Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Realitas Mental Accounting: studi Pada Perlakuan Pendapatan Pemerintah Daerah Atas Pbb-P2 T2 932012003 BAB I

I.

PENDAHULUAN
Sumber penerimaan Pemerintah bertumpu pada tiga aspek utama: pajak,
hutang dan PAD, non-pajak. Di negara-negara yang menganut desentralisasi
fiskal, pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah daerah
untuk menarik pajak daerah. Di Indonesia, desentralisasi fiskal terwujud dalam
bentuk pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan
pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak, dan adanya bantuan dalam
bentuk transfer dari pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini membawa
konsekuensi bagi Pemerintah Daerah (Pemda) agar dapat mengelola
keuangannya dengan baik dan dapat mengurangi bahkan melepaskan
ketergantungannya secara financial kepada pemerintah pusat.
Untuk meningkatkan kemandirian daerah, pemerintah pusat terus berupaya
melakukan penguatan kewenangan perpajakan daerah (local taxing power).
Dalam UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
penguatan perpajakan daerah dilakukan, antara lain melalui pemberian diskresi
penetapan tarif dan pendaerahan beberapa jenis pajak baru seperti Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan
Bangunan – Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2).
Data menunjukan bahwa BPHTB setelah dipungut oleh daerah dapat

meningkat dari Rp 7,9 triliun tahun 2010 (saat menjadi Pajak Pusat), menjadi
sekitar Rp 8,2 triliun tahun 2011 dan Rp11,7 triliun tahun 2012. Adapun
realisasi pemungutan PBB-P2, kewenangan dilimpahkan pada Pemda paling
lambat 31 Desember 2013. Secara otomatis, mekanisme bagi hasil PBB sektor
pedesaan dan perkotaan yang semula dibagikan sebesar 64,8% untuk daerah
kota/kabupaten; 16,2% daerah provinsi, 9% biaya pungut dan 10% untuk
pemerintah pusat tidak ada lagi karena sepenuhnya (100%) akan menjadi
otoritas Pemda untuk mengelolanya. Penerimaaan PBB-P2 tahun 2012 dari 18
daerah yang sudah memungut mulai tahun 2011 dan 2012 rata-rata meningkat
11% dibandingkan dengan tahun 2011. Dengan penyerahan ini, PBB-P2
diharapkan akan menjadi salah satu sumber PAD yang potensial bagi Pemda.
Adapun data penerimaan PBB-P2 dari pemda yang telah memungut sendiri
PBB-P2 hingga tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 1.

1

TABEL 1. Penerimaan PBB-P2 Kabupaten dan Kota tahun 2012
(dalam Rp. Milyar)
Kab. dan Kota


2011

Agregat

2012

Medan
Pekanbaru
Palembang

198,30
38,54
62,58

39%
6%
22%

275,10
40,84

76,20

Bandar Lampung

32,61

20%

39,00

Depok
Semarang
Yogyakarta
Surabaya
Pontianak
Balikpapan
Samarinda
Gorontalo

84,15

143,00
34,80
498,60
15,36
52,68
17,08
3,89

22%
13%
27%
15%
-4%
8%
33%
-7%

102,80
161,30
44,10

571,10
14,70
56,67
22,74
3,60

6,36

15%

7,31

Deli Serdang
Bogor
Sukoharjo
Sidoarjo
Gresik

58,24
139,00

108,85
106,85
59,49

40%
2%
-77%
4%
3%

81,60
141,10
25,08
111,30
61,50

Total

1660,38


11%

1836,04

Palu

Sumber: Data olahan Ditjen Pajak Kementrian Keuangan dalam Slamet (2013)

Dalam proses pembaharuan isu desentralisasi, UU No. 33 Tahun 2004
memaparkan sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah terdiri
atas pendapatan asli daerah (PAD), dana Perimbangan (Transfer), dan lain-lain
pendapatan yang sah (PPb). PAD terdiri dari komponen pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah. Dana Transfer merupakan pendanaan daerah
yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Adapun klasifikasi
pengeluaran pemerintah yang digunakan baik pemerintah pusat maupun daerah
terdiri dari dua pengeluaran: (1) Belanja operasional adalah belanja untuk
pemeliharaan atau penyelanggaraan pemerintah sehari-hari. Belanja operasional
ini merupakan perkembangan istilah yang bersumber pada ICW (Indische

