Pengaruh El-Nino Southern Oscillation (ENSO) terhadap Produksi Penangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali, Maret 2011 - Februari 2015.
PENGARUH EL-NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO)
TERHADAP PRODUKSI PENANGKAPAN IKAN LEMURU
(Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT BALI,
MARET 2011
–
FEBRUARI 2015
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Kelautan dan Perikanan
Oleh:
A.A. MADE ANANDA PUTRA SUARDANA 1214511039
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS UDAYANA BADUNG
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
A.A. Made Ananda Putra Suardana. 1214511039. Pengaruh El-Nino Southern Oscillation (ENSO) terhadap Produksi Penangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali, Maret 2011 – Februari 2015. (Pembimbing : Dr. Eng. I Dewa Nyoman Nurweda Putra, S.Si., M.Si dan Elok Faiqoh, S.Pi., M.Si).
Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap gangguan iklim. Gangguan iklim merupakan bencana yang mendominasi selama empat dekade terakhir ini. Salah satu fenomena yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim adalah El Nino-Southern Oscillation (ENSO). ENSO merupakan dinamika atmosfer dan laut yang memengaruhi cuaca di sekitar Laut Pasifik. ENSO memiliki fenomena yang terdiri atas dua fase yaitu El-Nino dan La-Nina. Dengan kata lain ENSO merupakan anomali dari Suhu Permukaan Laut (SPL). Terjadinya ENSO atau anomali SPL berpengaruh pada sektor perikanan. Salah satu sektor perikanan yang dipengaruhi oleh adanya ENSO yaitu perikanan Sardinella lemuru
yang berada di perairan Selat Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ENSO dan SPL terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriktif kualitatif yaitu dengan mencari hubungan data indeks ENSO yang didapatkan dari data bouy dengan SPL yang didapatkan dari citra satelit MODIS level 3 dan selanjutnya kedua parameter tersebut dapat dicari pengaruhnya terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali. Perhitungan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan persamaan korelasi dan regresi polinomial. Produksi penangkapan ikan lemuru berfluktuasi pada tiap musimnya, tinggi pada musim barat dan rendah pada musim timur. Hasil hubungan indeks ENSO dengan rata-rata 3 bulan anomali SPL pada perairan Selat Bali tidak kuat. Pengaruh fenomena La-Nina terhadap produksi penangkapan lemuru di perairan Selat Bali tidak kuat, sedangkan pengaruh fenomena El-Nino terhadap produksi penangkapan lemuru di perairan Selat Bali terlihat kuat. Pengaruh SPL terhadap produksi penangkapan ikan lemuru pada musim barat sebesar 54,86% (berbanding lurus), pada musim timur sebesar 43,88% (berbanding terbalik), pada musim peralihan I sebesar 37,05% (berbanding lurus), dan pada musim peralihan II sebesar 30,64% (berbanding lurus).
(7)
ABSTRACT
A.A. Made Ananda Putra Suardana. 1214511039. The Influence of El-Nino Southern Oscillation (ENSO) to The Production of Lemuru Fishing (Sardinella lemuru) at Bali Strait, March 2011 – February 2015. (Supervisor: Dr. Eng. I Dewa Nyoman Nurweda Putra, S.Si., M.Si and Elok Faiqoh, S.Pi., M.Si).
Indonesia is one of the countries that vulnerable to climate disruption. Climate disruption are disasters that dominated over the last four decades. One of the phenomena that cause climate change is the El Nino-Southern Oscillation (ENSO). ENSO is dynamics of the atmosphere and ocean affecting weather around the Pacific Ocean. ENSO phenomenon has two phases, namely El-Nino and La-Nina. In other words ENSO is an anomaly of Sea Surface Temperature (SST). The anomaly of SST and ENSO could affect fisheries sector. One of the fisheries sector, which is influenced by the ENSO namely Sardinella lemuru. This study aims to determine the influence of ENSO and SST to the production of lemuru fishing at Bali Strait. The method used in this research is descriptive qualitative by look relationships between ENSO index that obtained from the bouy data and SST that obtained from level 3 MODIS. This study using correlation and regression polynomial equation to know the influence of ENSO and SST to the production of lemuru fishing at Bali Strait. The results showed relationship that ENSO index and 3 months SST anomalies in the Strait of Bali has no relationship each other. The influence of La Nina to the production of lemuru fishing at Bali Strait is not strong, while the El Nino look strong. SST influence on the production of lemuru fishing in west season amounted to 54.86% (proportional), in east season by 43.88% (inversely), in the transitional seasons I amounted to 37.05% (proportional), and on the intermediate season by 30.64% (proportional).
(8)
RINGKASAN
A.A. Made Ananda Putra Suardana. 1214511039. Pengaruh El-Nino Southern Oscillation (ENSO) terhadap Produksi Penangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali, Maret 2011 – Februari 2015. (Pembimbing : Dr. Eng. I Dewa Nyoman Nurweda Putra, S.Si., M.Si dan Elok Faiqoh, S.Pi., M.Si).
Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap gangguan iklim. Gangguan iklim merupakan bencana yang mendominasi selama empat dekade terakhir ini. Salah satu fenomena yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim adalah El Nino-Southern Oscillation (ENSO). ENSO merupakan dinamika atmosfer dan laut yang memengaruhi cuaca di sekitar Laut Pasifik. ENSO memiliki fenomena yang terdiri atas dua fase yaitu El-Nino dan La-Nina. Dengan kata lain ENSO merupakan anomali dari Suhu Permukaan Laut (SPL). Terjadinya ENSO atau anomali SPL berpengaruh pada sektor perikanan. Salah satu sektor perikanan yang dipengaruhi oleh adanya ENSO yaitu perikanan Sardinella lemuru
yang berada di perairan Selat Bali. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu pertama mengetahui fluktuasi produksi penangkapan ikan lemuru (Sardinella lemuru) di perairan Selat Bali pada Maret 2011 sampai dengan Februari 2015, kedua mengetahui hubungan ENSO dengan suhu permukaan laut di perairan Selat Bali, dan yang ketiga mengetahui pengaruh ENSO dan sebaran suhu permukaan laut terhadap produksi penangkapan ikan lemuru (Sardinella lemuru) di perairan Selat Bali. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalahan deskriktif kualitatif yaitu dengan mencari hubungan atau pengaruh antar parameter digunakan persamaan korelasi, dan untuk menentukan model persamaan keterkaitan antar parameter digunakan persamaan regresi polinomial.
Adapun hasil dari penelitian ini yaitu, secara umum produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali pada tiap tahunnya mengalami peningkapan dengan hasil tangkapan tertinggi pada musim barat yang memiliki total tangkapan 29.777.760 kg dan terendah pada musim timur dengan total tangkapan 16.910.631 kg. Pengaruh fenomena La-Nina terhadap produksi penangkapan lemuru di perairan Selat Bali mendapatkan hasil korelasi sebesar 0.2683 atau 26,89% yang artinya pengaruh La-Nina terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali tidak kuat. Sedangkan pengaruh fenomena El-Nino terhadap produksi penangkapan lemuru di perairan Selat Bali mendapatkan hasil korelasi sebesar 0.6113 atau 61,13% yang artinya pengaruh El-Nino terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali berpengaruh kuat. Hubungan nilai indeks ENSO dengan rata-rata 3 bulan anomali suhu permukaan laut di perairan Selat Bali yaitu didapatkan bahwa nilai korelasinya adalah –0.1589 atau 15,89% dengan hubungan berbanding terbalik, yang artinya hubungan indeks ENSO dengan rata-rata 3 bulan anomali suhu permukaan laut pada perairan Selat Bali tidak kuat. Hasil pengaruh suhu permukaan laut terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali pada musim barat yaitu sebesar 54,86% (berbanding lurus), pada musim timur sebesar 43,88% (berbanding terbalik), pada
(9)
musim peralihan I sebesar 37,05% (berbanding lurus), dan pada musim peralihan II sebesar 30,64% (berbanding lurus).
