Gambaran Penggunaan Antihipertensi Pada PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan: Permasalahan Terkait Obat

(1)

GAMBARAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN: PERMASALAHAN TERKAIT OBAT

SKRIPSI

OLEH:

BAHARUDDIN J.E.A. T

NIM 081524026

PROGARAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

GAMBARAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN: PERMASALAHAN TERKAIT OBAT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

BAHARUDDIN J.E.A. T

NIM 081524026

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SIKRPSI

GAMBARAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN: PERMASALAHAN TERKAIT OBAT

OLEH:

BAHARUDDIN J.E.A. T NIM 081524026

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal :...2011

er 2010

Pembimbing I, Panitia penguji,

Dra. Azizah Nasution, M. Sc., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.

NIP 195503121983032001 NIP 195301011983031004

Pembimbing II,

NIP 195503121983032001

Dra. Azizah Nasution, M. Sc., Apt.

NIP 19620501992032002 Dra. Yusmainita, Sp. FRS., Apt.

NIP 195110251980021001 Drs. Wiryanto, M. S., Apt.

NIP 195208241983031001

Drs. Saiful Bahri, M. S., Apt.

Medan Pebruari 2011 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Nip 195311281983031002 Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaiakan skripsi ini.

Dalam penyelesaiain skripsi ini, penulis banyak menerima petunjuk dan nasehat dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Azizah Nasution, M. Sc., Apt., selaku dosen pembimbing I atas semua waktu, bimbingan dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Yusmainita, Sp. FRS., Apt., selaku dosen pembimbing II atas semua waktu, bimbingan dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

4. Bapak drg. Armand P. Daulay, M. Kes. selaku Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan beserta staf yang telah memberi izin penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan.

5. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., Ibu Dra. Azizah Nasution, M. Sc., Apt., Bapak Drs. Saiful Bahri, M. S., Apt., dan Bapak Drs. Wiryanto, M. S., Apt., sebagai tim penguji yang sangat banyak memberikan masukan dan saran atas skripsi ini.

6. Ibu Dr. Marline Nainggolan, M. S., Apt., selaku penasehat akademik serta seluruf staf pengajar Fakultas Farmasi atas arahan, bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis selama duduk dibangku perkuliahan.

7. Rekan-rekan mahasiswa farmasi ekstensi stambuk 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, atas segala bantuan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelisaikan skripsi ini.


(5)

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan pahala atas bantuan yang telah diberikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat menyempurnakan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini berguna bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.

Medan, Pebruarai 2011 Penulis,


(6)

GAMBARAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN: PERMASALAHAN TERKAIT OBAT

ABSTRAK

Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu proses fatofisiologi dengan etiologi yang beragam yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal. Hipertensi merupakan salah satu faktor etiologi gagal ginjal. Di Indonesia pada tahun 2006

Hasil penelitian menujukkan bahwa antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah golongan diuretik yaitu sebesar 73%. Kombinasi antihipertensi yang paling sering diberikan adalah diuretik dan ACE-I yaitu sebesar 33%. Regimen dosis antihipertensi sudah sesuai dengan yang direkomendasikan untuk pasien GGK. Namun, karena pasien juga menderita penyakit penyerta lainnya, ditemukan adanya interaksi obat yang mengakibatkan hanya 14% dari pasien saat dirawat di rumah sakit yang mencapai target tekanan darah (130/80 mmHg). Interaksi yang paling sering terjadi adalah antara captopril dan diltiazem dengan obat-obat AINS.

prevalensi GGK berkisar 100-250/1 juta penduduk. Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui antihipertensi yang digunakan, ketepatan regimen dosis, dan interaksi dengan obat lain yang dapat menurunkan efektivitas antihipertensi yang diberikan kepada pasien GGK. Sebanyak 63 rekam medik pasien GGK yang diberi antihipertensi dijadikan sebagai sampel.


(7)

Overview of Antihypertensive Drug Use in Patients with Chronic Kidney Disease in Haji Adam Malik Hospital Medan: Drug-related Problems

ABSTRACT

Chronic kidney disease (CKD) is a pathophysiologic process with a diverse etiology that leads to reduced kidney function. Hypertension is one of the etiologic factors of kidney failure. In Indonesia, the prevalence of CKD in 2006 ranged 100-250/1 million people. This retrospective study aims to determine the patterns of use, regimen accuracy, and interactions of antihypertensive drugs provided to patients with CKD. A total of 63 medical records of patients with CKD who were given antihypertensive drugs were used as samples.

The results showed that the most widely provided antihypertensive drugs was diuretics which reached 73%. The most frequently combined antihypertensive durgs were diuretic and ACE-I which reached 33%. Antihypertensive dosage regimens were in accordance with those that recommended for patients with CKD. However, because patients also suffered from other comorbidities, drug-drug interactions were also occured which in turn resulted in only 14% of the samples that reached the target blood pressure (130/80 mmHg). The most frequently drud interactions occured were between captopril and diltiazem.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL... ... ...i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 3

1.3 Perumusan Masalah ... 3

1.4 Hipotesis ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... ...5

2.1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ... 5

2.2 Rekam Medik ... 5

2.3 Petunjuk Pelaksanaan Jaminan Kesehatan (JAMKESMAS) ... 6

2.3.1 Pengertian ... 6

2.3.2 Tujuan dan Sasaran ... 7


(9)

2.3.2.2 Sasaran ... 7

2.4 Permasalahan Terkait Obat ... 7

2.5 Ginjal ... 10

2.5.1 Anatomi Ginjal ... 10

2.5.2 Fungsi Ginjal ... 14

2.6 Tinjauan Tentang Penyakit Ginjal ... 14

2.6.1 Gagal Ginjal Akut ... 14

2.6.2 Gagal Ginjal Kronik ... 15

2.6.2.1 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik ... 15

2.6.2.2 Etiologi Gagal Ginjal Kronik ... 16

2.6.2.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik ... 16

2.6.2.4 Penilaian Terhadap Fungsi Ginjal ... 17

2.7 Tinjauan Tentang Hipertensi ... 19

2.7.1 Tekanan Darah ... 19

2.7.2 Klasifikasi Hipertensi ... 19

2.8 Tinjauan Tentang Antihipertensi ... 20

2.8.1 Diuretik ... 21

2.8.1.1 Golongan Tiazid ... 21

2.8.1.2 Diuretik Kuat (Loop diuretic) ... 22

2.8.1.3 Diuretik Hemat Kalium ... 23

2.8.2 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) ... 23

2.8.3 Angiotensin II Antagonis/ Angoitensin Receptor Blocker (ARB) ... 24

2.8.4 β-blocker ... 25

2.8.5 Kalsium Antagonis/Calsium Channel Blockers (CCBs) ... 25


(10)

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 27

3.1.2 Waktu Penelitian ... 28

3.2 Sampel ... 28

3.3 Data Penelitian ... 28

3.4 Langkah Penelitian... 29

BAB IV HASIL DAN PENBAHASAN ... 31

4.1 Demogarafi Pasien ...31

4.2 Penggunaan Antihipertensi... 33

4.3 Efektifitas Penggunaan Antihipertensi pada Pasien GGK ... 42

4.4 Interaksi Obat ... 43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

4.1 Kesimpulan ... 45

4.2 Saran... 45

Daftar pustaka ... 46


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman Tabel II.1 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisa

di Indonesia ... 16

Tabel II.2 Klasifikasi GGK atas Dasar Penyakit ... 16

Tabel II.3 Klasifikasi Tekanan Darah...20

Tabel IV.1 Biografi Pasien GGK ... ...31

Tabel IV.2 Distribusi Penggunaan Antihipertensi pada Pasien GGK Berdasarkan Golongan ... 34

Tabel IV.3 Distribusi Penggunaan Antihipertensi pada Pasien GGK Berdasarkan macam/Jenis ... 35

Tabel IV.4 Distribusi Penggunaan Antihipertensi Tunggal dan Kombinasi pada Pasien GGK... 39

Tabel IV.5 Dosis Captopril yang Diberikan pada Pasien GGK Dibandingkan dengan Dosis yang Direkomendasikan ... 41

Tabel IV.6 Dosis Lisinopril yang Diberikan pada Pasien GGK Dibandingkan dengan Dosis yang Direkomendasikan ... 41

Tabel IV.7 Dosis Bisoprolol yang Diberikan pada Pasien GGK Dibandingkan dengan Dosis yang Direkomendasikan ... 42


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1.1 Skema Kerangka Pikir Penelitian Gambaran Penggunaan Antihipertensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUP H. Adam Malik Medan:

Permasalahan Terkait Obat ...3

Gambar 2.1 Potongan Membujur Ginjal...10

Gambar 2.2 Nefron...13

Gambar 2.1 Algoritme Pengobatan Hipertensi pada Pasien GGK...21

Gambar 4.1 Distribusi Pasien GGK Berdasarkan Kelompok Usia ... 32

Gambar 4.2 Distribusi Pasien Berdasarkan Stadium GGK ...33

Gambar 4.3 Distribusi Penggunaan Antihipertensi pada Pasien GGK Berdasarkan Golongan ... 34

Gambar 4.4 Penggunaan Antihipertensi Tunggal dan Kombinasi pada Pasien GGK ... 40


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Gambar Halaman

Lampiran 1 Lembar Pengumpul Data ... 48 Lampiran 2 Petunjuk Pelaksanaan Pengisian

Lembar Pengumpul data ... 50 Lampiran 3 Contoh Perhitungan Penyesuaian Dosis Antihipertensi

pada pasien GGK ... 53 Lampiran 4 Perubahan Tekanan Darah Pasien GGK

Selama Terapi di Rumah Sakit ... 56 Lampiran 5 Perubahan Tekanan Darah Pasien GGK Selama

Terapi di Rumah Sakit yang Mencapai Target ... 74

Lampiran 6 Interaksi dengan Obat lain yang Dapat Menurunkan


(14)

GAMBARAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN: PERMASALAHAN TERKAIT OBAT

ABSTRAK

Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu proses fatofisiologi dengan etiologi yang beragam yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal. Hipertensi merupakan salah satu faktor etiologi gagal ginjal. Di Indonesia pada tahun 2006

Hasil penelitian menujukkan bahwa antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah golongan diuretik yaitu sebesar 73%. Kombinasi antihipertensi yang paling sering diberikan adalah diuretik dan ACE-I yaitu sebesar 33%. Regimen dosis antihipertensi sudah sesuai dengan yang direkomendasikan untuk pasien GGK. Namun, karena pasien juga menderita penyakit penyerta lainnya, ditemukan adanya interaksi obat yang mengakibatkan hanya 14% dari pasien saat dirawat di rumah sakit yang mencapai target tekanan darah (130/80 mmHg). Interaksi yang paling sering terjadi adalah antara captopril dan diltiazem dengan obat-obat AINS.

prevalensi GGK berkisar 100-250/1 juta penduduk. Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui antihipertensi yang digunakan, ketepatan regimen dosis, dan interaksi dengan obat lain yang dapat menurunkan efektivitas antihipertensi yang diberikan kepada pasien GGK. Sebanyak 63 rekam medik pasien GGK yang diberi antihipertensi dijadikan sebagai sampel.