Comptabiliteit-Wet Staatsblad 1923 Nomor 448) belanja operasional ini terdiri
dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan dan belanja

2

perjalanan. (2) Belanja modal adalah pengeluaran untuk pembangunan baik
pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, gedung, maupun pembangunan non
fisik spiritual termasuk penataran, training.
Pemerintah Indonesia yang menganut prinsip keseimbangan fiskal
menyakini bahwa peningkatan belanja daerah akan meningkatkan pendapatan
pajak daerah dan sebaliknya (Junaidi, 2012). Hal ini mengacu pada asumsi
rasionalitas penuh yang dikemukakan oleh Coleman tahun 1990. Model
keuangan yang dikembangkan mengasumsikan bahwa perilaku ekonomi
bertindak secara purposif menuju tujuan, dengan tujuan yang dibentuk oleh
nilai-nilai atau preferensi. Namun, pendekatan ini tidak mempertimbangkan
darimana sumber daya diperoleh sehingga model ini melihat darimana sumber
daya atau sumber pendapatan seharusnya tidak mempengaruhi bagaimana
pendapatan itu akan dibelanjakan.
Dalam konteks keuangan daerah, seluruh pos pendapatan daerah (PAD,
Transfer, PPb) diperlakukan dengan sama pada proposi tertentu dimana

kesemuanya akan dimanfaatkan untuk membiayai belanja pemerintah. Dalam
hal terjadi peningkatan belanja, maka diasumsikan setiap pos pendapatan
daerah juga naik secara proporsional, begitu pula sebaliknya. Namun, ada bukti
kuat bahwa dalam penyelenggaraan Pemda memperlakukan sumber
pendapatannya secara berbeda. Bukti-bukti empiris secara internasional
menunjukkan bahwa tingginya ketergantungan pada Dana Transfer (DAU dan
DBH) ternyata berhubungan negatif dengan hasil pemerintahannya (PAD)
(Mello dan Barenstrein, 2001). Hal ini berarti pemerintah daerah akan lebih
berhati-hati dalam menggunakan dana yang digali dari masyarakat sendiri
daripada dana transfer yang diterima dari pusat. Bukti empiris yang
menunjukan respon pemerintah daerah untuk transfer dan pendapatan sendiri
(pajak) telah banyak dibahas oleh beberapa peneliti seperti Barnett (1991),
Stine (1994), Gamkhar and Oates (1996), Bruno and Frank (1998), Deller dan
Maher (2005). Hasil analisisnya tidak jauh berbeda, dimana pengeluaran
pemerintah lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dari transfer
daripada perubahan dari pendapatan asli daerahnya. Ketika respon (belanja)
daerah lebih besar terhadap transfer, maka disebut flypaper effect.
Oleh karena fenomena ini tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan
rasional penuh, Hines dan Thaler (1995) menyarankan untuk menjelaskan
flypaper effect dalam hal mental accounting dimana juga dapat menjelaskan

penyimpangan terkait di bidang perpajakan. mental accounting merupakan
sebuah fenomena keuangan berbasis perilaku (behavioral finance) yg pertama
kali digagas oleh Richard Thaler (1980), profesor school of business Chicago.
Menurutnya, seseorang menciptakan suatu sistem mental akuntasi yang
menyerupai cara organisasi menciptakan sistem akuntasi untuk mengorganisasi
dan mengelola keputusan keuangannya. Mental accounting menunjuk pada
perilaku atau cara berpikir seseorang yang memiliki kecenderungan untuk
mengelompokkan dan memberlakukan uang secara berbeda antara lain
tergantung dari mana uang tersebut berasal. Ishakawa dan Ueda (1984)
memberi bukti empirik di Jepang bahwa terdapat perbedaan marginal

3

propensity to consume (MPC) antara pendapatan yang berasal dari gaji reguler
dengan yang berasal dari bonus. Mental accounting ini pada awalnya diarahkan
untuk menjelaskan perilaku konsumen (Thaller, 1985; 2008) tetapi kemudian
sangat berpengaruh di berbagai pembahasan perilaku ekonomi yang lain seperti
tabungan, kredit dan manajemen hutang (Prelec & Loewenstein, 1998; Okada,
2001; Soman dan Chema, 2002) dan perilaku investor di pasar modal (Odean
1998; Lim, 2006).

