Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa

(1)

DU K U N GAN SOSI AL

PADA PASI EN GAGAL GI N J AL T ERM I N AL

Y AN G M ELAK U K AN T ERAPI H EM ODI ALI SA

DISUSUN OLEH :

ARLIZA JUAIRIANI LUBIS, M.Si, psikolog NIP. 132 303 828

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2006


(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ………... i

Kata Pengantar ………...………... ii

I. PENDAHULUAN ... 1

II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 4

III. METODE PENELITIAN ... 15

IV. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 20

V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 30


(3)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan rezeki yang Ia berikan sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Makalah ini dibuat berdasarkan hasil penelitan tentang dukungan sosial pada pasien gagal ginjal terminal yang melakukan terapi hemodialisa, atau yang sehari-harinya disebut pasien cuci darah.

Gagal ginjal terminal merupakan tahap akhir dari gangguan fungsi ginjal dimana pasien harus menjalani terapi dialisa selama sisa hidupnya. Bentuk terapi dialisa yang paling sering dilakukan di Indonesia adalah hemodialisa. Permasalahan yang muncul kemudian menyebabkan pasien hemodialisa rentan terhadap stres. Keadaan stres seringkali menimbulkan perasaan tidak nyaman sehingga individu termotivasi untuk menguranginya. Salah satu cara untuk mengurangi stres adalah dengan memanfaatkan dukungan sosial. Akan tetapi, bentuk dukungan yang berlebihan dan tidak tepat ternyata malah menambah stres pada individu sehingga akan memperburuk keadaan.

Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis berharap dapat memberi gambaran tentang bagaimana dukungan sosial yang dialami oleh pasien hemodialisa. Gambaran tersebut diharapkan berguna untuk pengembangan ilmu psikologi dalam bidang kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan penyakit gangguan ginjal. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai informasi tambahan dari sudut pandang psikologis kepada praktisi kesehatan yang menangani penderita gangguan ginjal agar mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang dukungan sosial yang dialami oleh penderita sehingga dapat membantu mengatur dan memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan. Dengan begitu diharapkan penderita dapat meningkatkan kemampuannya menghadapi stres dan mempercepat penyesuaian dirinya.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor USU, Dekan F. Kedokteran USU serta Ketua Ps. Psikologi FK USU yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada penulis dalam rangka mengabdikan ilmu yang penulis miliki di lingkungan Ps. Psikologi F. Kedokteran USU. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Pak Iskandar yang pantang menyerah dalam mengingatkan penulis untuk menyelesaikan penulisan makalan ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan dalam makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima masukan dan saran dari pembaca untuk meningkatkan kualitas makalah ini. Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi segala pihak yang terkait.

Medan, 23 Mei 2006


(4)

I. PENDAHULUAN

Mempertahankan volume, komposisi dan distribusi cairan tubuh merupakan fungsi esensial untuk kesejahteraan, yang berarti keselamatan, dari seluruh mahluk hidup. Pada manusia, fungsi ini sebagian besar dijalankan oleh ginjal (Brenner, 1979). Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan asam-basa darah, serta ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam (Pearce, 1995). Apabila ginjal gagal menjalankan fungsinya maka penderita memerlukan pengobatan dengan segera.

Keadaan dimana ginjal lambat laun mulai tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik disebut juga dengan gagal ginjal kronis. Gagal ginjal kronis makin banyak menarik perhatian dan makin banyak dipelajari karena walaupun sudah mencapai tahap gagal ginjal terminal akan tetapi penderita masih dapat hidup panjang dengan kualitas hidup yang cukup baik (Sidabutar, 1992).

Rahardjo (1996) mengatakan bahwa jumlah penderita gagal ginjal kronis yang menjadi gagal ginjal terminal terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahun. Laporan Sidabutar menunjukkan bahwa di Indonesia jumlah dialisa meningkat secara pasti setiap tahunnya, dari sebanyak 389 kali pada tahun 1980 menjadi 4.487 pada tahun 1986 (Sidabutar dalam Lubis, 1991). Di Bandung angka ini meningkat dari 115 kali pada tahun 1984 menjadi 7.223 pada tahun 1989 (Roesli dalam Lubis, 1991). Di Medan angka meningkat dari 100 kali pada tahun 1982 menjadi 1100 pada tahun 1990 (Nasution dalam Lubis, 1991).

Yang disebut dengan gagal ginjal terminal adalah keadaan dimana ginjal sudah tidak dapat menjalankan fungsinya lagi. Ginjal tersebut tidak dapat diperbaiki sehingga pengobatan yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan cuci darah (yang lebih sering disebut dengan dialisa) setiap jangka waktu tertentu atau tranplantasi (Pearce, 1995). Penderita yang didiagnosa mengalami gagal ginjal terminal akan tetapi tidak menjalani transplantasi maka seumur hidupnya ia akan tergantung pada alat dialisa untuk menggantikan fungsi ginjalnya.

Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada perawatan penderita gagal ginjal terminal. Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal (Rahardjo, 1992; Kartono, Darmarini & Roza, 1992). Terapi pengganti yang sering dilakukan adalah hemodialisa dan peritonealdialisa (Kartono, Darmarini & Roza, 1992). Diantara kedua jenis tersebut, yang menjadi pilihan utama dan merupakan metode perawatan yang umum untuk penderita gagal ginjal adalah hemodialisa (Peterson, 1995; Kartono, Darmarini & Roza, 1992).

Menurut Ketua Yayasan Peduli Ginjal (dalam http://www.indokini.com/kesehatan/ kes1128.shtml), Dr. Rully MA Roesli, sistem dialisa bagi penderita gagal ginjal terminal merupakan satu-satunya cara untuk dapat bertahan hidup. Pengobatan lain seperti pencangkokan transpalasi ginjal masih terbatas karena banyak kendala banyak yang harus dihadapi, diantaranya ketersediaan donor ginjal, teknik operasi dan juga perawatan pada waktu pascaoperasi.

Sebagian pasien hemodialisa dirawat di rumah sakit atau unit dialisa dimana mereka menjadi pasien rawat jalan (Michael, 1986). Sebagian besar pasien membutuhkan 12 – 15 jam


(5)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

hemodialisa setiap minggunya yang terbagi dalam dua atau tiga sesi dimana setiap sesi berlangsung antara 3 – 6 jam (Tierney, McPhee, Papdakis & Schroeder, 1993). Kegiatan ini akan berlangsung terus menerus selama hidupnya.

Keadaan ketergantungan pada mesin dialisa seumur hidupnya mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan penderita gagal ginjal terninal yang melakukan terapi hemodialisa (biasanya disingkat dengan pasien hemodialisa). Moos dan Schaefer serta Sarason dan Sarason (dalam Sarafino, 1998) mengatakan bahwa perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu pemicu terjadinya stres. Sarafino dan Taylor (dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa keadaan stres dapat menghasilkan perubahan, baik secara fisiologis maupun psikologis, yang mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit. Stres juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesakitan dengan cara merubah pola perilaku individu. Hal ini jelas menunjukkan adanya keadaan stres akan memperburuk kondisi kesehatan penderita dan menurunkan kualitas hidupnya.

Moos dalam Sarafino (1998) mengemukakan beberapa strategi dalam mengatasi stres yang dapat dilakukan oleh penderita ganguan kesehatan, yaitu :

1. Mengingkari atau meminimalisasi keseriusan situasi.

2. Mempertahankan kebiasaan rutin sebisa mungkin.

3. Memperkirakan kejadian dan keadaan stres yang mungkin muncul dimasa yang akan datang.

4. Mencoba memiliki pandangan baru tentang masalah kesehatan tersebut dan perawatannya

dengan menemukan tujuan jangka panjang atau makna dari pengalaman tersebut. 5. Mencari informasi tentang masalah kesehatan tersebut dan prosedur perawatannya.

6. Mencari dukungan instrumental dan emosional dari keluarga, teman dan praktisi kesehatan yang terlibat dengan menunjukkan kebutuhan dan perasaan.

Agar dapat menjalankan strategi tersebut dengan baik, individu membutuhkan bantuan dari orang lain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki interaksi yang dekat dengan teman dan kerabat lebih dapat menghindari penyakit sedangkan untuk mereka yang sedang dalam masa penyembuhan akan sembuh lebih cepat apabila mereka memiliki keluarga yang menolong mereka (Baron & Byrne, 1994; Sheridan & Radmacher, 1992). Secara umum dikatakan pula bahwa individu yang merasa menerima penghiburan, perhatian dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis (DiMatteo & DiNicola dalam Sarafino, 1998).

Interaksi yang dekat, penghiburan, perhatian dan pertolongan yang diberikan kepada seseorang disebut juga dengan dukungan sosial. Lebih jelasnya, Thoits (dalam Rutter, Chesham & Quine, 1993) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah derajat dimana kebutuhan dasar individu pada afeksi, persetujuan, rasa memiliki dan keamanan didapatkan lewat interaksi dengan orang lain.

Secara garis besar, dukungan sosial yang diberikan dapat dikelompokkan ke dalam lima bentuk, yaitu dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan harga diri dan dukungan dari kelompok sosial (Sarafino, 1998). Bentuk dukungan yang dibutuhkan dan diterima seseorang tergantung pada keadaan yang menimbulkan stres. Martin (dalam Sarafino, 1998) menemukan bahwa penderita kanker merasa dukungan


(6)

emosional dan dukungan pada harga diri lebih dapat menolong dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi. Kulik dan Mahler (dalam Sheridan & Radmacher, 1989) menemukan bahwa

pasien operasi bypass koroner yang telah menikah dan pasangannya mengunjungi dengan

teratur sembuh lebih cepat dari pada mereka yang jarang dikunjungi oleh pasangannya dan mereka yang belum menikah.

Gangguan pada fungsi ginjal dan perawatannya serta penyesuaian diri terhadap kondisi sakit menyebabkan pasien hemodialisa mengalami stres. Stres ini mengakibatkan kualitas kesehatan pasien tersebut menurun sehingga menambah beban stres yang telah ada sebelumnya. Dukungan sosial yang tepat dapat membantu pasien dalam menghadapi hal-hal yang menimbulkan stres ini, sementara dukungan sosial yang tidak tepat ternyata malah menimbulkan stres baru pada pasien dan terakumulasi ke dalam stres yang sedang dialami pasien tersebut sehingga akan memperburuk keadaan.

Sehubungan dengan uraian diatas, maka timbul pertanyaan tentang bagaimana dukungan sosial pada pasien hemodialisa. Dukungan sosial ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang pasien hemodialisa itu sendiri dan dari sudut pandang sumber dukungan sosialnya. Oleh karena itu, ada beberapa pertanyaan lanjutan yang timbul untuk memperjelas permasalahanan ini, yaitu:

1. Bagaimana perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat

dari sudut pandang pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa?

2. Bagaimana perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat

dari sudut pandang sumber dukungan sosial dan dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial?

3. Bagaimana perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat

dari sudut pandang pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial?

