Peran Seni Budaya dalam Penguatan Identi
PERAN SENI BUDAYA DALAM PENGUATAN IDENTITAS MASYARAKAT
Nurul Huda Ambarwati, Pratiwi Ayuningtyas, Subur Ahmad Supangat, Tri Hadiyanto Utomo,
Yordhi Rahmatdian
Jurusan Sosiologi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta,
Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran seni budaya dalam penguatan identitas
masyarakat, dimana budaya dinilai sebagai peninggalan nenek moyang akan mempermudah
kelestarian budaya yang telah dimilikinya secara turun temurun. Kebudayaan dan juga seni
sebagai identitas yang cenderung berbeda dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Garut,
Jawa Barat. Dari sisi metodologi, penelitian ini menggunakan paradigma positivistik yang
bertumpu kepada pendekatan kualitatif. Subyek penelitian yaitu masyarakat sekitar yang dibagi
menurut beberapa lapisan yaitu tokoh adat, tokoh pendidikan (Guru), dan masyarakat biasa di
Desa Pakenjeng. Lokasi penelitian di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut Jawa Barat
dengan waktu penelitian selama 3 hari, yaitu 20-22 November 2015. Seni budaya yang diteliti
disini antara lain yang ialah gesrek, calung dan degung, serta pencak silat yang khas di
Kabupaten Garut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan: (1) Seni Budaya yang terdapat di
Desa Pakenjeng, (2) kondisi dan tahapan perkembangan seni budaya tersebut, (3) peran seni
budaya dalam penguatan identitas di Desa Pakenjeng.
Kata kunci: peran seni budaya, penguatan identitas, penguatan integrasi.
Pendahuluan
Suatu hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat merupakan definisi sebuah kebudayaan. 1
Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari
kebudayaan beraneka ragam dan suku-suku di Indonesia yang juga merupakan bagian integral
daripada kebudayaan Indonesia sendiri. Kebudayaan sebagai salah-satu bentuk identitas
bangsa sampai saat ini cenderung terlupakan, budaya adat tradisional kini kalah pamor dengan
budaya barat. Budaya tradisional yang cenderung mengadopsi budaya timur memuat
kesopanan dan nilai-nilai sikap yang agung kini terpinggirkan oleh budaya glamor dan
individual. Kebudayaan barat sudah sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat di
Indonesia mulai dengan cara berpakaian sampai dengan selera bermusik para generasi muda,
melihat kenyataan itu betapa hebatnya pengaruh globalisasi dalam kehidupan sekarang.
Kebudayaan yang paling mendasar dan menjadi ciri khas bangsa, yaitu kebudayaan
daerah atau kebudayaan lokal. Kebudayaan yang menjadi dasar ini adalah alat penilai dan
pengukur bagaimana kepribadian bangsa. Di zaman yang selalu mengalami perubahan/dinamis
dan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman sering terjadi sebuah gejala perubahan
kebudayaan dan perubahan sosial. Dalam mengembangkan kebudayaan bangsa, perlu
ditumbuhkan dan dilestarikan nilai budaya yang positif sehingga dapat memperkokoh
kebudayaan nasional.
1
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993), hal 9.
Di Garut sendiri banyak bermunculan kesenian yang diwariskan oleh para leluhur
khususnya di Desa Pakenjeng di antaranya gesrek, pencak silat, calung dan degung. Kesenian
tersebut menyebar sampai kepelosok desa-desa di dusun 1 dan 3. Lewat penelitian ini penulis
akan mencoba mengkaji kesenian calung dan degung, serta sedikit ulasan mengenai pencak
silat yang terdapat di Desa Pakenjeng.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma positivistik yang bertumpu kepada pendekatan
kualitatif. Subyek penelitian yaitu masyarakat sekitar yang dibagi menurut beberapa lapisan
yaitu tokoh adat, tokoh pendidikan (Guru), dan masyarakat biasa di Desa Pakenjeng. Lokasi
penelitian di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut Jawa Barat dengan waktu penelitian
selama 3 hari, yaitu 20-22 November 2015. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) data primer
diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam; (2) data sekunder bersumber dari profil
wilayah, jurnal, tulisan ilmiah, dan dokumen/arsip terkait topik penelitian.
Data dianalisis dengan menggunakan teori peran dan hakikat kebudayaan dari Soerjono
Soekanto dan Koentjaraningrat. Dalam model ini, merupakan wujud dari unsur kebudayaan.
dilakukan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, yang ketiganya merupakan
suatu siklus untuk memperkuat pengambilan kesimpulan (Gambar 1).
Pera
n
Ide
Aktifitas
Artefak
Integr
asi
Gambar 1. Siklus Analisis Teori
(sumber: analisis kelompok)
Koenjtaraningrat berpendapat bahwa unsur kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu
pertama sebagai suatu ide, gagasan, nilai- nilai norma- norma peraturan dan sebagainya,
kedua sebagai suatu aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam sebuah komunitas
masyarakat, ketiga benda- benda hasil karya manusia. 2 Peran bisa menghasilkan ide-ide
dimana ide tersebut berupa cerita-cerita atau alkisah turun-temurun yang dapat
mengintegrasikan masyarakat. Aktifitas nyata berupa tindakan dan terdapat gerakan-gerakan.
Serta artefak yaitu sebuah bukti bahwa seni juga ditampilkan kedalam pagelaran-pagelaran.
Yang kesemua komponen tersebut kemudian bisa mengintegrasikan masyarakat sekitar.
2
Ibid. hal 5.
Hasil dan Pembahasan
1. Konteks Sosial Desa Pakenjeng
Pakenjeng terletak di Kabupaten Garut. Secara geografis terletak di Provinsi Jawa Barat
dengan bagian Tenggara pada koordinat 6º56'49 - 7 º45'00 Lintang Selatan dan 107º25'8 108º7'30 Bujur Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha
(3.065,19 km²) Kabupaten Garut yang secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung
sebagai ibukota provinsi Jawa Barat, merupakan daerah penyangga dan hinterland bagi
pengembangan wilayah Bandung Raya.
Gambar 2. Peta Desa Pakenjeng
(sumber: http://desapakenjeng.garutkab.go.id/statis-43-petadesa.html/,2015)
Sedangkan Desa Pakenjeng adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Garut, Provinsi
Jawa Barat, Indonesia. Memiliki luas wilayah 2.141,9 Ha dengan batas-batas wilayah : Sebelah
Utara berbatasan dengan kec. Cisurupan. Sebelah Selatan berbatasan dengan kec. Pakenjeng.
Sebelah Barat berbatasan dengan desa Garumukti kec. Pamulihan. Sebelah Timur berbatasan
dengan Desa PananjungKecamatan. Dan berpenduduk sekitar 4.020 orang.
Wilayah Pakenjeng terbagi menjadi 3 dusun: 1). Dusun Kombongan, 2). Dusun Pakenjeng, 3).
Dusun Tangsi. Kemudian dari 3 dusun dibagi lagi menjadi 7 wilayah RW dan 30 RT.
Di Kecamatan Pamulihan terdapat wisata alam yang menjadi keistimewaan dari desa
Pakenjeng, yaitu Curug Sanghyang Taraje. Curug ini memiliki ketinggian sekitar 80 m. Curug
yang lokasinya berada di wilayah dusun 3 Kampung Kombongan, Desa Pakenjeng, Kecamatan
Pamulihan, Kabupaten Garut ini, memang cukup terisolir. Padahal lokasi yang berada pada
ketinggian 460 dpl memiliki pemandangan yang sangat indah.
2. Seni budaya yang terdapat di Desa Pakenjeng
Secara umum, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai halhal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, sedangkan dalam bahasa inggris
kebudayaan disebut culture yang berasal dari kata latin colere yaitu mengolah atau
mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani, kata culture juga
kadang sering diterjemahkan sebagai “Kultur” dalam bahasa Indonesia.
Di Kabupaten Garut, Jawa Barat, banyak terdapat seni budaya khas dari daerahnya.
