Perubahan Dispersi QT Pada Pasien Gagal Ginjal Tahap Akhir Dengan Terapi Hemodialisis

(1)

PERUBAHAN DISPERSI QT PADA PASIEN GAGAL GINJAL

TAHAP AKHIR DENGAN TERAPI HEMODIALISIS

TESIS

Oleh

HENRY DHARMAWAN PANJAITAN NIM: 097115010

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERUBAHAN DISPERSI QT PADA PASIEN GAGAL GINJAL

TAHAP AKHIR DENGAN TERAPI HEMODIALISIS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Dalam Program Studi Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HENRY DHARMAWAN PANJAITAN NIM: 097115010

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : PERUBAHAN DISPERSI QT PADA PASIEN GAGAL GINJAL

TAHAP AKHIR DENGAN TERAPI HEMODIALISIS Nama Mahasiswa : Henry Dharmawan Panjaitan

Nomor Pokok : 097115010

Program Studi : Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr.Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K) Prof.Dr.A.Afif.Siregar,SpA(K),SpJP(K) NIP.194604301973021001 NIP.195004161977111001

Mengetahui / Mengesahkan

Ketua Program Studi/ Ketua Departemen/

SMF Ilmu Penyakit Jantung SMF Ilmu Penyakit Jantung

FK-USU / RSUP HAM Medan FK-USU/RSUP HAM Medan

Dr. Zulfikri Mukhtar, SpJP(K) Prof. Dr. A. Afif Siregar, SpA(K), SpJP(K) NIP. 195610261983121001 NIP. 195004161977111001


(4)

PERNYATAAN

PERUBAHAN DISPERSI QT PADA PASIEN GAGAL GINJAL

TAHAP AKHIR DENGAN TERAPI HEMODIALISIS

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 30 November 2011


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkah, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universita Sumatera Utara. 2. Prof. Dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD. Sp.JP(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit

Jantung dan Pembuluh Darah FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, disaat penulis melakukan penyusunan proposal dan juga sebagai guru dan pembimbing penulis dalam penyusunan tesis ini, yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian membimbing, mengkoreksi, dan memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan

3. Prof. Dr. A. Afif Siregar, Sp.A(K). Sp.JP(K), Ketua Program Studi PPDS I Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK-USU disaat penulis melakukan penyusunan proposal dan saat ini sebagai Ketua Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK-USU / RSUP H. Adam Malik saat tesis ini selesai disusun yang banyak memberikan masukan berharga dan dorongan semangat kepada penulis.

4. Dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K), Ketua Program Studi PPDS-I Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh darah FK-USU saat ini, yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Prof. Dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD. Sp.JP(K) dan Prof. Dr. A. Afif Siregar, Sp.A(K). Sp.JP (K), selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing,


(6)

mengkoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

6. Guru-guru penulis: Prof. Dr. T. Bahri Anwar, Sp.JP(K); Prof. Dr. Sutomo Kasiman Sp.PD. Sp.JP(K); Prof. Dr. A.Afif Siregar, Sp.A(K). Sp.JP(K); Prof. Dr. Harris Hasan Sp.PD SpJP(K); Dr. Maruli Simanjuntak, Sp.JP(K); Dr. Nora Hutajulu, Sp.JP(K); Dr. Zulfikri Muktar, Sp.JP(K); Dr. Isfanuddin Nyak Kaoy, Sp.JP(K); Dr. Parlindungan Manik, Sp.JP(K); Dr. Refli Hasan, Sp.PD. Sp.JP(K); Dr. Amran Lubis, Sp.JP(K); Dr. Nizam Akbar, Sp.JP(K); Dr. Zainal Safri, Sp.PD. Sp.JP; Dr. Andre Ketaren, Sp.JP; Dr. Andika Sitepu, Sp.JP; Dr. Anggia Lubis, Sp.JP dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.

7. Dr. Salli Roseffi Nasution, Sp.PD-KGH, selaku Ketua Departeman Ilmu Penyakit Dalam, yang telah menerima dan memberikan ijin kepada penulis dalam melaksanakan penelitian ini di departemen yang dipimpin beliau.

8. Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, selaku Kepala Unit Hemodialisa RSUP H Adam Malik, yang telah memberikan ijin, dorongan dan bimbingan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

9. Dr. Alwi, Sp.PD, dan Dr. Safrizal, Sp.PD yang memberikan banyak saran dalam penyelesaian tesis ini.

10.Direktur RSUP H Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.

11.Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam pembuatan analisis statistik tesis ini.

12.Rekan-rekan sejawat peserta program PPDS-I Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK-USU, yang banyak memberikan masukan berharga melalui diskusi kritis dalam berbagai kesempatan, memberikan dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.


(7)

13.Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama menjalani Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, yang telah banyak membantu penulis selama ini.

14.Para perawat di Unit Hemodialisa RSUP H Adam Malik, yang dengan tulus hati membantu penulis dalam melaksanakan penelitian sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan.

15.Semua subjek penelitian yang telah bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.

16.Kedua orang tua yang penulis hormati dan sayangi, ayanda Drs. Negara Panjaitan dan ibunda Marisi br Sinurat, yang telah memberikan kasih sayang tak terhingga, dukungan moril dan materil, nasehat dan bimbimgan yang tulus agar penulis dapat sabar dan tegar dalam menjalani pendidikan ini hingga selesai.

17.Kepada kedua kakak dan kedua adik penulis beserta keluarga, yang banyak memberikan semangat dan doa kepada penulis selama menjalani pendidikan.

18.Istriku tersayang, dr. Yoan Carolina Panggabean, yang senantiasa sabar dan memberikan motivasi kepada penulis serta senantiasa mendoakan penulis baik dalam suka dan duka 19.Kedua buah hatiku tersayang, ananda Pierre Panjaitan dan Clarisa br Panjaitan, yang menjadi

motivasi penulis selama menjalani pendidikan dari awal hingga selesai.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dengan tulus dan iklas dalam mewujudkan cita-cita penulis.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini memberikan manfaat bagi kita semua. Amin

Medan, November 2011


(8)

ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan : Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal pilihan untuk pasien gagal ginjal tahap akhir. Kematian akibat penyakit kardiovaskular yang salah satunya akibat aritmia, cukup tinggi pada populasi hemodialisis. Dispersi QT merupakan salah satu petanda yang murah dan mudah dalam mendeteksi kemungkinan aritmia setelah satu siklus hemodialisis. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perubahan dispersi QT sebelum dan pasca satu siklus hemodialisis serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempunyai korelasi dengan perubahan ini.

Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang yang bersifat analisis, dimana pengukuran dilakukan sebelum dan setelah satu siklus hemodialisis. Penelitian dilakukan di Instalasi Hemodialisa RSUP. H. Adam Malik pada bulan Juni-Agustus 2011.

Hasil : Dari 56 orang subjek penelitian didapati jenis kelamin laki-laki sebanyak 34 orang (60.7 %). Rata-rata usia adalah 47,4 ± 11,4 tahun. Pada penelitiaan ini didapati perubahan dispersi QT sebelum dan setelah satu siklus hemodialisis. Sebelum hemodialisis dispersi QT

42.4 ms ( 22.4 – 92.8 ms), dan setelah hemodialisis menjadi 68.2 ms (18.4 -151.6 ms) dengan p < 0.001. Penderita dengan diabetes didapati dispersi QT yang lebih panjang baik sebelum

maupun setelah hemodialisis dibandingkan tanpa diabetes. Tidak didapati adanya korelasi yang bermakna antara perubahan dispersi QT dengan variabel lain seperti kadar elektrolit . Kesimpulan : Hemodialisis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dispersi QT, dimana setelah hemodialisis didapati dispersi QT cenderung bertambah panjang. Pada kelompok diabetes didapati dispersi QT yang lebih panjang baik sebelum maupun setelah hemodialisis dibandingkan tanpa diabetes.


(9)

ABSTRACT

Background and aim : Hemodialysis is the most practiced alternate therapy for patients with end stage renal disease. Arrhythmia as the one of caused of death cardiovascular disease is significantly high among hemodialysis patients. QT dispersion is an easy marker to detect the possibility of arrhythmia post hemodialysis. The aim of this study to observe the alteration in QT wave dispersion pre and post single cycle hemodalysis and to determine substantial factors contribute to this alteration.

Methods : The analytic cross sectional study to measure QT dispersion was done on patients with end stage renal disease. This study took place in hemodialysis unit at Adam Malik Hospital Medan during June until August 2011.

Results: Of the total 56 subjects, 34 patients were males (60.7 %). The average age was 47.4 ± 11.4 years. This study observed the alteration in QT dispersion pre and post single hemodialysis cycle. QT dispersion pre hemodialysis was 42.4 ms (22.4 – 92.8 ms), and post hemodialysis was shifted to 68.2 ms (18.4 -151.6 ms) with p < 0.001. QT dispersion among diabetic patients was extended in both pre and post single hemodialysis cycle as compared to the nondiabetic. There was no significant correlation between QT dispersion alteration with other variables such as electrolyte blood level and ultra filtration volume. Conclusion: Hemodialysis takes a significant role to the alteration of QT dispersion. Post hemodialysis, QT dispersion tends to be extensive. Among diabetic patients, the QT dispersion was extended in both pre and post hemodialysis as compared to the non diabetic patients.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan………... ii

Ucapan Terima Kasih……….. iv

Abstrak ………. vii

Abstract………. viii

Daftar Isi……….. ix

Daftar Singkatan………. xii

Daftar Lambang ……….…… xiii Daftar Gambar ………... xiv

Daftar Tabel ……… xv

BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang……… 1

I.2. Pertanyaan Penelitian……… 3

I.3. Hipotesis Penelitian………... 3

I.4. Tujuan Penelitian……….. 3

I.5. Manfaat Penelitian……… 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pendahuluan………. 5

II.2. Epidemiologi……… 5

II.3. Faktor Risiko Kardiovaskular Pada Penyakit Ginjal Kronik…… 7

II.4. Prinsip Dasar Hemodialisis……… 10

II.5. Hemodialisis dan Kardiovaskular………. 11

II.6. Interval dan Dispersi QT……… 16

II.7. Pengukuran Dispersi QT……… 17

II.8. Interval dan Dispersi QT pada Hemodialisis………. 19

II.9. Kerangka Teori……….. 22


(11)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Desain Penelitian………. 24

III.2. Tempat dan Waktu Penelitian………. 24

III.3. Populasi dan Subjek Penelitian……….. 24

III.4. Besar Sampel……… 24

III.5. Kriteria Penerimaan dan Penolakan Sampel………... 25

III.6. Identifikasi Variabel……… 25

III.7. Cara Kerja……… 26

III.7.1. Metode Pengambilan Sampel……….. 26

III.7.2. Pengukuran………. 26

III.8. Alur Penelitian………. 27

III.9. Definisi Operasional………... 27

III.10. Pengolahan dan Analisa Data………. 28

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1. Hasil Penelitian……… 29

IV.1.1. Karakteristik Penelitian……… 29

IV.1.2. Karakteristik Subjek Penelitian……… 29

IV.1.3. Hasil ……… 31

IV.2. Pembahasan……….. 35

IV.2.1. Hemodialisis dan Perubahan Dispersi QT……… 35

IV.2.2. Pengaruh Elektrolit dan Ultrafiltrasi Terhadap Dispersi QT…… 36

IV.2.3. Dispersi QT pada Diabetes, Hipertensi dan Hipertrofi Ventrikel…. 37 IV.3. Keterbatasn Penelitian……….……….. 39

