimbangan antara kemampuan kognitif dan afektif siswa, hendaknya suasana


(23)

belajar yang terjadi memungkinkan siswa untuk mengkonstruksi, menemukan dan mengembangkan pengetahuannya.

Metode Discovery Learning diduga dapat meningkatkan rasa percaya terhadap diri sendiri, dengan kepercayaan dan keyakinan akan kemampuan diri sendiri, peserta didik dapat melakukan pertimbangan dan penilaian terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Pendapat ini didukung oleh Richard (Lutfan, 2008) dan Ruseffendi (2006) yang mengungkapkan keunggulan dan pentingnya metode discovery untuk membantu siswa memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan penemuan sendiri. Dengan metode discovery tidak berarti penemuan-penemuan yang dilakukan harus selalu ilmiah, tapi bagaimana seseorang secara pribadi menyadari bahwa ada sesuatu yang tepat dan benar (Giaquinto, 2007).

Selanjutnya selama proses penemuan (discovery learning) siswa dihadapkan untuk berpikir sendiri, menganalisa sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip atau prosedur matematika yang telah dipersiapkan oleh guru, dengan discovery

learning juga siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa bebas menyelidiki,

menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan-bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan, dalam proses menyelidiki hingga menarik kesimpulan. Kemampuan siswa dalam berpikir secara visual (visual thinking) sangat diperlukan untuk sampai pada penarikan kesimpulan dari proses penemuan tersebut. Pendapat ini didukung oleh Giaquinto (2007) yang menyatakan bahwa visualisasi menjadi diandalkan setiap kali digunakan untuk menemukan (discovery).

Penemuan sebagai kreativitas merupakan karakteristik dari matematika

(Marsigit, 2011). g e o m e t r i s a l a h s a t u m a t e r i

p o k o k d a l a m m a t e m a t i k a , m e n u r u t G i a q u i n t o ( 2 0 0 7 ) , d a l a m g e o m e t r i berpikir secara visual (visual thinking) dapat menjadi sarana dalam penemuan (discovery). NCTM (2000) menyatakan bahwa siswa harus mengembangkan kemampuan visualisasi melalui hands-on experience dengan variasi terhadap objek-objek geometri yang selanjutnya dapat menjadikan mereka senang menganalisis dan


(24)

menggambarkan perspektif, serta dapat mendeskripsikan sifat-sifat yang tidak tampak tetapi dapat disimpulkan. Balim (2009) juga berpendapat bahwa dalam

discovery learning, siswa mengkontruksi pengetahuan berdasarkan informasi baru

dan kumpulan-kumpulan data melalui lingkungan mereka sendiri.

Berbeda dengan pembelajaran konvensional, proses penyelesaian soal pada soal cerita dilakukan dengan mengubah soal cerita ke dalam bentuk kongkrit, dilanjutkan ke dalam bentuk simbol melalui proses pemahaman soal dengan menunjukkan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan operasi hitung apa yang diperlukan dan diberikan di akhir pembelajaran sebagai aplikasi konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Metode discovery learning juga merupakan proses pembelajaran yang disarankan dalam kurikulum 2013 salah satunya mengutamakan dimana dalam pembelajaran siswa tidak disajikan dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa mengorganisasi sendiri. Kemendikbud (2013) menyatakan bahwa dalam mengaplikasikan metode discovery learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Discovery learning juga disarankan Schwartz & Bransford (1998); Swaak, De Jong & Joolingen (2004), untuk merekonstruksi intuisi dan pemahaman awal siswa.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa metode discovery learning memiliki kaitan yang erat dengan kemampuan visual thinking siswa dan

self-efficacy matematis siswa. Diharapkan dengan menerapkan metode discovery learning dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan visual thinking dan self-efficacy matematis siswa. Selain dari aspek kognitif dan afektif

yang disebutkan di atas, aspek Kemampuan Awal Matematika (KAM) siswa yang diklasifikasikan dalam kelompok tinggi, sedang dan rendah juga diduga memberikan kontribusi pada kemampuan visual thinking matematis siswa maupun

self-efficacy siswa terhadap matematika yang pada akhirnya dapat mempengaruhi


(25)

pengelolaan, yang berkaitan dengan bagaimana menata pengajaran yang optimal untuk meningkatkan kebermaknaan pengajaran, yang selanjutnya membawa dampak dalam memudahkan proses-proses internal yang berlangsung dalam diri siswa ketika belajar.

Kemampuan awal matematika yang dimiliki siswa berbeda satu sama lain dalam memahami materi pelajaran, sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi guru dalam mengembangkan rancangan pembelajaran, karena menurut Ruseffendi (Saragih, 2011) dari sekelompok siswa yang dipilih secara acak akan selalu dijumpai siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, hal ini disebabkan kemampuan siswa menyebar secara distribusi normal.

Oleh karena itu pemilihan metode pembelajaran harus dapat mengakomodasi kemampuan matematika siswa yang heterogen sehingga memaksimalkan hasil belajar siswa. Dalam hal ini metode discovery learning menjadi pilihan peneliti dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan perbedaan kemampuan awal matematika siswa yang pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan visual thinking siswa maupun self-efficacy siswa terhadap matematika. Sehubungan dengan subjek penelitian adalah siswa SMP kelas VIII, peneliti menetapkan perbedaan kemampuan awal matematika siswa dalam penelitian ini akan dikelompokkan menjadi kelompok tinggi, sedang dan rendah berdasarkan hasil belajar mata pelajaran matematika pada semester sebelumnya.

Berkaitan dengan uraian yang telah dikemukakan di atas, peneliti tertarik

untuk mengajukan penelitian dengan judul: “Meningkatkan Kemampuan

Mathematical Visual Thinking dan Self-efficacy Siswa SMP melalui Metode Discovery Learning”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah penerapan metode discovery


(26)

self-efficacy siwa Sekolah Menengah Pertama dibandingkan dengan pembelajaran

konvensional?”