Meskipun teori mental accounting dikembangkan untuk menjelaskan
bagaimana individu dan rumah tangga dalam mengambil keputusan keuangan,
untuk beberapa hal penulis percaya bahwa teori ini dapat diterapkan pada aras
kelembagaan seperti Pemda. Konsep mental accounting mengacu pada cara di
mana individu dan rumah tangga, mencatat, meringkas, menganalisis dan
melaporkan hasil transaksi dan kejadian keuangan lainnya (Thaler, 1998).
Sebuah komponen penting dari mental accounting yang melibatkan
kategorisasi: pengeluaran dan dana dikelompokkan ke dalam kategori yang
tidak subtitutes sempurna, sehingga melanggar asumsi kesepadanan
(fungibility) yang mendasari teori pilihan rasional. Tergantung pada asalusulnya, pendapatan dihabiskan dengan lebih mudah atau lebih ketat atas
penghasilan yang didapatkan. Seperti perusahaan dan individu, pemerintah juga
memperoleh pendapatan dari sumber yang berbeda. Penerapan konsep mental
accounting menunjukkan bahwa sifat sumber mempengaruhi penggunaannya.
Pemerintah memperlakukan Transfer, PPb dan PAD dengan berbeda {Bruno
and Frank, 1998}.
Penelitian ini memaparkan fenomena flypaper effect dalam hal mental
accounting dimana penelitian serupa pernah dilakukan oleh Bruno and Frank
(1998) di Pemerintah Daerah Flemish, tetapi dengan konteks dan objek
penelitian yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Bruno dan Frank
(1998) menganalisa respon dari pemerintah daerah Flemish atas tambahan
rezeki yang berasal dari tiga sumber yang berbeda, yakni hibah, pajak dan
hutang. Dalam penelitian tersebut, pendapatan daerah mengalami kenaikan
secara signifikan secara jumlah dan menyebabkan pemerintah daerah
menentukan titik referensi baru dalam pengalokasian pendapatan tersebut ke
dalam pos belanja operasional dan belanja modal. Dalam konteks penelitian ini,
pengalihan PBB-P2 yang semula merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah
menyebabkan pergeseran pos atas PBB-P2 yang semula sebagai Dana Bagi
Hasil (Transfer) menjadi PAD. Namun, hal itu tidak mempengaruhi jumlah
pendapatan pemda secara signifikan. Hal ini menjadi daya tarik penulis untuk
menganalisa secara empiris fenomena ini. Sehingga, penelitian ini bertujuan
untuk menguji perilaku mental accounting pada pengalokasian anggaran di
Pemda berdasarkan sumbernya. Adanya perubahan porsi pos-pos pendapatan
pemerintah merupakan sebuah kesempatan dalam menganalisa apakah PBB-P2
akan tetap diperlakukan sebagai dana Transfer ataukah akan diperlakukan
sebagaimana perlakuan terhadap PAD pada Pemda di Indonesia?

4

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Budaya sebagai Instrumen Pembangunan Daerah T2 092013011 BAB I

0 1 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Realitas Mental Accounting: studi Pada Perlakuan Pendapatan Pemerintah Daerah Atas Pbb-P2 T2 932012003 BAB II

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Realitas Mental Accounting: studi Pada Perlakuan Pendapatan Pemerintah Daerah Atas Pbb-P2 T2 932012003 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Realitas Mental Accounting: studi Pada Perlakuan Pendapatan Pemerintah Daerah Atas Pbb-P2 T2 932012003 BAB V

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Realitas Mental Accounting: studi Pada Perlakuan Pendapatan Pemerintah Daerah Atas Pbb-P2

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Realitas Mental Accounting: studi Pada Perlakuan Pendapatan Pemerintah Daerah Atas Pbb-P2

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak atas Nama Domain Internet di Indonesia T2 322010011 BAB I

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB I

0 1 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mental Accounting : Perilaku Boros Versus Self-Control T2 912010008 BAB I

0 0 8

T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Transmigrasi Lokal Pemerintah Provinsi Papua T2 BAB I

0 0 22