Evaluasi keberlanjutan dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali

(1)

EVALUASI KEBERLANJUTAN DAN

OPTIMALISASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA

IKAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853)

DI PERAIRAN SELAT BALI

Oleh :

R. Abdoel Djamali

NRP.

C261040161

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ii

ABSTRAK

R.ABDOEL DJAMALI. Evaluasi Keberlanjutan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali. Dibimbing oleh: SUTRISNO SUKIMIN, SAPTO J. POERWOWIDAGDO, dan JOKO SANTOSO.

Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) merupakan sumberdaya perikanan yang sangat penting dan spesifik di perairan Selat Bali karena mempunyai peran strategis. Beberapa peneliti berpendapat bahwa ada kecenderungan penurunan produksi ikan lemuru yang diakibatkan oleh penangkapan berlebih (overfishing).

Tujuan penelitian yakni: (a) mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan dengan pendekatan top down dan bottom up, (b) mengkaji optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru, dan (c) mendesain strategi pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

Metodologi yang digunakan yakni survei dengan pendekatan expert system. Teknik analisis yang diterapkan yakni: (a) rapid appraisal fisheries (RAPFISH), multi criteria analysis (MCA), analysis of indicator linkages yang terdiri dari cognitive mapping dan centrality indicator, (b) analisis bioekonomi Gompertz, (c) Analytical Hierarchy Process.

Kesimpulan penelitian ini sebagai berikut: (a) status keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali dikategorikan cukup/sedang, (b) penilaian implementasi CCRF menunjukkan bahwa pembangunan perikanan di Selat Bali dikategorikan cukup/sedang, (c) dimensi teknologi dan etik mendapat perhatian paling tinggi untuk mencapai "sustainable state", (d) nilai sustainability indicator criteria (SIC) tertinggi dicapai dimensi etik, kemudian diikuti teknologi, ekologi, sosial, dan ekonomi, (e) atribut yang memiliki domain tertinggi yakni tingkat eksploitasi, gejala penurunan jumlah ikan, dan tingkat pendapatan nelayan. Ketiga atribut tersebut disebut "tactically significant", (f) parameter biologi yakni: laju pertumbuhan (r)=2,34921, carrying capacity (K)=25845,70467, dan koefisien daya tangkap (q)= 5,48826E-02, (g) jumlah total PV-RL tahun 1985-2004 sebesar Rp 200,8 milyar (δ=15%) dan Rp 108,9 milyar (δ=5,72%), (h) jumlah depresiasi total sebesar Rp 29,95 milyar (δ=15%) setara dengan 77.669 ton ikan lemuru dan Rp 13 milyar setara dengan 33.796 ton ikan lemuru (δ=5,72%), (i) nilai rata-rata optimal biomassa, hasil tangkapan dan effort (input) usaha penangkapan ikan lemuru di perairan Selat Bali Untuk discount rate market 15% masing-masing 8.944,72 ton, 22.296,49 ton, dan 4542 trip. Sedangkan untuk discount rate Kula 5,72% masing-masing 9.303,73 ton, 22.331,31 ton, dan 4373 trip, (j) untuk mencapai efisiensi kinerja penangkapan ikan lemuru perlu dilakukan pengurangan purse seine dari 273 unit menjadi 112 unit yang dibagi untuk wilayah Muncar sebanyak 78 unit (70%) dan Pengambengan 34 unit (30%). Disamping itu perlu pengaturan pola jadwal penangkapan dan relokasi


(3)

iii

fishing ground ke arah ZEE, (k) nilai total PV-RO (δ=15%) sebesar Rp 357,2 milyar dan PV-RO (δ=5,72%) sebesar Rp 183,2 milyar, PV-RA (δ=15%) mencapai Rp 380 milyar dan Rp 214 milyar (δ=5,72%), PV-RL relatif lebih stabil dari tahun ke tahun walaupun nilai total hanya Rp 200,8 milyar (δ=15%) dan Rp 108,9 milyar (δ=5,72%), (l) komponen/dimensi yang diprioritaskan berturut-turut: ekonomi, ekologi, etik, sosial dan teknologi. Sub komponen yang diprioritaskan berturut-turut pengembangan ekonomi rakyat, penataan sosial dan kelembagaan, dan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya. Stakeholder yang diprioritaskan berturut-turut pemerintah, masyarakat nelayan, swasta, perguruan tinggi, dan LSM. Sedangkan alternatif strategi yang diprioritaskan berturut-turut: peningkatan kesejahteraan nelayan, pelestarian sumberdaya, penegakan hukum, menjamin kebutuhan rakyat dan industri, peningkatan kemampuan armada dan alat tangkap, dan peningkatan pendapatan asli daerah


(4)

iv

ABSTRACT

R ABDOEL. DJAMALI. The Sustainability Evaluation and The Benefit Optimization of Lemuru (Sardinella Lemuru Bleeker 1853) Fish Resources at Bali Strait Waters. Supervised by SUTRISNO SUKIMIN, SAPTO J. POERWOWIDAGDO, and JOKO SANTOSO.

Lemuru fish (S. lemuru Bleeker 1853) is a very important and specific fishery resources at Bali Strait Waters because it has a strategic role. Some researchers noted that there is a tendency of sardinella decreasing product caused by over fishing.

The intention of this experiment is: (a) to evaluate the sustainability of fishery development by top down and bottom up approaches, (b) to study the benefit of lemuru fish resources optimally, and (c) to design the fishery development strategy sustainability.

The used methodology is survey with expert system approach. Analysis technique applied is: (a) rapid appraisal fisheries (RAPFISH), (b) multi criteria analysis (MCA), analysis of indicator linkage that is consisted of cognitive mapping and centrality indicator, (b) bioeconomics (Gompertz analysis), (c) analytical hierarchy process (AHP).

The research conclusions are: (a) fisheries development sustainability status in Bali Strait is categorized in fair level, b) CCRF implementation evaluation shows that fishery development in Bali Strait is categorized in fair level, (c) technology dimension and ethic get the highest attention to reach “sustainable state”, (d) the highest sustainability index criteria (SIC) value is reached by ethic dimension, and then followed by technology, ecology, social, and economy, (e) the highest domain attribute which are exploitation level, decreasing fish number indication and fisherman income level. Those three attributes are called ”tactically significant”, (f) the biology parameter which are: growth rate (r)= 2,34921; carrying capacity (K)= 25845,70467 tons, and catchability coefficient (q) 5,48826E-02, (g) total sum of PV-RL in 1985-2004 is as much as Rp. 200,8 billions (δ=15%) and Rp. 108,9 billions (δ=5,72%), (h) depreciation total sum is as much as Rp 29,95 billions (δ=l5%) equal with 77.669 tons lemuru total and Rp 13 billions (δ=5,72%) equal with 33.796 tons lemuru fish, (i) the optimal biomass average value, the haul product and effort (input) of lemuru fish catching effort at Bali Straits watery for discount rate market 15% which each of them are Rp 8.944,72 tons, 22.296,49 tons, and 4.542 trips. While for discount rate Kulla 5,72% which each of them are 9.303,73 tons, 22.331,31 tons, and 4.313 trips, (j) to reach lemuru fish catching work efficiency purse seine decreasing must be done from 273 units to 112 units that is divided to Muncar area as much as 78 units (10%) and Pangambengan as much as 34 unit (30%). Beside that the schedule catching pattern and fishingground relocation is needed towards ZEE, (k) total value PV-RO (δ=15%) as much as Rp 357,2 billions and PV-RO(δ=5,72%) as much us Rp 183,2 billions, PV-RA (δ=l5%)as much as Rp 380 billions and Rp. 214 billions (δ=5.72%), PV-RL is more stable relatively from


(5)

v

years to years although the total value is only Rp. 200,8 billions (δ=15%) and Rp 108,9 billions (δ=5,72%); (l) the prioritized component/dimension repeatedly: economy, ecology, ethic, social, and technology. The prioritized sub component/dimension repeatedly is social economy development, social and institution arrangement, and exploration and exploitation of resources. The prioritized stakeholder repeatedly is government. fisherman society, private, university, and social organization. While the alternative strategy that is prioritized repeatedly fisherman welfare increasing, resources conservation, law enforcement, guarantee of society and industry needs, increasing of fleet and catching tool, and regional income increasing.


(6)

vi

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

Evaluasi Keberlanjutan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinellalemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali

Adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir naskah disertasi ini.

Bogor, 31 Agustus 2007 Penulis

R. Abdoel Djamali NRP. C261 040 161


(7)

vii

© Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik


(8)

viii

EVALUASI KEBERLANJUTAN DAN

OPTIMALISASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA

IKAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853)

DI PERAIRAN SELAT BALI

Oleh :

R. Abdoel Djamali

NRP. C261040161

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(9)

ix

Judul Disertasi : Evaluasi Keberlanjutan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali

N a m a : R. Abdoel Djamali

NRP : C 261 040 161

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Program : Doktor (S3)

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sutrisno Sukimin,DEA Ketua

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. Prof. Dr. Sapto J. Poerwowidagdo, M.Sc

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Departemen Manajeman Dekan

Sumberdaya Perairan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(10)

x

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten SampangPropinsi Jawa Timur tanggal 19 November 1966, putra kedua dari sembilan bersaudara dari pasangan R. Moh. Dahri dan R. Siti Maonah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Negeri 1 Sampang lulus tahun 1999, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Sampang lulus tahun 1982 dan pada tahun 1985 lulus dari SMA Negeri 1 Sampang. Pada tahun 1985 penulis menempuh program pendidikan Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Jember Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, berhasil lulus tahun 1989. Tahun 1991 mengikuti Pendidikan Profesional di PEDCA (Polytechnic Education Development Centre of Agricultural) Universitas Padjajaran Bandung, lulus tahun 1993. Kemudian pada tahun 1996 melanjutkan pendidikan Pascasarjana S2 di IPB Bogor Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), berhasil lulus tahun 1999. Seluruh pembiayaan selama program pendidikan S2 ini dibiayai dari TMPD-Departemen Pendidikan dan Kebudayan RI. Kesempatan untuk melanjutkan program Doktoral (S3) pada perguruan tinggi yang sama diperoleh tahun 2004 dengan dibiayai dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional RI, penulis diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL).