Rumusan masalah tersebut di atas dapat dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

a) Apakah peningkatan kemampuan mathematical visual thinking siswa yang belajar dengan discovery learning lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar secara konvensional?

b) Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan mathematical visual

thinking antara siswa yang memiliki kemampuan awal matematika tinggi,

sedang dan rendah setelah belajar dengan discovery learning?

c) Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran ( discovery learning dan pembelajaran konvensional) dengan kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan kemampuan mathematical

visual thinking siswa?

d) Bagaimanakah kualitas pencapaian kemampuan mathematical visual thinking siswa yang belajar dengan discovery learning?

e) Apakah terdapat perbedaan peningkatan self-efficacy siswa yang belajar dengan discovery learning dan siswa yang belajar secara konvensional? f) Bagaimanakah gambaran self-efficacy siswa dan peningkatannya melalui

belajar dengan discovery learning? 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji :

a) Peningkatan kemampuan mathematical visual thinking antara siswa yang belajar dengan discovery learning dengan siswa yang belajar secara konvensional.

b) Perbedaan peningkatan kemampuan mathematical visual thinking antara siswa yang memiliki kemampuan awal matematika tinggi, sedang dan rendah setelah belajar dengan discovery learning


(27)

c) Interaksi yang terjadi antara pembelajaran (discovery learning dan pembelajaran konvensional) dengan kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan kemampuan mathematical

visual thinking siswa.

d) Kualitas pencapaian kemampuan mathematical visual thinking siswa yang belajar dengan discovery learning.

e) Perbedaan peningkatan self-efficacy siswa yang belajar dengan discovery

learning dan siswa yang belajar secara konvensional

f) Gambaran self-efficacy siswa yang belajar dengan discovery learning.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:

a) Sebagai bahan pertimbangan bagi guru matematika khususnya, dalam menerapkan metode discovery learning sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

b) Sebagai masukan bagi pengambilan kebijakan dalam peningkatan kualitas pembelajaran matematika, untuk meningkatkan kemampuan mathematical

visual thinking dan self-efficacy siswa SMP.

c) Memberikan pandangan kepada pendidik untuk lebih mengembangkan

kemampuan mathematical visual thinking siswa, agar dapat menghasilkan siswa yang memiliki kemampuan mathematical visual thinking yang baik. d) Memberikan informasi tentang pengaruh pembelajaran dengan discovery

learning terhadap kemampuan mathematical visual thinking siswa.

e) Memberikan informasi tentang pengaruh pembelajaran dengan discovery terhadap self-efficacy siswa.

f) Memberikan gambaran pencapaian kemampuan mathematical visual


(28)

1.5 Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang terdapat pada rumusan masalah dalam penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut:

1. Metode discovery learning adalah bentuk pembelajaran yang difasilitasi oleh guru untuk menemukan kembali gagasan matematika melalui tahapan stimulation, problem statement, data collection, data Processing, verification, dan generalization.

2. Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah proses belajar mengajar yang biasa dilakukan guru di kelas yaitu pembelajaran yang bersifat informatif dari guru kepada siswa, siswa mendengar, mencatat dan mengerjakan latihan yang diberikan oleh guru.

3. Kemampuan mathematical visual thinking adalah proses berfikir analitis dalam memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan secara visual dari semua jenis informasi kemudian mengubahnya ke dalam bentuk gambar, grafik, diagram, pola, atau dengan kata-kata, yang diukur dengan menggunakan indikator looking & seeing, imagining, showing and telling,

representation.

4. Peningkatan kemampuan mathematical visual thinking adalah gain ternormalisasi dari skor tes mathematical visual thinking setiap siswa.

5. Self-efficacy yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keyakinan

seseorang terhadap kemampuannya melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan soal yang melibatkan kemampuan

mathematical visual thinking dengan berhasil.

6. Peningkatan self-efficacy adalah peningkatan persentase respon siswa sebelum


(29)

Scristia, 2014

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment atau eksperimen semu yang terdiri dari dua kelompok penelitian yaitu kelompok eksperimen (kelas perlakuan) merupakan kelompok siswa yang pembelajarannya menggunakan metode discovery learning dan kelompok kontrol (kelas pembanding) adalah kelompok siswa yang pembelajarannya tidak menggunakan metode discovery

learning (pembelajaran konvensional). Pertimbangan penggunaan desain

penelitian ini adalah bahwa kelas yang ada sudah terbentuk sebelumnya, sehingga tidak dilakukan lagi pengelompokkan secara acak. Apabila dilakukan pembentukan kelas baru dimungkinkan akan menyebabkan kekacauan jadwal pelajaran dan mengganggu efektivitas pembelajaran di sekolah.

Penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan terikat. Variabel bebasnya yaitu discovery learning dan pembelajaran konvensional. Variabel terikatnya adalah kemampuan mathematical visual thinking dan self-efficacy siswa. Variabel kontrolnya yaitu kategori Kemampuan Awal Matematika (KAM) siswa sebelum dilakukan penelitian.

Dengan demikian penelitian ini menggunakan desain kelompok

Nonequivalent Control Group Design (Borg & Gall, 1989: 690) berikut:

Kelompok Eksperimen : O X O

Kelompok Kontrol : O O

Dimana X menunjukkan treatment pada kelompok eksperimen yaitu metode discovery learning, O menunjukkan pengukuran pretes dan postes variable terikat (mathematical visual thinking dan self-efficacy), dan garis putus-putus menyatakan bahwa kelompok kontrol dan kelompok eksperimen tidak dibentuk secara acak.

3.2 Waktu, Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Lubuklinggau Provinsi Sumatera Selatan selama kurang lebih dua bulan yaitu dari bulan Februari sampai dengan


(30)

bulan April 2014. Subjek yang diambil dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII di SMP N 3 kota Lubuklinggau, dalam hal ini sekolah yang dipilih adalah sekolah yang memiliki kualitas sedang. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa sekolah menengah pertama kelas VIII. Adapun pemilihan kelas VIII didasarkan atas pertimbangan bahwa siswa kelas VIII dianggap peneliti telah memenuhi prasyarat yang cukup untuk menjadi objek penelitian, sedangkan dipilihnya sekolah dengan level sedang dikarenakan pada level ini kemampuan akademik siswa bersifat heterogen, mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Dari sekolah sampel diambil secara purposif yaitu satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Kelas ekperimen adalah kelas yang diberikan perlakuan dengan matode discovery learning, sedangkan kelompok kontrol pembelajarannya tidak diberikan perlakuan, pembelajaran dilakukan secara konvensional.