Terutama di Desa Pakenjeng, terdapat berbagai macam seni budaya yang paling menonjol
yaitu kesenian Gesrek, namun ternyata terdapat seni budaya lainnya yang juga menjadi icon
dari masyarakat itu sendiri. Yang sekaligus menjadi fokus penelitian penulis di bidang seni
suara yaitu kesenian calung dan degung, serta seni gerakan yaitu pencak silat.
a. Degung
Degung ialah semacam waditra-pukul (instrument pukul) 3 merupakan sebuah kesenian
Sunda, yang penyajiannya menggunakan seperangkat gamelan degung yang ditampilkan oleh
para pengrawit (penabuh gendang). Degung ini merupakan gabungan dari peralatan musik
khas Jawa Barat yaitu, gendang, goong, kempul, saron, bonang, kacapi, suling, rebab, dan
sebagainya. Degung merupakan salah-satu kesenian yang paling populer di Jawa Barat,
karena iringan musik degung ini selalu digunakan dalam setiap acara hajatan yang masih
menganut adat tradisional, selain itu musik degung juga digunakan sebagai musik pengiring
hampir pada setiap pertunjukan seni tradisional Jawa Barat lainnya.
Gambar 3. Kesenian Degung
(gambar diperoleh dari hasil observasi langsung, tanggal 21/11/2015)
Alat musik degung yang terdapat di desa Pakenjeng ini dikelola oleh seorang
tokoh adat yaitu Pak Aef Sofyan. Kesenian ini sudah merupakan kesenian tradisi turunmenurun di keluarga Bapak Aef. Kelompok degung yang dimiliki desa ini bernama Gentra
Panglipur. Degung ini merupakan gabungan dari peralatan musik khas Jawa Barat yaitu,
gendang, goong, kempul, saron, bonang, kacapi, suling, rebab, dan sebagainya.
3
E. Tjarmedi, R. Sjabar Riswara Kp., Ruchiat Rachmat, Penuntun Pengajaran Degung, hlm. 7.
b. Calung
Calung adalah jenis kesenian yang waditranya atau alatnya dibuat dari bambu. 4 Alat
musik Sunda yang merupakan purwarupa dari angklung. Sering kali orang menganggap sama
antara Calung dengan Angklung, pada dasarnya alat musik ini sama-sama terbuat dari bambu
yang dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan nada-nada harmonis, bedanya
terdapat pada cara memainkannya, kalau Angklung dimainkan dengan cara digetarkan atau
digoyang-goyangkan, sedangkan Calung dimainkan dengan cara dipukul.
Gambar 4. Kesenian Calung dan Degung
(gambar diperoleh dari hasil observasi langsung, tanggal 21/11/2015)
“nah kalo ini (degung) mahkan memerlukan calung, gendang, gong, dll. Kalo yang ini
(terompet – bag.atas) biasanya mah buat pencak silat.” 5
Alat pendukung lain yang kadang-kadang ada pada pertunjukan dari calung ialah rebab.
Jadi pertunjukan calung akan lebih estetis jika sedang membawakan lagu memakai rebab.
Selain itu juga ada instrument lain yang terdapat dalam kesenian calung dan degung di Desa
Pakenjeng yaitu terompet yang biasa juga dipakai untuk mengiringi pementasan pencak silat
yang ada.
c. Pencak Silat
Didalam kesenian pencak silat, terdapat suatu julukan ‘Putra Siliwangi’ yang sudah
dikenal oleh masyarakat. Kesenian pencak silat memiliki kesempatan untuk lebih eksis di
tengah masyarakat melalui diadakannya pertandingan. Pertandingan tersebut disiasati dengan
cara memberikan pelatihan secara intensif kepada para pelajar di sekolah menengah pertama
di desa Pakenjeng, Pananjung, Darumukti. Pelatihan tersebut dilakukan melalui materi
pengajarannya didalam kegiatan ekstrakurikuler. Keberlanjutan kesenian ini harus tetap
4
Proyek Sasana Budaya (Indonesia), Petunjuk wisata budaya Jawa Barat, (Jawa Barat,1977).
Hlm.21.
5
Wawancara dengan Pak Aef Sofyan, salah satu tokoh adat di Desa Pakenjeng, tanggal
21/11/2015.
dilestarikan dengan usaha yang keras, hal itu ditegaskan oleh KADISPORA (Kepala Dinas
Pemuda dan Olahraga).
Terdapat juga pertandingan O2SN (Olimpiade Olahraga Siswa nasional). O2SN (Olimpiade
Olahraga Siswa nasional) adalah suatu kegiatan yang bersifat kompetisi di bidang olahraga
antara siswa SMP dalam lingkup wilayah atau tingkat lomba tertentu. Dengan sasaran siswa
SMP negeri dan swasta termsuk SMP terbuka dan SD-SMP Satu Atap.
Selain diadakannya pertandingan berskala besar antar tingkat kecamatan dan nasional, ada
juga kegiatan yang memberikan kesempatan untuk melestarikan kesenian tersebut melalui
upacara adat yang diselenggarakan oleh sekolah. Hal ini dapat menjadi alternatif pelestarian
yang efektif, karena selain memamerkan kesenian, kegiatan tersebut menjadi ajang dalam
kaderisasi penerus oleh para pelajar muda. Pada dasarnya, pelajar muda pada tingkat SD
hingga SMP merupakan insan yang memiliki kesempatan melestarikan yang lebih lama
dibandingkan dengan generasi tua.
3. Tahapan Perkembangan Seni Budaya di Desa Pakenjeng
Di Desa Pakenjeng, kesenian Gesrek merupakan seni budaya yang paling terkenal.
Baik di dalam Desa maupun ke desa lain disekitarnya. Namun juga terdapat seni budaya lain
yaitu, seni bela diri dan kesenian alat musiknya yaitu calung dan degung. Kebudayaan ini
mereka dapatkan secara turun-temurun yang diwariskan oleh tokoh adat kepada keluarganya.
Didalam poin ketiga ini, penulis akan menjelaskan mengenai tahapan perkembangan seni
budaya yang ada di desa Pakenjeng. Tahapan perkembangannya dibagi menjadi 3 yaitu, tahap
perkembangan awal, tahapan konsolidasi, dan tahap akhir.
a. Perkembangan awal
Seperti yang sudah dijelaskan pada poin-poin sebelumnya. Kesenian yang terdapat di
desa Pakenjeng merupakan kesenian turun-temurun. Masyarakat sudah mengenal kesenian
khas daerahnya sejak dini. Kesenian yang dibawa generasinya kemudian dipelajari dan
dilestarikan oleh generasi-generasi yang berikutnya. Namun tidak menutup kemungkinan jika
masyarakat luar juga ingin belajar calung dan degung ini.
Tahapan ini juga merupakan suatu tahapan di saat kesenian calung, degung serta pencak silat
yang terdapat di desa Pakenjeng menjadi sangat terkenal di daerahnya. Seni budaya calung
dan degung yang terdapat di desa Pakenjeng kini dikepalai oleh Bapak Aef Sofyan.
Pengenalannya diawali oleh ayah dan kakek dari Pak Aef atau selaku generasi sebelumnya.
Kemudian Pak Aef memperkenalkan calung dan degung kepada putra-putranya, selain untuk
menambah pengrawit/penabuh degung bisa juga dijadikan upaya agar kesenian ini tidak punah
nantinya agar terus dikelola oleh generasi berikutnya.
“Gentra Panglipur” ialah sebutan bagi para tim yang memainkan calung dan degung, khusunya
yang ada di dusun 1 desa Pakenjeng. Tahun 2005 kebawah, calung dan degung menjadi
primadona di wilayah Pakenjeng bahkan sampai luar desa. Dimana dulu, masyarakat yang
mengadakan hajatan atau acara-acara besar lainnya pasti menanggap tim kesenian dari desa
Pakenjeng ini.