(10)
MOTTO
USAHA, DOA, PANTANG MENYERAH, DAN SELALU BERSYUKUR MERUPAKAN KUNCI UNTUK MEMBUKA PINTU KESUKSESAN
(11)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan
penelitian serta penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh El-Nino Southern
Oscillation (ENSO) terhadap Produksi Penangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali, Maret 2011 – Februari 2015”
sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Kelautan di Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana.
Penulis menyadari tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat dan bantuan dari semua pihak, tugas akhir ini tidak akan terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis penyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Studi Ilmu Kelatuan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana.
2. Bapak Dwi Budi Wiyanto, S.Kel., M.P., selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, serta selaku dosen yang telah memberikan semangat, kesempatan, petunjuk, bimbingan, dan arahan sejak mulai pendidikan sampai akhir pendidikan penulis.
3. Bapak Dr. Eng. I Dewa Nyoman Nurweda Putra, S.Si., M.Si., selaku Pembimbing I, dosen, dan panutan yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan petunjuk, serta semangat yang tak terhingga sejak awal penyusunan rancangan penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Elok Faiqoh, S.Pi., M.Si., selaku Pembimbing II, dosen, dan panutan yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan petunjuk, serta semangat yang tak terhingga sejak awal penyusunan rancangan penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini.
(12)
5. Ayahanda A. A. Made Raka Suardana dan Ibunda I Gusti A. A. Putri Mastini, S.Kep., M.Kes., yang telah membesarkan, mendidik, memberikan materi dan semangat, doa restu, dan cinta yang tak terkira selama ini dan selama menjalani pendidikan.
6. Kakanda A. A. Putu Chintya Putri Suardana, S.Psi., yang telah memberikan rasa cinta, sayang, dorongan, dan panutan dalam proses pendidikan.
7. A. A. Ayu Uccahati Warapsari, S.E., yang telah memberikan rasa sayang, cinta, perhatian, serta semangat selama proses perkuliahan, penelitian, dan penyusunan skripsi.
8. Para sahabat PAON (Putra, Agung, Okta), Anyelir Foundation (Padma, Dhanan, Gek Indah, Pipit, Yoga), dan Sad Pandawa (Ramos, Satya, Padma, Yoga Badak, Adi Bentot) yang telah memberikan semangat, motivasi serta dukungan dari awal pertemuan sampai penyusunan skripsi.
9. Kawan-kawan seperjuangan FKP angkatan 1 yang telah memberikan semangat, pengalaman, serta kenangan yang tak terlupakan dari awal perkuliahan sampai akhir perkuliahan ini.
10. Ranu Fajar yang telah membantu dalam pengolahan data dari awal penelitian 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam penulisan skripsi ini.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik yang telah diberi kepada penulis. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini sehingga jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan, saran, serta kritik yang membangun guna perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Denpasar, Juni 2016
(13)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap A. A. Made Ananda Putra Suardana, lahir di Kota Denpasar, Provinsi Bali pada tanggal 1 Oktober 1993 merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis lahir dari pasangan suami istri Bapak A.A. Made Raka Suardana dan Ibu I Gusti A.A. Putri Mastini, S.Kep., M.Kes. Penulis sekarang bertempat tinggal di Jalan Cokroaminoto, Gang Merak, Nomor 9, Desa Pemecutan Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, Provinsi Bali.
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Negeri Pembina Denpasar pada tahun 2000, pendidikan dasar di SDPN Tulangampiang pada tahun 2006, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 5 Denpasar, pendidikan menengah atas di SMA Negeri 8 Denpasar, dan pada penulisan Skripsi ini penulis masih terdaftar sebagai mahasiswa Program S1 Ilmu Kelautan, Universitas Udayana.
(14)
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
BERITA ACARA ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
RINGKASAN ... viii
MOTTO ... x
KATA PENGANTAR ... xi
RIWAYAT HIDUP ... xiii
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan ... 3
1.4 Manfaat ... 3
1.5 Batasan Penelitian ... 3
II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Karakter Fisik Selat Bali ... 5
2.2 Perikanan Selat Bali ... 5
2.3 Perikanan Lemuru ... 6
2.3.1 Kondisi Oseanografi yang Memengaruhi Ikan Lemuru ... 7
2.3.2 Klasifikasi dan Ciri-ciri Umum Ikan Lemuru ... 8
2.3.3 Habitat ... 8
2.3.4 Makanan ... 9
2.3.5 Tingkah Laku ... 9
2.4 ENSO ... 10
2.5 Suhu Permukaan Laut ... 12
2.6 Satelit Aqua MODIS ... 15
(15)
2.8 Perhitungan Statistik ... 19
2.8.1 Korelasi ... 19
2.8.2 Regresi Polinomial ... 19
III METODOLOGI ... 21
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21
3.2 Alat dan Data Penelitian ... 21
3.3 Metode Pengolahan Data ... 23
3.3.1 Data ENSO ... 23
3.3.2 Data Suhu Permukaan Laut ... 23
3.3.3 Data Perikanan Lemuru Selat Bali ... 24
3.4 Analisis Data ... 25
3.4.1 Analisis ENSO dan Suhu Permukaan Laut ... 25
3.4.2 Analisis Pengaruh ENSO dan Suhu Permukaan Laut terhadap Produksi Penangkapan Ikan Lemuru Selat Bali .. 26
3.5 Diagram Alir Penelitian... 27
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
4.1 Fluktuasi Produksi Penangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) ... 28
4.2 ENSO dan Suhu Permukaan Laut ... 29
4.2.1 ENSO ... 29
4.2.2 Suhu Permukaan Laut ... 31
4.3 Hubungan ENSO terhadap Suhu Permukaan laut ... 32
4.4 Pengaruh ENSO dan Suhu Permukaan Laut terhadap Produksi Penangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) ... 34
4.4.1 Pengaruh ENSO terhadap Produksi Penangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) ... 34
4.4.2 Pengaruh Suhu Permukaan Laut terhadap Produksi Penangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) ... 37
V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43
5.1 Kesimpulan ... 43
5.2 Saran ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
(16)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 1. Sardinella lemuru ... 7
Gambar 2. Kondisi permukaan laut periode La-Nina, normal, dan El-Nino ... 11
Gambar 3. Perubahan suhu pada kedalaman yang berbeda ... 12
Gambar 4. Satelit aqua dan sensor MODIS ... 15
Gambar 5. Pola Arus Monsun Indonesia pada Munson Barat ... 17
Gambar 6. Pola Arus Monsun Indonesia pada Monsun Timur ... 17
Gambar 7. Pola Arus Lintas Insonesia atau Arlindo ... 18
Gambar 8. Lokasi penelitian... 21
Gambar 9. Diagram alir perumusan masalah ... 27
Gambar 10. Fluktuasi produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali, Maret 2011 – Februari 2015 ... 28
Gambar 11. Fluktuasi indeks ENSO, Maret 2011 – Februari 2015 ... 30
Gambar 12. Fluktuasi suhu permukaan laut di perairan Selat Bali, Maret 2011 – Februari 2015 ... 31
Gambar 13. Regresi indeks ENSO dengan rata-rata 3 bulan anomali suhu permukaan laut perairan Selat Bali ... 33
Gambar 14. Regresi indeks ENSO terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali saat La-Nina (+Normal) ... 35
Gambar 15. Regresi indeks ENSO terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali saat El-Nino (+Normal) ... 36
Gambar 16. Regresi suhu permukaan laut terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali pada musim barat... 38
Gambar 17. Regresi suhu permukaan laut terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali pada musim timur ... 39
Gambar 18. Regresi suhu permukaan laut terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali pada musim peralihan I ... 40
Gambar 19. Regresi suhu permukaan laut terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali pada musim peralihan II ... 41
(17)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Nama-nama Lokal dari Ikan Lemuru Berdasarkan Panjang Totat ... 8
Tabel 2. Spesifikasi Teknik Satelit MODIS ... 15
Tabel 3. Alat yang Digunakan dalam Penelitian ... 22
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1 Data Indeks ENSO (Maret 2011 – Februari 2015) ... 50 Lampiran 2 Data Rata-rata Suhu Permukaan Laut Perairan Selat Bali (Maret
2011 – Februari 2015) ... 52 Lampiran 3 Data Rata-rata 3 Bulan Anomali Suhu Permukaan Laut Perairan
Selat Bali (Maret 2011 – Februari 2015) ... 54 Lampiran 4 Data Total Produksi Penangkapan Ikan Lemuru yang Didaratkan
di PPN Pengambengan, PPP Muncar, PPI Kuta dan Kuta Selatan (Maret 2011 – Februari 2015) ... 56
(19)
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari daerah perairan. Menurut Janhidros (2006), luas wilayah daratan Indonesia hanya ± 2.012.402 km2 sedangkan luas perairannya mencapai ± 5.877.879 km2. Melihat wilayah Indonesia yang didominasi oleh perairan dibandingkan dengan daratan, tentunya banyak hal yang dapat dipengaruhi, salah satunya yaitu iklim regional di Perairan Indonesia.