4. Bagaimana perbedaan antara dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial?

Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang bagaimana dukungan sosial yang dialami oleh pasien hemodialisa. Gambaran tersebut berguna untuk pengembangan ilmu psikologi dalam bidang kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan penyakit gangguan ginjal, serta dapat menambah bahan kepustakaan mengenai psikologi kesehatan. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai informasi tambahan dari sudut pandang psikologis kepada praktisi kesehatan yang menangani penderita gangguan ginjal agar mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang dukungan sosial yang dialami oleh penderita sehingga dapat membantu mengatur dan memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan. Dengan begitu diharapkan penderita dapat meningkatkan kemampuannya menghadapi stres dan mempercepat penyesuaian dirinya.


(7)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN II.A. Ginjal

Ginjal adalah organ tubuh yang berfungsi untuk mengeluarkan urine, yang merupakan sisa hasil metabolisme tubuh dalam bentuk cairan. Ginjal terletatak pada dinding bagian luar rongga perut, yang merupakan rongga terbesar dalam tubuh manusia, tepatnya di sebelah kanan dan kiri tulang belakang. Bentuk ginjal seperti biji kacang dengan panjang 6 sampai 7,5 sentimeter dengan ketebalan 1,5 sampai 2,5 sentimeter (Pearce, 1995).

Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur keseimbangan asam-basa darah serta mengatur ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam. Apabila ginjal gagal dalam menjalankan fungsinya ini, maka akan terjadi gangguan pada keseimbangan air dan metabolisme dalam tubuh sehingga mengakibatkan terjadinya penumpukan zat-zat berbahaya dalam darah yang dapat mengganggu kerja organ lain yang menyebabkan penderita memerlukan pengobatan segera.

II.A.1. Gangguan Fungsi Ginjal

Rahardjo (1996) mengklasifikasi gangguan pada fungsi ginjal ke dalam empat tahap, yaitu hilangnya fungsi ginjal, insufisiensi ginjal, gagal ginjal dan gagal ginjal terminal

Tahap awal dari gangguan fungsi ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Pada tahap ini biasanya penderita tidak menyadari adanya gangguan pada fungsi ginjalnya. Keadaan ini hanya akan diketahui apabila penderita melakukan pemeriksaan khusus fungsi ginjal. Namun seiring dengan waktu maka akan terjadi penumpukan sisa-sisa metabolisme di dalam tubuh yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan yang lebih berat.

Pada tahap berikutnya, yaitu insufisiensi ginjal, penurunan fungsi ginjal semakin dapat dilihat lewat pemeriksaan rutin. Akan tetapi penderita sering tidak mengeluhkan keadaan ini sampai mencapai tahap dimana penurunan fungsi ginjalnya semakin memburuk sehingga mengganggu kemampuan sehari-harinya.

Pada tahap ketiga, yaitu gagal ginjal, gangguan fungsi ginjal serta gejala sudah nyata. Berkurangnya fungsi ginjal menyebabkan penumpukan hasil pemecahan protein, yaitu ureum dan nitrogen yang beracun bagi tubuh, sehingga tubuh akan mengalami kekurangan protein.

Gangguan dalam metabolisme lemak akan menyebabkan low density lipoprotein (LDL) atau

kolesterol "buruk" dan trigliserida meningkat, sedang HDL atau kolesterol "baik" menurun. Dalam jangka panjang hal ini menimbulkan gangguan kardiovaskuler Sementara itu gangguan pada metabolisme karbohidrat akan menyebabkan peningkatan kadar gula darah. Kemampuan penderita menjadi terganggu dalam pekerjaan atau aktifitas sehari-hari.

Tahap akhir dari gangguan fungsi ginjal, yaitu gagal ginjal terminal, dapat dilihat dari sisa fungsi yang minimal sehingga gejala dan komplikasi pada penderita sudah sedemikian nyata dan tindakan perawatan harus segera dilakukan untuk menyelamatkan pasien. Pada gangguan fungsi ginjal tahap ketiga dan tahap terakhir apabila tidak ditangani dengan baik maka gangguan akan berkembang kearah yang lebih berat dan akhirnya memerlukan tindakan yang mahal dan berakibat fatal.


(8)

II.A.1.(i). Gagal Ginjal Terminal

Gagal ginjal terminal ditandai dengan fungsi ginjal yang semakin mengecil sehingga diperlukan pengaturan pemasukan cairan yang sangat ketat serta perawatan lain berupa dialisa kronis atau transplantasi untuk mempertahankan hidup (Peterson, 1995; Michael, 1986; Kartono, Darmarini & Roza, 1992). Keadaan ini yang merupakan manifestasi puncak dari gagal ginjal kronis.

Gagal ginjal kronis merupakan sebutan bagi kondisi gagal ginjal yang ditandai dengan keadaan klinik yang menunjukkan penurunan progresif fungsi ginjal secara perlahan tapi pasti, yang dapat mencapai 60% dari kondisi normal, menuju ketidakmampuan ginjal. Yang membedakannya dengan gagal ginjal akut, atau gagal ginjal mendadak yang diakibatkan oleh adanya infeksi pada ginjal, adalah perkembangan pada gagal ginjal kronis yang berbentuk progresif (meningkat dalam kuantitas maupun kualitas secara bertahap) dan melibatkan mekanisme adaptif dimana ginjal masih dapat mengatur keseimbangan cairan dalam derajat yang cukup untuk bertahan dengan pemasukan makanan yang normal.

Adanya penurunan fungsi ginjal yang perlahan ini mengakibatkan kemampuan ginjal untuk mengeluarkan hasil-hasil metabolisme tubuh terganggu sehingga sisa-sisa metabolisme tersebut menumpuk dan menimbulkan gejala klinik dan laboratorium yang disebut sindrom uremik. Periode waktu perkembangan gangguan ini dapat terjadi beberapa bulan sampai beberapa tahun (Pearce, 1995; Peterson, 1995; Sidabutar, 1992; Roesma, 1992; Lubis, 1991; Walls, 1986; Valtin, 1979; Robinson, 1979).

Gejala utama dari gagal ginjal kronis berupa keluhan rasa sakit di daerah pinggang yang dapat disertai dengan rasa mual, muntah, gatal-gatal di kulit, lemas, lesu, cepat lelah, kurang cairan dalam tubuh, sembab di daerah muka, perut dan kaki, nafsu makan menurun, frekuensi dalam buang air dan jumlah urine berubah, libido menurun serta menstruasi yang tidak teratur (Peterson, 1995; Tierney, dkk., 1993; Roesma, 1992; Kresnawan & Sukardjini, 1992; Lubis, 1987).

II.A.2. Perawatan Bagi Pasien Gagal Ginjal Terminal

Perawatan yang biasa digunakan dalam penanganan gangguan ginjal terminal adalah manajemen diet, dialisa dan transplantasi ginjal (Carpenter & Lazarus, 1984; Tierney, dkk, 1993). Manajemen diet diberikan kepada penderita gangguan ginjal sejak dari tahap awal sampai tahap akhir. Manajemen diet bertujuan untuk membantu mempertahankan status gizi yang optimal, mencegah faktor-faktor pemberat, mencoba untuk memperlambat penurunan fungsi ginjal, mengurangi dan bila mungkin menghilangkan gejala yang menganggu dan mengatur keseimbangan cairan elektrolit (Kresnawan & Sukardjini, 1992; Rahardjo, 1996). Selain itu dengan adanya pengaturan diet yang baik, maka penderita gangguan ginjal yang mencapai tahap gagal ginjal kronis akan dapat hidup normal dan produktif serta dapat menunda menjalani dialisa untuk jangka waktu yang cukup lama (Kresnawan & Sukardjini, 1992).


(9)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

Dialisa, yang lebih populer dengan sebutan cuci darah, merupakan tindakan terapi perawatan yang harus dilakukan oleh penderita gagal ginjal baik akut maupun kronis. Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena fungsinya yang menggantikan sebagian fungsi ginjal, yaitu ekskresi pembuang zat-zat berbahaya dari tubuh hasil dari metabolisme (Rahardjo, 1992; Kartono, Darmarini & Roza, 1992). Dialisa saat ini hanya mengeluarkan 48 sampai maksimum 52% saja dari toksin uremik (Rahardjo, 1996), oleh karena itu penderita tetap memerlukan pembatasan pemasukan makanan dan minuman yang ketat serta intervensi obat-obatan untuk mengatur aspek-aspek dari kegagalan fungsi ginjal yang lain serta untuk mencegah terjadinya akumulasi sisa-sisa metabolisme diantara waktu dialisa (Kartono, Darmarini & Roza, 1992; Tszamaloukas, 1993).

Tranplantasi ginjal merupakan upaya terakhir dalam perawatan penderita gangguan ginjal. Hal ini terutama dilakukan apabila fungsi ginjal yang tersisa sangat sedikit sekali bahkan tidak ada. Prinsip utamanya adalah mengganti ginjal yang rusak dengan ginjal donor yang sehat lewat prosedur operasi. Perawatan ini memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang panjang karena harus melalui serangkaian pengujian laboratorium untuk mengetahui apakah ginjal donor cocok dengan penderita dan perawatan pasca operasi. Walaupun begitu, tranplantasi ginjal tidak menjamin penderita sembuh total karena pada banyak kasus ditemukan bahwa mereka yang sudah menjalani transplantasi ginjal kembali menjalani dialisa.

II.A.2.(i). Dialisa

Dalam Daugirdas, Blake dan Ing (2001) dialisa diartikan sebagai proses dimana materi tertentu dari suatu cairan dikeluarkan dari cairan tersebut dengan menggunakan bantuan cairan lain yang dibatasi oleh membran semipermeable. Prinsip yang dipakai adalah molekul materi

cairan yang bentuknya kecil dapat melewati membran semipermeable, sementara molekul

materi cairan yang bentuknya besar akan tertahan.

Ada beberapa cara dalam melakukan dialisa. Dua cara yang paling sering dilakukan adalah hemodialisa dan peritonealdialisa (Kartono, Darmarini & Roza, 1992). Perbedaan antara keduanya terletak pada alat dan tehnik yang digunakan dalam proses dialisa. Tehnik dalam hemodialisa adalah dengan mengalirkan darah keluar tubuh dan proses dialisa terjadi di dalam tabung dialisa yang berfungsi sebagai pengganti ginjal. Sementara tehnik dalam peritonealdialisa adalah dengan memanfaatkan rongga perut sebagai pengganti ginjal dengan cara mengalirkan cairan dialisa ke dalam rongga perut. Cairan dialisa dalam rongga perut dan darah yang berada dalam pembuluh kapiler yang sangat banyak di luar dinding rongga perut mengalami proses dialisa karena dinding rongga perut berperan sebagai membran

semipermeable.

Diantara kedua jenis dialisa tersebut yang merupakan metode perawatan yang umum untuk penderita gagal ginjal di Amerika Serikat dan di Indonesia adalah hemodialisa (Peterson, 1995; Kartono, Darmarini & Roza, 1992).