Penulis bekerja sebagai Dosen Tetap Politeknik Negeri Jember sejak tahun 1991 sampai sekarang. Jabatan fungsional/golongan terakhir : IIID/Lektor. Karya tulis selain penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang dimuat di jurnal ilmiah, juga berhasil menulis buku ajar Manajemen Usahatani (dibiayai Dikti tahun 2001) dan 12 buah buku panduan untuk membangun usaha kecil (Dibiayai DIPDA Propinsi Jawa Timur Tahun 2003).


(11)

xi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Penulisan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik di dalam studi secara keseluruhan maupun khususnya di dalam penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

a. Komisi Pembimbing yakni : Bapak Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA, Bapak Prof. Dr. Sapto J. Poerwowidagdo, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si, yang telah membimbing, memberikan saran, dan dorongan semangat hingga terselesaikannya disertasi ini.

b. Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc. atas kesediannya menjadi penguji luar komisi dalam sidang ujian Prelim Lisan. Disamping itu, beliau juga sangat banyak membuka wawasan serta penajaman terhadap arah penelitian. c. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin dan Bapak Dr. Ir. Bambang Sadhotomo,

MSi atas kesediaan menjadi penguji luar komisi dalam Sidang Ujian Tertutup.

d. Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, MSc. dan Bapak Dr. Ir. Son Diamar, MSc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi dalam Sidang Ujian Terbuka.

e. Seluruh Expert yang menjadi responden karena berkat kesediaannya untuk mengisi daftar pertanyaan dan berdiskusi secara intensif sehingga banyak memberikan pengetahuan dan data sebagai masukan utama dalam penelitian ini.

f. Seluruh pihak dari Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur, Propinsi Bali, Kabupaten Banyuwangi, dan Kabupaten Jembrana yang telah menyediakan data-data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini.


(12)

xii

g. Bapak Drs. Kartono Umar Agauw (Kepala BPPP Muncar) dan Bapak Rusman yang telah banyak membantu dan menjadi pemandu lapang dalam pengamatan lapang dan pengumpulan data primer.

Disertasi ini saya persembahkan untuk istri tersayang Hj. Raudhatul Jannah, SPd. dan juga untuk anakku semata wayang R.Faris Mukmin Kalijogo yang telah setia, sabar, dan selalu mendoakan serta memberikan semangat untuk segera menyelesaikan studi. Disamping itu juga tak akan pernah terlupakan yakni kupersempahkan untuk kedua orang tua tercinta sebagai bentuk ungkapan rasa bakti dan hormat yakni kepada Ramanda R. Moh. Dahri dan Ibunda R. Siti Maonah yang tidak pernah putus yang selalu memberikan petuah, bimbingan, panjatan doa dan restunya hingga ananda mampu menyelesaikan program doktor.

Untuk saudara-saudaraku Mas Edi, dan adik-adikku yakni Fendi, Heri, Mamak, Watik, Ana-Ani, dan Yuni, serta keluarga Mas Hary dan Mbak Nung, saya ucapkan terima kasih karena telah banyak memberikan dorongan semangat, bantuan doa, dan fasilitas selama menempuh pendidikan doktoral.

Disamping itu tak lupa ucapan terima kasih kepada teman-teman SPL Angkatan 9 yang telah berjuang bersama-sama untuk meraih sukses. Terutama Mas Abdurahman Baksir, Aman Damai, H. Ipranto, dan yang telah banyak membantu kelancaran studi dan penelitian ini.

Saya menyadari bahwa di dalam disertasi ini masih ada kekurangan, untuk itulah, kritik dan saran demi kesempurnaan ilmu pengetahuan sangat diharapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semuanya, amien.


(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Konsep Pembangunan Perikanan Berkelanjutan ... 6

2.2 Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ... 12

2.3 Otonomi Pengelolaan Perikanan ... 16

2.4 Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) ... 19

2.5 Keadaan Umum Perairan Selat Bali ... 21

2.6 Perikanan Lemuru di Selat Bali ... 22

2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Lemuru Selat Bali ... 24

2.8 Kerangka Pemikiran ... 26

III. METODOLOGI ... 31

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian dan Waktu Pelaksanaan . 31 3.2 Metode Penelitian ... 31

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 31

3.4 Teknik Analisis ... 33

3.4.1 Analisis Modifikasi Rapid Appraisal Fisheries (MODRAPF) ... 33

3.4.2 Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru ... 42

3.4.3 Penyusunan Strategi Pembangunan Perikanan Berkelanjutan dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 51


(14)

xiv

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 54

4.1 Letak Geografis ... 54

4.2 Luas Wilayah ... 54

4.3 Topografi dan Jenis Tanah ... 55

4.4 Iklim ... 55

4.5 Kependudukan ... 56

4.6 Potensi Perikanan dan Kelautan ... 57

4.7 Jumlah Nelayan dan Perkembangan Produksi Perikanan ... 58

4.8 Armada dan Alat Tangkap Perikanan Laut ... 61

4.9 Pengolahan Hasil Perikanan dan Pemasaran ... 62

4.10 Sumberdaya Perairan ... 64

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 66

5.1 Keberlanjutan Pembangunan Perikanan di Selat Bali ... 66

5.1.1 Analisis Multi Dimension Scalling ... 66

5.1.2 Analisis Leverage ... 70

5.1.3 Tingkat Kepercayaan Keberlanjutan Pembangunan Perikanan ... 84

5.2 Analisis Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) ... 87

5.3 Multi Criteria Analysis (MCA) ... 93

5.4 Analisis Keterkaitan Indikator (Analysis of Indicator Linkages) 101 5.5 Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru ... 108

5.5.1 Produksi Ikan Lemuru ... 108

5.5.2 Estimasi Parameter Biologi ... 111

5.5.3 Estimasi Parameter Ekonomi ... 112

5.5.4 Analisis Sustainable Yield ... 113

5.5.5 Analisis Degradasi ... 116

5.5.6 Depresiasi Sumberdaya Perikanan ... 118

5.5.7 Pengelolaan Sumberdaya yang Optimal ... 120

5.5.8 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 127

5.6 Strategi Keberlanjutan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Selat Bali ... 128


(15)

xv

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 144

6.1 Kesimpulan ... 144

6.2 Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 147


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Penggolongan ikan lemuru dan periode tangkap ... 24

3.1 Kriteria keberlanjutan pembangunan perikanan ... 34

3.2 Definisi skala analytical hierarchy process ... 52

3.3 Cara perhitungan analytical hierarchy process ... 52

4.1 Iklim Kabupaten Banyuwangi tahun 2004 ... 56

4.2 Klasifikasi penduduk yang bermata pencaharian sektor perikanan ... 56

4.3 Jumlah petani ikan/pembudidaya ikan, dan nelayan Kabupaten Banyuwangi tahun 2004 ... 57

4.4 Jumlah nelayan di Kabupaten Banyuwangi tahun 2004 ... 58

4.5 Perkembangan produksi perikanan tahun 2003-2004 ... 59

4.6 Distribusi produksi penangkapan perikanan ikan laut tahun 2003-2004 ... 59

4.7 Produksi dan nilai produksi ikan laut menurut jenisnya tahun 2004 ... 60

4.8 Perkembangan armada perikanan Kabupaten Banyuwangi tahun 2003-2004 ... 61

4.9 Jenis alat tangkap perikanan laut ... 61

4.10 Produksi ikan olahan Kabupaten Banyuwangi ... 62

4.11 Pengusaha pengolahan hasil perikanan Kabupaten Banyuwangi tahun 2004 ... 63

5.1

Rekapitulasi skor rata-rata keberlanjutan pembangunan

perikanan di Selat Bali ...

66

5.2

Nilai keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali ... 69

5.3 Rekapitulasi skor rata-rata CCRF ...

88

5.4 Nilai CCRF dalam keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali ... 89

5.5 Rata-rata tingkat kepentingan dan estimasi bobot dari

masing-masing atribut ...

