Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Harga Diri pada Klien Pasca Gagal Ginjal Kronik T1 462012013 BAB I

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang berfungsi untuk memperlancarkan darah dari zat toksin dan berbagai zat sisa metabolisme tubuh yang tidak diperlukan. Selain itu, ginjal juga berfungsi mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, mengatur keseimbangan asam basa, mempertahankan volume dan tekanan darah, mensekresikan hormon, dan berperan serta dalam proses glukoneogenesis. Adanya jejas (injuri) awal pada ginjal akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis berupa hematuria yang asimtomatik hingga kerusakan ginjal yang membutuhkan dialisis (Dharmeizar, 2012).

Penyakit gagal ginjal kronik adalah penyakit yang sangat menakutkan dan mematikan bagi setiap orang. Penyakit gagal ginjal kronik tidak menular tetapi dapat menyerang siapa saja dan tidak memandang usia. Penyakit gagal ginjal kronik bisa terjadi pada anak-anak, orang dewasa dan usia lanjut. Ketika seseorang divonis gagal ginjal kronik oleh medis, itu berarti bahwa penderita hanya mempunyai dua pilihan dalam melangsungkan kehidupannya. Ada dua cara untuk penyakit gagal ginjal kronik yaitu pertama melalui cangkok ginjal dan yang kedua yaitu hemodialisa (cuci darah) (Deswani, 2009).

Namun yang terjadi di lapangan tidak begitu banyak yang melakukan cangkok ginjal mengingat biaya yang sangat mahal dan


(2)

2

juga proses yang begitu lama dan sulit, sehingga kebanyakan yang terkena penyakit gagal ginjal kronik melakukan pilihan yang kedua, yaitu hemodialisa (cuci darah). Hemodialisa bukanlah untuk kesembuhan penyakit gagal ginjal kronik tetapi hanya untuk melangsungkan hidup (Deswani, 2009).

Penyakit gagal ginjal kronik menjadi suatu fenomena di negara maju dan negara berkembang. Di Indonesia penyakit gagal ginjal kronik merupakan masalah yang besar. Penyakit gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Center for Disease Control and Prevention and Health Promotion (CDC) memperkirakan bahwa dalam rentang tahun 1999 - 2010 terdapat lebih dari 10% 2 penduduk dewasa di Amerika Serikat atau kurang lebih 20 juta orang yang menderita penyakit ginjal kronis dengan berbagai tingkat keparahan (CDC, 2014). Laporan USRDS (The United States Renal Data System) tahun 2013 menunjukkan angka prevalensi penderita penyakit ginjal kronis tahap akhir pada tahun 2011 di Amerika Serikat sebesar 1.924 per 1 juta penduduk, di Singapura sebesar 1.661 per 1 juta penduduk, dan di Jepang sebesar 2.309 per 1 juta penduduk per tahun (USRDS, 2013). Pada tahun 2009 berdasarkan survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia diperoleh hasil bahwa 12,5% populasi penduduk dewasa di Indonesia atau sekitar 25 juta orang sudah mengalami penurunan fungsi ginjal (Dharmeizar, 2012). Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2006


(3)

3

sekitar 80.000 penduduk Indonesia menderita penyakit ginjal tahap akhir (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Prevalensi pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani terapi pengganti ginjal terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 di Amerika Serikat terdapat sekitar 113.136 pasien yang mulai menjalani terapi untuk penyakit ginjal kronik (CDC, 2014). Adapun di Indonesia pasien yang menjalani hemodialisis pada tahun 2002 mencapai 10,2 per 1 juta penduduk dan meningkat menjadi 23,4 per 1 juta penduduk pada tahun 2006 (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). PERNEFRI melaporkan bahwa terdapat peningkatan tindakan hemodialisis pada tahun 2011 yang mencapai 309.017 tindakan, sedangkan pada tahun 2007 sekitar 104.211 tindakan. Selain itu juga terdapat peningkatan jumlah pasien baru pada tahun 2010 sebanyak 9.649 orang sedangkan pada tahun 2007 sebanyak 4977 orang. Hal ini 3 menunjukkan terdapat peningkatan dua kali lipat pada pasien yang menjalani hemodialisis (Lestariningsih, 2012).

Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2010). Secara umum dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh menurunnya fungsi renal secara progresif irreversibel


(4)

4

dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Prevalensi penderita gagal ginjal kronik di Indonesia terbilang tinggi. Susalit (2012) mengatakan bahwa, jumlah penderita gagal ginjal kronik di Indonesia saat ini terbilang tinggi, mencapai 300.000 orang tetapi belum semua pasien dapat tertangani oleh para tenaga medis dan baru sekitar 25.000 orang pasien yang di tangani artinya ada 80% pasien tidak tersentuh pengobatan sama sekali. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 menunjukan pervalensi gagal ginjal kronik berdasarkan diagnosa dokter di Indonesia sekitar 0,2% pervalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sekitar 0,5% diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah yogyakarta, dan Jawa Timur masing-masing 0,3% (Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional Perhimpunan Perawat Ginjal Intensif Indonesia, PPGIIDIY, 2010). Pengobatan bagi penderita gagal ginjal kronik tahap akhir, di lakukan dengan pemberian terapi dialisis seperti hemodialisa atau transplatasi ginjal yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas hidup pasien (Brunner& Suddarth, 2012). Keadaan ketergantungan terhadap tindakan medis ini dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien gagal ginjal kronik.


(5)

5

Perubahan yang akan terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa diantaranya penyakit jantung, vaskuler, tulang dan penyakit endokrin. Perubahan lain yang dialami pasien adalah gangguan tidur, perubahan nafsu makan dan berat badan, xerostomia, konstipasi dan penurunan keinginan seksual (Arslan & Ege, 2009). Perubahan psikososial diantaranya stress psikologis dan stress fisiologis juga dapat menimbulkan perubahan penurunan fungsi seksual pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa (Pezeshki & Ghazizadeh, 2008). Perubahan yang di alami pada pasien hemodialisa, juga dirasakan oleh keluarga yaitu perubahan gaya hidup. Keluarga dan lingkungan masyarakat melihat pasien sebagai orang yang mempunyai keterbatasan dalam kehidupanya karena hemodialisa (cuci darah) akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan mengurangi aktivitas sehari-hari. Pasien akan menghadapi masalah keuangan, kesulitan dalam mempertahankan aktivitas, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, khawatir terhadap perkawinan pada usianya yang masih produktif, dan ketakutan terhadap kematian (Bare & Smeltzer, 2011).

Harga diri merupakan kebutuhan setiap manusia. Harga diri merupakan kebutuhan keempat dari hirarki manusia dan harus terpenuhi (Maslow, 1970). Jika kebutuhan harga diri ini tidak terpenuhi, maka kebutuhan selanjutnya yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri tidak akan terpenuhi. Harga diri juga merupakan satu aspek kepribadian


(6)

6

yang mempunyai peran penting dalam kehidupan dan sangat berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu, sehingga jika harga diri tidak terpenuhi, maka dapat menyebabkan munculnya masalah atau terjadi penyimpangan perilaku pada individu tersebut (Nenoliu, 2005). Harga diri adalah cara individu melihat dirinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual. Termasuk didalamnya adalah persepsi individu tentang potensi yang dimilikinya, interaksi dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan objek dan pengalaman, serta tujuan, harapan dan keinginan (Sunaryo, 2004).

Menurut Fitts (Agustiani, 2006) harga diri berpengaruh kuat pada tingkah laku seseorang. Konsep diri yang positif akan menghasilkan penilaian diri yang positif yang akan menghasilkan bentuk-bentuk tingkah laku yang positif pula. Tingkah laku yang positif akan dapat mengurangi sifat rendah diri, takut, kecemasan yang berlebihan dan sebagainya. Orang yang memiliki harga diri yang positif berarti memiliki penerimaan diri dan harga diri yang positif pula. Mereka menganggap dirinya berharga dan cenderung menerima diri sendiri sebagaimana adanya. Sebaliknya, orang yang memiliki harga diri negatif akan menunjukkan penerimaan diri yang negatif pula. Mereka memiliki perasaan kurang berharga, yang menyebabkan perasaan benci atau penolakan terhadap diri sendiri.


