Makalah Komunikasi Massa Dinamika Dunia
Prakata
Ayah saya adalah penggemar berat Srimulat. Mungkin juga hanya menyukainya secara
biasa saja, atau hanya sekadar menonton di televisi tanpa ada keterikaatan perasaan yang lebih
dalam. Tetapi saya asumsikan ia adalah penggemar berat grup lawak legendaris tersebut, karena
hampir tiap malam ketika saya masih kecil, ayah saya pasti menyempatkan diri untuk menonton
acara Srimulat yang tayang di televisi. Saya pun tak pernah menanyakan seberapa “nge-fans” ia
dengan grup lawak tersebut. Tetapi yang pasti, ruang tengah keluarga saya selalu “ger-geran”
karena acara komedi itu. Kebetulan ayah saya pun berteman baik dengan Kadir, salah satu
personel Srimulat, didukung pula dengan rumah kami yang berada satu komplek. Otomatis
karena seringnya aktivitas menonton tadi, saya pun kadang ikut “ger-geran” melihat candaan
yang dibawakan oleh mereka.
Tentu saja saya—atau mungkin ayah saya—hanya melihat karier mereka melalui
kotak kaca tersebut setelah Srimulat ngetop, tidak pada awal perjuangan saat bagaimana mereka
harus berkeliling dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya seperti pada awal-awal mentas.
Itu pun saya tonton setelah ketika Srimulat sempat bubar pada tahun 1989, sebelum akhirnya
mereka reuni lagi dan tampil di Indosiar. Tetapi yang saya yakin tak berubah, dagelan yang
mereka bawakan tetap beraroma Jawa Tengah pada saat mereka masih berkeliling—mungkin
karena faktor itu pula yang membuat keluarga saya begitu menyukainya. Bahkan ketika keluarga
kami pada saat lebaran dan pulang kampung ke Yogyakarta misalnya, keluarga besar kami malah
nonton bareng acara tersebut di rumah almarhum kakek saya.
Ketika saya yang sudah tumbuh besar ini mencoba mengingat-ingat lagi dan
mencoba membuka beberapa literatur tentang grup lawak legendaris itu, saya langsung setuju
dengan feel yang muncul, yang dulu sempat saya rasakan pada dagelan Srimulat. Dalam guyonan
yang mereka bawakan terdapat corak khas, seperti sifat ketradisionalan mereka yang kental,
seperti perwujudan sebuah subkultur jawa dengan patron yang antik.
Yang saya ingat lagi, Srimulat pasti menggunakan set ruang tengah
keluarga, yang juga pembahasan atau dagelan yang mereka bawakan kebanyakan berpusar pada
masalah keluarga. Selalu ada seseorang yang membawa serbet di bahu, yang berarti ia tengah
memerankan peran sebagai pembantu rumah tangga. Selalu ada seseorang yang membaca koran
dengan serius di ruangan itu, yang berarti ia tengah memerankan peran sebagai ayah, yang sering
kita asumsikan sebagai kepala keluarga.
1
Lewat televisi atau media lainnya, mereka—juga dengan grup lawak
lainnya—berusaha membuat penonton ha-ha-hi-hi, di tengah pemerintahan orde baru yang kuat
dengan warna kepemimpinan yang kadang membuat gelisah. Dikeadaan yang tak bebas dan
tertekan itu masyarakat dibuat senyum. Tetapi Srimulat dapat lebih bernapas lega—beda dengan
Warkop misalnya—karena selain guyonan mereka yang hampir tak pernah menyerempet dengan
masalah politik, mereka sendiripun dekat dengan kalangan militer Indonesia. Di web resmi
Srimulat sendiri pun disebutkan bahwa Almarhum Triman pernah bertugas sebagai Sersan Mayor
di Kodam V Brawijaya Surabaya. Tessy juga pernah menjadi seorang Marinir KKO yang ikut
dalam pembebasan Irian Barat di era 60an, dan Pak Bendot pernah menjadi seorang tentara.
Apalagi Srimulat sering diundang untuk Presiden Soeharto saat itu untuk bermain di Cendana.
Lawak Zaman Dahulu
Frans Sartono dalam buku Main-main Jadi Bukan Main mengelompokkan Srimulat
adalah grup lawak golongan lama yang sering melontarkan lawakan yang berangkat dari
kegagapan sosial. Ia beranggapan, lawakan yang berangkat dari kegagapan sosial itu masih
banyak dilontarkan pelawak dan masih banyak yang tertawa. Masalahnya, sampai kapan tawa itu
terdengar di tengah kondisi masyarakat yang berubah cepat.
Generasi saya, bisa jadi hanya sedikit yang mengenal Basiyo, Kwartet Jaya,
Bagyo, dan Srimulat. Saya pun termasuk orang yang masuk di dalamnya. Saya hanya mengenal
Srimulat di era yang bisa dibilang era terakhir bagi mereka, dan untuk grup lainnya, saya hanya
tahu nama dan foto—tak lagi melihat mereka aktif manggung. Tetapi memang belakangan saya
coba mengunduh rekaman suara Basiyo yang diupload para penggemarnya lewat dunia maya.
Mengenai pola pembawaan dagelan, Mamiek Prakoso dalam suatu
wawancara yang saya lihat di televisi pernah mengatakan, Srimulat mau tak mau harus
bertransformasi mengikuti perkembangan zaman agar tak tergilas dengan roda zaman itu sendiri.