95

5.6 Skor atribut dan sustainability indicator criteria (SIC) ... 98


(17)

xvii

5.8. Data effort dan CPUE diolah ... 111

5.9 Hasil analisis nilai parameter biologi ... 112

5.10 Harga dan biaya produksi ikan lemuru ... 112

5.11 Perubahan rente ekonomi sumberdaya perikanan ... 119

5.12 Nilai optimal biomassa, hasil tangkapan, dan effort dengan menggunakan discount rate market 15% dan Kula 5.72% ... 121

5.13 Analisis kelebihan perahu purse seine di Selat Bali ... 124

5.14 Analisis present value rent optimal ... 125 5.15 Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY, dan open access . 127


(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Kurva pertumbuhan logistik ... 13

2.2 Kurva model Gordon-Schaefer ... 15

2.3 Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) ... 23

2.4 Perairan Selat Bali ... 25

2.5 Struktur analisis hierarki proses pembangunan perikanan berkelanjutan Kabupaten Banyuwangi ... 29

2.6 Kerangka pemikiran penelitian ... 30

3.1 Data dan teknik analisis penelitian ... 32

3.2 Proses aplikasi Rapfish untuk evalusi pembangunan perikanan (Alder et al. 2000) ... 36

3.3 Diagram ilustrasi hubungan antara article 7 CCRF yang dipetakan Dalam Rapfish Fields ... 38

3.4 Konsep indikator kognitif dalam cognitive mapping ... 41

3.5 Konsep centrality indicator dalam cognitive mapping ... 42

3.6 Langkah-langkah pemodelan bioekonomi ... 43

4.1 Rantai pemasaran produk perikanan tangkap ... 64

5.1 Status keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali ... 68

5.2 Diagram keberlanjutan Selat Bali dilihat dari kelima dimensi ... 70

5.3 Analisis leverage dimensi ekologi ... 72

5.4 Analisis leverage dimensi ekonomi ... 74

5.5 Analisis leverage dimensi sosial ... 76

5.6 Analisis leverage dimensi teknologi ... 79

5.7 Perkembangan jumlah tangkap purse seine di Selat Bali ... 81

5.8 Analisis leverage dimensi etik ... 83

5.9 Ordinansi analisis Monte Carlo pada posisi median ... 85

5.10 Ordinansi analisis Monte Carlo yang menunjukkan posisi median dan selang kepercayaan 95% terhadap median ... 86

5.11 Ordinansi analisis Monte Carlo yang menunjukkan posisi median dan selang inter-kuartil ... 86


(19)

xix

5.13 Diagram keberlanjutan pembangunan perikanan dilihat

dimensi CCRF ... 91

5.14 Modifikasi kombinasi Rapfish dan CCRF ... 92

5.15 Diagram Kombinasi Dimensi Pembanguan Perikanan Berkelanjutan dan CCRF ... 93

5.16 Rata-rata tingkat kepentingan dari masing-masing dimensi ... 97

5.17 Sustainability index criteria (SIC) dari Selat Bali ... 99

5.18 Cognitive map dari keterkaitan atribut keberlanjutan ... 102

5.19 Domain dan skor centrality dari atribut keberlanjutan ... 107

5.20 Data produksi ikan lemuru di perairan Selat Bali tahun 1985-2004 ... 108

5.21 Hasil tangkap per purse seine di Selat Bali 1985-2004 ... 110

5.22 Perbandingan produksi aktual dan lestari ... 114

5.23 "Copes eye ball" sustainable yield (fungsi Gompertz) ... 115

5.24 Perbandingan koefisien degradasi lestari dan koefisien degradasi rataan ... 116

5.25 Perbandingan koefisien degradasi lestari dengan produksi aktual .. 117

5.26 Perbandingan koefisien degradasi lestari dengan effort ... 118

5.27 Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=15% dan 5,72%) ... 122

5.28 Perbandingan effort aktual dan optimal (δ=15% dan 5,27%) ... 123

5.29 Perbandingan PV-RO, PV-RL dan PV-RA pada δ=15% ... 126

5.30 Perbandingan PV-RO, PV-RL dan PV-RA pada δ=5,72% ... 127

5.31 Diagram hirarki, nilai bobot prioritas dan ranking berdasarkan geomean skor (RBGS) ... 129

5.32 Prioritas utama dimensi pembangunan perikanan berkelanjutan (level2) ... 130

5.33 Prioritas utama sub komponen pembangunan perikanan berkelanjutan (level 3) ... 134

5.34 Prioritas utama stakeholder pembangunan perikanan berkelanjutan (level 4) ... 136

5.35 Prioritas utama strategi pembangunan perikanan berkelanjutan (level 5) ... 141


(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil-hasil pengkajian stok ikan lemuru di Selat Bali oleh

beberapa peneliti ... 155

2. Rekapitulasi skor Rapfish ... 156

3. Rekapitulasi skor CCRF ... 157

4. Jenis perahu di perairan Selat Bali ... 158

5. Data teknik perahu dan alat tangkap purse seine di perairan Selat Bali ... 159

6. Jumlah purse seine dan Surat Keputusan ... 160

7. Analisis Monte Carlo ... 166

8. Penentuan tingkat kepentingan dari skor atribut keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali ... 169

9. Produksi ikan lemuru dan jumlah trip tahun 1985-2004 ... 170

10. Analisis discount rate teknik Kula ... 171

11. Perbandingan produksi aktual dan lestari (Gompertz dan Logistik) ... 172

12. Koefisien degradasi sumberdaya perikanan ... 173

13. Maple output untuk perhitungan optimal ... 174

14. Perbandingan PV-RO, PV-RL, dan PV-RA pada δ=15% dan 5,72% ... 178

15. Maple output perbandingan rezim pengelolaan SDI ... 179

16. Rekapitulasi skor analisis hirarki proses ... 181

17. Penentuan prioritas berdasarkan geomean prioritas dan skor ... 184


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu isu global yang menentukan dalam percaturan politik internasional di samping isu-isu HAM,

demokratisasi dan good governance. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar

di dunia yang memiliki komitmen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan tersebut. Hal ini diwujudkan dengan menjadi peserta aktif pada

United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) yang juga dikenal sebagai “KTT Bumi” di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992 yang hasil utamanya adalah Agenda 21: Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan. Sebagai implementasinya, pada tahun 1997 Indonesia mengeluarkan Agenda 21 Indonesia. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2002, PBB mengevaluasi KTT di Rio dengan Konferensi di Johannesburg Afrika Selatan yang dikenal dengan KTT Pembangunan Berkelanjutan.

Paradigma pembangunan yang harus diimplementasikan sekarang dan

untuk masa-masa mendatang adalah paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan adalah suatu sistem pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya (WCED 1987).

Dalam sektor pembangunan perikanan yang juga mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan merupakan panduan dalam mengelola sumberdaya wilayah pesisir dan kelautan. Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, mulai dari perencanaan sampai dengan implementasinya tentunya harus merujuk kepada prinsip-prinsip dasar pembangunan berkelanjutan seperti yang tertuang dalam Agenda 21 Indonesia (KMNLH 1997). Kunci utama untuk terselenggaranya pembangunan perikanan berkelanjutan yakni dilaksanakannya sistem kemitraan nasional oleh seluruh sektor yang berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan. Disamping itu, seiring dengan perubahan paradigma pembangunan nasional yang selama ini menganut pola sentralistik, maka harus mengalami


(22)

2 koreksi dengan munculnya lingkungan strategi baru dalam pendekatan pembangunan yang bersifat desentralistik atau yang dikenal dengan otonomi daerah. Dalam era otonomi daerah, yakni dimana daerah otonom diberi hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (RI 2004a).

Khususnya dalam pengelolaan perikanan seperti ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, bahwa dalam pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan (RI 2004b). Kaitannya antara otonomi daerah dan pembangunan perikanan sebagaimana yang diatur dalam pasal 18 UU. No. 32 Tahun 2004, dimana daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut (RI 2004a). Sinkronisasi kedua peraturan perundangan tersebut lebih memperkuat posisi bahwa dalam era otonomi daerah ini, maka ruang lingkup pengelolaan perikanan lebih mendorong kepada pembangunan perikanan keberlanjutan yang

harus didekati secara menyeluruh dari semua dimensi (multi dimensional).

Pendekatan holistic dalam pembangunan perikanan yang berkelanjutan

menyangkut beberapa dimensi/komponen antara lain : aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etik (Pitcher dan Preikshot 2001; Dahuri 2003a; Kavanagh dan Pitcher 2004; Fauzi dan Anna 2005).

Menurut Lubis et al. (2005) bahwa tipologi wilayah Propinsi Jawa Timur

termasuk wilayah propinsi berpenduduk padat dan aktivitas perikanan tangkap yang intensif. Kabupaten Banyuwangi sebagai salah satu daerah otonom di propinsi Jawa Timur memiliki potensi produksi perikanan yang cukup besar. Hal

ini dapat dilihat dari jumlah produksi hasil perikanan laut (marine fishery)

sebanyak 38.589,7 ton atau 12 % dari total produksi perikanan Propinsi Jawa

Timur (BPS Kabupaten Banyuwangi 2004).

Seiring dengan era otonomi daerah, maka Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah mencanangkan salah satu prioritas pembangunan yaitu bidang perikanan dan kelautan disamping bidang pertanian, peternakan, dan pariwisata dengan menerbitkan Perda Kabupaten No. 22 Tahun 2000 dan No. 8 tahun 2004.


(23)

3 Terbitnya Perda tersebut, diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran bahwa sektor perikanan dan kelautan memiliki potensi cukup besar sehingga diharapkan mampu menunjang pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Banyuwangi serta memperluas lapangan kerja dan mengurangi tingkat kemiskinan (DKP Kabupaten Banyuwangi 2005).

Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) merupakan sumberdaya

perikanan yang sangat penting dan spesifik di perairan Selat Bali karena mempunyai peran yang sangat strategis. Peran tersebut antara lain sebagai: (a) sumber pendapatan utama masyarakat nelayan setempat, (b) memobilisasi aktivitas ekonomi wilayah khususnya dalam penyerapan tenaga kerja dalam berbagai bidang usaha yakni usaha penangkapan, industri sarana produksi perikanan tangkap dan pengolahan hasil, industri pengolahan, industri jasa transportasi, dan pemasaran hasil perikanan, (c) penyedia bahan baku industri pengolahan, dan (d) sumber pendapatan asli daerah (PAD).