(7)

7

Lebih lanjut Bonet (1996) menjelaskan bahwa jika individu tidak dapat menghargai apa yang berharga di dalam dirinya, tidak dapat mengenali dan menerima kemampuan serta talenta yang dimiliki, individu tersebut tidak akan mampu menerima keterbatasan dirinya dengan hati yang tenang dan individu yang bersangkutan akan menjadi korban dari ketidaknyamanan dan ketidakpercayaan diri. Hal ini akan menyulitkan individu untuk menghadapi dan memecahkan segala macam persoalan dalam kehidupannya. Selain itu, akan tampak mustahil bagi individu tersebut untuk mencoba proyek yang penuh resiko atau melakukan suatu aktivitas yang melebihi kemampuannya. Demikian pentingnya individu untuk menghargai dan menerima dirinya, hingga Rosenberg, Schooler dan Schoenbach (dalam Royani, 2009) menyatakan bahwa harga diri merupakan motif manusia yang paling fundamental.

Coopersmith (dalam Santoso, 2007) menyatakan bahwa individu dengan harga diri tinggi menampakkan perilaku yang tenang sebagai manifestasi dari keseimbangan aspek kepribadian, percaya diri, jujur dan terbuka, serta tidak mengalami kesulitan dalam menjalin komunikasi dengan orang lain dan situasi yang baru dijumpainya. Harga diri berkaitan dengan cara pandang orang mendekati kehidupan mereka. Mereka yang menilai dirinya positif cenderung untuk bahagia dan dapat menyesuaikan diri. Sebaliknya, mereka yang menilai dirinya negatif secara relatif tidak sehat, cemas dan pesimis tentang


(8)

8

kehidupannya dan mudah atau cenderung gagal (Dayakisni, 2003). Harga diri yang rendah menyebabkan harapan seseorang menjadi rendah dan akan memperburuk kinerja, sehingga menguatkan dugaan bahwa dirinya memang buruk (Field, 2003).

Selain itu pandangan keluarga dan orang di sekitar tentang keterbatasan harapan hidup menyebabkan pasien mempunyai perasaan negatif yang menyebabkan harga diri menjadi rendah (Brunner & Suddarth, 2002). Sukarja, (2008) di dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasien gagal ginjal kronik dengan perubahan fungsi tubuh memiliki kecenderungan harga diri rendah, timbul perasaan tidak berguna, mudah tersinggung, merasa dikritik orang lain dan selalu merasa tidak percaya dirinya sendiri. Penelitian ini menyatakan suatu sikap yang berupa penerimaan atau penolakan dan menunjukan seberapa besar individu itu percaya dirinya mampu, berarti, berhasil dan berharga (Susanto, 2009).

Adanya dukungan sosial yang sangat penting agar dapat membangkitkan dan menyadarkan klien untuk pentingnya memiliki harga diri yang tinggi didalam keadaan sesulit apapun masalah fisik dan kesehatan kita sehingga klien bisa berbagi walaupun dengan keadaan sakit sekalipun serta lingkungan dan keluarga bisa memberikan support bagi klien tersebut agar supaya tetap tegar, ceria dan semangat dalam menghadapi masalah ataupun sakit yang dideritanya tanpa harus kehilangan atau memiliki harga diri yang


(9)

9

rendah. Adanya perbedaan fisik atau kesehatan yang terjadi pada diri seseorang dapat menyebabkan syok ataupun perubahan pada diri klien. Tingkah lakunya misalnya menangis, apatis, menarik diri, dan marah dan juga ekspresi perasaannya (misalnya ketakutan, tak berdaya, depresi) akan menunjukan bagaimana cara klien menghadapi permasalahan yang ada pada dirinya dan menjalani proses bersedih. Salah satu aspek yang memiliki peran yang cukup signifikan dalam rangka pemulihan kehidupan klien bermula dari diri dan juga perilakunya sendiri (Bastaman, 2008).