(15)

Overview of Antihypertensive Drug Use in Patients with Chronic Kidney Disease in Haji Adam Malik Hospital Medan: Drug-related Problems

ABSTRACT

Chronic kidney disease (CKD) is a pathophysiologic process with a diverse etiology that leads to reduced kidney function. Hypertension is one of the etiologic factors of kidney failure. In Indonesia, the prevalence of CKD in 2006 ranged 100-250/1 million people. This retrospective study aims to determine the patterns of use, regimen accuracy, and interactions of antihypertensive drugs provided to patients with CKD. A total of 63 medical records of patients with CKD who were given antihypertensive drugs were used as samples.

The results showed that the most widely provided antihypertensive drugs was diuretics which reached 73%. The most frequently combined antihypertensive durgs were diuretic and ACE-I which reached 33%. Antihypertensive dosage regimens were in accordance with those that recommended for patients with CKD. However, because patients also suffered from other comorbidities, drug-drug interactions were also occured which in turn resulted in only 14% of the samples that reached the target blood pressure (130/80 mmHg). The most frequently drud interactions occured were between captopril and diltiazem.


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal (Suwitra, 2006).

Di Amerika Serikat insiden penyakit GGK diperkirakan 100 kasus per 4 juta penduduk per tahun dan akan meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Indonesia jumlah penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian epidemiologi tentang prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia. Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan prevalensi penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar 100 - 150/ 1 juta penduduk (Suwitra, 2006).

Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah sebaliknya hipertensi merupakan salah satu faktor pencetus gagal ginjal. Secara klinik kedua keadaan ini sukar dibedakan terutama pada penyakit ginjal menahun. Apakah hipertensi yang menyebabkan penyakit ginjal ataukah penyakit ginjal yang menyebabkan naiknya tekanan darah dan untuk mengetahui keadaan ini diperlukan adanya catatan medik yang teratur dalam jangka panjang (Tessy, 2006).

Fungsi ginjal akan lebih cepat mengalami kemunduran jika terjadi hipertensi berat. Selain itu komplikasi eksternal (misalnya, retinopati dan ensefalopati) juga dapat terjadi (Wilson, 2006).

Maksud pengobatan hipertensi pada pasien GGK selain untuk menurunkan tekanan darah, juga untuk mencegah terjadinya kerusakan pada organ target. Pemilihan antihipertensi untuk pasien GGK didasarkan kepada efek lain yang mengutungkan selain efek antihipertensi, misalnya dapat menurunkan tingkat proteinuria, bersifat nefroprotektif dan kardioprotektif. Antihipertensi utama pada GGK adalah Angiotensin Converting Enzime Inhibitors (ACEI) (misalnya kaptopril,


(17)

lisinopril), dan Angiotensin II Receptor blockers (ARBs) (misalnya losartam, cadesartan). ACEI dan ARBs direkomendasikan karena mempunyai manfaat nefroprotektif (NKF, 2004)

Sesuai anjuran dari The Seven Report of Join National Commitee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), tekanan darah target pada

GGK adalah 130/80 mmHg untuk menahan progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan diturunkan untuk mencapai target dengan kombinasi obat-obat antihipertensi (Tessy. A, 2006). Selain terapi dengan antihipertensi pasien GGK juga mendapat terapi dengan obat lain (polifarmasi) yang memungkinkan adanya interaksi yang dapat menurunkan efektivitas antihipertensi tersebut.

Penanganan pasien GGK perlu mendapat perhatian, baik dari segi aspek farmakokinetik maupun aspek farmakodinamik. Obat-obat yang diekskresikan melalui ginjal akan terakumulasi dengan adanya gangguan fungsi ginjal yang dapat menimbulkan efek toksik yang potensial dan bisa menurunkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang akhirnya dapat memperburuk kondisi ginjal, bila dosisnya tidak disesuaikan. Penyesuaian dosis didasarkan kepada tingkat keparahan gangguan ginjal. Penyesuaian dosis yang paling sering dilakukan adalah dengan menurunkan dosis atau memperpanjang interval pemberian obat (Aslam, 2003).

Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, penelitian ini difokuskan terhadap Gambaran Penggunaan Antihipertensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK). Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan (RSUP H. Adam Malik) menggunakan sampel rekam medik pasien Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) rawat inap periode Januari 2010 - Maret 2010, dengan diagnosis GGK dan mendapat terapi antihipertensi.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka kerangka pikir penelitian ini adalah sebagai berikut (gambar 1.1)


(18)

variabel bebas subjek Variabel terikat

Gambar 1.1 Skema Kerangka Pikir Penelitian Gambaran Pengunaan Antihipertensi pada

Pasien GGK di RSUP. H. Adam Malik Medan: Permasalahan Terkait Obat.

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. golongan antihipertensi yang mana yang paling banyak diberikan kepada pasien GGK?

b. apakah regimen dosis antihipertensi yang diberikan kepada pasien GGK sudah sesuai dengan acuan?

c. apakah ada interaksi antihipertensi dengan obat lain yang dapat menurunkan efektivitas antihipertensi?

1.4 Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. antihipertensi yang paling banyak diberikan kepada pasien GGK adalah golongan ACE-I.

b. regimen dosis antihipertensi yang diberikan kepada pasien GGK belum sesuai dengan acuan.

c. terdapat interaksi antihipertensi dengan obat lain yang dapat menurunkan efektivitas antihipertensi.

Penggunaan antihipertensi

•Gol antihipertensi

•Jenis antihipertensi

•Kombinasi antihipertensi

Interaksi antihipertensi + obat

lain

GGK

GGK Regimen dosis

antihipertensi

Prosentase penggunaan antihipertensi

Prosentase interaksi yang menurunkan efektivitas antihipertensi

GGK 1. sesuai.


(19)

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. untuk mengetahui antihipertensi yang paling banyak diberikan kepada pasien GGK. b. mengetahui regimen dosis antihipertensi yang diberikan kepada pasien GGK apakah

sudah sesuai.

c. mengetahui interaksi obat yang dapat menurunkan efektivitas antihipertensi.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberi gambaran tentang pengunaan antihipertensi pada pasien GGK di RSUP H. Adam Malik Medan untuk bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi dan masukan dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan kefarmasian di rumah sakit.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Rumah sakit adalah suatu organisasi kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personil terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yangsama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar, 2004).

Rumah Sakit Umum Pusat Haji (RSU.P H) Adam Malik Medan mempunyai tugas menyelenggarakan upaya penyembuhan dan pemulihan secara paripurna, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan secara serasi, terpadu dan berkesinambungan dengan upaya peningkatan kesehatan lainnya serta melaksanakan upaya rujukan (Depkes, 2009).

Dalam melaksanakan tugasnya, RSUP H. Adam Malik Medan menyelenggarakan berbagai fungsi, yaitu menyelenggarakan pelayanan medis, pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan penunjang medis dan non medis, pengelolaan sumber daya manusia, pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang profesi kedokteran dan pendidikan kedokteran berkelanjutan, pendidikan dan pelatihan dibidang kesehatan lain, penelitian dan pengembangan, pelayanan rujukan serta administrasi umum dan keuangan (Depkes, 2009).

2.2 Rekam Medik

Definisi rekam medik menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seseorang penderita selama dirawat di rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat inap (Siregar, 2004).

Kegunaan Rekam Medik:


(21)

2. merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap professional yang berkontribusi pada perawatan penderita.

3. melengkapi bukti dokumen terjadinya/penyebab kesakitan penderita dan

penanganan/pengobatan selama tinggal di rumah sakit.

4. sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada penderita.

5. membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang bertanggung jawab.

6. menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.

7. sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data dalam rekam medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang penderita (Siregar, 2004).

2.3 Petunjuk Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) 2.3.1 Pengertaian

Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin (Depkes, 2009).

2.3.2 Tujuan dan Sasaran

2.3.2.1 Tujuan Penyelenggaraan JAMKESMAS Tujuan Umum

Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan sehigga tercapai derajat kesehatan yang optimal secara efektif dan efisien bagi seluruh peserta JAMKESMAS (Depkes, 2009).

Tujuan Khusus:

a. memberikan kemudahan dan akses pelayanan kesehatan kepada peserta di seluruh jaringan JAMKESMAS.


(22)

b. mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang terstandar bagi peserta, tidak berlebihan sehingga terkendali mutu dan biayanya.

c. terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan aktual.

2.3.2.2 Sasaran

Sasaran program/peserta JAMKESMAS adalah masyarakat miskin dan tidak mampu diseluruh Indonesia sejumlah 76,4 juta jiwa, tidak termasuk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnya (Depes, 2009).

2.4 Permasalahan Terkait Obat.

Terapi dengan menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Hal ini dilakukan dengan cara mengobati pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejalanya. Namun ada hal-hal yang tidak dapat disangkal dalam pemberian obat yaitu kemungkinan terjadinya hasil pengobatan yang tidak diharapkan (Drug Related Problem) (aslam, 2003).

Ketidak berhasilan ini dapat disebabkan oleh: a. penulisan resep yang kurang tepat:

i. pengobatan yang kurang tepat (misal: pemilihan obat, dosis, rute, interval, dosis, lama pemakaian).

ii. pemberian obat yang tidak diperlukan b. penyerahan obat yang tidak tepat:

i. obat tidak tersedia pada saat dibutuhkan. ii. kesalahan dispensing.

c. perilaku pasien yang tidak mendukung:

i. berhubungan dengan cara pengobatan yang tidak tepat.

ii. pelaksanaan/penggunaan yang tidak sesuai dengan perintah pengobatan. d. idiosinkrasi pasien:


(23)

i. respon aneh individu terhadap obat. ii. terjadi kesalahan atau kecelakaan. e. pemantauan yang tidak tepat:

i. gagal untuk mengenali tau menyelesaikan adanya keputusan terapi yang tidak tepat. ii. gagal memantau efek pengobatan pada pasien (Aslam, 2003).