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan……… 40


(12)

DAFTAR PUSTAKA……… 41 Lampiran

1. Lembar Penjelasan Kepada Pasien 2. Surat Persetujuan Setelah Penjelasan 3. Status Pasien / Formulir Penelitian 4. Persetujuan Komite Etik


(13)

DAFTAR SINGKATAN

AEDs : early after depolarizations ARB : Angiotensin Reseptor Blocker CCB : Calcium Channel Blocker EKG : Elektrokardiografi

GGTA : Gagal Ginjal Tahap Akhir/Terminal HD : Hemodialisis

HVK : Hipertrofi Ventrikel Kiri KM : Kematian mendadak

NKF : National Kidney Foundation PGK : Penyakit Ginjal Kronik

PGOI : Penyakit Ginjal Obstruksi dan Infeksi PJK : Penyakit Jantung Koroner

PKV : Penyakit Kardiovaskular Qb : Blood flow rate

QTc : QT corrected

RAS : Renin Angiotensin System USRDS : United States Renal Data System VF : Ventrikular Fibrilasi

VT : Ventrikular Takikardia

K : Kalium

Ca : Calsium


(14)

DAFTAR LAMBANG

n : Besar sampel p : Tingkat kemaknaan

Zα : nilai baku normal berdasarkan nilai α (0.05) yang telah ditentukan oleh peneliti

 1.96

Zβ : nilai baku normal berdasarkan nilai β (0.10) yang telah ditentukan oleh peneliti

 1.645

xa xo : selisih rerata bermakna = 7

S : Standar deviasi Dispersi QT berdasarkan penelitian terdahulu = 14,6 < : kurang dari

> : lebih dari

≥ : lebih dari sama dengan % : persentase

α : alfa β : beta


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit 8

kardiovaskular pada penderita GGK

Gambar 2. Patogenesis terjadinya kematian miosit pada kronik uremia 10

Gambar 3. Prinsip dasar hemodialisis 11

Gambar 4. Faktor-faktor penyebab kematian pada pasien hemodialisis 16 Gambar 5. Tehnik pengukuran dispersi QT secara otomatis 18 Gambar 6. Grafik perubahan nilai dispersi QT pra dan pasca hemodialisis 32


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Penyebab kematian kardiovaskular pada pasien GGTA dengan 6

dialisis

Tabel 2. Data karakteristik subjek penelitian 30 Tabel 3. Perubahan variabel pra dan pasca HD 31 Tabel 4. Korelasi antara delta (perubahan) dispersi QT dengan berbagai variabel 33


(17)

ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan : Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal pilihan untuk pasien gagal ginjal tahap akhir. Kematian akibat penyakit kardiovaskular yang salah satunya akibat aritmia, cukup tinggi pada populasi hemodialisis. Dispersi QT merupakan salah satu petanda yang murah dan mudah dalam mendeteksi kemungkinan aritmia setelah satu siklus hemodialisis. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perubahan dispersi QT sebelum dan pasca satu siklus hemodialisis serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempunyai korelasi dengan perubahan ini.

Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang yang bersifat analisis, dimana pengukuran dilakukan sebelum dan setelah satu siklus hemodialisis. Penelitian dilakukan di Instalasi Hemodialisa RSUP. H. Adam Malik pada bulan Juni-Agustus 2011.

Hasil : Dari 56 orang subjek penelitian didapati jenis kelamin laki-laki sebanyak 34 orang (60.7 %). Rata-rata usia adalah 47,4 ± 11,4 tahun. Pada penelitiaan ini didapati perubahan dispersi QT sebelum dan setelah satu siklus hemodialisis. Sebelum hemodialisis dispersi QT

42.4 ms ( 22.4 – 92.8 ms), dan setelah hemodialisis menjadi 68.2 ms (18.4 -151.6 ms) dengan p < 0.001. Penderita dengan diabetes didapati dispersi QT yang lebih panjang baik sebelum

maupun setelah hemodialisis dibandingkan tanpa diabetes. Tidak didapati adanya korelasi yang bermakna antara perubahan dispersi QT dengan variabel lain seperti kadar elektrolit . Kesimpulan : Hemodialisis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dispersi QT, dimana setelah hemodialisis didapati dispersi QT cenderung bertambah panjang. Pada kelompok diabetes didapati dispersi QT yang lebih panjang baik sebelum maupun setelah hemodialisis dibandingkan tanpa diabetes.


(18)

ABSTRACT

Background and aim : Hemodialysis is the most practiced alternate therapy for patients with end stage renal disease. Arrhythmia as the one of caused of death cardiovascular disease is significantly high among hemodialysis patients. QT dispersion is an easy marker to detect the possibility of arrhythmia post hemodialysis. The aim of this study to observe the alteration in QT wave dispersion pre and post single cycle hemodalysis and to determine substantial factors contribute to this alteration.

Methods : The analytic cross sectional study to measure QT dispersion was done on patients with end stage renal disease. This study took place in hemodialysis unit at Adam Malik Hospital Medan during June until August 2011.

Results: Of the total 56 subjects, 34 patients were males (60.7 %). The average age was 47.4 ± 11.4 years. This study observed the alteration in QT dispersion pre and post single hemodialysis cycle. QT dispersion pre hemodialysis was 42.4 ms (22.4 – 92.8 ms), and post hemodialysis was shifted to 68.2 ms (18.4 -151.6 ms) with p < 0.001. QT dispersion among diabetic patients was extended in both pre and post single hemodialysis cycle as compared to the nondiabetic. There was no significant correlation between QT dispersion alteration with other variables such as electrolyte blood level and ultra filtration volume. Conclusion: Hemodialysis takes a significant role to the alteration of QT dispersion. Post hemodialysis, QT dispersion tends to be extensive. Among diabetic patients, the QT dispersion was extended in both pre and post hemodialysis as compared to the non diabetic patients.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan diseluruh dunia. Di Amerika Serikat terdapat kecenderungan peningkatan insidensi dan prevalensi GGK. Pada penduduk yang berusia di atas 20 tahun diperkirakan prevalensinya adalah 0.1 % (± 300.000 orang) untuk gagal ginjal tahap akhir (GGTA) dan 10.8 % dari populasi dewasa (± 20 juta orang) untuk gagal ginjal kronik stadium awal (Sarnak dkk, 2003). Pasien dengan GGTA akan mengalami gangguan hemodinamik dan metabolik yang akan mengakibatkan terjadinya kardiomiopati dan arteriosklerosis, yang akan mengakibatkan tingginya angka kematian kardiovaskular pada populasi ini (Shamseddin dkk, 2011).

Kematian akibat penyakit kardiovaskular (PKV) pada penderita PGK menurut beberapa penelitian terbaru telah mengalami peningkatan. Menurut data National Kidney Foundation (NKF) tahun 1998, kejadian PKV dan angka kematian akibat hal ini akan meningkat 10-30 kali lipat pada populasi dialisis dibandingkan populasi umum. NKF merekomendasikan penderita PGK merupakan kelompok risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular dan pengobatannya direkomendasikan berdasarkan stratifikasi risiko terjadinya kejadian kardiovaskular (Sarnak dkk, 2003; Maharaj dkk,2007).

Terapi pengganti ginjal dengan hemodialisis (HD) merupakan pilihan dalam pengobatan pasien GGTA dalam rangka kelangsungan hidupnya. Hemodialisis ini telah mengalami perkembangan dari segi tehnik pelaksanaan dari dahulu hingga sekarang. Namun angka kematian pada pasien HD masih cukup tinggi. Dari seluruh angka kematian itu, lebih dari setengahnya disebabkan oleh hal yang berhubungan dengan kardiovaskular. Dari data United State Renal Data System (USRDS) di Amerika Serikat tahun 1999, dari seribu pasien HD pertahun tanpa diabetes yang berumur 45-64 tahun, dijumpai 140 kematian, dan 124 kematian diduga berhubungan dengan kardiovaskular (55 kematian mendadak, 27 akibat infark dan 42 akibat penyebab kardiak lainnya).

Penelitian selanjutnya menemukan, lebih dari setengah pasien PGK yang mendapat terapi HD kronik meninggal akibat PKV. Penyebab utama kematian akibat


(20)

PKV adalah gagal jantung, penyakit jantung koroner, dan kematian mendadak akibat dari hiperkalemia ataupun aritmia. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa massa ventrikel kiri merupakan salah satu faktor utama terjadinya PKV pada penderita PGK (Glassock dkk, 2009; Bleyer dkk, 2008)

Kejadian aritmia belakangan ini semakin banyak menarik perhatian para peneliti. Kardiak aritmia bertanggungjawab atas kematian akibat kardiovaskular berkisar 20 % (Meier dkk, 2001; Kanbay dkk, 2010). Penyebab paling sering adalah takikardi atau fibrilasi ventrikular yang dapat mengancam nyawa. Aritmia sering terjadi setelah dimulainya sampai sekurangnya 5 jam setelah HD. Kejadian aritmia bergantung pada berbagai faktor antara lain tonus autonomik, dan juga abnormalitas dari struktur anatomi maupun metabolisme otot ventrikel. Ketidakseragaman dalam hal konduksi dan atau repolarisasi pada bagian-bagian ventrikel dapat menjadi pemicu terjadinya takiaritmia. Dispersi yang pasti dari otot miokardium ventrikel dapat diukur dengan metode invasif seperti pengukuran aksi potensial monofasik pada ventrikel kanan dan kiri, maupun

pengukuran noninvasif seperti “mapping”. Namun kedua metode ini membutuhkan waktu dan alat yang spesifik, yang akan membatasi kegunaannya dalam praktek sehari-hari (Lorincz dkk, 1999; Santoro dkk, 2008; Kanbay dkk, 2010).

Elektrokardiografi ( EKG ) memegang peranan yang penting untuk mengetahui hal ini. Pasien GGTA dengan HD mempunyai berbagai variasi EKG abnormal, dan proses HD itu sendiri dicurigai sebagai penyebab perubahan EKG dan berbagai macam disritmia pada penderita ini (Morris dkk, 1999; Howse dkk, 2002; Stewart dkk, 2005).

Dalam praktek sehari-hari, EKG mempunyai kemampuan dalam memprediksi munculnya aritmia ventrikular ataupun relevansi klinisnya. Pada EKG konvensional, interval dan dispersi QT yang memanjang telah dilaporkan mempunyai hubungan dengan terjadinya aritmia pada gagal jantung dan penyakit jantung koroner (Galinier dkk, 1998; Ueda dkk, 2006; Papandonakis dkk, 1999).

Studi belakangan ini mengindikasikan variasi interval QT antar sandapan (QT interval dispersi adalah: perbedaan antara interval QT terpanjang dengan interval QT terpendek) lebih baik dalam mencerminkan adanya perbedaan regional pada waktu recovery ventrikel. Interval QT yang diukur pada EKG baik secara manual maupun digital memiliki tingkat keandalan yang baik dan selain itu juga tidak memerlukan beban


(21)

biaya yang besar (Glancy dkk, 1996; Malik dkk, 2000; Murray dkk, 1997; Darpo dkk, 2006).