(10)

II.A.2.(i).(a). Hemodialisa

Hemodialisa didefenisikan sebagai bergeraknya air dan zat-zat beracun hasil

metabolisme dari dalam darah melewati membran semipermeable ke dalam cairan dialisa.

Bentuk seperti ini disebut juga dengan ginjal tiruan ekstrakorporeal (Peterson, 1995; Pearce, 1995; Michael, 1983; Carpenter & Lazarus, 1984). Hemodialisa dapat dilakukan di rumah atau di unit dialisa. Pasien yang menderita penyakit akut atau mengalami komplikasi medis biasanya melakukan dialisa di unit dialisa rumah sakit atau di unit perawatan intensif, sementara pasien yang kondisi kesehatannya lebih stabil dapat melakukan dialisa sebagai pasien rawat jalan di unit dialisa rumah sakit, di pusat dialisa non-rumah sakit atau di rumah (Carpenter & Lazarus, 1984). Di banyak negara, sebagian besar pasien hemodialisa dirawat di rumah sakit atau di unit dialisa dimana mereka menjadi pasien rawat jalan (Michael, 1986).

Biasanya pasien membutuhkan 12-15 jam hemodialisa setiap minggunya yang terbagi kedalam dua atau tiga sesi. Setiap sesi berlangsung selama 3-6 jam tergantung dari tipe membran yang digunakan, ukuran tubuh pasien dan kriteria lain yang telah ditentukan (Tierney, dkk, 1993; Michael, 1986; Valtin, 1979; Carpenter & Lazarus, 1984). Untuk melakukan sekali hemodialisa, pasien di Jakarta harus membayar biaya sebesar Rp 600 ribu hingga Rp 1,2 juta (http://www.indokini.com/kesehatan/kes1128.shtml). Biaya yang sangat mahal ini merupakan salah satu kelemahan dari prosedur hemodialisa. Untuk mengatasinya, maka dilakukan pemakaian ulang alat dialisa. Siregar (dalam http://www.gizi.net/ cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1002523069,30972,) menguraikan sejumlah keuntungan dan kerugian penggunaan ulang alat dialisa.

Keuntungan yang jelas adalah mengurangi biaya. Selain itu mengurangi komplikasi saat dialisa, memacu biokompatibilitas alat dialisa serta mengurangi bahan kimia industri pada pembuatan alat dialisa baru. Kerugiannya, pasien akan terkontaminasi bahan kimia yang digunakan untuk membersihkan alat dialisa. Selain itu, ada kemungkinan kontaminasi kuman pada alat dialisa serta penurunan kemampuan alat untuk membersihkan racun dari tubuh dan penurunan kapasitas ultrafiltrasi alat dialisa. Akan tetapi hasil penelitian yang dilakukan para ahli menunjukkan, tidak ada perbedaan risiko dalam hal kematian dan kesakitan dari pasien yang menjalani cuci darah dengan penggunaan ulang alat dialisa dengan yang tidak digunakan ulang. Kelemahan lain berhubungan dengan terganggunya waktu bekerja (Tierney, dkk, 1993) sehingga menimbulkan gangguan dalam hal ekonomi. Prosedur ini juga memerlukan perhatian medis yang besar dan tetap, karena memiliki batasan pada beberapa kemungkinan komplikasi, dan pada beberapa pasien kualitas hidupnya jauh dari normal (Valtin, 1979).

Diperkirakan hanya sekitar 10-20 % pasien gagal ginjal terminal yang melakukan dialisa dapat kembali berfungsi seperti orang sehat. 30-40 % pasien yang non-diabetik dapat diharapkan untuk kembali pada status fungsionalnya walaupun tidak memiliki pekerjaan. 20% dari pasien dapat dikembalikan pada tingkat keberfungsian yang memungkinkan mereka untuk menjaga diri mereka sendiri. Sisanya, sekitar 20%, bergantung secara penuh pada bantuan orang lain (Carpenter & Lazarus, 1984).


(11)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

Komplikasi yang dapat muncul ketika individu melakukan hemodialisa antara lain tekanan darah rendah, kram otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit di dada, sakit di punggung, gatal-gatal, demam, kedinginan, perdarahan, masuknya gelembung udara ke dalam aliran darah, penurunan jumlah darah merah, penurunan kadar gula dalam darah, gangguan ritme jantung dan otak, anemia, gangguan pada jumlah kalsium dan fosfor dalam tulang, gangguan berbicara, konstraksi otot mendadak, kejang, infeksi, gangguan gizi serta masalah psikososial (Tszamaloukas, 1993; Michael, 1986; Peterson, 1995).

Terjadinya gangguan pada fungsi tubuh pasien hemodialisa, menyebabkan pasien harus melakukan penyesuaian diri secara terus menerus selama sisa hidupnya. Bagi pasien hemodialisa, penyesuaian ini mencakup keterbatasan dalam memanfaatkan kemampuan fisik dan motorik, penyesuaian terhadap perubahan fisik dan pola hidup, ketergantungan secara fisik dan ekonomi pada orang lain serta ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup. Moos dan Schaefer serta Sarason dan Sarason (dalam Sarafino, 1998) mengatakan bahwa perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu pemicu terjadinya stres. Untuk lebih jelasnya, pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang stres.

II.B. Stres

II.B.1. Defenisi Stres

Banyak ahli mengeluarkan pendapat tentang defenisi stres. Beberapa pendapat akan dipakai untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan stres.

Sarafino berpendapat bahwa stres muncul akibat terjadinya kesenjangan antara tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber daya biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut.

“Stres is the condition that result when person-environment transactions lead the individual to perceive the discrepancy – whether real or not – between the demands of a situation and the resources of the person’s biological, psychological, or soial systems.”

(Sarafino, 1998, hlm. 70) Sementara itu, Atwater lebih berfokus pada tuntutan untuk melakukan respon adaptif dalam melakukan penyesuaian diri.

“Stres might be defined as any adjustive demand that requires an adaptive response from us”

(Atwater, 1983, hlm. 49) Pendapat lain tentang stres didapat dari Lahey dan Ciminero yang menjelaskan stres dengan penekanan pada peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi negatif yang dialami individu yang dapat menimbulkan efek yang tidak teratur pada perilakunya.

“Stres is a board term refers to the disorganizing effect of primarily negative events and situations on behavior”


(12)

(Lahey & Ciminero, 1980, hlm. 76) Dari ketiga pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa stres merupakan gangguan emosional dan perilaku yang terjadi dalam melakukan respon penyesuaian diri terhadap peristiwa atau situasi karena adanya perbedaan antara tuntutan yang diakibatkan oleh peristiwa atau situasi tersebut dengan sumber daya yang dimiliki oleh individu.

II.B.2. Penyebab Stres

Seperti telah diuraikan diatas, stres muncul ketika seseorang melakukan penyesuaian diri terhadap suatu peristiwa atau situasi. Akan tetapi tidak semua peristiwa atau situasi dapat menimbulkan stres. Ada dua faktor yang mengakibatkan suatu situasi atau peristiwa menimbulkan stres yaitu yang berhubungan dengan individu itu sendiri dan yang berhubungan dengan situasi yang dialami oleh individu (Cohen & Lazarus; Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1998).

Situasi atau peristiwa yang berhubungan dengan individu dapat berupa kondisi tertentu dalam lingkungan yang merusak jaringan dalam tubuh, seperti hawa panas/dingin yang berlebihan, luka atau penyakit. Keadaan sakit menyebabkan munculnya tuntutan pada sistem biologis dan psikologis individu, dimana derajat stres yang akan timbul karena tuntutan ini tergantung pada keseriusan penyakit dan umur individu tersebut.

Sementara yang berhubungan dengan situasi yang dialami individu dapat berupa pertambahan anggota keluarga, perceraian, kematian dalam keluarga, pekerjaan serta keadaan lingkungan (Sarafino, 1998).

II.B.3. Dampak Stres

Stres mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan manusia. Dalam aspek kognisi, stres dapat menyebabkan gangguan pada fungsi kogitif dengan menurunkan atau meningkatkan perhatian pada sesuatu. Dalam aspek emosi, stres dapat menimbulkan rasa ketakutan yang merupakan reaksi yang umum ketika individu merasa terancam, memunculkan perasaan sedih atau depresi, serta memicu rasa marah terutama ketika individu mengalami situasi yang membahayakan atau membuat frustrasi.

Dalam aspek perilaku sosial, stres dapat mengubah perilaku individu dalam menghadapi orang lain. Dalam aspek jender dan perbedaan sosial budaya, ditemukan bahwa wanita dan anggota kelompok minoritas pada umumnya melaporkan mengalami lebih banyak peristiwa yang menimbulkan stres dibandingkan dengan pria (Sarafino, 1998).

II.B.3.(i). Dampak Stres Pada Kesehatan

Stres mempengaruhi kesehatan dalam dua cara. Cara pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres secara langsung mempengaruhi fungsi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Cara kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku


(13)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

individu sehingga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Baum dalam Sarafino, 1998).

Andersen (1988) juga menjelaskan hubungan stres dengan penyakit sebagai berikut. 1. Stres sebagai penyebab penyakit.

Andersen berpendapat bahwa hal ini merupakan efek langsung dari sistem psikologis dimana kondisi stres akan mempengaruhi fungsi fisik tubuh dan perilaku yang mengakibatkan terjadinya aktivitas yang berlebihan dari sistem hormon. Seiring dengan waktu hal ini akan mengakibatkan tubuh menjadi bertambah lemah sampai akhirnya beberapa sistem organ tubuh mulai berfungsi tidak normal.

2. Penyakit sebagai penyebab stres.

Keadaan sakit menyebabkan munculnya tuntutan menyesuaikan diri. Dibandingkan dengan jenis penyakit lainnya, penyakit kronis melibatkan penyesuaian diri selama kurun waktu tertentu, bahkan untuk selamanya. Beberapa bentuk penyesuaian diri ini antara lain :

a. Penyesuaian diri dalam hal perilaku yang berhubungan dengan aspek keterbatasan dan

anjuran dari penyakit dan perawatannya. Aspek keterbatasan meliputi kapasitas fisik yang dapat mengganggu pekerjaan, keluarga dan fungsi seksual. Keterbatasan ini juga akan berdampak pada kemampuan ekonomi pasien, kemampuan dalam berprestasi dan hubungannya dengan orang lain. Penyesuaian diri dalam perawatan melibatkan pengenalan perilaku baru, menghilangkan beberapa perilaku lama serta memodifikasi perilaku.

b. Penyesuaian diri secara kognitif meliputi mempelajari informasi baru yang relevan

dengan penyakit dan perawatannya, merubah sistem kepercayaan dan mempelajari kemampuan coping.