Beberapa peneliti berpendapat bahwa ada kecenderungan penurunan

produksi ikan lemuru yang diakibatkan oleh penangkapan berlebih (overfishing)

(Gumilar 1985; Merta dan Eidman 1995; Martosubroto et al. 1986; Salim 1986;

Merta 1992; FAO 1999). Untuk lebih detail lihat Lampiran 1 yang merupakan

hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli tentang kajian stok ikan lemuru di Selat Bali. Dimana dalam kajian tersebut menggunakan pendekatan

biologi dalam penentuan standing stock, biomassa, MSY, dan fopt. Dalam kurun

waktu 1975-1997, terjadi fluktuasi produksi hasil tangkap ikan lemuru dalam setiap tahunnya. Tangkapan ikan lemuru terendah terjadi pada tahun 1986 sebesar 4.661,4 ton dan tahun 1996 sebesar 13.326,7 ton. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 1983 dan 1991, padahal jumlah armada penangkapan ikan lemuru di perairan tersebut secara nominal relatif tetap (Wudianto 2001). Penyebab terjadinya fluktuasi produksi tahunan ikan lemuru di Selat Bali ini secara pasti belum dapat diketahui dan untuk sementara diduga berkaitan erat dengan terjadinya perubahan iklim global yaitu El-Nino yang biasanya produksi ikan lemuru hasil tangkapan cenderung meningkat (Gofar dan Mathews 1996 diacu dalam Wudianto 2001).


(24)

4 Melihat kenyataan tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan di Kabupaten Banyuwagi dan optimalisasi

pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru (S. lemuru Bleeker 1853) hasil tangkapan

di perairan Selat Bali.

1.2 Perumusan Masalah

Kondisi saat ini, dimana dalam mengevaluasi keberlanjutan atas eksploitasi dan atau eksplorasi sumberdaya perikanan lebih memfokuskan pada penentuan stok relatif dari spesies target terhadap referensi biologi. Indikator ini

hanyalah sebagai sinyal early warning bagi terlampauinya level ekstraksi dari

carrying capacity. Padahal konsep keberlanjutan sangatlah kompleks atau

multidimensional, sehingga dalam mengevaluasinya harus merubah paradigma tersebut menjadi paradigma pembangunan keberlanjutan yang multidimensi guna lebih akurat dalam mempresentasikan pengelolaan perikanan yang lebih obyektif. Dalam penyusunan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Banyuwangi belum didasarkan atas kajian ilmiah secara obyektif atas keberlanjutan pembangunan yang multidimensi dan komprehensif.

Produksi hasil tangkapan ikan lemuru yang diperoleh dari perairan Selat Bali, saat ini sudah mengalami penurunan sebagai akibat terjadinya penangkapan (overfishing). Penurunan produksi ditunjukkan oleh ukuran ikan tangkap yang makin kecil, turunnya produksi per unit input, dan jumlah struktur populasi yang menurun. Kondisi lainnya dalam perikanan lemuru yakni terjadinya produksi yang berfluktuasi, kurang efisiensi pemanfaatan sumberdaya ikan, serta belum adanya strategi sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.

Selama ini kajian-kajian pemanfaatan ikan lemuru masih parsial misalnya penentuan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru banyak mengacu pada

referensi biologi, yang sering dikenal dengan pendekatan Maximum Sustainable

Yield (MSY). Pendekatan tersebut banyak kelemahannya, khususnya karena tidak memasukkan aspek sosial ekonomi. Sehingga perlu adanya kajian optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru dengan mengkombinasikan aspek biologi

dan ekonomi agar dapat ditentukan tingkat effort, produksi, dan keuntungan


(25)

5

1.3 Tujuan Penelitian

a. Mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan dengan pendekatan

top down dan bottom up.

b. Mengkaji optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru.

c. Mendesain strategi pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai :

a. Alat kendali dalam mengevaluasi status keberlanjutan pembangunan

perikanan di Kabupaten Banyuwangi dan dapat dilakukan penilaian secara regular dan berkesinambungan.

b. Acuan dalam menentukan tingkat effort, produksi dan tingkat keuntungan

optimum agar dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru tetap berbasis

sustainability.

c. Arahan penyusunan strategi pembangunan perikanan yang berkelanjutan

yang mampu mengoptimalkan potensi dan pemanfaatan sumberdaya ikan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan tetap menjaga kelestariannya.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pembangunan Perikanan Berkelanjutan

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dijelaskan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.

Pengelolaan perikanan merupakan suatu proses terintegrasi yang meliputi pengumpulan dan analisis informasi, perencanaan, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya dan perumusan tindakan penegakan peraturan-peraturan di bidang pengelolaan perikanan. Melalui pihak yang berwenang di bidang perikanan dapat mengendalikan perilaku pihak-pihak yang berkepentingan untuk menjamin kelangsungan produktivitas perikanan dan kesejahteraan sumberdaya hidup (Anonim 2001 diacu dalam Zamany2002).

Memahami makna pembangunan perikanan selain memperhatikan aspek keberlanjutan tidak bisa hanya melihat dari satu atau dua dimensi saja tetapi harus didekati dengan pendekatan menyeluruh yang menyangkut berbagai dimensi dan terpadu. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh World Commission on Enviromental and Development (WCED) pada tahun 1987. Menurut Young (1992), Reid (1995) diacu dalam Kay dan Alder (1999), bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup 3 hal yang utama yakni : (a) integritas lingkungan, (b) efisiensi ekonomi, dan (c) keadilan kesejahteraan (equity) memiliki makna bahwa pembangunan harus mampu memperhatikan generasi saat ini dan yang akan datang dengan mempertimbangkan aspek budaya selain aspek ekonomi.

Begitu pula pendapat Cicin-Sain dan Knecht (1998) bahwa pembangunan berkelanjutan mancakup 3 konsentrasi yakni:


(27)

7

a. Pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. b. Pembangunan yang sesuai dengan lingkungan.

c. Pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan, yaitu keadilan penyebaran keuntungan pembangunan.

Bengen (2002) menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan eksositem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi yakni : (a) ekologi, (b) sosial-ekonomi-budaya, (c) sosial politik, dan (d) hukum dan kelembagaan.

Konsep lain yang dikemukakan Clark (1996) bahwa pembangunan berkelanjutan yakni konsep pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang sama.

Dahuri (2003a) mengemukakan bahwa pembangunan wilayah pesisir harus memenuhi kriteria pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang dikelompokkan menjadi 4 aspek yakni: ekologis, sosial, ekonomis, dan pengaturan (governance). Mubyarto dan Bromley (2002) memberikan gagasan baru dalam pembangunan, yaitu tentang pentingnya peran kelembagaan dalam pembangunan. Selama aspek kelembagaan belum diperhatikan dengan baik, maka akan sulit untuk merumuskan dan melaksanakan aktivitas pembangunan yang mendukung terwujudnya pemerataan sosial, pengurangan kemiskinan, dan usaha-usaha peningkatan kualitas hidup lainnya. Aspek kelembagaan ini berperan penting dalam meningkatkan kemampuan


(28)

8

ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi yang ada.

Sementara itu, Alder et al. (2000); Pitcher (1999); Pitcher dan Power (2000); dan Pitcher dan Preikshot (2001), melakukan penilaian sumberdaya perikanan berkelanjutan dengan mengembangkan program Rapfish yang meliputi 5 dimensi yakni : ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etik. Beberapa literatur yang lain menambahkan aspek teknologi, walaupun sebenarnya dapat ditinjau pula dari aspek ekologis, seperti aspek etika yang dapat dimasukkan ke dalam aspek sosial budaya. Barangkali bukan pengelompokkan aspek besar tersebut yang penting, tetapi atribut atau kriteria pada setiap aspek tersebut yang lebih penting sehingga mencakup seluas mungkin atribut yang dapat digunakan untuk menilai status pembangunan wilayah pesisir.

Walaupun selama ini konsep keberlanjutan dalam perikanan sudah mulai dapat dipahami, namun dalam menilai secara komprehensif dan terpadu nampaknya mengalami kesulitan dalam menganalisisnya. Diharapkan dalam pengambilan kebijakan benar-benar berdasarkan kajian ilmiah secara terpadu dan realistis. Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasional (ekonomi), kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Namun, ketiga paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebut di atas. Oleh karena itu, konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek (Charles 2001) :

a. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama.

b. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain, mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan


(29)

9

masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian kerangka keberlanjutan.

c. Community sustainability (keberlanjutan komunitas), mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. d. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka

ini, keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek finansiil dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat ketiga pembangunan keberlanjutan di atas.

Berdasarkan definisi yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan perikanan berkelanjutan adalah langkah strategis pembangunan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan secara bijaksana dan konsisten untuk memenuhi kebutuhan manusia saat sekarang dan juga untuk generasi yang akan datang secara berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etik.

Selama ini kajian stok perikanan, seringkali lebih difokuskan pada status stok relatif dengan acuan biologi, misalkan tingkat kematian, spawning biomass atau struktur umur (Smith 1993), atau untuk mendiagnostik dini tentang kenderungan depletion atau collapse (Pitcher 1995 diacu dalam Pitcher dan Preikshot 2001). Selanjutnya, penilaian stok didasarkan para prediksi sejumlah parameter yang cukup banyak dan pengukuran data historis dari perikanan dan dari survey biomassa independent. Bagaimanapun, ada ketidaksepadanan antara kompleksitas dari model penilaian stok dan tingginya tingkat ketidakpastian yang tak terpisahkan di dalam penelitian perikanan (Walters 1998). Pada waktu yang sama, luasnya data yang dibutuhkan menghambat aplikasi dari model ini di dunia perikanan. Lebih dari itu, penilaian stok konvensional berhubungan hanya dengan aspek ekologis saja, atau adakalanya dengan kondisi ekonomi, namun juga perikanan pada kenyataannya merupakan suatu multi-disciplinary usaha manusia yang meliputi aspek sosial, teknologi, dan implikasi etik.