Penelitian mengenai perubahan EKG (dalam hal ini dispersi interval QT) pada penderita GGTA di Indonesia masih sedikit, sementara dispersi QT dapat dipakai sebagai prediktor untuk kejadian aritmia maupun kematian mendadak dalam kasus ini. Hal inilah yang menjadi latar belakang penelitian ini yaitu untuk melihat pengaruh HD terhadap perubahan dispersi QT serta faktor apa saja yang turut mempengaruhinya, pada penderita GGTA sebelum dan setelah satu siklus HD.

I.2. Pertanyaan Penelitian

a. Apakah dijumpai perubahan dispersi QT pada penderita GGTA sebelum dan setelah satu siklus hemodialisis.

b. Keadaan apa saja yang diduga mempengaruhi perubahan dispersi QT pada keadaan ini

I.3. Hipotesis Penelitian

- Dispersi QT akan berubah (memanjang) pada penderita GGTA setelah satu siklus hemodialisis.

I.4. Tujuan Penelitian

- Untuk mengetahui pengaruh satu siklus HD terhadap perubahan dispersi QT pada penderita GGTA yang mendapat terapi HD regular.

- Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang turut mempengaruhi dispersi QT pada keadaan ini.

I.5. Manfaat Penelitian

- Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perubahan dispersi QT pada penderita GGTA dengan HD serta faktor apa saja yang mempengaruhinya.

- Hasil penelitian akan memberikan manfaat terhadap pengobatan penderita dimana dapat memberikan kewaspadaan terhadap terjadinya aritmia yang mengancam nyawa.


(22)

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pendahuluan

Gagal ginjal tahap akhir (GGTA) memerlukan terapi pengganti ginjal untuk kelangsungan hidupnya. Salah satu terapi pengganti ginjal adalah hemodialisis (HD). Tehnik dialisis telah mengalami kemajuan, namun pasien GGTA dengan HD kronik tetap mempunyai resiko kematian yang tinggi akibat PKV termasuk didalamnya aritmia ventrikular dan kematian mendadak. Pasien HD mempunyai beberapa faktor yang mengakibat hal ini, antara lain adalah malnutrisi, diabetes melitus, anemia, gangguan kalium, hiperparatiroid dan PKV sebelumnya. Suatu studi epidemiologi menyimpulkan munculnya aritmia ventrikular secara klinis akan meningkatkan kerentanan seseorang untuk terjadinya kematian khususnya pada orang dengan penyakit jantung sebelumnya. Terlebih lagi adanya beban volume yang berlebihan dan metabolisme yang tidak normal seperti asidosis metabolik dan gangguan elektrolit akan mempengaruhi fungsi jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak. Pada dialisis yang dilakukan secara berulang, pasien akan menghadapi pergeseran yang besar khususnya dalam hal volume cairan, keseimbangan asam basa, kadar elektrolit (kalium, magnesium, fosfat) yang memberikan konstribusi terhadap kejadian aritmia (Meier dkk, 2001; Howse dkk, 2002).

Berbagai penelitian telah mengindikasikan hal-hal yang mungkin sebagai penyebab kematian pada pasien HD antara lain: inflamasi, keadaan uremia, beban volume, keseimbangan autonomik, perpindahan elektrolit yang cepat dan henti jantung. Selain itu faktor resiko tradisional maupun non-tradisional yang dimiliki oleh penderita GGTA dengan HD juga dikatakan memberikan konstribusi besar terhadap kematian (Covic dkk, 2002; Stewart dkk, 2005).

II.2. Epidemiologi

Kematian akibat PKV diperkirakan mencapai 50% pada populasi HD. Menurut data dari United States Renal Data System (USRDS) tahun 1999, angka kematian pada penderita GGTA cukup tinggi dan cenderung meningkat. Pasien GGTA dengan HD kronik mempunyai angka kematian pertahun yang bervariasi antara 6-16 % yang mana PKV merupakan penyebab utamanya. Gagal jantung, aritmia ventrikel, kematian jantung


(24)

mendadak dan infark akut bertanggungjawab terhadap sekurangnya 40 % kematian akibat PKV ( Tabel.1 ). Henti jantung atau aritmia bertanggungjawab terhadap sekurangnya 20 % akibat kematian jantung.

Data dari USRDS juga menunjukkan angka kematian akibat PKV dan serebrovaskular antara tahun 1995 sampai 1997 pada pasien dialisis berumur antara 45-64 tahun menurut jenis kelamin, diabetes dan tehnik dialisa. Data tersebut menyatakan pasien nondiabetes dengan HD dan peritoneal dialisis memiliki resiko kematian kardiovaskular yang sama (61 dan 63 kematian per 1000 pasien pertahun). Pasien diabetes dengan peritoneal dialisis mempunyai angka kematian PKV lebih tinggi dibandingkan pasien diabetes dengan HD (138 dan 100 kematian per 1000 pasien per tahun). Secara umum perbedaan kematian antara HD dan peritoneal dialisis mungkin akibat perbedaan teknis dialisis, komplikasi, obat-obatan, atau dosis dialisis. Setelah dilakukan stratifikasi terhadap umur, ras , jenis kelamin, angka kematian PKV berkisar 10-20 kali lebih tinggi pada pasien HD dibandingkan populasi umum ( Meier dkk, 2001; Sarnak dkk, 2003).

Tabel 1. Penyebab kematian kardiovaskular pada pasien GGTA dengan dialisis (Meier dkk, 2001)

Penyebab Kematian Umur (thn)

20-44 45-64 ≥ 65 Henti Jantung/Kematian Mendadak

Infark Akut Aritmia Kardiomiopati Aterosklerosis

Penyakit Jantung katup

20.0 37.0 69.5 5.9 18.1 30.6 5.1 11.0 19.7 2.5 6.7 16.2 1.3 5.2 15.8 0.7 1.2 2.5

( angka kematian per 1000 pasien per tahun )


(25)

Penyebab kejadian kardiovaskular pada penderita gagal ginjal adalah multifaktorial.

Henrich dkk (2009), membaginya berdasarkan faktor modifiable, non-modifiable dan faktor spesifik yang berhubungan dengan keadaan uremia yang memberikan konstribusi terhadap morbiditas dan mortalitas kejadian kardiovaskular ( Gambar 1 ). Penelitian lain membagi berdasarkan faktor tradisional dan non-tradisional. Pada kenyataannya pembagian ini tidak banyak berbeda. Faktor nonmodifiable mencakup: umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dan diabetes. Faktor modifiable termasuk: hipertensi, dislipidemia, merokok, hyperhomocystein, stress oksidatif, inflamasi dan albumin serum yang rendah. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan keadaan uremia antara lain: anemia, hiperparatiroid hormon, hiperfosfat, peningkatan CRP, dan albuminuria. Keseluruhan faktor ini bersifat additif atau akan saling memperberat timbulnya PKV (Heinrich dkk, 2009; Maharaj dkk, 2007; Sarnak dkk, 2003).

Seluruh faktor-faktor ini akan meningkatkan arterial stiffness dan tekanan darah. Selanjutnya akan meningkatkan stress ventrikel kiri. Arterial stiffness akan meningkatkan pulse wave velocity, yang merupakan faktor risiko independen terhadap kejadian kardiovaskular. Faktor-faktor tersebut juga berperan dalam terbentuknya serta memberatnya proses aterosklerosis. Hasil dari kelainan ini akan terakumulasi dan biasanya akan terlihat pada PGK tahap akhir berupa perubahan morfologi ventrikel kiri dari waktu kewaktu. Sebagai contoh, setelah lama terkena peningkatan tekanan darah dan peningkatan afterload yang juga berkaitan dengan keadaan anemia, hiperparatiroid, dan sirkulasi angiotensin II yang meningkat dalam darah dapat terbentuk hipertrofi ventrikel kiri. Kelainan ventrikel seperti ini ditandai dengan penebalan miosit dari ventrikel kiri, fraksi ejeksi dan volume ventrikel kiri yang sedikit menurun (preserved), namun disertai penurunan distensi ventrikel kiri akibat dari kekakuan ventrikel.


(26)

Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit kardiovaskular pada penderita

GGK (Heinrich dkk, 2009)

Faktor yang terlibat dalam patogenesis hipertrofi ventrikel kiri dan fibrosis pada pasien PGK secara umum dibagi dalam tiga kelompok: (1). afterload (2) preload (3) bukan masalah afterload atau preload (Sarnak dkk, 2003; Berl dkk, 2006; Parfrey dkk, 1999).

Faktor yang berhubungan dengan afterload melibatkan tahanan arterial sistemik, peningkatan tekanan darah sistolik (dan diastolik), dan compliance pembuluh darah besar. Semua faktor ini akan menghasilkan penebalan sel miokardium dan remodeling ventrikel kiri secara konsentrik. Aktifasi sistem renin angiotensin (RAS) intrakardiak juga terlibat dalam hal ini, namun angiotensin II dan aldosteron juga dapat terlibat terlepas dari adanya beban afterload. Jalur non-angiotensin II yang merangsang hipertrofi ventrikel kiri (HVK) dengan peregangan mekanis telah diidentifikasikan. Baru-baru ini, stress oksidatif dan aktifasi dari xanthine oksidase juga mempengaruhi terjadinya HVK yang disebabkan afterload.

Faktor yang berhubungan dengan beban preload melibatkan ekspansi volume intravaskular (garam dan cairan), anemia dan juga pada pasien dengan HD adanya aliran besar pada akses arteri-vena fistula. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan sel miokardium akan memanjang dan terjadilah remodelling ventrikel kiri secara eksentrik atau asimetris. Baik afterload maupun preload dapat berperan secara simultan dan sinergis. Dengan demikian tidaklah mudah untuk memisahkan mana efek preload dan afterload pada patogenesis HVK pada


(27)

penderita gagal ginjal. Namun dikatakan bahwa kelebihan beban berhubungan dengan restriksi garam yang tidak adekuat dan ultrafiltrasi memainkan peranan yang penting.

Tanpa memandang penyebab dasarnya, hipertrofi miokard dan iskemik miosit menyebabkan apoptosis sel dan terjadinya mekanisme autophagia dan hal ini akan meningkatkan produksi dari matriks extraselular yang mengakibatkan fibrosis sel intermiokard. Hal ini mengakibatkan gangguan yang progresif pada kontraktilitas dan kekakuan dinding miokard, berdampak pada terjadinyaa disfungsi sistolik dan diastolik dan selanjutnya menyebabkan kardiomiopati dilatasi dan gagal jantung diastolik dan atau sistolik. Fibrosis pada intermiokard juga akan mengakibatkan gangguan hantaran listrik jantung dan dapat terjadi aritmia ventrikular. Penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi akibat dari proses aterosklerosis yang dipercepat akibat peningkatan kerja jantung dan konsumsi oksigen dimana hal ini akan meningkatkan terjadinya kematian sel dan fibrosis.

Kekakuan dinding pembuluh darah besar yang disebabkan ikatan kolagen dan kalsifikasi dapat meningkatkan hipertrofi ventrikel dan meningkatkan tahanan perifer akibat dari vasokonstriksi perifer dapat meningkatkan tekanan arteri sistemik. Peningkatan konsentrasi natrium plasma dapat merangsang kekakuan endotel pembuluh darah dan mengganggu pelepasan vasodilator nitric oxide ke dalam mikrosirkulasi.