Pemantauan (monitoring) yang tidak tepat adalah penyebab utama kegagalan pengobatan tetapi kurang mendapat perhatian. Dari hasil pemantauan dapat ditemukan masalah-masalah yang berkaitan dengan obat, yang dapat dikategorikan sebabagi berikut:

a. pasien membutuhkan terapi obat tambahan:

i. kombinasi obat untuk mendapatkan efek sinergis. ii. pasien membutuhkan terapi propilaksis.

b. pasien mendapat terapi obat yang tidak diperlukan:

i. pasien mendapat obat ganda padahal bisa dengan satu obat saja.

ii. Pasien mendapat obat yang berfungsi untuk mencegah reaksi obat lain. c. pasien mendapat obat yang salah:

i. obat yang dipakai tidak efektif.

ii. pasien alergi dengan obat yang dipakai.

iii. pasien terinfeksi dengan mikroba yang resisten dengan obat yang dipakai. d. dosis terlalu tinggi:

i. dosis yang digunakan terlalu tinggi untuk pasien yang bersangkutan. ii. terjadi akumulasi obat akibat penggunaan yang terlalu lama.

e. dosis terlalu rendah:

i. dosis dan inteval pemberian tidak sesuai. ii. cara penggunaan obat salah.

iii. penyimpanan obat salah . f. reaksi obat yang tidak diinginkan:


(24)

i. pemberian obat yang terlalu cepat. ii. terjadi alergi oleh obat.

iii. terjadi interaksi dengan obat lain. g. kebutuhan obat tidak terpenuhi:

i. pasien lupa minum obat.

ii. pasien tidak mengerti perintah cara pakaian obat (cipolle, et al., 1998)

2.5 Ginjal

Ginjal adalah sepasang organ yang berbentuk seperti kacang dan berfungsi untuk mengekskresi bahan yang tidak diperlukan, pengaturan homeostatis, sintesis dan metabolisme hormon.

2.5.1 Anatomi Ginjal

Ginjal terletak di belakan bawa

kelenjar suprarenal) (Anonim 1, 2009).

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya sekitar 150 gram. Perbedaan panjang dari kutub ke kutup kedua ginjal (dibandingkan dengan pasangannya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6 cm) atau perubahan bentuk merupakan tanda yang penting karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur. (Wilson L.M, 2006)


(25)

Bagian paling luar dari ginjal disebut Bagian paling dalam disebut

piramida yang merupakan bukaan saluran pengumpul. Ginjal dibungkus oleh lapisan

Unit fungsional dasar dari ginjal adala buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut sebuah komponen penyaring yang disebut oleh saluran-saluran (tubulus) (Anonim 1, 2009).

Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut berada dalam Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen (Anonim 1, 2009).

Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula Bowman terdapat tiga lapisan:

1. kapiler selapis se

2. lapisan kaya protein sebagai membran dasar


(26)

Dengan bantuan tekanan, cairan dalam darah didorong keluar dari glomerulus, melewati ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam kapsula bowman dalam bentuk filtrat glomerular (Anonim 1, 2009).

Filtrat plasma darah tidak mengandung sel darah ataupun molekul protein yang besar. Protein dalam bentuk molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc filtrat glomerular per menitnya. Laju penyaringan glomerular ini digunakan untuk tes diagnosa fungsi ginjal (Suwitra, 2006).

Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang mengalirkan filtrat glomerular dari kapsula bowman disebut berdasar penemunya yait menjaga gradie melapisi tubulus memiliki banya terjadiny Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis (Anonim 1, 2009).

Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri dari:

• tubulus penghubung

• tubulus kolektivus kortikal

• tubulus kloektivus medularis

Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen disebut tempat terjadinya sintesis dan sekresi

Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan membent dibawa ke


(27)

Gambar 2.2 Nefron 2.5.2 Fungsi ginjal

Ginjal memiliki sejumlah fungsi penting, meliputi: a. ekskresi bahan yang tidak diperlukan.

Ekskresi produk buangan meliputi produk samping dari metabolisme karbohidrat (misalnya air, asam) dan metebolisme protein (urea, asam urat dan kreatinin), bersama dengan bahan yang jumlahnya melebihi kebutuhan tubuh (misalnya air).

b. pengatur homeostatis.

Misalnya, keseimbangan cairan dan elektrolit, keseimbangan asam-basa. Ginjal berperan penting dan secara aktif mempertahankan keseimbangan ionik, osmotik, pH, dan keseimbangan cairan yang paling tepat di seluruh bagian tubuh.


(28)

c. biosintesis dan metabolisme hormon.

Hal ini meliputi biosintesa (misalnya, renin, aldosteron, erythropoietin dan 1,25-dihidroksi vitamin D) serta metabolisme hormon (misalnya, insulin, steroid dan hormon-hormon tiroid). Oleh karena itu ginjal terlibat dalam pengaturan tekanan darah, metabolisme kalsium dan tulang serta eritropoiesis (Aslam, 2003)

2.6 Tinjauan Tentang Penyakit Ginjal 2.6.1. Gagal Ginjal Akut

Gagal Ginjal Akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (beberapa jam sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (urea-kreatinin) dan non-nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri. Tergantung dari keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti asidosis dan hiperkalemia, gangguan keseimbangan cairan serta dampak terhadap berbagai organ tubuh lainnya (Markum, 2006). Walaupun bersifat reversibel, tetapi gagal ginjal akut secara umum mortalitasnya tinggi (Aslam, 2003).

2.6.2 Gagal Ginjal Kronik

2.6.2.1 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Terdapat dua pendekatan teoritis yang umunya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada GGK. Sudut pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya, lesi organik pada medulla akan merusak susunan anatomi pada lengkung henle dan vasa rekta. Pendekatan kedua dikenal dengan nama hipotesa Bricker atau hipotesa

nefron yang utuh, yang berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit, maka seluruh unitnya


(29)

jumlah nefron sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesa nefron yang utuh ini sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit ginjal progresif, yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit (Wilson, 2006).

Pada stadium paling dini penyakit GGK, terjadi kehilangan daya cadangan ginjal (ranal

reserve), pada keadaan mana basal Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih normal. Kemudian

secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kretinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien belum menunjukkan keluhan (asimtomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan pasien seperti nokturia, badan lemah, nafsu makan berkurang, penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang sangat nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, mual muntah dan lain sebagainya. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

2.6.2.2 Etiologi Gagal Ginjal Kronik

Etilogi penyakit GGK sangat bervareasi antara suatau negara dengan negara lainnya. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel II.1.

Tabel II.1. Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia.

Penyebab Insiden

• Glomerulonefritis

• Diabetes melitus

• Obstruksi dan infeksi

• Hipertensi

• Sebab lain

46,39% 18,65% 12,85% 8,46% 13,65%


(30)

2.6.2.3 Klisifikasi Gagal Ginjal Kronik

Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosa etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit tampak pada tabel II.2.

Tabel II.2 Klasifikasi GGK atas dasar derajat penyakit

Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG Normal atau

meningkat ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

(NKF, 2004).

Laju filtrasi glomerulus adalah hitungan yang menandai tingkat efisiensi penyaringan

bahan ampas dari darah oleh ginjal. Hitungan LFG yang umum membutuhkan suntikan zat pada aliran darah yang kemudian diukur pada pengambilan air seni 24 jam. Belakangan ini, para ilmuwan menemukan bahwa LFG dapat dihitung tanpa suntikan atau pengambilan air seni. Hitungan ini hanya membutuhkan pengukuran tingkat kreatinin dalam darah.

Kreatinin adalah bahan ampas dalam darah yang dihasilkan oleh penguraian sel otot secara normal selama kegiatan. Ginjal yang sehat menghilangkan kreatinin dari darah dan memasukkannya pada air seni untuk dikeluarkan dari tubuh. Bila ginjal tidak bekerja sebagaimana mestinya, kreatinin bertumpuk dalam darah.

Berbagai formula untuk menilai LFG sudah divalidasi secara luas, antara lain: a. rumus Kockcroft-Gault.

(140-umur) x berat badan LFG (ml/men/1,73m2

72 kreatinin serum (mg/dl) ) = --- *


(31)

b. Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)

LFG (ml/men/1,74m2) = 180 x serum kreatinin -1,154 x umur -0,203 Afrika/amerika) *

x (1,210

*) pada perempuan dikalikan 0.742

2.6.2.4 Penilaian Terhadap fungsi Ginjal

Uji fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit ginjal secara kasar/garis besar saja, dan lebih dari setengah bagian ginjal harus mengalami kerusakan sebelum terlihat nyata adanya gangguan pada ginjal. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal dan menunjukkan apakah ada penyakit ginjal jenis apapun. Ini meliputi: 1) kreatnin serum, 2) klirens kreatinin, 3) urea.

Kreatinin serum

Kreatinin serum merupakan produk samping dari metabolisme otot rangka normal. Laju produksinya bersifat tetap dan sebanding dengan jumlah massa otot tubuh. Kreatinin diekskresi terutama melalui filtrasi glomerulus dengan sejumlah kecil yang diekskresi atau direabsorpsi oleh tubulus. Bila massa otot tetap, maka adanya perubahan pada kreatinin mencerminkan perubahan pada klirensnya melalui filtrasi, sehingga dapat dijadikan indikator fungsi ginjal. Nilai kreatinin serum yang normal berbeda menurut jenis kelamin, usia dan ukuran (Aslam, 2003)

Clirens kreatinin

Dalam keadaan normal, kreatinin tidak diekskresi atau direabsorpsi oleh tubulus ginjal dalam jumlah yang bermakna. Oleh karena itu ekskresi yang utama ditentukan oleh filtrasi glomerulus, hingga LFG dapat diperkirakan melalui penentuan laju klirens kreatinin endogen. Bila massa otot tetap, maka perubahan apapun pada klirens kreatinin akan mencerminkan perubahan pada laju klirensnya melalui filtrasi. Kreatinin sebenarnya dieksresikan dalam jumlah kecil dalam tubulus, sehingga klirensnya mencerminkan nilai LFG yang sedikit lebih tinggi. Hal ini tak bermakna bagi penderita dengan fungsi ginjal normal. Tetapi pada gangguan ginjal, sekresi


(32)

tubuler aktif dari kreatinin menjadi lebih bermakna dan sebagai akibatnya klirens kreatinin lebih besar dari LFG sesungguhnya (Aslam, 2003)

Urea

Urea disintesis dalam hati sebagai produk samping metabolisme makanan dan protein endogen. Eliminasinya dalam urin menggambarkan rute ekskresi utama nitrogen. Laju produksinya lebih beragam dibandingkan kreatinin. Urea disaring oleh glomerulus dan sebahagian direabsorpsi oleh tubulus.