Di dalam buku Main-main Jadi Bukan Main, Tarzan, yang
juga salah satu anggota Srimulat, mengaku harus banyak belajar mengenal segmen penonton
baru. Pelawak yang berangkat dari kultur tobong-bedeng yang digunakan untuk pertunjukan
tradisional harus berhadapan dengan panggung yang lebih besar bernama televisi yang berskala
nasional. Masalah sosial ekonomi dan kultural dari masyarakat agraris yang biasa menjadi bahan
guyonan di pentas lawak tradisional kini hanya menjadi bagian lawakan. Mereka harus
melakukan transformasi materi lawakan agraris untuk masyarakat industri modern yang lebih
2
kompleks. Ia menyadari keterbatasan pendidikan formalnya, dan untuk itu dia terbuka terhadap
hal baru. Misalnya dengan banyak membaca berita tentang berbagai aspek kehidupan. Membaca
berita masalah hukum atau kedokteran, baginya akan berguna sebagai pengetahuan pribadi,
selain bisa juga menjadi amunisi di pentas lawak. “Kami memang dituntut untuk belajar dari
keadaan ini. Tapi, pada akhirnya yang bisa menghasilkan tawa itu adalah mereka yang tanggap
dengan situasi. Kami yang berasal dari pelawak tradisional ini menang di jam terbang yang
terlatih untuk tanggap. Saya misalnya, sering berlagak sok pinter tapi keliru dan gerr..,” kata
Tarzan. Jam terbang dan bakat diperlukan. Akan tetapi menurut Us Us, untuk menghadapi
industri hiburan yang terus berkembang, pelawak harus mau banyak belajar soal ilmu
pemanggungan. Spontanitas, kata pelawak dari grup D’Bodor itu, tetap diperlukan karena tanpa
kemampuan tersebut pelawak akan terlihat kaku, tidak responsif dengan reaksi audiens.
“Pelawak juga perlu naskah, agar tidak stagnan dan terhindar dari pengulangan materi. Kita
gabungkan naskah dengan kemampuan improvisasi.” (Sartono, 2010: 246)
Setelah sempat mati suri, kini memang Srimulat kembali bisa kita
saksikan di Indosiar. Tetapi yang saya rasakan—walaupun kadang saya tetap ngakak—atmosfer
khas dari Srimulat yang dulu saya tonton amat jauh berkurang. Seperti ada nuansa yang banyak
hilang dalam guyonan-guyonan mereka. Beberapa personil Srimulat pun banyak kita temui
berkarir secara personal. Contoh paling hangat adalah Tukul Arwana yang beberapa tahun
terakhir menjadi host fenomenal acara Empat mata yang kemudian berubah nama menjadi Bukan
Empat Mata. Nunung Srimulat juga kini aktif bermain dalam Opera van Java yang hampir tiap
malang tayang di Trans 7 pada jam prime time. Mungkin juga nuansa-nuansa yang hilang yang
saya rasakan itu timbul lebih karena saya tak menyaksikannya lagi dengan orang tua, karena
situasi yang berubah cepat. Saya sudah tumbuh besar dan menuntut ilmu di negeri orang,
orangtua saya juga sibuk dengan pekerjaannya di ibu kota. Zaman melangkah cepat.
Pelawak-pelawak “Intelek”
Munculah grup lawak legendaris yang disebut Arswendo Atmowiloto pelawak dari
generasi cakep, Warkop DKI. Berbeda dengan Srimulat, saya mengamati Warkop bahkan setelah
Warkop menyelesaikan film layar lebar terakhirnya di tahun 1994—yang sudah tak melakukan
aktifitas melawak seperti grup lawak kebanyakan. Saat saya masih kecil, saya dan teman-teman
menyebut film-film Warkop dengan sebutan film Dono dan mengganggap anggotanya (Dono,
Kasino, Indro) adalah pemain film dan bukan grup lawak. Tetapi jauh dari sebelum hari ini, saya
3
telah mengoleksi hampir semua rekaman panggungnya entah itu ketika mereka tampil di radio
Prambors—dulu disebut Warkop Prambors—atau rekaman saat mereka tampil di panggung.
Sebutan pelawak generasi cakep oleh Arswendo itu lebih karena sisi penampilan. Akan tetapi,
materi lawakan sebagian masih menyisakan bau agraris warisan generasi Srimulat.
Warkop sering disebut sebagai grup lawak intelek. Bisa jadi karena mereka adalah
kelompok yang terbentuk di kampus elit Universitas Indonesia, barangkali juga karena hanya
pengaruh wibawa kampusnya. Wahjoe Sardono alias Dono adalah asisten Selo Soemardjan, guru
besar yang amat dihormati. Nanu dan Kasino pun mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UI,
sedangkan Rudi Badil anak Antropologi FS UI. Beda dengan rekan-rekan lainnya, Indro adalah
mahasiswa Universitas Pancasila.
Tetapi sebelumnya, jauh sebelum mereka menikmati segala ketenaran, grup ini
sebetulnya hanya grup yang doyan genjrang-genjreng di kampus UI ketika ada acara-acara
seperti naik gunung, perpeloncoan, atau acara-acara kampus lainnya. Dari musiklah mereka
mengembangkan segala aspek kekreativitasan melawak. Memang dari koleksi saya yaitu lagulagu parodi yang mereka bawakan, mereka mengemasnya dengan lucu dengan memelesetkan
lirik lagu aslinya menjadi lirik buatan mereka yang ngawur namun mengocok perut. Tidak heran
jika akhirnya band-band masa kini seperti Teamlo, Sastromunie dan lain-lain mencomot formula
yang sama dalam menghibur masyarakat, dan sukses.
Berbeda dengan Srimulat yang muncul jauh sebelumnya, Warkop saat itu
terbentuk di ibu kota yang tengah bergolak setelah masa peralihan politik yang amat penting dari
Orde Lama ke Orde Baru. Menurut saya, ketika mereka yang tengah menjadi mahasiswa sedang
lincah-lincahnya berkreasi lalu kemudian mendapatkan keadaan yang penuh penekanan dari
pemerintah, hal itu justru akan menimbulkan kekreativitasan yang muncul dari sempitnya ruang,
dan biasanya malah dahsyat. Mereka seperti melawan langsung pemerintah yang beringas
dengan menggunakan satir politik bukan untuk berhadapan langsung, tetapi untuk menyindir
halus, dengan cara yang tak langsung.
Seperti yang dikatakan Budiarto Shambazy (2010: xxiv) satir politik berbeda
dengan protes politik, karena tidak harus mempunyai agenda-agenda tertentu untuk
mempengaruhi proses pilitik. Tujuannya semata-mata hanya menghibur, sekalipun terkadang
satir yang ditawarkan sesungguhnya memiliki makna yang sejatinya dapat mempengaruhi proses
politik tersebut. Penguasa yang dikritik biasanya tidak gerah dengan satir politik, temasuk Orde
4
Baru yang sering menjadi obyek satir-satir politik Warkop ketika mulai merambah ke media
elektronik.