II.B.4. Strategi Mengatasi Stres

Mengurangi tingkatan stres mengakibatkan berkurangnya resiko memburuknya atau kambuhnya suatu penyakit. Selain itu keadaan yang diakibatkan oleh kondisi stres seringkali menimbulkan perasaan tidak nyaman. Oleh karena itu, manusia termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres yang disebut juga dengan coping.

Beberapa defenisi tentang coping telah dikemukakan oleh para ahli. Lazarus

menekankan bahwa coping merupakan suatu proses dalam mengatur tuntutan internal dan

eksternal yang berat bahkan sangat sulit.

“Coping is the process of managing internal and external demands that are taxing or even overwhelming”

(Lazarus dalam Wortman, Loftus dan Weaver, 1999, hlm. 418)


(14)

“Coping is the process by which people try to manage the perceived discrepancy between the demands and resources they appraise in a stresful situation”

(Sarafino, 1998, hlm. 13)

Dalam hal ini, coping juga merupakan suatu proses dimana individu mencoba untuk

memperbaiki atau menguasai permasalahan yang diakibatkan oleh terjadinya kesenjangan antara tuntutan yang muncul dan sumber daya yang ada dalam suatu situasi yang memicu terjadinya stres.

Blair berpendapat bahwa coping merupakan usaha yang dilakukan individu untuk

mengatur stres, kesulitan dan tantangan yang dialaminya.

“Coping as a term applied to effort to manage stres or troublesome demands, difficulties and challenges.“

(Blair, 1988, hlm. 16)

Dari ketiga pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa coping adalah suatu

proses dimana seseorang berusaha mengatur kesenjangan antara tuntutan yang dialaminya dengan sumber daya yang dimilikinya sehingga ia dapat mengurangi stres yang dialaminya.

II.B.4.(i). Jenis Coping

Coping terbagi kedalam dua jenis yaitu emotion-focused dan problem-focused. 1. Emotion-Focused Coping.

Bentuk coping ini bertujuan untuk mengontrol respon emosional yang muncul dalam

menghadapi stressor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini jika mereka yakin bahwa mereka dapat melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1998). Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk coping ini antara lain kontrol diri, mengambil jarak dengan stressor, berusaha untuk melihat dari sudut pandang lain, menerima keadaan dan melarikan diri dari keadaan (Wortman, Loftus & Weaver, 1990). 2. Problem-Focused Coping.

Bentuk coping ini bertujuan untuk mengurangi tuntutan stressor atau mengembangkan

sumber daya dalam menghadapi tuntutan tersebut. Individu cenderung menggunakan bentuk ini jika mereka yakin bahwa tuntutan stressor atau sumber daya mereka masih dapat diubah (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1998). Beberapa strategi yang berhubungan

dengan bentuk coping ini antara lain melakukan konfrontasi dengan menolak perubahan

atau berusaha mengubah keyakinan orang lain, bergantung pada dukungan sosial dan melakukan strategi pemecahan masalah yang terencana.

Diantara strategi coping yang telah disebutkan diatas, dukungan sosial merupakan hal yang paling diperhatikan (Blair, 1988). Hal ini sesuai dengan pendapatnya Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia adalah hewan sosial. Manusia ditakdirkan untuk hidup dalam suatu lingkungan dan bergaul dengan orang lain. Keadaan ini sudah terlihat sejak manusia dilahirkan dimana sebagai bayi manusia sangat mengandalkan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan biologisnya. Setelah ia meningkat dewasa dan berkembang menjadi mahluk sosial, ia juga membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk dapat memenuhi


(15)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

kebutuhan-kebutuhannya. Penelitian ini akan berfokus pada dukungan sosial. Agar lebih mendalam, tinjauan kepustakaan yang berhubungan dengan dukungan sosial akan dipaparkan dalam bagian tersendiri.

II.C. Dukungan Sosial

II.C.1. Defenisi Dukungan Sosial

Terdapat banyak defenisi tentang dukungan sosial yang dikemukakan oleh para ahli. Sheridan dan Radmacher menekankan pengertian dukungan sosial sebagai sumber daya yang disediakan lewat interaksi dengan orang lain.

“Social support is the resources provided to us through our interactions with other people

(Sheridan & Radmacher, 1992, hlm.156)

Pendapat lain dikemukakan oleh Siegel yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama.

“Social support is information from others that one is loved and cared for, esteemed and valued, and part of a network of communication and mutual obligation.”

(Siegel dalam Taylor, 1999, hlm.222)

Pendapat hampir sama dikemukakan oleh Thoits yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah derajat dimana kebutuhan dasar individu akan afeksi, persetujuan, kepemilikan dan keamanan didapat lewat interaksi dengan orang lain

“Social support is the degree to which an individual’s basic needs for affection, approval, belonging and security are gratified through interaction with others.”

(Thoits dalam Rutter, dkk , 1993, hlm. 17)

Dari beberapa defenisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang berdasarkan kepentingan bersama.

II.C.2. Sumber Dukungan Sosial

Dari definisi diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa sumber dari dukungan sosial ini adalah orang lain yang akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat


(16)

merasakan kenyamanan secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup, orangtua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, staf medis serta anggota dalam kelompok kemasyarakatan.

II.C.3. Bentuk Dukungan

Sheridan dan Radmacher (1992), Sarafino (1998) serta Taylor (1999) membagi dukungan sosial ke dalam lima bentuk, yaitu :

1. Dukungan instrumental (tangible assisstance)

Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instrumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah yang dianggap dapat dikontrol.

2. Dukungan informasional

Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.

3. Dukungan emosional

Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.

4. Dukungan pada harga diri

Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu, perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.

5. Dukungan dari kelompok sosial

Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa menjadi anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktivitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib.

II.C.4. Dampak Dukungan Sosial

Bagaimana dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres.


(17)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya stres.

Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan antara respon individu pada kejadian yang dapat menimbukan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres dan efeknya. Pada derajat dimana kejadian yang menimbulkan stres mengganggu kepercayaan diri, dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu.

Sheridan dan Radmacher (1992), Rutter, dkk. (1993), Sarafino (1998) serta Taylor (1999) mengemukakan dua model untuk menjelaskan bagaimana dukungan sosial dapat mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres, yaitu :

1. Model Efek Langsung

Model ini melibatkan jaringan sosial yang besar dan memiliki efek positif pada kesejahteraan. Model ini berfokus pada hubungan dan jaringan sosial dasar. Model ini juga dideskripsikan sebagai struktur dari dukungan sosial yang meliputi faktor status perkawinan, keanggotaan dalam suatu kelompok, peran sosial dan keikutsertaan dalam kegiatan agama.

2. Model Buffering.

Model ini berfokus pada aspek dari dukungan sosial yang berperilaku sebagai buffer dalam mempertahankan diri dari efek negatif stres. Model ini mengacu pada sumber daya interpersonal yang akan melindungi individu dari efek negatif stres dengan memberikan kebutuhan khusus yang disebabkan oleh kejadian yang mengakibatkan stres. Model ini bekerja dengan mengarahkan kembali hal-hal yang menimbulkan stres atau mengatur keadaan emosional yang disebabkan oleh hal-hal tersebut. Model ini berfokus pada fungsi dukungan sosial yang melibatkan kualitas hubungan sosial yang ada.

Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam mempengaruhi kejadian dan efek stres. Dalam Sarafino (1998) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain :

1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.

2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.

3. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau

menyarankan perilaku tidak sehat.

4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang

diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.


(18)

III. METODE PENELITIAN III.A. Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosialnya. Dari populasi yang ada, diambil sampel sejumlah 50 orang pasien dan 50 orang sumber dukungan sosial. Diharapkan besar sampel yang diambil dapat memberi gambaran yang semakin mendekati populasi. Tehnik pengambilan sampel yang akan

dilakukan adalah tehnik incidental sampling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan

semata-mata atas dasar kesediaan dan ketersediaan untuk kemudahan penelitian (Guilford & Frutcher, 1991).

III.B. Instrumen dan Alat Penelitian

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 buah alat, yaitu skala sikap dan data kontrol. Skala sikap yang dipilih dalam penelitian ini adalah skala sikap tipe Likert dengan lima pilihan. Skala sikap digunakan untuk mengukur kekuatan dari sikap subyek terhadap obyek sikap yang akan diukur. Subyek penelitian diharapkan memberikan respon terhadap pernyataan sikap tersebut dalam lima point scale yang dilabel Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-ragu (R), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Bobot nilai untuk item-item yaitu sebagai berikut:

Favorable Pem Unfavorable

Sangat Setuju (SS) = 5

Setuju (S) = 4

Ragu-ragu (R) = 3

Tidak Setuju (TS) = 2

Sangat Tidak Setuju (STS) = 1

Sangat Setuju (SS) = 1

Setuju (S) = 2

Ragu-ragu (R) = 3

Tidak Setuju (TS) = 4

Sangat Tidak Setuju (STS) = 5

Tipe jawaban seperti ini disebut juga dengan fixed alternative, dimana alternatif jawaban telah ditetapkan oleh peneliti, dan responden diharapkan untuk memberikan respon jawaban dari pilihan yang tersedia. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam mengolah data penelitian. Selain itu tipe jawaban seperti ini juga memiliki beberapa keuntungan, yaitu kemudahan bagi peneliti untuk mengkoding data, dimana hal ini memudahkan dilakukannya perbandingan dan kuantifikasi atas jawaban responden, serta untuk menghindari jawaban yang tidak relevan.

Item-item pertanyaan pada alat ukur ini disusun berdasarkan hasil elisitasi dari 10 orang pasien dan 10 orang sumber dukungan sosial yang mempunyai karakteristik sama dengan subyek penelitian. Selain itu, hasil elisitasi tersebut juga diperkuat dengan wawancara yang dilakukan pada 6 orang pasien serta 4 orang sumber dukungan sosial. Dari hasil elisitasi


(19)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

didapatkan sejumlah kebutuhan dukungan sosial yang diperlukan pasien hemodialisa. Kebutuhan-kebutuhan ini kemudian dijadikan acuan untuk menyusun item-item alat ukur sikap.

Skala sikap ini terdiri dari 3 sub bagian. Bagian A berisi pernyataan mengenai perlu atau tidaknya beberapa bentuk dukungan sosial diberikan kepada pasien hemodialisa. Bagian ini diberikan kepada pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial. Bagian B berisi pernyataan mengenai frekuensi dukungan sosial yang diterima oleh pasien penderita hemodialisa. Frekuensi tersebut dibagi kedalam dua jenis, yaitu sering dan jarang. Bagian ini diberikan kepada pasien hemodialisa. Bagian D berisi pernyataan mengenai frekuensi dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial pada pasien hemodialisa. Frekuensi tersebut dibagi kedalam dua jenis, yaitu sering dan jarang. Bagian ini diberikan kepada sumber dukungan sosial.

Item-item yang telah disusun kemudian dikategorikan berdasarkan teori dari Cohen & McKay (dalam Sarafino, 1990) yang mengemukakan tentang jenis-jenis dukungan sosial, yaitu dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan harga diri dan dukungan dari kelompok sosial. Tujuan dari pengkategorian ini adalah untuk mendapatkan analisa yang lebih mendalam yang dapat membantu menjawab permasalahan.