Hiperaldosteron yang menetap, sebagai konsekuensi aktifasi RAS atau non-RAS faktor, dapat mengakibatkan fibrosis miokardium, melalui pembentukan profibrotik growth factor β. Keadaan defisiensi, seperti besi dan atau eritropoetin (dengan anemia), juga defisinsi carnitine dapat menghasilkan HVK.

Sebagai kesimpulannya, faktor yang terlibat dalam patogenesis HVK dan fibrosis miokardium pada pasien PGK sangat kompleks dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Tahanan arteri sistemik, kekakuan pembuluh darah besar (afterload), hipervolemia dan anemia (preload) dianggap sebagai faktor terpenting, dengan hipervolemia diasumsikan sebagai faktor yang sangat dominan.


(28)

Gambar 2. Patogenesis terjadinya kematian miosit pada kronik uremia (Parfrey dkk, 1999)

II. 4. Prinsip Dasar Hemodialisis

Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi terhadap gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat melalui selaput membrane semipermiabel yang berperan sebagai ginjal buatan (dialiser). Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput membran semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen.

Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi tinggi ke arah konsentrasi rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga


(29)

dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi. Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah. Senyawa dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding dengan yang berat molekulnya lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut makin tinggi bila (1) perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrostatik di kompartemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen (Sukandar, 2006 ; Roesli, 2008)

Gambar 3. Prinsip dasar hemodialisis (Sherman dkk, 2006)

II.5. Hemodialisis dan Kardiovaskular

Hemodialisis (HD) merupakan terapi pengganti ginjal pilihan bagi penderita GGTA. Namun prosesnya mempunyai efek tehadap kejadian kardiovaskular. Prosedur ini tidak seperti prosedur lain, yang mana HD akan terus diulang dan diulang lagi. Stimulus yang sering dan berulang ini (sekurangnya tiga kali seminggu) akan menempatkan pasien


(30)

pada resiko yang tinggi secara berkelanjutan. Hemodialisis menyebabkan “stress cardiac” dalam usaha menggantikan fungsi ginjal yang seharusnya 168 jam dalam seminggu menjadi 12 jam. Selama berlangsungnya proses HD ini akan disertai dengan perubahan yang besar dari elektrolit, tekanan osmotik dan cairan (Kanbay dkk, 2010; Bleyer dkk, 2008).

Meskipun tehnik HD telah mengalami kemajuan, kematian akibat kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbesar pada pasien dengan kronik HD. Hampir separuh kematian pada regular HD adalah akibat infark miokardium dan henti jantung. Pada kenyataannya diantara pasien kronik regular HD dijumpainya diabetes, anemia, hipertiroid dan hipertensi menyebabkan kelainan struktural jantung. Selanjutnya kelebihan cairan , abnormalitas metabolisme tubuh seperti asidosis metabolik , gangguan kalium dan magnesium akan mengakibatkan meningkatnya resiko aritmia ventrikel dan kematian mendadak secara signifikan (Santoro dkk, 2008).

Aritmia dapat terjadi akibat dari perubahan yang cepat dari elektrolit intraselular maupun ekstraselular selama sesi HD. Pada jantung akan mengakibatkan suatu keadaan iskemia maupun fibrosis miokard. Pada pasien GGTA dengan HD reguler sering dijumpai gangguan keseimbangan elektrolit seperti kalsium, kalium dan magnesium. Ketidakseimbangan ini mempengaruhi potensial membran sel otot jantung pada saat istirahat, sehingga menyebabkan perubahan pada interval QT. Peningkatan interval QT dapat menyebabkan kejadian aritmia dan kematian pada keadaan ini. Dispersi QT merupakan pengukuran non-invasif bermanfaat untuk menilai inhomogenitas repolarisasi miokard dan predisposisi terjadinya aritmia (Covic dkk, 2002; Ijoma dkk)

Penyakit kardiovaskular termasuk kematian mendadak, infark miokardium, henti jantung dan aritmia yang mengancam dan penyebab kardiak lain merupakan penyebab kematian utama sekitar 43 % dari semua kematian pada pasien dengan dialisis baik HD maupun peritoneal dialisis ( Kanbay dkk, 2010; Henry dkk, 2002 ). Pada HD reguler angka kematian akibat henti jantung melebihi akibat angka kematian akibat sepsis, infeksi paru maupun keganasan dan stroke. Menurut data USRDS penyebab kematian paling banyak adalah aritmia. Sudah sejak lama diketahui bahwa kematian mendadak (KM) merupakan penyebab kematian utama pada pasien dialisis khususnya dengan diabetes, dan KM telah diidentifikasi sebagai salah satu penyebab kematian utama dalam


(31)

dua penelitian berskala nasional di Amerika Serikat yang memakai sampel pasien HD. Henti jantung yang merupakan penyebab kematian mendadak pada pasien HD, ditandai dengan kematian jangka pendek yang ekstrem tinggi. Penelitian oleh Karnik dkk, 2001, dengan 400 pasien HD menyatakan bahwa angka kematian 48 jam pertama akibat henti jantung sebesar 60 %.

Penelitian oleh Kanbay dkk, 2010, menggambarkan secara skematis penyebab kematian mendadak pada pasien HD (Gambar 4). Beberapa mekanisme yang dianggap bertanggungjawab terhadap morbiditas dan mortalitas pada hemodialis adalah sbb:

a. Hipertrofi ventrikel kiri dan gagal jantung

Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sering dijumpai pada pasien HD baik tipe konsentrik maupun eksentrik. Beberapa penelitian menunjukkan HVK adalah indikator bebas yang kuat dalam hal mortalitas dan juga faktor yang menentukan untuk terjadi aritmia pada pasien HD. Selanjutnya beberapa studi menunjukkan gagal jantung dan disfungsi sistolik sering dijumpai pada pasien HD dan hal ini akan memperburuk prognosis. Dalam satu studi, usia tua dan disfungsi ventrikel kiri merupakan indikator bebas dalam terbentuknya aritmia pada pasien HD (Rempiss dkk, 2008; Parfrey dkk, 1999).

b. Adanya fibrosis pada interstisial miokardium dan microvessel disease

Telah diketahui bahwa fibrosis dapat mengakibatkan terjadinya aritmia. Jika jaringan fibrosis dengan tahanan listrik tinggi berada diantara miosit akan mengakibatkan hambatan lokal dalam penyebaran aksi potensial yang memudahkan terjadinya aritmia reentry atrial dan ventrikular (Chen dkk, 2006). Kelainan stuktur jantung yang lain pada keadaan uremia adalah penyakit microvessel dan defisit kapiler (capillary / myocyte mismatch). Hal ini terjadi akibat pertumbuhan kapiler yang tidak adekuat sebagai respon terhadap hipertrofi jantung. Hal ini akan mengakibatkan kebutuhan oksigen meningkat sehingga terjadi relatif iskemia, yang merupakan faktor resiko terjadinya aritmia khususnya selama proses HD. Sehingga dikatakan PJK sering dijumpai pada GGTA dengan atau tanpa gejala infark sebelumnya yang merupakan pencetus terjadinya kematian mendadak (Ritz dkk, 2008).

c. Perpindahan elektrolit yang cepat dan hipervolemia

Kematian dan morbiditas pada pasien HD sering terjadi beberapa jam setelah HD dimulai dan sebelum HD hari berikutnya dimulai. Kematian mendadak sering juga terjadi setelah periode interdialisis yang panjang. Hal ini secara tidak langsung menyatakan pergeseran elektrolit yang cepat dan kelebihan volume dapat memicu kematian mendadak (Bleyer dkk, 2008). d. Dispersi gelombang QT


(32)

Dispersi QT telah dikenal sebagai parameter noninvasif yang dapat memprediksi meningkatnya resiko terjadinya aritmia yang mengancam. Pasien HD mempunyai dispersi dan interval QT yang memanjang. Satu siklus HD lebih lanjut dapat meningkatkan dispersi QT baik pada dewasa maupun anak. Pasien HD dengan QT dispersi > 74 ms mempunyai risiko tinggi untuk aritmia ventrikular yang mengancam dan kematian mendadak (Beaubien dkk, 2002). Penelitian terbaru menduga acquired long QT syndrome merupakan salah satu pencetus KM. Hal ini akibat penurunan saluran ion K+ (menurunkan cadangan repolarisasi) dan meningkatnya sensitifitas ion K+ yang tersisa untuk inhibisi (Gussak dkk, 2007). Genovasi dkk (2008), meneliti mengenai efek perbedaan kombinasi dari konsentrasi kalium dan kalsium terhadap QT interval pada pasien HD. Ditemukan bahwa kombinasi dari konsentrasi kalium dan kalsium yang rendah pada dialisat berhubungan dengan nilai QT yang semakin panjang selama dan segera setelah satu sesi HD, sedangkan konsentrasi kalium dan kalsium yang tinggi akan ditemukan nilai QT interval yang memendek selama kondisi ini. Juga ada variasi genetik dari sindroma long QT . Sesi HD dapat mencetuskan KM pada pasien dengan variasi genetik long QT yang tidak dikenal. Pasien ini ditandai dengan disfungsi saluran ion yang dikenal sebagai channelopathy.

e. Hiperaktifitas dari simpatis

Pada studi sebelumnya telah dikatakan aktifitas simpatis yang berlebih merupakan indikator risiko kardiovaskular. Konsentrasi norepinefrin plasma merupakan prediktor kematian dan kejadian kardiovaskular pada HD tanpa gagal jantung. Sistem saraf simpatis bekerja melalui

reseptor β1 dan β2 yang meningkatkan denyut jantung yang bukan saja dapat memperburuk kebutuhan dan suplai oksigen tetapi juga merangsang hipertrofi kardiak dan fibrosis yang merupakan faktor resiko untuk kematian mendadak.

f. Hipertensi

Hipertensi merupakan penyebab aritmia pada sindroma uremia. De Lima dkk (1999), menemukan penyakit jantung koroner (PJK) dan hipertensi merupakan penentu dalam terjadinya aritmia ventrikular pada pasien GGTA. Studi lain menyatakan bahwa hipertensi bersama dengan diabetes dan usia merupakan prediktor aritmia pada pasien uremia. Hipertensi mengakibatkan mekanikal stress dan memprovokasi iskemia, khususnya pada pasien dengan HVK atau fibrosis.


(33)

Pada percobaan dengan hewan, pengeluaran yang berlebihan dari angiotensin II berhubungan dengan kematian. Pada manusia hal ini masih menjadi perdebatan.

h. Penumpukan kalsium dan fosfat

Penumpukan kalsium dan fosfat pada ruang interstitial dan pada dinding arteri intra miokard mungkin merupakan salah satu mekanisme terjadinya PKV pada pasien HD. Juga dihipotesiskan bahwa hiperfosfatemia mempengaruhi intracellular handling dari kalsium dan mempengaruhi stabilitas elektrik. Kalsium-fosfat mempercepat terbentuknya faktor yang menyebabkan kondisi abnormal dan terbentuknya late potential pada PGK.

i. Keadaan inflamasi

Dengan begitu tingginya angka mortalitas akibat PKV pada pasien HD, beberapa penelitian mencoba mencari hubungannya dengan inflamasi. Dalam suatu studi besar dengan 1041 pasien HD, menunjukkan bahwa mortalitas berhubungan dengan inflamasi . Hubungan ini bersifat langsung dan terlepas dari faktor resiko tradisional kardiovaskular. Inflamasi dapat merangsang KM melalui ateroskerosis atau efek langsung pada miokard dan sistem konduksi listrik (Parekh dkk, 2008).

j. Faktor lain seperti: anemia, dislipidemia, hiperhomosistein, disfungsi endotel, penurunan cadangan perfusi, berkurangnya toleransi terhadap iskemia dan gangguan keseimbangan asam basa dicurigai sebagai faktor risiko lain dan berperan terhadap meningkatnya kerentanan paasien HD terhadap kematian mendadak (Herzog dkk, 2008).