Pada orang sehat, kadar urea dalam darah berfluktuasi sesuai asupan protein. Peningkatan kadar urea darah hanya memberikan indeks gagal ginjal yang peka bila asupan protein normal atau tinggi. Bila asupan protein kecil, kadar urea darah mungkin tidak akan melebihi batas atas nilai normal, kecuali jika gagal ginjal sudah parah (Aslam, 2003)

Kadar di atas 10 mmol/liter mungkin mencerminkan gangguan ginjal walaupun kencenderungan dalam individu lebih penting dibandingkan dengan suatu hasil pengukuran semata. Urea adalah pengukuran yang kurang tepat menggambarkan fungsi ginjal tetapi sering digunakan sebagai pemeriksaan kasar, karena dapat memberikan informasi mengenai keadaan umum penderita beserta tingkat hidrasinya (Aslam, 2003).

2.7 Tinjauan tentang Hipertensi

Hipertensi didefinisikan oleh The Joint National Committee on Detection, Evaluation and

Treatment of High Blood Pressure (JIVC) sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg. 2.7.1 Tekanan Darah

Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Pada tekanan darah tinggi, biasanya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik. Hipertensi biasanya terjadi pada diukur di kedua lengan tiga kali dalam jangka beberapa minggu (Anonim, 2009)


(33)

2.7.2 Klasifikasi

Klasifikasi hipertensi dibedakan berdasarkan tingginya tekanan darah, derajat kerusakan organ dan etiologinya. Klasifikasi berdasarkan tingginya tekanan darah pada penderita usia 18 tahun ke atas dapat dilihat pada tabel II.3 (Ganiswara, 2007)

Tabel II.3. Klasifikasi Tekanan Darah

Kategori TDD (mmHg) TDS (mmHg)

Normal < 85 < 130

Normal tinggi 85-89 130-139

Hipertesi

Tingkat 1 (ringan) 90-99 140-159

Tingkat 2 (sedang) 100-109 160-179

Tingkat 1 (berat) 110-119 180-209

Tingkat 1 (sangat berat) ≥ 120 ≥ 210

(Ganiswara, 2007)

2.3.4. Penyebab hipertensi

Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis :

1. Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak/belum diketahui penyebabnya

(terdapat pada kurang lebih 90 % dari seluruh hipertensi).

2. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan/sebagai akibat dari adanya penyakit

lain.

Jika penyebabnya diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal (Anonim, 2009).

2.8 Tinjauan Tentang Antihipertensi

Tujuan dari pengobatan hipertensi pada penyakit GGK adalah: a) untuk menurunkan tekanan darah. b) untuk menurunkan resiko terjadinya Cardio Vascular Disease (CVD) pada pasien hipertensi. c) memperlambat progresi penyakit ginjal pada pasien dengan atau tanpa hipertensi (NKF, 2004)

Hipertensi terjadi pada sebagian besar pasien GGK dan tekanan darahnya harus diatur sesuai target untuk mencegah kerusakan organ. Target tekanan darah untuk mengurangi risiko


(34)

CVD pada GGK adalah 130/80 mm Hg. Untuk mencapai tekanan darah yang ditargetkan sering digunakan kombinasi dua atau lebih antihipertensi (Tessy, 2006).

Algoritme pengobatan hipertensi pada pasien GGK tertera pada skema berikut:

Gambar 2.3 Algoritme Pengobatan Hipertensi Pada Pasien GGK. TD = Tekanan Darah.

SCr = Serum Creatinin. ACEI = Angiotesin Converting Enzim Inhibotors. CCBs = Calsium Chenel Blokers.

2.8.1 Diuretik

2.8.1.1 Golongan Thiazid.

Antihipertensi golongan ini bekerja dengan menghambat kanal natrium di tubulus distal dengan tujuan agar tidak terjadi reabsorbsi natrium pada daerah ini sehigga terjadi penurunan

TD>145/90 mmHg SCr <1,8 mg/dl

TD>145/90 mmHg SCr ≥1,8 mg/dl

TD tidak mencapai target (130/80 mmHg)

TD belum mencapai 130/80 mmHg

+ β-blokers dosis rendah

Nadi < 84

+ CCBs kelas lain

+ long acting α-blokers TD belum mencapai 130/80 mmHg

ACE I + Loop diuretik ACE I atau Tiazid diuretik

+ long acting nondihihropiridin CCBs


(35)

volome intravaskular yang diharapkan dapat menurunkan tekanan darah (NKF, 2004). Pada pasien gagal ginjal, tiazid kehilangan efektivitas diuretik dan antihipertensinya, untuk pasien ini dianjurkan penggunaan diuretik kuat. Tiazid terutama efektif untuk pasien hipertensi dengan kadar renin yang rendah (Ganiswara, 2007).

Tiazid seringkali dikombinasi dengan antihipertensi lain karena: 1) dapat meningkatkan efektivitas antihipertesi lain dengan mekanisme kerja yang berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi, 2) tiazid mencegah resistensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek obat-obat tersebut dapat bertahan. Diuretik tiazid ini hanya dapat digunakan pada GGK stadium 1-3 (NKF, 2004).

Efek antihipertensi tiazid mengalami antagonisme oleh antiinflamasi non steroid (AINS), karena AINS menghambat sistesis prostaglandin yang berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal dan transpor air dan garam. Akibatnya terjadi retensi natrium dan air yang akan mengurangi efek hampir semua antihipertensi (Ganiswara, 2007).

2.8.1.2 Diuretik Kuat (Loop Diuretic)

Diuretik kuat berkerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat kotransport Na+, K,+, Cl

-Termasuk dalam golongan diuretik kuat antara lain furosemid, torasemid, bumetamid dan asam etakrinat. Waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari (Ganiswara, 2007).

dan menghambat reabsorbsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid, oleh karena itu diuretik kuat jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 2,5 mg/ml) atau gagal jantung. pilihan untuk pasien-pasien dengan fungsi ginjal yang buruk (LFG < 25ml/menit).

Efek yang merugikan dari diuretik golongan ini, yang paling sering meliputi kekurangan cairan, hiperuricemia, dan hipokalemia. Golongan obat ini tidak boleh diberikan pada keadaan


(36)

kekurangan elektrolit, pada wanita yang usia subur, dan pada orang yang hipersensitif (Baird, 1995).

2.8.1.3 Diuretik Hemat Kalium

Diuretik hemat kalium (amilorid, triamteren dan sprinilakton) merupakan diuretik lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mecegah hipokalemia. Diuretik hemat kalium dapat dapat menimbulkan hiperkalemia bila diberikan pada pasien dengan

gagal ginjal, atau bila dikombinasi dengan ACEI, ARB, β-bloker, AINS atau dengan suplemen kalium. Penggunaan diuretik hemat kalium dihindari bila kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dl (Ganiswara, 2007).

2.8.2 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

Angiotensin Coverting Enzyme Inhibitor (ACEI) memberikan afek antihipertensi yang besar pada hipertensi yang dipengaruhi oleh sistim renin angiotensin dan efek antihipertensinya lemah pada hipertensi yang disebabkan oleh peningkatan volume cairan ekstraseluler (NKF, 2004). ACEI menghambat angiotensi I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu degradasi aldosteron juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACEI. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium, sedangkan kalium mengalami retensi sihingga ada tendensi terjadinya hiperkalemia terutama pada gangguan fungsi ginjal (Ganiswara, 2007).

Angiotensin Coverting Enzyme Inhibitor (ACEI) merupakan antihipertensi pilihan pertama pada pasien GGK, karena diperkirakan mempunyai keuntungan nefroprotektif (NKF, 2004). Di ginjal ACEI menyebabkan vasodilatasi arteri renalis sehingga meningkatkan aliran darah ginjal dan secara umum akan memperbaiki laju filtrasi glomerulus. Pada sirkulasi glomerulus, ACEI menimbulkan vasodilatasi lebih dominan pada arteriol eferen dibandingkan dengan arteriol aferen sehingga menurunkan tekanan intraglomeruler. Efek ini dimanfaatkan


(37)

untuk mengurangi proteinuria pada nefropati diabetik dan sindrom nefrotik. Dan juga untuk merperlambat progresivitas nefrofati diabetik (Ganiswara, 2007).

Angiotensin Coverting Enzyme Inhibitor (ACEI) efektif untuk hipertensi ringan, sedang maupun berat. Kombinasi ACEI dengan diuretik memberi efek sinergistik (sekitar 80% persen tekanan darahnya terkendali dengan kombinasi ini), sedangkan efek hipokalemia diuretik dapat

dicegah. Kombinasi dengan β-bloker memberi efek aditif. Kombinasi dengan vasodilator lain, termasuk prazosin dan antagonis kalsium memberi efek yang baik (Ganiswara, 2007).

2.8.3 Angiotensi II antagonis/Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Sama seperti ACEI, ARB memberi efek antihipertensi yang besar pada hipertensi yang dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin dan efek antihipertensinya lemah pada hipertensi yang disebabkan oleh peningkatan vulome cairan ekstraseluler. Angiotensin dihasilkan dari jalur angiotensin yang diperantarai oleh ACE dan jalur lain alternatif yang menggunakan enzim lain yaitu “chymases”. Bila ACE dihambat oleh ACEI, maka konversi angiotensi I menjadi angiotensin II masih bisa dingantikan oleh “chymases” sehingga masih bisa terbentuk angiotensin II. Kombinasi dari ACEI dan ARB yang bekerja langsung memblok reseptor angiotensi II memberikan penghambatan total terhadap efek angiotensi II (NKF, 2004 dan Ganiswara, 2007).

Tidak seperti ACEI, obat golongan ARB tidak menghambat degradasi bradikinin sehingga tidak menimbulkan efek samping batuk. Kombinasi dengan diuretik-tiazid memperkuat efek hipotensifnya (Tjay, 2007).