Siswa-siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol, akan dikelompokkan berdasarkan kemampuannya menjadi tiga level yaitu, kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokkan kemampuan ini dilakukan berdasarkan rata-rata nilai ulangan harian dan nilai UAS semester ganjil. Peneliti hanya mengambil data dari hasil ulangan harian dan UAS semester ganjil dikarenakan guru yang mengajar di kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah guru yang telah bersertifikat profesional, sehingga peneliti menganggap bahwa soal yang digunakan guru yang bersangkutan dapat membedakan KAM siswa. Dari hasil rata-rata ulangan siswa tersebut kemudian dikelompokkan kemampuan siswa tinggi, sedang dan rendah.

Adapun kriteria penetapan kelompok tersebut menurut Arikunto (2009) didasarkan pada rataan ( ̅) dan simpangan baku (SB), yakni:

Tabel 3.1 Level KAM Siswa

Rentang Level KAM Siswa

KAM > + SB Tinggi

- SB KAM ≤ + SB Sedang


(31)

Scristia, 2014

Berdasarkan hasil perhitungan terhadap data KAM siswa, kelas eksperimen diperoleh = 66,39 dan SB = 17,97, dan kelas kontrol diperoleh = 55,66 dan SB = 16,26. Tabel.3.2 berikut menyajikan banyaknya siswa yang berada pada kelompok tinggi, sedang dan rendah pada kelas eksperimen dan kontrol :

Tabel 3.2

Kemampuan Awal Matematika Siswa

KAM Eksperimen Kontrol

Tinggi 9 10

Sedang 18 20

Rendah 8 6

Total 35 36

3.3 Variabel Penelitian

Penelitian ini melibatkan tiga jenis variabel yakni variabel bebas, variabel terikat dan variable kontrol. Sugiyono (2011) menjelaskan bahwa:

1) Variabel bebas atau variabel independen merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebasnya yaitu metode discovery learning dan pembelajaran konvensional. 2) Variabel terikat atau variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi

atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu kemampuan mathematical visual thinking dan

self-efficacy siswa.

3) Variabel kontrol pada penelitian ini yaitu kategori KAM siswa (tinggi, sedang, dan rendah).

3.4 Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Instrumen penelitian yang dikembangkan meliputi instrumen

pengumpulan data dan perangkat pembelajaran. Instrumen pengumpul data ini terdiri dari tes berupa seperangkat soal tes untuk mengukur kemampuan

mathematical visual thinking. Intrumen pengumpulan data selanjutnya yaitu skala self-efficacy, wawancara dan lembar observasi. Berikut ini merupakan uraian dari


(32)

3.4.1 Tes Kemampuan Mathematical Visual Thinking

Tes kemampuan mathematical visual thinking disusun dalam bentuk uraian. Hal ini mengingat mathematical visual thinking merupakan kemampuan individu dan memerlukan ruang gerak yang lebih luas bagi siswa dalam mengemukakan pendapat, gambar-gambar, serta penjelasannya terhadap materi yang dipelajari, sehingga tepat jika menggunakan jenis tes ini. Agar tercipta keseimbangan, maka tipe tes uraian ini digunakan untuk kedua kelompok sampel, yaitu untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Selain berbagai pertimbangan di atas, dalam tes tipe uraian proses berpikir siswa dalam menyelesaikan soal matematika terlihat dengan jelas, melalui tes ini dapat terlihat pula sejauh mana kemampuan mathematical visual thinking yang dimiliki siswa.

Adapun rincian indikator kemampuan mathematical visual thinking yang akan diukur adalah sebagai berikut :

Tabel 3.3

Indikator Kemampuan Visual thinking

Indikator Deskripsi Indikator

Looking & Seeing

Mengidentifikasi bangun geometri berdasarkan tampilannya secara utuh serta mengklasifikasikan bangun geometri berdasarkan karakteristik yang sama

Imagining

Melukis ataupun menggambar yang berupa representasi dari informasi yang masih abstrak serta menggabungkannya dengan pengalaman baru, dengan cara menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk menyimpulkan pola, atau membuat jenis tertentu dari representasi data yang diberikan.

Showing & Telling

Menjelaskan apa yang dilihat dan diperoleh kemudian mengkomunikasikannya, ataupun membuat komentar yang

mencerminkan upaya untuk mewujudkan atau

mengidentifikasi bentuk dari informasi yang diberikan.

Representation

Merepresentasikan permasalahan dalam bentuk visual berupa gambar, grafik, diagram ataupun dengan kata-kata yang dapat membantu menghubungkan dan mengkomunikasikan informasi untuk menyelesaikan masalah

Adapun teknik penskoran kemampuan mathematical visual thinking adalah mengacu kepada kriteria penskoran Holistic Scoring Rubriks yang dikemukanan oleh Cai, et.al. (1996) yang kemudian dimodifikasi dari kriteria


(33)

Scristia, 2014

Tabel 3.4

Skor Respon Siswa Terhadap soal Visual thinking matematika

Indikator Respon Siswa terhadap Soal Skor SMI

Looking & Seeing

Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan bangun geometri dengan lengkap berserta penjelasannya dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan

4

12 Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan bangun geometri

dengan lengkap tanpa penjelasan lengkap dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan

3

Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan bangun geometri dengan kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan

2

Mengidentifikasi bangun geometri dan hanya sedikit mengandung penjelasan sesuai indikator yang diberikan

1

Tidak ada jawaban sama sekali 0

Imagining

Melukis atau menggambar bangun geometri dengan lengkap dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan

4

12 Melukis atau menggambar bangun geometri dengan lengkap

namun kurang merepresentasikan indikator pertanyaan yang diberikan

3 Melukis atau menggambar bangun geometri kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan

2 Melukis atau menggambar bangun geometri hanya sedikit mengandung penjelasan sesuai indikator yang diberikan 1

Tidak ada jawaban sama sekali 0

Showing & Telling

Mendeskripsikan bangun geometri dengan lengkap beserta penjelasan atau perhitungan secara matematis dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan

4

12 Mendeskripsikan bangun geometri dengan lengkap namun

penjelasan atau perhitungan secara matematis kurang lengkap dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan

3

Mendeskripsikan bangun geometri dengan kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan

2

Mendeskripsikan bangun geometri dan hanya sedikit mengandung penjelasan sesuai indikator yang diberikan