Iklim merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan cuaca pada kawasan tertentu dalam jangka waktu relatif panjang. Iklim direpresentasikan dengan nilai rata-rata elemen atau variabel iklim, terutama temperatur dan presipitasi (Trewartha dan Horn, 1995). Gangguan iklim merupakan bencana yang mendominasi selama empat dekade terakhir, bahkan intensitasnya semakin meningkat pada negara-negara tertentu termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap gangguan iklim. Sebagian besar kondisi iklim ekstrem Indonesia berupa adanya perubahan arus perairan serta anomali atau keadaan tidak normalnya suhu permukaan laut. Kajian terkait dampak perubahan iklim oleh National Academy of Science/ NAS (2008), menunjukkan bahwa Indonesia telah dipengaruhi secara nyata oleh adanya variasi hujan tahunan dan antartahun yang disebabkan oleh Australia-Asia Monsoon dan El Nino-Southern Oscilation (ENSO).
ENSO merupakan dinamika atmosfer dan laut yang memengaruhi cuaca di sekitar Laut Pasifik. ENSO merupakan fenomena yang terdiri atas dua fase yaitu fase panas (El-Nino) serta fase dingin (La-Nina), adapun Southern Oscillation
(SO) merupakan jungkat – jungkit perbedaan tekanan atmosfer antara Australia – Indonesia dengan Samudera Pasifik bagian Timur (Chiew et al., 1998). Wilayah beriklim monsun di Indonesia merupakan wilayah yang terkena dampak ENSO terbesar karena terkait dengan sirkulasi angin di belahan bumi utara (Asia) dan angin dari belahan bumi selatan (Australia) dan mengingat pula letak geografis Indonesia yang berdekatan dengan Samudera Pasifik sebagai sumber utama terjadinya ENSO. Sebagian besar kondisi ekstrem Indonesia berupa adanya
(20)
perubahan arus perairan serta anomali atau keadaan tidak pada normalnya dari suhu permukaan laut.
Pola distribusi suhu permukaan laut dapat digunakan untuk mengidentifikasi parameter – parameter laut seperti arus laut, umbalan air (upwelling) dan front
(Pralebda dan Sayuti, 1983). Proses umbalan air ini akan membawa massa air yang kaya akan zat hara sehingga meningkatkan produktivitas perairan dan mendukung proses kehidupan di laut. Daerah front, suhu, dan umbalan air merupakan daerah yang potensial untuk perikanan (Ilahude, 1970). Dalam prosesnya, suhu permukaan laut terkadang mengalami keadaan tidak normal sehingga memengaruhi keadaan perikanan.
Perikanan Indonesia yang salah satu didalamnya yaitu perikanan Selat Bali merupakan sektor yang terkena dampak ENSO atau anomali suhu permukaan laut, dimana menurut Serra (1987) fenomena ENSO sangat berkatian erat dengan populasi ikan di laut. Pada saat terjadinya El-Nino ataupun La-Nina, populasi ikan khususnya jenis pelagis berkurang karena sedikitnya makanan yang tersedia. Serra (1987) menyatakan bahwa jenis ikan jack mackerel dan sardine merupakan ikan yang paling terpengaruh oleh adanya fenomena ENSO.
Salah satu jenis ikan sardine yaitu Sardinella lemuru. Perikanan lemuru (Sardinella lemuru) merupakan salah satu perikanan pelagis kecil yang penting di Indonesia dan perkembangannya terjadi di Perairan Selat Bali (Merta, 1992). Di Selat Bali, lemuru terkenal sebagai ikan musiman karena kehadirannya hanya pada musim-musim tertentu saja. Menurut Pet et al., 1997, berdasarkan karakteristik oseanografis dan sumberdaya ikan, perairan Selat Bali merupakan daerah ruaya dari ikan lemuru, sehingga perikanan lemuru di Selat Bali dinamakan Sardinella lemuru, sangat spesifik dan satu-satunya di Indonesia.
Melihat permasalahan yang sudah dipaparkan, maka dilakukan penelitian
“Pengaruh ENSO terhadap Produksi Penangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali, Maret 2011 – Februari 2015” dengan mencari hubungan indeks ENSO dan data suhu permukaan laut dari citra Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) level 3 terhadap produksi penangkapan ikan lemuru di Perairan Selat Bali, sehingga nantinya memperoleh
(21)
hasil informasi keterkaitan kejadian ENSO terhadap kegiatan perikanan Sardinella lemuru di perairan Selat Bali.
1.2. Perumusan Masalah
1) Bagaimana fluktuasi produksi penangkapan ikan lemuru (Sardinella lemuru) di perairan Selat Bali pada Maret 2011 sampai dengan Februari 2015?
2) Bagaimana hubungan ENSO dengan suhu permukaan laut di perairan Selat Bali?
3) Bagaimana pengaruh ENSO dan suhu permukaan laut terhadap produksi penangkapan ikan lemuru (Sardinella lemuru) di perairan Selat Bali?
1.3. Tujuan
1) Mengetahui fluktuasi produksi penangkapan ikan lemuru (Sardinella lemuru) di perairan Selat Bali pada Maret 2011 sampai dengan Februari 2015.
2) Mengetahui hubungan ENSO dengan suhu permukaan laut di perairan Selat Bali.
3) Mengetahui pengaruh ENSO dan sebaran suhu permukaan laut terhadap produksi penangkapan ikan lemuru (Sardinella lemuru) di perairan Selat Bali.
1.4. Manfaat
Dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai pengaruh ENSO dan sebaran suhu permukaan laut terhadap produksi penangkapan ikan lemuru (Sardinella lemuru) di perairan Selat Bali.
1.5. Batasan Penelitian
Batasan penelitian ini dibuat karena adanya keterbatasan dalam penelitian serta bertujuan untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam. Untuk itu penulis memberikan batasan tempat, waktu, dan objek penelitian.
(22)
Penelitian ini dilakukan di perairan Selat Bali dengan mengambil titik
koordinat 8,03˚LS sampai 8,94˚LS dan 114,17˚BT sampai 115,25˚BT. Parameter
atau objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data bulanan yang diambil selama 4 tahun yaitu mulai dari Maret 2011 sampai dengan Februari 2015. Adapun parameter atau objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1) Data indeks ENSO dari data bouy yang didownload pada situs National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) (http://www.esrl.noaa.gov/ psd/data/correlation/oni.data).