2.8.4 β-Bloker

Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain: 1) penurunan frekuensi denyut jantung dan konraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung, 2) hambatan sekresi renin di sel juktaglomeruler ginjal menyebabkan penurunan produksi angiotensi II, 3) efeksentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesa prostasiklin (Ganiswara, 2007)


(38)

Perbedaan farmakokinetik obat-obat β-bloker adalah pada metabolisme lintas pertama, wak paro (t½) serum, tingkat lipofilitas dan rute eliminasinya. Obat-obat β-bloker yang jalur ekskresinya lewat ginjal dilakukan penyesuaian dosis bila Clcr

2.8.5 Kalsium Antagonis/Calsium Channel Blockers (CCBs)

<50 ml/menit (atenolol, asebotol, nadolol, bisoprolol, karteolol). Sedangkan β-bloker yang lipofil dan dimetabolisme oleh hati tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis (propanolol, metoprolol, pindolol, timolol) (NKF, 2004).

Calsium Channel Blockers (CCBs) menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan

menghambat saluran kalsium yang sesitif terhadap tegangan (voltage sesitive), sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan penurunan tekanan darah. CCBs dibagi dalam dua kelompok, yakni: a) derivat dihidropiridin (misalnya nifedipin, amlodipin), b) derivat non dihihropiridin (misalnya verapamil, diltiazem). CCBs biasanya digunakan dalam pengobatan hipertensi yang berhubungan dengan GGK dan dipercaya bisa mempertahankan efekasinya pada keadaan bertambahnya volume. CCBs nondihidropiridin menujukkan efek anti proterinuria selain dapat mengatur tekanan darah sistemis (Tjay, 2007)

Calsium Channel Blockers hanya sedikit sekali yang diekskresi dalam betuk utuh lewat ginjal sehingga tidak perlu penyesuaian dosis pada gangguan funsi ginjal (Ganiswara, 2007).

2.8.6 Vasodilator Langsung

Vasodilator langsung (mis: hidralazin, minoksidil) bekerja dengan cara merelaksasi otot polos vaskular, dengan demikian dapat menurunkan tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi refleks jantung, meningkatnya kontraksi miokard, nadi dan komsumsi oksigen. Efek tersebut dapat menimbulkan angina pectoris, infrak miokard, atau gagal jantung pada orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator juga meningkatkan konsentrasi renin plasma, menyebabkan retensi natrium dan air. Efek samping yang tidak diharapkan ini dapat dihambat dengan penggunaan bersama diuretik dan penyekat-β (Mycek dkk, 2001).


(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran penggunaan antihipertensi, regimen dosis dan interaksi dengan obat lain yang dapat menurunkan efektivitas antihipertensi yang diberikan kepada pasien GGK. Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien GGK yang mendapat terapi antihipertensi, dan yang memenuhi kriteria inklusi menjadi populasi studi. Seluruh populasi studi dijadikan sebagai sampel. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan retrospektif yaitu penelitian yang menggunakan data yang lalu, dalam hal ini adalah catatan medis/rekam medis pasien JAMKESMAS yang menjalani rawat inap di RSUP. H. Adam Malik Medan dengan diagnosis GGK dan mendapat terapi antihipertensi periode Januari 2010 – Maret 2010.

Ruang lingkup penelitian ini adalah pasien JAMKESMAS yang menjalani rawat inap di RSUP. H. Adam Malik Medan dengan diagnosis GGK dan mendapat terapi antihipertensi periode Januari 2010 – Maret 2010.

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Alasan pemilihan lokasi ini adalah:

a. pasien GGK di RSUP. H. Adam Malik Medan berdasarkan survei awal yang telah dilakukan sebanyak 104 pasien, untuk periode Januari 2010-Maret 2010.

b. Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan merupakan Rumah Sakit Kelas A tempat pendidikan dan penelitian bagi mahasiswa dari institusi pendidikan dan institusi kesehatan lainnya di kota Medan.


(40)

3.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2010.

3.2 Sampel

Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

Kriteria Inklusi:

Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan ke dalam penelitian (Tjitra, 2000). Yang termasuk dalam kriteria inklusi adalah:

a. Pasien JAMKESMAS.

b. Dirawat inap di RSUP. H. Adam Malik Medan periode Januarai 2010 - Maret 2010. c. Pasien dengan diagnosis GGK dan mendapat terapi antihipertensi.

Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan (Tjitra, 2000). Adapun yang menjadi kriteria eksklusi adalah rekam medik pasien yang tidak lengkap.

3.3 Data Penelitian

Data penelitian adalah satuan informasi dari 63 rekam medik pasien jamkesmas yang dirawat di instalasi rawat inap RSUP. H. Adam Malik periode Januari 2010 - Maret 2010 dengan diagnosis GGK dan mendapat terapi antihipertensi yang terdiri dari: no rekam medik, nama pasien, umur pasien, jenis kelamin, berat badan pasien, tanggal masuk rumah sakit, diagnosis awal, diagnosis akhir, jenis obat yang digunakan, dosis dan data laboratorium serta lama perawatan.

3.4 Langkah Penelitian

a. Survei awal

Survei ini dilakukan untuk mengetahui proporsi pasien GGK. Proses survei ini dimulai dari observasi laporan di Sub Bagian Rekam Medik untuk kasus-kasus dengan diagnosis GGK periode Januari 2010 - Maret 2010. Data dari Sub Bagian Rekam Medik berupa


(41)

nomor rekam medik dari pasien GGK. Nomor rekam medik digunakan untuk mengumpulkan rekam medik pasien.

b. Pembuatan lembar pengumpul data.

Pembuatan lembar pengumpul data ini bertujuan untuk memudahkan pengumpulan data dari rekam medik. Lembar pengumpul data berisikan: no rekam medik, nama pasien, umur pasien, jenis kelamin, berat badan pasien, tanggal masuk rumah sakit, tanggal keluar rumah sakit, lama perawatan, diagnosis saat masuk rumah sakit, diagnosis akhir, alasan masuk rumah sakit, alasan keluar rumah sakit, uji laboratorium, obat yang digunakan, sediaan (bentuk, kadar), dosis, dan rute pemberian (Lembar pengumpul data dapat dilihat pada lampiran 1 hal. 48)

c. Pelaksanaan pengambilan data.

Proses pengambilan data dilakukan dengan cara mencatat data-data yang dibutuhkan dari rekam medik ke formulir pengumpul data.

d. Pengelompokan data.

Dari seluruh data dikelompokkan data yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai sampel (data yang memuat: no rekam medik, nama/inisial, berat badan, umur, jenis kelamin, lama perwatan, data laboratorium (kreatinin serum) dan mengunakan antihipertensi).

e. Analisis dan tabulasi data.

Data-data yang memenuhi syarat dianalisa dan dihitung prosentasinya untuk memperoleh informasi tentang:

1. Prosentase penderita GGK berdasarkan usia, dihitung dari jumlah penderita berdasarkan usia dibagi jumlah kasus yang diteliti dikalikan 100%.

2. prosentase golongan antihipertensi yang diberikan, dihitung dari jumlah kasus yang menerima golongan obat tertentu dibagi jumlah kasus yang diteliti dikalikan 100%.


(42)

3. prosentase jenis antihipertensi yang diberikan, dihitung dari jumlah suatu antihipertensi dibagi jumlah seluruh antihipertesi yang diberikan dalam masing-masing kelompok dikalikan 100%.

4. prosentasi Kombinasi antihipertensi yang diberikan, dihitung dari jumlah kasus yang menerima kombinasi antihipertensi dibagi jumlah kasus dikalikan 100%. 5. kesesuaian dosis antihipertensi yang diberikan pada pasien GGK.

6. prosentase interaksi antihipertensi dengan obat lain yang dapat menurunkan efektivitas kerja antihipertensi.


(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Demografi Pasien.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pasien GGK yang diberi terapi antihipertensi adalah sebanyak 68 pasien, namun yang memenuhi syarat adalah 63 pasien. Beberapa data pasien tidak dapat dipakai dalam penelitian ini karena data kurang lengkap (dari diagnosa tidak diketahui stadium GGK, sementara pada rekam medik tidak dituliskan kreatinin serum). Rekam medik dari 63 pesien ini dijadikan sebagai sampel.

Berdasarkan data yang masuk dalam kriteria inklusi (sampel) dapat diketahui biografi pasien GGK seperti terlihat pada tabel IV.1 berikut:

Tabel IV.1 Biografi pasien GGK

Variabel Jumlah Prosentase

a. Jenis kelamin - Laki – laki - Perempuan

37 26

59 41

b. Umur (Tahun, rata-rata ± SD) 44 tahun ± 15 tahun

c. Kelompok usia

- 0 - 12 tahun (bayi/anak-anak) - Diatas 12 tahun - 18 tahun (remaja) - Diatas 18 tahun - 65 tahun (dewasa)

- Laki-laki - Perempuan

- Diatas 65 tahun (Lansia)

2 3 54 30 24 4 3 5 86 56 44 6 d. Stadium GGK yang diderita

- Stadium 1 LFG (ml/min/1,73 m2 - Stadium 2 LFG (ml/min/1,73 m

) > 90

2

- Stadium 3 LFG (ml/min/1,73 m

) 60-89

2

- Stadium 4 LFG (ml/min/1,73 m

) 30-59

2

- Stadium 5 LFG (ml/min/1,73 m

) 15-29

2

) <15

- - 2 4 57 - - 3 6 91

e. Hemodialisa 27 43

f. Lama perawatan (hari, rata-rata ± SD) 8 hari ± 7 hari

g. Hasil penanganan/out come

- Membaik/Pulang Berobat Jalan (PBJ) - Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) - Meninggal Dunia (EXITUS)

38 15 10 60 24 16

Berdasarkan tabel IV.1 diketahui pasien laki-laki yaitu sebesar 59% (37 pasien) sedangkan perempun sebesar 41% (26 pasien). Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan pola


(44)

hidup. Di Indonesia, laki-laki lebih banyak mengkomsumsi rokok yang dapat menginduksi peningkatan tekanan darah sehingga meningkatkan prevalensi hipertensi yang merupakan salah satu etiologi GGK. Rentang usia pasien antara 7-74 tahun dan usia rata-rata pasien adalah 44 tahun ± 15 tahun. Adapun distriubsi usia pasien yakni pasien usia 0-12 tahun (bayi/anak-anak) sebesar 3%, pasien usia diatas 12-18 tahun (remaja) sebesar 5%, pasien usia diatas 18-65 tahun (dewasa) sebesar 86% dan pasien usia diatas 65 tahun (lansia) sebesar 6%. Distribusi pasien GGK berdasarkan kelompok usia dapat terlihat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Distribusi pasien GGK berdasarkan kelompok usia

Bedasarkan tabel IV.1 juga dapat dilihat distribusi pasien menurut stadium GGK yang diderita yaitu: pasien GGK stadium 3 sebesar 3%, pasien GGK stadium 4 sebesar 6% dan pasien GGK stadium 5 sebesar 91%, dari tabel tersebut juga diketahui bahwa tidak ada pasien yang dirawat inap pada kondisi GGK stadium 1 dan 2, ini dikarenakan pada stadium dini penyakit ginjal kronis, pasien belum merasakan keluhan (asimtomatik), keadaan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih normal atau malah meningkat (Suwitra, 2006). Distribusi pasien berdasarkan stadium GGK yang diderita terlihat pada gambar 4.2.