1

Tidak ada jawaban sama sekali 0

Represen-tation

Semua penjelasan lengkap beserta gambar atau perhitungan secara matematis dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan

4

20 Penjelasan, gambar atau perhitungan secara matematis kurang

lengkap namun merepresentasikan indikator pertanyaan yang diberikan

3

Penjelasan yang diberikan kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan

2

Penjelasan yang diberikan hanya sedikit mengandung penjelasan konsep sesuai indikator yang diberikan

1


(34)

Sebelum soal tes kemampuan mathematical visual thinking digunakan, terlebih dahulu untuk melihat validitas isi dan validitas muka. Validitas muka dilakukan dengan melihat tampilan dari soal itu yaitu keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya dan tidak salah tafsir atau kejelasan bahasa/redaksional dan gambar/representasi dari setiap butir tes yang diberikan. Jadi suatu instrumen dikatakan memiliki validitas muka yang baik apabila instrumen tersebut mudah dipahami maksudnya sehingga siswa tidak mengalami kesulitan ketika menjawab soal. Validitas isi mengacu pada seberapa banyak materi tes tersebut dapat mengukur keseluruhan materi yang telah diajarkan. Validitas isi dilakukan dengan melihat kesesuaian materi tes dengan kisi-kisi tes, materi pelajaran yang telah diajarkan dan apakah soal pada instrumen sesuai atau tidak dengan indikator kemampuan yang diukur dan tingkat kesukaran untuk siswa (Nasution, 2007).

Pemeriksaaan validitas muka dan validitas isi dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. Selain itu, pemeriksaan validitas muka dan isi juga dilakukan oleh orang yang dipandang ahli, yaitu dosen ahli di bidang geometri, guru matematika di sekolah yang bersangkutan, teman sejawat yaitu rekan dari S2 pendidikan matematika, dan mahasiswa S3 pendidikan matematika. Khusus untuk validitas muka soal tes kemampuan mathematical visual thinking juga divalidasi oleh dosen Bahasa Indonesia. Setelah validasi ahli dilaksanakan dan diperoleh saran dari ahli dan teman sejawat mengenai isi dan desain instrumen tes, hasil validasi tersebut dijadikan dasar untuk merevisi intrumen tes

Setelah direvisi dari ahli, validasi selanjutnya yaitu tiga siswa kelas IX untuk melihat keterbacaan bagi siswa yang kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Setelah dilakukan revisi dari keterbacaan masing-masing siswa tersebut, dilanjutkan dengan small group, untuk melihat bagaimana keterbacaan soal visual

thinking secara menyeluruh. Pelaksanaan small group ini dilakukan di MTsN

Kasomalang. Hasil revisi dari small group inilah yang digunakan peneliti untuk dilakukan uji coba kelapangan. Melalui validasi ini, akan diketahui kelemahan dan kekurangan instrumen tes. Proses validasi dan hasil validasi dapat dilihat


(35)

Scristia, 2014

Selanjutnya soal tes diujicobakan pada siswa diluar sampel penelitian, yaitu siswa kelas IX SMPN 1 Lembang Kota Bandung sebanyak 30 orang yang telah terlebih dahulu mendapatkan pembelajaran mengenai materi Bangun Ruang Sisi Datar. Ujicoba soal tes dilaksanakan pada awal bulan Februari. Setelah ujicoba soal tes dilaksanakan, kemudian dilakukan analisis mengenai validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda dan tingkat kesukaran.

Setelah ujicoba soal tes dilaksanakan, kemudian dilakukan analisis mengenai validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda dan tingkat kesukaran dengan berbantuan software ANATES V.4 sebagai berikut :

a. Validitas Instrumen

Validitas adalah sejauhmana akurasi suatu tes dalam menjalankan fungsi pengukurannya, pengukuran dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila menghasilkan data yang secara akurat memberikan gambaran mengenai variabel yang diukur seperti dikehendaki oleh tujuan pengukuran tersebut (Azwar, 2012). Untuk mengetahui valid-tidaknya instrumen tes kemampuan mathematical visual

thinking tergantung pada kemampuan instrumen tes tersebut dalam mencapai

tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Untuk itu dilakukan analisis validitas terhadap butir soal. Tingi-rendahnya validitas pengukuran dinyatakan secara empirik oleh suatu koefisien, yaitu koefisien validitas.

Adapun untuk menentukan tingkat validitas soal digunakan kriteria menurut Guilford (Erman, 2003) sebagai berikut:

Tabel 3.5

Kriteria Koefisien Korelasi

Nilai rxy Kriteria

0,90<rxy≤ 1,00 Sangat Tinggi

0,70<rxy≤ 0,90 Tinggi

0,40<rxy≤ 0,70 Sedang

0,20<rxy≤ 0,40 Rendah

0,00<rxy≤ 0,20 Sangat Rendah

xy


(36)

Hasil uji validitas soal tes kemampuan mathematical visual thinking matematis dapat dilihat pada Lampiran B. Hasil uji validitas ini dapat diinterpretasikan dalam rangkuman yang disajikan pada Tabel 3.6 berikut :

Tabel 3.6

Data Hasil Uji Validitas Instrumen Tes

Nomor Soal Korelasi Interpretasi Kriteria

1 0,734 Sangat Signifikan Validitas Tinggi

2 0,453 Signifikan Validitas Sedang

3 0,638 Signifikan Validitas Sedang

4 0,482 Signifikan Validitas Sedang

5 0,529 Signifikan Validitas Sedang

6 0,454 Signifikan Validitas Sedang

7 0,458 Signifikan Validitas Sedang

8 -0,068 Tidak Signifikan Tidak Valid

Dari delapan butir soal tersebut terdapat 1 butir soal yang tidak signifikan, sedangkan butir soal lainnya signifikan dan sangat signifikan. Artinya, soal tes nomor delapan tidak valid atau tidak layak digunakan untuk mengukur kemampuan mathematical visual thinking siswa pada penelitian ini.

b. Reliabilitas Instrumen

Suatu alat evaluasi dikatakan reliabel, jika mampu menghasilkan data yang memiliki tingkat reliabilitas tinggi, dengan kata lain konsistensi, keterandalan, keterpercayaan, kestabilan, ataupun keajegan. Reliabilitas menurut Azwar (2012) adalah sejauhmana hasil suatu proses pengukuran dapat dipercaya. Untuk itu dilakukan analisis reliabilitas terhadap butir soal. Derajat reliabilitas pengukuran dinyatakan secara empirik oleh suatu koefisien, yaitu koefisien reliabilitas.