Data kontrol digunakan sebagai alat pengumpul data yang berfungsi untuk mengumpulkan data-data yang bersifat demografik dari subyek, seperti usia, jenis kelamin, berapa lama menjalani terapi hemodialisa (untuk pasien), tingkat pendidikan, pekerjaan, pembiayaan (untuk pasien) serta hubungan dengan pasien (untuk sumber dukungan sosial). Data kontrol dapat menambah informasi dari hasil penelitian secara keseluruhan.

III.B.1 Uji Coba Alat Ukur

Uji coba dilakukan untuk mengetahui apakah pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada alat ukur penelitian memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, uji coba ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah pertanyaan-pertanyaan yang ada sudah dapat dipahami responden.

Uji validitas perlu dilakukan untuk melihat apakah item-item yang terdapat dalam alat ukur tersebut benar-benar mengukur apa yang ingin diukur dan seberapa baik tes tersebut dapat mengukur hal yang ingin diukur tersebut, sesuai dengan arti dari validitas itu sendiri.

“The validity of a test concerns what the test measure and how well it does so.”

(Anastasi & Urbina, 1997, hlm. 113)

Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara validitas konstruk (construct validity). Validitas konstruk suatu tes mencakup apakah suatu tes dapat dikatakan mengukur sebuah konstruk teoritis atau trait (Anastasi & Urbina, 1997). Jenis validitas ini merupakan konsep validitas yang paling mendasar seperti yang dikatakan Anastasi dan Urbina berikut ini.


(20)

“The construct validity of a test is the extent to which the test may be said to measured a theretical construct or trait”

(Anastasi & Urbina, 1997, hlm.126) Salah satu cara untuk melakukan validitas konstruk adalah dengan menggunakan tehnik yang disebut dengan konsistensi internal yang mengukur homogenitas alat tes. Hal ini juga akan berpengaruh pada reliabilitas alat tes, karena semakin tinggi tingkat homogenitas tes tersebut maka akan semakin baik pula nilai reliabilitasnya. Cara melakukan pengukuran validitas konstruk adalah dengan mengkorelasikan skor dari setiap item tes dengan skor totalnya. Apabila ada item yang memiliki korelasi lebih rendah dari level of significancy yang dibutuhkan maka item tersebut akan dihilangkan. Untuk mengkorelasikan skor dari setiap item tes dengan skor totalnya , maka akan dipakai rumus Pearson Product-Moment Correlation, yaitu :

xy rxy =

(N) (SDx) (SDy)

Keterangan:

rxy = korelasi x dan y

xy = jumlah keseluruhan dari x dikalikan y

N = jumlah subyek penelititan

SDx = standar deviasi x

SDy = standar deviasi y

(Anastasi & Urbina, 1997, hlm. 89) Hasil uji validitas pada alat ukur penelitian adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2 Hasil Uji Validitas Alat Ukur Penelitian

No. Pernyataan mengenai A B D

1. Keringanan biaya. 0,54 0,67 0,76

2. Bantuan obat-obatan . 0,48 0,67 0,68

3. Mengantar/diantar ketika akan melakukan cuci darah. 0,64 0,64 0,75

4. Menjemput/dijemput setelah selesai cuci darah. 0,49 0,68 0,74

5. Pemberian informasi tentang penyakit ginjal. 0,52 0,66 0,67

6. Pemberian informasi tentang cara perawatan . 0,48 0,71 0,67

7. Pemberian hiburan. 0,53 0,80 0,79

8. Mengunjungi/dikunjungi, baik di rumah maupun di tempat cuci darah. 0,56 0,72 0,77

9. Menemani/ditemani pasien ketika sedang cuci darah. 0,75 0,70 0,67

10. Menjadi tempat pasien ginjal berkeluh kesah. 0,68 0,69 0,70

11. Membantu/dibantu ketika sedang cuci darah. 0,62 0,69 0,79

12. Memberi/diberi nasehat . 0,77 0,77 0,68

13. Memberi/diberi semangat . 0,74 0,66 0,66

14. Teman mengobrol ketika sedang cuci darah. 0,61 0,65 0,74

15. Mengajak/diajak mengikuti kegiatan suatu kelompok sosial. 0,49 0,76 0,71

pada level of significancy 0,05 0,44 0,63 0,63

Karena seluruh item dalam uji validitas memiliki nilai yang lebih tinggi daripada level of significancy yang ditetapkan, maka tidak ada item yang perlu dihilangkan.

Selain uji validitas, uji reliabilitas juga perlu dilakukan untuk melihat konsistensi skor yang didapatkan oleh individu yang sama ketika mereka diuji ulang oleh tes yang sama pada waktu yang berbeda.


(21)

“Reliability refers to the consistency of scores obtained by the same persons when they are reexamined with the same test on different occasions...”

(Anastasi & Urbina, 1997, Hal. 84)

Untuk melakukan uji relabilitas, harus dilihat korelasi antar item dari alat ukur. Hal ini bertujuan untuk menghindari item-item yang bersifat heterogen. Semakin heterogen item-item yang hendak dipakai, maka nilai reliabilitasnya akan semakin rendah.

Menurut Anastasi dan Urbina formula yang paling cocok untuk menguji reliabilitas dari alat ukur yang menghasilkan skor berganda adalah coefficient alpha.

“On a personality inventory, for example, the respondent may receive a different numerical score on an item, depending on whether he or she checks ‘ussually’, ‘sometimes’, ‘rarely’ or ‘never’.”

(Anastasi & Urbina, 1997, Hal. 99) Disamping itu, coefficient alpha menghasilkan rata-rata koefisien reliabilitas yang dapat dihasilkan dari semua kemungkinan pembelahduaan tes (Murphy, Kevin & O’Davidshofer, 1994).

“In particular, coefficient alpha, which represents the most widely used and most general form of internal consistencye estimate, represents the mean reliability coefficient one would obtain from all possible split halves.”

(Murphy, Kevin & O’Davidshofer, 1994, Hal. 83)

Rumus dari coefficient alpha yaitu :

n SDt2 - ΣSDi2

rtt =

n - 1 SDt2

Keterangan:

rtt = nilai koefisien alpha

n = jumlah item

SDt2 = varians dari skor total

ΣSDi2 = jumlah varians

(Anastasi & Urbina, 1997, Hal. 99) Dari hasil uji reliabilitas skala sikap, koefisien alpha yang didapat lewat perhitungan program SPSS versi 10.1 adalah sebagai berikut :

Koefisien alpha untuk skala sikap bagian A = 0,8657 Koefisien alpha untuk skala sikap bagian B = 0,9179 Koefisien alpha untuk skala sikap bagian C = 0,9256

Nilai alpha yang tinggi ini sangat dipengaruhi oleh nilai validitas yang cukup baik. Nilai alpha

yang dianggap reliabel untuk tujuan penelitian adalah 0,7 (Nunnaly & Bernstein, 1994). Dari


(22)

pengujian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa alat yang akan digunakan cukup baik untuk mengukur variabel-variabel yang hendak diteliti.

III.C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di beberapa pusat hemodialisa di Medan, yaitu Pusat Hemodialisa RSUP. H. Adam Malik, Pusat Hemodialisa RSU. Dr. Pirngadi, Pusat Hemodialisa RSU. Herna, Pusat Hemodialisa RS. Internasional Gleneagles dan Pusat Hemodialisa RS.Khusus Ginjal & Hipertensi Rasyida.

III.D. Metode Analisis

Data dalam penelitian ini akan diolah secara kuantitatif dengan menggunakan rumus statistik. Pada tiap-tiap alat ukur juga akan dilakukan penilaian dan pengujian hipotesis. Perhitungan statistik yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penghitungan frekuensi dan prosentase. % = f .

N x 100%

Keterangan :

% = persentase

f = frekuensi

N = jumlah subyek penelitian

(Guilford & Fruchter, 1991, hlm. 34) 2. Penghitungan mean untuk melihat rata-rata nilai.

Keterangan :

x = Σ

x N

x = nilai rata-rata (mean)

Σx = jumlah skor individu

N = jumlah subyek penelitian

(Guilford & Fruchter, 1991, hlm. 45) 3. Penghitungan t-test untuk menguji signifikansi perbedaan antar variabel.

X1 – X2

Σx12 + Σx22 N1 + N2

t =

N1 + N2 – 2 N1 N2

Keterangan :

X1 = mean kelompok 1

X2 = mean kelompok 2

Σx12 = jumlah kuadrat dalam kelompok 1


(23)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

N1 = jumlah subyek penelitian dalam kelompok 1

N2 = jumlah subyek penelitian dalam kelompok 2


(24)

IV. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA IV.A. Gambaran Umum Subyek Penelitian IV.A.1. Subyek Pasien Hemodialisa

IV.A.1.(i). Penyebaran Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Krostabulasi usia dan jenis kelamin pasien hemodialisa

Usia (dalam tahun)

20- 24

25- 29

30- 34

35- 39

40- 44

45- 49

50- 54

55- 59

Total Pria 3 4 2 2 2 3 6 3 25

Wanita 2 2 2 1 3 8 7 0 25

Total 5 6 4 3 5 11 13 3 50

% 10 12 8 6 10 22 26 6 100

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa perbandingan subyek pasien hemodialisa berdasarkan jenis kelamin dalam penelitian ini berimbang. Subyek pria berjumlah 25 orang (50 %) dan subyek wanita juga berjumlah 25 orang (50%). Kentungan yang didapat dari seimbangnya subyek pria dan wanita adalah dimungkinkannya penggalian informasi tambahan dengan membandingkan hasil yang didapat kelompok subyek berdasarkan jenis kelamin untuk melihat perbedaan berdasarkan jenis kelamin.

Rentang usia subyek berkisar antara 20 sampai 59 tahun dengan jumlah subyek terbanyak berada dalam kelompok rentang usia 50-54 tahun (26%) diikuti oleh kelompok rentang usia 45-49 tahun (22%), 25-29 tahun (12%), 20-24 tahun dan 40-44 tahun (masing-masing 10%), 30-34 tahun (8%) serta 35-39 tahun dan 55-59 tahun ((masing-masing-(masing-masing 6%).

Mean usia subyek pasien hemodialisa adalah 43 tahun sedangkan mediannya adalah 47 tahun.

IV.A.1.(ii). Penyebaran Berdasarkan Cara Pembayaran Perawatan dan Jenis Kelamin

Tabel 4.2 Krostabulasi cara pembayaran perawatan dan jenis kelamin pasien hemodialisa

Jenis Pembayaran Pria Wanita Frekuensi %

Dibiayai (perusahan, asuransi dan gakin) Biaya sendiri

18 7

17 8

35 15

70 30

Total 25 25 50 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa penyebaran antara pasien hemodialisa yang dibiayai (70%) dan pasien hemodialisa yang membiayai sendiri perawatannya (30%) tidak berimbang. Ketidakseimbangan ini selain disebabkan karena penelitian menggunakan tehnik

incidental sampling, juga dipengaruhi oleh jumlah subyek pasien yang membiayai sendiri perawatannya yang sangat sedikit.