3% 5%

86

%

6%

0 - 12 tahun (bayi/anak-anak) Diatas 12 tahun - 18 tahun (remaja) Diatas 18 tahun - 65 tahun (dewasa) Diatas 65 tahun (Lansia)


(45)

Gambar 4.2 Distribusi pasien berdasarkan stadium GGK yang diderita.

Selama di rawat di rumah sakit 27 pasien (49%) menjalani hemodialisa, sedangkan 36 pasien lainnya (dengan GGK stadium 3, 4 dan 5) tidak menjalani hemodialisa karena memang tidak direkomendasikan oleh dokter (untuk stadium 3 dan 4) dan pasien menolak dilakukan hemodialisa (untuk GGK stadium 5).

Setelah menjalani perawatan di rumah sakit (1-45 hari) dengan lama perawatan rata-rata 8 hari ± 7 hari, 38 pasien (60%) keluar rumah sakit (KRS) dalam keadaan membaik dan pulang berobat jalan (PBJ), 15 pasien (24%) pulang atas permintaan sendiri (PAPS) dan 10 pasien (16%) keluar rumah sakit karena meninggal dunia.

4.2 Penggunaan antihipertensi

Tujuan pengobatan hipertensi pada pasien GGK selain untuk menurunkan tekanan darah, juga untuk mencegah terjadinya kerusakan organ target (Tessy, 2006). Berdasarkan golongan, penggunaan antihipertensi dapat dilihat pada tabel IV.2 dan gambar 4.3 serta pola penggunaan antihipertensi berdasarkan macam/jenis terdapat pada tabel IV.3.

3%

6%

91%

Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5


(46)

Tabel IV.2 Distribusi penggunaan antihipertensi pada pasien GGK berdasarkan golongan.

No Golongan antihipertensi

Frekuensi penggunaan obat

(n=63)

Prosentase penggunaan obat

1 Diuretik 46 73

2 ACE-I 45 71

3 Kalsium antagonis 24 38

4 β-bloker 3 5

5 Angiotensi II antagonis 3 5

Gambar 4.3 Distribusi penggunaan antihipertensi pasien GGK berdasarkan golongan.

.

73%

71%

38%

5%

5%


(47)

Tabel IV.3 Distribusi penggunaan antihipertensi pada pasien GGK berdasarkan macam/jenis.

No Antihipertensi

Frekuensi penggunaan obat

(n=63)

Prosentase penggunaan obat 1 Diuretik

- Furosemid (Lasix) - HCT

- Aldacton (sprinolakton) - Lasix + Aldacton

- Lasix → Furosemid → Lasix

40 3 1 1 1 85 7 2 2 2

2 ACE-I

- Captopril

- Captopril → Noperten (Lisinopril)

44 1

98 2 3 Kalsium antagonis

- Diltiazem

- Nifedipin (Adalat Oros) - Amlodipin

- Adalat Oros → Amlodipin - Amlodipin → Diltiazem - Diltiazem + Nifedipin

16 4 1 1 1 1 67 17 4 4 4 4 4 β-bloker

Bisoprolol 3 100

5 Angiotensi II antagonis - Losartam - Valsartan 1 2 33 67

Ket: → diganti + kombinasi

Berdasarkan analisa data antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah golongan diuretik yakni sebesar 73% (tabel IV.2) dan jenis diuretik yang paling banyak digunakan adalah “loop diuretik” yaitu furosemid (tabel IV.3) sebesar 85%, furosemid bekerja dengan cepat, bahkan diantara pasien dengan fungsi ginjal yang terganggu atau yang tidak bereaksi terhadap tiazid atau diuretik lain, sehingga bisa digunakan pada setiap stadium GGK. Furosemid merupakan diuretik kuat yang bekerja dengan menghambat kotraspor Na+/K/Cl- dari membran lumen pada pars esendens ansa Henle. Disini terjadi proses reabsorbsi Na+, Cl- dengan kapasitas yang sangat besar yakni 25-30% sehingga penghambatan reabsorbsi ini memberikan efek yang cukup berarti untuk mencegah terjadinya retensi natrium dan air dengan harapan dapat dicapai penurunan tekanan darah yang berarti dan dapat mengurangi edema akibat retensi natrium dan air yang biasanya terjadi pada pasien GGK (Mycek dkk. 2001).


(48)

Penggunaan Hidroklortiazid (HCT) dimaksudkan untuk meningkatkan efek hipotensif obat lain yang mekanisme kerjanya berbeda sehingga dosis obat tersebut dapat dikurangi, dengan demikian mengurangi efek samping, juga untuk mecegah terjadinya retensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek hipotensif obat-obat tersebut dapat bertahan (Ganiswara, 2007).

Berdasaekan tabel III.3 juga terlihat penggunaan kombinasi dari Furosemid (lasix@) dengan sprinolakton (aldacton@

Penggunaan ACE-I pada penelitian ini menempati urutan ke-2 yaitu sebesar 71% dari jumlah sampel (tabel IV.2), hal ini sesuai dengan yang direkomemdasikan oleh JNC7 dengan alasan obat ini dapat menurunkan progresi penyakit ginjal. Mekanisme aksi obat ACE-I adalah melalui: penurunan kadar angiotensi II yang bersifat vasokonstriktor, mengurangi sekresi aldosteron sehingga menginduksi natriuresis, meningkatkan kadar bradykinin atau prostaglandin yang bersifat vasodilator dan diikuti peningkatan natriuresis (Ganiswara, 2007). Jenis antihipertensi yang digunakan dari golongan ini adalah captopril (98%) (tabel IV.3). Penggantian captopril dengan lisinopril terlihat kepada 2% dari seluruh pasien, hal ini dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat, karena frekuensi pemakaiannya lebih rendah dibanding captopril, waktu paruh (t1/2) lisinopril lebih panjang yaitu 12 jam, sedangkan

captopril mempunyai waktu paruh (t1/2) hanya 2,2 jam. Selain itu lisinopril juga mempunyai

kelebihan dibandingkan dengan captopril, yaitu absorbsinya dari lambung tidak diganggu oleh adanya makanan sedangkan absorbsi captopril berkurang dengan adanya makanan (Ganiswara, 2007).

), kombinasi ini menguntungkan karena sprinolakton merupakan diuretik hemat kalium sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya hipokalemia.

Selain diuretik dan ACE-I, antihipertensi yang digunakan adalah ca antagonis dengan prosentasi penggunaan sebesar 38% (tabel IV.2). Jenis antihipertensi yang diberikan dari golongan ini adalah diltiazem yaitu sebesar 67% dan nifedipin yaitu sebesar 17% (Tabel IV.3). Ca antagonis merupakan obat antihipertensi yang efektif untuk menurunkan tekanan darah pada pasien gagal ginjal yang dianggap resisten terhadap obat antihipertensi lain. Ca antagonis terutama


(49)

dihidropiridin bekerja dengan cara meningkatkan ekskresi natrium dan air, sebagian dengan menurunkan reabsorbsi natrium pada tubulus proksimal (Lucky, 2007). Ca antagonis biasanya digunakan dalam pengobatan hipertensi yang berhubungan dengan GGK dan dipercaya bisa mempertahankan efek hipotensinya pada keadaan bertambahnya volume. Ca antagonis nondihidropiridin menujukkan efek anti proterinuria selain dapat mengatur tekanan darah sistemis (Tjay, 2007)

Golongan antihipertensi lain yang digunakan adalah β-bloker golongan obat ini pemakaianya sedikit yaitu 5% (tabel IV.2). Jenis obat yang digunakan hanya bisoprolol (tabel

IV.3). Hal ini mungkin disebabkan karena belum diketahuinya manfaat lain yang menguntungkan dari obat tersebut selain sebagai antihipertensi pada GGK. Mekanisme kerja β-bloker sebagai antihipertensi masih belum jelas. Diperkirakan ada beberapa cara: (1) pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas miokard menyebabkan curah jantung berkurang (2) hambatan pelepasan

norefineprin melalui hambatan reseptor β2 prasinaps (3) hambatan sekresi renin melalui hambatan reseptor β1

Golongan antihipertensi yang juga sedikit digunakan adalah angiotensi II antagonis yakni sebesar 5% (tabel IV.2). Jenis dari golongan obat ini yang digunakan adalah valsartan 67% dan losartan 33% (tabel IV.3). Angiotensi II antagonis adalah salah satu yang direkomendasikan oleh NKF sebagai obat pilihan pada pasien GGK, karena dapat menurunkan progresifitas proteinuria (NKF, 2004). Agiotensi II antagonis memberi efek antihipertensi yang besar pada hipertensi yang dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin dan efek antihipertensinya lemah pada hipertensi yang disebabkan oleh peningkatan vulome cairan ekstraseluler (Ganiswara, 2007). Keuntungan lain di ginjal. Berbagai mekanisme ini memberikan kontribusi yang

berbeda-beda dalam menimbulkan efek antihipertensi dari setiap β-bloker. Terapi antihipertensi dengan β -bloker pada penderita dengan GGK telah dilaporkan menyebabkan fungsi ginjal memburuk. Efek ini mungking disebabkan oleh pengurangan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus akibat pengurangan curah jantung (Ganiswara, 2007).


(50)

dari golongan agiotensi II antagonis tidak menghambat degradasi bradikinin sehingga tidak menimbulkan efek samping batuk (Tjay, 2007).

Rendahnya pemberian obat ini kepada pasien disebabkan tidak tercantumnya golongan obat ini dalam formularium rumah sakit untuk pasien JAMKESMAS.