Dalam buku Main-main Jadi Bukan Main, disebutkan satir-satir politik yang
sering dibawakan Warkop seperti contohnya memelesetkan makna ucapan-ucapan Presiden
Soeharto atau Jendral Ali Murtopo dengan bahasa Jawa yang amat kental alias “supermedhok”.
Atau juga mengguyonkan pengumuman pemerintah tentang “penyesuaian” (makna sebenarnya
kenaikan) harga BBM atau sembilan bahan pokok. Disebutkan, Warkop juga meniru gaya
Menteri Pertambangan Subroto yang memang bergaya unik (antara lain selalu memakai dasi
kupu-kupu) karena mengumumkan kenaikan harga BBM sembari tertawa-tawa di layar TVRI.
Orisinalitas satir Warkop yang lain contohnya mempopulerkan kalimat khas Pak Harto “jika
rakyat menghendaki” menjadi metafora politik yang dipakai untuk menyindir kekuasaan Orde
Baru yang sesungguhnya justru kerap tidak mengikuti kehendak rakyat.
Tetapi tetap bagi saya, ajang paling efektif Warkop dalam menyampaikan
satir politik adalah melalui musik. Hal tersebut jugalah tonggak awal mereka yang tadinya hanya
kumpul-kumpul menjadi terkenal. Bahkan lagu yang bisa dikatakan lagu wajib bagi Mapala,
Siborong-borong, adalah ciptaan Nanu. Bakat bernyanyi Kasino yang sanggup meniru gaya
bernyanyi etnis tionghoa, jawa, sunda, dan lain-lain, amat apik dan mengocok perut.
Saya
jadi berusaha mengingat-ingat, grup mana yang sanggup
mengalahkan ketenaran Warkop karena mangkal di radio, ngobrol dengan luwes dan ceplasceplos namun tetap dengan dialog-dialog intelektual bergaya kampus, lalu terkenal. Saya sulit
mengingatnya. Jangan lupakan film-film Warkop yang masih diputar hingga kini, apalagi ketika
lebaran tiba dan layar kaca kita pasti dinostalgiakan dengan film-film mereka. Budiarto
Shambazy juga dalam buku Main-Main Jadi Bukan Main mengatakan jika dibandingkan dengan
Srimulat yang sudah lebih dulu mapan, model Warkop relatif lebih “modern”, sebab bahan-bahan
lawakan Warkop lebih beragam: kehidupan anak muda, musik, politik, hiburan, seks, gender, ras,
dan seterusnya. Sedangkan lawakan Srimulat lebih terfokus pada “melucu gaya Jawa”. Maka
tidak mengherankan bila diasumsikan bahwa Warkop sesungguhnya telah mengukuhkan diri
sebagai pelopor komedi intelektual seperti yang dimaksudkan di atas.
Batu Lompatan Ciamik dan Hiburan Masa Kini
Pada tahun 90an di Jabodetabek, Radio Suara Kejayaan sangat happening karena radio
ini berkecenderungan sebagai radio komedi yang amat digemari banyak masyarakat. Radio ini
5
memang sekitar tahun 60an telah ada, namun baru pada sekitar tahun 90an lah suaranya nyaring
terdengar. Warkop yang sudah mentereng namanya itu pun pernah ikut siaran di Radio ini.
Bahkan Radio SK sendiri sering diplesetkan namanya menjadi Radio Senyum dan Ketawa.
Radio SK adalah batu lompatan yang amat nyata bagi beberapa pelawak yang masih
eksis bahkan setelah radio itu bubar karena kondisi keuangan negara amat buruk saat itu di tahun
1999. Radio SK mempopulerkan banyak nama pelawak dan musisi seperti Bagito, Patrio, Kiwil,
Mucle, Yadi, Ulfa Dwiyanti, Tukul Arwana, Temon, Abdel, Taufik Savalas, Harry De Pretes,
Nugie, Ridho Slank, Denada, bahkan hingga Ricky Jo dan Alfito Deanova yang kini masih eksis
namun jauh dari hingar bingar komedi.
Setelah Radio SK bubar dan peralihan manajemennnya diberikan pada Hard Rock FM,
lulusan-lulusan Radio SK ini tercium bakatnya oleh banyak stasiun televisi. Pelawak yang ketika
masih menjadi penyiar Radio SK namun juga sudah sering tampil di televisi nasional mungkin
barangkali tak pusing-pusing amat dengan bubarnya Radio SK. Contohnya seperti Patrio yang
digawangi oleh Parto, Akri, dan Eko. Kita saksikan sendiri bagaimana acara Ngelaba saat itu
sangat ngetop, dan saya selalu menantikan acara itu tiap pekan. Bahkan acara Ngelaba
mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena sanggup tetap eksis
sebagai program top komedi selama 13 tahun. Komeng juga setelah keluar dari Diamor makin
tenar namanya dengan program usilnya yaitu Spontan, bersama Kiwil, Yadi, dan Ulfa Dwiyanti.
Tukul Arwana yang juga punggawa Srimulat pun kini menjadi presenter program Bukan
Empat Mata yang sudah beribu-ribu episode tayang, dan menjadikannya sebagai host dengan
bayaran yang tinggi. Abdel dan Temon juga punya acara komedi situasi di Global TV bernama
Abdel Temon Bukan Superstar, dan keduanya kini sering tampil menjadi comic di acara-acara
stand up comedy. Denada memilih untuk melanjutkan karirnya sebagai penyanyi dan Ridho
Slank kini menjadi gitaris salah satu band rock papan atas Indonesia, Slank. Ricky Jo memilih
menjadi host acara olahraga dan Alfito Deanova kini sering kita lihat menjadi presenter berita di
Tv One.
Di luar Radio SK, kontes-kontes hiburan juga menjadi salah satu pencarian bibit yang
menghasilkan pelawak-pelawak mumpuni. Audisi Pelawak TPI misalnya menghasilkan Sule dari
grup SOS yang kini mentereng dengan program Opera Van Java-nya. Cagur yang personilnya
terdiri dari Denny, Narji, dan Wendy kini juga ngetop lantaran mengikuti kontes yang dinilai oleh
Komeng dan Ulfa Dwiyanti. Cagur pertama kali eksis di televisi lewat program Chatting: Canda
6
Itu Penting di TPI yang mempunyai konsep mirip dengan Ngelaba.