Dalam pengelolaan perikanan yakni bagaimana meningkatkan upaya manusia untuk memanipulasi ekologi ikan (Jentoft 1998 diacu dalam Fauzi dan Anna 2005), terpisah dari ekonomi, kebanyakan analisa aspek manusia perikanan


(30)

10

(sosial) kurang diperhitungkan atau kurang diprediksi. Meskipun demikian, dimensi manusia ini menjadi sangat berkaitan dengan tipe alat tangkap, kapal, pasar, biologi dan ketahanan ekonomi, manajemen, alokasi dan pembangunan kembali stok ikan yang mengalami deplesi atau collapse, bahkan studi perikanan dapat dikaji secara multi-disciplinary dengan sebaik-baiknya.

Rapfish adalah suatu teknik penilaian cepat yang dirancang sesuai dengan tujuan, transparan, evaluasi multi-disciplinary, tetapi tidaklah diharapkan untuk menggantikan metode konvensional dalam penilaian stok dalam pengaturan kuota (Pitcher dan Preikshot 2001). Metode ini telah dikembangkan oleh University of British Columbia, Canada. Hasil Rapfish dapat direplikasi dan bersifat obyektif secara numerik (Pitcher dan Power, 2000). Rapfish merupakan analisis evaluasi keberlanjutan sederhana namun komprehensif, assessment terhadap sumberdaya dapat dilakukan secara utuh sehingga hasil studi ini dapat dijadikan bahan acuan melakukan assessment terhadap pengelolaan perikanan di daerah lain. Replikasi dapat dilakukan untuk assessment status perikanan overtime maupun antar perikanan di suatu wilayah ataupun antar wilayah untuk assessment yang lebih luas (Fauzi dan Anna 2005). Dengan menggunakan multidimensional scalling (MDS) dan metode ordinansi guna melakukan penilaian secara relatif keberlanjutan perikanan. Rapfish melakukan skoring terhadap sejumlah atribut dari 5 dimensi yang terdiri dari: ekologi, ekonomi, sosial, tehnologi, dan etik. Karakteristik rapid appraisal, merupakan suatu metode pendekatan top down dengan memanfaatkan definisi nilai dan kriteria untuk mengevaluasi sistem perikanan (Adrianto et al. 2005). Beberapa contoh aplikasi Rapfish antara lain: di North Atlantic (Chuenpagdee dan Alder 1999), di Gulf of Marine Fisheries (Pitcher dan Preikshot 2001), di Kepulauan Seribu-Jakarta dengan mengembang-kan RapSmile (Susilo 2003), di Provinsi Bengkulu (Masydzulhak 2004), di wilayah pesisir perikanan Jakarta (Fauzi dan Anna 2005), dan Prawoto (2005) mengembangkan Rapfish dengan pendekatan sistem pakar.

Metode analisis dan evaluasi keberlanjutan perikanan selain dengan menggunakan metode Rapfish juga dapat menggunakan FAO Code of Conduct


(31)

11

Compliance (Pitcher 1999 dan Garcia et al. 1999) dan International Instrument Complience (Chuenpagdee dan Alder 1999)

Penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)-FAO, sama halnya dengan Rapfish dengan menggunakan pendekatan MDS. Dalam penyusunan CCRF dalam penelitian ini khususnya merujuk pada artikel 7 yang diuraikan dalam 6 bidang yang terdiri dari: (a) sasaran manajemen, (b) kerangka kerja, (c) pendekatan pencegahan, (d) stok ikan, armada, dan alat tangkap, (e) sosial ekonomi, dan (f) monitoring controlling survailance/MCS (Pitcher 1999). Metode ini sudah diaplikasikan di perikanan Australia (Garcia 1999) dan perikanan Gulf of Maine (Chuenpagdee dan Alder 1999).

Metode International Instrument Complience memfokuskan pada pengukuran kualitatif atau kuantitatif pada level pemenuhan dalam pengelolaan perikanan dengan menggunakan beberapa instrumen (Chuenpagdee dan Alder 1999). Dalam metode ini, rentang skor kriteria yang digunakan mulai dari 0 (tidak memenuhi) hingga 3 (sangat memenuhi) dan jumlah kriteria dibatasi hingga 6 per instrumen. Sebagai contoh aplikasi metode ini yang dilakukan Chuenpagdee dan Alder (1999) yang mengambil kasus di perikanan Gulf of Maine.

Menurut Adrianto et al. (2004) bahwa metode tersebut di atas relatif lebih memfokuskan pada pendekatan statik (top down approach), dimana sejumlah pertanyaan hanya digunakan untuk obyek yang statik. Metode tersebut juga tidak memasukkan peran stakeholder dalam mengevaluasi perikanan. Sehingga perlu dikembangkan metode pendekatan bottom-up mengingat sistem perikanan sangat dinamis dan komplek dengan menyertakan stakeholder lokal yang disebut ”local accepted”. Berdasarkan pertimbangan dari stakeholder setempat dapat ditentukan indikator sustainability yang bersifat lokal, tingkat kepentingan, tingkat interaksi, keterkaitan, dan pola hubungannya. Indikator sustainability dapat mendefinisikan variabel yang dapat mengukur atau menilai status atau kondisi sistem perikanan (Mendoza dan Prabhu 2002), seperti yang telah dilakukan di Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan (Adrianto et al. 2004; 2005).


(32)

12

2.2 Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Fenomena persepsi yang keliru dari stakeholder terhadap pemanfaatan potensi sumberdaya ikan (SDI) yang dianggap sebagai sumberdaya yang dapat pulih (renewable resorces) sehingga dapat dieksploitasi secara tak terbatas (infinite). Selain itu, sumberdaya ikan dianggap sebagai sumberdaya milik umum (common property resources) sehingga berlaku rejim open access, yang bermakna bahwa sumberdaya ikan tersebut tidak jelas sifat kepemilikannya relatif bersifat terbuka, maka siapapun dapat berpartisipasi tanpa harus memiliki sumberdaya tersebut. Makanya tidak jarang satu wilayah dimana jumlah tangkap melampaui daya pulih secara alami SDI tersebut atau sering disebut overfishing. Untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable fisheries), maka harus merubah rejim pengelolaan open access ke arah perikanan yang bertanggung jawab seperti yang dianjurkan dalam Code of Conduct forf Responsible Fisheries.

Pada mulanya, pengelolaan sumberdaya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologis semata, dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield (MSY) atau tangkapan lestari yang diperkenalkan oleh Schaefer tahun 1957. Konsep ini murni didasarkan pada pendekatan biologi semata. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih atau tida kurang) maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable) (Fauzi 2004).

Konsep MSY ini menuai kritik karena dianggap terlalu sederhana dan tidak mencukupi, karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek lainnya utamanya sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA). Menurut Conrad dan Clark (1987) diacu dalam Fauzi (2004) menyatakan bahwa kelemahan pendekatan MSY sebagai berikut :

a. Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset begitu saja bisa mengarah pada pengurasan stok (stok depletion).

b. Didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non steady state.


(33)

13

c. Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen (input value).

d. Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya.

e. Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ragam jenis (multi species).

Salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model). Dalam persamaan tersebut di atas, memperlihatkan fungsi pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu beserta perilaku pencapaian ke arah daya dukung maksimum lingkungan (carrying capacity).

(a) (b)

Gambar 2.1 Kurva Pertumbuhan Logistik

Dari persamaan matematis dan diagram di atas (panel a) terlihat bahwa dalam kondisi seimbang (ekuilibrium) dimana laju pertumbuhan sama dengan nol (∂x/∂t=0), tingkat populasi akan sama dengan carrying capacity. Sedangkan maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity tersebut (K/2). Tingkat ini disebut juga sebagai Maximum Sustainable Yield atau MSY. Pada panel (b) dari Gambar 2.1 di atas diperlihatkan bagaimana stok akan mencapai keseimbangan maksimum pada tingkat carrying capacity (K) tergantung tingkat pertumbuhan intrinsik (r); semakin tinggi nilai r (r1>r2 pada

panel di atas), semakin cepat carrying capacity dicapai.

F(x)

½ K K x

0 0 t

xt

K

r1

r2

t2


(34)

14

Meski banyak fungsi pertumbuhan yang bersifat density dependent, salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model). Fungsi logistik tersebut secara matematis sebagai berikut:

) 1 (

K x rx t

x=

∂ ∂

(2.1)

Kurva pertumbuhan tersebut di atas dibangun dengan asumsi perikanan tidak mengalami eksploitasi. Model di atas kemudian dikembangkan dengan memasukkan faktor produksi (tangkap) ke dalam model. Untuk mengeksploitasi ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana tersebut dalam literatur perikanan biasa disebut sebagai upaya atau effort (trip, tenaga kerja, kapal, jaring dan sebagainya) yang dibutuhkan dalam aktivitas perikanan. Secara eksplisit, fungsi produksi yang sering digunakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan yang diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan effort dengan rumus sebagai berikut:

h

t

=

qE

t

x

t (2.2) dimana q dikenal sebagai koefisien kemampuan tangkap atau catchability coefisient yang sering diartikan sebagai proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh satu unit upaya. Sedangkan Et adalah fungsi dari upaya penangkapan (trip)

dan xt adalah biomassa ikan. Dengan adanya aktivitas penangkapan, maka

persamaan 2.1 akan menjadi:

qxE

K

x

rx

h

K

x

rx

t

x

t

=

=

)

1

(

)

1

(

(2.3)

Fauzi (2004) bahwa dalam model Gordon-Schaefer ini, beberapa asumsi akan digunakan untuk memudahkan pemahaman. Asumsi-asumsi tersebut antara lain:

1. Harga per satuan output, diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna.

2. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan.