Gambar 4. Faktor penyebab kematian pada pasien hemodialisis (Kanbay dkk, 2010)


(34)

Interval QT merupakan pencerminan dari penjumlahan durasi potensial aksi ventrikular. Interval QT akan memendek seiring dengan peningkatan denyut nadi dan umumnya dikoreksi dengan mengunakan rumus dari Bazett yang memiliki nilai keterbatasan (Zabel dkk, 2000). Nilai normal interval QT yang terkoreksi lebih pendek pada pria dibandingkan dengan perempuan. Pengukuran interval QT dipengaruhi oleh penggunaan sandapan elektroda yang tersedia untuk analisis hasil rekaman EKG (Macfarlane dkk, 1998). Pengukuran interval QT telah terbukti cukup baik dalam hal kesahihan (Sahu dkk, 2000; Lund dkk, 2001).

Interval QT yang memanjang telah dikaitkan dengan kematian dalam beberapa penelitian observasional pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, namun tidak pada kondisi yang lain. Hubungan antara interval QT dengan risiko kardiovaskular secara keseluruhan telah terbukti pada populasi besar. Elming dkk (1998) dan Okin dkk (2000) telah meneliti manfaat dispersi QT pada populasi di Denmark dan Indian Amerika. Penelitian tentang interval QT sebagai prediktor terhadap kematian jantung mendadak pada individu tanpa sindroma QT memanjang memperlihatkan hasil yang bervariasi, namun secara umum interval QT yang memanjang meningkatkan resiko terhadap kematian (Spargias dkk, 1999; Choi dkk, 1999; Lazar dkk, 2008; Brooksby dkk, 1999). Variabilitas intra-observer dan inter-observer masih dapat diterima.

Dispersi QT adalah perbedaan maksimal antara interval QT pada EKG, dipostulasikan sebagai cerminan pemulihan miokard dan dihubungkan dengan resiko terjadinya aritmia. Pada beberapa penelitian observasi, QT dispersi dinyatakan berkaitan dengan meningkatnya resiko kematian. Perubahan dinamis interval QT selama periode perekaman dianggap sebagai petanda ketidakstabilan repolarisasi yang berkaitan dengan kerentanan terjadinya aritmia (Murray dkk, 1997; Malik dkk, 2000)

II.7. Pengukuran Dispersi QT

Sampai saat ini terdapat dua macam metode pengukuran dispersi QT, yaitu secara otomatis dan manual. Namun telah diketahui sejak beberapa waktu lalu bahwa penentuan akhir gelombang T sulit dipercaya. Akan tetapi pengukuran otomatis yang tersedia tidak berhasil memperlihatkan superioritasnya terhadap metode manual. Sumber kesalahan yang utama bagi ke dua metode pengukuran tersebut adalah amplitudo


(35)

gelombang T yang rendah serta bergabungnya gelombang T dengan gelombang U dan atau gelombang P. Morfologi gelombang T juga sangat mempengaruhi pengukuran QT interval. Terdapat beberapa algoritme dasar untuk menentukan secara otomatis akhir gelombang T. Metode “threshold” melokalisir akhir T sebagai penanda gelombang T atau bagian dari threshold di atas garis isolektrik yang biasanya mencerminkan sebagai bagian persentase amplitudo gelombang T. Jelaslah bahwa nilai interval QT bergantung kepada bentuk dari bagian gelombang T yang menurun. Amplitudo gelombang T mempengaruhi realibilitas pengukuran baik otomatis ataupun manual ( Malik dkk, 2000; Macfarlene dkk, 1998)

Gambar 5. Tehnik pengukuran interval T secara otomatis (Malik, 2000)


(36)

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, banyak pasien HD meninggal akibat PKV. Meskipun pasien HD memiliki banyak variasi dari gangguan EKG, namun satu sesi HD itu sendiri akan mengakibatkan gangguan elektrofisiologi jantung. Aritmia sering didapati setelah permulaan HD dan sekurangnya 4-5 jam setelah proses ini berakhir. Terbentuknya aritmia ini tergantung beberapa faktor antara lain: tonus automatisasi dan abnormalitas struktur anatomi maupun metabolisme ventrikel. Hal inilah yang sangat berperan terhadap terbentuknya aritmia ventrikel (Meier dkk, 2001)

Gangguan elektrofisiologi ini utamanya berasal dari aritmia ventrikular khususnya ventrikular takikardi (VT) dan ventrikular fibrilasi (VF) yang diakibatkan beberapa mekanisme. Pengamatan yang dilakukan menduga kejadian kematian mendadak dari VF merupakan akibat dari pengaruh 2 faktor yaitu : adanya pencetus yang akan menginisiasi VT dan degenerasi VT menjadi VF.

Triggered automaticity. Depolarisasi normal dari sel otot jantung melibatkan aliran masuk yang cepat dari ion positif ( natrium dan kalsium ). Dilain pihak, repolarisasi sel miokardium terjadi ketika aliran keluar dari ion positif ( kalium ) melebihi penurunan aliran masuk ion natrium dan kalsium. Tergantung dari saluran mana yang mengalami malfungsi, sebagai hasilnya dapat terjadi aliran keluar dari ion kalium yang tidak adekuat atau aliran masuk natrium yang berlebihan. Kelebihan ion positif intrasel selanjutnya akan menunda repolarisasi ventrikel. Pemanjangan masa repolarisasi selanjutnya akan menunda pengnonaktifan saluran kalsium. Hasil dari lambatnya aliran masuk kalsium akan menyebabkan terbentuknya early afterdepolarisation (AEDs). Beberapa bagian ventrikel khususnya bagian subendokardium yang dalam, akan menunjukkan pemanjangan repolarisasi dan AEDs. Hasil dari heterogenitas repolarisasi ini adalah terjadinya onset dari aritmia reentrant yang khusus.

Kebanyakan AEDs berada dibawah ambang batas dan tidak menunjukkan efek klinis yang nyata. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, amplitudo dari osilasi ini meningkat dan dapat mencapai ambang batas potensial, merangsang suatu aksi potensial yang spontan. Jika proses ini terus berlanjut akan menyebabkan takiaritmia yang menetap. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan aliran masuk kalsium sehingga meningkatkan amplitudo AEDs adalah rangsangan sistem saraf simpatis. Schwartz dkk melaporkan, rangsangan dari ganglion stellate kiri menyebabkan memanjangnya durasi


(37)

aksi potensial atau waktu depolarisasi, yang pada EKG bermanifestasi sebagai pemanjangan dari interval QT ( Meier dkk, 2001)

Reentry. Merupakan mekanisme yang berperan terhadap terjadinya VT secara klinis, termasuk VT dan VF yang berhubungan dengan penyakit jantung iskemik. Takiaritmia ventrikel merupakan penyebab utama kematian mendadak pada penyakit jantung iskemik. Studi dari Chung dkk, melakukan pemetaan kardiak intraoperatif dan menganalisa urutan lokasi miokard yang menginisiasi terjadi VT sustained maupun non-sustained. Hal yang menentukan jenis VT ini adalah lokasi dimana terjadi aktifitas tercepat selama inisiasi dan pemeliharaan. VT sustained biasanya menginisiasi satu tempat dan berpindah ke tempat inisiasi lain pada denyut selanjutnya. VT nonsustained menginisiasi dan menjaga tempat berlawanan dengan sustained VT. Reentry tergantung dari terbentuknya keterlambatan konduksi. Studi terbaru menemukan adanya perubahan histomorfologi miokardium berupa fibrosis interstisial pada penderita uremia dan HD kronis yang berperan untuk terjadinya aritmia ventrikel. Propagasi ireguler dan fragmentasi dari tenaga elektromotif pada perbatasan daerah yang masih baik dan yang telah mengalami parut dinyatakan bertanggungjawab untuk terjadinya VT sustained akibat reentry. Studi histomorfologis pada jantung pasien uremia dan HD kronis menunjukkan adanya fibrosis intermiokardium, yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan rangsangan listrik dan mencetuskan terjadinya reentry.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada bukti epidemiologi yang menyatakan bahwa terjadinya aritmia ventrikel yang signifikan, khususnya dengan adanya penyakit jantung yang mendasarinya, akan meningkatkan pasien HD dalam kerentanan yang tinggi untuk terjadinya aritmia yang fatal. Penelitian oleh Kimura dkk, menemukan bahwa insiden Premature ventricular contraction (PVC) secara signifikan meningkat selama HD dan 4 jam setelahnya dbandingkan sebelum HD (p < 0.05). Non-sustained VT juga sering muncul selama HD. Interval dan dispersi QT yang memanjang telah dikenal sebagai cerminan ketidakseragaman recovery dari rangsangan ventrikel. Interval QT, dispersi QT, QT terkoreksi (QTc), dispersi QT terkoreksi (QTcd) lebih panjang pada pasien kronik HD dibandingkan kontrol, dan meningkat setelah HD seperti pada pasien tanpa uremia setelah infark miokardium. Selama HD ion kalium dan fosfat turun serta kalsium naik secara signifikan dengan p < 0.001 ( Meier dkk, 2001)


(38)

Dalam beberapa penelitian, pelebaran dari dispersi QT merupakan faktor resiko untuk aritmia pada penderita setelah infark miokardium, gagal jantung, penyakit pembuluh darah perifer dan aritmia akibat obat-obatan. Penelitian tersebut juga menunjukkan pelebaran dispersi QT dapat membaik setelah pemberian enalapril, dan pemberian trombolitik pada kasus infark akut. Dispersi QT juga dapat memprediksi kematian pada populasi umum. Pada pasien PGK dengan HD hal ini dipengaruhi oleh perpindahan kalium selama dialisis. Dispersi QT secara signifikan akan memanjang pada pasien yang mendapat terapi HD pada awal dan akan memanjang setelah HD. Pada suatu studi pada 34 pasien nondiabetes dengan HD yang memakai kalium standard 2.0 mEq, dispersi QT meningkat dari 56 ± 15 menjadi 85± 12 ms (p<0.001). Pada studi lain, QT dispersi terkoreksi meningkat selama dialisis yang memakai kalium pada dialisat sebesar 2 mEq/L, namun tidak berubah jika dialisat tersebut disesuaikan sehingga kalium serum tidak berubah konsentrasinya (Bleyer, 2008)

Mekanisme pemanjangan dispersi QT pada kronik HD adalah multifaktor. Terjadinya aritmogenesis tergantung tonus autonom, struktur dan metabolisme ventrikel yang abnormal, perbedaan tekanan dinding ventrikel regional dan hipertrofi miosit ( Meier dkk, 2001)


(39)

II.9. Kerangka Teori

Gagal Ginjal Tahap Akhir dengan Hemodialisis

Beban tekanan dan volume ventrikel kiri meningkat (Parfrey dkk, 1999)

Anemia, Keadaan Uremia, Peningkatan Tonus simpatis, perubahan elektrolit dan hipervolemia (Kanbay dkk, 2010)

- Abnormalitas sistem konduksi jantung

- Fibrosis miokard

- Disfungsi diastolik dan atau sistolik

(Kanbay dkk, 2010)

Maladaptasi : Hipertrofi Ventrikel Kiri


(40)

II.10. Kerangka Konseptual

Gagal Ginjal Tahap Akhir dengan HD reguler

Keadaan Jantung: -Status volume

- Massa Ventrikel Kiri/LVH -Perubahan elektrolit -Uremia

Dispersi QT Faktor resiko:

- Umur

- Jenis Kelamin - Diabetes -Hipertensi - Anemia


(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Desain Penelitian

Studi potong lintang ( cross sectional ) bersifat analitik

III.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2011, di Instalasi Hemodialisis RSUP H. Adam Malik Medan, setelah mendapat persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran USU Medan dan instansi terkait. Pemilihan lokasi berdasarkan atas kepentingan jumlah sampel dan supervisi subjek sesuai desain penelitian, sehingga mempermudah pengumpulan data

III.3. Populasi dan Subjek

Syarat populasi dan subjek adalah sebagai berikut :

a. Populasi target adalah semua penderita GGTA dengan HD reguler

b. Populasi terjangkau : semua pasien GGTA dengan HD reguler di Instalasi Hemodialisa RSUP H. Adam Malik Medan kurun waktu Juni-Agustus 2011

III.4. Besar Sampel

Menggunakan uji hipotesis untuk data berpasangan( Sastroasmoro, 2007; Dahlan, 2009 ).