Dengan
menyabet sebagai program komedi terbaik selama dua tahun terakhir di Panasonic Gobel
Awards, tentu program Opera van Java (OVJ) yang tayang di Trans 7 tak bisa disangkal lagi
sebagai program komedi yang paling digandrungi saat ini. Saya ingat ketika pertama kali
menyaksikan acara Opera van Java diawal-awal program itu berjalan, OVJ hanya tayang satu
hari dalam seminggu. Namun secara perlahan-lahan, OVJ kini tampil 6 hari dalam seminggu,
seiring dengan ratingnya yang terus naik dan makin disesaki iklan. Bahkan Trans 7 pada hari
minggu menampilkan acara Pas Mantab, yang tiga presenternya adalah pemain Opera van Java.
Opera
van Java sendiri dapat dikatakan sebagai pioneer acara program hiburan saat ini yang teknik
mengisi acaranya menggunakan improvisasi tanpa menghafal naskah sebelumnya. Program
hiburan tanpa naskah ini kemudian diikuti oleh Pesbukers di Antv dan Comedy Project di Trans
Tv. Bedanya, Opera van Java tetap mempertahankan ciri khasnya menggunakan dalang yang
diperankan oleh Parto, sebagai pemandu cerita, dan para sinden yang biasanya menyanyikan
lagu-lagu pop yang “dijawakan”. Para wayang-wayangnya tersebut diisi oleh Sule, Nunung
Srimulat, Andre Taulani (mantan vokalis grup band Stinky) dan Aziz Gagap. Ciri khas lainnya
adalah—ini yang paling saya suka di awal-awal OVJ tayang—Opera van Java mengangkat
cerita-cerita legenda yang sangat populer di masyarakat Indonesia.
Kepada Kompas edisi
Minggu, 7 Desember 2008, kepala Departemen produksi Trans 7, Andi Chairil, mengatakan,
“Konsepnya memang pewanyangan. Ada dalang, sinden, gamelan, dan wayang orangnya yang
diperankan dengan pemain tetap dan bintang-bintang tamu. Tapi ceritanya enggak harus cerita
rakyat dari Jawa. Yang menarik dalam acara ini adalah setiap cerita yang akan dimainkan hanya
diketahui Parto, sang Dalang. Setiap cerita yang dimainkan akan kami kemas dengan cara
kekinian. Jadi tidak menafikkan kalau cerita luar seperti Pinokio akan ada pada salah satu
episode.”
Tetapi terlepas
dari kegemerlapan hiburan masa kini yang amat menjanjikan dan mempunyai banyak segmensegmen yang dapat dimanfaatkan, saya malah merasa dunia hiburan jalur lawak di Indonesia
berubah menjadi bising, gaduh, dan membuat saya agak risih. Satu dua kali saya tertawa, tetapi
kemudian—mungkin juga karena faktor frekuensinya yang liar dan tak menimbulkan rasa
kangen—saya merasa kualitas lawakan terkini memang kualitasnya kurang dibandingkan dengan
tahun 90an atau era 2000an awal. Dulu kita sering disuguhi tema-tema kritik sosial yang tajam,
7
masalah keluarga, atau ideologinya yang jelas. Tetapi yang saya lihat kini dunia lawak negeri ini
hampir kehilangan jati dirinya. OVJ kini mulai membosankan karena dipenuhi dengan “jatuhjatuhan”, “pukul-pukulan” dengan styrofoam, atau jokes-jokes garing dan sarkas yang
mengganggu. Ini juga didukung dengan rating OVJ yang walaupun masih dalam jajaran kelas
atas, sudah jarang menempati rating nomer satu menurut survei yang dibuat oleh vivanews.com
sampai maret 2012. Rating OVJ kerap tergeser oleh Tendangan Si Madun, Fathiyah, Putih Abuabu, Karunia, Cintaku Full Enggak ½ Setengah, atau Shaun The Sheep.
Saya
angkat
topi
dengan kelompok-kelompok yang sekarang tengah menyemarakkan acara-acara stand up comedi
atau komedi tunggal yang memunculkan pembaruan di tengah era lawak yang garing di negeri
ini. Stand up comedy juga seperti mengajarkan kepada masyarakat untuk menjadi masyarakat
yang tidak cepat sensi, karena menurut saya salah satu faktor yang mengakibatkan sering
terjadinya konflik di negeri ini karena masyarakatnya yang sensian. Stand up comedy juga
mengangkat dan menyadarkan kita bahwa disekeliling kita banyak hal aneh, rahasia umum yang
kerap membuat kita menganggukkan kepala setuju. Bahkan kini sudah dua televisi yaitu Metro
TV dan Kompas TV yang rutin menanyangkan acara yang bisa dibilang hiburan alternatif bagi
kita yang merasa risih dengan jalur lawak mainstream. Semoga dunia hiburan khususnya dunia
lawak di Indonesia ini sanggup makin berkualitas seiring dengan cepatnya zaman bergerak.
DAFTAR PUSTAKA
Badil, Rudy (dkk.). 2010. Main-main Jadi Bukan Main. Jakarta: Kepustakaan Pupuler Gramedia.
Srimulat
org
(2012).
Srimulat
di
Kick
Andy
Metro
TV.
http://srimulat.org/news/2012/01/02/36/srimulat_di_kickandy_metro_tv.html,
From
1
Juni
2012
8
Ifan Anwar (2011). Radio SK, Banyak Melahirkan Para Pelawak Terkenal. From
http://hiburan.kompasiana.com/humor/2011/02/17/radio-sk-banyak-melahirkan-parapelawak-terkenal/, 2 Juni 2012
DINAMIKA DUNIA LAWAK DI INDONESIA
9
Disusun Oleh:
Aditya Mahaprajnya 110904542
KELAS F
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
Mata Kuliah: Komunikasi Massa
Dosen: D. Danarka Sasangka, SIP., M.Si.