2) Data suhu permukaan laut yang berasal dari citra satelit MODIS level 3.
3) Data produksi penangkapan ikan lemuru (Sardinella lemuru) di perairan Selat Bali menggunakan data dari 3 tempat pendaratan ikan lemuru di Selat Bali yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Muncar, dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kuta dan Kuta Selatan.
(23)
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Fisik Selat Bali
Letak geografis dari perairan Selat Bali yaitu di antara Pulau Bali di sebelah timur dan Pulau Jawa di sebelah barat. Di sebelah utara dibatasi oleh Laut Bali dan di sebelah selatan oleh Samudera Hindia. Perairan ini berbentuk corong dengan luas perairan sekitar 2.500 km2 yang terdiri dari lebar bagian utara diperkirakan 2,5 km dan bagian selatan kurang lebih 55km(Ritterbush, 1975).
Karena bentuknya seperti corong yang menghadap ke selatan, maka perairan Selat Bali cenderung untuk dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Hindia dibanding oleh massa air dari Laut Flores (Burhanuddin dan Prasetyo, 1982). Berdasarkan karakteristik oseanografis dan sumberdaya ikan, perairan laut Selat Bali masuk sub area 4 yang merupakan daerah ruaya dari ikan lemuru, sehingga perikanan lemuru di Selat Bali dinamakan Sardinella lemuru, sangat
spesifik dan satu-satunya di Indonesia (Pet et al., 1997).
Secara oseanografi perairanIndonesia, termasuk Selat Bali dipengaruhi oleh siklus musim yaitu musim timur(southeast monsoon) dan musim barat(northwest monsoon). Musim timur terjadi pada bulan Juni – September, sedangkan musim barat terjadi pada bulan Desember-Maret. Kondisi osenografi Selat Bali juga mendapatkan pengaruh dari ENSO dan Indian Ocean Dipole (IOD). Kondisi ini mengakibatkan perairan Selat Bali merupakan daerah upwelling. Daerah upwelling merupakan daerah yang kaya akan sumber makanan untuk keberlangsunganlarva, juvenile dan ikan dewasa, maka dari itu perairan Selat Bali merupakan daerah potensial untukkegiatan perikanan. (Hendiarti et al., 2004).
2.2. Perikanan Selat Bali
Perikanan Selat Bali merupakan salah satu perikanan unik yang terdapat di Indonesia (Burhanuddin et al., 1984). Salah satu keunikan dari perikanan Selat Bali yaitu masih diizinkannya penggunaan kapal Slerek dalam proses penangkapan ikan di perairan Selat Bali. Menurut salah satu nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Pengambengan, kebijakan penggunaan kapal Slerek di perairan Selat Bali masih diizinkan penggunaannya oleh Menteri
(24)
Kelautan dan Perikanan. Menurut wawancara nelayan, masih diizinkannya penggunaan kapal Slerek karena penggunaan kapal tersebut aman untuk lingkingan perairan Selat Bali. Begitu pula dengan penangkapan ikan, menurut nelayan penggunaan pukat cicin yang digunakan oleh kapan Slerek sangat efektif dalam penangkapan ikan lemuru yang sering hidup bergerombol (wawancara nelayan PPN Pengambengan, 2015).
Pada penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali, dilakukan teknik one day fishing atau dapat dikatakan bahwa para nelayan yang menangkapn ikan lemuru melakukan trip atau perjalanan melaut selama satu malam, atau satu kali dalam satu hari. Hal tersebut dikarenakan karakteristik ikan lemuru sangat lemah dan cepat membusuk, maka dari itu harus cepat dibawa ke daratan dan langsung dilakukan pengolahan (Burhanuddin et al., 1984). Faktor alam merupakan salah satu yang memengaruhi dari penangkapan ikan di Selat Bali. Ketika alam baik nelayan akan pergi melaut, dan jika keadaan alam buruk atau tidak memungkinkan maka nelayan tidak melaut dan menyempatkan dirinya untuk memperbaiki kapal. Keadaan bulan purnama juga salah satu faktor nelayan tidak pergi melaut karena dipercaya saat bulan purnama atau bulan terang persebaran ikan yang biasanya bergerombol memecah gerombolannya menjadi terpebcar-pencar, sehingga para nelayan menemui kesulitan untuk penangkapannya. Cara tersebut masih dilakukan secara tradisional dan nelayan Selat Bali masih enggan menggunakan teknologi modern atau penelitian para peneliti mengenai penangkapan ikan di Selat Bali (wawancara nelayan PPN Pengambengan dan PPP Muncar, 2015).
2.3. Perikanan Lemuru
Lemuru (Sardinella lemuru) merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting di perairan Selat Bali. Ikan lemuru jenis ini hanya ditemukan di perairan Selat Bali karena ikan lemuru yang ditemui di Selat Bali memiliki perbedaan dibandingkan ikan sejenisnya (Pet et al., 1997). Lemuru tergolong ikan pelagis kecil dalam famili clupeidae, pemakan penyaring (filter feeder) dengan makanan utama berupa fitoplankton dan zooplankton (Carpenter dan Niem, 1999)
(25)
2.3.1.Klasifikasi dan Ciri-ciri Umum Ikan Lemuru
Ikan-ikan lemuru yang tertangkap diperairan Indonesia terdiri dari beberapa jenis yang di dalam Statistik Perikanan Indonesia digabung menjadi satu dengan nama lemuru. Ikan lemuru yang terkenal di Indonesia pada awalnya adalah
Sardinellalongiceps yang terkonsentrasi di Selat Bali dan sekitarnya. Selain pada
Sardinellalongiceps, nama lemuru juga diberikan pada jenis-jenis lain dari marga Sardinella, yaitu Sardinella lemuru, Sardinella sirm, Sardinella leiogastes dan
Sardinellaaurita (Burhanuddin et al., 1984).
Whitehead (1985) menuliskan dalam FAO Species Catalogue spesies ikan lemuru yang tertangkap di Selat Bali dan sekitarnya bukanlah Sardinella longiceps melainkan Sardinella lemuru seperti yang terdapat pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Sardinella lemuru (Atmaja, 2015)
Nama Inggris dari Sardinella lemuru, Bleeker 1853 yang diberikan FAO adalah
Bali Sardinella, dan nama-nama ikan lemuru di beberapa negara atau tempat dikenal dengan sebutan lemuru (Indonesia), Hwang sha-tin (Taiwan), dan Hwang tseih (Hongkong) (Whitehead, 1985).
Nelayan-nelayan setempat juga memberikan nama yang berbeda-beda sesuai dengan ukurannya dan secara umum, ikan lemuru dikelompokkan seperti yang ada pada tabel 1.
Tabel 1. Nama-nama Lokal dari Ikan Lemuru Berdasarkan Panjang Total
Panjang Total (cm) Nama Lokal Lokasi
< 11 Sempenit
Penpen
(26)
11-15 Protolan Muncar dan Bali
15-18 Lemuru Muncar dan Bali
>18 Lemuru Kucing-kucingan Muncar dan Bali
Sumber: Merta (1992)
Taksonomi dari Sardinella lemuru (Saanin, 1984) adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata Superclass : Osteichthyes
Class : Pisces Subclass : Teleostei
Superorder : Clupeomorpha Order : Clupeiformes
Suborder : Clupeoidei Family : Clupeidae
Subfamily : Clupeinae Genus : Sardinella
Species : Sardinella lemuru-Bali sardinella
2.3.2.Kondisi Oseanografi yang Memengaruhi Ikan Lemuru
Fluktuasi suhu dan perbedaan geografis merupakan faktor dalam upaya menemukan pengkonsentrasian gerombolan ikan. Dengan demikian, suhu memegang peran dalam menentukan daerah penangkapan (Gunarso, 1985).
Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh selama masa pemijahan adalah suhu. Ikan Sardinella iwashi di Laut Jepang, memijah pada suhu sekitar 13oC –
17oC dengan suhu optimum berkisar 14oC – 15,5oC, sedangkan ikan Sardinella
caerulea yang tersebar di perairan Samudera Pasifik memijah di luar California pada kisaran 15oC – 16oC (Laevastu dan Hela, 1970). Sedangkan ikan lemuru (Sardinella lemuru) dapat hidup pada suhu sekitar 26oC – 29oC (Mahrus, 1996).
2.3.3.Habitat
Menurut Whitehead (1985), ikan lemuru tersebar pada perairan India bagian timur yaitu Phuket Thailand, di pantai-pantai sebelah selatan Jawa Timur dan
(27)
Bali,Australia sebelah barat, dan Lautan Pasifik sebelah barat (Laut Jawa ke utara sampai Filipina, Hong Kong, Taiwan sampai selatan Jepang). Di Indonesia, ikan lemuru terdapat juga di sebelah selatan Ternate dan Teluk Jakarta selain di perairan Selat Bali dan sekitarnya. Burhanuddin et al., (1984) mengatakan bahwa ikan-ikan lemuru juga tertangkap dalam jumlah kecil atau tidak terlalu besar di perairan selatan Jawa Timur, seperti Grajagan, Puger.
Distribusi ikan lemuru di Selat Bali tersebar di sepanjang pantai barat Pulau Bali dan pantai Timur Banyuwangi. Penyebaran dari ikan lemuru memiliki wilayah tersendiri, pada musim ikan lemuru penyebaran ikan lemuru mencapai wilayah barat yaitu Teluk Pangpang dan Tanjung Sembulungan, sedangkan di Selat Bali dari Candikusuma ke tenggara sampai semenanjung Bukit (Dwiponggo, 1982). Pola migrasi ikan mencapai puncaknya pada bulan Desember sampai dengan Januari serta sangat dipengaruhi oleh kondisi (Merta, 2003).
2.3.4.Makanan
Lemuru adalah pemakan zooplankton dan fitoplankton yangmasing-masing berkisar antara 90,52-95,54% dan 4,46-9,48%. Copepoda dan dekapoda merupakan komponen zooplankton yang tertinggi yang masing-masing menduduki tempat pertama dan kedua (53,76-55,00% dan 6,50-9,45%) (Burhanuddin dan Praseno, 1982). Pola kebiasaan makanan Sardinella lemuru
cenderung mengalami perubahan menurut kelompok ukurannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lagler (1974) yang menyebutkan bahwa pola kebiasaan makanan ikan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya umur, ukuran, waktu serta faktor lingkungan yang memengaruhi ketersediaan pakan alami.
2.3.5.Tingkah Laku
Ikan lemuru adalah ikan musiman karena muncul pada musim-musim tertentu saja untuk perairan Selat Bali. Menurut Merta (1992), produksi lemuru umumnya mulai meningkat pada bulan Oktober lalu mencapai puncaknya pada bulan Desember - Januari, kemudian menurun kembali pada bulan Februari. Ikan lemuru mempunyai sifat yaitu senang beruaya secara musiman, dimana pada saat
(28)
tertentu menghilang dari jangkauan penangkapan yang sering terjadi pada bulan Februari dan Maret (Subani, 1971).
Menurut Dwiponggo (1972), ikan-ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali diperkirakan memijah pada rentangan bulan Juni - Juli. Tempat pemijahan diperkirakan tidak jauh dari pantai Selat Bali, ditandai dengan tertangkapnya ikan sempenit oleh bagan-bagan tancap di Teluk Pangpang pada bulan Juni. Diperkirakan ada kelompok ikan lemuru yang memijah pada bulan Oktober sampai November. Menurut Soerjodinoto (1960), ikan lemuru datang ke pantai untuk bertelur karena kondisi memijah yang sesuai dengan ikan lemuru memiliki salinitasnya rendah.
Menurut Whitehead (1985) kemungkinan ikan lemuru di Selat Bali memijah pada akhir musim hujan setiap tahun. Ikan lemuru adalah ikan pelagis kecil yang hidup secara bergerombol dalam jumlah yang begitu besar. Ikan ini cenderung berada di permukaan laut pada malam hari untuk mencari makan dan berada di kolom perairan tertentu pada siang hari (Merta, 1992).
2.4. ENSO
ENSO merupakan fenomena yang terdiri atas dua fase yaitu fase panas ( El-Nino) serta fase dingin (La-Nina) yang dapat dilihat pada Gambar 3. ENSO tidak terjadi stiap tahunnya dan data ENSO tersebut berasal dari data bouy. Southern Oscillation merupakan perubahansirkulasi angin yang disebabkan oleh perbedaan suhu permukaan laut antara Samudera Pasifik Timur dan Barat (McGregor dan Nieuwolt, 1998). Adanya perbedaan tersebut menyebabkan pembalikan sirkulasi atmosfer di atas samudera - samudera atau laut yang terletak dekat ekuator (Shelton, 2009).
Selama El-Nino berlangsung maka temperatur permukaan laut di Samudera Pasifik berubah menjadi lebih panas. Sebaliknya, temperatur permukaan laut di atas Samudera Pasifik menjadi lebih dingin ketika La-Nina. Menurut McGregor dan Nieuwolt, 1998, kedua fenomena tersebut terjadi sebagai akibat dari sistem sirkulasi angin, pergerakan atmosfer di atas lautan dan tekanan permukaan di atas laut sepanjang lautan di zona ekuator, seperti yang terlihat pada gambar 2 di bawah ini.
(29)
Gambar 2. Kondisi permukaan laut periode La-Nina, normal, dan El-Nino
(http://iri.columbia.edu/climate/ENSO/background/basics.html)
Fenomena ENSO terjadi ketika suhu udara di Samudera Pasifik meningkat sehingga arah angin berubah. El-Nino menyebabkan pergerakan awan mengarah ke timur, sehingga curah hujan di Amerika Selatan meningkat. Pergerakan awan mengarah ke barat ketika La-Nina sehingga curah hujan di Amerika Selatan meningkat, sebaliknya Indonesia, Australia dan Papua Nugini menerima hujan lebih banyak. Wilayah sebelah barat Samudera Pasifik seperti Indonesia dan Australia mengalami kekeringan, sedangkan di Amerika Selatan terjadi banjir saat
El-Nino (NOAA, no date).
Indikator untuk menentukan terjadinya El-Nino maupun La-Nina adalah SST (Sea Surface Temperature), SOI (Southern Oscillation Index) dan MEI (Multivariate ENSO Index). Indikator MEI merupakan indikator gabungan antara SOI dan SST sehingga menghasilkan klasifikasi waktu ENSO yang relevan untuk berbagai tempat di dunia. Suatu tahun dinyatakan terjadi El-Nino (La-Nina) apabila nilai MEI >0,5 (< 0,5) untuk 5 bulan berturut-turut atau lebih antara April tahun (0) sampai Maret tahun berikutnya (+) serta puncak MEI >1 (< -1). Indikator MEI jarang digunakan untuk analisis terjadinya ENSO di Indonesia, biasanya menggunakan SST Nino 3.4. Tahun ENSO menurut indikator Nino 3.4 adalah tahun El Nino (La Nina) adalah tahun dengan nilai tertinggi > 1+ standar deviasi (< 1-standar deviasi) (Kiem dan Franks, 2001).
Menurut Cai et al., 2001, salah satu wilayah yang menjadi dampak dari adanya ENSO yaitu wilayah Indonesia bagian selatan dan termasuk didalamnya yaitu Selat Bali. Kajian mengenai La-Nina tidak banyak dilakukan karena
(30)
dampaknya tidak signifikan seperti yang terjadi pada fenomena El Nino (Shrestha dan Kostaschuk, 2005). Perubahan suhu udara di Samudera Pasifik tersebut berdampak terhadap fluktuasi iklim secara global, selama lebih kurang 12 bulan (WMO, 2010). ENSO sendiri memiliki waktu selama 18-28 bulan (Kahya dan Dracup, 1993).