(25)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

IV.A.1.(iii). Penyebaran Berdasarkan Lamanya Menjalani Hemodialisa dan Jenis Kelamin

Tabel 4.3 Krostabulasi lamanya menjalani hemodialisa dan jenis kelamin pasien hemodialisa

Hemodialisa sejak Pria Wanita Frekuensi %

1991 1992 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 0 0 0 0 1 3 4 11 6 1 1 1 3 2 3 4 10 0 1 1 1 3 3 6 8 21 6 2 2 2 6 6 12 16 42 12

Total 25 25 50 100

Kebanyakan pasien hemodialisa yang berpartisipasi dalam penelitian ini telah

menjalani hemodialisa sejak tahun 2001 (42%), kemudian diikuti oleh mereka yang memulai hemodialisa pada tahun 2000 (16%), tahun 1999 dan 2002 (masing-masing 12%), tahun 1997 dan 1998 (masing-masing 6%) serta tahun 1991, 1992 dan 1996 (masing-masing 2%).

Besarnya rentang lama menjalani hemodialisa (sepanjang 12 tahun) memperkaya data yang didapat karena informasi yang diterima bukan hanya dari pasien yang relatif baru menjalani hemodialisa saja, akan tetapi didapat juga dari pasien yang sudah menjalani hemodialisa selama bertahun-tahun.

Kecilnya frekuensi pasien yang menjalani hemodialisa diatas 3 tahun menunjukkan bahwa pasien hemodialisa banyak yang tidak dapat bertahan dalam menghadapi penyakit dan perawatannya. Sebagian besar dari mereka meninggal dunia, sementara sisanya melakukan transplantasi ginjal atau menghentikan perawatan dan melakukan pengobatan alternatif.

IV.A.1.(iv). Penyebaran Berdasarkan Pendidikan

Tabel 4.4 Penyebaran berdasarkan pendidikan pasien hemodialisa Pendidikan Frekuensi %

SD SLTP SLTA D3 S1 S2 S3 7 9 23 5 4 1 1 14 18 46 10 8 2 2


(26)

Subyek pasien hemodialisa yang berpartisipasi dalam penelitian ini berasal dari tingkat pendidikan SD sampai S3. Tingkat pendidikan terbanyak adalah SLTA (46%) diikuti oleh SLTP (18%), SD (14%), D3 (10%), S1 (8%) serta S2 dan S3 (masing-masing 2%).

IV.A.1.(v). Penyebaran Berdasarkan Pekerjaan dan Cara Pembayaran Perawatan

Tabel 4.5 Krostabulasi pekerjaan dan cara pembayaran perawatan pasien hemodialisa

Pembiayaan Total %

Dibiayai Biaya Sendiri

Pekerjaan Karyawan Guru Wiraswasta Pensiunan Pegawai Negeri Ibu Rumah Tangga

Tenaga Medis 13 3 1 6 6 8 1 0 1 7 0 0 6 1 13 4 8 6 3 14 2 26 8 16 12 6 28 4

Total 35 15 50 100

Pasien hemodialisa yang paling banyak berpartisipasi dalam penelitian ini adalah adalah mereka yang berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (28%), kemudian diikuti oleh Karyawan (26%), Wiraswasta (16%), Pensiunan (12%), Guru (8%), Pegawai Negeri (6%) serta Tenaga Medis (4%).

Pengambilan subyek pria dan wanita dalam jumlah yang berimbang merupakan salah satu faktor tingginya frekuensi profesi Ibu Rumah Tangga (sebanyak 28%). Hal ini dapat dilihat dari lebih setengah pasien hemodialisa wanita yang menjadi subyek dalam penelitian menuliskan Ibu Rumah Tangga sebagai profesi mereka (14 subyek atau sebanyak 56%).

Seluruh subyek yang berprofesi sebagai Karyawan, Pegawai Negeri dan Pensiunan menyatakan bahwa perawatan mereka dibiayai oleh pihak lain, dalam hal ini asuransi baik dari perusahaan maupun dari instansi dimana subyek tersebut bekerja. Sementara itu 87,5% subyek yang berwiraswasta menyatakan bahwa mereka membiayai sendiri perawatannya.

IV.A.2. Subyek Sumber Dukungan Sosial

IV.A.2.(i). Penyebaran Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Tabel 4.6 Krostabulasi usia dan jenis kelamin sumber dukungan sosial

Usia (dalam tahun)

15 -

19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 Total Pria 0 3 0 2 4 0 1 4 2 1 17 Wanita 2 5 9 1 2 3 5 1 5 0 33 Total 2 8 9 3 6 3 6 5 7 1 50

% 4 16 18 6 12 6 12 10 14 2 100

Rentang usia subyek sumber dukungan sosial berkisar antara 15 sampai 64 tahun dengan penyebaran yang cukup berimbang. Jumlah subyek terbanyak berada dalam kelompok


(27)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

rentang usia 25-29 tahun (18%) diikuti oleh kelompok rentang usia 20-24 tahun (16%), 55-59 tahun (14%), 35-39 tahun dan 45-49 tahun (masing-masing 12%), 50-54 tahun (10%), 30-34

tahun dan 40-44 tahun (masing-masing 6%), 15-9 tahun (4%) serta 60-64 tahun (2%). Mean

usia subyek sumber dukungan sosial adalah 38 tahun sedangkan mediannya adalah 36 tahun.

IV.A.2.(ii). Penyebaran Berdasarkan Pendidikan

Tabel 4.7 Penyebaran berdasarkan pendidikan sumber dukungan sosial Pendidikan Frekuensi Persentase

SLTP SLTA D3 S1 S2 6 20 15 7 2 12 40 30 14 4

Total 50 100

Subyek sumber dukungan sosial yang berpartisipasi dalam penelitian ini berasal dari tingkat pendidikan SLTP sampai S2. Tingkat pendidikan terbanyak adalah SLTA (40%) diikuti oleh D3 (30%), S1 (14%), SLTP (12%) serta S2 (4%).

IV.A.2.(iii). Penyebaran Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 4.8 Penyebaran berdasarkan pekerjaan sumber dukungan sosial Pekerjaan Frekuensi Persentase Karyawan

Wiraswasta Pensiunan Pegawai Negeri Ibu Rumah Tangga

Tenaga Medis Pelajar/Mahasiswa 20 6 2 10 7 2 3 40 12 4 20 14 4 6

Total 50 100

Sumber dukungan sosial yang paling banyak berpartisipasi dalam penelitian ini adalah adalah yang berprofesi sebagai Karyawan (40%), kemudian diikuti oleh Pegawai Negeri (20%), Ibu Rumah Tangga (14%), Wiraswasta (12%), Pelajar/Mahasiswa (6%), serta Pensiunan dan Tenaga Medis (4%).

IV.A.2.(iv). Penyebaran Berdasarkan Hubungan dengan Pasien Hemodialisa

Tabel 4.9 Penyebaran berdasarkan hubungan sumber dukungan sosial dengan pasien hemodialisa Hubungan dengan pasien hemodialisa Frekuensi Persentase

Tenaga Medis Suami Istri Orang Tua Anak Saudara Teman 18 6 12 3 6 1 4 36 12 24 6 12 2 8

Total 50 100

Tenaga medis merupakan sumber dukungan sosial yang paling banyak berpartisipasi dalam penelitian ini (36%), diikuti oleh Istri (24%), Suami dan Anak (masing-masing 12%),


(28)

Teman (8%), Orang Tua (6%) serta Saudara (2%). Besarnya jumlah tenaga medis merupakan hal yang dikontrol oleh peneliti. Tenaga medis merupakan sumber dukungan sosial yang penting bagi pasien karena merekalah yang mengawasi dan membantu pasien ketika melakukan hemodialisa. Keluarga dan teman membantu tenaga medis mengawasi dan membantu pasien ketika mereka sedang tidak melakukan hemodialisa.

IV.B. Dukungan Sosial Pada Penderita Gagal Ginjal Terminal Yang Melakukan Terapi Hemodialisa

IV.B.1. Perbedaan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien dan dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa.

Tabel 4.10 Perbedaan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien dan dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa secara total dan pada setiap jenis dukungan sosial

Mean

Butuh Terima t df

Sig.

(2 tailed) Keterangan

Dukungan Sosial Total 4,06 3,57 7,786 49 0,000 Ho ditolak

Instrumental Informasional Emosional

Harga Diri

dari Kelompok Sosial

4,18 4,18 4,02 4,03 3,54 3,49 3,48 3,58 3,89 3,02 7,308 4,112 4,669 1,467 3,425 49 49 49 49 49 0,000 0,000 0,000 0,149 0,001 Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak Ho diterima Ho ditolak

Dari tabel 4.10 dapat dilihat bahwa secara total mean dukungan sosial yang dibutuhkan

pasien hemodialisa adalah 4,06 sementara mean dukungan sosial yang diterima oleh pasien

hemodialisa adalah 3,57. Dari hasil pengujian nilai t secara statistik didapat nilai sebesar 7,786 (sig. 2 tailed = 0,000). Taraf signifikansi tersebut lebih kecil dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang diajukan ditolak. Dapat dikatakan ada perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa.

Mean kebutuhan akan dukungan sosial lebih tinggi dari mean dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa.

Untuk mengetahui dalam jenis apa saja terjadi perbedaan, maka dilakukan analisa lebih lanjut pada setiap jenis dukungan sosial. Dari tabel 4.10 dapat dilihat bahwa perbedaan terjadi pada jenis dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional dan

dukungan dari kelompok sosial dimana mean kebutuhan akan dukungan sosial lebih tinggi

dari mean dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa.

Akan tetapi pada jenis dukungan harga diri didapat nilai t = 1,467 dengan nilai signifikansi 2 tailed sebesar 0,149. Ini berarti taraf signifikansi tersebut lebih besar dari l.o.s


(29)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

0,05 sehingga Ho yang diajukan diterima, atau dengan kata lain tidak ada perbedaan antara dukungan harga diri yang dibutuhkan pasien hemodialisa dan dukungan harga diri yang diterima oleh pasien hemodialisa.

IV.B.2. Perbedaan Dukungan Sosial yang Dibutuhkan Pasien Hemodialisa dan Dukungan Sosial yang Diberikan oleh Sumber Dukungan Sosial Dilihat Dari Sudut Pandang Sumber Dukungan Sosial

Tabel 4.11 Perbedaan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial secara total dan pada setiap jenis dukungan sosial.

Mean

Butuh Beri t df

Sig.