10
Ayah saya adalah penggemar berat Srimulat. Mungkin juga hanya menyukainya secara
biasa saja, atau hanya sekadar menonton di televisi tanpa ada keterikaatan perasaan yang lebih
dalam. Tetapi saya asumsikan ia adalah penggemar berat grup lawak legendaris tersebut, karena
hampir tiap malam ketika saya masih kecil, ayah saya pasti menyempatkan diri untuk menonton
acara Srimulat yang tayang di televisi. Saya pun tak pernah menanyakan seberapa “nge-fans” ia
dengan grup lawak tersebut. Tetapi yang pasti, ruang tengah keluarga saya selalu “ger-geran”
karena acara komedi itu. Kebetulan ayah saya pun berteman baik dengan Kadir, salah satu
personel Srimulat, didukung pula dengan rumah kami yang berada satu komplek. Otomatis
karena seringnya aktivitas menonton tadi, saya pun kadang ikut “ger-geran” melihat candaan
yang dibawakan oleh mereka.
Tentu saja saya—atau mungkin ayah saya—hanya melihat karier mereka melalui
kotak kaca tersebut setelah Srimulat ngetop, tidak pada awal perjuangan saat bagaimana mereka
harus berkeliling dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya seperti pada awal-awal mentas.
Itu pun saya tonton setelah ketika Srimulat sempat bubar pada tahun 1989, sebelum akhirnya
mereka reuni lagi dan tampil di Indosiar. Tetapi yang saya yakin tak berubah, dagelan yang
mereka bawakan tetap beraroma Jawa Tengah pada saat mereka masih berkeliling—mungkin
karena faktor itu pula yang membuat keluarga saya begitu menyukainya. Bahkan ketika keluarga
kami pada saat lebaran dan pulang kampung ke Yogyakarta misalnya, keluarga besar kami malah
nonton bareng acara tersebut di rumah almarhum kakek saya.
Ketika saya yang sudah tumbuh besar ini mencoba mengingat-ingat lagi dan
mencoba membuka beberapa literatur tentang grup lawak legendaris itu, saya langsung setuju
dengan feel yang muncul, yang dulu sempat saya rasakan pada dagelan Srimulat. Dalam guyonan
yang mereka bawakan terdapat corak khas, seperti sifat ketradisionalan mereka yang kental,
seperti perwujudan sebuah subkultur jawa dengan patron yang antik.
Yang saya ingat lagi, Srimulat pasti menggunakan set ruang tengah
keluarga, yang juga pembahasan atau dagelan yang mereka bawakan kebanyakan berpusar pada
masalah keluarga. Selalu ada seseorang yang membawa serbet di bahu, yang berarti ia tengah
memerankan peran sebagai pembantu rumah tangga. Selalu ada seseorang yang membaca koran
dengan serius di ruangan itu, yang berarti ia tengah memerankan peran sebagai ayah, yang sering
kita asumsikan sebagai kepala keluarga.
1
Lewat televisi atau media lainnya, mereka—juga dengan grup lawak
lainnya—berusaha membuat penonton ha-ha-hi-hi, di tengah pemerintahan orde baru yang kuat
dengan warna kepemimpinan yang kadang membuat gelisah. Dikeadaan yang tak bebas dan
tertekan itu masyarakat dibuat senyum. Tetapi Srimulat dapat lebih bernapas lega—beda dengan
Warkop misalnya—karena selain guyonan mereka yang hampir tak pernah menyerempet dengan
masalah politik, mereka sendiripun dekat dengan kalangan militer Indonesia. Di web resmi
Srimulat sendiri pun disebutkan bahwa Almarhum Triman pernah bertugas sebagai Sersan Mayor
di Kodam V Brawijaya Surabaya. Tessy juga pernah menjadi seorang Marinir KKO yang ikut
dalam pembebasan Irian Barat di era 60an, dan Pak Bendot pernah menjadi seorang tentara.
Apalagi Srimulat sering diundang untuk Presiden Soeharto saat itu untuk bermain di Cendana.
Lawak Zaman Dahulu
Frans Sartono dalam buku Main-main Jadi Bukan Main mengelompokkan Srimulat
adalah grup lawak golongan lama yang sering melontarkan lawakan yang berangkat dari
kegagapan sosial. Ia beranggapan, lawakan yang berangkat dari kegagapan sosial itu masih
banyak dilontarkan pelawak dan masih banyak yang tertawa. Masalahnya, sampai kapan tawa itu
terdengar di tengah kondisi masyarakat yang berubah cepat.
Generasi saya, bisa jadi hanya sedikit yang mengenal Basiyo, Kwartet Jaya,
Bagyo, dan Srimulat. Saya pun termasuk orang yang masuk di dalamnya. Saya hanya mengenal
Srimulat di era yang bisa dibilang era terakhir bagi mereka, dan untuk grup lainnya, saya hanya
tahu nama dan foto—tak lagi melihat mereka aktif manggung. Tetapi memang belakangan saya
coba mengunduh rekaman suara Basiyo yang diupload para penggemarnya lewat dunia maya.
Mengenai pola pembawaan dagelan, Mamiek Prakoso dalam suatu
wawancara yang saya lihat di televisi pernah mengatakan, Srimulat mau tak mau harus
bertransformasi mengikuti perkembangan zaman agar tak tergilas dengan roda zaman itu sendiri.