2.5. Suhu Permukaan Laut
Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu merupakan parameter yang penting dalam lingkungan laut dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan di laut. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima sinar matahari (Weyl, 1970).
Suhu perairan bervariasi, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal suhu bervariasi sesuai dengan garis lintang dan secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Variasi suhu secara vertikal di perairan Indonesia pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) di bagian atas, lapisan termoklin di bagian tengah, dan lapisan dingin di bagian bawah. Lapisan homogen berkisar pada kedalaman 50-70 meter, pada lapisan ini terjadi pengadukan air yang mengakibatkan suhu pada lapisan ini menjadi homogen (sekitar 280C). Lapisan termoklin merupakan lapisan dimana suhu menurun cepat terhadap kedalaman, terdapat pada kedalaman 100-200 meter. Lapisan dingin biasanya kurang dari 50C, terdapat pada kedalaman 200 meter ( Nontji, 1987) yang dapat dilihat pada gambar 3 ini.
(31)
Suhu permukaan laut mempunyai hubungan dengan keadaan lapisan air laut yang terdapat di bawahnya, sehingga data suhu permukaan laut dapat dipergunakan sebagai indikator untuk mendeteksi fenomena yang terjadi di laut seperti front
(pertemuan dua massa air), arus, pengangkatan massa air atau upwelling dan aktivitas biologis organisme (Robinson, 1985).
Faktor-faktor fisik yang memengaruhi suhu permukaan laut adalah arus permukaan, keadaan awan, penguapan, gelombang, gerakan konveksi, upwelling, divergensi, pembekuan dan pencairan es di daerah kutub (Laevastu dan Hela, 1970). Lapisan air permukaan pada umumnya menyebar hingga kedalaman tertentu sebelum mencapai kedalaman yang lebih dingin di bawahnya. Pada permukaan air terjadi pencampuran massa air yang diakibatkan oleh adanya angin, arus dan pasut sehingga merupakan lapisan homogen (Wyrtki, 1961).
Suhu permukaan laut dapat dideteksi dengan alat pengindera suhu yaitu sensor infra merah termal. Lokasi upwelling dapat dideteksi oleh alat pengindera suhu karena massa air tersebut mempunyai suhu yang lebih dingin, sehingga suhu permukaan akan menjadi lebih dingin dibandingkan dengan suhu air di sekitarnya (Sumardjo, 1983).
Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antar 26˚C - 29˚C, karena perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin musim, maka sebaran suhu permukaan lautnya pun mengikuti perubahan musim. Pada musim Barat, suhu permukaan laut di Kawasan Barat Indonesia pada umumnya relatif lebih rendah daripada musim timur. Suhu permukaan laut di dekat Laut Cina Selatan pada waktu musim barat berkisar antara 26˚C - 28˚C sedangkan di kawasan timur Indonesia berkisar antara 28˚C - 29˚C, sebaliknya terjadi pada musim yang lainnya, yaitu suhu permukaan laut diperairan kawasan timur Indonesia berkisar antara 26˚C - 28˚C, sedangkan di perairan kawasan barat Indonesia antara 28˚ C-29˚C (Ilahude dan Birowo, 1987). Suhu di Laut Jawa hampir sama dengan Perairan Indonesia pada umumnya. Pada musim barat suhu permukaan laut di bagian barat Laut Jawa lebih rendah daripada musim timur, demikian pula dengan bagian timur, suhu permukaan laut pada musim barat relatif lebih tinggi daripada musim timur.
(32)
Pendeteksian suhu permukaan laut dengan teknik penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengamati pergerakan massa air. Sebagai contoh pergerakan massa air yang dapat dideteksi oleh satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yaitu pergerakan massa air hangat Gulf Stream di Samudera Atlantik bagian barat laut (Thurman, 1988).
Front ditandai dengan adanya gradient suhu permukaan laut yang tinggi antara kedua sisi front, sehingga gejala ini pun dapat dideteksi dengan alat pengindera suhu (Sumardjo, 1983). Pendeteksian suhu permukaan laut juga dapat digunakan untuk mengamati terjadinya upwelling di laut (Hengky, 2002), dengan melihat adanya suhu rendah yang terjadi pada perairan. Data suhu permukaan laut dapat juga digunakan untuk mengetahui lokasi penangkapan ikan oleh para nelayan (Indrawati, 2000).
Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh aktivitas matahari tahunan, tetapi tidak begitu dominan. Faktor dominan yang memengaruhi suhu permukaan laut adalah fenomena El-Nino yang meningkatkan suhu muka laut serta La-Nina yang menurunkan suhu permukaan laut dan suhu daratan yang relatif dekat dengan letak suhu permukaan laut yang ditinjau, diduga berperan pula dalam kenaikan suhu permukaan laut (Sinambela,1998).
Analisis distribusi suhu permukaan laut dan klorofil yang diperoleh dari satelit penginderaan jauh dapat memberikan indikasi daerah potensian penangkapan ikan. Lokasi-lokasi potensial untuk penangkapan ikan yang dapat diidentifikasi dari pola distribusi suhu permukaan laut adalah upwelling, front dan
eddie. Sebaran klorofil menunjukkan tingkat kesuburan perairan yang mengindikasikan daerah potensial perikanan (ISDAL, 2000).
Data yang diperoleh dari citra satelit yang diolah untuk mendapatkan nilai suhu permukaan laut dan kandungan klorofil, kemudian dianalisis berdasarkan fenomena dan kenampakan masing-masing parameter yang digabung dengan karakteristik ikan untuk memperoleh informasi tentang daerah potensi penangkapan ikan. Hasil analisa tersebut menjadi informasi dalam bentuk peta zona potensi ikan (ZPI) (PPRUK, 2004).
(33)
2.6. Satelit Aqua MODIS
Pengolahan citra satelit dalam penelitian penginderaan jauh tentang variasi warna perairan (ocean color) dilakukan sebagai implementasi adanya perbedaan kandungan organisme dalam perairan. MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan sensor yang dibawa oleh satelit Aqua yang diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002 (NASA,2008). Satelit Aqua dan Sensor MODIS dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Satelit aqua dan sensor MODIS (NASA, 2008)
MODIS dirancang oleh NASA (National Aeronatics and Space Administration) dengan instrumen high radiometric sensitivity (12 bit) yang
tedapat pada 36 kanal spektralnya dengan panjang gelombang antara 0,4 μm
sampai 14,4 μm (NASA, 2008). Spesifikasi teknik satelit Aqua MODIS dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi Teknik Satelit MODIS
Spesifikasi Keterangan
Orbit 705 km, 13.30 p.m, ascending node, sun-synchronous near
polar, sirkular
Rataan Pantauan 20,3 rpm, cross track
Luas liputan 2330 km (cross track) dengan lintang 10o lintasan pada nadir
Berat 228,7 kg
Tenaga (power) 168,5 W (single orbit average)
Kuantitas 12 bit
Resolusi spasial 250 m (kanal 1-2); 500 m (kanal 3-7); 1000 m (kanal 8-36)
Desain umur 6 tahun
(34)
Sensor multi kanal MODIS mempunyai 36 kanal (band) dengan resolusi spasial 250 m, 500 m dan 1000 m (NASA, 2008). Pada resolusi 250 m hanya berisi informasi tentang nilai-nilai spektral pada kanal-kanal 250 m (kanal 1 dan kanal 2), sedangkan resolusi 500 m berisi informasi nilai-nilai spektral pada kanalkanal 500 m (kanal 3 sampai kanal 7) dan juga berisi nilai-nilai spektral pada kanal-kanal 250 m yang telah diresampel menjadi beresolusi 500 m. Pada resolusi 1000 m berisi informasi nilai-nilai spektral pada kanal-kanal 1000 m (kanal 8 sampai kanal 36) dan juga berisi nilai-nilai spektral dari kanal resolusi 250 m dan 500 m yang telah diresampel menjadi beresolusi 1000 m.