Adapun kriteria derajat reliabilitas menurut Guilford (Erman, 2003) dapat dilihat pada Tabel 3.7 sebagai berikut :

Tabel 3.7

Kriteria Koefisien Reliabilitas

Nilai r11 Kriteria

11

r ≤ 0,20 Derajat Reliabilitas Sangat Rendah

0,20 <r11≤ 0,40 Derajat Reliabilitas Rendah


(37)

Scristia, 2014

0,60 <r11≤ 0,80 Derajat Reliabilitas Tinggi 0,80 <r11≤ 1,00 Derajat Reliabilitas Sangat Tinggi

Pada Lampiran B dapat dilihat bahwa soal tes kemampuan mathematical visual

thinking memiliki reliabilitas sedang dengan koefisien korelasi 0.54. Artinya,

soal-soal tes pada penelitian ini akan memberikan hasil yang hampir sama jika diujikan kembali kepada siswa.

c. Daya Pembeda

Daya pembeda dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan kemampuan individu peserta tes. Butir soal yang baik akan mampu membedakan siswa yang memiliki kemampuan tinggi (pandai) dengan siswa yang memiliki kemampuan rendah (kurang pandai). Derajat daya pembeda suatu butir soal dinyatakan dengan indeks diskriminasi yang bernilai dari -1,00 sampai dengan 1,00.

Klasifikasi interfensi untuk menentukan daya pembeda tiap butir soal digunakan kriteria menurut Erman (2003) sebagai berikut :

Tabel 3.8

Kriteria Daya Pembeda

Daya Pembeda Kriteria

DP ≤ 0,00 Sangat Jelek

0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek

0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup Baik

0,40 < DP ≤ 0,70 Baik

0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik

Hasil perhitungan daya pembeda soal tes mathematical visual thinking dapat dilihat pada Tabel 3.9 berikut :

Tabel 3.9

Data Hasil Uji Daya Pembeda setiap Butir Soal Tes

No Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi

1 0,81 Sangat Baik

2 0,41 Baik

3 0,28 Cukup Baik

4 0,59 Baik


(38)

6 0,17 Jelek

7 0,21 Cukup Baik

8 -0,01 Sangat jelek

Delapan butir soal tes, yaitu butir soal no 3, 5, dan 7 memiliki daya pembeda yang cukup baik, sehingga ketiga butir soal ini perlu direvisi atau perbaikan. Untuk soal no 6 dengan daya pembeda jelek maka butir soal no 6 ini perlu dirombak tetapi tidak dibuang karena dari hasil pekerjaan siswa ada poin soal yang memang tidak terjawab sama sekali tetapi bukan secara keseluruhan. Sedangkan untuk butir soal no 8, dari uji kevalidan sudah terlihat bahwa soal no 8 ini tidak valid, dan dengan daya pembeda yang sangat jelek, sehingga soal no 8 ini dibuang atau tidak digunakan untuk mengukur kemampuan mathematical visual

thinking siswa. Hasil analisis dan perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada

Lampiran B. Secara umum dari 8 soal terdapat 7 soal tes dapat dikerjakan oleh siswa yang pandai dengan baik, sedangkan siswa yang kurang pandai tidak dapat mengerjakannya dengan baik. Artinya, instrumen tes pada penelitian ini sudah mampu membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai. d. Tingkat Kesukaran

Analisis tingkat kesukaran tiap butir soal dilakukan untuk menunjukkan kualitas butir soal atau untuk mengetahui tingkat kesukaran masing-masing soal yang diberikan, apakah soal tersebut termasuk kategori mudah, sedang atau sukar. Menurut Nasution (2007) besarnya tingkat kesukaran butir soal dapat dihitung dengan memperhatikan proporsi peserta tes yang menjawab benar terhadap setiap butir soal. Untuk menentukan tingkat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan suatu bilangan yang disebut indeks kesukaran, yang berada pada interval 0,00 sampai dengan 1,00. Klasifikasi indeks kesukaran digunakan kriteria menurut Erman (2003) sebagai berikut:

Tabel 3.10

Kriteria Indeks Kesukaran

Indeks Kesukaran Kriteria

IK = 0,00 Sangat Sukar

0,00 < IK ≤ 0,30 Sukar


(39)

Scristia, 2014

0,70 < IK ≤ 1,00 Mudah

IK= 1,00 Sangat Mudah

Hasil perhitungan tingkat kesukaran soal tes pada penelitian ini dirangkum dalam Tabel 3.11 :

Tabel 3.11

Data Hasil Uji Tingkat Kesukaran Instrumen Tes

No Soal Indeks Kesukaran Interpretasi

1 0,59 Sedang

2 0,67 Sedang

3 0,41 Sedang

4 0,58 Sedang

5 0,47 Sedang

6 0,21 Sukar

7 0,22 Sukar

8 0,007 Sangat Sukar

Berdasarkan hasil perhitungan tingkat kesukaran dan terlihat pada Tabel 3.11 diatas, bahwa butir soal no.8 sangat sukar, hasil ini mendukung terhadap keputusan hasil daya pembeda, bahwa soal no.8 ini dibuang. Sedangkan untuk soal no.1 perlu diperbaiki agar menjadi soal dalam kategori mudah. Butir soal no.6 terdapat beberapa poin soal yang harus direvisi, karena dengan melihat hasil perhitungan tingkat kesukaran yang paling rendah. Hasil analisis dan keputusan revisi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran B.

Berdasarkan hasil analisis validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran terhadap hasil ujicoba instrumen tes kemampuan mathematical visual

thinking yang diujikan pada 30 siswa kelas IX SMPN 1 Lembang, dapat

disimpulkan bahwa instrumen tes tersebut layak dipakai sebagai acuan untuk mengukur kemampuan mathematical visual thinking siswa kelas VIII yang merupakan sampel dalam penelitian ini.