“saya tuh kan ketuanya dulu. Dulu tuh betul-betul eksis sampai sekitar tahun 2005-an lah.
Udah panggilan tuh, udah nyebrang sampe 3. Sampe ke kecamatan Bumbulang,
Pakenjeng dan bahkan dengan Cikajang juga udah bermitra, udah biasa.”6
Selain itu, kesenian populer yaitu pencak silat yang bertempat di dusun Kombongan. Desa
Pakenjeng memiliki generasi muda yang berpotensi di bidang seni gerakan seperti silat, hal ini
menjadi salah satu prestasi yang membuat nama desa Pakenjeng menjadi terkenal. Untuk
memperlancar popularitasnya, maka Pencak silat dari desa ini diikutsertakan dalam ajang
kompetisi tingkat nasional. Hasilnya adalah kesenian ini mendapatkan gelar juara saat berada
di provinsi Makassar. Hal ini terus berlanjut dengan mengikuti kompetisi yang sama sehingga
mendapatkan kembali gelar juara saat pertandingan yang diselenggarakan di Bandung. Serta
mengikutsertakan di pertandingan O2SN (Olimpiade Olahraga Siswa nasional). O2SN
(Olimpiade Olahraga Siswa nasional) adalah suatu kegiatan yang bersifat kompetisi di bidang
olahraga antara siswa SMP dalam lingkup wilayah atau tingkat lomba tertentu guna terjalinnya
kesatuan dan persatuan antara siswa seluruh Indonesia melalui O2SN sekaligus
memperkenalkan salah satu potensi yang ada di Desa Pakenjeng.
b. Tahapan Konsolidasi
Dalam tahap ini bisa membahas bagaimana perkembangan kesenian bela diri silat dan
kesenian alat musiknya mempertahankan eksistensinya. Tahapan ini merupakan suatu tahapan
penguatan pada saat kesenian yaang dahulunya sangat populer, kini seakan-akan berjalan di
tempat. Dari hasil penelitian penulis, lebih terlihat bahwa kesenian bela diri silat mengalami
perkembangan yang cukup baik sedangkan calung dan degung itu sendiri mengalami
penurunan. Karena masuknya alat musik modern elektone yang merubah selera musik
masyarakat. Dari yang awalnya gemar dengan musik tradisional kini bergeser menggandrungi
musik dengan alat-alat yang praktis seperti organ tunggal.
“Elektuns kan praktis, tiga orang bisa, dua orang juga bisa. Kalo ‘gung kan minimal
sembilan, orang sunda bilang katanya hangur parab, ya jadi banyak makanan yang harus
disiapkan oleh yang manggil,udah panggilan itu,udah nyebrang sampe tiga kecamatan,
sampe kecamatan Bumbulang, Pakenjeng, bahkan udah kerjasama Cikajang”7
Pernyataan diatas dapat diartikan bahwa “electronic tunes merupakan kesenian yang sifatnya
praktis, karena kesenian tersebut dapat dilaksanakan oleh dua hingga tiga orang. Lain halnya
dengan degung yang harus diselenggarakan minimal oleh sembilan orang. Sehingga muncul
istilah hangur parab di masyarakat sunda. Istilah tersebut dimaknai dengan menyediakan
makanan yang jumlahnya banyak. Makanan itu disiapkan oleh pemilik hajat atau penyelenggara
pagelaran kesenian pencak silat. Pencak silat sudah dipanggil untuk mengisi berbagai acara,
karena pihak yang memanggil untuk menyelenggarakan pagelaran itu sudah mencapai tiga
kecamatan, kecamatan Bumbulang, Pakenjeng bahkan sudah bekerjasama dengan kecamatan
Cikajang.
Sedangkan untuk kesenian silat. Masih tetap eksis, sebab kesenian ini memang sedang hits di
desa Pakenjeng. Para atlet berkualitas dari desa Pakenjeng tak jarang dikirim untuk mengikuti
kejuaraan-kejuaraan nasional dan kembali pulang membawa piala. Dari sekolah-sekolah juga
sering diadakan turnamen bagi para siswanya. Masyarakat pun memiliki pandangan lain
mengenai kesenian bela diri ini, bahwa meskipun prakteknya seperti saling melawan tetapi
6
Wawancara dengan Pak Mukhtar, salah satu tokoh adat di Desa Pakenjeng, tanggal
21/11/2015.
7
Wawancara dengan Pak Mukhtar, salah satu tokoh adat di Desa Pakenjeng, tanggal
21/11/2015.
ketika sudah diluar arena antar pemain pun seperti kakak beradik. Terbukti bahwa silat
memperkuat kebersamaan tak hanya para pemainnya, namun juga masyarakat sekitar.
c. Tahap Akhir
Selain diadakannya pertandingan berskala besar antar tingkat kecamatan dan nasional,
ada juga upaya-upaya guna memberikan kesempatan untuk melestarikan kesenian yang ada.
Upaya yang dimaksud antara lain melalui upacara adat rutin yang masih diselenggarakan oleh
sekolah-sekolah. Hal ini dapat menjadi alternatif pelestarian yang efektif, karena selain
memamerkan kesenian, kegiatan tersebut menjadi ajang dalam kaderisasi penerus oleh para
pelajar muda. Pada dasarnya, pelajar muda pada tingkat SD hingga SMP merupakan insan
yang memiliki kesempatan yang lebih lama dibandingkan dengan generasi tua.
Upaya pelestarian juga dilakukan oleh pemerintah setempat. Pemerintah melestarikan kesenian
tersebut dengan cara memberikan berbagai fasilitas dan pelatihan-pelatihan yang lokasinya
terdapat di desa Cikajang. Atau pengadaan kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan di sekolahsekolah. Sama halnya untuk kesenian calung dan degung, juga terdapat di daftar
ekstrakulikuler yang ada di sekolah-sekolah dengan peminat yang cukup banyak dari kalangan
siswa-siswi. Kendati begitu, pemerintah juga pernah memberi bantuan berupa alat-alat, namun
karena desa Pakenjeng berhawa dingin dan alatnya terbuat dari bambu, terdapat kesulitan juga
untuk perawatannya.
Diluar dari upaya pemerintah, masyarakat sendiri pun terdapat upaya yang memang sudah
dilakukan perihal penurunan minat. Para tokoh adat memiliki keinginan untuk melestarikan
kebudayaan calung dan degung tersebut. Namun, tak sedikit dari generasi muda pun enggan
untuk tahu, belajar, bahkan melestarikan kesenian musik calung dan degung itu sendiri.
“Teu aya udud, pagelaran teh teu aya dilaksanakeun.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, “jika tidak ada rokok, pagelaran tidak akan dilaksanakan”.
Dimana para pemuda enggan untuk terjun dalam upaya pelestarian kesenian calung dan
degung jika tidak diberikan upah. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, tak sedikit dari pemuda
yang bahkan tidak tahu mengenai calung dan degung itu sendiri.
Peminatnya kini hanya dari kalangan orang tua seperti tokoh adat dan tokoh pendidik sekitar
yang turut membantu kesenian ini populer, namun kalangan muda kurang meminati kesenian
ini dan justru beralih ke kesenian elektronik. Calung dan degung kini jarang dijumpai di acaraacara seperti hajatan atau hanya pertunjukkan pementasan dari Jawa Barat saja. kesenian ini
bisa dikatakan “mati tidak, hidup tidak, berjalan di tempat”, namun jika diperlukan oleh
masyarakat, calung dan degung pun siap untuk dipentaskan.
4. Peran Seni Budaya dalam Penguatan Identitas Masyarakat
Tabel 1. Tahapan Perkembangan
Perkembangan 1
Kebudayaan digemari masyarakat, menjadi sangat
terkenal di daerahnya. Seni bela diri nya juga
berkembang dengan baik.
Perkembangan 2
Perkembanganya seni musiknya sudah mulai menurun
karena adanya unsur modern yang masuk ke desa
Pakenjeng tersebut.