Produk data MODIS bisa diperoleh dari beberapa sumber. MODIS level 1 dapat diperoleh pada situs http://ladsweb.nascom.nasa.gov/. Data MODIS level 1 terdiri dari 2 macam, yaitu level 1A Geolocation dan level 1B Calibrated Radiances. Data MODIS level 1A Geolocation berisi informasi lintang dan bujur, geodetik, serta penutupan daratan (landmask) atau lautan (seamask) untuk setiap sampel 1 km (Kempler, 2002 in Meliani, 2006). Level 1B Calibrated Radiances
berisi radiansi yang sudah terkalibrasi dan ada geolokasinya untuk 36 kanal spektral pada resolusi 1 km. Level 1B juga sudah terkoreksi radiometrik. Pada level 1B belum dapat dibedakan antara darat dan laut karena data ini masih mengandung hamburan cahaya dari komponen-komponen atmosfer yang mengganggu proses interpretasi citra warna air laut (Kempler, 2002 in Meliani, 2006).
Data MODIS level 3 untuk produk warna perairan (ocean color) suhu permukaan laut dapat diperoleh pada situs http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/. Data MODIS level 3 merupakan data bulanan sebaran suhu permukaan laut level 3. Pemilihan citra pada level 3 dilakukan karena pada level ini citra olahan sudah terkoreksi secara radiometrik, geometrik, dan atmosferik. Komponen yang dikoreksi yaitu hamburan Rayleigh dan hamburan aerosol. Selain itu digunakan data klimatologi dan data ozon yang merupakan data lingkungan untuk mempertajam hasil keluaran citra (Meliani, 2006). Dengan data MODIS tersebut, akan meningkatkan kemampuan kita dalam memahami perubahan dinamik secara global yang terjadi didarat, laut dan atmosfir (NASA, 2008).
(35)
2.7. Arus-arus Laut
Angin monsun menimbulkan arus-arus laut monsun di Kepulauan Indonesia yang disebut Arus Monsun Indonesia atau Armondo (Ilahude, 1996). Arus ini secara rata-rata mengalir dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut Jawa melewati Laut Natuna dan Selat Karimata. Dari Laut Jawa Armondo meneruskan alirannya ke laut-laut yang jeluk di Laut Flores dan Laut Banda. Sesuai dengan penyebaran angin monsun, maka Armondo juga berbalik arah dengan angin itu. Dangkalnya perairan sebelah barat Indonesia menyebabkan Armondo terlihat sampai dasar perairan (Birowo et al., 1975). Pola sebaran dari Armondo dapat dilihat pada gambar 5 dan gambar 6
Gambar 5. Pola Arus Monsun Indonesia pada Monsun Barat (http://www.fao.org)
(36)
Di bagian laut jeluk (deep water) di Kawasan Timur Kepulauan Indonesia, mengalir pula suatu arus laut penting yakni Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Arus ini mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan terdapat baik di lapisan paras maupun lapisan termoklin. Cabang utama Arlindo mengalir dari Samudera Pasifik masuk ke Laut Sulawesi terus ke Selatan Makassar lalu berbelok ke timur masuk Laut Flores dan Laut Banda. Bagian tenggara Laut Banda, arus berbelok ke arah selatan dan ke barat daya, memasuki Laut Timor dan terus ke Samudera Hindia. Cabang lainnya masuk dari Laut Halmahera terus ke Laut Seram, tetapi sebagian lagi kembali ke Samudera Pasifik lewat Laut Maluku, halnya langsung berbalik ke arah Samudera Pasifik dan bersama-sama dengan yang datang dari Laut Halmahera, membentuk awal Arus Saka (Counter Current) Katulistiwa Pasifik (Gordon, 1996). Pola sebaran dari Arlindo tersebut dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Pola Arus Lintas Insonesia atau Arlindo (Wijffels et al., 2004)
Bagian Arlindo pada lapisan mixed layer sangat dipengaruhi oleh monsun. Misalnya di kawasan selatan Selat Makassar, Arlindo berbelok ke Laut Jawa pada Monsun Timur dan berbelok ke Laut Flores, Laut Banda, maupun selat-selat di kawasan Nusa Tenggara pada Monsun Barat (Wyrtki, 1961). Armondo pada tingkat pertama langsung dibangkitkan oleh angin monsun. Hali ini disebabkan karena sumbu arah angin rata-rata praktis berimpit dengan suhu perairan deretan Laut Cina Selatan – Laut Natuna – Selat Karimata – Laut Jawa, hingga angin tersebut seolah-olah bertiup di atas sebuah terusan (Wyrtki, 1961). Tidak demikian dengan Arlindo, yaitu mekanisme pembangkit Arlindo adalah
(37)
perbedaan paras laut di pantai Mindanao – Halmahera – Irian Utara, dibandingkan dengan di pantai selatan Jawa – Sumbawa (Bray et al., 1996).
2.8. Perhitungan Statistik 2.8.1.Korelasi
Korelasi adalah metode pengujian yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yang datanya kuntitatif. Selain dapat mengetahui derajat keeratan hubungan korelasi juga dapat digunakan untuk mengetahui arah hubungan dua variabel numerik, misalnya apakah hubungan berat badan dan tinggi badan mempunyai derajat yang kuat atau lemah dan juga apakah kedua variabel tersebut berpola positif atau negatif. (Armaidi, 2010). Secara umum, persamaan korelasi ditulis dalam bentuk:
� = Ʃ −
Ʃ (Ʃ ) �
√(Ʃ 2−Ʃ 2� )(Ʃ 2−(Ʃ )2� )
(2.1)
Dimana:
r = Koefisien korelasi x = Indeks ENSO
y = Suhu permukaan laut Kisaran nilai korelasi: -1 < r < +1
Korelasi kuat jika : 0,6 sampai 1 atau -0,6 sampai -1 Korelasi sedang jika : 0,4 sampai 0,6 atau -0,4 sampai -0,6 Korelasi tidak kuat jika: 0 sampai 0,4 atau 0 sampai -0,4
2.8.2.Regresi Polinomial
Regresi polinomial merupakan model regresi linier yang dibentuk dengan menjumlahkan pengaruh masing-masing variabel prediktor (X) yang dipangkatkan meningkat sampai orde ke-k (Sembiring, 1995). Secara umum, model regresi polinomial ditulis dalam bentuk:
(38)
Dimana :
Y = variabel respons
�0 = Intersep
�1, �2,...,�k = koefisien-koefisien regresi X = variabel prediktor
= faktor pengganggu yang tidak dapat dijelaskan oleh model regresi
(1)
2.6. Satelit Aqua MODIS
Pengolahan citra satelit dalam penelitian penginderaan jauh tentang variasi warna perairan (ocean color) dilakukan sebagai implementasi adanya perbedaan kandungan organisme dalam perairan. MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan sensor yang dibawa oleh satelit Aqua yang diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002 (NASA,2008). Satelit Aqua dan Sensor MODIS dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Satelit aqua dan sensor MODIS (NASA, 2008)
MODIS dirancang oleh NASA (National Aeronatics and Space Administration) dengan instrumen high radiometric sensitivity (12 bit) yang tedapat pada 36 kanal spektralnya dengan panjang gelombang antara 0,4 μm sampai 14,4 μm (NASA, 2008). Spesifikasi teknik satelit Aqua MODIS dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi Teknik Satelit MODIS
Spesifikasi Keterangan
Orbit 705 km, 13.30 p.m, ascending node, sun-synchronous near polar, sirkular
Rataan Pantauan 20,3 rpm, cross track
Luas liputan 2330 km (cross track) dengan lintang 10o lintasan pada nadir
Berat 228,7 kg
Tenaga (power) 168,5 W (single orbit average) Kuantitas 12 bit
Resolusi spasial 250 m (kanal 1-2); 500 m (kanal 3-7); 1000 m (kanal 8-36) Desain umur 6 tahun
(2)
Sensor multi kanal MODIS mempunyai 36 kanal (band) dengan resolusi spasial 250 m, 500 m dan 1000 m (NASA, 2008). Pada resolusi 250 m hanya berisi informasi tentang nilai-nilai spektral pada kanal-kanal 250 m (kanal 1 dan kanal 2), sedangkan resolusi 500 m berisi informasi nilai-nilai spektral pada kanalkanal 500 m (kanal 3 sampai kanal 7) dan juga berisi nilai-nilai spektral pada kanal-kanal 250 m yang telah diresampel menjadi beresolusi 500 m. Pada resolusi 1000 m berisi informasi nilai-nilai spektral pada kanal-kanal 1000 m (kanal 8 sampai kanal 36) dan juga berisi nilai-nilai spektral dari kanal resolusi 250 m dan 500 m yang telah diresampel menjadi beresolusi 1000 m.