Sesuai anjuran dari The Seven Report of Join National Commitee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), tekanan darah yang

ditargetkan pada pasien GGK adalah 130/80 mmHg. untuk mencapai target tersebut sebagian besar pasien diberi kombinasi dua atau lebih antihipertensi (Tessy. A, 2006). Adapun antihipertensi baik tunggal maupun kombinasi yang diberikan kepada pasien GGK dapat dilihat pada tabel IV.4 berikut:

Tabel IV.4 Distribusi penggunaan antihipertensi tunggal dan kombinasi pada pasien GGK.

No Antihipertensi

Frekuensi penggunaan obat

(n=63)

Prosentase penggunaan

obat

Tunggal 38 60

1 Diuretik 20 32

2 ACE-I 14 22

3 Ca. antagonis 2 3

4 β-bloker 1 2

5 Angiotensi II antagonis 1 2

Kombinasi 55 87

6 Diuretik + ACE-I 21 33

7 Diuretik + Angiotensi II antagonis 1 2

8 Diuretik + Ca antagonis 5 8

9 ACE-I + Ca antagonis 7 11

10 Ca antagonis + Angiotensi II antagonis 1 2

11 ACE-I + β-bloker 1 2

12 Diuretik + Diuretik + ACE-I 1 2

13 Diuretik + Diuretik + Ca antagonis 1 2

14 Diuretik + ACE-I + Ca antagonis 11 18

15 Diuretik + ACE-I + β-bloker 1 2

16 ACE-I + Ca antagonis + Ca antagonis 1 2

Berdasarkan tabel IV.4 terlihat bahwa kepada pasien diberikan terapi antihipertensi baik secara tunggal, ataupun kombinasi. Antihipertensi yang paling banyak diberikan adalah kombinasi dari diuretik dan ACE-I yaitu sebesar 33%. Kombinasi ini sudah tepat karena penurunan volume

33% 32%

22% 18%


(51)

ekstraseluler (intravaskuler) yang disebabkan oleh penggunaan diuretik akan mengaktifkan sistem renin angiotensin aldosteron yang dapat meningkatkan tekanan darah, pemberian ACE-I akan menghambat sistem renin angiotensin aldosteron sehingga akan meningkatkan efek antihipertensi (NKF, 2004). Pemberian diuretik tunggal yaitu sebesar 32%; ACE-I sebesar 22%; kombinasi diuretik, ACE-I dan ca antagonis sebesar 18%; kombinasi ACE-I dan Ca.antagonis sebesar 11%; kombinasi diuretik dan ca antagonis sebesar 8%; pemberian ca antagonis tunggal sebesar 3%; sedangkan pemberian ß-bloker tunggal; angiotensin II antagonis tunggal; kombinasi diuretik dan angiotensi II antagonis; kombinasi ca antagonis dan angiotensi II antagonis; kombinasi ACE-I dan

β-bloker; kombinasi diuretik, diuretic dan ACE-I; kombinasi diuretik, diuretic dan ca antagonis; kombinasi diuretik, ACE-I dan β-bloker; kombinasi ACE-I, ca antagonis, dan ca antagonis masing-masing 2%. Distribusi penggunaan antihipertensi tunggal dan kombinasi pada pasien GGK dapat dilihat pada gambar 4.4.

Gambar 4.4 Pengunaan antihipertensi tunggal dan kombinasi pada pasien GGK.

Penyesuaian dosis harus dilakukan untuk obat-obat yang diberikan kepada pasien GGK, kecuali beberapa antihipertensi lainnya seperti furosemid (diuretik) (Munar dan Harleen, 2007),

33% 32%

22% 18%

11% 8%


(52)

golongan ca antagonis yang diekskresi dalam bentuk utuh sedikit maka tidak membutuhkan penyesuaian dosis (Ganiswara, 2007). Captopril mempunyai nilai fraksi obat yang diekskresi utuh (fe) sebesar 40% dan lisinopril mempunyai nilai fe mendekati 100%, maka penyesuaian dosis kedua obat ini untuk pasien GGK harus dilakukan (Ganiswara, 2007). Dosis ACE-I (captopril dan lisinopril) yang diberikan kepada pasien GGK dibandingkan dengan dosis yang direkomendasikan dapat dilihat pada tabel IV.5 dan IV.6.

Tabel IV.5 Dosis captopril yang diberikan kepada pasien GGK dibandingkan dengan dosis yang

direkomendasikan.

GFR (ml/min/1,73 m2

Jumlah ) Pasien

Captopril

Dosis yang diberi Dosis yang direkomendasikan kepada pasien GGK *

> 50 Tetap

10-50 13  2x6,25 mg

 2x12,5 mg

 3x6,5 mg

 2x25 mg

 3x25 mg

 3x50 mg

(GFR 10-50) 75% dari dosis lazim **

< 10 31  2x6,25 mg

 2x12,5 mg

 3x6,25 mg

 3x12,5 mg

 2x25 mg

 3x25 mg

 3x50 mg

(GFR

50% dari dosis lazim ** < 10)

Ket : * Munar dan Harleen, 2007.

** Dosis lazim captopril: 25-150 mg (2-3 kali/hari) NKF, 2004

Tabel IV.6 Dosis lisinopril yang diberikan pada pasien GGK dibandingkan dengan dosis yang

direkomendasikan.

GFR (ml/min/1,73 m2

Jumlah ) Pasien

Lisinopril

Dosis yang diberi Dosis yang direkomendasikan kepada pasien GGK *

> 50 Tetap

10-50 1 1x10 mg mg (GFR 10-50)

50-75% dari dosis lazim **

< 10 - - (GFR

25-50% dari dosis lazim ** < 10)

Ket : * Munar dan Harleen, 2007.


(53)

Dosis captopril yang digunakan pada penelitian ini sudah sesuai dengan dosis yang direkomendasikan kepada pasien GGK yakni 75% dari dosis lazim untuk pasien dengan LFG 10-50 dan 10-50% dari dosis lazim untu pasien dengan LFG

Terapi hipertensi dengan β-bloker (bisoprolol) kepada pasien GGK telah dilaporkan menyebabkan fungsi ginjal memburuk maka penyesuaian dosis obat ini untuk pasien GGK harus dilakukan (Ganiswara, 2007). Dosis bisoprolol yang diberikan kepada pasien GGK dibandingkan dengan dosis yang direkomendasikan dapat dilihat pada tabel IV.7.

< 10 (tabel IV.5). Untuk lisinopril juga sudah dilakukan penyesuaian dosis yakni 50-75% dari dosis lazim untuk pasien dengan LFG 10-50 (tabel IV.6).

Tabel IV.7 Dosis Bisoprolol yang Diberikan pada Pasien GGk Dibandingkan dengan Dosis yang

Direkomendasikan.

GFR (ml/min/1,73 m2

Jumlah pasien )

Bisoprolol

Dosis yang diberi Dosis yang direkomendasikan kepada pasien GGK *

> 50 Tetap

10-50 2 1x2,5 mg (GFR 10-50)

75% dari dosis lazim **

< 10 1 1x1,25 mg (GRF

50% dari dosis lazim ** < 10)

Ket : *

** Dosis bisoprolol: 2,5-10 mg (1 kali/hari) NKF, 2004. Munar dan Harleen, 2007.

Dosis bosoprolol yang digunakan pada penelitian ini sudah sesuai dengan dosis yang direkomendasikan kepada pasien GGK yakni 75% dari dosis lazim untuk pasien dengan LFG 10-50 dan 10-50% dari dosis lazim untuk pasien dengan LFG

4.3 Efektifitas Penggunaan Antihipertensi pada Pasien GGK

< 10 (tabel IV.7) (contoh perhitungan penyesuaian dosis tertera pada lampiran 3 hal. 53).

Menurut JNC 7 penurunan tekanan darah yang ditargetkan pada pasien hipertensi dengan GGK adalah 130/80 mmHg. Pada Lampiran 4 hal. 56 tertera kondisi klinis, antihipertensi yang diberikan dan tekanan darah akhir yang dicapai, pemberian antihipertensi dengan berbagai dosis, rute dan kombinasi dilakukan untuk penanganan hipertensi yang dialami pasien. Dari 63 pasien


(54)

yang mendapat terapi antihipertensi selama dirawat di rumah sakit hanya 14% pasien yang mencapai target tekanan darah (130/80 mmHg) (lampiran 5 hal. 74).

4.4 Interaksi obat

Pemberian polifarmasi dapat mengakibatkan interaksi obat. Yang dibahas dalam penelitian ini adalah interaksi antihipertensi dengan obat lain yang dapat menurunkan efektivitas antihipertensi sebagaimana tercantum pada tabel IV.8.

Tabel IV.8 Interaksi antihipertensi dengan obat lain pada pasien GGK

Anti Hipertensi Antihipertensi lain/ Obat lain Fre kuensi

(n = 63) Pro Sen tase

Interaksi Rekomendasi

Furosemid PCT 2 3

Meningkatkan risiko gangguan ginjal dan melawan efek hipotensif

Jika AINS harus diberikan, maka dosis AINS dikurangi

Captopril PCT 2 3

Meningkatkan risiko gangguan ginjal dan melawan efek hipotensif

Jika AINS harus diberikan, maka dosis AINS dikurangi

Furosemid + Captopril

AINS (PCT,

aspilet) 2 3

Meningkatkan risiko gangguan ginjal dan melawan efek hipotensif

Jika AINS harus diberikan, maka dosis AINS dikurangi

Captopril +

Diltiazem PCT 3 4

Meningkatkan risiko gangguan ginjal dan melawan efek hipotensif

Jika AINS harus diberikan, maka dosis AINS dikurangi Furosemid +

Captopril + Diltiazem

PCT 2 3

Meningkatkan risiko gangguan ginjal dan melawan efek hipotensif

Jika AINS harus diberikan, maka dosis AINS dikurangi Furosemid +

Captopril + Nifedipin

PCT 1 2

Meningkatkan risiko gangguan ginjal dan melawan efek hipotensif

Jika AINS harus diberikan, maka dosis AINS dikurangi Captopril +

Diltiazem + Nifedipin

Na diklopenat 1 2

Meningkatkan risiko gangguan ginjal dan melawan efek hipotensif

Jika AINS harus diberikan, maka dosis AINS dikurangi

Berdasarkan tabel IV.8 dapat dilihat interaksi yang dapat menurunkan efektivitas antihipertensi adalah dengan obat-obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) yakni sebesar 20%. Obat-obat AINS dapat meningkatkan resiko gangguan ginjal dan melawan efek hipotensif antihipertensi dengan menghambat COX I yang berperan dalam pembentukan prostaglandin yang bersifat vasodilator.