(2 tailed) Keterangan

Dukungan Sosial Total 4,27 3,82 5,500 49 0,000 Ho ditolak

Instrumental

Informasional

Emosional

Harga Diri

dari Kelompok Sosial

4,25 4,41 4,26 4,29 4,08 3,30 4,26 3,86 4,24 3,50 6,545 1,878 4,557 0,598 3,427 49 49 49 49 49 0,000 0,066 0,000 0,552 0,001 Ho ditolak Ho diterima Ho ditolak Ho diterima Ho ditolak

Dari tabel 4.11 dapat dilihat bahwa secara total mean dukungan sosial yang menurut

sumber dukungan sosial dibutuhkan pasien hemodialisa adalah 4,27 sementara mean

dukungan sosial yang berikan sumber dukungan sosial kepada pasien hemodialisa adalah 3,82. Nilai t yang didapat adalah sebesar 5,500 (sig. 2 tailed = 0,000). Taraf signifikansi tersebut lebih kecil dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang diajukan ditolak. Dapat dikatakan ada perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dan dukungan sosial

yang diberikan oleh sumber dukungan sosial kepada pasien hemodialisa. Mean kebutuhan

akan dukungan sosial lebih tinggi dari mean dukungan sosial yang diberi oleh sumber

dukungan sosial.

Untuk mengetahui dalam jenis apa saja terjadi perbedaan, maka dilakukan analisa lebih lanjut pada setiap jenis dukungan sosial. Dari tabel 4.11 dapat dilihat bahwa perbedaan terjadi pada jenis dukungan instrumental, dukungan emosional dan dukungan dari kelompok sosial dimana mean kebutuhan akan dukungan sosial lebih tinggi dari mean dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa.

Akan tetapi pada jenis dukungan informasional dan harga diri didapat taraf signifikansi yang lebih besar dari l.o.s 0,05 sehingga Ho yang diajukan diterima. Dengan kata lain tidak ada perbedaan antara dukungan informasional yang dibutuhkan pasien hemodialisa


(30)

dan dukungan informasional yang diberikan oleh sumber dukungan sosial kepada pasien hemodialisa serta tidak ada perbedaan antara dukungan harga diri yang dibutuhkan pasien hemodialisa dan dukungan harga diri yang diberikan oleh sumber dukungan sosial kepada pasien hemodialisa.

IV.B.3. Perbedaan Dukungan Sosial yang Dibutuhkan Pasien Hemodialisa Dilihat Dari Sudut Pandang Pasien Hemodialisa dan Sumber Dukungan Sosial

Tabel 4.12 Perbedaan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial secara total dan pada setiap jenis dukungan sosial.

Mean

Pasien SDS t df

Sig.

(2 tailed) Keterangan

Dukungan Sosial Total 4,06 4,27 -3,299 98 0,001 Ho ditolak

Instrumental Informasional

Emosional Harga Diri

dari Kelompok Sosial

4,18 4,18 4,02 4,03 3,54 4,25 4,41 4,26 4,29 4,08 -0,876 -1,866 -2,661 -2,426 -3,3239 98 98 98 98 95 0,383 0,065 0,009 0,017 0,002 Ho diterima Ho diterima Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak

Dari tabel 4.12 dapat dilihat bahwa secara total mean dukungan sosial yang menurut

pasien hemodialisa dibutuhkan oleh pasien hemodialisa adalah 4,06 sementara mean

dukungan sosial yang menurut sumber dukungan sosial dibutuhkan oleh pasien hemodialisa adalah 4,27. Nilai t yang didapat dari pengukuran sebesar -3,299 (sig. 2 tailed = 0,001). Taraf signifikansi tersebut lebih kecil dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang diajukan ditolak. Dapat dikatakan ada perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan oleh pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial. Mean dukungan sosial yang menurut sumber dukungan sosial dibutuhkan pasien hemodialisa lebih besar dari

mean dukungan sosial yang menurut pasien hemodialisa dibutuhkan oleh pasien hemodialisa. Untuk mengetahui dalam jenis apa saja terjadi perbedaan, maka dilakukan analisa lebih lanjut pada setiap jenis dukungan sosial. Dari tabel 4.12 dapat dilihat bahwa perbedaan terjadi pada jenis dukungan emosional, dukungan harga diri dan dukungan dari kelompok sosial

dimana mean dukungan sosial yang menurut sumber dukungan sosial dibutuhkan pasien

hemodialisa lebih besar dari mean dukungan sosial yang menurut pasien hemodialisa

dibutuhkan oleh pasien hemodialisa.

Akan tetapi pada jenis dukungan instrumental dan dukungan informasional didapat


(31)

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006

kata lain tidak ada perbedaan antara dukungan instrumental yang dibutuhkan oleh pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial.serta tidak ada perbedaan antara dukungan informasional yang dibutuhkan oleh pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial.

IV.B.4 Perbedaan Dukungan Sosial yang Diterima Pasien Hemodialisa Dilihat dari Sudut Pandang Pasien Hemodialisa dan Dukungan Sosial yang Diberikan Sumber Dukungan Sosial Dilihat dari Sudut Pandang Sumber Dukungan Sosial

Tabel 4.13 Perbedaan dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diberikan sumber dukungan sosial dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial secara total dan pada setiap jenis dukungan sosial

Mean

Pasien SDS t df

Sig.

(2 tailed) Keterangan

Dukungan Sosial Total 3,57 3,82 -2,473 98 0,015 Ho ditolak

Instrumental

Informasional Emosional Harga Diri

dari Kelompok Sosial

3,49 3,48 3,58 3,89 3,02 3,30 4,26 3,86 4,24 3,50 1,058 -6,135 -2,267 -3,221 -2,230 80 73 98 98 98 0,293 0,000 0,026 0,002 0,028 Ho diterima Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak

Dari tabel 4.13 dapat dilihat bahwa secara total mean dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa adalah 3,57 sementara

mean dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial adalah 3,82. Nilai t yang didapat dari pengukuran sebesar -2,473 (sig. 2 tailed = 0,015). Taraf signifikansi tersebut lebih kecil dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang diajukan ditolak. Dapat dikatakan ada perbedaan antara dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial.

Mean dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial lebih besar dari mean

dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa.

Untuk mengetahui dalam jenis apa saja terjadi perbedaan, maka dilakukan analisa lebih lanjut pada setiap jenis dukungan sosial. Dari tabel 4.13 dapat dilihat bahwa perbedaan terjadi pada jenis dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan harga diri dan dukungan

dari kelompok sosial dimana mean dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan


(1)

Sehubungan dengan perbedaan kebutuhan akan informasi antara pria dan wanita, ternyata diantara sumber dukungan sosial yang berasal dari tenaga medis dan sumber dukungan sosial yang berasal dari keluarga juga terjadi perbedaan. Hal ini terjadi karena karakteristik pasien pria yang membutuhkan informasi yang banyak dan karakteristik pasien wanita yang lebih sering berkonsultasi ke tenaga medis sehingga tenaga medis merasa pasien membutuhkan informasi lebih banyak dibandingkan dengan yang dirasa oleh keluarga.

Temuan lain dari analisa tambahan menunjukkan bahwa kebutuhan instrumental mereka yang dibiayai dan membiayai sendiri pengobatannya tidak berbeda secara signifikan. Padahal seharusnya mereka yang dibiayai tidak memiliki beban dalam hal pembiayaan. Hal lain yang cukup menarik adalah ternyata mereka yang membiayai sendiri pengobatannya membutuhkan dukungan dari kelompok sosial yang lebih besar dibandingkan mereka yang dibiayai. Hal ini bisa jadi merupakan manifestasi ketergantungan mereka pada kelompok sosial dalam hal penyediaan materi yang akan memberikan pertolongan langsung ketika mereka sewaktu-waktu membutuhkan bantuan. Selain itu mereka yang membayar sendiri perawatannya memiliki harga diri yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang dibiayai. Kemampuan membayar sendiri pengobatannya merupakan wujud dari perasaan bahwa dirinya masih berharga dan berkompetensi dalam melakukan sesuatu.

Secara umum dukungan sosial yang diberikan oleh tenaga medis berbeda dengan dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga, dimana keluarga memberikan dukungan yang lebih besar. Hal ini dapat dimaklumi mengingat keluarga memiliki tuntutan untuk mendukung yang lebih kuat dibandingkan tenaga medis karena hubungan kekerabatannya. Walaupun tenaga medis merasa bahwa pasien membutuhkan dukungan sosial yang banyak, akan tetapi mereka memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Keterbatasan ini dapat berupa etika profesi yang tidak memungkinkan tenaga medis terlibat terlalu jauh dalam urusan pribadi pasiennya kecuali yang berhubungan dengan penyakitnya. Keterbatasan lain adalah banyaknya pasien yang harus ditangani sehingga tenaga medis tidak mungkin memenuhi semua kebutuhan pasien-pasiennya. Untuk itu, tenaga medis mengandalkan partisipasi aktif dari keluarga.

Dari hasil elisitasi yang dilakukan dalam rangka penyusunan alat terdapat beberapa hal yang menarik untuk dibahas. Komposisi jenis kebutuhan yang terbanyak adalah dukungan emosional (5 kebutuhan, 33% dari total item pertanyaan), sementara yang tersedikit adalah dukungan dari kelompok sosial (1 kebutuhan, 7% dari total item pertanyaan). Hal ini menunjukkan indikasi bahwa pasien hemodialisa membutuhkan dukungan yang bersifat emosional lebih besar dari bentuk dukungan lainnya, sementara dukungan dari kelompok sosial merupakan satu bentuk dukungan yang paling kurang dibutuhkan.

Kurang dibutuhkannya dukungan dari kelompok sosial mungkin terpengaruh dari pola interaksi masyarakat kota Medan. Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia dimana penduduknya sangat heterogen karena berasal dari berbagai suku bangsa sehingga tidak terdapat budaya yang dominan. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Medan memiliki gaya hidup tertentu yang merupakan pembauran dari adat istiadat dan kebiasaan semua suku


(2)

bangsa yang ada di Medan (Pelawi, Kartikasari & Maria, 1997). Menurut Bruner (1984) pola yang terjadi di kota Medan adalah pengkotak-kotakan antara kerabat dan bukan kerabat yang dilakukan oleh seluruh kelompok yang ada. Pembedaan antara kerabat dan bukan kerabat mengacu kepada tingkat kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, dimana yang bukan kerabat cenderung tidak dipercaya dan sebaiknya dihindari.

Dari pendapat Bruner tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam masalah yang bersifat pribadi, orang Medan bergantung kepada kerabatnya dan sangat tidak suka apabila seseorang yang bukan termasuk ke dalam kelompok kerabat ikut campur. Hal ini yang menyebabkan orang Medan tidak terlalu membutuhkan dukungan dari kelompok sosial. Dalam hal ini kelompok sosial dianggap sebagai sekumpulan individu yang belum tentu secara keseluruhan merupakan kerabat.