Generasi tua mengupayakan pelestarian, namun tidak
sedikit generasi muda yang tidak ingin melestarikan
kesenian calung dan degung tersebut.
Perkembangan 3
Table perkembangan diatas menunjukan bahsa seni budaya yang ada di desa
Pakenjeng mengalami penurunan dampak dari perubahan sosial. Budaya asli dari daerah Garut
ini semakin berkurang peminantnya. Mengingat banyak sekali anak-anak muda yang kurang
menekuni dan kurang ingin tahu banyak mengenai budaya asli Garut tersebut. Alhasil, budayabudaya asli Garut tersebut seperti terlihat berjalan ditempat dan seakan tersingkirkan dari
keidupan masyarakat sekitar. Ada beberapa hal yang membuat budaya tersebut menjadi
kurang diminati, kurang ditekuni dan kurang diperhatikan oleh masyarakat atau penduduk
Pakenjeng disana. Berikut adalah beberapa penyebab penurunan minat pada buaya asli di
desa Pakenjeng.
1). Tidak adanya generasi muda yang mau belajar sekaligus melestarikan.
Generasi-generasi muda atau pemuda yang berpenduduk di wilayah Pakenjeng ini sangat
minim sekali minat belajar terhadap pelestarian budaya asli nenek moyang mereka dikarenakan
ada budaya yang baru yang lebih menarik (seperti budaya dari luar Pakenjeng) dan membuat
generasi-generasi muda tersebut tidak tertarik untuk mempelajari segala seluk beluk budaya
asli di desa Pakenjeng secara mendalam. Kesadaran akan melestarikan budaya asli
merupakan satu-satunya cara agar budaya asli ini terus tetap bertahan dan memiliki penerus
supaya budaya ini masih dapat dinikmati di masa yang akan datang.
2). Masuknya alat-alat musik modern. Penurunan minat pada generasi muda juga
disebabkan oleh telah masuknya alat-alat musik modern dari luar desa Pakenjeng. Salah satu
alat musik modern yang telah masuk ke desa Pakenjeng adalah electone. Electone merupakan
alat musik modern yang biasa orang kenal dengan musik organ tunggal. Electone ini dapat
menghasilkan nada-nada berbagai instrument hanya dari satu alat musik saja. Hal ini sangat
berbeda dengan alat musik calung maupun degung yang memerlukan banyak instrument.
Kemudian ini dapat berkaitan dengan malasnya generasi muda untuk mempelajari dan
mendalami musik budaya asli Pakenjeng tersebut. Mungkin juga dikarenakan alat musik
tradisional sangat sulit untuk dipelajari.
3). Alat-alat yang terbatas. Disamping kedua penyebab diatas, kekurangan akan alatalat musik tradisional menjadi penghambat pelestarian budaya-budaya tradisional tersebut.
Pernyataan ini diperkuat oleh jawaban dari salah satu responden kami yang berprofessi
sebagai guru tersebut menyatakan bahwa dana dari pemerintah untuk kegiatan sekolah di desa
Pakenjeng pengalokasiannya sangat minim atau bahkan tidak ada untuk membeli dan
meremajakan alat-alat musik tradisional tersebut. Disamping itu, alat-alat musik tradisional ini
cepat sekali rusak mengingat dengan kondisi alam di desa Pakenjeng yang sejuk maka
peremajaan atau perbaikan alat-alat musik tradisional yang sudah rusak ini sangat diperlukan
agar kegiatan pembelajaran tentang budaya asli desa Pakenjeng dapat diteruskan dan
dilakukan tanpa ada kendala. Penambahaan alat-alat musik ini juga diperlukan agar peserta
didik dapat belajar kesenian tradisional dengan baik.
4). Berkurangnya pertunjukkan atau pentas budaya tradisional. Pentas dan
pertunjukkan mengenai budaya tradisional asli desa Pakenjeng bertujuan untuk
memperkenalkan kepada masyarakat sekaligus untuk mengapresiasi budaya asli tradisional
yang kian lama tersingkir oleh budaya yang lebih modern dari luar desa Pakenjeng itu sendiri.
Namun, kenyataannya pertunjukkan seni tradisional tersebut mulai berkurang peminatnya dan
akhir-akhir ini sudah mulai jarang digelar. Apabila ada acara-acara seperti pernikahan/hajatan,
masyarakat lebih memilih untuk menggunakan hiburan yang lebih modern, seperti (yang telah
disebutkan) menggunakan electone. Akibat dari terlalu sering menggunakan kebudayaan
modern tersebut, kesenian tradisional seperti calug dan degung sudah jarang digunakan dan
dipertunjukkan lagi. Kemudian generasi muda menjadi jarang mengapresiasi kebudayaan
tradisional asli tersebut, bahkan ada pemuda asli desa Pakenjeng tidak mengenal apa saja
budaya asli yang dimiliki desa Pakenjeng itu sendiri.
Seni budaya memiliki peran terhadap penguatan identitas. Sebelum tahun 2005, budaya
asli tradisional desa Pakenjeng memiliki banyak peminat. Hal tersebut lantas menjadikan seniseni yang ada dikenal oleh wilayah disekitarnya. Kesenian calung dan degung yang
memerlukan proses berlatih juga membuat masyarakat terjalin satu sama lain. Komunikasi yang
terjadi dalam proses berlatih menghasilkan rasa kerjasama dan kekompakkan dari para warga,
khususnya bila kesenian hendak di berpartisipasi dalam perayaan besar. Didalam pementasan,
seni-seni juga berperan untuk menghibur penontonnya, seperti calung dan degung yang bila
dipentaskan tak jarang para pemain melontarkan guyonan-guyonan di sela pertunjukkan.
Namun karena perkembangannya kini cenderung stagnan, calung dan degung yang dikelola
oleh generasi tua seolah jauh dari upaya pelestariannya sebab tidak dibantu oleh para generasi
mudanya. Di khawatirkan nantinya seni budaya asli ini hilang hingga melemahnya identitas dari
desa Pakenjeng sendiri.
5. Kesimpulan
Seni dan budaya tidak lepas dari identitas masyarakat di suatu wilayah. Seperti
kesenian yang terdapat di desa Pakenjeng, seperti Gesrek, Calung dan degung, serta pencak
silat yang menggambarkan masyarakat desa Pakenjeng itu sendiri. Keempatnya memiliki peran
penting dalam penguatan identitas dari desa Pakenjeng. Namun kesenian mulai mengalami
penurunan khususnya calung dan degung kini memiliki penurunan minat dari masyarakat
sekitar. Faktor yang mempengaruhi salah satunya ialah masuknya teknologi yang menawarkan
segala sesuatu yang lebih praktis dan murah. Namun tidak sedikit juga tokoh adat, tokoh
pendidikan, masyarakat maupun pemerintah yang masih berupaya dan mulai untuk
melestarikan kebudayaan yang ada di desa Pakenjeng ini. Namun, generasi mudanya sendiri
pun tidak berniat untuk melestarikan kesenian calung dan degung ini. Generasi muda dinilai
memiliki bakat untuk memainkan alat-alat kesenian yang ada namun tidak terbesit keinginan
untuk andil lebih jauh dan melestarikannya.
Lain halnya dengan kesenian gesrek yang unik dan tidak rasional menurut pandangan orang
pada umumnya. Promosi dan regenerasi pemainnya membuat kesenian gesrek tetap bertahan
dan sama halnya dengan kesenian bela diri pencak silat Putra Siliwangi yang berada di desa
Pakenjeng yang semakin digemari oleh masyarakat khususnya kaum muda.
DAFTAR PUSTAKA
E. Tjarmedi, R. Sjabar Riswara Kp., Ruchiat Rachmat. Penuntun Pengajaran Degung. Jawa
Barat.
Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Proyek Sasana Budaya (Indonesia). 1977. Petunjuk wisata budaya Jawa Barat. Jawa Barat.
http://desapakenjeng.garutkab.go.id
Lampiran
Dokumentasi observasi di Desa Pakenjeng,
mulai dari awal perjalanan hingga wawancara
dengan narasumber.