2





b

a

x

x

S

Z

Z


(42)

Zα : deviat baku alpha, untuk alpha = 0.05  Zα = 1,96

Z : deviat baku beta, untuk beta = 0,10 (power 90 %)  Zβ = 1,645 xa xo : selisih rerata bermakna = 7

S : Standar deviasi Dispersi QT = 14,6 ( Drighil dkk, 2002 ) Maka jumlah sampel minimal (n) = 45,7 = 46

III.5. Kriteria Penerimaan dan Penolakan Sampel III.5.1. Kriteria Penerimaan

- Subjek yang menderita penyakit ginjal kronis tahap akhir yang telah menjalani terapi

hemodialisis regular ≥ 3 bulan secara teratur

- Usia ≥ 25 tahun

- Bersedia menandatangani informed consent

III.5.2. Kriteria Penolakan

- Penderita dengan gagal ginjal kronik fase akut

- Penderita yang mendapat terapi antiaritmia (dalam hal ini amiodarone) yang dapat mempengaruhi interval gelombang QT

- Penderita yang sebelum HD didapati hasil EKG 12 sandapan tidak adekuat untuk dilakukan penilaian interval QTnya, yaitu pada keadaan:

1. Atrial fibrilasi dan atrial flutter

2. Gelombang T sulit dinilai karena terlalu mendatar sehingga sulit diukur pada 4 sandapan atau lebih

3. EKG yang tidak dapat dibaca 4. Didapati blok pada bundle branch.

5. Dijumpainya prematur bigemini

III.6. Identifikasi variabel

Variabel bebas : usia, jenis kelamin, denyut jantung, lama hemodialisis, ultrafiltrasi, hipertensi, diabetes, kalium, kalsium, fosfat,


(43)

Variabel tergantung : dispersi QT

III.7. Cara Kerja

III.7.1. Metode Pengambilan Sampel

Subjek yang memenuhi kriteria diberikan penjelasan mengenai penelitian dan dicatat nama, umur, nomor rekam medis, jenis kelamin, alamat dan semua data klinis yang berhubungan dengan penelitian ini. Untuk mengetahui penyebab gagal ginjalnya digunakan hasil USG ginjal yang tercatat di rekam medis/status pasien. Peneliti mengambil semua subjek yang memenuhi kriteria penelitian secara konsekutif.

III.7.2. Pengukuran

Subjek yang memenuhi kriteria akan dibagi pengukurannya dalam 2 tahapan yaitu:

1. Tahap sebelum hemodialis (sekurangnya 10 menit sebelum) meliputi pengambilan sampel darah, dan EKG.

2. Tahap pasca hemodialisis (10 menit setelah) meliputi pengambilan sampel darah , EKG, ekokardiografi ( masa ventrikel kiri dan HVK).

Darah yang diambil diambil meliputi kadar: hemoglobin, kalium, kalsium, fosfat, ureum, creatinin dan dianalisis dengan alat automatic analyzer Cobas 6000, Hitachi 902, Cobac C 111.

 Data ekokardiografi diukur dengan alat GE Vivid e dan dilakukan oleh seorang ahli kardiologi setelah hemodialis.

 Interval QT diukur dengan menggunakan jangka ukur ( caliper ) digital Krisbow dengan ketepatan 1/100 mm. Data EKG 12 sadapan diambil sepuluh menit sebelum dan setelah hemodialisis dengan menggunakan mesin GE MEC 400 dengan kecepatan 25 ms. Untuk keseragaman letak elektroda EKG digunakan tanda pada permukaan kulit dengan menggunakan spidol.

 Keseluruhan EKG dilakukan pengukuran pada 2 kompleks QRS berurutan di 12 sadapan dan diambil rata-ratanya. EKG diukur oleh pengamat tunggal yang buta terhadap keadaan


(44)

pasien. Untuk mengevaluasi variasi intraobserver dalam pengukuran interval QT, dipilih secara acak 15 EKG dan dibaca ulang oleh pengamat yang sama pada kesempatan yang berbeda.

III.8. Alur Penelitian

III.9. Definisi Operasional

a. Interval QT: diukur mulai dari awal gelombang Q sampai akhir gelombang T. Dipilih interval QT yang paling jelas gambarannya di setiap sadapan.

b. Dispersi QT adalah selisih antara interval QT maksimal dan interval QT minimal yang didapatkan pada rekaman EKG 12 sadapan dengan kecepatan kertas 25 mm/detik.

c. LV mass adalah massa ventrikel kiri yang diukur dengan menggunakan rumus Devereux dan Reichek ( sbb:

LV mass = 1.04 x [ ( IVSTd + PWTd + LVIDd) 3– LVIDd3] – 13,6 gram

LV Mass Index : LV mass dibagi BSA, dikatakan LVH jika LVMI > 131 g/m2 pada pria, dan > 100 g/m2 pada wanita (Devereux dkk,1986)

Pasien Gagal Ginjal Tahap Akhir dengan Hemodialisis Reguler / Kronik

INKLUSI EKSKLUSI

Pra-Hemodialisis: -EKG 12 sandapan

-Biokimia darah : Hb, Elektrolit (K,Ca,Fosfat), Ur, Cr

Pasca-Hemodialisis: -EKG 12 sandapan

-Biokimia darah : Hb, Elektrolit (K,Ca,Fosfat),Ur,Cr

-Ekokardiografi: Massa dan hipertrofi ventrikel kiri


(45)

d. Penderita gagal ginjal tahap akhir : penderita yang telah menjalani hemodialisis reguler dengan penyebab apapun, didukung oleh data hasil usg ginjal dan atau laboratorium

e. Lama hemodialisis: jumlah siklus hemodialisis yang telah dijalani pasien dari awal sampai mengikuti penelitian

f. Ultrafiltrasi: volume cairan (liter) yang ditarik dari tubuh selama berlangsungnya proses hemodialisis

g. Denyut jantung: jumlah denyut jantung dalam satu menit yang diperoleh dari hasil pembacaan EKG

h. Hipertensi dan diabetes: faktor risiko kardiovaskular yang diperoleh berdasarkan catatan rekam medis sebelumnya

i. Kalium, kalsium dan fosfat: kadar elektolit darah yang diperoleh dengan menggunakan alaat pemeriksaan Cobas 6000

III.10. Pengolahan dan Analisa Data

- Data kontinu yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk nilai rerata ± SD atau nilai median (min-max) sesuai hasil uji normalitas sebagai data karakteristik dasar.

- Data kategorikal ditunjukkan dalam persentase atau frekuensi.

- Untuk melihat perbedaan dispersi gelombang QT sebelum dan setelah hemodialisis akan digunakan uji t berpasangan.

- Untuk melihat faktor apa saja yang mempengaruhi dispersi QT akan digunakan uji korelasi.

- Sedangkan hubungan antara perbedaan nilai rerata dispersi QT sebelum dan setelah hemodialisis dan perbedaan diantara subgroup dianalisa dengan menggunakan ANOVA. - Data dikatakan bermakna jika nilai P < 0.05.


(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN IV.1.1. Karakteristik Penelitian

Desain penelitian ini adalah studi potong lintang (cross sectional) dengan interval waktu pra dan pasca tindakan , yang bersifat analisis yang dilakukan di Instalasi Hemodialisis RS Haji Adam Malik Medan, pada periode Juni 2011 sampai dengan Agustus 2011 dengan jumlah sampel yang memenuhi syarat sebanyak 56 orang (memenuhi jumlah sampel minimal sebesar 46 orang) dari populasi penderita GGTA yang menjalani hemodialisis regular. Subjek penelitian telah menjalani hemodialisis regular sekurangnya tiga bulan. Seluruh sesi HD selesai tanpa ada dijumpai komplikasi.

IV.1.2. Karakteristik Subjek Penelitian

Dari 56 orang subjek penelitian didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 34 orang (60,7 %). Dengan rata-rata usia adalah 47,4 ± 11,4 tahun.

Rentang usia yang terbanyak adalah ≤ 55 tahun sebanyak 40 orang (71,4 %)

sedangkan usia > 55 tahun sebanyak 16 orang (28,6%). Seluruh pasien telah menjalani HD lebih dari tiga bulan secara regular dengan median durasi 182.5 (38-735) kali. Seluruh subjek penelitian menjalani HD dua kali seminggu dengan lama satu siklus HD antara 4 sampai 5 jam. Dengan demikian seluruh subjek mendapat HD sekurangnya 8 - 10 jam perminggu.

Penyebab gagal ginjal terbanyak adalah hipertensi nefropati sebanyak 20 orang (35,7%) diikuti dengan penyebab lain seperti: diabetik nefropati 10 orang (17,9), glomerulonefritis kronis 16 orang (28,6 %) dan penyakit ginjal obstruksi dan infeksi (PGOI) sebanyak 10 orang (17,9%).

Dari 56 subjek penelitian, yang mempunyai riwayat hipertensi adalah 41 orang (73,2 %), diabetes mellitus 11 orang (26,8%) dan perokok sebanyak 12 orang (21,4 %). Para subjek juga mendapat terapi berupa Ace-inhibitor 22 orang (39,3%), penghambat reseptor angiotensin (ARB) sebanyak 5 orang (8,9%), CCB sebanyak 28 orang (50 %) dan penghambat beta sebanyak 8 orang (14,3 %). Seluruh pasien tidak pernah dilaporkan masuk ke rumah sakit oleh karena gagal


(47)

jantung ataupun penyakit kardiovaskular lainnya. Data ekokardiografi menunjukkan sebanyak 40 orang (71,4 %) mengalami HVK dengan median massa ventrikel 249,3 gram ( 94,4-502,4 gram) . Dimana HVK konsentrik dan eksentrik terbagi rata masing-masing 20 orang tiap kelompok (50 %).