3.4.2 Skala self-efficacy

Instrumen self-efficacy dikonstruksi dan dikembangkan oleh peneliti dengan mengacu kuesioner yang dikembangkan oleh Bandura (2006), Zimmerman (2000), dan Tirosh (2011), dan dengan mengacu pada pendapat Streeher, V.J. Et


(40)

al. (1986) bahwa lamanya waktu seseorang bertahan dalam menghadapi hambatan mempengaruhi self-efficacy seseorang. Berdasarkan acuan dari beberapa para ahli tersebut skala self-efficacy dalam penelitian ini disusun dalam bentuk skala likert, dengan empat skala pilihan waktu yaitu, jika siswa menjawab pilihan waktu (a) ini berarti siswa “Sangat Yakin” (SY) dapat mengerjakan dengan benar, (b) yang

artinya “Yakin” (Y) dapat mengerjakan dengan benar, (c) artinya “Tidak Yakin”

(TY) dapat mengerjakan dengan benar, dan (d) artinya “Sangat Tidak Yakin” (STY) dapat mengerjakan dengan benar.

Berpedoman pada validitas isi yang dijelaskan oleh Bandura (2006), bahwa butir pernyataan skala self-efficacy harus akurat dalam merefleksikan konstruksnya, self-efficacy berfokus pada kemampuan yang dirasakan, maka butir-butir pernyataannya harus menjadi frase yang mengungkapkan tentang “mampu mengerjakan” daripada “akan mengerjakan”, karena “mampu” menggambarkan pertimbangan kemampuan sedangkan “akan” merupakan pernyataan yang berisikan tentang adanya suatu tujuan (Bandura, 2006).

Kisi-kisi skala self-efficacy terlebih dahulu akan disusun, dan kemudian menyusun pernyataan skala self-efficacy berdasarkan revisi dan saran pembimbing, untuk menguji validitas skala self-efficacy digunakan uji validitas isi. Pengujian validitas skala self-efficacy pada penelitian ini dilakukan oleh dosen pembimbing, validasi dengan teman sejawat yang juga meneliti self-efficacy disekolah lain, dan mahasiswa S3 pendidikan matematika, dengan berorientasi pada validitas muka dan validitas isi, berupa indikator yang hendak diukur, redaksi setiap butir pernyataan, keefektifan susunan kalimat dan koreksi terhadap bentuk format yang digunakan.

Instrumen self-efficacy yang telah dinyatakan valid oleh ahli, selanjutnya dilakukan uji coba instrumen dengan melihat rata-rata waktu yang digunakan siswa saat menjawab soal mathematical visual thinking yang ada pada angket. Uji coba ini dilakukan terhadap 42 siswa kelas IX di MTsN Kasomalang. Uji coba ini dilakukan selama dua kali pertemuan, tidak cukup hanya satu kali pertemuan, karena harus menunggu hingga siswa selesai mengerjakan dengan benar, sehingga


(41)

Scristia, 2014

yang ada pada angket yang kemudian dapat dibuat rata-ratanya. Hasil rata-rata waktu yang diperlukan dapat dilihat secara rinci pada Lampiran B.

3.4.3 Pedoman wawancara

Ruseffendi (2005) menyatakan bahwa wawancara adalah suatu cara mengumpulkan data yang sering digunakan jika kita mau mengetahui sesuatu yang bila dengan cara angket atau cara lainnya belum bisa terungkap atau belum jelas. Pedoman wawancara dalam penelitian ini terdiri atas dua pedoman wawancara, yang pertama wawancara tertulis, wawancara tertulis dilakukan untuk melihat repon siswa terhadap pembelajaran discovery learning serta soal kemampuan mathematical visual thinking. Kedua, wawancara terbuka, pedoman wawancara terbuka merupakan pedoman untuk melakukan wawancara dengan beberapa siswa terkait dengan jawaban siswa pada soal mathematical visual

thinking yang ada pada angket. Kedua pedoman wawancara tersebut dapat dilihat

secara lengkap pada Lampiran.A.

Wawancara terbuka dilaksanakan untuk mengkonfirmasi jawaban siswa secara mendalam pada skala self-efficacy akhir dan memperjelas data self-efficacy siswa yang telah diperoleh melalui penyebaran skala self-efficacy. Wawancara difokuskan untuk menggali persepsi siswa dalam setiap jawaban siswa. Proses wawancara diharapkan dapat menggali dimensi self-efficacy mana yang paling berperan bagi siswa dalam meningkatkan self-efficacy, atau dimensi self-efficacy mana yang mempengaruhi siswa dalam menjawab angket tersebut. Selanjutnya melihat sumber self-efficacy, hasil dari wawancara diharapkan dapat melihat dari sumber mana self-efficacy siswa tersebut muncul sehingga mempengaruhi prilaku

self-efficacy siswa.

Siswa yang diwawancara secara terbuka adalah siswa kelompok tinggi, sedang, dan rendah pada kelas eksperimen. Setiap kelompok dipilih tiga orang siswa untuk mewakili kelompoknya. Kriteria penentuan siswa yang dipilih berdasarkan tingkat kesalahan siswa, membuat kesalahan yang fatal, jawaban yang aneh, atau sama sekali tidak menjawab.

3.4.4 Lembar Observasi


(42)

angket dan wawancara, masih ada hal yang belum bisa terungkap yaitu mengenai keadaan wajar yang sebenarnya sedang terjadi. Tujuan dari lembar observasi pada penelitian ini adalah untuk mengamati kemampuan guru dalam mengelola kelas ketika mengajar dan sesuai tidaknya dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah direncanakan, dengan menggunakan Lembar Observasi Kinerja Guru. Lembar observasi juga digunakan untuk mengamati kinerja siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas, baik itu kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Lembar observasi dapat dijadikan guru sebagai bahan evaluasi dalam memberikan pengajaran kepada siswa, sehingga diharapkan menjadi lebih baik pada pembelajaran berikutnya

Instrumen lembar observasi disusun berdasarkan tahapan-tahapan pembelajaran yang diterapkan. Bentuk instrumen berupa pernyataan tipe Likert dalam lima sub skala pada masing-masing pernyataan. Observer dalam penelitian ini adalah guru kelas di sekolah tempat dilaksanakannya penelitian, pengisian lembar observasi dilakukan sebanyak enam kali selama proses pembelajaran dilaksanakan. Lembar observasi kinerja guru dan siswa dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran A.