Berdasarkan uraian diatas banyak peluang terjadinya interaksi antihipertensi dengan obat lain yang dapat menurunkan efektivitas antihipertensi terutama terapi dengan polifarmasi.


(55)

Sehubungan dengan adanya interaksi tersebut maka perlu dilaksanakan rekomendasi pada tabel

IV.8. Dengan demikain diharapkan interaksi dapat dimanimalisir dan efektivitas dapat


(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan:

a. golongan antihipertensi yang paling sering diberikan kepada pasien GGK adalah golongan diuretik sebesar 73%, golongan ACE-I (captopril, sebesar 71%, ca antagonois sebesar 38%, β-bloker dan angiotensi II antagonis masing-masing 5%. Kombinasi yang paling sering digunakan adalah diuretik dan ACE-I sebesar 33%.

b. regimen dosis antihipertensi yang diberikan kepada pasien GGK sudah sesuai dengan acuan.

c. terdapat interaksi dengan obat lain yang dapat menurunkan efektivitas antihipertensi, yaitu dengan obat-obat AINS sebesar 20%.

5.2 saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, maka disarankan:

a. melakukan penelitian lebih lanjut yang bersifat prospektif dengan pengamatan secara langsung kepada pasien GGK.

b. untuk menghindari terjadinya interaksi yang menurunkan efektivitas antihipertensi, farmasis klinis perlu melakukan pemantauan (monitoring) pemberian antihipertensi serta obat lain kepada pasien GGK.


(1)

No No

MR Inisial

Kondisi klinis

Hari ke

TD (mmHg)

Antihipertensi yang digunakan

Nama Sed Dosis Cara

pakai 57 424

148

RGM

- BAB hitam

- Muntah darah

- Maag

- Muka pucat.

2 180/100 Captopril Tab 2X25 mg PO

Furosemid Inj 1 amp/12 jam IV

58 390 121

RSG

- Sesak napas

- Mual.

1 180/100 Captopril Tab 2X25 mg PO

Furosemid Inj 1 amp/6 jam IV 59 424

932

ESI

- Sesak napas

- Muka pucat

1 160/90 Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV 2 160/90 Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV 3 150/100 Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV 4 140/80 Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV 6 140/120 Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV 7 160/120 Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV 60 425

274

IML

- Sesak napas

- Batuk

- Demam.

1 190/90 Furosemid Inj 1 amp/6 jam IV

61 425 452

WRA

- Sesak napas

- Batuk berdahak

- Penurunan BB

- Demam

- Bengkak di kaki.

2 130/70 Captopril Tab 2X12,5 mg PO Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV 3 130/80 Captopril Tab 2X12,5 mg PO Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV 4 130/70 Captopril Tab 2X12,5 mg PO Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV 62 406

521

JYM

- Sesak napas

- Batuk

- DM

2 130/70 Furosemid Inj 1 amp/12 jam IV 3 120/70 Furosemid Inj 1 amp/12 jam IV 4 120/70 Furosemid Inj 1 amp/12 jam IV 63 425

601

III

- Pendarahan pada

kemaluan.


(2)

Lampiran 5. Perubahan Tekanan Darah Pasien GGK Selama Terapi di Rumah Sakit yang Mencapai Taret.

No No

MR Inisial

Kondisi klinis

Hari ke

TD (mmHg)

Antihipertensi yang digunakan

Nama Sed Dosis Cara

pakai 1 416

838

SH

- BAK berpasir dan

pernah keluar batu

- Dada terasa berat

2 130/80 Captopril Tab 2x25 mg PO

3 120/90 Captopril Tab 2x25 mg PO

4 120/80 Captopril Tab 2x25 mg PO

5 120/80 Captopril Tab 2x25 mg PO

6 140/80 Captopril Tab 2x25 mg PO

8 150/90 Captopril Tab 2x25 mg PO

Diltiazem Tab 3x60 mg PO

9

110/80

Captopril

Tab

2x25 mg

PO

Diltiazem

Tab

3x60 mg

PO

10 160/120 Captopril Tab 2x25 mg PO

Diltiazem Tab 3x60 mg PO

11

130/90

Captopril

Tab

2x25 mg

PO

Diltiazem

Tab

3x60 mg

PO

12 110/70 Captopril Tab 2x25 mg PO

Diltiazem Tab 3x60 mg PO

13

130/90

Captopril

Tab

2x25 mg

PO

Diltiazem

Tab

3x60 mg

PO

15 150/100 Captopril Tab 2x25 mg PO

Diltiazem Tab 3x60 mg PO

16

130/80

Captopril

Tab

2x25 mg

PO

Diltiazem

Tab

3x60 mg

PO

2 417

528

SGO

- Perut membesar

- Sesak napas

1 170/80 Captopril Tab 2x25 mg PO

Furosemid Inj 1 amp/12 jam IV

Diltiazem Tab 3x60 mg PO

2 160/120 Captopril Tab 2x25 mg PO

Furosemid Inj 1 amp/12 jam IV

Diltiazem Tab 3x60 mg PO

3 120/80 Captopril Tab 2x25 mg PO

Furosemid Inj 1 amp/12 jam IV

Diltiazem Tab 3x60 mg PO

3 419 129

AAA

- Mual muntah

- Nyeri pinggang

- BAK keluar batu

1

140/70

Captopril

Tab

2x12,5 mg

PO

3

140/70

Captopril

Tab

2x12,5 mg

PO

4

160/90

Captopril

Tab

2x12,5 mg

PO

5

120/70

Captopril

Tab

2x12,5 mg

PO

6

140/90

Captopril

Tab

2x12,5 mg

PO

7

140/80

Captopril

Tab

2x12,5 mg

PO

9

120/70

Captopril

Tab

2x12,5 mg

PO

11

120/80

Captopril

Tab

2x12,5 mg

PO


(3)

No No

MR Inisial

Kondisi klinis

Hari ke

TD (mmHg)

Antihipertensi yang digunakan

Nama Sed Dosis Cara

pakai 4 418

225

KGA

- Penurunan ksadaran

- Mual

- Muntah

- Cekukan

- Nyeri saat BAK

2 160/80 Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV Captopril Tab 3x6,25 mg PO

3 140/80 Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV Captopril Tab 3x6,25 mg PO

Bisoprolol Tab 1x2,5 mg PO

5 120/60 Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV Captopril Tab 3x6,25 mg PO Bisoprolol Tab 1x2,5 mg PO 6 130/90 Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV Captopril Tab 3x6,25 mg PO Bisoprolol Tab 1x2,5 mg PO

7 120/80 Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV

Captopril Tab 3x12,5 mg PO

Bisoprolol Tab 1x2,5 mg PO

8 130/60 Furosemid Tab 1x40 mg PO

Captopril Tab 3x12,5 mg PO Bisoprolol Tab 1x2,5 mg PO

9 180/70 Furosemid Tab 1x40 mg PO

Captopril Tab 3x12,5 mg PO Bisoprolol Tab 1x2,5 mg PO

10 140/70 Furosemid Tab 1x40 mg PO

Captopril Tab 3x12,5 mg PO Bisoprolol Tab 1x2,5 mg PO

12 140/70 Furosemid Tab 1x40 mg PO

Captopril Tab 3x12,5 mg PO Bisoprolol Tab 1x2,5 mg PO

13 110/60 Furosemid Tab 1x40 mg PO

Captopril Tab 3x12,5 mg PO Bisoprolol Tab 1x2,5 mg PO

14

130/60

Furosemid

Tab

1x40 mg

PO

Captopril

Tab

3x12,5 mg

PO

Bisoprolol

Tab

1x2,5 mg

PO

15 130/80 Furosemid Tab 1x40 mg PO

Captopril Tab 3x12,5 mg PO Bisoprolol Tab 1x2,5 mg PO 5 421

765

DTN

- Sesak napas

1 150/100 Captopril Tab 2X25 mg PO Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV

3 120/100 Captopril Tab 3X25 mg PO

Furosemid Inj 1 amp/8 jam IV

4 130/80 Captopril Tab 3X25 mg PO


(4)

No No

MR Inisial

Kondisi klinis

Hari ke

TD (mmHg)

Antihipertensi yang digunakan

Nama Sed Dosis Cara

pakai 6 419

159

AIN

- Sesak napas

- Batuk berdahak

- BAK keluar batu

1 90/80 Furosemid Inj 2 amp/6 Jam IV 3 160/110 Furosemid Inj 2 amp/6 Jam IV

4 150/100 Furosemid Inj 2 amp/6 Jam IV

Captopril Tab 2x12,5 mg PO

5 140/80 Furosemide Inj 2 amp/6 Jam IV Captopril Tab 2x12,5 mg PO 6 150/100 Furosemide Inj 2 amp/6 Jam IV Captopril Tab 2x12,5 mg PO 7 130/80 Furosemide Inj 2 amp/6 Jam IV Captopril Tab 2x12,5 mg PO 7 421

085

SEG

- Bengkak pada kaki

- Muka pucat

- Batuk

1 150/80 Captopril Tab 2x25 mg PO

Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV

2 150/80 Captopril Tab 2x25 mg PO

Furosemid Tab 1x40 mg PO

3 130/70 Captopril Tab 2x25 mg PO

Furosemid Tab 1x40 mg PO

4 130/80 Captopril Tab 2x25 mg PO

Furosemid Tab 1x40 mg PO

8 421 797

RKH

- Sesak napas

- Muka pucat

- Benjolan pada perut

- BAB hitam

2

160/80 Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV

3

160/80 Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV

4

130/80 Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV

5

140/70 Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV

6

120/60 Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV

8

130/80 Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV

9

100/80

Furosemid

Inj

1 amp/ 12 jam

IV

10

110/70 Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV

11

110/70 Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV

12

110/70 Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV

13

130/70 Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV

15

130/80 Furosemid Inj 1 amp/ 12 jam IV 9 423

898

SHI

- Pendarahan pada

Kemaluan

- Penurunan nafsu

makan.

- Penurunan BB.

18 160/90 Furosemid Inj 2 amp/12 jam IV 19 150/70 Furosemid Inj 2 amp/12 jam IV 20 160/100 Furosemid Inj 2 amp/12 jam IV

21 Furosemid Inj 2 amp/12 jam IV

22 130/90 Furosemid Inj 2 amp/12 jam IV 23 130/80 Furosemid Inj 2 amp/12 jam IV


(5)

(6)