3. Spesies sumberdaya bersifat tunggal (single species). 4. Struktur pasar bersifat kompetitif.


(35)

15

5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak termasuk faktor pasca panen dan lain sebagainya).

Gambar 2.2 menguraikan inti dari Model Gordon-Schaefer mengenai pengelolaan perikanan dalam dua rezim pengelolaan yang berbeda. Dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat E, dimana TR (total revenue) sama dengan TC (total cost). Pada kondisi ini rente ekonomi sumberdaya (economic rent) tidak diperoleh. Tingkat upaya pada posisi ini adalah tingkat upaya dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai ”bioeconomic equilibrium of open access fishery” atau bioekonomik dalam kondisi akses terbuka.

Gambar 2.2 Kurva Model Gordon-Schaefer

Pada setiap tingkat upaya lebih rendah dari E (sebelah kiri E), penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga penerimaan nelayan akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak dibatasi, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku masuk (entry) ke industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat upaya yang lebih tinggi dari (di sebalah kanan E) biaya total melebihi total penerimaan, sehingga banyak pelaku perikanan keluar (exit) dari perikanan. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to

Bia

y

a, Pe

nerimaan

TR TC TC

Rp

Πmak

C B

Upaya (effort) ∞

E EMSY


(36)

16

zero) sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Pada kondisi ini identik dengan ketiadaan hak kepemilikan (property right) sumberdaya.

Keuntungan lestari yang maksimum (maximum sustainable rent) akan diperoleh pada tingkat upaya dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC=πmax). Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimum secara sosial (socially optimum). Kalau dibandingkan dengan kondisi open access tingkat yang dibutuhkan jauh lebih besar dari yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Hal ini ini berarti terjadi misallocation karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk kegiatan produktif lainnya. Inilah sebenarnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Kondisi Eo, tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih kecil dibandingkan untuk mencapat titik MSY (EMSY). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih ”conservative minded” (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya.

2.3 Otonomi Pengelolaan Perikanan

Di dalam buku Ringkasan Agenda 21 Indonesia bagian Bab Pendahuluan (KMNLH 1997) juga disebutkan bahwa sebenarnya di dalam Agenda Global, merekomendasikan pentingnya desentralisasi pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Namun, dalam Agenda Indonesia 21 memang tidak ada arahan yang mengisyaratkan pelaksanaan program pembangunan yang bersifat desentralisasi.

Agenda Indonesia sebagai advisory document, nampaknya harus menyesuaikan diri guna mengimbangi dinamika dan tuntutan pembangunan saat ini yakni era otonomi daerah. Perubahan dari paradigma pembangunan lama yang sentralistik harus berubah menjadi pendekatan pembangunan yang bersifat


(37)

17

desentralistik. Sejalan dengan kondisi tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (lebih spesifik otonomi daerah), sebagai bentuk implementasi paling kompromis dari desakan federalisme di awal reformasi. Namun dalam perjalanannya dalam waktu yang singkat, Undang-Undang tersebut mengalami penggantian (bukan sebagai revisi), maka terbitlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (lebih memfokuskan pada pemilihan kepala daerah/Pilkada).

Kinerja pembangunan perikanan dan kelautan nasional pada masa lalu belum seperti yang kita harapkan, salah satu faktor yang terpenting adalah bahwa proses perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pembangunan kelautan sangat sentralistik dan “top-down”. Oleh karena itu, lahirnya UU. No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang juga mencakup kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya kelautan merupakan angin segar bagi pembangunan perikanan dan kelautan yang lebih baik. Dalam pasal 18 disebutkan bahwa kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan mencakup paling jauh 12 mil laut dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota. Kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya laut meliputi :

a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut.

b. Pengaturan administratif yang meliputi perizinan, kelaikan, dan keselamatan.

c. Pengaturan tata ruang.

d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.

e. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan. f. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Jika selama ini terdapat kesan bahwa Pemerintah Daerah tidak peduli terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan termasuk pesisir secara berkelanjutan sangatlah wajar mengingat manfaat terbesar dari sumberdaya tersebut tidak mereka nikmati, melainkan dinikmati oleh Pemerintah Pusat. Namun dengan adanya pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan


(38)

18

sumberdaya kelautan yang berada dalam batas-batas yang telah ditetapkan, maka manfaat terbesar dari sumberdaya kelautan akan diperoleh Pemerintah Daerah dan masyarakat.

Berdasarkan otonomi daerah ini, Pemerintah Daerah sudah memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan kelautan secara berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah seberapa besar keinginan dan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengelola sumberdaya kelautan secara berkelanjutan yang berada dalam wewenang/ kekuasaannya.

Pertanyaan di atas penting mengingat tidak seluruh daerah memiliki pemahaman yang sama akan arti pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestarian sumberdaya kelautan. Artinya, bahwa sumberdaya kelautan dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak.

Isyarat pembangunan berkelanjutan dalam undang-undang ini seperti tersirat dalam pasal 17 ayat [1], bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundangan. Oleh karena itu, dalam pendayagunaan sumberdaya alam tersebut haruslah dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan bertanggung-jawab disesuaikan dengan kemampuan daya dukungnya dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat serta harus memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup untuk terciptanya pembangunan yang berkelanjutan.

Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaatan dan kekuasaan. Upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan pro-aktif. Secara reaktif, artinya Pemerintah Daerah dapat


(39)

19

melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan sumberdaya kelautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi atau mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang akan datang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumberdaya kelautan secara terpadu. Upaya ini dilakukan dengan menyusun rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya kelautan terpadu dari setiap daerah propinsi, kabupaten/kota, dengan cara menyusun zonasi kawasan pesisir dan laut untuk memfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan (management plan) untuk suatu kawasan tertentu atau sumberdaya tertentu.

Manfaat langsung dari otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah Pemerintah Daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah pesisir, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah, dan (c) pendapatan tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pembangunan kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain dapat dibiayai oleh Pemerintah Daerah.

2.4 Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process)

Analytical Hierarchy Process (AHP) yaitu suatu pendekatan yang digunakan analisis kebijakan atau analisis jenjang keputusan yang bertujuan untuk memilih/menentukan prioritas kegiatan pada kawasan konflik penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang optimal (Saaty 1999). Menurut Permadi (1992) bahwa AHP merupakan:

a. Desain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan suatu permasalahan tertentu, melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi di antara berbagai set alternatif.


(40)

20

b. Pendekatan analisis yang bertujuan membuat suatu model permasalahan yang tidak terstruktur, dan biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah secara terukur (kuantitatif).

c. Biasanya digunakan untuk pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pelaku dalam suatu konflik.

d. Analisis yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan.

Saaty (1999) menyarankan sedapat mungkin menghindari adanya penyederhanaan seperti dengan membuat asumsi-asumsi, dengan tujuan dapat diperoleh model-model yang kuantitatif. Untuk memecahkan konflik yang terjadi dan solusi yang diinginkan, maka perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan dalam pengambilan suatu kebijakan yaitu aspek tujuan utama, sub tujuan, kriteria, dan alternatif. AHP dapat merinci permasalahan ke dalam komponennya yang selanjutnya diatur dalam bentuk hierarki, dimana hierarki paling atas diturunkan ke dalam beberapa elemen set lainnya, sehingga terdapat elemen yang spesifik yang dapat dikendalikan dicapai dalam situasi konflik.

Menurut Saaty (1999), bahwa AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan yang lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki, atau hierarki harus distruktur ulang.

Analisis AHP dapat mendesain strategi pembangunan pembangunan yang disusun dalam berbagai skenario-skenario. Strategi merupakan suatu rencana keseluruhan dalam memanfaatkan sumberdaya untuk memperoleh kedudukan


(41)

21

yang menguntungkan (Grant 1997). Keputusan strategi secara umum memiliki tiga karakteristik umum yaitu :

a. Strategi merupakan hal yang penting.

b. Strategi meliputi komitmen yang penting dari sumberdaya. c. Strategi tidak mudah diubah.

Grant (1997) juga menyatakan bahwa strategi yang berhasil biasanya memiliki empat unsur utama yakni :

a. Strategi tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan yang jelas dan dalam jangka waktu yang panjang.

b. Strategi didasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap lingkungan eksternal.

c. Strategi didasarkan pada pemahaman yang mendalam mengenai kemampuan internal organisasi maupun individu.

d. Strategi dilaksanakan dengan resolusi, koordinasi, serta pemanfaatan yang efektif terhadap kemampuan dan komitmen dari semua anggota organisasi.

2.5 Keadaan Umum Perairan Selat Bali

Perairan Selat Bali di sebelah barat dibatasi oleh daratan Pulau Jawa dan di sebelah timur dibatasi oleh daratan Pulau Bali. Selat bali merupakan perairan yang relatif sempit ± 2.500 km2 (Merta et al. 1998). Bagian utara Selat Bali mempunyai lebar ± 1 mil yang berhubungan dengan Laut Jawa (Selat Madura) dan merupakan perairan yang dangkal (kedalaman ± 50 meter), sedangkan lebar selat bagian selatan sekitar 28 mil yang merupakan perairan yang dalam dan berhubungan langsung dengan Samudera Hindia. Perairan Selat Bali ini mempunyai kesuburan yang tinggi, dimana produktivitas tertinggi terjadi pada musim timur karena pada saat itu terjadi upwelling di bagian selatan Selat Bali (DKP Propinsi Jatim 2000b).

Adanya penaikan massa air cukup kuat di perairan sebelah selatan Bali akibat bertiupnya angin musson Tenggara yang menyusuri pantai selatan Jawa-Bali. Disamping itu, akibat adanya pengaruh gaya Corolius transport air di lapisan permukaan dibelokkan ke tengah laut sehingga terjadi kekosongan air di pesisir Jawa-Bali ini kemudian diisi oleh massa air dari lapisan di bawahnya.