3.5 Kelengkapan Penelitian

a. Silabus

Silabus salah satu perangkat yang digunakan guru sebagai acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pelajaran. Silabus memuat rencana pembelajaran pada suatu kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.

b. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran


(43)

Scristia, 2014

kelas. RPP yang disusun memuat indikator yang mengukur penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan yaitu mengenai Bangun Ruang Sisi Datar. Metode dan langkah-langkah pembelajaran disesuaikan dengan model pembelajaran yang digunakan, terutama dalam melakukan penemuan.

c. Pengembangan Bahan Ajar

Bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk materi Bangun Ruang Sisi Datar. Materi pembelajaran dalam penelitian ini disusun dalam bentuk Lembar Kerja Siswa (LKS). Bahan ajar tersebut dikembangkan dari topik matematika berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku di Sekolah Menengah Pertama.

1) Alat dan Bahan

Alat peraga dalam penelitian ini menggunakan benda-benda yang ada di lingkungan siswa dan alat peraga dalam bentuk model kubus, balok serta kerangka balok dan kubus. Pertemuan pertama, kedua dan ketiga, siswa mendiskusikan unsur-unsur dan sifat-sifat yang terdapat pada kubus dan balok, dengan menggunakan benda yang berbentuk kubus dan balok, dan dengan melakukan pengamatan pada ruang kelas.

Pembelajaran pada pertemuan keempat, guru mengajak siswa untuk membuat kerangka dan jaring-jaring kubus/balok. Alat peraga yang digunakan telah dipersiapkan oleh guru untuk masing-masing kelompok berupa sedotan plastik, solatif, gunting, dadu dari karton, dan kotak pasta gigi.

Pertemuan kelima guru mengajak siswa untuk menemukan luas permukaan dan volume kubus, alat peraga yang digunakan juga telah disiapkan guru, yaitu dadu dari karton untuk menemukan luas permukaan kubus, selanjutnya 1 kubus dari karton tanpa tutup ukuran besar dan 9 kubus ukuran kecil untuk menemukan volume kubus.

Terakhir pada pertemuan keenam, guru mengajak siswa untuk menemukan luas permukaan dan volume balok, alat peraga yang digunakan adalah kotak pasta gigi untuk menemukan luas permukaan balok, dan untuk


(44)

menemukan luas volume balok menggunakan alat peraga berupa 1 balok dari karton tanpa tutup, dan 12 kubus kecil dari karton.

2) Lembar Kerja Siswa (LKS)

LKS merupakan bahan ajar yang diberikan kepada siswa untuk dipelajari dan dibahas selama proses pembelajaran di kelas. LKS dirancang dan dikembangkan sesuai dengan pendekatan discovery learning serta mempertimbangkan KTSP SMP. Seluruh materi pelajaran dirangkum dalam 6 LKS. Setiap satuan LKS dibutuhkan waktu 2 jam pelajaran untuk dibahas siswa. LKS disusun sesuai dengan pembelajaran discovery sehingga diharapkan siswa tertarik dan penasaran mempelajarinya. Untuk materi-materi pelajaran diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mathematical

visual thinking siswa. Permasalahan yang ada di LKS berkaitan dengan

tahapan-tahapan discovery dan dekat dengan permasalahan kehidupan sehari-hari siswa.

LKS tersebut terlebih dahulu dilakukan validasi oleh berbagai pihak yang berkompeten sebelum digunakan pada kelas eksperimen, kemudian dilakukan ujicoba, prosedur pengembangan LKS yang dilakukan adalah evaluasi formatif. Adapun langkah-langkah evaluasi formatif (Tessmer, 2005) adalah expert review, one-to-one evaluation, small group dan field test. LKS dalam penelitian ini akan melalui ke empat tahap tersebut. Setelah melalui masing-masing tahap, LKS akan mengalami revisi, sesuai dengan hasil yang diperoleh pada tiap tahap. Dalam pelaksanaannya, ada beberapa tambahan dalam pelaksanaan evaluasi formatif, yang berkaitan dengan perencanaan pelaksanaan evaluasi formatif itu sendiri, diantaranya adalah self evaluation (Tessmer, 2005). Self evaluation adalah tahap dimana peneliti merancang sendiri produk yang akan dikembangkan, yang dalam hal ini adalah LKS itu sendiri. Tahap ini dilakukan sebelum masuk ke tahap expert review. Sehingga dalam pengembangan LKS ini, evaluasi formatif yang dilakukan diawali dengan self evaluation. Langkah-langkah evaluasi formatif diperlihatkan pada gambar berikut:


(1)

Scristia, 2014

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATHEMATICAL VISUAL THINKING DAN SELF-EFFICACY SISWA SMP MELALUI METODE DISCOVERY LEARNING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

c. jika siswa menjawab pilihan (c) artinya “Tidak Yakin” (TY) diberi skor 2, d. jika menjawab pilihan(d) artinya“Sangat Tidak Yakin”(STY) diberi skor 1. 2) Membuat tabel skor pre-SE dan pos-SE siswa kelas eksperimen dan kelas

kontrol.

3) Menghitung persentase jawaban angket masing-masing siswa.

4) Menghitung persentase jawaban siswa pada masing-masing indikator.

5) Menentukan persentase peningkatan skor self-efficacy siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Sebelum dilakukannya pengolahan data dengan menggunakan bantuan Microsoft Office Excel, maka terlebih dahulu perlu ditetapkan taraf signifikannya, yaitu . Kemudian untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara proporsi peningkatan self-efficacy siswa yang belajar dengan discovery learning dengan siswa yang belajar secara konvensional. Adapun Hipotesis penelitiannya :

Ho: Tidak terdapat perbedaan proporsi peningkatan self-efficacy siswa yang belajar dengan discovery learning dengan siswa yang belajar secara konvensional.

Ho: Terdapat perbedaan proporsi peningkatan self-efficacy siswa yang belajar dengan discovery learning dengan siswa yang belajar secara konvensional. Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji beda dua proporsi, dengan kriteria terima Ho jika ⁄ ⁄ . Dari hasil perhitungan uji beda dua proporsi akan dapat dilihat analisis perbedaan proporsi peningkatan self-efficacy siswa yang belajar dengan discovery learning dengan siswa yang belajar secara konvensional.