Hemodialisis dilakukan dengan ultrafiltrasi (L) antara 1 – 4 L dengan median 2.35 L, dengan Qb antara 200-300 cc/menit dengan median 235 cc. Adapun karakteristik dasar dari subjek penelitian ini dimuat dalam Tabel 2. Tabel 2. Data Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel Deskripsi

Usia (tahun) 47.4 ± 11.4

Laki-laki 34 (60.7%)

Lama telah menjalani hemodialisis 182.5 (18 – 735)

<120 kali 20 (35.7%)

≥120 kali 36 (64.3%)

Volume ultrafiltrasi (L) 2.35 (1 – 4) QB (ml/min) 235 (200 – 300) Faktor resiko

Hipertensi 41 (73.2%)

Diabetes 11 (19.6%)

Perokok 12 (21.4%)

Penyebab gagal ginjal

Hipertensi nefropati 20 (35.7%) Diabetes nefropati 10 (17.9%) Glomerulonefritis kronis 16 (28.6%) Penyakit ginjal obstruksi infeksi 10 (17.9%) Medikamentosa

Penghambat ACE 22 (39.3%)

ARB 5 (8.9%)

CCB 28 (50.0%)

Penyekat beta 8 (14.3%)

LVM (gram) 249.3 (94.4 – 502.4)

Indeks LVM 165.5 ± 67.1

HVK 40 (71.4 %) Konsentrik 20

(37.7%) Eksentrik 20


(48)

Ket : deksripsi data yang bersifat numerikal menggunakan rerata ± SD jika data terdistribusi dengan normal atau nilai tengah (min – maks) jika data tidak terdistribusi dengan normal.

QB:blood flow rate, ACE:angiotensin Converting Enzime, ARB:Angiotensin Reseptor Blocker, CCB: Calcium channel blocker; LVM: left ventricular mass, HVK:hipertrofi ventrikel kiri

IV.1.3. HASIL

Dari penelitian ini didapati bahwa proses HD memberikan perubahan yang bermakna terhadap sebahagian besar variabel yang diukur dari subjek penelitian. Hanya pada hasil tekanan darah sistolik dan diastolik sebelum dan sesudah HD tidak dijumpai perubahan yang bermakna dimana pra HD 148.79 ± 23.62 mmHg, pasca HD menjadi 149.79 ± 29.32 mmHg (p=0.778) untuk tekanan darah sistoliknya. Kadar ureum dan kreatinin yang sering dipakai sebagai petanda keberhasilan suatu HD juga mengalami perubahan bermakna. Sebelum HD dari 146.3 mg/dl (66-280.4) dan 14,4 mg/dl (4.8-22.3) menjadi pasca HD 46 .8 mg/dl (2.2- 147) dan 5.6 mg/dl (0.6-16.5) dengan delta perubahan – 100.5 ± 40.6 dan – 8.8±3.95 untuk ureum dan kreatinin dengan (p:<0.001). Hasil kalium, kalsium dan fosfat juga mengalami perubahan yang bermakna. Perubahan variabel sebelum dan setelah HD dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perubahan Variabel Pra daan Pasca Hemodialisis

Variabel Pra-HD Pasca-HD Delta Nilai P

(Pra-Pasca)

Dispersi QT (ms) 42.4 (22.4 – 92.8) 68.2 (18.4-151.6) 19.2 (-47.2-86) <0.001* Hemoglobin (g/dL) 9.1 ± 1.7 9.9 ± 2.0 0.5(-1.6 – 5.9 ) <0.001* Kalium (mEg/L) 4.4 (2 – 6) 3.1 (0.5 – 6.6) 1.2 (-3.8 – 3.5) <0.001* Kalsium (mg/dL) 7.5 ± 0.9 9.2 ± 1.4 1.73 ± 1.2 <0.001* Fosfat (mEg/L) 5.8 (2 – 13) 2.5 (0.8 – 5.8) -3.5 ± 1.75 <0.001* Ureum (mg/dL) 146.3 (66 – 280.4) 46.8 (2.2 – 147) -100.5 ± 40.6 <0.001* Creatinin(mg/dL) 14.4 (4.8 – 22.3) 5.6 (0.6 – 16.5) -8.8 ± 3.95 <0.001* Berat Badan (kg) 58 (42 – 87) 55 (40 – 85) -2.0 (-4 – 0) <0.001* Denyut Jantung

(x/menit) 81.2± 11.3 88.5±13.2 5 (-15-30) <0.001* TD Sistolik (mmHg) 148.8 ± 23.6 149.8 ± 29.3 -0.5 (-55 – 61) 0.778 TD Diastolik (mmHg) 86 (60 – 116) 80 (59 – 119) -4.0 (-36 – 23) 0.110


(49)

Perubahan bermakna juga dijumpai pada dispersi QT (Gambar.6). Sebelum dilakukan HD nilai dispersi QT adalah 42.4 ms (22.4-92.8 ms) dan paska HD menjadi 68.2 ms (18.4-151.6 ms) dengan delta perubahan 19.2 ms (-47.2 – 86 ms) dengan nilai (p: < 0.001).

Gambar 6. Grafik Perubahan Dispersi QT Pra dan Pasca Hemodialisa

Korelasi antara delta perubahan dispersi QT pra dan pasca HD dengan delta perubahan variable-variabel lain juga dianalisa dalam penelitian ini (Tabel.4). Hasilnya didapati bahwa delta dispersi QT tidak mempunyai korelasi yang bermakna terhadap variable-variabel tersebut. Kadar perubahan elektrolit seperti kalium, fosfat dan kalsium yang dalam penelitian ini diduga mempunyai korelasi ternyata tidak dijumpai korelasi. Korelasi antara delta kalium dan delta dispersi QT (r = -0.118; p = 0.388). Dengan kalsium (r = -0.128 ; p = 0.348), dengan volume ultrafiltrasi dan denyut jantung juga tidak dijumpai adanya korelasi.


(50)

Tabel 4. Korelasi Delta Dispersi QT dengan Beberapa Variabel

Variabel Koefisien Korelasi (R) Nilai P

Delta Kalium -0.118 0.388

Delta Kalsium -0.128 0.348

Delta Fosfat 0.013 0.923

Volume ultrafiltrasi 0.105 0.442 Delta Denyut Jantung -0.079 0.563

Penelitian ini juga menganalisa perubahan dispersi QT pada kelompok dengan membedakannya berdasarkan jenis kelamin, usia, ada tidaknya hipertensi, diabetes, hipertrofi ventrikel kiri dan lamanya telah menjalani HD regular ( Tabel.5).

Tabel 5. Perbedaan Dispersi QT pada subgrup

QT DISPERSI

N Pra-HD Pasca-HD p (pra-pasca) Usia > 55 tahun

Usia ≤ 55 tahun

p (antar group)

(16) 46.4 (33.2-92.8) 69.6 (18.4-102.8) (40) 47,47 ± 17,44 70,11 ± 28,56 0.318 0.901

0.052* 0.001*

Pria Wanita

P (antar group)

(34) 48.2 (23.6-92.8) 70.3 ±29.5 (22) 39.9 (22.4-90.8) 67.8 ±23.7 0.092 0.731

0.001* 0.001*

Hipertensi (+) Hipertensi (-) p (antar group)

(41) 48.4 (23.6-92.8) 72.2 ± 29.0 (15) 39.6 (22.4-70.4) 61,5 ± 20,3 0,031* 0,133

0.001* 0.002*

Diabetes (+) Diabetes (-) p (antar group)

(11) 66.4 (46.4-76.0) 82,21 ± 19.3 (45) 40.0 (22.4-92.8) 66,2 ± 28,1 < 0.001* < 0.035*

0.005* 0.01*

LVH (+) LVH (-) p (antar group)

(40) 42.4 (22.4-90.8) 72,5 ± 27,6 (16) 43.0 (28.8-92.8) 61,50 ± 25,25 0.751 0.164

0.001* 0.08


(51)

HD > 120 x

HD ≤ 120 x

Nilai p

(36) 39.8 (23.6-78.8) 67.4 (18.4-151.6) (20) 52.2 (22.4-92.8) 74.6 (30.0-116.4) 0.046* 0.245

0.001* 0.002*

Pada kelompok usia, tidak dijumpai perbedaan bermakna dispersi QT pra dan

pasca HD pada yang usia > 55 tahun dan ≤ 55 tahun. Dimana pra-HD ( 46.4 ms vs 47.47 ± 17.44 ms ; p = 0.318) dan pasca HD (69.6 ms vs 70.11 ± 28.56 ms ; p = 0.901). Namun pasca HD, terjadi pemanjangan dispersi QT yang bermakna baik yang usia > 55 tahun

(46.4 ms menjadi 69.6 ms ; p = 0.052) maupun kelompok ≤ 55 tahun (47.47±17.44 ms

menjadi 70.11 ± 28.56 ms; p = 0.001) . Demikian juga pada kelompok berdasarkan jenis kelamin, maupun adanya hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan hipertensi mempunyai dispersi QT yang berbeda bermakna dibandingkan tanpa hipertensi pada pra-HD (p = 0.031), namun pasca-HD tidak dijumpai perbedaan bermakna antara kedua kelompok ini (p=0.133).

Pada kelompok dengan diabetes, dijumpai perbedaan bermakna baik sebelum HD maupun pasca HD dibandingkan dengan group tanpa diabetes. Sebelum HD pada diabetes dispersi QT adalah 66.4 ms (46.4-76.0) sedangkan tanpa diabetes 40.0 ms (22.4-90.8) dengan p < 0.001. Pasca HD kelompok dengan diabetes menjadi 82.21 ± 19.3 ms dan kelompok tanpa diabetes 66.2 ± 28.1 ms dengan p < 0.035.

Demikian juga subjek yang telah menjalani HD > 120 kali mempunyai dispersi QT pra-HD yang berbeda bermakna dibandingkan kelompok ≤ 120 kali , dimana hasilnya adalah 39.8 ms (23.6 – 78.8 ) vs 52.2 ms (22.4 – 92.8 ) dengan p < 0,046.

IV.2. PEMBAHASAN

Dispersi gelombang QT merupakan salah satu prediktor kematian yang mudah diperiksa dan bersifat non invasif serta mempunyai nilai keandalan dan


(52)

kesahihan yang baik. Pada penelitian ini dilakukan perekaman EKG dengan kecepatan kertas 25 mm/detik, sama seperti yang sering dilakukan pada praktik sehari-hari. Berbagai penelitian menunjukkan perekaman EKG dengan kecepatan kertas 50 mm/detik, namun hasil pengukuran dengan kecepatan 25 mm/detik menunjukkan hasil yang cukup baik (Statters dkk, 1994).