Di dalam buku Main-main Jadi Bukan Main, Tarzan, yang
juga salah satu anggota Srimulat, mengaku harus banyak belajar mengenal segmen penonton
baru. Pelawak yang berangkat dari kultur tobong-bedeng yang digunakan untuk pertunjukan
tradisional harus berhadapan dengan panggung yang lebih besar bernama televisi yang berskala
nasional. Masalah sosial ekonomi dan kultural dari masyarakat agraris yang biasa menjadi bahan
guyonan di pentas lawak tradisional kini hanya menjadi bagian lawakan. Mereka harus
melakukan transformasi materi lawakan agraris untuk masyarakat industri modern yang lebih
2
kompleks. Ia menyadari keterbatasan pendidikan formalnya, dan untuk itu dia terbuka terhadap
hal baru. Misalnya dengan banyak membaca berita tentang berbagai aspek kehidupan. Membaca
berita masalah hukum atau kedokteran, baginya akan berguna sebagai pengetahuan pribadi,
selain bisa juga menjadi amunisi di pentas lawak. “Kami memang dituntut untuk belajar dari
keadaan ini. Tapi, pada akhirnya yang bisa menghasilkan tawa itu adalah mereka yang tanggap
dengan situasi. Kami yang berasal dari pelawak tradisional ini menang di jam terbang yang
terlatih untuk tanggap. Saya misalnya, sering berlagak sok pinter tapi keliru dan gerr..,” kata
Tarzan. Jam terbang dan bakat diperlukan. Akan tetapi menurut Us Us, untuk menghadapi
industri hiburan yang terus berkembang, pelawak harus mau banyak belajar soal ilmu
pemanggungan. Spontanitas, kata pelawak dari grup D’Bodor itu, tetap diperlukan karena tanpa
kemampuan tersebut pelawak akan terlihat kaku, tidak responsif dengan reaksi audiens.
“Pelawak juga perlu naskah, agar tidak stagnan dan terhindar dari pengulangan materi. Kita
gabungkan naskah dengan kemampuan improvisasi.” (Sartono, 2010: 246)
Setelah sempat mati suri, kini memang Srimulat kembali bisa kita
saksikan di Indosiar. Tetapi yang saya rasakan—walaupun kadang saya tetap ngakak—atmosfer
khas dari Srimulat yang dulu saya tonton amat jauh berkurang. Seperti ada nuansa yang banyak
hilang dalam guyonan-guyonan mereka. Beberapa personil Srimulat pun banyak kita temui
berkarir secara personal. Contoh paling hangat adalah Tukul Arwana yang beberapa tahun
terakhir menjadi host fenomenal acara Empat mata yang kemudian berubah nama menjadi Bukan
Empat Mata. Nunung Srimulat juga kini aktif bermain dalam Opera van Java yang hampir tiap
malang tayang di Trans 7 pada jam prime time. Mungkin juga nuansa-nuansa yang hilang yang
saya rasakan itu timbul lebih karena saya tak menyaksikannya lagi dengan orang tua, karena
situasi yang berubah cepat. Saya sudah tumbuh besar dan menuntut ilmu di negeri orang,
orangtua saya juga sibuk dengan pekerjaannya di ibu kota. Zaman melangkah cepat.
Pelawak-pelawak “Intelek”
Munculah grup lawak legendaris yang disebut Arswendo Atmowiloto pelawak dari
generasi cakep, Warkop DKI. Berbeda dengan Srimulat, saya mengamati Warkop bahkan setelah
Warkop menyelesaikan film layar lebar terakhirnya di tahun 1994—yang sudah tak melakukan
aktifitas melawak seperti grup lawak kebanyakan. Saat saya masih kecil, saya dan teman-teman
menyebut film-film Warkop dengan sebutan film Dono dan mengganggap anggotanya (Dono,
Kasino, Indro) adalah pemain film dan bukan grup lawak. Tetapi jauh dari sebelum hari ini, saya
3
telah mengoleksi hampir semua rekaman panggungnya entah itu ketika mereka tampil di radio
Prambors—dulu disebut Warkop Prambors—atau rekaman saat mereka tampil di panggung.
Sebutan pelawak generasi cakep oleh Arswendo itu lebih karena sisi penampilan. Akan tetapi,
materi lawakan sebagian masih menyisakan bau agraris warisan generasi Srimulat.
Warkop sering disebut sebagai grup lawak intelek. Bisa jadi karena mereka adalah
kelompok yang terbentuk di kampus elit Universitas Indonesia, barangkali juga karena hanya
pengaruh wibawa kampusnya. Wahjoe Sardono alias Dono adalah asisten Selo Soemardjan, guru
besar yang amat dihormati. Nanu dan Kasino pun mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UI,
sedangkan Rudi Badil anak Antropologi FS UI. Beda dengan rekan-rekan lainnya, Indro adalah
mahasiswa Universitas Pancasila.
Tetapi sebelumnya, jauh sebelum mereka menikmati segala ketenaran, grup ini
sebetulnya hanya grup yang doyan genjrang-genjreng di kampus UI ketika ada acara-acara
seperti naik gunung, perpeloncoan, atau acara-acara kampus lainnya. Dari musiklah mereka
mengembangkan segala aspek kekreativitasan melawak. Memang dari koleksi saya yaitu lagulagu parodi yang mereka bawakan, mereka mengemasnya dengan lucu dengan memelesetkan
lirik lagu aslinya menjadi lirik buatan mereka yang ngawur namun mengocok perut. Tidak heran
jika akhirnya band-band masa kini seperti Teamlo, Sastromunie dan lain-lain mencomot formula
yang sama dalam menghibur masyarakat, dan sukses.
Berbeda dengan Srimulat yang muncul jauh sebelumnya, Warkop saat itu
terbentuk di ibu kota yang tengah bergolak setelah masa peralihan politik yang amat penting dari
Orde Lama ke Orde Baru. Menurut saya, ketika mereka yang tengah menjadi mahasiswa sedang
lincah-lincahnya berkreasi lalu kemudian mendapatkan keadaan yang penuh penekanan dari
pemerintah, hal itu justru akan menimbulkan kekreativitasan yang muncul dari sempitnya ruang,
dan biasanya malah dahsyat. Mereka seperti melawan langsung pemerintah yang beringas
dengan menggunakan satir politik bukan untuk berhadapan langsung, tetapi untuk menyindir
halus, dengan cara yang tak langsung.
Seperti yang dikatakan Budiarto Shambazy (2010: xxiv) satir politik berbeda
dengan protes politik, karena tidak harus mempunyai agenda-agenda tertentu untuk
mempengaruhi proses pilitik. Tujuannya semata-mata hanya menghibur, sekalipun terkadang
satir yang ditawarkan sesungguhnya memiliki makna yang sejatinya dapat mempengaruhi proses
politik tersebut. Penguasa yang dikritik biasanya tidak gerah dengan satir politik, temasuk Orde
4
Baru yang sering menjadi obyek satir-satir politik Warkop ketika mulai merambah ke media
elektronik.