Nurul Huda Ambarwati, Pratiwi Ayuningtyas, Subur Ahmad Supangat, Tri Hadiyanto Utomo,
Yordhi Rahmatdian
Jurusan Sosiologi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta,
Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran seni budaya dalam penguatan identitas
masyarakat, dimana budaya dinilai sebagai peninggalan nenek moyang akan mempermudah
kelestarian budaya yang telah dimilikinya secara turun temurun. Kebudayaan dan juga seni
sebagai identitas yang cenderung berbeda dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Garut,
Jawa Barat. Dari sisi metodologi, penelitian ini menggunakan paradigma positivistik yang
bertumpu kepada pendekatan kualitatif. Subyek penelitian yaitu masyarakat sekitar yang dibagi
menurut beberapa lapisan yaitu tokoh adat, tokoh pendidikan (Guru), dan masyarakat biasa di
Desa Pakenjeng. Lokasi penelitian di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut Jawa Barat
dengan waktu penelitian selama 3 hari, yaitu 20-22 November 2015. Seni budaya yang diteliti
disini antara lain yang ialah gesrek, calung dan degung, serta pencak silat yang khas di
Kabupaten Garut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan: (1) Seni Budaya yang terdapat di
Desa Pakenjeng, (2) kondisi dan tahapan perkembangan seni budaya tersebut, (3) peran seni
budaya dalam penguatan identitas di Desa Pakenjeng.
Kata kunci: peran seni budaya, penguatan identitas, penguatan integrasi.
Pendahuluan
Suatu hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat merupakan definisi sebuah kebudayaan. 1
Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari
kebudayaan beraneka ragam dan suku-suku di Indonesia yang juga merupakan bagian integral
daripada kebudayaan Indonesia sendiri. Kebudayaan sebagai salah-satu bentuk identitas
bangsa sampai saat ini cenderung terlupakan, budaya adat tradisional kini kalah pamor dengan
budaya barat. Budaya tradisional yang cenderung mengadopsi budaya timur memuat
kesopanan dan nilai-nilai sikap yang agung kini terpinggirkan oleh budaya glamor dan
individual. Kebudayaan barat sudah sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat di
Indonesia mulai dengan cara berpakaian sampai dengan selera bermusik para generasi muda,
melihat kenyataan itu betapa hebatnya pengaruh globalisasi dalam kehidupan sekarang.
Kebudayaan yang paling mendasar dan menjadi ciri khas bangsa, yaitu kebudayaan
daerah atau kebudayaan lokal. Kebudayaan yang menjadi dasar ini adalah alat penilai dan
pengukur bagaimana kepribadian bangsa. Di zaman yang selalu mengalami perubahan/dinamis
dan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman sering terjadi sebuah gejala perubahan
kebudayaan dan perubahan sosial. Dalam mengembangkan kebudayaan bangsa, perlu
ditumbuhkan dan dilestarikan nilai budaya yang positif sehingga dapat memperkokoh
kebudayaan nasional.
1
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993), hal 9.
Di Garut sendiri banyak bermunculan kesenian yang diwariskan oleh para leluhur
khususnya di Desa Pakenjeng di antaranya gesrek, pencak silat, calung dan degung. Kesenian
tersebut menyebar sampai kepelosok desa-desa di dusun 1 dan 3. Lewat penelitian ini penulis
akan mencoba mengkaji kesenian calung dan degung, serta sedikit ulasan mengenai pencak
silat yang terdapat di Desa Pakenjeng.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma positivistik yang bertumpu kepada pendekatan
kualitatif. Subyek penelitian yaitu masyarakat sekitar yang dibagi menurut beberapa lapisan
yaitu tokoh adat, tokoh pendidikan (Guru), dan masyarakat biasa di Desa Pakenjeng. Lokasi
penelitian di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut Jawa Barat dengan waktu penelitian
selama 3 hari, yaitu 20-22 November 2015. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) data primer
diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam; (2) data sekunder bersumber dari profil
wilayah, jurnal, tulisan ilmiah, dan dokumen/arsip terkait topik penelitian.
Data dianalisis dengan menggunakan teori peran dan hakikat kebudayaan dari Soerjono
Soekanto dan Koentjaraningrat. Dalam model ini, merupakan wujud dari unsur kebudayaan.
dilakukan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, yang ketiganya merupakan
suatu siklus untuk memperkuat pengambilan kesimpulan (Gambar 1).
Pera
n
Ide
Aktifitas
Artefak
Integr
asi
Gambar 1. Siklus Analisis Teori
(sumber: analisis kelompok)
Koenjtaraningrat berpendapat bahwa unsur kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu
pertama sebagai suatu ide, gagasan, nilai- nilai norma- norma peraturan dan sebagainya,
kedua sebagai suatu aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam sebuah komunitas
masyarakat, ketiga benda- benda hasil karya manusia. 2 Peran bisa menghasilkan ide-ide
dimana ide tersebut berupa cerita-cerita atau alkisah turun-temurun yang dapat
mengintegrasikan masyarakat. Aktifitas nyata berupa tindakan dan terdapat gerakan-gerakan.
Serta artefak yaitu sebuah bukti bahwa seni juga ditampilkan kedalam pagelaran-pagelaran.
Yang kesemua komponen tersebut kemudian bisa mengintegrasikan masyarakat sekitar.
2
Ibid. hal 5.
Hasil dan Pembahasan
1. Konteks Sosial Desa Pakenjeng
Pakenjeng terletak di Kabupaten Garut. Secara geografis terletak di Provinsi Jawa Barat
dengan bagian Tenggara pada koordinat 6º56'49 - 7 º45'00 Lintang Selatan dan 107º25'8 108º7'30 Bujur Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha
(3.065,19 km²) Kabupaten Garut yang secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung
sebagai ibukota provinsi Jawa Barat, merupakan daerah penyangga dan hinterland bagi
pengembangan wilayah Bandung Raya.
Gambar 2. Peta Desa Pakenjeng
(sumber: http://desapakenjeng.garutkab.go.id/statis-43-petadesa.html/,2015)
Sedangkan Desa Pakenjeng adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Garut, Provinsi
Jawa Barat, Indonesia. Memiliki luas wilayah 2.141,9 Ha dengan batas-batas wilayah : Sebelah
Utara berbatasan dengan kec. Cisurupan. Sebelah Selatan berbatasan dengan kec. Pakenjeng.
Sebelah Barat berbatasan dengan desa Garumukti kec. Pamulihan. Sebelah Timur berbatasan
dengan Desa PananjungKecamatan. Dan berpenduduk sekitar 4.020 orang.
Wilayah Pakenjeng terbagi menjadi 3 dusun: 1). Dusun Kombongan, 2). Dusun Pakenjeng, 3).
Dusun Tangsi. Kemudian dari 3 dusun dibagi lagi menjadi 7 wilayah RW dan 30 RT.
Di Kecamatan Pamulihan terdapat wisata alam yang menjadi keistimewaan dari desa
Pakenjeng, yaitu Curug Sanghyang Taraje. Curug ini memiliki ketinggian sekitar 80 m. Curug
yang lokasinya berada di wilayah dusun 3 Kampung Kombongan, Desa Pakenjeng, Kecamatan
Pamulihan, Kabupaten Garut ini, memang cukup terisolir. Padahal lokasi yang berada pada
ketinggian 460 dpl memiliki pemandangan yang sangat indah.
2. Seni budaya yang terdapat di Desa Pakenjeng
Secara umum, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai halhal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, sedangkan dalam bahasa inggris
kebudayaan disebut culture yang berasal dari kata latin colere yaitu mengolah atau
mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani, kata culture juga
kadang sering diterjemahkan sebagai “Kultur” dalam bahasa Indonesia.
Di Kabupaten Garut, Jawa Barat, banyak terdapat seni budaya khas dari daerahnya.