(42)

22

Kejadian ini dapat ditunjukkan dari hasil analisis sebaran melintang suhu sepanjang transek di perairan selatan Jawa-Bali dimana terjadi suhu dingin (26oC) di dekat permukaan pada wilayah perairan dekat pantai (Fakultas Perikanan IPB 1997).

Pada saat musim timur, konsentrasi nitrat tinggi terjadi di Paparan Bali (Illahude 1975 diacu dalam Wudianto 2001). Zat hara seperti nitrat dan fosfat sangat penting bagi perkembangan fitoplankton. Pada saat musim timur dimana terjadi upwelling mengakibatkan terjadinya peningkatan fitoplankton (Arinardi 1989). Menurut hasil penelitian disertasi yang dilakukan Wudianto (2001) bahwa rata-rata kelimpahan fitoplankton di perairan Selat Bali berdasarkan musim: (a) barat (bulan Januari) sebesar 7,3 x 103 sel/m3, (b) peralihan I (bulan Mei) sebesar 21,9 x 103 sel/m3, (c) timur (bulan Agustus) sebesar 35,5 x 103 sel/m3, dan (d) peralihan II (bulan September) sebesar 24,4 x 103 sel/m3. Subani dan Sudrajat (1981) menyatakan bahwa konsentrasi plankton di perairan Paparan Bali lebih tinggi dibandingkan dengan perairan di bagian tengah selat dan Paparan Jawa.

2.6 Perikanan Lemuru di Selat Bali

Pada tahun-tahun terakhir ini sebutan Sardinella longiceps jarang digunakan sebagai nama ilmiah ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali. Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru yang dilakukan Wongratana (1982) dalam Merta (1992); Gloerfet-Tarp dan Kailola (1984) diacu dalam FAO (2000) mengidentifikasikan jenis lemuru di perairan Selat Bali sebagai Sardinella lemuru Bleeker, 1853. FAO (2000) mengidentifikasikan jenis Sardinella lemuru ini dalam bahasa Inggris dinamakan Bali Sardinella. Sedangkan dalam bahasa dagang ikan lemuru dikenal dengan istilah “Indian oil sardinella”. Taksonomi ikan lemuru sebagai berikut (FishIndex 2006):

a. Kelas : Actinopterygii,

b. Ordo : Clupeiformes,

c. Famili : Clupeidae,

d. Nama ilmiah : Sardinella lemuru,

e. Nama ilmiah lain : S. aurita, S. longiceps, Harengula nymphaea, Clupea nymphaea, Amblygaster posterus, S. samarensis


(43)

23

Di Indonesia, istilah ”lemuru” sering digunakan untuk beberapa spesies sardines (Baharuddin et al. 1984) dan dalam publikasi tahunan ”Statistik Perikanan Indonesia” lemuru meliputi Sardinella longiceps (S.lemuru), S. aurita, S. leiogaster, S. clupeoides. Gambar ikan lemuru yang ditangkap di perairan Selat Bali lebih detail seperti dalam Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Ikan lemuru (S. lemuru Bleeker, 1853)

(Sumber: FAO/SIDP 2006)

Pendugaan besarnya sediaan ikan lemuru di perairan Selat Bali (1973-1981), baik dengan menggunakan metode akustik maupun model surplus produksi dari data hasil tangkapan dan upaya yang tersedia, memberikan hasil dugaan potensi yang hampir sama yaitu berkisar antara 35.000-66.000 ton (Sujastani dan Nurhakim 1982).

Kemudian pada tahun 1986 di perairan Selat Bali diadakan pendugaan sediaan ikan lemuru lagi dengan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya yang diturunkan dari data ekonomi diperoleh nilai dugaan MSY sebesar 62.000-66.000 ton per tahun (Martosubroto et al. 1986)

Menurut FAO (1999) yang menyatakan bakwa pendaratan ikan lemuru dari hasil penangkapan di perairan Selat Bali memang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Dimana pada saat mencapai puncak pada tahun 1983 yang mencapai 48.000 ton kemudian pada tahun-tahun berikutnya terus merosot menjadi 4.600 ton pada tahun 1986. Kemudian mengalami titik produksi puncak lagi pada tahun 1991 yang berhasil didaratkan sebanyak 61.000 ton, kemudian merosot lagi pada tahun 1996 menjadi 13.000 ton. Pada tahun berikutnya 1997 meningkat tajam menjadi 50.000 ton, kemudian turun lagi pada tahun 1998.

Sumberdaya ikan pelagis di Selat Bali jauh lebih besar dibandingkan potensi sumberdaya ikan demersal (Amin dan Sudjastani 1981). Hampir 80% dari


(44)

24

total produksi ikan yang didaratkan di perairan Selat Bali adalah jenis ikan lemuru (S. lemuru) (Budihardjo et al. 1990). Demikian juga Merta (1992) menyatakan bahwa produksi lemuru yang didaratkan dari perairan Selat Bali berkisar antara 65,86-92,89% dari produksi total pada tahun 1984-1989. Berdasarkan data dari Resort Muncar tahun 1998, musim ikan lemuru Selat Bali menurut ukurannya digolongkan seperti dalam Tabel 2.1

Tabel 2.1 Penggolongan ikan lemuru dan periode tangkap

No. Golongan Ikan Ukuran Panjang (cm) Periode Bulan 1.

2. 3. 4.

Sempenit Protolan Lemuru

Lemuru Kucing

< 11 11-15 15-18 > 18

Agustus-Desember Januari-Desember

Mei-Desember Oktober-Desember

Sumber: DKP Propinsi Jawa Timur 2000; Merta 1992.

2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Lemuru Selat Bali

Dengan semakin meningkatnya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap purse seine di Selat Bali dan dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab dengan memperhatikan kelestariannya serta menciptakan ketenangan berusaha bagi para nelayan di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Bali, maka dikeluarkan kesepakatan antar dua propinsi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Selat Bali tersebut sebagai berikut (DKP Propinsi Jawa Timur 2000):

a. Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Gubernur KDH I Tingkat I Bali Nomor HK.1/39/77/EK/le/52/77 tanggal 20 Mei 1977 tentang pengaturan bersama mengenai kegiatan penangkapan ikan di daerah Selat Bali. Dalam SKB tersebut, jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi di Selat Bali sebanyak 100 unit, dengan rincian masing-masing wilayah 50 unit.

b. Revisi SKB tahun 1978, dimana alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi sebanyak 133 unit, dengan rincian 73 unit untuk Propinsi Jawa Timur dan 60 unit untuk Propinsi Bali.


(45)

25

c. Mengingat SKB tersebut masih tetap dilanggar, dimana jumlah alat tangkap purse seine di Muncar saja pada tahun 1983 sudah mencapai 200 unit. Maka pada tahun 1985 dikeluarkan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor 7 tahun 1985//4 tahun 1985 dengan petunjuk pelaksanannya berdasarkan SKB Kepala Dinas Perikanan Daerah Propinsi Jawa Timur dan Bali Nomor 02/SK/Utan/I/85//523.41/96/Um/K pada tanggal 14 November 1992.

d. Pada tahun 1992 dilakukan penyempurnaan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor 238 tahun 1992//SKB 673 tahun 1992 dengan petunjuk pelaksanannya berdasarkan SKB Kepala Dinas Perikanan Daerah Propinsi Jawa Timur dan Bali Nomor 10 tahun 1994//02 tahun 1994 yang menetapkan jumlah purse seine yang boleh beroperasi sebanyak 273 unit, dengan rincian 190 unit untuk Jatim dan 83 unit untuk Bali.


(46)

26

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian

Pada setiap sistem pengelolaan pembangunan perikanan, tentunya memerlukan indikator kinerja (performance indicators). Indikator kinerja tersebut digunakan sebagai panduan dan tolok ukur, apakah kebijakan dan program pembangunan perikanan yang sedang atau yang telah dilaksanakan sesuai atau telah menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pembangunan perikanan yang mengelola keanekaragaman hayati, yang bertujuan antara lain untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumberdaya hayati secara berkesinambungan (sustainable), mampu meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi nelayan, serta menjamin untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan industri.

Pendekatan holistic dalam mengkaji pembangunan perikanan

berkelanjutan secara cepat, sederhana, dan komprehensif yang mampu mengakomodasikan berbagai komponen yang menentukan keberlanjutan itu sendiri. Komponen/dimensi tersebut menyangkut aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial, dan etik. Dari setiap komponen atau dimensi ada beberapa atribut yang harus dipenuhi yang merupakan indikator keragaan perikanan sebagai indikator keberlanjutan. Dalam kajian ini, ada lima dimensi/komponen dengan masing-masing atribut yakni:

a. Dimensi Ekologi : terdiri dari 10 atribut yakni: tingkat eksploitasi, keragaman recruitment, perubahan tropic level, daerah perlindungan laut, gejala penurunan jumlah ikan, ukuran ikan yang ditangkap, jumlah ikan yang tertangkap sebelum dewasa, jumlah tangkap ikan non target yang dibuang, jumlah spesies yang ditangkap, produktivitas primer.

b. Dimensi Ekonomi: terdiri dari 9 atribut yakni: profitabilitas usaha perikanan, konstribusi perikanan terhadap GDP, pasar, tingkat pendapatan masyarakat nelayan, sumber pendapatan lainnya, sektor ketenagakerjaan, penerima keuntungan, tingkat subsidi, pembatasan jumlah nelayan, nilai pasar usaha. c. Dimensi Sosial: terdiri dari 10 atribut yakni: sistem atribut usaha perikanan,

tingkat pertumbuhan komunitas, jumlah rumah tangga perikanan, pengetahuan lingkungan (environmental awareness), tingkat pendidikan, status konflik, tingkat keterlibatan nelayan, tingkat pendapatan usaha perikanan, partisipasi keluarga.