Selama proses pengambilan data peneliti mengamati interaksi yang terjadi antara pasien dan tenaga medis yang bertanggung jawab secara langsung di pusat hemodialisa tersebut, biasanya perawat. Pasien hemodialisa dan perawatnya umumnya memiliki hubungan yang sangat dekat, dimana setiap perawat mengetahui tentang kondisi kesehatan, psikologis dan latar belakang keluarga masing-masing pasien yang ditanganinya. Bahkan beberapa pasien merasa tidak membutuhkan teman selama menjalani proses hemodialisa karena percaya dan berhubungan dekat dengan perawatnya sehingga menggantungkan diri pada bantuan perawat saja. Hal yang menarik adalah pada beberapa pusat hemodialisa para perawat dapat membuat keputusan sendiri yang berhubungan dengan situasi dan kondisi pasien. Salah satu kasus yang ditemui selama pengambilan data adalah diperbolehkannya beberapa pasien hemodialisa mencicil atau menunda pembiayaan karena faktor kemampuan ekonomi pasien yang rendah. V.C. Saran

1. Untuk mendapatkan daftar kebutuhan yang lebih banyak dan lebih menggambarkan, maka responden perlu diperbanyak serta dilakukan wawancara mendalam.

2. Uji coba alat ukur sebaiknya melibatkan subyek dalam jumlah yang lebih banyak dan lebih bervariasi agar validitas dan reliabilitas item-item lebih dapat dipertanggung-jawabkan sehingga hasil akhir dapat memberikan gambaran yang terjadi dalam populasi.

3. Perlunya komunikasi yang lebih mendalam antara pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial agar tidak terjadi perbedaan pada persepsi kedua belah pihak akan kebutuhan pasien hemodialisa yang menyangkut dukungan sosial yang mereka butuhkan sehingga dukungan yang diberikan juga akan tepat dan sesuai.

4. Perlunya komunikasi yang lebih mendalam antara tenaga medis dan keluarga dalam hal pembagian tugas yang akan membantu dalam memenuhi kebutuhan pasien hemodialisa. 5. Ada baiknya penelitian dilakukan tidak hanya di satu kota, akan tetapi di beberapa kota

besar lain sehingga hasil yang didapatkan lebih menggambarkan kondisi pasien hemodialisa dalam konteks yang lebih luas. Hal tersebut memungkinkan untuk melakukan perbandingan antar kota sehingga didapat hasil yang lebih kaya yang berhubungan dengan keberagaman masyarakat Indonesia.


(3)

6. Untuk penelitian lebih lanjut dapat dilihat perbedaan dukungan sosial pada pasien hemodialisa berdasarkan jenis kelamin, pembiayaan serta suku bangsanya. Hal ini menunjang pengembangan indogeneus psychology untuk pengembangan ilmu psikologi yang lebih mengacu pada kondisi Indonesia.

7. Interaksi pasien-tenaga medis merupakan topik penelitian yang sangat menarik yang dapat membantu, tidak hanya pasien akan tetapi juga tenaga medis, untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological Testing (7th ed.). New Jersey : Prentice-Hall International, Inc.

Andersen, M.P. (1988). Stress Management for Chronic Disease : An Overview. Dalam Russel, M.L. (Ed.), Stress Management for Chronic Disease (hlm 3-13). New York : Pergamon Press.

Atwater, E. (1983). Psychology of Adjustment (2nd ed.). New Jersey : Prentice-Hall, International, Inc.

Baron, R.A. & Byrne, D. (1994). Social Psychology : Understanding Human Interaction (7th ed.). Boston : Allyn and Bacon.

Blair, J. Stress (1988). Coping and Health Outcomes. Dalam Russel, M.L. (Ed.), Stress Management for Chronic Disease (hlm 14-29). New York : Pergamon Press.

Brenner, B.M. (1979). Structure and Function of the Kidney. Dalam P.B. Beeson, W. McDermott & J.B. Wyngaarden (Eds.), Cecil’s Textbook of Medicine : Asian Edition

(15th ed.) (hlm 1316-1324) Tokyo : W.B. Saunders Company & Igaku Shooin Ltd. Brunner, E. (1984). Kerabat dan Bukan Kerabat. Dalam T.O. Ihromi (Ed.), Pokok-Pokok

Antropologi Budaya (hlm 159-178) Jakarta : PT Gramedia

Carpenter, C.B. & Lazarus, J.M. (1984). Dyalisis and Transplantation in the Treatment of Renal Failure. Dalam R.G. Petersdorf, R.D. Adams, E. Braunwald, K.J. Isselbacher, J.B. Martin & J.D. Wilson (Eds.), Harrison’s Principles of Internal Medicine : Asian Edition (10th ed.). Singapore : McGraw-Hill International Book Company.

Daugirdas, J.T., Blake, P.G. & Ing, T.S. (2001). Handbook of Dialysis (3rd ed.). Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins

Guilford, J.P & Fruchter, B. (1991). Fundamental Statistics in Psychology and Education (6th ed.). Singapore : McGraw-Hill International Book Co.

Hurlock, E.B. (1980) Developmental Psychology : A Life-Span Approach (5th ed.) Boston : McGraw Hill Inc.

Kartono, S.D., Darmarini, F. & Roza R.(1992). Penyusunan Diet pada Penderita Gagal Ginjal Kronik dengan Dialisis. Dalam R.P.Sidabutar & Suhardjono (Eds.), Gizi pada Gagal Ginjal Kronik : Beberapa Aspek Penatalaksanaan (hal 60-66). Jakarta : Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

Kresnawan, R. & Sukardjini, K. (1992). Penyusunan Diet pada Penderita Gagal Ginjal Kronik dengan Terapi Konservatif. Dalam R.P.Sidabutar & Suhardjono (Eds.), Gizi pada Gagal Ginjal Kronik : Beberapa Aspek Penatalaksanaan (hal 50-59). Jakarta : Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

Lahey, B.B. & Ciminero, A.R. (1980). Maladaptive Behaviour : An Introduction to Abnormal Psychology, Illinois : Scott, Foresman and Company.

Lieberman, M.A. (1992). The Effects of Social Support on Responses to Stress. Dalam Bretnitz, S. & Goldberger, L. (Eds), Handbook of Stress : Theoretical and Clinical Aspects. London : Collier Macmillan Publisher.


(5)

Lubis, H.R. (1987). Pemeriksaan Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih serta Pemeriksaan Penderita Hipertensi. Dalam H.H. Nasution, S. Kasiman & H.R. Lubis (Eds.), Diagnosa Fisik (3rd ed.). Medan : Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam FK USU.

Lubis, H.R. (1991). Pengenalan dan Penanggulangan Gagal Ginjal Kronik. Dalam H.R. Lubis & M.Y. Nasution (Eds.), Simposium Pengenalan dan Penanggulangan Gagal Ginjal Kronik (hal 75-85). Medan : Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSPM dan PERNEFRI.

Michael, J. (1986, August). Chronic Renal Failure : End-Stage Management, Medicine International, vol 2, hal 1317-1320.

Mönks, F.J., Knoers, A.M.P & Haditono, S.R. (2001) Psikologi Perkembangan : Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya (13rd ed.) Jogja : Gadjah Mada University Press.

Murphy, K.R., Kevin, R. & O’Davidshofer, C. (1994). Psychological Testing : Principles & Application (3rd ed.) New Jersey: Prentice Hall International Pub

Nunnaly, J. C. & Bernstein, I.H. (1994) Psychometric Theory (3rd ed.). New York: McGraw-Hill, Inc.

Pearce, E.C. (1995). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Peterson, J.C. (1995). Chronic Renal Failure. Dalam C.C. Tisher & C.S. Wilcox (Eds.),

Nephrology : House Officer Series (3rd ed.) Maryland : Williams and Wilkins.

Rahardjo, J.P. (1992). Nutrisi pada Gagal Ginjal Kronik yang Didialisis. Dalam R.P.Sidabutar

& Suhardjono (Eds.), Gizi pada Gagal Ginjal Kronik : Beberapa Aspek

Penatalaksanaan (hal 44-49). Jakarta : Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

Rahardjo, J.P. (1996). Strategi Terapi Gagal Ginjal Kronik. Dalam S. Waspadji, R.A. Gani, S. Setiati & I. Alwi (Eds.), Bunga Rampai Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Robinson, R.R. (1979). Primary Renal Syndrome. Dalam P.B. Beeson, W. McDermott & J.B. Wyngaarden (Eds.), Cecil’s Textbook of Medicine : Asian Edition (15th ed.) (hal 1331-1349). Tokyo : W.B. Saunders Company & Igaku Shooin Ltd.

Roesma, J. (1992). Peranan Gizi pada Penanggulangan Konservatif Gagal Ginjal Kronik. Dalam R.P.Sidabutar & Suhardjono (Eds.), Gizi pada Gagal Ginjal Kronik : Beberapa Aspek Penatalaksanaan (hal 1-20). Jakarta : Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

Rutter, D.R., Chesham, D.J. & Quine, L. (1993). Social Psychological Approaches to Health. New York : Harvester Wheatsheaf.

Sarafino, E.P. (1998). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions (3rd ed.). New York : John Wiley & Sons, Inc.

Sidabutar, R.P. (1992). Gagal Ginjal Kronik. Dalam R.P.Sidabutar & Suhardjono (Eds.), Gizi pada Gagal Ginjal Kronik : Beberapa Aspek Penatalaksanaan (hal 1-20). Jakarta : Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

Mantra, I.B. & Kasto. (1989). Penentuan Sampel. Dalam Singarimbun, M. & Effendi, S. (Eds.). Metode Penelitian Survey (hal 149 – 74). Jakarta : LP3ES.


(6)

Pelawi, K.S., Kartikasari, T. & Maria, S. (1997). Pengetahuan, Sikap, Kepercayaan dan Perilaku Budaya Tradisional Pada Generasi Muda Kota Medan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Sheridan, C.L. & Radmacher, S.A. (1992). Health Psychology : Challenging the Biomedical Model. New York : John Wiley & Sons Inc.

Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Taylor, S.E. (1999). Health Psychology (4th ed.). Boston : McGraw Hill

Tierney, L.M., Jr, McPhee, S.J., Papdakis, M.A. & Schroeder, S.A. (Eds). (1993). Current Medical Diagnosis & Treatment : A Lange Medical Book. New Jersey : Prentice-Hall International.

Tszamaloukas, A.H. (1993). Technique, Practise and Complications of Hemodialysis. Dalam Mandal, A.K. (Eds), Text Book of Nephrology : For the Asian Pacific Physicians (1st ed.). New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publisher PVT. LTD.

Valtin, H. (1979). Renal Dysfunction : Mechanism Involved in Fluid and Solute Imbalance (1st ed.), USA : Little Brown and Company Inc.

Walls, J. (1986, August). Chronic Renal Failure : Conservative Management, Medicine International, vol 2, hal 1317-1320.

Wortman, C., Loftus, E. & Weaver, C. (1999) Psychology : International Edition (5th ed.). Boston : McGraw Hill College

http://www.indokini.com/kesehatan/kes1128.shtml

http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1002523069,30972,