Terutama di Desa Pakenjeng, terdapat berbagai macam seni budaya yang paling menonjol
yaitu kesenian Gesrek, namun ternyata terdapat seni budaya lainnya yang juga menjadi icon
dari masyarakat itu sendiri. Yang sekaligus menjadi fokus penelitian penulis di bidang seni
suara yaitu kesenian calung dan degung, serta seni gerakan yaitu pencak silat.
a. Degung
Degung ialah semacam waditra-pukul (instrument pukul) 3 merupakan sebuah kesenian
Sunda, yang penyajiannya menggunakan seperangkat gamelan degung yang ditampilkan oleh
para pengrawit (penabuh gendang). Degung ini merupakan gabungan dari peralatan musik
khas Jawa Barat yaitu, gendang, goong, kempul, saron, bonang, kacapi, suling, rebab, dan
sebagainya. Degung merupakan salah-satu kesenian yang paling populer di Jawa Barat,
karena iringan musik degung ini selalu digunakan dalam setiap acara hajatan yang masih
menganut adat tradisional, selain itu musik degung juga digunakan sebagai musik pengiring
hampir pada setiap pertunjukan seni tradisional Jawa Barat lainnya.
Gambar 3. Kesenian Degung
(gambar diperoleh dari hasil observasi langsung, tanggal 21/11/2015)
Alat musik degung yang terdapat di desa Pakenjeng ini dikelola oleh seorang
tokoh adat yaitu Pak Aef Sofyan. Kesenian ini sudah merupakan kesenian tradisi turunmenurun di keluarga Bapak Aef. Kelompok degung yang dimiliki desa ini bernama Gentra
Panglipur. Degung ini merupakan gabungan dari peralatan musik khas Jawa Barat yaitu,
gendang, goong, kempul, saron, bonang, kacapi, suling, rebab, dan sebagainya.
3
E. Tjarmedi, R. Sjabar Riswara Kp., Ruchiat Rachmat, Penuntun Pengajaran Degung, hlm. 7.
b. Calung
Calung adalah jenis kesenian yang waditranya atau alatnya dibuat dari bambu. 4 Alat
musik Sunda yang merupakan purwarupa dari angklung. Sering kali orang menganggap sama
antara Calung dengan Angklung, pada dasarnya alat musik ini sama-sama terbuat dari bambu
yang dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan nada-nada harmonis, bedanya
terdapat pada cara memainkannya, kalau Angklung dimainkan dengan cara digetarkan atau
digoyang-goyangkan, sedangkan Calung dimainkan dengan cara dipukul.
Gambar 4. Kesenian Calung dan Degung
(gambar diperoleh dari hasil observasi langsung, tanggal 21/11/2015)
“nah kalo ini (degung) mahkan memerlukan calung, gendang, gong, dll. Kalo yang ini
(terompet – bag.atas) biasanya mah buat pencak silat.” 5
Alat pendukung lain yang kadang-kadang ada pada pertunjukan dari calung ialah rebab.
Jadi pertunjukan calung akan lebih estetis jika sedang membawakan lagu memakai rebab.
Selain itu juga ada instrument lain yang terdapat dalam kesenian calung dan degung di Desa
Pakenjeng yaitu terompet yang biasa juga dipakai untuk mengiringi pementasan pencak silat
yang ada.
c. Pencak Silat
Didalam kesenian pencak silat, terdapat suatu julukan ‘Putra Siliwangi’ yang sudah
dikenal oleh masyarakat. Kesenian pencak silat memiliki kesempatan untuk lebih eksis di
tengah masyarakat melalui diadakannya pertandingan. Pertandingan tersebut disiasati dengan
cara memberikan pelatihan secara intensif kepada para pelajar di sekolah menengah pertama
di desa Pakenjeng, Pananjung, Darumukti. Pelatihan tersebut dilakukan melalui materi
pengajarannya didalam kegiatan ekstrakurikuler. Keberlanjutan kesenian ini harus tetap
4
Proyek Sasana Budaya (Indonesia), Petunjuk wisata budaya Jawa Barat, (Jawa Barat,1977).
Hlm.21.
5
Wawancara dengan Pak Aef Sofyan, salah satu tokoh adat di Desa Pakenjeng, tanggal
21/11/2015.
dilestarikan dengan usaha yang keras, hal itu ditegaskan oleh KADISPORA (Kepala Dinas
Pemuda dan Olahraga).
Terdapat juga pertandingan O2SN (Olimpiade Olahraga Siswa nasional). O2SN (Olimpiade
Olahraga Siswa nasional) adalah suatu kegiatan yang bersifat kompetisi di bidang olahraga
antara siswa SMP dalam lingkup wilayah atau tingkat lomba tertentu. Dengan sasaran siswa
SMP negeri dan swasta termsuk SMP terbuka dan SD-SMP Satu Atap.
Selain diadakannya pertandingan berskala besar antar tingkat kecamatan dan nasional, ada
juga kegiatan yang memberikan kesempatan untuk melestarikan kesenian tersebut melalui
upacara adat yang diselenggarakan oleh sekolah. Hal ini dapat menjadi alternatif pelestarian
yang efektif, karena selain memamerkan kesenian, kegiatan tersebut menjadi ajang dalam
kaderisasi penerus oleh para pelajar muda. Pada dasarnya, pelajar muda pada tingkat SD
hingga SMP merupakan insan yang memiliki kesempatan melestarikan yang lebih lama
dibandingkan dengan generasi tua.
3. Tahapan Perkembangan Seni Budaya di Desa Pakenjeng
Di Desa Pakenjeng, kesenian Gesrek merupakan seni budaya yang paling terkenal.
Baik di dalam Desa maupun ke desa lain disekitarnya. Namun juga terdapat seni budaya lain
yaitu, seni bela diri dan kesenian alat musiknya yaitu calung dan degung. Kebudayaan ini
mereka dapatkan secara turun-temurun yang diwariskan oleh tokoh adat kepada keluarganya.
Didalam poin ketiga ini, penulis akan menjelaskan mengenai tahapan perkembangan seni
budaya yang ada di desa Pakenjeng. Tahapan perkembangannya dibagi menjadi 3 yaitu, tahap
perkembangan awal, tahapan konsolidasi, dan tahap akhir.
a. Perkembangan awal
Seperti yang sudah dijelaskan pada poin-poin sebelumnya. Kesenian yang terdapat di
desa Pakenjeng merupakan kesenian turun-temurun. Masyarakat sudah mengenal kesenian
khas daerahnya sejak dini. Kesenian yang dibawa generasinya kemudian dipelajari dan
dilestarikan oleh generasi-generasi yang berikutnya. Namun tidak menutup kemungkinan jika
masyarakat luar juga ingin belajar calung dan degung ini.
Tahapan ini juga merupakan suatu tahapan di saat kesenian calung, degung serta pencak silat
yang terdapat di desa Pakenjeng menjadi sangat terkenal di daerahnya. Seni budaya calung
dan degung yang terdapat di desa Pakenjeng kini dikepalai oleh Bapak Aef Sofyan.
Pengenalannya diawali oleh ayah dan kakek dari Pak Aef atau selaku generasi sebelumnya.
Kemudian Pak Aef memperkenalkan calung dan degung kepada putra-putranya, selain untuk
menambah pengrawit/penabuh degung bisa juga dijadikan upaya agar kesenian ini tidak punah
nantinya agar terus dikelola oleh generasi berikutnya.
“Gentra Panglipur” ialah sebutan bagi para tim yang memainkan calung dan degung, khusunya
yang ada di dusun 1 desa Pakenjeng. Tahun 2005 kebawah, calung dan degung menjadi
primadona di wilayah Pakenjeng bahkan sampai luar desa. Dimana dulu, masyarakat yang
mengadakan hajatan atau acara-acara besar lainnya pasti menanggap tim kesenian dari desa
Pakenjeng ini.
“saya tuh kan ketuanya dulu. Dulu tuh betul-betul eksis sampai sekitar tahun 2005-an lah.