(47)

27

d. Dimensi Teknologi: terdiri dari 10 atribut yakni: panjang trip, tempat pendaratan, penanganan pasca panen, penanganan di kapal, pemanfaatan alat tangkap aktif, selektivitas alat, FAD, ukuran kapal, kemampuan alat tangkap, dan efek samping dari alat tangkap.

e. Dimensi Etik: terdiri dari 9 atribut yakni: kedekatan nilai dan kepercayaan, alternatif pekerjaan, pertimbangan kearifan lokal dalam pengusahaan, manajemen pengambilan keputusan, pengaruh aturan pranata sosial, mitigasi terhadap habitat, mitigasi terhadap ekosistem, illegal fishing, dan sikap terhadap limbah dan by catch.

Keseluruhan komponen ini diperlukan sebagai prasyarat terpenuhinya pembangunan perikanan yang berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries. Apabila kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dan holistic ini tidak dipenuhi, maka pembangunan perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan dan over exploitation.

Rapfish akan menghasilkan gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya perikanan kita, khususnya perikanan di daerah penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995).

Dalam kaitannya pembangunan berkelanjutan di era otonomi daerah, perlu mengevaluasi bagaimana kinerja pengelolaan perikanan (fisheries management) yang telah dilaksanakan sejak diterapkannya UU. Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam penelitian ini akan mengimplementasikan the Code of Conduct for Responsible Fisheries FAO khususnya article 7. Dimana ada 6 dimensi dan 43 atribut yang digunakan:

a. Management objectives (9 atribut).

b. Framework (data and procedures) (7 atribut). c. Precautionary approach (9 atribut).

d. Stok, fleets, and gear (7 atribut). e. Social and economic (6 atribut).


(48)

28

Untuk mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan menggunakan pendekatan perpaduan antara metode Rapfish dengan multiple criteria analysis (MCA) dan analisis keterkaitan indikator (analysis of indicator linkages), sehingga pendekatan ini lebih ”local accepted” dinamakan Modifikasi Rapfish (MODRAPF)

Hasil analisis status keberlanjutan pembangunan perikanan akan dipertajam lagi dengan analisis optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dengan menggunakan pendekatan model Bioekonomi Statik. Model ini mengintegrasikan referensi biologi dengan ekonomi, hal ini mengingat sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan open acces. Dalam penelitian ini akan memfokuskan kajian pada potensi dan pemanfaatan yang optimal untuk single species yakni ikan lemuru (S. lemuru Breeker 1853). Akses terhadap sumberdaya yang tidak efisien serta berdampak terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang terjadi terhadap sumberdaya ikan seperti kelebihan tangkap (overfishing), overcapacity, kepunahan, depresiasi, dan degradasi. Permasalahan tersebut berdampak terhadap tingkat kesejahteraan pelaku usaha perikanan sebagai akibat biaya eksploitasi yang semakin meningkat, produksi yang semakin menurun dan akhirnya menurunnya manfaat/keuntungan dari kegiatan penangkapan. Kajian optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru juga didesain dalam 3 rejim pengelolaan yakni: maximum economic yield (MEY), maximum sustainable yield (MSY), dan open acces.

Untuk selanjutnya hasil evaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan, maka perlu didesain langkah-langkah strategis yang harus dilakukan guna menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dan mampu memenuhi kebutuhan manusia seoptimal mungkin. Untuk mengkaji hal tersebut akan didesain strategi-strategi pembangunan perikanan berkelanjutan spesifik lokal Kabupaten Banyuwangi dengan menggunakan metode pendekatan AHP. Dalam penyusunan level-level dan atribut yang digunakan tetap memasukkan 5 dimensi utama tersebut di atas yakni ekonomi, ekologi, sosial, teknologi, dan etik. Struktur hirarki yang akan digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.5.


(49)

29

Gambar 2.6 yang menyajikan garis besar kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari 3 bagian yakni: (a) Input (evaluasi sumberdaya ikan lemuru, (b) proses ( identifikasi permasalahan dan pendekatan analisis), dan (c) output (kebijakan pembangunan perikanan berkelanjutan di Perairan Selat Bali)

Pembangunan Perikanan Berkelanjutan

Ekologi

PT Pemerintah Swasta Masyarakat

Nelayan

Peningkatan Kesejatraan

Nelayan Pelestarian

Sumber Daya

Penegakan Hukum LSM

Ekonomi Sosial Teknologi Etik

Peningkatan Kemampuan Armada dan Alat Tangkap

Menjamin Kebutuhan Rakyat dan Industri

Fokus(L-1)

Strategi (L-5) Stakeholder

(L-4) Komponen/ Dimensi (L-2)

Peningkat an PAD Penataan Sosial dan

Kelembagaan Pengembangan

Ekonomi Rakyat Ekplorasi/

Eksploitasi Sumberdaya

Sub Komponen (L-3)

Gambar 2.5 Struktur analisis hierarki proses pembangunan perikanan berkelanjutan Kabupaten Banyuwangi


(50)

Gambar 2.6 Kerangka pemikiran penelitian

Ekologi

Ekonomi Sosial

Etik Teknologi Input

Identifikasi Permasalahan Potensi dan Pemanfaatan

Sumberdaya Ikan Lemuru 1. Sumber Pendapatan Nelayan 2. Memobilisasi Aktivitas

Ekonomi Wilayah

3. Penyedia Bahan Baku industri pengolahan hasil perikanan 4. Sumber PAD

Pendekatan Analisis

Kebijakan Pembangunan

Perikanan Berkelanjutan di

Perairan Selat Bali Output

CCRF Ekstraksi Sumberdaya Ikan

Lemuru

Overfishing, overcapacity, depresiasi, dan

degradasi 1. Ketimpangan Struktur

armada

2. Tidak terkontrolnya jumlah armada dan jenis alat tangkap 3. Illegal fishing

Analisis Rapfish, Multi Criteria Analysis,Analysis of

Indicator Linkages (MODRAPF), Analytical

Hierarchy Process

Analisis Bioekonomi, Analisis Degradasi, Depresiasi, Pengelolaan sumberdaya optimal, dan

Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Implikasi Kebijakan Penilaian

multidimensional dan komprehensif

Proses

Evaluasi Sumberdaya Ikan Lemuru


(1)

years to years although the total value is only Rp. 200,8 billions (δ=15%) and Rp 108,9 billions (δ=5,72%); (l) the prioritized component/dimension repeatedly: economy, ecology, ethic, social, and technology. The prioritized sub component/dimension repeatedly is social economy development, social and institution arrangement, and exploration and exploitation of resources. The prioritized stakeholder repeatedly is government. fisherman society, private, university, and social organization. While the alternative strategy that is prioritized repeatedly fisherman welfare increasing, resources conservation, law enforcement, guarantee of society and industry needs, increasing of fleet and catching tool, and regional income increasing.


(2)

vi

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

Evaluasi Keberlanjutan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinellalemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali

Adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir naskah disertasi ini.

Bogor, 31 Agustus 2007 Penulis

R. Abdoel Djamali NRP. C261 040 161


(3)

© Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik


(4)

viii

EVALUASI KEBERLANJUTAN DAN

OPTIMALISASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA

IKAN LEMURU (

Sardinella lemuru

Bleeker 1853)

DI PERAIRAN SELAT BALI

Oleh :

R. Abdoel Djamali

NRP. C261040161

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(5)

Judul Disertasi : Evaluasi Keberlanjutan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali

N a m a : R. Abdoel Djamali

NRP : C 261 040 161

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Program : Doktor (S3)

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sutrisno Sukimin,DEA Ketua

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. Prof. Dr. Sapto J. Poerwowidagdo, M.Sc

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Departemen Manajeman Dekan

Sumberdaya Perairan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(6)

x

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Sampang Propinsi Jawa Timur tanggal 19 November 1966, putra kedua dari sembilan bersaudara dari pasangan R. Moh. Dahri dan R. Siti Maonah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Negeri 1 Sampang lulus tahun 1999, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Sampang lulus tahun 1982 dan pada tahun 1985 lulus dari SMA Negeri 1 Sampang. Pada tahun 1985 penulis menempuh program pendidikan Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Jember Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, berhasil lulus tahun 1989. Tahun 1991 mengikuti Pendidikan Profesional di PEDCA (Polytechnic Education Development Centre of Agricultural) Universitas Padjajaran Bandung, lulus tahun 1993. Kemudian pada tahun 1996 melanjutkan pendidikan Pascasarjana S2 di IPB Bogor Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), berhasil lulus tahun 1999. Seluruh pembiayaan selama program pendidikan S2 ini dibiayai dari TMPD-Departemen Pendidikan dan Kebudayan RI. Kesempatan untuk melanjutkan program Doktoral (S3) pada perguruan tinggi yang sama diperoleh tahun 2004 dengan dibiayai dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional RI, penulis diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL).

Penulis bekerja sebagai Dosen Tetap Politeknik Negeri Jember sejak tahun 1991 sampai sekarang. Jabatan fungsional/golongan terakhir : IIID/Lektor. Karya tulis selain penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang dimuat di jurnal ilmiah, juga berhasil menulis buku ajar Manajemen Usahatani (dibiayai Dikti tahun 2001) dan 12 buah buku panduan untuk membangun usaha kecil (Dibiayai DIPDA Propinsi Jawa Timur Tahun 2003).