Dalam buku Main-main Jadi Bukan Main, disebutkan satir-satir politik yang
sering dibawakan Warkop seperti contohnya memelesetkan makna ucapan-ucapan Presiden
Soeharto atau Jendral Ali Murtopo dengan bahasa Jawa yang amat kental alias “supermedhok”.
Atau juga mengguyonkan pengumuman pemerintah tentang “penyesuaian” (makna sebenarnya
kenaikan) harga BBM atau sembilan bahan pokok. Disebutkan, Warkop juga meniru gaya
Menteri Pertambangan Subroto yang memang bergaya unik (antara lain selalu memakai dasi
kupu-kupu) karena mengumumkan kenaikan harga BBM sembari tertawa-tawa di layar TVRI.
Orisinalitas satir Warkop yang lain contohnya mempopulerkan kalimat khas Pak Harto “jika
rakyat menghendaki” menjadi metafora politik yang dipakai untuk menyindir kekuasaan Orde
Baru yang sesungguhnya justru kerap tidak mengikuti kehendak rakyat.
Tetapi tetap bagi saya, ajang paling efektif Warkop dalam menyampaikan
satir politik adalah melalui musik. Hal tersebut jugalah tonggak awal mereka yang tadinya hanya
kumpul-kumpul menjadi terkenal. Bahkan lagu yang bisa dikatakan lagu wajib bagi Mapala,
Siborong-borong, adalah ciptaan Nanu. Bakat bernyanyi Kasino yang sanggup meniru gaya
bernyanyi etnis tionghoa, jawa, sunda, dan lain-lain, amat apik dan mengocok perut.
Saya
jadi berusaha mengingat-ingat, grup mana yang sanggup
mengalahkan ketenaran Warkop karena mangkal di radio, ngobrol dengan luwes dan ceplasceplos namun tetap dengan dialog-dialog intelektual bergaya kampus, lalu terkenal. Saya sulit
mengingatnya. Jangan lupakan film-film Warkop yang masih diputar hingga kini, apalagi ketika
lebaran tiba dan layar kaca kita pasti dinostalgiakan dengan film-film mereka. Budiarto
Shambazy juga dalam buku Main-Main Jadi Bukan Main mengatakan jika dibandingkan dengan
Srimulat yang sudah lebih dulu mapan, model Warkop relatif lebih “modern”, sebab bahan-bahan
lawakan Warkop lebih beragam: kehidupan anak muda, musik, politik, hiburan, seks, gender, ras,
dan seterusnya. Sedangkan lawakan Srimulat lebih terfokus pada “melucu gaya Jawa”. Maka
tidak mengherankan bila diasumsikan bahwa Warkop sesungguhnya telah mengukuhkan diri
sebagai pelopor komedi intelektual seperti yang dimaksudkan di atas.
Batu Lompatan Ciamik dan Hiburan Masa Kini
Pada tahun 90an di Jabodetabek, Radio Suara Kejayaan sangat happening karena radio
ini berkecenderungan sebagai radio komedi yang amat digemari banyak masyarakat. Radio ini
5
memang sekitar tahun 60an telah ada, namun baru pada sekitar tahun 90an lah suaranya nyaring
terdengar. Warkop yang sudah mentereng namanya itu pun pernah ikut siaran di Radio ini.
Bahkan Radio SK sendiri sering diplesetkan namanya menjadi Radio Senyum dan Ketawa.
Radio SK adalah batu lompatan yang amat nyata bagi beberapa pelawak yang masih
eksis bahkan setelah radio itu bubar karena kondisi keuangan negara amat buruk saat itu di tahun
1999. Radio SK mempopulerkan banyak nama pelawak dan musisi seperti Bagito, Patrio, Kiwil,
Mucle, Yadi, Ulfa Dwiyanti, Tukul Arwana, Temon, Abdel, Taufik Savalas, Harry De Pretes,
Nugie, Ridho Slank, Denada, bahkan hingga Ricky Jo dan Alfito Deanova yang kini masih eksis
namun jauh dari hingar bingar komedi.
Setelah Radio SK bubar dan peralihan manajemennnya diberikan pada Hard Rock FM,
lulusan-lulusan Radio SK ini tercium bakatnya oleh banyak stasiun televisi. Pelawak yang ketika
masih menjadi penyiar Radio SK namun juga sudah sering tampil di televisi nasional mungkin
barangkali tak pusing-pusing amat dengan bubarnya Radio SK. Contohnya seperti Patrio yang
digawangi oleh Parto, Akri, dan Eko. Kita saksikan sendiri bagaimana acara Ngelaba saat itu
sangat ngetop, dan saya selalu menantikan acara itu tiap pekan. Bahkan acara Ngelaba
mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena sanggup tetap eksis
sebagai program top komedi selama 13 tahun. Komeng juga setelah keluar dari Diamor makin
tenar namanya dengan program usilnya yaitu Spontan, bersama Kiwil, Yadi, dan Ulfa Dwiyanti.
Tukul Arwana yang juga punggawa Srimulat pun kini menjadi presenter program Bukan
Empat Mata yang sudah beribu-ribu episode tayang, dan menjadikannya sebagai host dengan
bayaran yang tinggi. Abdel dan Temon juga punya acara komedi situasi di Global TV bernama
Abdel Temon Bukan Superstar, dan keduanya kini sering tampil menjadi comic di acara-acara
stand up comedy. Denada memilih untuk melanjutkan karirnya sebagai penyanyi dan Ridho
Slank kini menjadi gitaris salah satu band rock papan atas Indonesia, Slank. Ricky Jo memilih
menjadi host acara olahraga dan Alfito Deanova kini sering kita lihat menjadi presenter berita di
Tv One.
Di luar Radio SK, kontes-kontes hiburan juga menjadi salah satu pencarian bibit yang
menghasilkan pelawak-pelawak mumpuni. Audisi Pelawak TPI misalnya menghasilkan Sule dari
grup SOS yang kini mentereng dengan program Opera Van Java-nya. Cagur yang personilnya
terdiri dari Denny, Narji, dan Wendy kini juga ngetop lantaran mengikuti kontes yang dinilai oleh
Komeng dan Ulfa Dwiyanti. Cagur pertama kali eksis di televisi lewat program Chatting: Canda
6
Itu Penting di TPI yang mempunyai konsep mirip dengan Ngelaba.