Penilaian dispersi QT pada penelitian ini dilakukan oleh pengamat tunggal (seorang ahli kardiologi) yang tidak mengetahui atau buta terhadap subjek penelitian. Untuk melihat variasi intra-observer dilakukan 2 kali pegukuran pada kesempatan berbeda pada 15 EKG yang dipilih secara acak. Dengan pengamat tunggal dapat diminimalkan variasi antar pengamat, dan dalam penelitian lain variasi intra dan antar pengamat dalam pengukuran interval QT baik secara manual maupun otomatis masih dapat diterima (Thiene dkk, 2007)

IV.2.1. Hemodialisis Dan Perubahan Dispersi QT serta Variabel lainnya

Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh hemodialisis terhadap perubahan dispersi QT. Sebelum HD rata-rata dispersi QT pada seluruh subjek penelitian adalah 42.4 ms (22.4-92.8 ms) dan pasca-HD menjadi 68.2 ms (18.4-151.6 ms) dengan delta perubahan 19.2 ms (-47.2-86) dengan nilai (p < 0,001). Suatu siklus HD mengakibatkan perubahan yang bermakna terhadap dispersi QT. Hal ini mengakibatkan pasien berada dalam kondisi yang rentan untuk terjadinya morbiditas maupun mortalitas yang berhubungan dengan kardiovaskular. Namun disatu sisi HD merupakan jalan keluar terhadap terapi pengganti ginjal bagi pasien gagal ginjal terminal. Penelitian oleh Meier dkk, 2001, menyatakan terjadi peningkatan dispersi QT paska HD (65 ± 14 ms vs 73±16 ms; p <0.001). Morris dkk (1999) mendapati adanya perubahan dispersi QT yang bermakna pra dan pasca HD dari 63.1 ± 20.6 ms menjadi 76.6 ± 27.0 ms dengan p < 0.01. Drighill dkk (2002) juga menjumpai perubahan bermakna pada dispersi QT dari 31.3 ± 14.6 ms pra-HD menjadi 43.9 ± 18.6 ms pasca-HD (p=0.003). Hal ini diduga akibat dari sindroma uremia yang berlama-lama yang akan mengakibat abnormalitas EKG pada pasien gagal ginjal terminal (Stewart dkk, 2005).


(53)

Pada penelitian ini didapati perubahan yang bermakna pada elektrolit ( kalsium, kalium, fosfat ), ureum , kreatinin, berat badan , hemoglobin dan denyut jantung. Penelitian oleh Familoni dkk (2006), kadar kalium pra-HD 5.00±0.76 meq/dL menjadi 4.04 ± 0.97 pasca-HD (p=0.006). Kadar kreatinin pra-HD 7.58 ± 3.76 mg/dL menjadi 3.07 ± 2.76 mg/dL pasca-pra-HD (p=0.036). Lorincz dkk (1999) mendapatkan perubahan yang bermakna terhadap Kalsium, Kalium dan Fosfat dengan nilai p 0.001. Kadar hemoglobin dalam penelitian ini berbeda bermakna pra dan paska HD, namun dalam penelitian ini disebabkan adanya subjek penelitian yang mendapat transfusi.

IV.2.2. Pengaruh Keadaan Elektrolit dan Ultrafiltrasi terhadap Dispersi QT

Pada penelitian ini dijumpai kadar elektrolit pasca-HD ( kadar kalium cenderung menurun, kalsium meningkat dan fosfat cenderung menurun) tidak mempunyai korelasi dengan dispersi QT pasca HD. Pada penelitian ini digunakan dialisat yang sudah diencerkan dengan konsentrasi kalsium 1.75 mmol/L (3.5 mEq/L atau 70 mg/L) dan kalium 2 mEg/L.

Perubahan dispersi QT pasca-HD telah dinyatakan pada penelitian sebelumnya. Namun mekanisme yang pasti tidak secara jelas dipaparkan. Penelitian oleh Drighil dkk (2002), menyatakan tidak ada korelasi antara perubahan kalium dengan dispersi QT pra dan pasca-HD. Namun dikatakan bahwa pasien dengan hipokalemia pasca-HD menunjukkan pemendekan QT terkoreksi (QTc). Dispersi QT lebih panjang pada yang normokalemia dibandingkan hipokalemia tetapi tidak signifikan. Pada studi Nappi dkk (2000), QTc dan dispersi QT meningkat pada pasien yang menggunakan dialisat Ca++ dengan konsentrasi rendah (1,25 mmol/L), sedangkan pada yang menggunakan dialisat Ca++ dengan konsentrasi 1,75 mmol, interval QTc menurun sedangkan dispersi QT cenderung meningkat. Cupusti dkk (1998) menyatakan dispersi QT meningkat secara signifikan dengan dialisat high-calcium (2.0 mmol/L). Selanjutnya Vichnu dkk (2001) meneliti pengaruh abnormalitas elektrolit pada dispersi QT, dan dikatakan bahwa hiperkalemia, hipokalsemia dan hiperkalsemia tidak berasosisasi dengan peningkatan dispersi dari repolarisasi ventrikel. Studi


(54)

lain menunjukkan pemberian dialisat yang mengandung konsentrasi kalium yang konstan dan relatif rendah lebih memungkinkan terjadinya aktifitas aritmogenesis jantung (Santoro dkk, 2008).

Pada penelitian ini tidak dijumpai korelasi antara ultrafiltrasi dengan dispersi QT (r = 0.105; p =0.442). Ultrafiltrasi pada penelitian ini antara 1-4 L dengan median 2.35 L. Penelitian oleh Covic dkk (2002) memperlihatkan tidak adanya perbedaan antara volume ultrafiltrasi antara kelompok dengan dispersi QT yang memanjang pasca-HD dengan yang tidak memanjang (2.85 ± 1.0 L vs 2.87 ± 1.52 L ; p > 0.05). Volume ultrafiltrasi yang dianggap baik adalah berkisar 10 cc/ kgbb/jam, jika terlalu intensif akan mengakibatkan kejadian kardiovascular saat HD ( Curatola dkk,2011)

IV.2.3. Dispersi QT pada diabetes, hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri

Pada penelitian ini tidak dijumpai perbedaan bermakna dispersi QT sebelum dan pasca HD antara laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan QT

dispersi pra dan pasca HD pada kelompok usia > 55 tahun dan ≤ 55 tahun (Tabel

5). Yavuz dkk (2006) menyatakan bahwa dispersi QT akan memanjang sejalan dengan pertambahan usia. Dimana pada usia tua > 65 tahun (n = 79) akan

memanjang dibandingkan kelompok ≤ 65 tahun (n=67). Namun tidak dijumpai

perbedaan dalam kelompok jenis kelamin. Mangoni dkk (2003) menyatakan pada subjek yang sehat sebanyak 194 orang terdapat perbedaan dispersi QT berdasarkan kelompok usia. Perbedaan ini karena umur sampel pada penelitian ini dibandingkan penelitian lain relatif lebih muda.

Pada pasien dengan diabetes (n = 11) didapati rata-rata dispersi QT pra-HD 66.4 ms (46.4-76.0 ms) yang lebih panjang dari nilai kelompok non-diabetes 40.0 ms (22.4-92.8) dengan (p < 0,001). Setelah HD dispersi QT pada kelompok ini menjadi 82,21±19,26 ms dan pada kelompok non-diabetes menjadi 66,16 ±28,05 ms dengan nilai (p=0.035). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Deyneli dkk (2005) yang mengatakan bahwa nilai dispersi QT pada penderita diabetes lebih tinggi dari kelompok normal ( 60,27±17,95 vs 40,48±10,92 ; p < 0,001). Komplikasi mikrovaskular pada diabetes dianggap bertanggung jawab terhadap


(1)

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ………

Umur : ………

Pekerjaan : ………

Alamat : ………

Setelah mendapat keterangan dan penjelasan secara lengkap dan jelas mengenai penelitian yang berjudul “ Perubahan dispersi QT pada pasien gagal ginjal tahap akhir dengan terapi

hemodialisis “, serta memahaminya, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menyatakan bersedia berpartisipasi pada penelitian ini.

Medan, ……….. 2011 Yang membuat pernyataan


(2)

Lampiran 3

FORMULIR PENELITIAN/STATUS PASIEN

Data diri

1. Nama : 2. Umur : 3. Kelamin : 4. Alamat :

5. Telp/HP :

Data Klinis

 Lama diketahui CKD : tahun

 Lama menjalani HD :

 Saat ini adalah HD yg ke :

 Hasil USG/Penyebab CKD :

 Pernah didiagnosa sebagai infark miokard : Yes No

 Faktor resiko CAD : Perokok aktif/ ex perokok , keterangan

Hipertensi/Diabetes/Riwayat Keluarga/Dislipidemia

 Obat yang rutin digunakan :

 Ace Inhibitor - lain-lain sebutkan……….  ARB

 CCB  Betabloker  Digoxin  Aspirin  Statin  Clopidogrel  ISDN


(3)

PRE

HEMODIALISA

PASCA

HEMODIALISA Natrium

Kalium Clorida

Calsium Phosfat Hb

Ur Cr

TD sistolik TD diastolic Berat badan Denyut Jantung

LV mass V

LVH V

 DATA ELEKTROKARDIOGRAFI PRE

HEMODIALISA

PASCA

HEMODIALISA QT max (ms)


(4)

(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. DATA PRIBADI

Nama : dr. Henry Dharmawan Panjaitan

NIM : 097115010

Pangkat/Golongan : -

Jabatan : -

Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 08 April 1976 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Protestan

Nama Ayah : Drs. Negara Panjaitan Nama Ibu : Marisi Sinurat, BA

Nama Isteri : dr. Yoan Carolina Panggabean Alamat :Jl. Air Bersih No. 190, Medan Telp. (061)- 7868144

B. PENDIDIKAN

1. 1989 : Lulus SD Antonius V Medan 2. 1992 : Lulus SMP Tri Sakti 1 Medan 3. 1995 : Lulus SMA Negeri 1 Medan

4. 2001 : Lulus Pendidikan Profesi Dokter, FK-USU Medan

C. JABATAN DAN PEKERJAAN Pekerjaan

1. 2002- 2004 : Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) Kriteria Terpencil, di Puskesmas Rawat Inap Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera


(6)

D. KEANGGOTAAN ORGANISASI PROFESI

1. Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Medan

E. KARYA ILMIAH Sebagai Penulis Utama:

1. Panjaitan HD, Nasution A, Andra CA et al. Coronary Artery Angiography in Hypertension Patients Presenting with Chest Pain. 19th Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association, April 15-18, 2010 Ritz Carlton Hotel Jakarta.

Sebagai Penulis Pembantu:

1. Lubis AC, Panjaitan HD, Nasution AN, Akbar N, et al. Cardiovascular Complications in Patients with Advanced HIV Infection. 18th Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association, June 12-14, 2009 Ritz Carlton Hotel Jakarta.

2. Ali N, Panjaitan HD, Cut AA. Predictive value of blood glucose for mortality in acute coronary syndrome in H.Adam Malik Hospital Medan. 20th Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association, March 25-27, 2011. Ritz Carlton Hotel Jakarta

F. PERTEMUAN ILMIAH YANG DIHADIRI

1. 18th Weekend Course on Cardiology, Jakarta September 2006.

2. ONTARGET: A landmark trial in Cardio and Vascular Protection, Medan Juli 2008. 3. The 4th New Trend in Cardiovascular Management, Medan Mei 2007.

4. Thoracic and Cardiovascular Surgery Symposium, Medan November 2008. 5. The 5th New Trend in Cardiovascular Management, Medan Mei 2009. 6. Workshop Dyslipidaaemia Management, Medan Juli 2009.

7. 19th Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association, Jakarta April 2010. 8. 2nd INA Echo, Jakarta Mei 2010

9. 20th Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association, Jakarta Maret 2011. 10.The 6th New Trend in Cardiovascular Management, Medan Mei 2011.