3.7.3 Lembar Observasi

Pengolahan data dari lembar observasi dilakukan dari hasil penilaian yang dilakukan pada setiap aspek kegiatan siswa dan guru, dalam lembar observasi tersebut dinyatakan secara kualitatif dalam lima kategori penilaian, yaitu: 1 = Sangat Kurang, 2 = Kurang, 3 = Cukup, 4 = Baik, dan 5 = Sangat Baik. Setelah itu dari hasil observasi dicari rata-ratanya dan dipersentasekan.


(2)

80

Scristia, 2014

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATHEMATICAL VISUAL THINKING DAN SELF-EFFICACY SISWA SMP MELALUI METODE DISCOVERY LEARNING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Wawancara tertulis berupa pertanyaan-pertanyaan yang disusun secara sistematis untuk mengungkap respon siswa terhadap pembelajaran dan soal mathematical visual thinking. Wawancara dilakukan hanya pada siswa pada pertemuan terakhir. Data yang telah dikumpulkan digunakan untuk menunjang pembahasan dan analisis terhadap proses pembelajaran yang diterapkan, khususnya discovery learning.

3.8 Prosedur Penelitian

Identifikasi Masalah

Penyusunan Bahan Ajar

Penyusunan Instrumen

Uji Coba Instrumen

Analisis validitas, Reliabilitas, Daya Pembeda, dan Tingkat Kesukaran

Pelaksanaan Penelitian

Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Analisis KAM

Kelompok Tinggi, Sedang, Rendah dari Kelas Eksperimen

Kelompok Tinggi, Sedang, Rendah dari Kelas Kontrol

Pretes Kemampuan Mathematical Visual Thinking

Angket Self Efficacy-1

Kemampuan Mathematical Visual Thinking-1, dan Self efficacy-1 di Kelas Kontrol

Kemampuan Mathematical Visual Thinking-1, dan Self efficacy-1 di Kelas Eksperimen

Pembelajaran matematika dengan metode

Discovery Learning Pembelajaran

konvensional

Postes Kemampuan Mathematical Visual Thinking Angket Self Efficacy-2

Kemampuan Mathematical Visual Thinking-2, dan Self efficacy-2 di kelas kontrol

Kemampuan Mathematical Visual Thinking-2, dan Self efficacy-2 di Kelas Eksperimen


(3)

Scristia, 2014

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATHEMATICAL VISUAL THINKING DAN SELF-EFFICACY SISWA SMP MELALUI METODE DISCOVERY LEARNING


(4)

177

Scristia, 2014

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATHEMATICAL VISUAL THINKING DAN SELF-EFFICACY SISWA SMP MELALUI METODE DISCOVERY LEARNING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukan pada bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan faktor pembelajaran, kemampuan awal matematika, peningkatan kemampuan mathematical visual thinking, dan peningkatan self-efficacy siswa, kesimpulan-kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan mathematical visual thinking siswa yang belajar dengan discovery learning lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar secara konvensional.

2. Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan mathematical visual thinking antara siswa yang memiliki kemampuan awal matematika tinggi, sedang dan rendah setelah belajar dengan discovery learning

3. Terdapat interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah) dalam peningkatan kemampuan mathematical visual thinking siswa.

4. Secara umum kualitas pencapain mathematical visual thinking siswa yang memperoleh discovery learning belum baik. Hal ini ditunjukkan dengan persentase pencapaian yang diperoleh hanya satu indikator di atas 50%. 5. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam peningkatan self-efficacy

siswa antara siswa yang belajar dengan discovery learning dan siswa yang belajar secara konvensional.

6. Secara umum persentase self-efficacy siswa yang belajar dengan discovery learning meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan persentase pencapaian yang diperoleh untuk setiap indikatornya pada saat pos-SE di atas 50%

7. Sebagian besar self-efficacy siswa SMPN 3 LLG tinggi, dengan kata lain sebagian besar siswa SMPN3 LLG memiliki keyakinan dapat mengerjakan soal-soal kemampuan mathematical visual thinking dengan benar.


(5)

Scristia, 2014

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATHEMATICAL VISUAL THINKING DAN SELF-EFFICACY SISWA SMP MELALUI METODE DISCOVERY LEARNING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 5.2 Implikasi

Fokus utama dalam penelitian ini adalah upaya meningkatkan kemampuan mathematical visual thinking dan self-efficacy siswa, melalui pembelajaran matematika berdasarkan metode discovery learning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembelajaran matematika dengan metode discovery learning secara signifikan meningkatan kemampuan visual thinking, dan self-efficacy matematis. Hasil penelitian ini sangat sesuai untuk digunakan sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Belajar penemuan dengan berbantuan alat peraga menambah keyakinan siswa terhadap kemampuannya untuk dapat menyelesaikan masalah matematika, khususnya bagi siswa kelompok rendah.

5.3 Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi yang sudah diuraikan di atas, maka dipaparkan beberapa saran dari peneliti diantaranya yaitu :

1. Metode discovery learning hendaknya menjadi alternatif dalam pembelajaran bagi guru SMP khususnya meningkatkan kemampuan mathematical visual thinking siswa.

2. Perlu diadakan sosialisasi kepada guru tentang pentingnya kemampuan visual thinking serta pengembangannya dalam pembelajaran.

3. Perlu diadakan sosialisasi kepada guru tentang pentingnya melihat bagaimana peran self-efficacy siswa dalam menerima materi pembelajaran. 4. Jika guru ingin mengimplementasikan metode discovery learning, maka

sebaiknya guru memperhitungkan setiap kegaitan yang akan dilakukan agar waktu yang tersedia mencukupi untuk melaksanakan pembelajaran tersebut. 5. Penerapan discovery learning hendaknya disertai dengan lebih banyak

latihan-latihan soal yang bervariasi yang dapat meningkatkan kemampuan matematika siswa.

6. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melihat peningkatan kemampuan representasi secara khusus, dan menerapkan visual thinking sebagai suatu pendekatan.


(6)

179

Scristia, 2014

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MATHEMATICAL VISUAL THINKING DAN SELF-EFFICACY SISWA SMP MELALUI METODE DISCOVERY LEARNING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

7. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dilanjutkan dengan membahas self-efficacy matematis siswa secara mendalam pada kelas kontrol juga, sehingga terdapat perbandingan yang seimbangan.