Udah panggilan tuh, udah nyebrang sampe 3. Sampe ke kecamatan Bumbulang,
Pakenjeng dan bahkan dengan Cikajang juga udah bermitra, udah biasa.”6
Selain itu, kesenian populer yaitu pencak silat yang bertempat di dusun Kombongan. Desa
Pakenjeng memiliki generasi muda yang berpotensi di bidang seni gerakan seperti silat, hal ini
menjadi salah satu prestasi yang membuat nama desa Pakenjeng menjadi terkenal. Untuk
memperlancar popularitasnya, maka Pencak silat dari desa ini diikutsertakan dalam ajang
kompetisi tingkat nasional. Hasilnya adalah kesenian ini mendapatkan gelar juara saat berada
di provinsi Makassar. Hal ini terus berlanjut dengan mengikuti kompetisi yang sama sehingga
mendapatkan kembali gelar juara saat pertandingan yang diselenggarakan di Bandung. Serta
mengikutsertakan di pertandingan O2SN (Olimpiade Olahraga Siswa nasional). O2SN
(Olimpiade Olahraga Siswa nasional) adalah suatu kegiatan yang bersifat kompetisi di bidang
olahraga antara siswa SMP dalam lingkup wilayah atau tingkat lomba tertentu guna terjalinnya
kesatuan dan persatuan antara siswa seluruh Indonesia melalui O2SN sekaligus
memperkenalkan salah satu potensi yang ada di Desa Pakenjeng.
b. Tahapan Konsolidasi
Dalam tahap ini bisa membahas bagaimana perkembangan kesenian bela diri silat dan
kesenian alat musiknya mempertahankan eksistensinya. Tahapan ini merupakan suatu tahapan
penguatan pada saat kesenian yaang dahulunya sangat populer, kini seakan-akan berjalan di
tempat. Dari hasil penelitian penulis, lebih terlihat bahwa kesenian bela diri silat mengalami
perkembangan yang cukup baik sedangkan calung dan degung itu sendiri mengalami
penurunan. Karena masuknya alat musik modern elektone yang merubah selera musik
masyarakat. Dari yang awalnya gemar dengan musik tradisional kini bergeser menggandrungi
musik dengan alat-alat yang praktis seperti organ tunggal.
“Elektuns kan praktis, tiga orang bisa, dua orang juga bisa. Kalo ‘gung kan minimal
sembilan, orang sunda bilang katanya hangur parab, ya jadi banyak makanan yang harus
disiapkan oleh yang manggil,udah panggilan itu,udah nyebrang sampe tiga kecamatan,
sampe kecamatan Bumbulang, Pakenjeng, bahkan udah kerjasama Cikajang”7
Pernyataan diatas dapat diartikan bahwa “electronic tunes merupakan kesenian yang sifatnya
praktis, karena kesenian tersebut dapat dilaksanakan oleh dua hingga tiga orang. Lain halnya
dengan degung yang harus diselenggarakan minimal oleh sembilan orang. Sehingga muncul
istilah hangur parab di masyarakat sunda. Istilah tersebut dimaknai dengan menyediakan
makanan yang jumlahnya banyak. Makanan itu disiapkan oleh pemilik hajat atau penyelenggara
pagelaran kesenian pencak silat. Pencak silat sudah dipanggil untuk mengisi berbagai acara,
karena pihak yang memanggil untuk menyelenggarakan pagelaran itu sudah mencapai tiga
kecamatan, kecamatan Bumbulang, Pakenjeng bahkan sudah bekerjasama dengan kecamatan
Cikajang.
Sedangkan untuk kesenian silat. Masih tetap eksis, sebab kesenian ini memang sedang hits di
desa Pakenjeng. Para atlet berkualitas dari desa Pakenjeng tak jarang dikirim untuk mengikuti
kejuaraan-kejuaraan nasional dan kembali pulang membawa piala. Dari sekolah-sekolah juga
sering diadakan turnamen bagi para siswanya. Masyarakat pun memiliki pandangan lain
mengenai kesenian bela diri ini, bahwa meskipun prakteknya seperti saling melawan tetapi
6
Wawancara dengan Pak Mukhtar, salah satu tokoh adat di Desa Pakenjeng, tanggal
21/11/2015.
7
Wawancara dengan Pak Mukhtar, salah satu tokoh adat di Desa Pakenjeng, tanggal
21/11/2015.
ketika sudah diluar arena antar pemain pun seperti kakak beradik. Terbukti bahwa silat
memperkuat kebersamaan tak hanya para pemainnya, namun juga masyarakat sekitar.
c. Tahap Akhir
Selain diadakannya pertandingan berskala besar antar tingkat kecamatan dan nasional,
ada juga upaya-upaya guna memberikan kesempatan untuk melestarikan kesenian yang ada.
Upaya yang dimaksud antara lain melalui upacara adat rutin yang masih diselenggarakan oleh
sekolah-sekolah. Hal ini dapat menjadi alternatif pelestarian yang efektif, karena selain
memamerkan kesenian, kegiatan tersebut menjadi ajang dalam kaderisasi penerus oleh para
pelajar muda. Pada dasarnya, pelajar muda pada tingkat SD hingga SMP merupakan insan
yang memiliki kesempatan yang lebih lama dibandingkan dengan generasi tua.
Upaya pelestarian juga dilakukan oleh pemerintah setempat. Pemerintah melestarikan kesenian
tersebut dengan cara memberikan berbagai fasilitas dan pelatihan-pelatihan yang lokasinya
terdapat di desa Cikajang. Atau pengadaan kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan di sekolahsekolah. Sama halnya untuk kesenian calung dan degung, juga terdapat di daftar
ekstrakulikuler yang ada di sekolah-sekolah dengan peminat yang cukup banyak dari kalangan
siswa-siswi. Kendati begitu, pemerintah juga pernah memberi bantuan berupa alat-alat, namun
karena desa Pakenjeng berhawa dingin dan alatnya terbuat dari bambu, terdapat kesulitan juga
untuk perawatannya.
Diluar dari upaya pemerintah, masyarakat sendiri pun terdapat upaya yang memang sudah
dilakukan perihal penurunan minat. Para tokoh adat memiliki keinginan untuk melestarikan
kebudayaan calung dan degung tersebut. Namun, tak sedikit dari generasi muda pun enggan
untuk tahu, belajar, bahkan melestarikan kesenian musik calung dan degung itu sendiri.
“Teu aya udud, pagelaran teh teu aya dilaksanakeun.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, “jika tidak ada rokok, pagelaran tidak akan dilaksanakan”.
Dimana para pemuda enggan untuk terjun dalam upaya pelestarian kesenian calung dan
degung jika tidak diberikan upah. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, tak sedikit dari pemuda
yang bahkan tidak tahu mengenai calung dan degung itu sendiri.
Peminatnya kini hanya dari kalangan orang tua seperti tokoh adat dan tokoh pendidik sekitar
yang turut membantu kesenian ini populer, namun kalangan muda kurang meminati kesenian
ini dan justru beralih ke kesenian elektronik. Calung dan degung kini jarang dijumpai di acaraacara seperti hajatan atau hanya pertunjukkan pementasan dari Jawa Barat saja. kesenian ini
bisa dikatakan “mati tidak, hidup tidak, berjalan di tempat”, namun jika diperlukan oleh
masyarakat, calung dan degung pun siap untuk dipentaskan.
4. Peran Seni Budaya dalam Penguatan Identitas Masyarakat
Tabel 1. Tahapan Perkembangan
Perkembangan 1
Kebudayaan digemari masyarakat, menjadi sangat
terkenal di daerahnya. Seni bela diri nya juga
berkembang dengan baik.
Perkembangan 2
Perkembanganya seni musiknya sudah mulai menurun
karena adanya unsur modern yang masuk ke desa
Pakenjeng tersebut.
Generasi tua mengupayakan pelestarian, namun tidak
sedikit generasi muda yang tidak ingin melestarikan
kesenian calung dan degung tersebut.