Produk data MODIS bisa diperoleh dari beberapa sumber. MODIS level 1 dapat diperoleh pada situs http://ladsweb.nascom.nasa.gov/. Data MODIS level 1 terdiri dari 2 macam, yaitu level 1A Geolocation dan level 1B Calibrated Radiances. Data MODIS level 1A Geolocation berisi informasi lintang dan bujur, geodetik, serta penutupan daratan (landmask) atau lautan (seamask) untuk setiap sampel 1 km (Kempler, 2002 in Meliani, 2006). Level 1B Calibrated Radiances berisi radiansi yang sudah terkalibrasi dan ada geolokasinya untuk 36 kanal spektral pada resolusi 1 km. Level 1B juga sudah terkoreksi radiometrik. Pada level 1B belum dapat dibedakan antara darat dan laut karena data ini masih mengandung hamburan cahaya dari komponen-komponen atmosfer yang mengganggu proses interpretasi citra warna air laut (Kempler, 2002 in Meliani, 2006).
Data MODIS level 3 untuk produk warna perairan (ocean color) suhu permukaan laut dapat diperoleh pada situs http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/. Data MODIS level 3 merupakan data bulanan sebaran suhu permukaan laut level 3. Pemilihan citra pada level 3 dilakukan karena pada level ini citra olahan sudah terkoreksi secara radiometrik, geometrik, dan atmosferik. Komponen yang dikoreksi yaitu hamburan Rayleigh dan hamburan aerosol. Selain itu digunakan data klimatologi dan data ozon yang merupakan data lingkungan untuk mempertajam hasil keluaran citra (Meliani, 2006). Dengan data MODIS tersebut, akan meningkatkan kemampuan kita dalam memahami perubahan dinamik secara global yang terjadi didarat, laut dan atmosfir (NASA, 2008).
(3)
2.7. Arus-arus Laut
Angin monsun menimbulkan arus-arus laut monsun di Kepulauan Indonesia yang disebut Arus Monsun Indonesia atau Armondo (Ilahude, 1996). Arus ini secara rata-rata mengalir dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut Jawa melewati Laut Natuna dan Selat Karimata. Dari Laut Jawa Armondo meneruskan alirannya ke laut-laut yang jeluk di Laut Flores dan Laut Banda. Sesuai dengan penyebaran angin monsun, maka Armondo juga berbalik arah dengan angin itu. Dangkalnya perairan sebelah barat Indonesia menyebabkan Armondo terlihat sampai dasar perairan (Birowo et al., 1975). Pola sebaran dari Armondo dapat dilihat pada gambar 5 dan gambar 6
Gambar 5. Pola Arus Monsun Indonesia pada Monsun Barat (http://www.fao.org)
(4)
Di bagian laut jeluk (deep water) di Kawasan Timur Kepulauan Indonesia, mengalir pula suatu arus laut penting yakni Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Arus ini mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia dan terdapat baik di lapisan paras maupun lapisan termoklin. Cabang utama Arlindo mengalir dari Samudera Pasifik masuk ke Laut Sulawesi terus ke Selatan Makassar lalu berbelok ke timur masuk Laut Flores dan Laut Banda. Bagian tenggara Laut Banda, arus berbelok ke arah selatan dan ke barat daya, memasuki Laut Timor dan terus ke Samudera Hindia. Cabang lainnya masuk dari Laut Halmahera terus ke Laut Seram, tetapi sebagian lagi kembali ke Samudera Pasifik lewat Laut Maluku, halnya langsung berbalik ke arah Samudera Pasifik dan bersama-sama dengan yang datang dari Laut Halmahera, membentuk awal Arus Saka (Counter Current) Katulistiwa Pasifik (Gordon, 1996). Pola sebaran dari Arlindo tersebut dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Pola Arus Lintas Insonesia atau Arlindo (Wijffels et al., 2004)
Bagian Arlindo pada lapisan mixed layer sangat dipengaruhi oleh monsun. Misalnya di kawasan selatan Selat Makassar, Arlindo berbelok ke Laut Jawa pada Monsun Timur dan berbelok ke Laut Flores, Laut Banda, maupun selat-selat di kawasan Nusa Tenggara pada Monsun Barat (Wyrtki, 1961). Armondo pada tingkat pertama langsung dibangkitkan oleh angin monsun. Hali ini disebabkan karena sumbu arah angin rata-rata praktis berimpit dengan suhu perairan deretan Laut Cina Selatan – Laut Natuna – Selat Karimata – Laut Jawa, hingga angin tersebut seolah-olah bertiup di atas sebuah terusan (Wyrtki, 1961). Tidak
(5)
perbedaan paras laut di pantai Mindanao – Halmahera – Irian Utara, dibandingkan dengan di pantai selatan Jawa – Sumbawa (Bray et al., 1996).
2.8. Perhitungan Statistik 2.8.1.Korelasi
Korelasi adalah metode pengujian yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yang datanya kuntitatif. Selain dapat mengetahui derajat keeratan hubungan korelasi juga dapat digunakan untuk mengetahui arah hubungan dua variabel numerik, misalnya apakah hubungan berat badan dan tinggi badan mempunyai derajat yang kuat atau lemah dan juga apakah kedua variabel tersebut berpola positif atau negatif. (Armaidi, 2010). Secara umum, persamaan korelasi ditulis dalam bentuk:
� = Ʃ −
Ʃ (Ʃ ) �
√(Ʃ 2−Ʃ 2� )(Ʃ 2−(Ʃ )2� )
(2.1)
Dimana:
r = Koefisien korelasi x = Indeks ENSO
y = Suhu permukaan laut Kisaran nilai korelasi: -1 < r < +1
Korelasi kuat jika : 0,6 sampai 1 atau -0,6 sampai -1 Korelasi sedang jika : 0,4 sampai 0,6 atau -0,4 sampai -0,6 Korelasi tidak kuat jika: 0 sampai 0,4 atau 0 sampai -0,4
2.8.2.Regresi Polinomial
Regresi polinomial merupakan model regresi linier yang dibentuk dengan menjumlahkan pengaruh masing-masing variabel prediktor (X) yang dipangkatkan meningkat sampai orde ke-k (Sembiring, 1995). Secara umum, model regresi polinomial ditulis dalam bentuk:
(6)
Dimana :
Y = variabel respons
�0 = Intersep
�1, �2,...,�k = koefisien-koefisien regresi X = variabel prediktor
= faktor pengganggu yang tidak dapat dijelaskan oleh model regresi