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana harga diri pada klien pasca gagal ginjal kronik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang dapat penulis ajukan dalam penulisan ini antara lain :

1.2.1 Bagaimana aspek-aspek harga diri pada klien pasca gagal ginjal kronik.

1.2.2 Mengetahui harga diri pada klien pasca gagal ginjal kronik


(10)

10

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran harga diri pada klien pasca gagal ginjal kronik.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis

Walaupun penelitian dilakukan hanya beberapa waktu yang tidak cukup lama, tetapi dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sedikit informasi dan

sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya dibidang Keterampilan Dasar Dalam Keperawatan dan Psikologi Dalam Keperawatan.

1.4.2 Praktis

1.4.2.1 Bagi peneliti

Menambah pengetahuan peneliti dan dapat menjadi sumber informasi bagi peneliti lainnya.

1.4.2.2 Bagi tenaga kesehatan

Memberikan masukan agar dalam melayani klien pasca gagal ginjal kronik diharapkan supaya berfokus pada kebutuhan holistik serta memberikan masukan yang dapat membangun harga diri klien dari klien.


(11)

11

1.4.2.3 Bagi keluarga yang mendampingi klien pasca gagal ginjal kronik

Diharapkan agar supaya keluarga harus mampu menjadi sumber inspirasi, motivasi juga dorongan di dalam keseharian klien dan dapat memberikan masukan-masukan yang membangun harga diri klien pasca gagal ginjal kronik dalam menjalani hidunya.


(1)

6

yang mempunyai peran penting dalam kehidupan dan sangat berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu, sehingga jika harga diri tidak terpenuhi, maka dapat menyebabkan munculnya masalah atau terjadi penyimpangan perilaku pada individu tersebut (Nenoliu, 2005). Harga diri adalah cara individu melihat dirinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual. Termasuk didalamnya adalah persepsi individu tentang potensi yang dimilikinya, interaksi dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan objek dan pengalaman, serta tujuan, harapan dan keinginan (Sunaryo, 2004).

Menurut Fitts (Agustiani, 2006) harga diri berpengaruh kuat pada tingkah laku seseorang. Konsep diri yang positif akan menghasilkan penilaian diri yang positif yang akan menghasilkan bentuk-bentuk tingkah laku yang positif pula. Tingkah laku yang positif akan dapat mengurangi sifat rendah diri, takut, kecemasan yang berlebihan dan sebagainya. Orang yang memiliki harga diri yang positif berarti memiliki penerimaan diri dan harga diri yang positif pula. Mereka menganggap dirinya berharga dan cenderung menerima diri sendiri sebagaimana adanya. Sebaliknya, orang yang memiliki harga diri negatif akan menunjukkan penerimaan diri yang negatif pula. Mereka memiliki perasaan kurang berharga, yang menyebabkan perasaan benci atau penolakan terhadap diri sendiri.


(2)

7

Lebih lanjut Bonet (1996) menjelaskan bahwa jika individu tidak dapat menghargai apa yang berharga di dalam dirinya, tidak dapat mengenali dan menerima kemampuan serta talenta yang dimiliki, individu tersebut tidak akan mampu menerima keterbatasan dirinya dengan hati yang tenang dan individu yang bersangkutan akan menjadi korban dari ketidaknyamanan dan ketidakpercayaan diri. Hal ini akan menyulitkan individu untuk menghadapi dan memecahkan segala macam persoalan dalam kehidupannya. Selain itu, akan tampak mustahil bagi individu tersebut untuk mencoba proyek yang penuh resiko atau melakukan suatu aktivitas yang melebihi kemampuannya. Demikian pentingnya individu untuk menghargai dan menerima dirinya, hingga Rosenberg, Schooler dan Schoenbach (dalam Royani, 2009) menyatakan bahwa harga diri merupakan motif manusia yang paling fundamental.