Dengan
menyabet sebagai program komedi terbaik selama dua tahun terakhir di Panasonic Gobel
Awards, tentu program Opera van Java (OVJ) yang tayang di Trans 7 tak bisa disangkal lagi
sebagai program komedi yang paling digandrungi saat ini. Saya ingat ketika pertama kali
menyaksikan acara Opera van Java diawal-awal program itu berjalan, OVJ hanya tayang satu
hari dalam seminggu. Namun secara perlahan-lahan, OVJ kini tampil 6 hari dalam seminggu,
seiring dengan ratingnya yang terus naik dan makin disesaki iklan. Bahkan Trans 7 pada hari
minggu menampilkan acara Pas Mantab, yang tiga presenternya adalah pemain Opera van Java.
Opera
van Java sendiri dapat dikatakan sebagai pioneer acara program hiburan saat ini yang teknik
mengisi acaranya menggunakan improvisasi tanpa menghafal naskah sebelumnya. Program
hiburan tanpa naskah ini kemudian diikuti oleh Pesbukers di Antv dan Comedy Project di Trans
Tv. Bedanya, Opera van Java tetap mempertahankan ciri khasnya menggunakan dalang yang
diperankan oleh Parto, sebagai pemandu cerita, dan para sinden yang biasanya menyanyikan
lagu-lagu pop yang “dijawakan”. Para wayang-wayangnya tersebut diisi oleh Sule, Nunung
Srimulat, Andre Taulani (mantan vokalis grup band Stinky) dan Aziz Gagap. Ciri khas lainnya
adalah—ini yang paling saya suka di awal-awal OVJ tayang—Opera van Java mengangkat
cerita-cerita legenda yang sangat populer di masyarakat Indonesia.
Kepada Kompas edisi
Minggu, 7 Desember 2008, kepala Departemen produksi Trans 7, Andi Chairil, mengatakan,
“Konsepnya memang pewanyangan. Ada dalang, sinden, gamelan, dan wayang orangnya yang
diperankan dengan pemain tetap dan bintang-bintang tamu. Tapi ceritanya enggak harus cerita
rakyat dari Jawa. Yang menarik dalam acara ini adalah setiap cerita yang akan dimainkan hanya
diketahui Parto, sang Dalang. Setiap cerita yang dimainkan akan kami kemas dengan cara
kekinian. Jadi tidak menafikkan kalau cerita luar seperti Pinokio akan ada pada salah satu
episode.”
Tetapi terlepas
dari kegemerlapan hiburan masa kini yang amat menjanjikan dan mempunyai banyak segmensegmen yang dapat dimanfaatkan, saya malah merasa dunia hiburan jalur lawak di Indonesia
berubah menjadi bising, gaduh, dan membuat saya agak risih. Satu dua kali saya tertawa, tetapi
kemudian—mungkin juga karena faktor frekuensinya yang liar dan tak menimbulkan rasa
kangen—saya merasa kualitas lawakan terkini memang kualitasnya kurang dibandingkan dengan
tahun 90an atau era 2000an awal. Dulu kita sering disuguhi tema-tema kritik sosial yang tajam,
7
masalah keluarga, atau ideologinya yang jelas. Tetapi yang saya lihat kini dunia lawak negeri ini
hampir kehilangan jati dirinya. OVJ kini mulai membosankan karena dipenuhi dengan “jatuhjatuhan”, “pukul-pukulan” dengan styrofoam, atau jokes-jokes garing dan sarkas yang
mengganggu. Ini juga didukung dengan rating OVJ yang walaupun masih dalam jajaran kelas
atas, sudah jarang menempati rating nomer satu menurut survei yang dibuat oleh vivanews.com
sampai maret 2012. Rating OVJ kerap tergeser oleh Tendangan Si Madun, Fathiyah, Putih Abuabu, Karunia, Cintaku Full Enggak ½ Setengah, atau Shaun The Sheep.
Saya
angkat
topi
dengan kelompok-kelompok yang sekarang tengah menyemarakkan acara-acara stand up comedi
atau komedi tunggal yang memunculkan pembaruan di tengah era lawak yang garing di negeri
ini. Stand up comedy juga seperti mengajarkan kepada masyarakat untuk menjadi masyarakat
yang tidak cepat sensi, karena menurut saya salah satu faktor yang mengakibatkan sering
terjadinya konflik di negeri ini karena masyarakatnya yang sensian. Stand up comedy juga
mengangkat dan menyadarkan kita bahwa disekeliling kita banyak hal aneh, rahasia umum yang
kerap membuat kita menganggukkan kepala setuju. Bahkan kini sudah dua televisi yaitu Metro
TV dan Kompas TV yang rutin menanyangkan acara yang bisa dibilang hiburan alternatif bagi
kita yang merasa risih dengan jalur lawak mainstream. Semoga dunia hiburan khususnya dunia
lawak di Indonesia ini sanggup makin berkualitas seiring dengan cepatnya zaman bergerak.
DAFTAR PUSTAKA
Badil, Rudy (dkk.). 2010. Main-main Jadi Bukan Main. Jakarta: Kepustakaan Pupuler Gramedia.
Srimulat
org
(2012).
Srimulat
di
Kick
Andy
Metro
TV.
http://srimulat.org/news/2012/01/02/36/srimulat_di_kickandy_metro_tv.html,
From
1
Juni
2012
8
Ifan Anwar (2011). Radio SK, Banyak Melahirkan Para Pelawak Terkenal. From
http://hiburan.kompasiana.com/humor/2011/02/17/radio-sk-banyak-melahirkan-parapelawak-terkenal/, 2 Juni 2012
DINAMIKA DUNIA LAWAK DI INDONESIA
9
Disusun Oleh:
Aditya Mahaprajnya 110904542
KELAS F
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
Mata Kuliah: Komunikasi Massa
Dosen: D. Danarka Sasangka, SIP., M.Si.
10