Perkembangan 3
Table perkembangan diatas menunjukan bahsa seni budaya yang ada di desa
Pakenjeng mengalami penurunan dampak dari perubahan sosial. Budaya asli dari daerah Garut
ini semakin berkurang peminantnya. Mengingat banyak sekali anak-anak muda yang kurang
menekuni dan kurang ingin tahu banyak mengenai budaya asli Garut tersebut. Alhasil, budayabudaya asli Garut tersebut seperti terlihat berjalan ditempat dan seakan tersingkirkan dari
keidupan masyarakat sekitar. Ada beberapa hal yang membuat budaya tersebut menjadi
kurang diminati, kurang ditekuni dan kurang diperhatikan oleh masyarakat atau penduduk
Pakenjeng disana. Berikut adalah beberapa penyebab penurunan minat pada buaya asli di
desa Pakenjeng.
1). Tidak adanya generasi muda yang mau belajar sekaligus melestarikan.
Generasi-generasi muda atau pemuda yang berpenduduk di wilayah Pakenjeng ini sangat
minim sekali minat belajar terhadap pelestarian budaya asli nenek moyang mereka dikarenakan
ada budaya yang baru yang lebih menarik (seperti budaya dari luar Pakenjeng) dan membuat
generasi-generasi muda tersebut tidak tertarik untuk mempelajari segala seluk beluk budaya
asli di desa Pakenjeng secara mendalam. Kesadaran akan melestarikan budaya asli
merupakan satu-satunya cara agar budaya asli ini terus tetap bertahan dan memiliki penerus
supaya budaya ini masih dapat dinikmati di masa yang akan datang.
2). Masuknya alat-alat musik modern. Penurunan minat pada generasi muda juga
disebabkan oleh telah masuknya alat-alat musik modern dari luar desa Pakenjeng. Salah satu
alat musik modern yang telah masuk ke desa Pakenjeng adalah electone. Electone merupakan
alat musik modern yang biasa orang kenal dengan musik organ tunggal. Electone ini dapat
menghasilkan nada-nada berbagai instrument hanya dari satu alat musik saja. Hal ini sangat
berbeda dengan alat musik calung maupun degung yang memerlukan banyak instrument.
Kemudian ini dapat berkaitan dengan malasnya generasi muda untuk mempelajari dan
mendalami musik budaya asli Pakenjeng tersebut. Mungkin juga dikarenakan alat musik
tradisional sangat sulit untuk dipelajari.
3). Alat-alat yang terbatas. Disamping kedua penyebab diatas, kekurangan akan alatalat musik tradisional menjadi penghambat pelestarian budaya-budaya tradisional tersebut.
Pernyataan ini diperkuat oleh jawaban dari salah satu responden kami yang berprofessi
sebagai guru tersebut menyatakan bahwa dana dari pemerintah untuk kegiatan sekolah di desa
Pakenjeng pengalokasiannya sangat minim atau bahkan tidak ada untuk membeli dan
meremajakan alat-alat musik tradisional tersebut. Disamping itu, alat-alat musik tradisional ini
cepat sekali rusak mengingat dengan kondisi alam di desa Pakenjeng yang sejuk maka
peremajaan atau perbaikan alat-alat musik tradisional yang sudah rusak ini sangat diperlukan
agar kegiatan pembelajaran tentang budaya asli desa Pakenjeng dapat diteruskan dan
dilakukan tanpa ada kendala. Penambahaan alat-alat musik ini juga diperlukan agar peserta
didik dapat belajar kesenian tradisional dengan baik.
4). Berkurangnya pertunjukkan atau pentas budaya tradisional. Pentas dan
pertunjukkan mengenai budaya tradisional asli desa Pakenjeng bertujuan untuk
memperkenalkan kepada masyarakat sekaligus untuk mengapresiasi budaya asli tradisional
yang kian lama tersingkir oleh budaya yang lebih modern dari luar desa Pakenjeng itu sendiri.
Namun, kenyataannya pertunjukkan seni tradisional tersebut mulai berkurang peminatnya dan
akhir-akhir ini sudah mulai jarang digelar. Apabila ada acara-acara seperti pernikahan/hajatan,
masyarakat lebih memilih untuk menggunakan hiburan yang lebih modern, seperti (yang telah
disebutkan) menggunakan electone. Akibat dari terlalu sering menggunakan kebudayaan
modern tersebut, kesenian tradisional seperti calug dan degung sudah jarang digunakan dan
dipertunjukkan lagi. Kemudian generasi muda menjadi jarang mengapresiasi kebudayaan
tradisional asli tersebut, bahkan ada pemuda asli desa Pakenjeng tidak mengenal apa saja
budaya asli yang dimiliki desa Pakenjeng itu sendiri.
Seni budaya memiliki peran terhadap penguatan identitas. Sebelum tahun 2005, budaya
asli tradisional desa Pakenjeng memiliki banyak peminat. Hal tersebut lantas menjadikan seniseni yang ada dikenal oleh wilayah disekitarnya. Kesenian calung dan degung yang
memerlukan proses berlatih juga membuat masyarakat terjalin satu sama lain. Komunikasi yang
terjadi dalam proses berlatih menghasilkan rasa kerjasama dan kekompakkan dari para warga,
khususnya bila kesenian hendak di berpartisipasi dalam perayaan besar. Didalam pementasan,
seni-seni juga berperan untuk menghibur penontonnya, seperti calung dan degung yang bila
dipentaskan tak jarang para pemain melontarkan guyonan-guyonan di sela pertunjukkan.
Namun karena perkembangannya kini cenderung stagnan, calung dan degung yang dikelola
oleh generasi tua seolah jauh dari upaya pelestariannya sebab tidak dibantu oleh para generasi
mudanya. Di khawatirkan nantinya seni budaya asli ini hilang hingga melemahnya identitas dari
desa Pakenjeng sendiri.
5. Kesimpulan
Seni dan budaya tidak lepas dari identitas masyarakat di suatu wilayah. Seperti
kesenian yang terdapat di desa Pakenjeng, seperti Gesrek, Calung dan degung, serta pencak
silat yang menggambarkan masyarakat desa Pakenjeng itu sendiri. Keempatnya memiliki peran
penting dalam penguatan identitas dari desa Pakenjeng. Namun kesenian mulai mengalami
penurunan khususnya calung dan degung kini memiliki penurunan minat dari masyarakat
sekitar. Faktor yang mempengaruhi salah satunya ialah masuknya teknologi yang menawarkan
segala sesuatu yang lebih praktis dan murah. Namun tidak sedikit juga tokoh adat, tokoh
pendidikan, masyarakat maupun pemerintah yang masih berupaya dan mulai untuk
melestarikan kebudayaan yang ada di desa Pakenjeng ini. Namun, generasi mudanya sendiri
pun tidak berniat untuk melestarikan kesenian calung dan degung ini. Generasi muda dinilai
memiliki bakat untuk memainkan alat-alat kesenian yang ada namun tidak terbesit keinginan
untuk andil lebih jauh dan melestarikannya.
Lain halnya dengan kesenian gesrek yang unik dan tidak rasional menurut pandangan orang
pada umumnya. Promosi dan regenerasi pemainnya membuat kesenian gesrek tetap bertahan
dan sama halnya dengan kesenian bela diri pencak silat Putra Siliwangi yang berada di desa
Pakenjeng yang semakin digemari oleh masyarakat khususnya kaum muda.
DAFTAR PUSTAKA
E. Tjarmedi, R. Sjabar Riswara Kp., Ruchiat Rachmat. Penuntun Pengajaran Degung. Jawa
Barat.
Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Proyek Sasana Budaya (Indonesia). 1977. Petunjuk wisata budaya Jawa Barat. Jawa Barat.
http://desapakenjeng.garutkab.go.id
Lampiran
Dokumentasi observasi di Desa Pakenjeng,
mulai dari awal perjalanan hingga wawancara
dengan narasumber.