Coopersmith (dalam Santoso, 2007) menyatakan bahwa individu dengan harga diri tinggi menampakkan perilaku yang tenang sebagai manifestasi dari keseimbangan aspek kepribadian, percaya diri, jujur dan terbuka, serta tidak mengalami kesulitan dalam menjalin komunikasi dengan orang lain dan situasi yang baru dijumpainya. Harga diri berkaitan dengan cara pandang orang mendekati kehidupan mereka. Mereka yang menilai dirinya positif cenderung untuk bahagia dan dapat menyesuaikan diri. Sebaliknya, mereka yang menilai dirinya negatif secara relatif tidak sehat, cemas dan pesimis tentang


(3)

8

kehidupannya dan mudah atau cenderung gagal (Dayakisni, 2003). Harga diri yang rendah menyebabkan harapan seseorang menjadi rendah dan akan memperburuk kinerja, sehingga menguatkan dugaan bahwa dirinya memang buruk (Field, 2003).

Selain itu pandangan keluarga dan orang di sekitar tentang keterbatasan harapan hidup menyebabkan pasien mempunyai perasaan negatif yang menyebabkan harga diri menjadi rendah (Brunner & Suddarth, 2002). Sukarja, (2008) di dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasien gagal ginjal kronik dengan perubahan fungsi tubuh memiliki kecenderungan harga diri rendah, timbul perasaan tidak berguna, mudah tersinggung, merasa dikritik orang lain dan selalu merasa tidak percaya dirinya sendiri. Penelitian ini menyatakan suatu sikap yang berupa penerimaan atau penolakan dan menunjukan seberapa besar individu itu percaya dirinya mampu, berarti, berhasil dan berharga (Susanto, 2009).

Adanya dukungan sosial yang sangat penting agar dapat membangkitkan dan menyadarkan klien untuk pentingnya memiliki harga diri yang tinggi didalam keadaan sesulit apapun masalah fisik dan kesehatan kita sehingga klien bisa berbagi walaupun dengan keadaan sakit sekalipun serta lingkungan dan keluarga bisa memberikan support bagi klien tersebut agar supaya tetap tegar, ceria dan semangat dalam menghadapi masalah ataupun sakit yang dideritanya tanpa harus kehilangan atau memiliki harga diri yang


(4)

9

rendah. Adanya perbedaan fisik atau kesehatan yang terjadi pada diri seseorang dapat menyebabkan syok ataupun perubahan pada diri klien. Tingkah lakunya misalnya menangis, apatis, menarik diri, dan marah dan juga ekspresi perasaannya (misalnya ketakutan, tak berdaya, depresi) akan menunjukan bagaimana cara klien menghadapi permasalahan yang ada pada dirinya dan menjalani proses bersedih. Salah satu aspek yang memiliki peran yang cukup signifikan dalam rangka pemulihan kehidupan klien bermula dari diri dan juga perilakunya sendiri (Bastaman, 2008).

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana harga diri pada klien pasca gagal ginjal kronik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang dapat penulis ajukan dalam penulisan ini antara lain :

1.2.1 Bagaimana aspek-aspek harga diri pada klien pasca gagal ginjal kronik.

1.2.2 Mengetahui harga diri pada klien pasca gagal ginjal kronik


(5)

10

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran harga diri pada klien pasca gagal ginjal kronik.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis

Walaupun penelitian dilakukan hanya beberapa waktu yang tidak cukup lama, tetapi dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sedikit informasi dan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang Keterampilan Dasar Dalam Keperawatan dan Psikologi Dalam Keperawatan.

1.4.2 Praktis

1.4.2.1 Bagi peneliti

Menambah pengetahuan peneliti dan dapat menjadi sumber informasi bagi peneliti lainnya.

1.4.2.2 Bagi tenaga kesehatan

Memberikan masukan agar dalam melayani klien pasca gagal ginjal kronik diharapkan supaya berfokus pada kebutuhan holistik serta memberikan masukan yang dapat membangun harga diri klien dari klien.


(6)

11

1.4.2.3 Bagi keluarga yang mendampingi klien pasca gagal ginjal kronik

Diharapkan agar supaya keluarga harus mampu menjadi sumber inspirasi, motivasi juga dorongan di dalam keseharian klien dan dapat memberikan masukan-masukan yang membangun harga diri klien pasca gagal ginjal kronik dalam menjalani hidunya.